BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penyakit Hati B Kronik dan Fibrosis Hati Hepatitis B kronis merupakan masalah kesehatan besar secara global dan merupakan penyebab utama
terjadinya morbiditas dan mortalitas dengan timbulnya
sirosis hati dan HCC (Hepatocellular carcinoma) (Craja, 2010). Di Asia, sebagian besar pasien hepatitis B kronis mendapat infeksi pada masa perinatal (Grigorescu, 2010). Penyakit hati kronik merupakan suatu proses penyakit hati yang melibatkan proses destruksi yang progresif dan regenerasi dari parenkim hati yang pada akhirnya akan menuju terjadinya fibrosis dan sirosis (Craja , 2010). Fibrosis hati adalah akumulasi interstisial atau jaringan parut matriks ekstraselular (MES) setelah jejas hati akut atau kronik (Grigorescu, 2010), (Kwang, et al., 2010). Deteksi dan penentuan stadium fibrosis hati adalah proses yang penting dalam manajemen pasien dengan penyakit hati kronis. Sampai sekarang ini biopsi hati masih merupakan metode standar dalam menentukan stadium fibrosis, namun biopsi sendiri memiliki kelemahan dimana biopsi merupakan tindakan invasif dan berhubungan dengan kemungkinan timbulnya beberapa komplikasi dan ketidaknyamanan (Kwang, et al., 2010), (Kun, et al., 2010). Teknik imaging terbaru Fibroscan telah menunjukkan keunggulannya dalm menentukan derajat fibrosis hati dengan akurasi yang tinggi (Kun, et al., 2010), (Ziol, et al., 2005). Namun, biaya pemeriksaan dengan alat tersebut mahal dan sulit dijangkau sebagai tes rutin pada kebanyakan unit klinik seluruh dunia (Kun, et al., 2010).
Universitas Sumatera Utara
Pada beberapa tahun belakangan ini, usaha telah dilakukan dalam pengembangan model-model prediktif noninvasif yang berkorelasi dengan stadium fibrosis. Salah satu dari model prediktif noninvasif yang pertama kali dikembangkan bagi pasien dengan hepatitis C kronik adalah Fibrotest yang mencakup a2-makroglobulin, haptoglobin, gglutamiltransferase (GGT), apolipoprotein A1 dan total bilirubin (Kun, et al., 2010), (Imbert-Bismut, et al., 2001). Fibrotest dapat mengidentifikasi significant fibrosis pada hepatitis C kronik dengan nilai prediktif positif maupun negatif yang tinggi. Namun, dengan adanya pertimbangan biaya pengeluaran dan penggunaan parameter yang tidak umum telah mengurangi kepraktisan dalam hal penggunaan Fibrotest (Kun, et al., 2010). Beberapa tahun kemudian, Forns’ score (usia, GGT, kolesterol, platelet, dan protrombin) (Kun, et al., 2010), (Forns, et al., 2002) dan APRI index (AST dan platelet) (Kun, et al., 2010), (Wai, et al., 2003) menutupi kekurangan ini melalui penggunaan tes laboratorium yang standar pada model prediktif mereka. Model-model prediktif lainnya yang kemudian muncul mencakup ELF-score (Kun, et al., 2010), (Rosenberg, et al., 2004), Hepascore (Kun, et al., 2010), (Adams, et al., 2005) dan Fibrometer (Kun, et al., 2010), (Cales, et al., 2005). Validasi dari penelitian kohort model-model ini pada pasien hepatitis C kronik menunjukkan informasi yang dapat dipercayai untuk fibrosis hati pada sekitar sepertiga dari pasien. Namun, APRI dan Forns’ score, walaupun sedikit kurang akurat, namun memberi keuntungan dengan kemudahannya dalam penggunaannya (Kun, et al., 2010), (Bourliere, et al., 2006), (Leroy, et al., 2007). Hepatitis B kronik merupakan penyebab infeksius tersering pada penyakit hati kronik di dunia. Lebih dari 400 juta orang menderita penyakit hepatitis kronik yang terinfeksi oleh virus hepatitis B (Kun, et al., 2010). Virus tersebut bertanggung jawab
Universitas Sumatera Utara
terhadap lebih dari 300.000 kasus kanker hati tiap tahunnya dan dengan jumlah yang sama untuk timbulnya perdarahan gastrointestinal dan asites (Lai, et al., 2003). Model prediktif didesain secara khusus untuk pasien hepatitis B kronik telah dimintakan oleh Shanghai Liver Fibrosis Group (SLFG) (Zeng, et al., 2005), Hui et al (Hui, et al., 2005). dan Mohamadnejad et al (Mohamadnejad, et al., 2006). Namun sedikit dari model-model yang telah disebutkan diatas yang diimplementasikan dan divalidasikan secara luas pada praktikal klinis (Kun, et al., 2010).
