BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI 2.1
Tinjauan Pustaka Wibisono (2013:71) menjelaskan bahwa tinjauan pustaka merupakan
bagian yang digunakan oleh peneliti untuk membandingkan berbagai macam pendekatan dalam penelitiannya. Hal ini bertujuan untuk mencari kebenaran yang akan diacu dalam penelitian atau mencari kejelasan slot yang dapat dimasuki oleh peneliti. 2.1.1
Terjemahan sebagai Tindak Komunikasi Nida dan Taber (1974:12), berpendapat “translating consists in
reproducing in the receptor language the closest natural equivalent of the sourcelanguage message, first in terms of meaning and secondly in terms of style”, maksudnya terjemahan adalah usaha untuk mereproduksi ke dalam bahasa penerima (receptor language) pesan yang memiliki perpadanan yang tedekat dan terwajar dari pesan bahasa sumber dengan memperhatikan terlebih dahulu makna pesan (meaning) dari pada gaya pesan (style). Nida dan Taber menggunakan istilah ‘receptor’ (penerima) yang dipahami sebagai usaha untuk mendefinisikan terjemahan sebagai sebuah tindak komunikasi (an act of communication) dengan penulis dan penerjemah TSu (the original author) sebagai pengirim atau penutur (sender) beserta pembaca (audience) TSu sebagai penerima atau petutur (receptor). Penerjemah bertindak sebagai penutur yang mengungkapkan kembali makna TSu ke dalam TSa kepada para pembaca (audience) TSa yang bertindak sebagai petutur (receptor).
Universitas Sumatera Utara
Larson (1984:3-6) mendukung pendapat tersebut dengan menyatakan “translation consists of translating the meaning of the source language into the receptor language”, maksudnya terjemahan adalah upaya mengalihkan makna dari bahasa sumber ke bahasa penerima (receptor language). Larson mengatakan bahwa terjemahan yang baik adalah terjemahan yang menggunakan bentuk terwajar bahasa sasaran, sedapat mungkin mengkomunikasikan kepada sidang pembaca TSa makna yang sama seperti yang dipahami sidang pembaca TSu dan mempertahankan dinamika teks sumber yang berarti mengupayakan agar TSa disajikan sedemikian rupa agar sidang pembaca TSa dapat mencapai respon yang sama seperti yang dicapai oleh sidang pembaca TSu. Larson juga menjelaskan prosedur terjemahan terdiri atas tahap analisis bentuk leksikal, struktur gramatika, situasi komunikasi, dan konteks budaya BSu untuk memahami TSu, tahap menentukan makna TSu, dan tahap rekonstruksi TSu ke dalam TSa. Berhubungan dengan definisi yang dipaparkan oleh para pakar di atas, House dan Blum Kulka (1986:7) juga memandang terjemahan sebagai sebuah tindak komunikasi, terutama tindak komunikasi antarbahasa dan komunikasi anatarbudaya. Oleh karena itu, penerjemah harus memperhatikan beberapa hal, seperti sistem bahasa dan sistem sosial dari dua bahasa dan dua budaya yang berbeda agar hasil terjemahannya (the effects) dapat diterima pembaca (recipients) sesuai dengan pesan yang terdapat di dalam Bsu. Pendapat House dan Blum Kulka dijelaskan lebih rinci oleh Hatim (1997:1) yang mendefinisikan terjemahan sebagai “an act of communication which attempts to relay, across cultural and linguistic boundaries, another act of communication (which may have been intended for different purpose and different
Universitas Sumatera Utara
readers or hearers)”, artinya proses terjemahan adalah tindak komunikasi yang dilakukan oleh penerjemah kepada pembaca yang memiliki budaya dan bahasa yang berbeda dengan TSu. Dari definisi ini, terjemahan dipahami sebagai sebuah usaha untuk mengkomunikasikan sebuah tindak komunikasi bahasa sumber yang digunakan oleh penulis TSu ke dalam tindak komunikasi bahasa sasaran yang digunakan oleh penerjemah kepada pembaca TSa. Tujuan dan karakteristik tindak komunikasi bahasa sumber bisa jadi berbeda dengan tindak komunikasi bahasa sasaran. Dengan demikian, usaha untuk mencari perpadanan terjemahan juga harus memperhitungkan konteks komunikasi di dalam teks (tempat, waktu, dan konteks budaya TSu dan TSa) dan di luar teks (tujuan terjemahan dan kebutuhan pembaca). Selain itu, Newmark (1988:5), juga menjelaskan “often, though not by any means always, it is rendering the meaning of a text into another language in the way the author intended the text”, maksudnya terjemahan merupakan pengalihan (rendering into) makna sebuah teks dari bahasa sumber ke bahasa sasaran sesuai dengan maksud penulis teks sumber tersebut. Definisi ini merupakan penyederhanaan dari praktik terjemahan yang ternyata lebih kompleks karena melibatkan banyak hal, antara lain: (1) gaya bahasa atau idiolek penulis TSu dan TSa, (2) aturan penggunaan unsur-unsur gramatika dan leksikal yang lazim digunakan dalam BSu dan BSa sesuai dengan konteks penggunaan unsur-unsur tersebut, (3) unsur-unsur dalam TSu dan TSa yang memiliki acuan yang hanya khusus ada dalam budaya BSu dan BSa, (4) aturan format penulisan TSu dan TSa yang terkait dengan kelaziman jenis teks yang berlaku dalam BSu dan BSa, (5) kebenaran isi terjemahan yang mungkin berbeda dengan TSu dan harapan sidang
Universitas Sumatera Utara
pembaca TSa, dan (6) penilaian dan pendapat penerjemah mengenai TSu yang dapat mempengaruhi isi TSa. Selain itu, Newmark menambahkan ada banyak hal lain yang dapat mempengaruhi terjemahan, seperti: pengalihan unsur-unsur puitis, pengalihan bahasa kiasan dan pengalihan makna pragmatis yang sangat dipengaruhi oleh konteks yang melatarbelakangi dan mewadahi BSu dan BSa. Berangkat dari definisi para pakar tersebut, dapat disimpulkan bahwa terjemahan merupakan suatu bentuk tindak komunikasi yang mengalihkan makna dan satuan makna TSu ke dalam TSa dengan menggunakan padanan yang sesuai dengan sistem bahasa dan sistem sosial dari dua bahasa dan dua budaya yang berbeda agar hasil terjemahannya (the effects) dapat diterima pembaca (recipients). Nosi terjemahan
sebagai tindak komunikasi seperti
yang telah
dikemukakan di atas, dapat dijadikan dasar penelitian terjemahan yang menggunakan ancangan pragmatik. 2.1.2
Subtitle Di dalam Webster (1996:1336), dijelaskan “Subtitle is one or more lines of
text, as a translation of a dialogue in a foreign language, appearing usually at the bottom of a film
or video image”, maksudnya subtitle adalah suatu bentuk
terjemahan teks dari dialog atau komentar yang menggunakan bahasa asing dalam film, program televisi, dan game. Subtitle biasanya diletakan di bagian bawah layar. Subtitle tidak hanya terjemahan dari dialog yang mengunakan bahasa asing tetapi juga dialog yang menggunakan ujaran bahasa yang berbeda dari penonton (audience) yang tidak dapat memahami dialog yang diucapkan. Selain itu, subtitle dapat juga menjadi penjelas dari dialog dalam bahasa yang sama.
Universitas Sumatera Utara
Kusumastuti (2011:48) membagi subtitle menjadi dua jenis, yaitu: (1) hardsub dan (2) softsub. Hardsub adalah subtitle yang telah digabungkan dengan videonya sehingga tidak dapat dilepas atau disunting lagi. Softsub dibagi menjadi dua, yaitu (1) internal dan (2) external. Internal adalah yang sudah digabung dengan file videonya tapi masih bisa dilepas, sedangkan eksternal adalah yang terpisah dari file videonya. Linde (1999:1) membedakan subtitle menjadi dua jenis, yaitu: (1) intralingual subtitle dan (2) interlingual subtitle. Intralingual subtitle merupakan teks terjemahan dengan bahasa yang sama dengan bahasa yang digunakan oleh aktor.
Interlingual subtitle merupakan teks terjemahan dengan bahasa yang
berbeda dengan bahasa yang digunakan oleh aktor. Linde (1999:11) memaparkan ada sepuluh strategi yang dapat digunakan oleh penerjemah dalam subtitling, antara lain: (1) penambahan (expansion), (2) parafrase (paraphrase), (3) transfer (transfer), (4) imitasi (imitation), (5) transkripsi (transcription), (6) pemampatan (condensation), (7) desimasi (desimation), (8) penghapusan (deletion), (9) penjinakan (taming), dan
(10)
angkat tangan (resignation). Penambahan berarti menambahkan keterangan pada hasil terjemahan. Parafrase berarti menerangkan bagian kalimat sesuai dengan pemahaman penerjemah. Transfer berarti menerjemahkan secara harfiah tanpa menambahkan keterangan lain. Imitasi berarti menulis ulang kata atau istilah sesuai dengan asli. Transkripsi berarti menulis ulang bunyi tertentu dalam bentuk teks tertulis. Pemampatan berarti meringkas ujaran yang diujarkan oleh aktor. Desimasi berarti meringkas ujaran yang terlalu panjang yang diujarkan oleh aktor. Penghapusan berarti menghilangkan sebagian ujaran yang diujarkan oleh aktor.
Universitas Sumatera Utara
Penjinakan berarti menerjemahkan makna kata yang kasar menjadi makna kata yang halus. Angkat tangan berarti menghilangkan makna ujaran karena ujaran tersebut tidak dapat diterjemahkan. 2.1.3
Penilaian Hasil Terjemahan Relativitas
penilaian
baik-salah
(correctness)
terjemahan
dapat
dikembalikan kepada dua dimensi, yaitu ‘untuk siapa’ terjemahan itu dibuat dan ‘untuk tujuan apa’ terjemahan itu dihasilkan (Hoed, 1006:51). Dimensi untuk siapa (for whom) terjemahan itu disimpulkan dari nosi Nida dan Taber (1974:1) mengenai terjemahan baik, yaitu dengan mengedepankan derajat pemahaman pembaca yang sudah ditetapkan akan menjadi sidang pembaca TSa. Dimensi untuk apa terjemahan itu dihasilkan bermuara pada konsep skopos (tujuan) yang dikemukan Vermeer (1978, dalam Baker 1992:236; Munday 2001:78). Menurut Hatim (2001:74) konsep skopos sangat dekat dengan ranah pragmatik karena penerapan mereka sama-sama bergantung kepada ‘maksud’ (intention) dan ‘tindakan’ (action) yang dilakukan untuk mencapai maksud tersebut. Menurut Nababan (1999:83-84) menilai hasil terjemahan berarti mengkritik karya terjemahan. Produk terjemahan kadang kala juga tampak baik tetapi setelah dibaca dan dibandingkan dengan karya asli barulah diketahui bahwa di dalamnya terdapat banyak kesalahan. Kritik terhadap suatu karya terjemahan bertujuan untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan produk terjemahan. Picken (1989:100) menjelaskan tidak memadainya hasil terjemahan disebabkan oleh kurangnya pengetahuan penerjemah tentang Bsa dan penerjemah salah menginterpretasi pesan pada TSu. Taryadi (2003:4-5) menjelaskan ada tiga kriteria kesalahan mendasar terjemahan, yaitu: (1) kesalahan mengartikan kata,
Universitas Sumatera Utara
frasa, klausa dan kalimat dan mengalihkannya ke dalam TSa, (2) kesalahan yang terkait dengan false friends (faux amis) yaitu kata-kata di dalam BSu dan BSa yang secara morfologis dan fonologis sangat mirip tetapi secara semantis memiliki arti yang sama sekali berbeda, dan (3) kesalahan mengartikan idiom. Larson (1984:485) mengatakan bahwa produk terjemahan yang baik harus memenuhi kriteria ketepatan (accuracy), kejelasan (clarity) dan kewajaran (naturalness). Ketepatan mengacu kepada keakuratan pemilihan bentuk leksikon dan gramatika dalam usaha pengalihan pesan TSu ke dalam TSa. Kejelasan mengacu kepada derajat mudah atau tidaknya pemahaman pembaca terhadap terjemahan (keterbacaan terjemahan). Kewajaran merujuk kepada kelaziman penggunaan kaidah-kaidah BSa sehingga TSa terkesan seperti karya asli, bukan terjemahan. Dengan kriteria ketepatan, terjemahan dinilai apakah bentuk-bentuk leksikon dan gramatika di dalam TSu telah dialihkan dengan tepat ke dalam TSa. Pemilihan bentuk leksikon dan bentuk gramatika yang tidak tepat berkontribusi kepada tidak memadainya hasil terjemahan yang sangat mendasar. Namun, ketepatan saja belum tentu membuat pembaca TSa memahami pesan TSa seperti pembaca TSu memahami pesan TSu. Ada kriteria kedua yang harus dipenuhi, yaitu kriteria kejelasan. Bentuk leksikon dan gramatika yang menjalin pesan TSu harus dialihkan dengan ketepatan tinggi ke dalam TSa dengan memperhatikan kejelasan pesan yang dialihkan ke dalam TSa agar pembaca dengan mudah memahaminya. Selain ketepatan dan kejelasan, TSa juga harus terbaca secara wajar. Kewajaran di sini mengacu kepada bentuk leksikon dan gramatika yang lazim atau wajar digunakan di dalam BSa. Makin wajar TSa, makin terjamin pemahaman TSa.
