BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kajian Teoritis 2.1.1 Kapasitas Paru Nilai kapasitas ini mencakup dua atau lebih nilai volume paru, dalam siklus paru, kombinasi tersebut disebut Kapasitas Paru, seperti : (Yulaekah, 2007:49) a) Kapasitas Paru Total (KPT), yaitu jumlah maksimal udara yang dapat dimuat paru pada akhir inspirasi maksimal dengan cara inspirasi paksa sebesar ± 6.900 ml. b) Kapasitas Vital (KV) yaitu jumlah maksimal udara yang dapat dikeluarkan seseorang dari paru dengan sekuat - kuatnya setelah terlebih dahulu mengisi paru secara maksimal dan kemudian mengeluarkan dengan maksimal ± 4.600 ml. c) Kapasitas Inspirasi, yaitu jumlah maksimal udara yang dapat dihirup oleh seseorang sebesar ± 3.500 ml dari posisi istirahat (akhir ekspirasi tenang / normal) sampai jumlah maksimal. d) Kapasitas Residu Fungsional (KRF), yaitu jumlah udara yang masih tertinggal / tersisa dalam paru pada posisi istirahat atau akhir respirasi normal sebesar ± 2.300 ml. e) Kapasitas paru wanita, volume kapasitas paru pada wanita 25% lebih kecil dari pada volume kapasitas pada pria dan lebih besar lagi pada seorang atlet dan bertubuh besar dari pada seorang atlet bertubuh kecil.
2.1.2 Sistem Respirasi Pernapasan (respirasi) adalah peristiwa menghirup udara dari luar yang mengandung O2 (oksigen) ke dalam tubuh serta menghembuskan udara yang banyak mengandung CO2 (karbondioksida) sebagai sisa dari oksidasi keluar tubuh. Penghisapan ini disebut inspirasi dan menghembuskan disebut ekspirasi (Syaifuddin, 1996). Sistem pernapasan tersusun atas saluran pernapasan dan paru-paru sebagai tempat pertukaran udara pernapasan. Pernapasan merupakan proses untuk memenuhi kebutuhan oksigen yang diperlukan dalam mengubah sumber energi menjadi energi, serta membuang CO2 sebagai sisa metabolisme. Paru-paru merupakan organ dalam sistem pernapasan yang berfungsi untuk menukar oksigen dalam sistem karbondioksida dari darah dengan bantuan haemoglobin. proses ini dikenal sebagai respirasi atau pernapasan (Mulia, M. Ricki, 2005:34-35).
Gambar 2.1 Sistem Pernapasan Sumber: Yulaekah, 2007:40
Saluran pernapasan dibagi menjadi dua bagian yaitu zona penghantar (conducting zone) yang berfungsi sebagai sarana penghantar aliran udara, dan zona pernapasan (respiratory zone) yang berfungsi sebagai sarana untuk pertukaran gas. Saluran pernapasan tersusun atas lubang hidung, rongga hidung, faring, laring, trakea, bronkus, dan bronkiolus. 2.1.3 Anatomi Saluran Pernapasan Menurut Price & Wilson bahwa Saluran pernapasan dari hidung sampai bronkiolus dilapisi oleh membran mukosa bersilia. Udara masuk melalui rongga hidung, disaring, dihangatkan dan dilembabkan. Hal ini dapat terjadi karena adanya mukosa saluran pernapasan, yang terdiri dari epitel toraks bertingkat, bersilia, dan mengandung sel goblet. Partikel debu yang kasar dapat disaring oleh rambut yang terdapat dalam lubang hidung, sedangkan partikel debu yang halus akan terjerat dalam lapisan mukosa. Gerakan silia mendorong lapisan mukosa ke posterior, ke rongga hidung, dan ke arah superior menuju faring. Udara inspirasi akan disesuaikan, sehingga dalam keadaan normal, jika udara tersebut mencapai faring, dapat dikatakan hampir ‘bebas debu’ yang bersuhu sama dengan suhu tubuh dan kelembabannya 100% (dalam Mukono, 2003:51).