2.2 Patogenesis Fibrosis Hati Fibrosis hati adalah akumulasi interstisial atau jaringan parut matriks ekstraselular (MES) setelah jejas hati akut atau kronik (Grigorescu, 2010), (Kwang, et al., 2010). Fibrosis hati akan berlanjut menyebabkan kerusakan arsitektur hati, gangguan fungsi hati dan pembentukan nodul dengan proses akhir sebagai sirosis hati. Di Amerika Serikat prevalensinya mencapai 360.000 kasus per tahun. Di Indonesia, pada penelitian oleh Tarigan dkk, diperoleh angka kejadian sirosis hati sebesar 72,7% dari seluruh kasus penyakit hati yang dirawat inap. Perbandingan jumlah kasus antara pria dan wanita sebesar 2,2 : 1 dan kasus terbanyak terjadi pada usia dekade kelima (Amirudin, 2007). Patogenesis fibrosis hati merupakan suatu proses yang sangat kompleks yang diakibatkan oleh respon penyembuhan setelah timbulnya penyakit hati akut dan merupakan proses lanjut penyakit hati kronis. Patogenesis fibrosis hati melibatkan Hepatic Stellate Cells (HSC) sebagai sel utama, sel Kupffer, bermacam-macam mediator, sitokin, growth factors dan inhibitornya serta berbagai jenis kolagen. Proses fibrosis hati dikaitkan dengan respon inflamasi terhadap Hepatic Stellate Cells dan adanya akumulasi
Universitas Sumatera Utara
matriks ekstraselular (Amirudin, 2007). Fibrosis hati dimulai dengan aktivasi Hepatic Stellate Cells yang meliputi 3 fase yaitu initiation phase, perpetuation phase dan resolution phase, sampai terjadinya akumulasi jaringan ikat patologis. Prosesnya meliputi interaksi antara Hepatic Stellate Cells dengan sel-sel pertahanan tubuh seperti leukosit dan sel Kupffer, pelepasan berbagai mediator inflamasi, sitokin dan growth factors terutama TGF-b1, berbagai oksidan dan peroksida lipid, perubahan komposisi matriks ekstraselular dan degradasinya, dan diakhiri inaktivasi
Hepatic Stellate Cells serta
apoptosis (Kun, et al., 2010) ,(Amirudin, 2007). Diagnosis fibrosis hati didasarkan pada diagnosis penyakit dasar, aktivasi Hepatic Stellate Cells dengan berbagai penandanya, pemeriksaan degradasi matriks ekstraselular dan enzim yang berperan, serta adanya fibrosis yang dapat dinilai secara pasti dengan biopsi hati (Amirudin, 2007). Adapun gambaran histopatologik hepatitis B kronik dimana pada segitiga portal terdapat infiltrasi sel radang terutama limfosit dan sel plasma , dapat terjadi fibrosis yang makin meningkat sesuai dengan derajat keparahan penyakit. Sel radang dapat masuk ke dalam lobulus sehingga terjadi erosi limitting plate, sel-sel hati dapat mengalami degenerasi baluning dan dapat terjadi badan asidofil (acidophilic bodies) (Soemohardjo dan Gunawan, 2009). Untuk menilai derajat keparahan hepatitis serta untuk menentukan prognosis, dahulu gambaran histopatologik hepatitis B kronik dibagi menjadi 3 kelompok yaitu hepatitis kronik persisten, hepatitis kronik aktif dan hepatitis kronik lobular. Klasifikasi di atas telah dipakai berpuluh-puluh tahun oleh para ahli di seluruh dunia tetapi ternyata kemudian tidak bisa dipertahankan lagi karena terlalu kasar dan hasilnya sering overlapping (Soemohardjo dan Gunawan, 2009).