Universitas Sumatera Utara
Hasil terjemahan yang gagal memenuhi kriteria kualitas terjemahan yang baik perlu direvisi. Hal tersebut dinyatakan oleh Mossop (2001:1) yang menyatakan “one of the reason why translation need to be revised is a translation might fail to conform to society’s linguistic rules, or rules for translating, or rules for writing in particular genre”. Ada dua cara yang dapat dilakukan untuk melakukan revisi terhadap hasil terjemahan, yaitu (1) mengubah unsur kebahasaan hasil terjemahan yang telah ada agar unsur kebahasaan teks tersebut sesuai dengan unsur kebahasan yang lazim bagi para pembaca atau pendengar teks sasaran dan (2) memahami teks sumber dan menghasilkan terjemahan baru yang dianggap sesuai dengan makna yang terdapat pada teks sumber. Revisi terjemahan dilakukan untuk meningkatkan kualitas hasil terjemahan agar memenuhi kriteria kualitas terjemahan yang baik. 2.1.4
Kegagalan Pragmatik Banyak ahli telah membuat batasan tentang pragmatik. Beberapa
pengertian akan disajikan pada bagian ini agar diperoleh gambaran yang jelas apa sebenarnya yang dimaksud dengan pragmatik. Crystal (1987:120) menyatakan “Pragmatics studies the factors that govern our choice of language in social interaction and the effect of our choice on others. In theory, we can say anything we like. In practice, we follow a large number of social rules (most of them unconsciously) that constrain the way we speak”, maksudnya pragmatik mengkaji faktor-faktor yang mendorong pilihan bahasa dalam interaksi sosial dan pengaruh pilihan tersebut pada mitra tutur. Di dalam teori, kita dapat mengatakan sesuatu sesuka kita. Di dalam praktik, kita harus mengikuti sejumlah aturan sosial (sebagian besarnya tidak disadari) yang harus kita ikuti.
Universitas Sumatera Utara
Levinson (1983:7) memberikan definisi pragmatik sebagai “the study of language from a functional perspective, that is, that it attempts to explain facets of linguistic structure by reference to non-linguistic pressures and causes”, maksudnya pragmatik adalah kajian bahasa dari perspektif fungsional. Pragmatik berusaha menjelaskan aspek-aspek struktur linguistik dengan mengacu pada pengaruh-pengaruh dan gejala-gejala non-linguistik. Pada bagian lain, Levinson (1983:9-27) memberikan batasan tentang pragmatik, antara lain: (1) pragmatik merupakan studi bahasa yang mempelajari relasi bahasa dengan konteksnya, (2) pragmatik adalah kajian tentang aspek-aspek makna yang tidak tercakup dalam teori semantik, (3) pragmatik adalah studi tentang hubungan antara bahasa dan konteks yang menjadi dasar penentuan pemahamannya, (4) pragmatik adalah studi tentang kemampuan pemakai bahasa untuk menyesuaikan kalimat-kalimat yang digunakannya dengan konteks yang cocok, dan (5) pragmatik adalah studi tentang deiksis, implikatur, presuposisi, tindak tutur, dan aspek-aspek struktur wacana. Sementara itu, Wijana (1996:2) mengatakan bahwa pragmatik merupakan cabang linguistik yang mengkaji struktur bahasa secara eksternal, maksudnya, bagaimana satuan lingual tertentu digunakan dalam komunikasi yang sebenarnya. Parker membedakan pragmatik dengan studi tata bahasa yang dianggapnya sebagai studi seluk-beluk bahasa secara internal. Studi tata bahasa tidak perlu dikaitkan dengan konteks sedangkan studi pragmatik harus dikaitkan dengan konteks. Batasan yang dikemukakan oleh Wijana tersebut didukung oleh Purwo (1990:16) bahwa studi tata bahasa dianggap sebagai studi yang bebas konteks (context independent). Sebaliknya, studi pemakaian tata bahasa dalam komunikasi yang sebenarnya harus dikaitkan dengan konteks yang melatarbelakangi dan
Universitas Sumatera Utara
mewadahinya. Studi yang demikian dapat disebut sebagai studi yang terikat konteks (context dependent). Mey (1993:42) memberikan batasan pragmatik yang tidak jauh berbeda dengan pengertian yang disampaikan oleh para pakar sebelumnya “Pragmatics is the study of the conditions of human language uses as these are determined by the context of society”, maksudnya pragmatik merupakan studi tentang kondisikondisi pemakaian bahasa manusia yang ditentukan oleh konteks masyarakat. Kridalaksana
(2001:176-177)
membedakan
antara
pragmatik
dan
pragmatika. Pragmatik merupakan (1) syarat-syarat yang mengakibatkan serasitidaknya pemakaian bahasa dalam komunikasi, (2) aspek-aspek pemakaian bahasa atau konteks luar bahasa yang memberikan sumbangan kepada makna ujaran. Sementara itu, pragmatika dijelaskan sebagai (1) cabang semiotika yang mempelajari asal-usul, pemakaian, dan akibat lambang dan tanda, (2) ilmu yang menyelidiki pertuturan, konteksnya, dan maknanya. Dari batasan-batasan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pragmatik pada
dasarnya
sangat
ditentukan
oleh
konteks
yang
mewadahi
dan
melatarbelakangi bahasa itu. Konteks yang dimaksud mencakup dua macam hal, yakni konteks yang bersifat sosial (social) dan konteks yang bersifat sosietal (societal). Konteks sosial (social context) merupakan konteks yang timbul sebagai akibat dari munculnya interaksi antar anggota masyarakat dalam suatu masyarakat sosial dan budaya tertentu. Konteks sosietal (societal context) adalah konteks yang faktor penentunya adalah kedudukan (rank) anggota masyarakat dalam institusi-institusi sosial yang ada dalam masyarakat sosial dan budaya tertentu. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa menurut pakar ini dasar dari munculnya
Universitas Sumatera Utara
konteks sosietal adalah adanya kekuasaan (power), sedangkan dasar dari konteks sosial adalah adanya solidaritas (solidarity) (Rahardi, 2000:47-48). Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa pragmatik adalah sebuah kajian mengenai kemampuan pengguna bahasa untuk menyesuaikan
ujaran
yang
digunakan
sesuai
dengan
konteks
yang
melatarbelakangi dan mewadahi ujaran tersebut. Leech (1993:15-16) menyatakan pragmatik terdiri atas pragmalinguistik dan sosiopragmatik. Pragmalinguistik adalah suatu bidang yang lebih banyak mengkaji aspek linguistiknya. Bidang ini mengkaji sumber-sumber linguistik tertentu yang disediakan oleh suatu bahasa untuk menyampaikan ilokusi-ilokusi tertentu. Hal yang ditelaah pada bidang ini adalah mengenai kondisi-kondisi umum penggunaan komunikatif bahasa. Sosiopragmatik adalah telaah mengenai kondisi-kondisi setempat atau lokal yang lebih khusus mengenai penggunaan bahasa. Dalam masyarakat setempat yang lebih khusus ini jelas terlihat bahwa prinsip koperatif atau prinsip kerjasama dan prinsip kesopansantunan berlangsung secara berubah-ubah dalam kebudayaan yang berbeda-beda atau aneka masyarakat bahasa, dalam situasi-situasi sosial yang berbeda-beda, dan diantara kelas-kelas sosial yang berbeda-beda. Dengan kata lain sosiopragmatik merupakan tapal batas sosiologi dan pragmatik. Pragmatik
(Tata Bahasa)
Pragmalinguistik
Sosiopragmatik
(Sosiologi)
Gambar 2.1 Pragmalinguistik dan sosiopragmatik (Leech, 1993:16)
Universitas Sumatera Utara
Thomas
(1983:91-92)
mengemukakan
bahwa
dalam
ranah
pragmalinguistik terdapat tiga area komunikasi, yaitu (1) membuat ketaksaan makna menjadi seminimal mungkin dengan adanya konteks situasi; (2) memberikan makna selengkapnya, terutama bagi tuturan yang mengandung pemarkah kohesi elipsis atau deiksis atau bahasa kiasan, seperti metafora dan metonimi; dan (3) membedakan antara makna kalimat dan makna penutur. Dalam ranah sosiopragmatik terdapat dua area komunikasi, yaitu (1) mengkaji bagaimana petutur dapat menarik kesimpulan makna yang sesuai; dan (2) mengkaji bagaimana penutur berbicara demikian untuk mengungkapkan maksud tertentu. Dengan adanya identifikasi atas kelima area komunikasi tersebut, Thomas kemudian menekankan pentingnya penguasaan kemampuan pragmatik (pragmatic competence) agar tidak terjadi kegagalan pragmatik (pragmatic failures) di dalam sebuah tindak komunikasi, terutama yang terkait dengan kegagalan pragmatik antarbudaya
(cross-cultural
pragmatic
failures).
Kegagalan
pragmatik
antarbudaya (Thomas, 1983:91) adalah kegagalan peserta komunikasi untuk memahami apa yang dimaksud dengan yang dikatakan (what is meant by what is said). Untuk menjelaskan fenomena kegagalan pragmatik, Thomas membagi (1983:99)
kemampuan
pragmatik
menjadi
dua,
yaitu
kemampuan
pragmalinguistik dan kemampuan sosiopragmatik. Kemampuan pragmalinguistik berhubungan dengan daya pragmatik (pragmatic force) yang dikaitkan dengan sebuah konstruksi tuturan. Kemampuan sosiopragmatik berhubungan dengan kaidah-kaidah
sosial
dan
interaksional.
Oleh
karena
itu,
kegagalan
pragmalinguistik merupakan kegagalan penutur menggunakan pengetahuan mengenai
kaidah-kaidah
tata
bahasa
(grammar)
yang
lazim
untuk
Universitas Sumatera Utara
mengungkapkan ilokusi tertentu sesuai dengan konteks situsinya, dan kegagalan sosiopragmatik merupakan kegagalan penutur untuk menggunakan satu bentuk tuturan sesuai dengan kaidah-kaidah sosial, budaya, serta interaksional. Thomas (1999:176) menyatakan kegagalan pragmatik dapat dianalisis dengan menggunakan sembilan tilikan pragmatik mulai dari tilikan yang dekat dengan
ranah
pragmalinguistik
hingga
yang
terdekat
dengan
ranah
sosiopragmatik, yaitu: (1) disambiguation, (2) interpretive bias, (3) polisemi, (4) assign complete meaning, (5) metonimi, (6) tindak tutur, (7) prinsip kerjasama, (8) bidal interpersonal, dan (9) indirectness, dan (10) prinsip kesantunan. Seperti yang dikemukakan Thomas, kegagalan pragmatik dalam terjemahan diartikan sebagai kegagalan penerjemah dalam mengartikan apa yang dimaksud penulis teks sumber (TSu) sehingga hasil terjemahannya (the effects) tidak sesuai dengan konteks yang melatarbelakangi dan mewadahi ujaran tersebut. Sesuai dengan bidang kajian pragmatik, kegagalan pragmatik pada terjemahan dibedakan menjadi dua bagian, yaitu: (1) kegagalan pragmalinguistik dan (2) kegagalan sosiopragmatik (Thomas, 1999:99, 163). Kegagalan pragmalinguistik pada terjemahan adalah kegagalan penerjemah menyampaikan daya pragmatik (pragmatic force) yang dikaitkan dengan sebuah konstruksi tuturan atau kalimat yang terdapat pada TSu ke dalam TSa. Kegagalan sosiopragmatik pada terjemahan adalah kegagalan menyampaikan kaidah-kaidah sosial, budaya dan interaksional pada satu bentuk tuturan yang terdapat pada TSu ke dalam TSa. Gunarwan (2005:1-10) menyatakan hanya empat tilikan pragmatik yang dapat diaplikasikan dalam bidang terjemahan, khususnya untuk menganalisis kegagalan pragmatik pada terjemahan, yaitu (1) tindak tutur, (2) deiksis, (3) prinsip
Universitas Sumatera Utara
kerjasama, dan (4) prinsip kesantunan. Tindak tutur dan deiksis adalah tilikan pragmatik yang digunakan untuk menganalisis kegagalan pragmalinguistik pada terjemahan. Prinsip kerjasama dan prinsip kesantunan adalah tilikan pragmatik yang digunakan untuk menganalisis kegagalan sosiopragmatik pada terjemahan. 1.