Gambar 2.2 Paru-paru Manusia Sumber: Anderson.P.S,Mc.Carty. W.L.Clinical Concept of Deasese Processes. Edisi 4. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. 1995. H.651
Pada bagian respirasi akan terjadi pertukaran udara (difus) yang sering disebut dengan unit paru (lung unit), yang terdiri dari bronkiolus respiratorius, duktus alveolaris, atrium dan sakus alveolaris (Mengkidi, 2006:13). Bila ditinjau dari traktus respiratorius, maka yang berfungsi sebagai konduksi adalah trakea, bronkus utama, bronkus lobaris, bronkus segmental, bronkus
subsegmental,
bronkus
terminalis,
bronkiolus,
bronkiolus
nonrespiratorius. Sedangkan yang bertindak sebagai bagian respirasi adalah bronkiolus respiratorius, bronkiolus terminalis, duktus alveolaris,sakus alveolaris dan alveoli (Mengkidi, 2006:13). Laring terdiri dari satu seri cincin tulang rawan yang dihubungkan oleh otot dan di sini didapatkan pita suara dan epiglotis. Glotis merupakan pemisah antara saluran pernapasan bagian atas dan bawah. Kalau ada benda asing masuk sampai melewati glotis, maka dengan adanya refleks batuk akan
membantu mengeluarkan benda atau sekret dari saluran pernapasan bagian bawah (Mukono, 2003:51). Trakea disokong oleh cincin tulang rawan yang berbentuk seperti sepatu kuda yang panjangnya kurang lebih 5 inci. Permukaan posterior agak pipih (karena cincin tulang rawan di situ tidak sempurna), dan letaknya tepat di depan esofagus. Tempat di mana trakea bercabang menjadi bronkus utama kiri dan kanan dikenal sebagai karina. Karina memiliki banyak saraf dan dapat menyebabkan bronkospasme dan batuk yang kuat jika dirangsang (Mengkidi, 2006:14). Menurut Tabrani, 1996 bahwa Paru-paru adalah dua organ yang berbentuk seperti bunga karang besar yang terletak di dalam torak pada sisi lain jantung dan pembuluh darah besar. Paru-paru memanjang mulai dari dari akar leher menuju diagfragma dan secara kasar berbentuk kerucut dengan puncak di sebelah atas dan alas di sebelah bawah (dalam Mengkidi, 2006:15). Diantara
paru-paru
mediastinum,
yang
dengan
sempurna
memisahkan satu sisi rongga torasik sternum di sebelah depan. Di dalam mediastinum terdapat jantung, dan pembuluh darah besar, trakea dan esofagus, dustuk torasik dan kelenjar timus. Paru-paru dibagi menjadi lobuslobus. Paru-paru sebelah kiri mempunyai dua lobus, yang dipisahkan oleh belahan yang miring. Lobus superior terletak di atas dan di depan lobus inferior yang berbentuk kerucut. Paru-paru sebelah kanan mempunyai tiga lobus. Lobus bagian bawah dipisahkan oleh fisura oblik dengan posisi yang sama terhadap lobus inferior kiri. Sisa paru lainnya dipisahkan oleh suatu
fisura horisontal menjadi lobus atas dan lobus tengah. Setiap lobus selanjutnya dibagi menjadi segmen-segmen yang disebut bronko-pulmoner, mereka dipisahkan satu sama lain oleh sebuah dinding jaringan koneknif , masing-masing satu arteri dan satu vena. Masing-masing segmen juga dibagi menjadi unit-unit yang disebut lobulus (Mengkidi, 2006:15). Cabang utama bronkus kanan dan kiri bercabang-cabang menjadi segmen lobus, kemudian menjadi segmen bronkus. Percabangan ini diteruskan sampai cabang terkecil bronkiolus terminalis yang tidak mengandung alveolus, bergaris tengah sekitar 1 mm, diperkuat oleh cincin tulang rawan yang dikelilingi otot polos (Mukono, 2003:52) Diluar bronkiolus terminalis terdapat asinus sebagai unit fungsional paru yang merupakan tempat pertukaran gas. Asinus tersebut terdiri dari bronkiolus respiratorius yang mempunyai alveoli. Duktus alveolaris yang seluruhnya dibatasi oleh alveolus dan sakus alveolaris terminalis, merupakan struktur akhir paru-paru (Mukono, 2003:52). Menurut Nadakavukaren dan Davis & cornwel bahwa Setiap paru berisi sekitar 300 juta alveolus dengan luas permukaan total seluas sebuah lapangan tenis. Alveolus merupakan gelembung gas yang dikelilingi oleh jalinan kapiler, alveolus dibatasi oleh zat lipoprotein yang disebut surfaktan, yang dapat mengurangi tegangan permukaan dan mengurangi reistensi terhadap pengembangan pada waktu inspirasi serta mencegah kolapsnya alveolus pada waktu ekspirasi. Pembentukan surfaktan oleh sel pembatas alveolus (Tipe II) tergantung dari beberapa faktor antara lain pendewasaan
sel-sel alveolus dan sistem biosintesis enzim, ventilasi yang memadai, serta aliran darah ke dinding alveolus. Defisiensi surfaktan merupakan faktor penting
pada
patogenesis
beberapa
penyakit
rongga
dada
(dalam
Mukono,2003:52).