Universitas Sumatera Utara
2.3 Penentuan Stadium Fibrosis Hati 2.3.1 Metode Invasif Berbagai jenis sistem scoring telah dipakai untuk menilai stadium fibrosis hati dari hasil biopsi. Salah satu klasifikasi histologik untuk menilai aktivitas peradangan yang terkenal adalah Histological Activity Index (HAI), yang ditemukan oleh Knodell pada tahun 1981, yang dapat dilihat pada Tabel1. Dengan demikian skor HAI yang mungkin adalah 0-18. Pada tabel 2 dapat dilihat hubungan antara skor indeks aktivitas histologik dengan derajat hepatitis kronik (Soemohardjo dan Gunawan, 2009), (Franciscus, 2010). Tabel 2.1. Indeks Aktivitas Histologik (HAI) (Soemohardjo dan Gunawan, 2009)
Komponen
Skor
Nekrosis periportal dengan atau tanpa bridging necrosis
0-10
Regenerasi intralobular dan nekrosis fokal
0-4
Inflamasi portal
0-4
Tabel 2.2. Hubungan antara Skor HAI dengan Derajat Hepatitis Kronik dengan menyingkirkan fibrosis (Soemohardjo dan Gunawan, 2009) HAI
Diagnosis
1-3
Minimal
4-8
Ringan
Universitas Sumatera Utara
9-12
Sedang
13-18
Berat
Belakangan dibuat suatu pembagian baru berdasarkan skor yang menunjukkan intensitas nekrosis (grade) dan progresi struktural penyakit hati (stage) yang dinyatakan dalam bentuk kuantitatif yang lebih sederhana dan lebih sering dipakai. Berikut ini rincian dari sistem skor tersebut: (Amirudin, 2007), (Soemohardjo dan Gunawan, 2009), (Franciscus, 2010)
Tabel 2.3. Aktivitas peradangan portal dan lobular (Amirudin, 2007), (Soemohardjo dan Gunawan, 2009), (Franciscus, 2010) Grade
Patologi
0
Tidak ada peradangan portal atau peradangan portal minimal
1
Peradangan portal tanpa nekrosis atau peradangan lobular tanpa nekrosis
2
Limitting plate necrosis ringan (Interface Hepatitis ringan) dengan atau nekrosis lobular yang bersifat fokal
3
Limitting plate necrosis sedang (Interface Hepatitis sedang) dan atau nekrosis fokal berat (Confluent necrosis)
4
Limitting plate necrosis berat (Interface Hepatitis berat) dan atau bridging necrosis
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.4. Fibrosis (Sistem skoring METAVIR) (Amirudin, 2007), (Soemohardjo dan Gunawan, 2009), (Franciscus, 2010) Stage
Patologi
0
Tidak ada fibrosis
1
Fibrosis terbatas pada zona portal yang melebar
2
Pembentukan septa periportal atau septa portal-portal dengan arsitektur yang masih utuh
3
Distorsi arsitektur (Fibrosis septa bridging) tanpa sirosis yang jelas
4
Kemungkinan sirosis atau pasti sirosis
Baku emas untuk mendiagnosis fibrosis hati adalah biopsi hati, oleh karena berbagai kendala sehingga dikembangkan berbagai jenis pemeriksaan untuk membantu menutupi kelemahan pemeriksaan tersebut. Bukti-bukti penelitian biomolekuler dalam dua dekade terakhir menunjukkan bahwa sirosis hati dapat reversibel, hal ini memberikan harapan untuk memperbaiki penatalaksanaan fibrosis hati (Grigorescu, 2010), (Kwang, et al., 2010), (Kun, et al., 2010).
Universitas Sumatera Utara
2.3.2 Metode Noninvasif 2.3.2.1 Fibroscan Fibroscan merupakan suatu teknologi elastrografi yang mampu menentukan stadium fibrosis hati lebih sensitif dengan mengukur rerata kekakuan hati dimana kekakuan hati dihubungkan dengan derajat fibrosis. Keuntungan fibroscan ialah noninvasif, cepat , tidak ada rasa sakit dan kesalahan interpretasi lebih sedikit dibandingkan dengan biopsi hati (Grigorescu, 2010), (Al-Ghamdi, 2010). Beberapa
penelitian yang
luas baru-baru
ini,
telah
menunjukkan
bahwa
pengukuran pengerasan hati dengan fibroscan merupakan alternatif yang baik pada biopsi hati. Derajat fibrosis hati dapat diukur dengan mudah dan andal pada lebih dari 95% pasien.