Tindak Tutur Tindak tutur merupakan kegiatan menggunakan bahasa kepada mitra tutur
dalam rangka mengkomunikasikan sesuatu (Kridalaksana, 1984:154). Makna yang dikomukasikan tidak hanya dapat dipahami berdasarkan penggunaan bahasa dalam bertutur tersebut tetapi juga ditentukan oleh aspek-aspek komunikasi secara komprehensif, termasuk aspek-aspek situasional komunikasi. Dalam menuturkan kalimat, seorang tidak semata-mata mengatakan sesuatu dengan mengucapkan kalimat itu. Ketika ia menuturkan kalimat, berarti ia menindakkan sesuatu. Dengan mengucapkan, “Mau makan apa?” si penutur tidak semata-mata menanyakan atau jawaban tertentu, ia juga menindakkan sesuatu, yakni menawarkan makan siang. Seorang ibu berkata kepada anak perempuannya yang dikunjungi oleh pacarnya “Sudah pukul sembilan”. Ibu tadi tidak semata-mata memberitahukan tentang keadaan yang berkaitan dengan waktu, tetapi juga menindakkan sesuatu yakni memerintah mitra tutur atau orang lain (misalnya anaknya) agar pacarnya pulang. Tindak tutur merupakan bagian dari peristiwa tutur dan peristiwa tutur merupakan bagian dari situasi tutur. Setiap peristiwa tutur terbatas pada kegiatan, atau aspek-aspek kegiatan yang secara langsung diatur oleh kaidah atau norma bagi penutur. Ujaran atau tindak tutur dapat terdiri dari satu tindak tutur atau lebih dalam suatu peristiwa tutur dan situasi tutur. Dengan demikian, ujaran atau tindak
Universitas Sumatera Utara
tutur sangat tergantung dengan konteks ketika penutur bertutur. Tuturan baru dapat dimengerti apabila penutur dan petutur memiliki pengetahuan dan pemahaman yang sama terhadap konteks yang melatarbelakangi tuturan tersebut. Tindak tutur merupakan gejala individu, bersifat psikologis, dan ditentukan oleh kemampuan bahasa penutur dalam menghadapi situasi tertentu. Tindak tutur dititikberatkan kepada makna atau arti tindak, sedangkan peristiwa tutur lebih dititikberatkan pada tujuan peristiwanya (Suwito, 1983:33). Dalam tindak tutur ini terjadi peristiwa tutur yang dilakukan penutur kepada mitra tutur dalam rangka menyampaikan makna atau maksud tertentu. Berdasarkan beberapa pendapat pakar di atas, dapat dinyatakan bahwa tindak tutur merupakan kegiatan menggunakan bahasa kepada mitra tutur dalam rangka mengkomunikasikan makna atau maksud tertentu yang hanya dapat dimengerti apabila penutur dan petutur memiliki pengetahuan dan pemahaman yang sama terhadap konteks yang melatarbelakangi tuturan tersebut. Tindak tutur atau tindak ujaran (speech act) mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam pragmatik karena tindak tutur merupakan satuan analisis dalam pragmatik. Berikut ini adalah pemaparan mengenai tindak tutur yang dikemukakan oleh beberapa ahli, antara lain: Teori tindak tutur Austin (1962) Austin (1962:98-99) merumuskan tiga jenis tindak tutur, yaitu: (1) tindak lokusi, (2) tindak ilokusi, dan (3) tindak perlokusi.
Universitas Sumatera Utara
1. Tindak lokusi Tindak lokusi disebut sebagai The Act of Saying Something. Tindak tutur lokusi yaitu tindak mengucapkan sesuatu dengan kata dan kalimat sesuai dengan makna kata itu dan makna kalimat itu sesuai dengan kaidah sintaksisnya. Contoh: (i)
Saya sedang makan.
(ii)
Ibu ke pasar.
(iii)
Tas itu bagus.
Tuturan (i) mengacu pada makna bahwa penutur hanya memberitahukan bahwa dirinya sedang makan tanpa dimaksudkan meminta perhatian. Sama halnya dengan tuturan (ii) dan (iii), masing-masing hanya memberitahukan bahwa ibunya pergi ke pasar dan bahwa tas yang dilihat oleh penutur itu bagus. 2. Tindak ilokusi Tindak ilokusi disebut sebagai The Act of Doing Something. Berbeda dengan tindak tutur lokusi, tindak tutur ilokusi merupakan tindak tutur yang mengandung maksud dan daya tuturan. Tindak tutur ilokusi tidak mudah diidentifikasi, karena tindak ilokusi berkaitan dengan siapa bertutur kepada siapa, kapan dan di mana tindak tutur itu dilakukan dan sebagainya. Tindak ilokusi ini merupakan bagian yang penting dalam memahami tindak tutur (Wijana 1996:19). Contoh: (i)
Nasi pecel pak Ali itu enak.
(ii)
Jalan disana licin.
(iii)
Di rumah itu banyak setannya.
Universitas Sumatera Utara
Tuturan (i) yang dituturkan oleh penutur kepada mitra tuturnya tidak semata-mata memberi tahu, tetapi juga mempunyai maksud bahwa penutur mengajak mitra tuturnya untuk bersama-sama makan nasi pecel Pak ali. Tuturan (ii) dan (iii) juga tidak semata-mata memberitahukan, tetapi mempunyai maksud menyarankan agar berhati-hati karena jalan di sana licin, dan menakut-nakuti agar mitra tutur tidak pergi ke rumah itu. 3. Tindak perlokusi Tindak perlokusi disebut sebagai The Act of Affecting Someone. Tuturan yang diucapkan oleh seseorang penutur sering kali memiliki efek atau daya pengaruh (perlocutionary force) bagi yang mendengarkannya. Efek atau daya pengaruh ini dapat terjadi karena disengaja ataupun tidak disengaja oleh penuturnya. Efek yang dihasilkan dengan mengujarkan sesuatu itulah disebut tindak perlokusi. Menurut Wijana (2010:23-26) tindak perlokusi adalah tindak tutur yang pengaturannya dimaksud untuk mempengaruhi lawan tutur. Rustono (1999:38) menyatakan bahwa tindak tutur perlokusi adalah tindak tutur yang pengujarannya dimaksudkan untuk mempengaruhi mitra tutur. Sementara itu Tarigan (1987:35) mengatakan bahwa ujaran yang diucapkan penutur bukan hanya peristiwa ujar yang terjadi dengan sendirinya, tetapi merupakan ujaran yang diujarkan mengandung maksud dan tujuan tertentu yang dirancang untuk menghasilkan efek, pengaruh atau akibat terhadap lingkungan mitra tutur atau penyimak. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tindak tutur perlokusi berhubungan dengan sikap dan perilaku nonlinguistik (Chaer, 1995:70) Contoh: (i)
Saya tidak punya uang, pak!
Universitas Sumatera Utara
(ii)
Kemarin saya terlambat!
(iii)
Ada pencuri!
Tuturan (i) yang diujarkan seorang anak kepada ayahnya bermakna tidak hanya memberitahu tetapi juga sekaligus meminta uang, efek yang terjadi sang ayah akan merasa iba dan memberikan uang kepada anaknya sama halnya dengan tuturan (ii) yang dituturkan oleh seorang karyawan kepada atasannya, tidak hanya memberitahu, tetapi juga minta maaf atas keterlambatannya yang berefek sang atasan tidak jadi marah-marah. Tuturan (iii) yang dituturkan seseorang kepada tetangganya bisa bermakna menyarankan agar tetangganya lebih waspada, efeknya tetangga akan merasa khawatir. Tuturan yang mengandung tindak perlokusi mempunyai fungsi yang mengakibatkan efek terhadap mitra tutur. Teori tindak tutur Searle (1969) Searle (1969:12-14) membedakan tindak tutur dalam lima kategori, yaitu: (1) tindak tutur representatif, (2) tindak tutur direktif, (3) tindak tutur ekspresif, (4) tindak tutur komisif, dan (5) tindak tutur deklaratif. 1. Tindak tutur representatif Jenis tindak tutur tersebut disebut juga tindak tutur asertif. Tindak tutur representatif adalah tindak tutur yang mengikat penuturnya kepada kebenaran atas hal yang dikatakannya. Tuturan yang termasuk ke dalam jenis tindak tutur representatif, antara lain: menyatakan, menuntut, mengakui, melaporkan, menunjukkan, menyebutkan, memberikan kesaksian, dan berspekulasi. Contoh: (i)
Saya suka makan ikan asin.
(ii)
Besok hari pahlawan.
Universitas Sumatera Utara
(iii)
SBY presiden Indonesia.
Tuturan (i) merupakan tindak tutur representatif karena penutur mengakui bahwa dirinya suka makan ikan asin, hal tersebut mengikat penuturnya akan kebenaran isi tuturan tersebut. Demikian pula dengan tuturan (ii) dan (iii), tuturan (ii) merupakan tuturan pernyataan bahwa besok adalah benar hari pahlawan, sedangkan tuturan (iii) merupakan tuturan menyebutkan SBY adalah benar presiden Indonesia. 2. Tindak tutur direktif Tindak tutur direktif yaitu tindak tutur yang dilakukan oleh penuturnya dengan maksud agar lawan tuturnya melakukan tindakan yang disebutkan dalam ujaran itu. Tuturan yang termasuk dalam jenis tindak tutur direktif, antara lain: memaksa, mengajak, meminta, menyuruh, menagih, mendesak, memohon, menyarankan, memerintah, memberikan aba-aba dan menantang. Contoh: (i)
Berikan laptop itu.
(ii)
Silahkan masuk.
(iii)
Tolong buka pintunya.
Tuturan (i) termasuk tuturan direktif karena tuturan tersebut dimaksudkan penuturnya agar mitra tutur melakukan tindakan memberikan laptop yang dipegang oleh mitra tuturnya. Demikian juga dengan tuturan (ii) dan (iii) masingmasing dimaksudkan untuk menyuruh mitra tuturnya untuk melakukan apa yang disebutkan oleh penutur.
Universitas Sumatera Utara
3. Tindak tutur ekspresif Tindak tutur ekspresif adalah tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya agar ujarannya diartikan sebagai evaluasi tentang hal yang disebutkan di dalam tuturan itu. Tuturan yang termasuk dalam jenis tuturan ekspresif, antara lain: memuji, mengucapkan terimakasih,
mengkritik,
mengeluh, menyalahkan,
mengucapkan selamat, dan menyanjung. Contoh: (i)
Bagus sekali jawabanmu, hanya masih kurang spesifik.
(ii)
Terimakasih atas sanjunganmu.
(iii)
Sudah bekerja keras tapi gaji tidak naik.
Tuturan (i) merupakan tindak tutur ekspresif berupa pujian yang memiliki maksud agar mitra tutur dapat memperbaiki jawaban yang dinilai kurang spesifik. Demikian pula dengan tuturan (ii) dan (iii) masing-masing memiliki maksud agar mitra tutur tidak memuji penutur terlalu berlebihan dan tuturan (iii) merupakan keluhan terhadap apa yang selama ini telah dikerjakannya. 4. Tindak tutur komisif Tindak tutur komisif adalah tindak tutur yang mengikat penuturnya untuk melaksanakan apa yang disebutkan di dalam tuturannya. Tuturan yang termasuk dalam jenis tindak tutur komisif, antara lain: berjanji, bersumpah, mengancam, menyatakan kesanggupan, dan berkaul. Contoh : (i)
Saya akan segera datang ke rumah mu.
(ii)
Saya berani bersumpah bahwa saya tidak melakukan hal itu.
(iii)
Awas kalau kamu berani berbohong.
Universitas Sumatera Utara
Tuturan (i) adalah tindak komisif berjanji yang mengikat penuturnya untuk melaksanakan apa yang diucapkan bahwa penutur akan segera datang ke rumah mitra tutur. Demikian juga dengan tuturan (ii) dan (iii) masing-masing merupakan tindak tutur komisif bersumpah bahwa penutur tidak melakukan hal yang dituduhkan dan tuturan (iii) merupakan tuturan mengancam mitra tutur. 5. Tindak tutur deklarasi Tindak tutur deklarasi merupakan tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya untuk menciptakan hal yang baru misalnya status atau keadaan dan lain sebagainya. Tuturan yang termasuk dalam jenis tindak tutur deklarasi, antara lain:
mengesahkan,
memutuskan,
membatalkan,
melarang,
mengizinkan,
mengabulkan, mengangkat, menggolongkan, mengampuni dan memaafkan. Contoh: (i)
Kamu jangan keluar rumah ya, nak.
(ii)
Besok aku tidak jadi ke sana.
(iii)
Anda boleh mengajukan lamaran.
Tuturan (i) merupakan tuturan deklaratif melarang agar mitra tutur tidak keluar dari rumah, demikian juga dengan tuturan (ii) dan (iii) masing-masing memiliki maksud membatalkan janji dengan mitra tutur dan mengizinkan mitra tutur untuk mengajukan lamaran. Teori tindak tutur Wijana (1996) Wijana (1996:28-31) menjelaskan bahwa tindak tutur dapat dibedakan menjadi: (1) tindak tutur langsung, (2) tindak tutur tidak langsung, (3) tindak tutur literal, dan (4) tindak tutur tidak literal.
Universitas Sumatera Utara
1. Tindak tutur langsung Tindak tutur langsung adalah tuturan yang digunakan sesuai dengan penggunaan yang seharusnya, yaitu bahwa kalimat tanya digunakan untuk menanyakan sesuatu, kalimat berita digunakan untuk memberitahukan sesuatu dan kalimat perintah digunakan untuk menyatakan perintah, ajakan, atau permohonan. Contoh: (i)
Kapan ayah pulang?
(ii)
Saya pergi ke ladang.
(iii)
Tolong ambilkan sapu!