Gambar 2.3 Alveolus Manusia Sumber: Anderson.P.S,Mc.Carty. W.L.Clinical Concept of Deasese Processes. Edisi 4. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. 1995. H.652
Anderson, 1989:515-521 (dalam Mukono, 1997) menyatakan bahwa diluar bronkiolus terminalis terdapat asinus sebagai unit fungsional paru yang merupakan tempat pertukaran gas, asinus tersebut terdiri dari bronkiolus respiratorius yang mempunyai alveoli. Duktus alveolaris yang seluruhnya dibatasi oleh alveolus dan sakus alveolaris terminalis, merupakan struktur akhir paru-paru (dalam Mengkidi,2006:18). 2.1.4 Fisiologi Saluran Pernapasan Dan Paru Proses fisiologi pernapasan dibagi menjadi dua stadium. a) Stadium Ventilasi Stadium ini adalah masuknya udara dan keluar dari paru yang disebut sebagai ventilasi paru. Laju aliran udara dalam percabangan saluran
pernapasan paru tidak sama, di daerah proksimal (aawal percabangan) lebih cepat dibandingkan dengan daerah distal (akhir percabangan). Selama inspirasi, volume toraks bertambah besar karena diafragma turun dan iga terangkat akibat kontraksi beberapa otot pernapasan. Pembesaran toraks 3 (tiga) arah, yaitu mencakup anteroposterior, lateral dan vertikal. Udara bergerak masuk dan keluar dari paru karena selisih tekanan yang terdapat antara atmosfer dan alveolus oleh kerja mekanik otot (Mukono, 2003:54). b) Stadium Transportasi 1) Difusi Menurut Price & Wilson bahwa difusi merupakan stadium dari proses pernapasan, yang mencakup proses difusi gas melintas membran antara alveolus kapiler yang tipis (dengan tebal kurang dari 0,5 mikron). Tekanan parsial oksigen dalam darah vena campuran (PVO2) dalam kapiler paru besarnya sekitar 40 mmHg. Tekanan parsial oksigen dalam kapiler lebih rendah daripada tekanan dalam alveolus (PAO2 = 103 mmHg). Oleh karena itu oksigen dapat dengan mudah berdifusi ke dalam aliran darah. Selisih tekanan CO2 antara darah dan alveolus yang jauh lebih rendah (6 mmHg) menyebabkan karbondioksida berdifusi ke dalam alveolus (dalam Mukono, 2003:54). 2) Hubungan Ventilasi-Perfusi Menurut Price & Wilson bahwa Pemindahan gas secara efektif antara alveolus dan kapiler paru membutuhkan distribusi udara dalam paru dan perfusi (aliran darah) dalam kapiler. Nilai rata-rata rasio antara
ventilasi terhadap perfusi (V/O) adalah 0,8. Angka ini didapatkan dari rasio rata-rata laju ventilasi alveolar normal (4 liter/menit) dibagi dengan curah jantung normal (5 liter/menit) (dalam Mukono,2003:55). 3) Transpor Oksigen Dalam Darah Menurut Price & Wilson bahwa Oksigen dapat ditranspor oleh darah dari paru ke seluruh tubuh melalui dua jalan, yaitu secara fisik larut dalam plasma dan secara kimia berikatan dengan haemoglobin (Hb) sebagai oksihaemoglobin (HbO2). Dalam transpor oksihaemoglobin dikatakan bahwa satu gram haemoglobin dapat berikatan dengan 1,34 ml oksigen. Karena konsentrasi haemoglobin rata-rata dalam darah laki-laki dewasa besarnya sekitar 15 gram per 100 ml, maka apabila darah sangat jenuh (SaO2 = 100%), 100 ml darah dapat mengangkut 20,1 ml oksigen (dalam Mukono, 2003:55). Pada tingkat jaringan, oksigen mengalami disosiasi dari haemoglobin dan berdifusi ke dalam plasma. Dari plasma, oksigen masuk kedalam sel jaringan tubuh untuk memenuhi oksigen kebutuhan jaringan tersebut. Sebanyak 75% haemoglobin masih berikatan dengan oksigen pada waktu haemoglobin kembali ke paru dalam bentuk darah vena campuran. Jadi hanya sekitar 25% oksigen dalam darah arteri yang digunakan oleh jaringan. Haemoglobin yang melepaskan oksigen pada tingkat
jaringan,
(Mukono,2003:55).