Pada
pasien sirosis,
pengukuran kekakuan
hati
berkisar
antara 12,5-
75,5 kPa. Namun, relevansi klinis dari nilai-nilai ini tidak diketahui. Bedossa, dkk tahun 1996
menyatakan
nilai
off adalah 7,1 kPa untuk
fibroscan berkisar 2,4-75,4 kilopascal dengan F ≥ 2; 9,5 kPa untuk
F ≥3;
nilai
dan 12,5 kPa untuk
CutF=4
(didefinisikan menurut sistem klasifikasi METAVIR) (Al-Ghamdi, 2010). Ketelitian fibroscan 91,2% lebih tinggi dibandingkan dengan biopsi hati. Gomez Dominguez dkk tahun 2006 meneliti bahwa fibroscan memiliki nilai sensitifitas 85% untuk menilai fibrosis hati dengan nilai cut offs 4,0 kPa. AUROCs (interval kepercayaan 95%) adalah 0,80 (0,75-0,84) untuk pasien dengan significant fibrosis (F> 2); 0,90 (0,86-0,93) untuk pasien dengan advanced fibrosis (F3) dan 0,96 (0,94-0,98) untuk pasien dengan sirosis (F4). Dengan terdeteksi dengan
menggunakan nilai cut-off 17,6 kPa,
nilai
prediksi positif
(PPV)
dan nilai
pasien
dengan
prediksi negatif
sirosis, (NPV)
sebesar 90% (Al-Ghamdi, 2010).
Universitas Sumatera Utara
Erhardt dkk. menemukan
bahwa hasil fibroscan
berkorelasi positif dengan
skor histologi fibrosis hati pada 147 pasien (r = 0,8, 95% derajat kepercayaan (Confidence adalah
Interval): 0,72-0,85;
P
value <
untuk ≥ F3 fibrosis (95% CI:
0,91
0,001).
0,85-0,96)
sirosis (95% CI: 0,90-0,98). Dengan menggunakan
nilai
AUROCs
dan
cut-off
0,94 13
kPa
untuk untuk
mendeteksi sirosis hati, akan didapati sensitivitas 90%, spesifisitas 82%, PPV 71% dan NPV sebesar 95% (Al-Ghamdi, 2010). Ganne-Carri dan
kelompoknya
menilai keakuratan
pengukuran
pengerasan
hati dengan fibroscan untuk diagnosis sirosis pada 1.257 pasien penyakit hati kronis dengan
berbagai
sebab.
sebagai spesimen biopsi hatinya
tidak
Setelah
mengeksklusi
(132 pasien) dan
mereka
pasien yang
representatif (118 pasien), didapati
yang
tidak
cocok
pengukuran pengerasan hasil
AUROC adalah
0,95 (95% CI, 0,93-0,96) untuk diagnosis sirosis. Diperoleh nilai cut-off fibroscan dengan akurasi diagnosis yang optimal adalah 14,6 kPa (PPV dan NPV: 74% dan 96%, masingmasing). Mereka kemudian menyimpulkan bahwa fibroscan adalah metode yang dapat diandalkan untuk diagnosis sirosis pada pasien dengan penyakit hati kronis, terutama dengan cut-off 14,6 kPa (Al-Ghamdi, 2010). Ziol dan pemeriksaan
kelompoknya histologi
pada
membandingkan 327
pasien.
elastografi Mereka
dengan
menemukan
hasil bahwa
pengukuran pengerasan hati dan gradasi fibrosis berkorelasi dengan baik, dengan nilai cut-off optimal yang ditentukan pada 8,7 dan 14,5 kPa untuk F ≥ 2 dan F = 4 (Al-Ghamdi, 2010). Fibroscan (elastografi) yang dipergunakan pada penelitian telah tersedia di
Universitas Sumatera Utara
RSHAM Medan dengan merek Echosens, dan telah dioperasikan oleh Prof. dr. Lukman Hakim Zein SpPD-KGEH. Pada penelitian ini, cut-off yang dipergunakan sesuai dengan cut-off dari Ledinghen dan Vergniol, tahun 2008 dengan nilai cut-off yang memang sesuai dengan penelitian yang telah dipublikasikan sebelumnya, dengan F0-1 =0- 7,1 kPa; F2 = >7,1-9,3 kPa; F3 = >9,3-14,5 kPa; F4 = >14,5 kPa.