Tuturan-tuturan tersebut merupakan tuturan langsung karena digunakan sesuai dengan penggunaan yang seharusnya, yaitu bahwa tuturan (i) digunakan untuk bertanya, tuturan (ii) digunakan untuk memberitahukan bahwa penutur pergi ke ladang dan tuturan (iii) digunakan untuk menyatakan perintah. 2. Tindak tutur tidak langsung Tindak tutur tak langsung merupakan tindak tutur yang digunakan tidak sesuai dengan penggunaan tuturan tersebut secara umum, yaitu apabila kalimat tanya digunakan untuk menyuruh mitra tutur, kalimat berita digunakan untuk bertanya dan sebagainya. Contoh: (i)
Kapan kamu pulang?
(ii)
Sudah malam, besok ketemu lagi.
(iii)
Besok ke sini lagi ya!
Universitas Sumatera Utara
Tuturan (i), (ii) dan (iii) merupakan tuturan tak langsung, yaitu bahwa tuturan (i), (ii) dan (iii) masing-masing digunakan untuk menyuruh mitra tuturnya agar segera pulang dengan menggunakan kalimat tanya, kalimat berita dan kalimat perintah. 3. Tindak tutur literal Tindak tutur literal (literal speech act) adalah tindak tutur yang maksudnya sama dengan kata-kata yang menyusunnya. Contoh: (i)
Tutup mulut mu.
(ii)
Makan hati.
(iii)
Tangan kanannya.
Tuturan-tuturan tersebut merupakan tuturan literal, yaitu bahwa pada tuturan (i) yang dimaksud dengan tutup mulut adalah menutup mulut dengan tangan ketika menguap, sedangkan tuturan (ii) dan (iii) masing-masing memiliki makna makan hati ayam dan tangan yang sebelah kanannya. 4. Tindak tutur tidak literal Tindak tutur tidak literal adalah tindak tutur yang maksudnya tidak sama dengan makna kata yang menyusunnya. Contoh : (i)
Orang itu tinggi hati.
(ii)
Pejabat itu menerima suap.
(iii)
Ia dijadikan kambing hitam.
Tuturan-tuturan tersebut merupakan kata yang tidak sesuai dengan makna sesungguhnya, yaitu bahwa kata “tinggi hati” dalam tuturan (i) memiliki makna bahwa orang yang dibicarakan adalah orang yang sombong dan merasa lebih
Universitas Sumatera Utara
mulia dari yang lain, maka digunakan kata tinggi hati. Kata “suap” dalam tuturan (ii) memiliki makna uang sogok, yaitu uang yang diberikan kepada pejabat atau orang yang berwenang mengurus perkara sebagai sarana untuk melancarkan maksudnya dalam arti negatif dan kata “kambing hitam” pada tuturan (iii) memiliki maksud orang yang dalam suatu peristiwa sebenarnya tidak bersalah, namun dipersalahkan atau dijadikan tumpuan kesalahan atau lebih jelasnya orang yang dilimpahi kesalahan orang lain. Apabila tindak tutur langsung dan tak langsung diinteraksikan dengan tindak tutur literal dan tak literal, maka akan tercipta tindak tutur sebagai berikut: (1) tindak tutur langsung literal (direct literal speech act), (2) tindak tutur tidak langsung literal (indirect literal speech act), (3) tindak tutur langsung tidak literal (direct non literal speech), dan (4) tindak tutur tidak langsung tidak literal (indirect non literal speech act) (Wijana (1996:31-35). 1. Tindak tutur langsung literal (direct literal speech act) Tindak tutur langsung literal (direct literal speech act) ialah tindak tutur yang diutarakan dengan modus tuturan dan makna yang sama dengan maksud pengutaraannya. Maksud memerintah disampaikan dengan kalimat perintah, memberitakan dengan kalimat berita, dan menanyakan sesuatu dengan kalimat tanya. Contoh: (i)
Ambilkan buku itu!
(ii)
Indriani gadis yang cantik.
(iii)
Berapa saudaramu, Di?
Universitas Sumatera Utara
2. Tindak tutur tidak langsung literal (indirect literal speech act) Tindak tutur tidak langsung literal (indirect literal speech act) adalah tindak tutur yang diungkapkan dengan modus kalimat yang tidak sesuai dengan maksud pengutaraannya, tetapi makna kata-kata yang menyusunnya sesuai dengan apa yang dimaksudkan oleh penutur. Contoh: (i)
Lantainya kotor.
Kalimat tersebut jika diucapkan oleh seorang ayah kepada anaknya bukan saja menginformasikan, tetapi sekaligus menyuruh untuk membersihkannya. (ii)
Kamarnya berantakan.
Kalimat tersebut jika diucapkan seorang ibu kepada anaknya bukan hanya berisi informasi saja, akan tetapi sekaligus menyuruh untuk membersihkan kamar yang berantakan. 3. Tindak tutur langsung tidak literal (direct non literal speech) Tindak tutur langsung tidak literal (direct non literal speech) adalah tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat yang sesuai dengan maksud dan tuturan, tetapi kata-kata yang menyusunnya tidak memiliki makna yang sama dengan maksud penuturnya. Contoh: (i)
Sepedamu bagus, kok.
Penuturnya sebenarnya ingin mengatakan bahwa sepeda lawan tuturnya jelek.
Universitas Sumatera Utara
4. Tindak tutur tidak langsung tidak literal (indirect non literal speech act) Tindak tutur tidak langsung tidak literal (indirect non literal speech act) adalah tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat yang tidak sesuai dengan maksud yang ingin diutarakan. Contoh: (i)
Lantainya bersih sekali, bik.
Kalimat di atas dapat digunakan untuk menyuruh seorang pembantu menyapu lantai kotor, seorang majikan dapat saja mengutarakannya dengan kalimat seperti yang di atas 2.
Deiksis Dalam KBBI (2008:305), deiksis diartikan sebagai hal atau fungsi yang
menunjuk sesuatu di luar bahasa seperti kata tunjuk pronomina, waktu dan tempat suatu tuturan. Deiksis adalah kata-kata yang memiliki referen berubah-ubah atau berpindah-pindah (Wijana, 1996:6). Deiksis dapat juga diartikan sebagai lokasi dan identifikasi orang, objek, peristiwa, proses atau kegiatan yang sedang dibicarakan atau yang sedang diacu yang berhubungan dengan dimensi ruang dan waktu pada saat dituturkan oleh pembicara atau yang diajak bicara (Djajasudarma, 1993:43). Dalam bidang linguistik terdapat pula istilah rujukan atau sering disebut referensi, yaitu kata atau frase yang menunjuk kata dan frase atau ungkapan yang akan diberikan. Rujukan tersebut disebut deiksis Nababan (1987:40). Berdasarkan beberapa pendapat pakar di atas, dapat dinyatakan bahwa deiksis merupakan kata tunjuk pronomina, waktu dan tempat suatu tuturan yang rujukannya berpindahpindah atau berganti-ganti, tergantung siapa yang menjadi pembicara, saat dan tempat dituturkannya kata-kata itu. Perujukan atau penunjukan dapat ditujukan
Universitas Sumatera Utara
pada bentuk atau konstituen sebelumnya yang disebut anafora. Perujukan atau penunjukan dapat ditujukan pada bentuk atau konstituen setelahnya yang disebut katafora Fenomena
deiksis
merupakan
cara
yang
paling
jelas
untuk
menggambarkan hubungan antara bahasa dan konteks dalam struktur bahasa itu sendiri. Kata seperti ‘saya’, ‘sini’, ‘sekarang’ adalah kata-kata deiktis. Kata-kata ini tidak memiliki referen yang tetap. Referen kata ‘saya’, ‘sini’, ‘sekarang’ baru dapat diketahui maknanya jika diketahui pula siapa, di tempat mana, dan waktu kapan kata-kata itu diucapkan. Jadi, yang menjadi pusat orientasi deiksis adalah penutur. Nababan (1987:40-42) menjelaskan lima macam deiksis, yaitu: (1) deiksis persona, (2) deiksis tempat, (3) deiksis waktu, (4) deiksis wacana, dan (5) deiksis sosial. 1. Deiksis Persona Istilah persona berasal dari kata Latin persona sebagai terjemahan dari kata Yunani prosopon, yang artinya topeng (topeng yang dipakai seorang pemain sandiwara), berarti juga peranan atau watak yang dibawakan oleh pemain sandiwara. Istilah persona dipilih oleh ahli bahasa waktu itu disebabkan oleh adanya kemiripan antara peristiwa bahasa dan permainan bahasa (Djajasudarma, 1993:44). Deiksis orang ditentukan menurut peran peserta dalam peristiwa bahasa. Peran peserta itu dapat dibagi menjadi tiga. Pertama ialah orang pertama, yaitu kategori rujukan pembicara kepada dirinya atau kelompok yang melibatkan dirinya, misalnya ‘saya’, ‘kita’, dan ‘kami’. Kedua ialah orang kedua, yaitu kategori rujukan pembicara kepada pendengar yang hadir bersama orang pertama,
Universitas Sumatera Utara
misalnya ‘kamu’, ‘kalian’, ‘saudara’. Ketiga ialah orang ketiga, yaitu kategori rujukan kepada orang yang bukan pembicara atau pendengar ujaran itu baik hadir maupun tidak, misalnya ‘dia’ dan ‘mereka’. 2. Deiksis Tempat Deiksis tempat ialah pemberian bentuk pada lokasi menurut peserta dalam peristiwa bahasa. Semua bahasa, termasuk bahasa Indonesia, membedakan antara yang dekat kepada pembicara ‘di sini’ dan yang bukan dekat kepada pembicara ‘di sana’. Contoh: (i)
Duduklah kamu di sini.
(ii)
Di sini dijual gas Elpiji.
Frasa di sini pada kalimat (i) mengacu ke tempat yang sangat sempit, yakni sebuah kursi atau sofa. Pada kalimat (ii), acuannya lebih luas, yakni suatu toko atau tempat penjualan yang lain. 3. Deiksis Waktu Deiksis waktu ialah pemberian bentuk pada rentang waktu seperti yang dimaksudkan penutur dalam peristiwa bahasa. Dalam banyak bahasa, deiksis waktu ini diungkapkan dalam bentuk “kala” (Inggris: tense). Contoh: (i)
I bought a book.
(ii)
I am buying a book.
Meskipun tanpa keterangan waktu, dalam kalimat (i) dan (ii), penggunaan deiksis waktu sudah jelas. Namun apabila diperlukan pembedaan atau ketegasan yang
Universitas Sumatera Utara
lebih terperinci, dapat ditambahkan sesuatu kata keterangan waktu seperti ‘yesterday’, ‘last year’, dan ‘now’. Contoh: (i)
I bought the book yesterday.
(ii)
I bought the book 2 years ago.
4. Deiksis Wacana Deiksis wacana ialah rujukan pada bagian-bagian tertentu dalam wacana yang telah diberikan atau sedang dikembangkan. Deiksis wacana mencakup anafora dan katafora. Anafora ialah penunjukan kembali kepada sesuatu yang telah disebutkan sebelumnya dalam wacana dengan pengulangan atau substitusi. Katafora ialah penunjukan ke sesuatu yang disebut kemudian. Bentuk-bentuk yang dipakai untuk mengungkapkan deiksis wacana itu adalah kata atau frasa ‘nya’, ‘ini’, ‘itu’, ‘yang terdahulu’, ‘yang berikut’, ‘yang pertama disebut’, dan ‘begitulah’. Contoh: (i)
Paman datang dari desa kemarin dengan membawa hasil palawijanya.
(ii)
Karena aromanya yang khas, mangga itu banyak dibeli.
Dari kedua contoh di atas dapat kita ketahui bahwa ‘-nya’ pada contoh (i) mengacu ke paman yang sudah disebut sebelumnya, sedangkan pada contoh (ii) mengacu ke mangga yang disebut kemudian. 5. Deiksis Sosial Deiksis sosial ialah rujukan yang dinyatakan berdasarkan perbedaan kemasyarakatan yang mempengaruhi peran pembicara dan pendengar. Perbedaan itu dapat ditunjukkan dalam pemilihan kata. Dalam beberapa bahasa, perbedaan
Universitas Sumatera Utara
tingkat sosial antara pembicara dengan pendengar yang diwujudkan dalam seleksi kata atau sistem morfologi kata-kata tertentu. Contoh: (i)
nedo
=
makan
(ii)
dahar =
makan
Dalam bahasa Jawa, kata (i) dan (ii) menunjukkan perbedaan sikap atau kedudukan sosial antara pembicara, pendengar atau orang yang dibicarakan atau bersangkutan. Secara tradisional, perbedaan bahasa (atau variasi bahasa) seperti itu disebut tingkatan bahasa. 3.
Prinsip Kerjasama Dalam menjalankan aktifitasnya sehari-hari manusia akan selalu bertemu
dan berinteraksi dengan orang lain. Dalam berinteraksi dengan orang lain, manusia menggunakan bahasa sebagai media komunikasi. Di dalam komunikasi yang wajar, masing-masing pihak yang terlibat, yaitu antara penutur dan mitra tutur akan selalu berusaha menyampaikan tuturannya secara efektif dan efisien. Hal ini senada dengan pendapat Wijana (1996:450) yang mengatakan bahwa seorang penutur akan berusaha agar tuturannya selalu relevan dengan konteks, jelas dan mudah dipahami, padat dan ringkas dan selalu pada persoalan sehingga tidak menghabiskan waktu lawan bicara. Agar tuturan–tuturan dapat diutarakan
dapat diterima oleh lawan
bicaranya, penutur pada lazimya mempertimbangkan secara seksama berbagai faktor pragmatik yan terlibat atau mungkin terlibat dalam suatu proses komunikasi tersebut
(Wijana,
1996:54).