disebut
haemoglobin
tereduksi
tereduksi
(Hb)
4) Transpor Karbondioksida Dalam Darah Transpor CO2 dari jaringan ke paru untuk dibuang, dilakukan dengan tiga cara, yaitu: (Mukono, 2003:55) a) Sekitar 10% CO2 secara fisik larut dalam plasma b) Sekitar 20% CO2 berikatan dengan gugus amino pada
Hb
(karbaminohaemoglobin) dalam sel darah merah c) Sekitar 70% di transpor sebagai bikarbonat plasma. Menurut Rahajoe (1994), dari aspek fisiologis, ada dua macam pernapasan yaitu : a) Pernapasan luar (eksternal respiration), yaitu penyerapan O2 dan pengeluaran CO2 dalam paru-paru. b) Pernapasan dalam (internal respiration) yang aktifitas utamanya adalah pertukaran gas pada metabolisme energi yang terjadi dalam sel. Ditinjau dari aspek klinik yang dimaksud dengan pernapasan pada umumnya adalah pernapasan luar (dalam Mengkidi, 2006:20). 2.1.5 Volume Paru Ada empat jenis volume paru yang masing - masing berdiri sendirisendiri, tidak saling tercampur. Arti dari masing - masing volume paru tersebut adalah sebagai berikut: (Yulaekah, 2007:48) a) Volume Alun nafas (tidal volume), yaitu jumlah udara yang dihisap atau dihembuskan dalam satu siklus napas normal. Alun napas waktu istirahat lebih kecil dari pada waktu kerja. Makin berat kerjanya, makin besar alun napas. Tentunya sampai batas tertentu. Apabila alun napas ini dikalikan
dengan frekuensi napas semenit, akan didapat nilai napas semenit. Besarnya ± 500 ml pada rata - rata orang dewasa. b) Volume Cadangan inspirasi, yaitu jumlah maksimal udara yang masih dapat dihirup sesudah akhir inspirasi tenang. Biasanya mencapai 3.000 ml. c) Volume Cadangan ekspirasi, yaitu jumlah maksimal udara yang masih dapat dihembuskan sesudah akhir ekspirasi tenang. Pada pernapasan tenang, ekspirasi terjadi secara pasif, tidak ada otot ekspirasi yang bekerja. Ekspirasi hanya terjadi oleh daya lenting dinding dada dan jaringan paru semata - mata. Posisi rongga dada dan paru pada akhir ekspirasi ini merupakan posisi istirahat. Bila dari posisi istirahat ini dilakukan gerak ekspirasi sekuat - kuatnya sampai maksimal, udara cadangan ekspirasi itulah yang keluar. (volume udara yang masih tetap dalam paru setelah ekspirasi yang paling kuat), jumlahnya ± 1.100 ml. d) Volume residu yaitu jumlah udara yang masih ada di dalam paru sesudah melakukan ekspirasi maksimal atau ekspirasi yang paling kuat, volume tersebut ± 1.200 ml. 2.1.6 Faktor - faktor Yang Mempengaruhi Kapasitas Fungsi Paru a) Jenis Kelamin Menurut Antarudin (2002) bahwa kapasitas vital rata – rata pria dewasa muda lebih kurang 4,6 liter dan perempuan muda kurang lebih 3,1 liter (dalam Yulaekah, 2007:50). Menurut Lorriane, dan Sylvia (1995) Volume paru pria dan wanita terdapat perbedaan bahwa kapasitas paru total (kapasitas inspirasi dan
kapasitas residu fungsional), pria adalah 6,0 liter dan wanita 4,2 liter (dalam Yulaekah, 2007:50). b) Posisi Posisi tidur seseorang nilai kapasitas fungsi paru lebih rendah dibanding posisi berdiri. Pada posisi tegak, ventilasi persatuan volume paru di basis paru lebih besar dibandingkan di bagian apeks, hal tersebut terjadi karena pada awal inspirasi, tekanan intrapleura di bagian basis paru kurang negatif
dibandingkan
bagian
apeks,
sehingga
perbedaan
tekanan
intrapulmonal - intrapleura di bagian basis lebih kecil dan jaringan paru kurang terenggang. Keadaan tersebut menjadi prosentase volume paru maksimal posisi berdiri lebih besar nilainya (Yulaekah, 2007:50). c) Kekuatan Otot-otot Pernapasan Di dalam pengukuran kapasitas fungsi paru merupakan indeks fungsi paru yang bermanfaat dalam memberikan informasi mengenai kekuatan otot - otot pernapasan, apabila nilai kapasitas normal tetapi nilai FEV1 menurun maka dapat mengakibatkan sakit, seperti pada penderita asma (Yulaekah, 2007:51). d) Ukuran Dan Bentuk Anatomi Tubuh Obesitas meningkatkan risiko komplikasi KRF (Kapasitas Residu Ekspirasi) dan VCE (Volume Cadangan Ekspirasi) menurun dengan semakin beratnya tubuh. Pada penderita obesitas VCE lebih kecil dari pada CV, mengakibatkan sumbatan saluran napas (Yulaekah, 2007:51).