Gambar 2.1. Transien elastografi (Fibroscan) (Ledinghen dan Vergniol, 2008)
Universitas Sumatera Utara
2.3.2.2 Petanda (marker) biokimia Serum marker dapat digunakan untuk menentukan fibrosis hati. Serum marker untuk fibrosis hati dibagi atas 2 kelompok yaitu petanda langsung dan tidak langsung: (Grigorescu, 2009), (Amirudin, 2007) A. Petanda tidak langsung Studi studi sebelumnya telah mengevaluasi petanda noninvasif untuk memprediksi keberadaan fibrosis atau sirosis pada penderita hepatitis kronis, seperti : 1. Rasio AST/ALT ( indeks AAR: Rasio AST/ALT lebih besar dari 1 dengan kuat menyarankan sirosis dengan sensitivitas 78% dan spesifisitas 97% 2. Skor
PGA:
Kombinasi
pengukuran
indeks
protombin,
GGT
dan
apolipoprotein A1 (PGA). 3. Fibrotest, pemeriksaan melibatkan alfa-2 makroglobulin, alfa2 globulin, gamma globulin, apolipoprotein A1, gamma GT, dan bilirubin total. 4. Acti Test, pemeriksaan memodifikasi Fibrotest dengan menyertakan ALT 5. Skor Forns ( indeks Forns), berdasarkan 4 variabel umum dijumpai di kloinik meliputi jumlah trombosit, umur, level kolesterol, dan GGT. 6. Rasio AST/trombosit (indeks APRI), model ini konsisten dan objektif pada laboratorium rutin pasien pasien dengan hati kronis. 7. Fibroindex menggunakan variable trombosit, AST dan YGlobulin. 8. Kombinasi AST,INR, trombosit( indeks GUCI). 9. Simple score (S index) dengan variabel GGT, platelet dan albumin. B.Petanda langsung (direct marker)
Universitas Sumatera Utara
Petanda langsung seperti : Collagen type IV, Hyaluronic acid, Procollagen III peptide, Platelet.
2.3.2.3 Simple score (S index) Simple score (S index) merupakan petanda fibrosis hati noninvasif, pertama kali dikemukakan oleh Kun Zhou, dkk, sebagai tes laboratorium rutin dalm memprediksi fibrosis hati pada pasien dengan hepatitis B kronik. Simple score (S index) menggunakan variabel GGT (Gamma-Glutamyl Transferase), albumin, dan jumlah trombosit (platelet) (Kun, et al., 2010). Rumus untuk menghitung skor adalah: (Kun, et al., 2010) S-index = 1000 x GGT/(PLT x ALB2) Unit dalam formula: GGT, IU/L; PLT, 109/L; ALB, g/L. Pada penelitian Kun Zhou, dkk dinyatakan cut-off value dari S index adalah sebagai berikut:
Tabel 2.5. Nilai cut off S index berdasarkan penelitian (Kun, et al., 2010) Significant Fibrosis
Absence
Presence
S index
< 0,1
≥ 0,5
Advanced Fibrosis
Absence
Presence
< 0,2
≥ 0,6
(F2-4)
(F3-4) S index
Universitas Sumatera Utara
Cirrhosis
Absence
Presence
< 0,3
≥ 1,5
(F4) S index
Hasil penelitian adalah sebagai berikut: (Kun, et al., 2010) dalam memprediksi significant fibrosis, AUROCs adalah 0.812 (S index), 0.808 (SLFG model), 0.778 (Fibrometer), 0.765 (Hepascore), 0.735 (Hui model), 0.719 (Forns score) dan 0.717 (APRI), dalam memprediksi advanced fibrosis, AUROCs adalah 0.890 (S index), 0.887 (SLFG model), 0.876 (Fibrometer), 0.873 (Forns score), 0.872 (Hui model), 0.818 (Hepascore) dan 0.817 (APRI), dalam memprediksi sirosis, AUROCs adalah 0.936 (Hui model), 0.890 (S index), 0.888 (Forns score), 0.872 (SLFG model), 0.836 (Fibrometer), 0.790 (APRI) dan 0.780 (Hepascore). Pada penelitian (Kun, et al., 2010) dinyatakan bahwa pada umumnya model noninvasif dapat dibagi atas 2 jenis, yakni model yang hanya mencakup tes rutin sederhana (S index, Hui model, Forns score dan APRI) dan model yang mencakup tes spesial seperti HA/ asam hialuronat dan A2M/ alfa 2 makroglobulin (SLFG model, Fibrometer dan Hepascore). Secara kasar dapat dinyatakan bahwa model dengan tes spesial akan memiliki AUROC yang lebih tinggi dibandingkan tes sederhana, terutama dalam mengidentifikasi significant fibrosis. Namun pada model yang dikonstruksikan pada pasien hepatitis B kronik didapatkan hasil yang lebih superior bila dibandingkan dengan model lainnya.
Universitas Sumatera Utara