Secara
sederhana
ada
tiga
aspek
yang
dipertimbangkan oleh penutur dan lawan tutur. Aspek-aspek itu adalah prinsip
Universitas Sumatera Utara
kerjasama, prinsip kesantunan dan parameter pragmatik. Berikut akan diulas salah satunya, yaitu prinsip kerjasama. Grice (1975:45-47) mengemukakan bahwa wacana yang wajar dapat terjadi apabila antara penutur dan petutur patuh pada prinsip kerjasama komunikasi. Prinsip kerjasama tersebut terdiri dari empat maksim percakapan (conversational maxim), yaitu (1) maksim kuantitas (maxim of quantity), (2) maksim kualitas (maxim of quality), (3) maksim relevansi (maxim of relevance), dan (4) maksim pelaksanaan (maxim of manner). 1. Maksim kuantitas Dalam pertuturan setiap peserta percakapan diharuskan untuk memberi sumbangan informasi yang dibutuhkan saja, dan jangan memberikan sumbangan yang lebih informatif daripada yang diperlukan. Contoh: (i)
Orang buta itu tenyata tukang pijat.
(ii)
Orang yang tidak dapat melihat itu ternyata tukang pijat.
Penutur yang wajar tentu akan memilih tuturan (i) dibanding dengan tuturan (ii). Tuturan (i) dianggap lebih efektif dan efisien, serta mengandung nilai kebenaran (truth value). Setiap orang tentu paham bahwa orang buta pasti tidak dapat melihat. Dengan demikian elemen tidak dapat melihat dalam tuturan (ii) dianggap berlebihan. Adanya elemen yang tidak dapat melihat dalam (ii) dianggap bertentangan dengan maksim kuantitas karena hanya menambahkan hal-hal yang sudah jelas dan tidak perlu diterangkan lagi.
Universitas Sumatera Utara
Contoh lain: (i)
John put on his raicoat, picked up his umbrella from the table near the door, turned off the lights, put out the cat, got ready for his ten-minute walk to the bus-stop
(ii)
John went out.
Dalam tuturan yang wajar kalimat (i) dianggap terlalu panjang. Oleh karena itu untuk mengungkapkan konsep yang sama, tuturan (ii) cenderung lebih digunakan. 2. Maksim kualitas Maksim ini mengharuskan setiap peserta pertuturan untuk memberikan sumbangan informasi yang benar. Dengan kata lain baik penutur maupun mitra tutur tidak mengatakan apa-apa yang dianggap salah, dan setiap kontribusi percakapan hendaknya didukung oleh bukti yang memadai. Apabila dalam suatu pertuturan ada peserta tutur yang tidak mempunyai bukti yang memadai mungkin ada alasan-alasan tertentu yang mendasarinya. Contoh: A
:
Ada berapa maksim kerjasama menurut Grice?
B
:
Menurut buku Grice yang saya baca, ada empat maksim dalam prinsip kerjasama.
A
:
Maksim apa sajakah itu ?
B
:
Maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi dan maksim cara (pelaksanaan).
Pada contoh di atas, B memberi sumbangan informasi yang benar, bahwa menurut buku Grice yang dia baca ada empat maksim, yaitu maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi dan maksim cara (pelaksanaan).
Universitas Sumatera Utara
3. Maksim relevansi Maksim ini mengharuskan setiap peserta percakapan memberikan kontribusi yang relevan dengan masalah pembicaraan. Contoh: A
:
There is somebody at the door
B
:
I’m in the bath.
Ketika A mengatakan kepada B bahwa ada seseorang yang datang di depan pintu rumah mereka dan berharap B untuk membukakan pintu untuk tamu itu, maka B mengatakan bahwa dia sedang berada di kamar mandi pada saat itu. Jawaban B mengimplikasikan bahwa dia mengharapkan A untuk mengerti di mana B berada pada saat itu, sehingga B tidak bisa membukakan pintu dan melihat siapa yang datang pada saat itu. Dengan demikian, maka dapat dikatakan bahwa keterkaitan antara peserta tutur tidak selalu terletak pada makna ujarannya, tetapi dapat pula terletak pada apa yang diimplikasikan ujaran tersebut. 4. Maksim pelaksanaan Dengan maksim ini, para peserta pertuturan diharapkan untuk berbicara secara langsung, tidak kabur, tidak taksa dan tidak berlebih-lebihan serta runtut. Dalam wacana tuturan sehari-hari sering dapat dijumpai seorang penutur yang dengan sengaja tidak mengindahkan maksim ini. Contoh: A
:
Let’s stop and get something to eat.
B
:
Okey, but not M-C-D-O-N-A-L-D-S
Ejaan dalam tuturan B tersebut bertujuan untuk membuat anak yang menggemari ‘Mc.Donalds’ tidak menyadari bahwa orangtuanya tidak ingin makan di
Universitas Sumatera Utara
‘Mc.Donalds’. Seorang penutur harus menafsirkan kata-kata yang digunakan oleh lawan bicaranya. Secara taksa (ambigu) berdasarkan konteks pemakaiannya. Hal ini berdasarkan prinsip ketaksaan (ambiguitas) tidak akan muncul bila kerjasama antara peserta tindak tutur selalu dilandasi oleh pengamatan yang seksama terhadap kriteria-kriteria pragmatik yang digariskan oleh Leech dengan konsep situasi tuturnya. A
:
Mas aslinya mana ?
B
:
Saya aslinya Purworejo, Mbak.
A
:
Aduh, mas ini GR banget. Maksud saya, KTP asli saya mana ?
Dialog tersebut sering terjadi ketika A sedang memfotokopi KTP di sebuah tempat fotokopi di Jogja. Setelah KTP selesai difotokopi, A bermaksud meminta KTP yang asli dengan mengatakan “Mas, aslinya mana?” dan ternyata ditafsirkan keliru oleh B karena dia menyangka bahwa A menanyakan asal-usul dia. Tuturan yang bersifat taksa seperti ini sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari dan dapat membuat malu bagi pihak yang salah menafsirkan sebuah tuturan. Oleh karena itu, seyogyanya para peserta tutur menyadari bahwa hanya dengan memberikan kontribusi yang kooperatif maka sebuah komunikasi dapat berjalan dengan wajar. 4.
Prinsip Kesantunan Kesopansantunan pada umumnya berkaitan dengan hubungan antara dua
partisipan yang dapat disebut sebagai ‘diri sendiri’ dan ‘orang lain’. Pandangan kesantunan dalam kajian pragmatik diuraikan oleh beberapa ahli, seperti Leech, Bowl dan Levinson, dan Robin Lakoff. Prinsip kesantunan berhubungan dengan dua peserta percakapan, yakni diri sendiri (self) dan orang lain (other). Diri sendiri adalah penutur, dan orang lain adalah lawan tutur (Wijana, 2010:14).
Universitas Sumatera Utara
Maksim Kesantunan Leech (1983) Maksim merupakan kaidah kebahasaan di dalam interaksi lingual; kaidah-kaidah
yang mengatur tindakannya, penggunaan bahasanya, dan
interpretasi-interpretasinya terhadap tindakan dan ucapan lawan tuturnya. Selain itu maksim juga disebut sebagai bentuk pragmatik berdasarkan prinsip kerjasama dan prinsip kesantuna. Maksim-maksim tersebut menganjurkan agar kita mengungkapkan keyakinan-keyakinan dengan sopan dan menghindari ujaran yang tidak sopan. Ada enam maksim dalam prinsip kesantunan (Leech, 1986:5259), yaitu (1) maksim kebijaksanaan (tact maxim), (2) maksim kedermawanan (generosity maxim), (3) maksim penghargaan (approbation maxim), (4) maksim kerendahhatian (modesty maxim), (5) maksim kecocokan (agreement maxim), dan (6) maksim kesimpatian (sympathy maxim). 1. Maksim kebijaksanaan Gagasan dasar maksim kebijkasanaan dalam prinsip kesantunan adalah bahwa para peserta pertuturan hendaknya berpegang pada prinsip untuk selalu mengurangi keuntungan dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan pihak lain dalam kegiatan bertutur. Orang bertutur yang berpegang dan melaksanakan maksim kebijaksanaan akan dapat dikatakan sebagai orang santun. Semakin panjang tuturan seseorang semakin besar pula keinginan orang itu untuk bersikap sopan kepada lawan bicaranya. Demikian pula tuturan yang diutarakan secara tidak langsung lazimnya lebih sopan dibandingkan dengan tuturan yang diutarakan secara langsung.
Universitas Sumatera Utara
Contoh: Tuan rumah
:
“Silakan makan saja dulu, nak! Tadi kami sudah mendahului.”
Tamu
:
“Wah, saya jadi tidak enak, Bu.”
Di dalam tuturan tersebut, tampak dengan sangat jelas bahwa apa yang dituturkan si Tuan Rumah sungguh memaksimalkan keuntungan sang Tamu. 2. Maksim kedermawanan Dengan maksim kedermawanan atau maksim kemurahan hati, para peserta pertuturan diharapkan dapat menghormati orang lain. Penghormatan terhadap orang lain akan terjadi apabila orang dapat mengurangi keuntungan bagi dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan bagi pihak lain. Contoh: Anak kos A
:
“Mari saya cucikan baju kotormu. Pakaianku tidak banyak kok yang kotor”
Anak kos B
:
“Tidak usah, mbak. Nanti siang saya akan mencuci juga kok.”
Dari tuturan tersebut, dapat dilihat dengan jelas bahwa Anak kos A berusaha memaksimalkan keuntungan pihak lain dengan cara menambahkan beban bagi dirinya sendiri. Hal itu dilakukan dengan cara menawarkan bantuan untuk mencucikan pakaian kotornya si B. 3. Maksim penghargaan Di dalam maksim penghargaan dijelaskan bahwa seseorang akan dapat dianggap santun apabila dalam bertutur selalu berusaha memberikan penghargaan kepada pihak lain. Dengan maksim ini, diharapkan agar para peserta pertuturan
Universitas Sumatera Utara
tidak saling mengejek, saling mencaci, atau saling merendahkan pihak lain. Peserta tutur yang sering mengejek peserta tutur lain di dalam kegiatan bertutur akan dikatakan sebagai orang yang tidak sopan. Dikatakan demikian karena tindakan mengejek merupakan tindakan tidak menghargai orang lain. Contoh: Dosen A
:
“Pak, aku tadi sudah memulai kuliah perdana untuk kelas Business English.”
Dosen B
:
“Oya, tadi aku mendengar Bahasa Inggrismu bagus sekali.”
Pemberitahuan yang disampaikan dosen A terhadap rekan dosennya pada contoh di atas ditanggapi dengan sangat baik bahkan disertai dengan pujian dari dosen B. 4. Maksim kerendahanhati Di dalam maksim kesederhanaan atau maksim kerendahan hati, peserta tutur diharapkan dapat bersikap rendah hati dengan cara mengurangi pujian terhadap dirinya sendiri. Orang akan dikatakan sombong dan congkak hati jika di dalam kegiatan bertutur selalu memuji dan mengunggulkan dirinya sendiri. Contoh: Ibu A :
“Nanti ibu yang memberikan sambutan dalam rapat Dasa Wisma ya.”
Ibu B :
“Waduh.. nanti grogi aku.”
Dalam contoh di atas ibu B tidak menjawab dengan: “Oh, tentu saja. Memang itu kelebihan saya.” Ibu B mengurangi pujian terhadap dirinya sendiri dengan mengatkan: “Waduh..nanti grogi aku.”
Universitas Sumatera Utara
5. Maksim kecocokan Di dalam maksim ini, diharapkan para peserta tutur dapat saling membina kecocokan atau kemufakatan di dalam kegiatan bertutur. Apabila terdapat kemufakatan atau kecocokan antara diri penutur dan mitra tutur dalam kegiatan bertutur, masing-masing dari mereka dapat dikatakan bersikap santun. Contoh: Guru A
:
“Ruangannya gelap ya, Bu.”
Guru B
:
“He’eh. Saklarnya mana ya?”
Pada contoh di atas, tampak adanya kecocokan persepsi antara Guru A dan B bahwa ruangan tersebut gelap. Guru B mengiyakan pernyataan Guru A bahwa ruangan gelap dan kemudian mencari saklar yang member makna perlu menyalakan lampu agar ruangan menjadi terang. 6. Maksim Kesimpatian Maksim ini diungkapkan dengan tuturan asertif dan ekspresif. Di dalam maksim kesimpatian, diharapkan agar para peserta tutur dapat memaksimalkan sikap simpati antara pihak yang satu dengan pihak lainnya. Jika lawan tutur mendapatkan kesuksesan atau kebahagiaan, penutur wajib memberikan ucapan selamat. Bila lawan tutur mendapat kesusahan, atau musibah penutur layak berduka, atau mengutarakan bela sungkawa sebagai tanda kesimpatian.Sikap antipati terhadap salah satu peserta tutur akan dianggap tindakan tidak santun. Contoh: Mahasiswa A
:
“Mas, aku akan ujian tesis minggu depan.”
Mahasiswa B
:
“Wah, selamat ya. Semoga sukses.”