e) Proses Penuaan Atau Bertambahnya Umur Umur meningkatkan risiko mortalitas dan morbiditas. Terjadinya penurunan volume paru statis, arus puncak ekspirasi maksimal daya regang paru dan tekanan O2 paru. Aktivitas refleks saluran napas berkurang pada orang berumur, mengakibatkan kemampuan daya pembersih saluran napas berkurang (Yulaekah, 2007:51). f) Daya Pengembangan Paru (Complience) Menurut Lorriane, Sylvia (1995) Yeung, Lam, Enarson D (1995) Peningkatan volume dalam paru menghasilkan tekanan positip, sedangkan penurunan volume dalam paru menimbulkan tekanan negatip. Perbandingan antara perubahan volume paru dengan satuan perubahan tekanan saluran udara menggambarkan complience jaringan paru dan dinding dada. Complience paru sedikit lebih besar apabila diukur selama pengempisan paru dibandingkan diukur selama pengembangan paru (dalam Yulaekah, 2007:5152). 2.1.7 Pemeriksaan Kapasitas Paru dan Klasifikasi Penilaian Menurut Rahmatullah (2006) bahwa Pemeriksaan fungsi paru pada pekerja berguna untuk mendeteksi penyakit paru, gangguan pernapasan sebelum bekerja, menemukan penyakit secara dini serta memperbaiki perjalanan penyakit, disamping itu juga untuk mengetahui bahaya yang ada di tempat kerja serta mendapatkan standar bahaya pemaparan debu kapur terhadap kapasitas fungsi paru. Pemeriksaan kapasitas paru dengan
menggunakan Portable Spyrometer sebagai alat pemeriksaan untuk mengukur volume paru statik dan dinamik (dalam Yulaekah, 2007:63). Spirometer adalah alat yang digunakan untuk mengukur kapasitas udara di paru-paru. Standar dan acuan yang dipakai adalah nilai normal faal orang indonesia (penumobile project indonesia / PPI 1992). Pada penyakitpenyakit resriktif, spirometri biasanya memperlihatkan penurunan kapasitas vital dan kecepatan aliran yang normal, walaupun kadang-kadang kecepatan aliran akan berkurang secara proporsional terhadap berkurangnya kapasitas vital. FEV1 mungkin berkurang pada kelainan restriktif, sebaliknya FEV1/VC umumnya normal pada kasus-kasus tersebut (Lehrer, 1991: 11). Sebuah spirometri tipikal terdiri atas sebuah drum yang tertelungkup diatas suatu bejana berisi air, drum tadi diimbangkan dengan suatu pemberat. Drum itu berisi campuran gas pernapasan, biasanya udara atau oksigen; mulut orang yang diperiksa dihubungkan ke ruang gas melalui sebuah saluran. Ketika orang tadi bernapas dan mengeluarkan udara ke dalam ruang udara tadi, drum tersebut akan bergerak turun-naik. Gerakan tadi dapat dicatat pada secarik kertas yang bergerak (Lehrer, 1991: 11). Jika seorang pasien mengeluarkan napas secepat dan selama mungkin dari inspirasi dalam ke suatu spirometer, volume yang di ekspirasikan dalam detik pertama adalah volume ekspirasi paksa dalam 1 detik (forced expiratory volume/FEV1) dan ekspirasi total adalah kapasitas vital paksa (forced vital capacity/FVC). Kapasitas vital relaksasi (lambat) mungkin memberikan penilaian lebih baik mengenai volume udara yang
terperangkap pada obstruksi jalan napas kronis dan mudah untuk diukur seperti kedua nilai ini. Konstruksi pada jalan napas utama (misalnya asma) lebih menurunkan FEV1 daripada FVC. Restriksi paru (misalnya fibrosis) menurunkan FVC dan sedikit FEV1. Maka rasio FEV1: FVC cenderung lebih rendah pada penyakit paru obstruktif (misalnya bronkhitis kronis dan asma) dan normal atau tinggi pada alveolitis fibrosa (Rubenstein, Wayne, dan John Bradley, 2007: 60-61). Laju aliran ekspirasi puncak (peak expiratory flow rate/PEFR) mengukur laju aliran udara yang dikeluarkan pada awal suatu ekspirasi paksa. Informasi yang diberikan sama dengan FEV1 (Rubenstein, Wayne, dan John Bradley, 2007: 61). Nilai normal untuk semua tes ini berbeda-beda menurut usia, jenis kelamin, ukuran tubuh dan ras, dan harus dilihat nomogram yang sesuai kecuali perubahan yang terlihat tampak jelas (Rubenstein, Wayne, dan John Bradley, 2007: 61).
Gambar 2.4 Spirometer Sumber: Yulaekah, 2007: 64 Keuntungan
penggunaan
alat
ini
adalah
:
a.
mudah
pengoperasiannya, sehingga dapat diterapkan secara luas oleh tenaga
kesehatan yang ada di lapangan. b. Ringan sehingga mudah di bawa ke mana - mana. c. Hasilnya cepat diketahui dan d. Biaya operasionalnya murah. Dengan menggunakan spirometer akan diketahui beberapa parameter faal paru orang yang diperiksa (Yulaekah, 2007: 64). a) Volume Statik: Volume udara di dalam paru pada keadaan statik : 1) Volume Tidal (VT) adalah jumlah udara yang dihisap (inspirasi) tiap kali pada pernapasan tenang. 2) Expiration Residual Volume (ERV) atau volume cadangan ekspirasi adalah jumlah udara yang dapat dikeluarkan secara maksimal setelah inspirasi biasa. 3) Inspiration Residual Volume (IRV) atau volume cadangan inspirasi adalah jumlah udara yang dapat dihisap maksimal setelah inspirasi biasa. 4) Residual Volume (RV) atau volume residu adalah jumlah udara yang tinggal di dalam paru pada akhir ekspirasi maksimal. 5) Vital Capasity (VC) atau kapasitas vital adalah jumlah udara yang dapat dikeluarkan maksimal setelah inspirasi maksimal yaitu gabungan dari IRV + VT + ERV. 6) Force Vital Capacity (FVC) adalah sama dengan VC tetapi dilakukan secara cepat dan paksa.