Universitas Sumatera Utara
Pada contoh di atas, tampak mahasiswa A mendapatkan kesuksesan atau kebahagiaan, mahasiswa B memberikan ucapan selamat. Model Kesantunan Brown–Levinson (1987:70-103) Di dalam interaksi sosial sehari-hari, orang pada umumnya berperilaku seolah-olah ekspektasi mereka terhadap public self-image yang mereka miliki akan dihargai orang lain. Jika seorang penutur mengatakan sesuatu yang merupakan ancaman terhadap ekspektasi orang lain mengenai self-image mereka, tindakan tersebut dikatakan sebagai Face Threatening Act (FTA). Sebagai alternatif, seseorang dapat mengatakan sesuatu yang memiliki kemungkinan ancaman lebih kecil. Hal ini disebut sebagai Face Saving Act (FSA). Contoh: Seorang tetangga sedang memainkan musik sangat keras dan pasangan suami istri sedang mencoba untuk tidur. Si suami dapat melakukan FTA: “Aku akan mengatakan padanya untuk mematikan musik berisik itu sekarang juga!” atau si istri dapat melakukan FSA: “Barangkali kita dapat memintanya untuk berhenti memainkan musik itu karena sekarang sudah mulai larut dan kita perlu tidur”. Menurut Brown-Levinson, ada dua prinsip kesantunan, yaitu (1) positive politeness dan (2) negative politeness. Negative face adalah the basic claim to territories, personal preserves, and rights to non-distraction dan positive face adalah the positive and consistent image people have of themselves, and their desire for approval. Dengan kata lain, negative face adalah kebutuhan untuk mandiri
dan positive
hubungan).
face adalah
Sehubungan
kebutuhan
untuk
dengan negative dan positive
terkoneksi face,
(menjalin
maka
dapat
disimpulkan bahwa FSA berorientasi pada negative face dan mementingkan
Universitas Sumatera Utara
kepentingan orang lain, bahkan termasuk permintaan maaf atas gangguan yang diciptakan. FSA seperti ini dinamakan negative politeness. Dengan kata lain, negative politeness memberikan perhatian pada negative face, dengan menerapkan jarak antara penutur dan mitra tutur dan tidak mengganggu wilayah satu sama lain. Penutur menggunakannya untuk menghindari paksaan, dan memberikan mitra tutur pilihan. Penutur dapat menghindari kesan memaksa dengan menekankan kepentingan orang lain dengan menggunakan permintaan maaf, atau dengan mengajukan pertanyaan yang memberikan kemungkinan untuk menjawab “tidak”. Contoh: Di sebuah gedung student center, Anda meminta pertolongan untuk menyebutkan alamat situs yang Anda perlukan dengan berkata pada David: (i)
“Maaf, saya tidak bermaksud mengganggu, tapi barangkali Anda bisa memberitahukan alamat situs yang dosen bicarakan tadi pagi?”
(ii)
“Maaf mengganggu, Bisakah saya meminjam uang lima ratus ribu, ehmm, jika kamu Anda tidak membutuhkannya sekarang?”
Adanya pemberian pilihan berpengaruh pada tingkat kesantunan. Semakin besar kemungkinan pilihan jawaban “tidak” diberikan, maka semakin sopan tuturan tersebut. Sedangkan FSA yang berorientasi terhadap positive face seseorang akan cenderung menunjukkan solidaritas dan menekankan bahwa kedua pihak (penutur dan mitra tutur) menginginkan hal yang sama dan tujuan yang sama pula. FSA dalam bentuk ini dinamakan positive politeness. Dengan kata lain, positive politeness bertujuan untuk menyelamatkan dengan menerapkan kedekatan dan
Universitas Sumatera Utara
solidaritas, biasanya dalam pertemanan atau persahabatan, membuat orang lain merasa nyaman dan menekankan bahwa kedua pihak (penutur dan mitra tutur) memiliki tujuan yang sama. Contoh: Anda masih berada di student center dan masih memerlukan bantuan, kali ini Anda meminta bantuan pada teman dekat Anda, Rudi: (iii)
“Rudi, kamu kan punya memori yang baik dan keren, akan lebih keren jika kamu memberitahu saya alamat situs yang dimaksud pak Handano tadi pagi.” Secara singkat, Yule (2010:135) membedakan positive face dan negative
face sebagai berikut: Tabel 2.1 Positive and Negative Face (Yule, 1996:135)
Keinginan Kebutuhan
Penekanan
Positive face Negative face Pendekatan sosial Kebebasan dari pembebanan untuk terhubung untuk diterima sebagai anggota kelompok yang memiliki tujuan yang sama untuk mandiri untuk memiliki kebebasan bertindak, dan tidak terbebani Pada solidaritas dan kesamaan pada penghormatan dan kepedulian
Skala Kesantunan Sedikitnya terdapat tiga macam skala pengukur peringkat kesantunan yang sampai dengan saat ini banyak digunakan sebagai dasar acuan dalam penelitian kesantunan, yaitu: (1) skala kesantunan menurut Leech dan (2) skala kesantunan menurut Brown-Levinson.
Universitas Sumatera Utara
1. Skala kesantunan menurut Leech (1983:53-59) Di dalam model kesantunan Leech, setiap maksim interpersonal itu dapat dimanfaatkan untuk menentukan peringkat kesantunan sebuah tuturan. Leech membedakan skala kesantunan menjadi lima, yaitu (1) cost benefit scale, (2) optimality scale, (3) indirectness scale, (4) authority scale, dan (5) social distance scale. 1. Cost benefit scale Cost benefit scale representing the cost or benefit of an act to speaker and hearer. Cost benefit scale menunjuk kepada besar kecilnya kerugian dan keuntungan yang diakibatkan oleh sebuah tindak tutur pada sebuah pertuturan. Semakin tuturan tersebut merugikan diri penutur, akan semakin dianggap santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin tuturan itu menguntungkan diri penutur akan semakin dianggap tidak santunlah tuturan itu. Apabila hal yang demikian itu dilihat dari kacamata si mitra tutur dapat dikatakan bahwa semakin menguntungkan dari mitra tutur, akan semakin dipandang tidak snatunlah tuturan itu. 2. Optimality scale Optimality scale indicating the degree of choice permitted to speaker or hearer by a specific linguistic act. Optimality scale menunjuk kepada banyak atau sedikitnya pilihan yang disampikan si penutur kepada si mitra tutur di dalam kegiatan bertutur. Semakin pertuturan itu memungkinkan penutur atau mitra tutur untuk menentukan pilihan yang banyak dan leluasa, akan dianggap semakin santunlah tuturan itu.
Universitas Sumatera Utara
3. Indirectness scale Indirectness scale indicating the amount of inferencing required of the hearer in order to establish the intended speaker meaning. Indirectness scale menunjuk kepada peringkat langsung atau tidak langsngnya maksud sebuah tuturan. Semakin tuturan itu bersifat langsung akan dianggap semakin tidak santunlah tuturan itu. 4. Authority scale Authority scale representing the status relationship between speaker and hearer. Authority scale menunjuk kepada hubungan status sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam pertuturan. Semakin jauh jarak peringkat sosial antara penutur dengan mitra tutur, tuturan yang digunakan akan cenderung menjadi semakin santun. 5. Social distance Scale indicating the degree of familiarity between speaker and hearer. Social distance scale menunjuk kepada peringkat hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam sebuah pertuturan. Ada kecendurungan bahwa semakin dekat jarak peringkat sosial di antara keduanya, akan menjadi semakin kurang santunlah tuturan itu. 2. Skala kesantunan Brown–Levinson (1987:71-79) Brown–Levinson membedakan skala kesantunan menjadi tiga, yaitu (1) jarak sosial (social distance) antara penutur dan petutur (D), (2) derajat relatif kuasa (power) yang dimiliki penutur atas petutur (P), dan (3) bobot relatif isi tuturan (rank of imposition) yang dikaitkan dengan budaya yang lazim berlaku di tempat tuturan (R). Jarak sosial antara penutur dan mitra tutur ditentukan oleh
Universitas Sumatera Utara
parameter perbedaan umur, jenis kelamin, dan latar belakang sosiokultural. Derajat relatif kuasa didasarkan pada kedudukan asimetrik dan peringkat kekuasaan antara penutur dan petutur. Bobot relatif isi tuturan didasarkan atas kedudukan relatif tindak tutur yang satu dengan tindak tutur lainnya. Kesantunan dan Konteks (Wijana, 2010:66-74) Kesantunan adalah sebuah fenomena pragmatik. Kesantunan terletak bukan pada bentuk dan kata-kata, melainkan pada fungsi dan makna sosial yang diacu. Jika penutur mengatakan bentuk yang lebih sopan daripada konteks yang diperlukan, mitra tutur akan menduga bahwa ada maksud khusus yang tersembunyi. Kesantunan tidak sama dengan penghormatan yang menggunakan bentuk formal yang mengekspresikan adanya jarak dan penghargaan terhadap orang yang berstatus lebih tinggi, dan biasanya memasukkan unsur pilihan. Penghormatan sudah ada di dalam bahasa, seperti Korea ata Jepang, dan dapat dilihat pada kata ganti orang di beberapa bahasa di Eropa (bahasa Perancis: tu atau vous). Namun sangat jarang dijumpai hal yang serupa secara gramatikal dalam bahasa Inggris, meskipun masih dapat ditemui bentuk penghormatan seperti penggunaan “Sir” dan “Madam”. Sangat dimungkinkan untuk mempraktekkan penghormatan tanpa harus menjadi sopan. Contoh: A
:
Does the honourable member for Crawley wish to intervene?
B
:
No.
A
:
the last time I saw a mouth like that it had a hook in it.
Universitas Sumatera Utara
Ada tiga konteks yang mempengaruhi kesantunan, yaitu (1) konteks situasi, (2) konteks formalitas, (3) konteks sosial, dan (4) konteks budaya. 1. Konteks situasi Karena kesantunan merupakan fenomena pragmatik, maka ia dipengaruhi oleh konteks. Terdapat dua konteks situasi yang memengaruhi cara kita membuat permintaan. Pertama, tingkat paksaan, dan peraturannya adalah “semakin tinggi tingkat pembebanan yang dikandung sebuah ujaran, semakin tidak langsung sebuah ujaran tersebut”. Contoh: Ketika kita hendak meminjam uang, kita cenderung mengatakan: “Bisakah saya meminjam lima ratus ribu, kalau kamu sedang tidak memerlukannya sekarang?” Jika uang yang dipinjam dalam nominal yang lebih kecil: “apa saya bisa pinjam lima ribu rupiah untuk bayar fotokopian?” 2. Konteks formalitas Konteks yang kedua adalah formalitas. Semakin formal sebuah situasi, semakin tidak langsung sebuah ujaran yang dihasilkan. Contoh: Ketika kita sedang dalam sebuah seminar dan kita terlibat dalam sebuah perdebatan, kita akan mengatakan: “Bisakah saya melanjutkan apa yang sebelumnya saya sampaikan…” Namun, ketika perdebatan terjadi diantara teman karib, kita akan mengatakan: “Tunggu, aku belum selesai ngomong, …..”
Universitas Sumatera Utara
3. Konteks sosial Pilihan atas formulasi kesantunan tergantung pada jarak sosial dan kekuasaan diantara kedua pihak. Apabila terdapat jarak sosial, kesantunan dikodekan dan terdapat banyak ketidaklangsungan ujaran. Ketika jarak sosial berkurang, berkurang pula negative politeness dan ketidaklangsungan. Variabel yang menentukan jarak sosial adalah tingkat keakraban, perbedaan status, peran, usia, gender, pendidikan, kelas, pekerjaan dan etnisitas. 4. Konteks budaya Akan tetapi, hubungan antara ketidaklangsungan dan variabel sosial tidak sesederhana itu. Secara keseluruhan, dapat dikatakan bahwa kesantunan dan bahasa bersifat terikat oleh budaya setempat. Contoh: Di Cuba, misalnya, di antara teman tidak boleh ada jarak sama sekali, maka ketika seorang teman mengatakan ‘terima kasih’ ketika disuguhkan secangkir kopi dapat menyebabkan kesalahpahaman dan menciptakan penghalang di antara kedua orang tersebut. 2.2
Kerangka Teori Mahsun (2005:52-53) menjelaskan bahwa kerangka teori dijabarkan dari
tinjauan pustaka dan disusun oleh peneliti sebagai kerangka acuan untuk merumuskan hipotesis dan untuk menjawab rumusan masalah penelitian. 2.2.1
Penilaian Hasil Terjemahan Teori penilaian hasil terjemahan yang diajukan oleh Larson (1984) adalah
teori dasar yang dipakai untuk menganalisis hasil terjemahan subtitle Tano Parsirangan. Larson (1984:485) mengatakan bahwa produk terjemahan yang baik
Universitas Sumatera Utara
harus memenuhi kriteria ketepatan (accuracy), kejelasan (clarity) dan kewajaran (naturalness). Ketepatan mengacu kepada keakuratan pemilihan bentuk leksikon dan gramatika dalam usaha pengalihan pesan TSu ke dalam TSa. Kejelasan mengacu kepada derajat mudah atau tidaknya pemahaman pembaca terhadap terjemahan (keterbacaan terjemahan). Kewajaran merujuk kepada kelaziman penggunaan kaidah-kaidah BSa sehingga TSa terkesan seperti karya asli, bukan terjemahan. Dengan kriteria ketepatan, terjemahan dinilai apakah bentuk-bentuk leksikon dan gramatika di dalam TSu telah dialihkan dengan tepat ke dalam TSa. Pemilihan bentuk leksikon dan bentuk gramatika yang tidak tepat berkontribusi kepada tidak memadainya hasil terjemahan yang sangat mendasar. Namun, ketepatan saja belum tentu membuat pembaca TSa memahami pesan TSa seperti pembaca TSu memahami pesan TSu. Ada kriteria kedua yang harus dipenuhi, yaitu kriteria kejelasan. Bentuk leksikon dan gramatika yang menjalin pesan TSu harus dialihkan dengan ketepatan tinggi ke dalam TSa dengan memperhatikan kejelasan pesan yang dialihkan ke dalam TSa agar pembaca dengan mudah memahaminya. Selain ketepatan dan kejelasan, TSa juga harus terbaca secara wajar. Kewajaran di sini mengacu kepada bentuk leksikon dan gramatika yang lazim atau wajar digunakan di dalam BSa. Makin wajar TSa, makin terjamin pemahaman TSa. Identifikasi kegagalan pragmatik dilakukan dengan menilai subtitle Tano Parsirangan yang berlandaskan pada penilaian ketepatan terjemahan TSu (berupa transkripsi teks lisan berbahasa Batak Toba) ke dalam TSa (berupa subtitle berbahasa Indonesia) yang terdapat di dalam film berjudul Tano Parsirangan. Penilaian ketepatan tersebut dilakukan dengan menggunakan instrumen yang
Universitas Sumatera Utara
dimodifikasi dari Accuracy Rating (Nababan, 2004:50) dan Rambu-Rambu Penilaian Terjemahan (Machali, 2000:156-157)
dengan indikator yang
disesuaikan dengan kriteria kegagalan pragmatik, sebagai berikut: Tabel 2.2 Penilaian Hasil Terjemahan Kategori
Tepat
Tidak Tepat
1. 2. 3. 4. 5. 1. 2. 3. 4. 5.
Indikator Tidak ada distorsi makna Hampir tidak terasa seperti terjemahan Tidak ada kesalahan ejaan Tidak ada kesalahan atau penyimpangan tata bahasa Tidak ada kekeliruan penggunaan istilah Ada distorsi makna Terasa seperti terjemahan Ada kesalahan ejaan Ada kesalahan atau penyimpangan tata bahasa Ada kekeliruan penggunaan istilah
Ketidaktepatan tersebut kemudian dideskripsikan dengan menggunakan teori-teori dari sudut pandang pragmatik yang disebut dengan istilah kegagalan pragmatik
yang
mencakup
kegagalan
pragmalinguistik
dan
kegagalan
sosiopragmatik. 2.2.2
Kegagalan Pragmalinguistik pada Terjemahan Kegagalan pragmalinguistik yang dikaji dalam penelitian ini adalah
kegagalan penerjemah menyampaikan daya pragmatik (pragmatic force) yang dikaitkan dengan sebuah konstruksi tuturan atau kalimat yang terdapat pada TSu ke dalam TSa (Thomas, 1999:163). Pada prinsipnya kegagalan ini terkait dengan kegagalan pemanfaaatan pengetahuan mengenai kaidah-kaidah tata bahasa yang lazim digunakan oleh penerjemah untuk mengungkapkan ujaran tertentu sesuai dengan konteks situasinya. Gunarwan (2005:1-10) menyatakan hanya empat tilikan pragmatik yang dapat diaplikasikan dalam bidang terjemahan, khususnya untuk menganalisis
Universitas Sumatera Utara
kegagalan pragmatik pada terjemahan, yaitu (1) tindak tutur, (2) deiksis, (3) prinsip kerjasama, dan (4) prinsip kesantunan. Tindak tutur dan deiksis adalah tilikan pragmatik yang digunakan untuk menganalisis kegagalan pragmalinguistik pada terjemahan. Oleh karena itu, aspek dasar kegagalan pragmalinguistik yang dianalisis dalam penelitian adalah: (1) kegagalan pengalihan tindak tutur TSu ke dalam TSa dan (2) kegagalan pengalihan deiksis TSu ke dalam TSa. 1. Kegagalan Pengalihan Tindak Tutur TSu ke dalam TSa Teori tindak tutur yang diajukan oleh Searle (1969) adalah teori yang dipakai untuk menganalisis kegagalan pragmalinguistik secara khusus untuk menganalisis kegagalan pengalihan tindak tutur TSu ke dalam TSa. Searle (1969:12-14) membedakan tindak tutur dalam lima kategori, yaitu: (1) tindak tutur representatif, (2) tindak tutur direktif, (3) tindak tutur ekspresif, (4) tindak tutur komisif, dan (5) tindak tutur deklaratif. Tindak tutur representatif adalah tindak tutur yang mengikat penuturnya kepada kebenaran atas hal yang dikatakannya. Tuturan yang termasuk ke dalam jenis tindak tutur representatif, antara lain: menyatakan, menuntut, mengakui, melaporkan, menunjukkan, menyebutkan, memberikan, kesaksian, dan berspekulasi. Tindak tutur direktif yaitu tindak tutur yang dilakukan oleh penuturnya dengan maksud agar lawan tuturnya melakukan tindakan yang disebutkan dalam ujaran itu. Tuturan yang termasuk dalam jenis tindak tutur direktif, antara lain: memaksa, mengajak, meminta, menyuruh, menagih, mendesak, memohon, menyarankan, memerintah, memberikan aba-aba dan menantang. Tindak tutur ekspresif adalah tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya agar ujarannya diartikan sebagai evaluasi tentang hal yang disebutkan di dalam tuturan itu. Tuturan yang termasuk dalam jenis
Universitas Sumatera Utara
tuturan ekspresif, antara lain: memuji, mengucapkan terimakasih, mengkritik, mengeluh, menyalahkan, mengucapkan selamat, dan menyanjung. Tindak tutur komisif adalah tindak tutur yang mengikat penuturnya untuk melaksanakan apa yang disebutkan di dalam tuturannya. Tuturan yang termasuk dalam jenis tindak tutur komisif, antara lain: berjanji, bersumpah, mengancam, menyatakan kesanggupan, dan berkaul. Tindak tutur deklarasi merupakan tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya untuk menciptakan hal yang baru misalnya status atau keadaan dan lain sebagainya. Tuturan yang termasuk dalam jenis tindak tutur deklarasi, antara lain: mengesahkan, memutuskan, membatalkan, melarang, mengizinkan, mengabulkan, mengangkat, menggolongkan, mengampuni dan memaafkan. 2. Kegagalan Pengalihan Deiksis TSu ke dalam TSa Teori deiksis yang diajukan oleh Nababan (1987) adalah teori yang dipakai untuk menganalisis kegagalan pragmalinguistik secara khusus untuk menganalisis kegagalan pengalihan deiksis TSu ke dalam TSa. Nababan (1987:40-42) menjelaskan lima jenis deiksis, yaitu: (1) deiksis persona, (2) deiksis tempat, (3) deiksis waktu, (4) deiksis wacana, dan (5) deiksis sosial. Deiksis persona ialah pemberian bentuk pada peserta dalam peristiwa bahasa. Deiksis tempat ialah pemberian bentuk pada lokasi menurut peserta dalam peristiwa bahasa. Deiksis waktu ialah pemberian bentuk pada rentang waktu seperti yang dimaksudkan penutur dalam peristiwa bahasa. Deiksis wacana ialah rujukan pada bagian-bagian tertentu dalam wacana yang telah diberikan atau sedang dikembangkan. Deiksis sosial ialah rujukan yang dinyatakan berdasarkan perbedaan kemasyarakatan yang mempengaruhi peran pembicara dan pendengar. Penerapan deiksis sosial di dalam
Universitas Sumatera Utara
penelitian ini dibatasi hanya pada penggunaan sistem honorifik petutur (addressee honorifics), yang mencukupi penggunaan bentuk-bentuk kata sapaan hormat yang langsung mengacu kepada petutur, seperti dalam penggunaan gelar-gelar kehormatan atau kepangkatan untuk menyapa petutur (Brown-Levinson, 1987:180). Penggunaan honorifik di dalam bahasa Indonesia dapat dilakukan dengan menggunakan nama jabatan dan kepangkatan, seperti ‘lurah’, ‘camat’, ‘profesor’, ‘dokter’, dan ‘kapten’ (Alwi et al, 1998:259). Selain itu, penutur juga dapat menggunakan bentuk pronomina persona pertama ‘saya’ yang lebih formal dibandingkan dengan ‘aku’. Pronomina persona kedua ‘kamu’ dan ‘Anda’ juga sering digunakan sebagai bentuk resmi alih-alih ‘kau’. Namun, orang Indonesia masih lebih nyaman menggunakan nama jabatan dan pangkat atau malah istilah kekerabatan (‘bapak’ atau ‘ibu’) alih-alih pronomina ‘Anda’. Selain nama jabatan dan istilah kekerabatan, honorifik bahasa Indonesia juga dapat menggunakan bentuk nomina lain, seperti ‘tuan’, ‘nyonya’, ‘nona’ dan ‘Yang Mulia’ (Kridalaksana et al, 1985:30). 2.2.3
Kegagalan Sosiopragmatik pada Terjemahan Kegagalan sosiopragmatik yang dikaji dalam penelitian ini adalah
kegagalan menyampaikan kaidah-kaidah sosial, budaya dan interaksional pada satu bentuk tuturan yang terdapat pada TSu ke dalam TSa (Thomas, 1983:99). Pada prinsipnya, kegagalan ini terkait dengan kegagalan penerjemah untuk menggunakan suatu bentuk tuturan sesuai dengan kaidah-kaidah sosial, budaya, serta interaksional. Gunarwan (2005:1-10) menyatakan hanya empat tilikan pragmatik yang dapat diaplikasikan dalam bidang terjemahan, khususnya untuk menganalisis
Universitas Sumatera Utara
kegagalan pragmatik pada terjemahan, yaitu (1) tindak tutur, (2) deiksis, (3) prinsip kerjasama, dan (4) prinsip kesantunan. Prinsip kerjasama dan prinsip kesantunan adalah tilikan pragmatik yang digunakan untuk menganalisis kegagalan sosiopragmatik pada terjemahan. Oleh karena itu, aspek dasar kegagalan sosiopragmatik yang dianalisis ke dalam penelitian adalah: (1) kegagalan pengalihan prinsip kerjasama TSu ke dalam TSa dan (2) kegagalan pengalihan prinsip kesantunan TSu ke dalam TSa. 1. Kegagalan Pengalihan Prinsip Kerjasama TSu ke dalam TSa Prinsip kerjasama yang diajukan oleh Grice (1975) adalah teori yang dipakai untuk menganalisis kegagalan pragmalinguistik secara khusus untuk menganalisis kegagalan pengalihan prinsip kerjasama TSu ke dalam TSa. Grice (1975:45-47) mengemukakan bahwa wacana yang wajar dapat terjadi apabila antara penutur dan petutur patuh pada prinsip kerjasama komunikasi. Prinsip kerjasama tersebut terdiri dari empat maksim percakapan, yaitu (1) maksim kuantitas, (2) maksim kualitas, (3) maksim relevansi, dan (4) maksim pelaksanaan. Maksim kuantitas menunjukkan bahwa setiap peserta percakapan memberi sumbangan informasi yang dibutuhkan saja dan tidak memberikan sumbangan yang lebih informatif daripada yang diperlukan. Maksim kualitas menunjukkan bahwa setiap peserta pertuturan memberikan sumbangan informasi yang benar. Dengan kata lain baik penutur maupun mitra tutur tidak mengatakan apa-apa yang dianggap salah, dan setiap kontribusi percakapan hendaknya didukung oleh bukti yang memadai. Maksim relevansi menunjukkan bahwa setiap peserta percakapan memberikan kontribusi yang relevan dengan masalah pembicaraan. Maksim pelaksanaan menunjukkan bahwa para peserta pertuturan
Universitas Sumatera Utara
diharapkan untuk berbicara secara langsung, tidak kabur, tidak taksa dan tidak berlebih-lebihan serta runtut. 2. Kegagalan Pengalihan Prinsip Kesantunan TSu ke dalam TSa Prinsip kesantunan yang diajukan oleh Brown-Levinson (1987) adalah teori yang dipakai untuk menganalisis kegagalan pragmalinguistik secara khusus untuk menganalisis kegagalan pengalihan prinsip kesantunan TSu ke dalam TSa. Menurut Brown–Levinson (1987:70-103), kesantunan positif adalah kesantunan yang dimaksudkan untuk menjaga muka positif lawan tutur (meminimalkan ancaman terhadap muka positif lawan tutur). Muka positif mengacu kepada keinginan seseorang untuk dihargai, disenangai dan diterima oleh pihak lain sebagai anggota kelompok yang sama. Kecenderungan penggunaan strategi kesantunan positif adalah dengan menggunakan kedekatan jarak sosial antara penutur dan petutur (in-group membership), yang menyebabkan strategi ini juga disebut sebagai strategi solidaritas. Strategi kesantunan positif dapat dikategorikan sebagai strategi penyelamatan muka (face saving act), seperti yang dikemukakan oleh Yule (1996:66). Brown-Levinson lebih lanjut memaparkan lima belas substrategi kesantunan positif. Substrategi yang pertama adalah dengan mengungkapkan
ketertarikan
kepada
petutur
dengan
memuji
petutur
(penampilannya, pendapatnya, keperluannya, dan benda miliknya). Substrategi yang kedua adalah dengan melebih-lebihkan ketertarikan, persetujuan, dan simpati kepada petutur. Substrategi yang ketiga adalah dengan membuat petutur tertarik kepada topik yang sedang dibicarakan. Substrategi yang keempat adalah dengan menggunakan pemarkah identitas kelompok yang sama (in-group identity markers) untuk menunjukkan kedekatan. Substrategi yang kelima adalah dengan
Universitas Sumatera Utara
mencari persetujuan dengan petutur terhadap sebuah topik. Substrategi yang keenam adalah dengan menghindari ketidaksetujuan dengan petutur. Substrategi yang ketujuh adalah dengan memunculkan kesamaan latar dengan praanggapan yang saling dimengerti oleh penutur dan petutur. Substrategi yang kedelapan adalah dengan memasukkan bentuk-bentuk humor dalam percakapan. Substrategi yang kesembilan adalah dengan memperhatikan bahwa penutur mengetahui dan peduli akan apa yang diinginkan petutur. Substrategi yang kesepuluh adalah dengan menawarkan apa yang diinginkan petutur atau dengan menjanjikannya. Substrategi yang kesebelas adalah dengan menggunakan bentuk-bentuk ujaran yang terkesan optimis bahwa apa yang dituturkan bermanfaat bagi petutur atau tidak merugikan petutur. Substrategi yang kedua belas adalah dengan mengikutsertakan penutur dan petutur dalam melakukan sebuah tindakan. Substrategi yang ketiga belas adalah dengan memberikan atau mempertanyakan alasan penutur melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi penutur atau tidak merugikan penutur. Subtrategi yang keempat belas adalah dengan menyatakan sesuatu sebagai semacam balasan dari apa yang akan atau telah dilakukan petutur kepada penutur. Substrategi yang kelima belas adalah dengan memberikan sesuatu kepada petutur berupa benda hadiah atau simpati. Sedangkan, kesantunan negatif (Brown–Levinson, 1987:70-103) adalah kesantunan yang dimaksudkan untuk menjaga muka negatif lawan tutur (meminimalkan ancaman terhadap muka negatifnya). Muka negatif mengacu kepada keinginan seseorang untuk bebas bertindak tanpa dihalang-halangi orang lain. Kecenderungan penggunaan strategi negatif mengutamakan kebebasan penutur untuk bergerak dan tidak dihalang-halangi. Strategi ini diartikan juga
Universitas Sumatera Utara
sebagai strategi yang menjauhkan jarak sosial penutur dan petutur sehingga sering juga disebut sebagai strategi penghormatan (deference strategy). Brown-Levinson menjabarkan strategi kesantunan negatif ke dalam sepuluh substrategi. Substrategi yang pertama adalah dengan menggunakan tindak tutur tidak langsung alih-alih tindak tutur langsung dalam bertutur. Substrategi yang kedua adalah dengan menggunakan peranti bahasa yang disebut pagar (hedge) yang dapat mengurangi dampak kerasnya sebuah ujaran atau mengurangi tanggungjawab penutur atas kebenaran isi proposisi tuturannya. Substrategi yang ketiga adalah dengan mengutarakan rasa pesimis saat mengujarkan tuturan yang isinya meminta petutur melakukan sesuatu untuk penutur. Substrategi yang keempat adalah dengan meminimalkan atau memperhalus bobot relatif isi tuturan yang ingin diutarakan. Substrategi yang kelima adalah dengan memberi penghormatan kepada petutur seperti dengan penggunaan bentuk honorifik yang sepatutnya. Strategi yang keenam adalah dengan meminta maaf terlebih dahulu sebelum mengujarkan sesuatu yang dapat mengancam muka negatif petutur. Substrategi yang ketujuh adalah dengan menggunakan pronomina jamak atau bentuk-bentuk nomina lain untuk menghindari penggunaan pronomina orang pertama bagi penutur dan pronomina orang kedua bagi petutur, termasuk penggunaan pasif alih-alih bentuk aktif. Substrategi kedelapan adalah dengan memformulasikan ujaran yang mengandung ancaman muka terhadap seseorang sehingga ujaran itu terlihat seperti berlalu untuk banyak orang. Substrategi kesembilan adalah dengan nominalisasi subjek kalimat dengan tidak menggunakan pelaku sebagai subjek. Substrategi yang kesepuluh adalah dengan mengucapkan terima kasih atas tindakan petutur sehingga penutur menjadi berhutang budi kepada petutur.
Universitas Sumatera Utara
Brown-Levinson (1987:103) memberikan panduan untuk mengukur bobot ancaman terhadap muka, yang berguna untuk menentukan strategi kesantunan mana yang dipilih. Panduan itu berasal dari dimensi sosial peristiwa tutur yang dimulai dengan identifikasi tiga faktor, yaitu (1) jarak sosial (social distance) antara penutur dan petutur (D), (2) derajat relatif kuasa (power) yang dimiliki penutur atas petutur (P), dan (3) bobot relatif isi tuturan (rank of imposition) yang dikaitkan dengan budaya yang lazim berlaku di tempat tuturan (R). Jarak sosial antara penutur dan mitra tutur ditentukan oleh parameter perbedaan umur, jenis kelamin, dan latar belakang sosiokultural. Derajat relatif kuasa didasarkan pada kedudukan asimetrik dan peringkat kekuasaan antara penutur dan petutur. Bobot relatif isi tuturan didasarkan atas kedudukan relatif tindak tutur yang satu dengan tindak tutur lainnya. 2. 3
Penelitian yang Relevan Mahsun (2005:42-43) menjelaskan bahwa penelitian yang relevan
memuat uraian sistematis tentang hasil-hasil penelitian terdahulu yang ada hubungannya dengan penelitian yang dilakukan. Uraian tersebut hendaknya menunjukkan bahwa penelitian-penelitian yang pernah dilakukan tersebut belum memperoleh hasil yang memuaskan sehingga diperlukan penelitian lanjutan. Berikut ini adalah pemaparan dari penelitian-penelitian terdahulu yang ada hubungannya dengan penelitian ini. 1.
Penelitian yang dilakukan oleh Mujiyanto (1999) Mujiyanto mengkaji adanya perbedaan derajat kesantunan di dalam tindak
tutur direktif yang terdapat di dalam TSu dan perpadanannya di dalam TSa. Sebagai korpus data, Mujiyanto menggunakan dialog-dialog yang berisi tindak
Universitas Sumatera Utara
tutur direktif yang terdapat di dalam novel A Farewell to Arms, karya Ernest Hemmingway, dan terjemahannya di dalam bahasa Indonesia. Di dalam penelitiannya, Mujiyanto menggunakan ancangan kuantitatif dengan melakukan pengolahan data hasil kuesioner melalui perhitungan statistik. Di dalam analisisnya, Mujiyanto kurang memperhatikan faktor konteks situasi TSu, yang sebenarnya mungkin gagal untuk dipahami oleh penerjemah sehingga memunculkan TSa yang memiliki derajat kesantunan yang berbeda dengan TSu. Kontribusi penelitian yang dilakukan oleh Mujiyanto terhadap penelitian ini adalah penerapan teknik analisis konteks situasi teks sumber yang diterjemahkan ke dalam teks sasaran. 2.
Penelitian yang dilakukan oleh Gunarwan (2005) Gunarwan yang mengusulkan penggunaan tilikan-tilikan pragmatik dalam
menilai hasil terjemahan, terutama dalam terjemahan karya sastra, seperti puisi dan novel. Simpulan makalah Gunawan adalah bahwa penggunaan makna tersirat (implied) di dalam karya sastra membuat penerjemah harus memahami tilikantiilikan pragmatik untuk dapat mengalihkan makna tersirat tersebut secara memadai. Tilikan-tilikan pragmatik juga dapat digunakan untuk menilai memadai atau tidaknya pengalihan pesan sebuah terjemahan. Namun, penelitian Gunawan hanya dilakukan dalam penulisan makalah singkat sehingga cakupan data dan analisisnya sangat terbatas. Kontribusi penelitian yang dilakukan oleh Gunarwan terhadap penelitian ini adalah penerapan sekaligus pembuktian hasil penelitian yang membuktikan bahwa hanya empat tilikan-tilikan pragmatik pada kegagalan pragmatik dalam komunikasi antarbudaya yang dapat diaplikasikan dalam
Universitas Sumatera Utara
mengkaji terjemahan sebagai tindak komunikasi antarbangsa dan antarbudaya yang berbeda. 3.
Penelitian yang dilakukan oleh Luciana (2005) Luciana menggunakan ancangan pragmatik untuk menganalisis terjemahan
film (subtitling) sebagai objek penelitian pragmatik untuk mencari pengalihan strategi kesantunan Brown-Levinson di dalam terjemahan film The Dead Man Walking. Dengan mengkaji seluruh dialog di dalam film itu, Luciana menemukan hampir sebagian besar kesantunan di dalam TSu berhasil dialihkan ke dalam TSa. Yang menjadi masalah di dalam terjemahan itu adalah kurang tepatnya pengalihan kata sapaan dan penggunaan question tag (klausa pengukuhan), yang malah sering dihilangkan begitu saja di dalam TSa. Hasil penelitian Luciana sangat baik dan dapat dijadikan acuan bahwa ancangan pragmatik dapat digunakan untuk mengkaji terjemahan. Kontribusi penelitian yang dilakukan oleh Luciana terhadap penelitian ini adalah penerapan teknik analisis terjemahan ujaran lisan ke dalam subtitle. 4.
Penelitian yang dilakukan oleh Marthinovianto (2007) Marthinovianto membahas masalah penilaian terjemahan dialog novel The
Da Vinci Code karya Dan Brown (2003) dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia dengan menggunakan ancangan pragmatik. Penelitian Marthinovianto menilai baik buruknya terjemahan dialog melalui pemerian kegagalan pragmalinguitik dan kegagalan
sosiopragmatik.
Penelitian
menunjukkan
bahwa
tilikan-tilikan
pragmatik seperti daya ilokusioner, tindak tutur tidak langsung, ungkapan rutin, kesantunan positif, kesantunan negatif, deiksis dan pagar dapat digunakan sebagai pisau analisis untuk menilai hasil terjemahan. Hasil penelitian menunjukkan
Universitas Sumatera Utara
terjemahan dialog novel The Da Vinci Code belum memenuhi kriteria ketepatan, kejelasan, dan kewajaran sehingga dinilai tidak baik sebab terjadi banyak kegagalan pragmalinguitik dan kegagalan sosiopragmatik. Kontribusi penelitian yang dilakukan oleh Marthinovianto terhadap penelitian ini adalah penerapan teknik analisis kegagalan pragmatik yang terdiri dari dua bagian, yaitu kegagalan pragmalinguistik dan kegagalan sosiopragmatik. 2. 4
Kerangka Pikir Penelitian Pelaksanaan penelitian ini didasarkan pada pemikiran bahwa teks
terjemahan (lisan atau tulisan) merupakan salah satu bentuk tindak komunikasi, terutama komunikasi antarbahasa dan antarbudaya. Sebagai tindak komunikasi, teks terjemahan memiliki fitur-fitur tindak tutur yang dapat dikaji melalui tilikantilikan pragmatik antarbudaya. Salah satu teks yang banyak diterjemahkan di Indonesia adalah ujaran lisan pada film. Penerjemahan ujaran lisan pada film memiliki keunikan tersendiri yaitu satuan terjemahannya tidak lagi menggunakan tataran kata tetapi lebih pada tataran teks yang disertai konteks yang menyertai teks tersebut. Makna ujaran lisan dalam film harus disampaikan dengan tepat dalam subtitle agar penonton mudah memahami makna ujaran lisan tersebut. Namun, banyak hasil terjemahan ujaran lisan pada film dinilai kurang memadai. Hal ini dapat disebabkan karena kegagalan penerjemah dalam mengartikan apa yang dimaksud penutur teks sumber (TSu). Kegagalan tersebut dikenal dengan istilah kegagalan pragmatik, yang terdiri dari dua bagian yaitu: (1) kegagalan pragmalinguistik dan (2) kegagalan sosiopragmatik. Untuk meminimalkan kegagalan pragmatik dan meningkatkan kualitas subtitle agar memenuhi kriteria
Universitas Sumatera Utara
kualitas terjemahan yang baik, perlu dilakukan revisi pada subtitle yang mengandung kegagalan pragmatik. TERJEMAHAN SEBAGAI TINDAK KOMUNIKASI
TSu ujaran lisan Film Tano Parsirangan (bahasa Batak Toba) Pragmatik (Makna & Konteks)
TSa subtitle Film Tano Parsirangan (bahasa Indonesia) subtitling
Pragmatik (Makna & Konteks)
Identifikasi Kegagalan Pragmatik melalui Penilaian Ketepatan Subtitle
Kegagalan Pragmatik dalam subtitle Kegagalan Pragmalinguistik
Kegagalan Sosiopragmatik
Revisi Terjemahan yang Disarankan
Gambar 2.2 Kerangka Pikir Penelitian
Universitas Sumatera Utara