7) Inspirasi Capacity (IC) atau kapasitas inspirasi adalah jumlah udara yang dapat dihisap maksimal setelah ekspirasi gabungan dari VT + IRV. 8) Fungsional Residual Capacity (FRC) atau kapasitas residu fungsional adalah udara yang ada di dalam paru pada akhir ekspirasi biasa, gabungan dari ERV + RV. 9) Total Lung Capacity (TLC) atau kapasitas paru total adalah jumlah udara di dalam paru pada akhir inspirasi maksimal, gabungan dari FRV + VT + ERV + RV. b) Volume Dinamik: 1) Force Volume I second (FEV1) atau volume ekspirasi paksa detik pertama adalah jumlah udara yang dapat dikeluarkan sebanyak banyaknya dalam 1 detik pertama pada waktu ekspirasi maksimal setelah inspirasi maksimal. 2) Maximal Voluntary Ventilation (MVV) adalah jumlah udara yang dapat dikeluarkan secara maksimal dalam 2 menit dengan bernapas cepat dan dalam secara maksimal. Tabel 2.1 Derajat Kapasitas Fungsi Paru Parameter Derajat Gangguan Fungsi Paru Fungsi % Ringan VC 60-79 FVC 60-79 FEVI/FVC 60-79 Sumber: Khumaidah/Tesis/2009
Sedang 30-59 30-59 30-59
Berat <30 <30 <30
2.1.8 Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan Kapasitas Paru Faktor - faktor yang mempengaruhi gejala saluran pernapasan dan gangguan kapasitas paru khususnya dari aspek tenaga kerja yang meliputi kebiasaan merokok, masa kerja, umur, kebiasaan penggunaan APD, status gizi dan kebiasaan Olahraga (Yulaekah, 2007:67). a) Kebiasaan Merokok Mannopo,
1987
menyatakan
bahwa
Merokok
dapat
menyebabkan perubahan struktur, fungsi saluran napas dan jaringan paruparu. Pada saluran napas besar, sel mukosa membesar (hipertrofi) dan kelenjar mukus bertambah banyak (hiperplasia). Pada saluran napas kecil, terjadi radang ringan hingga penyempitan akibat bertambahnya sel dan penumpukan lendir. Pada jaringan paru - paru terjadi peningkatan jumlah sel radang dan kerusakan alveoli (dalam Yulaekah, 2007: 67-68). b) Masa Kerja Menurut Depkes RI, 1994 bahwa setiap kegiatan industri selalu menggunakan teknologi, baik teknologi yang canggih ataupun sederhana. Efek samping penggunaan teknologi dapat mengganggu tatanan kehidupan dan lingkungan hidup, khususnya penggunaan teknologi yang dapat berdampak negatif pada tenaga kerja (dalam Yulaekah, 2007: 70). Menurut Wardhana, 2001 bahwa pekerja yang berada pada lingkungan kerja dengan kadar debu tinggi dalam waktu lama memiliki risiko tinggi terkena obstruksi paru (dalam Yulaekah, 2007: 70)
c) Umur Menurut Raharjo, 1988 bahwa Faal paru akan meningkat dengan bertambahnya umur, nilai faal paru mulai dari masa kanak–kanak terus meningkat sampai mencapai titik optimal pada usia 22–30 tahun. Sesudah itu terjadi penurunan, setelah mencapai titik pada usia dewasa muda, difusi paru, ventilasi paru, proses inspirasi O2 dan semua parameter paru akan menurun sesuai dengan perubahan usia. Sesudah usia pubertas anak laki – laki menunjukkan kapasitas faal paru yang lebih besar dari pada perempuan (dalam Yulaekah, 2007: 70). d) Kebiasaan penggunaan APD Habsari, 2003 menyatakan bahwa APD untuk pekerja adalah alat pelindung untuk pekerja agar aman dari bahaya atau kecelakaan akibat melakukan suatu pekerjaannya (dalam Yulaekah, 2007: 71). Hal ini sesuai dengan Undang-Undang No 1 Th 1970 tentang keselamatan kerja khususnya pasal 9, 12 dan 14 yang mengatur penyediaan dan penggunaan alat pelindung diri di tempat kerja baik pengusaha maupun tenaga kerja (Khumaidah, 2009: 57). APD untuk pekerja di Indonesia sangat banyak sekali permasalahannya dan masih dirasakan banyak kekurangannya (Yulaekah, 2007: 71). Habsari, 2003 menyatakan Sedangkan APD yang baik adalah yang memenuhi standar keamanan dan kenyamanan bagi pekerja (Safety and Acceptation). Apabila pekerja memakai APD merasa kurang nyaman
dan penggunaannya kurang bermanfaat bagi pekerja. Pekerja tersebut akan enggan memakainya, walaupun memakai karena terpaksa / hanya berpura pura sebagai syarat agar masih diperbolehkan untuk bekerja atau menghindari sanksi perusahaan ( dalam Yulaekah, 2007: 71). APD yang tepat bagi tenaga kerja yang berada pada lingkungan kerja dengan paparan debu dan kontaminasi udara dengan berbagai macam gas-gas berkonsentrasi tinggi adalah: 1) Masker untuk melindungi debu atau partikel - partikel yang lebih kasar masuk ke dalam saluran pernapasan, terbuat dari bahan kain dengan ukuran pori - pori tertentu. 2) Respirator pemurni udara, membersihkan udara dengan cara menyaring atau menyerap kontaminan toksinitas rendah sebelum memasuki sistem pernapasan (Yulaekah, 2007: 71).
Gambar 2.5 Alat Pelindung Pernapasan Sumber: A.M Sugeng Budiono dkk.Bungai Rampai HIPERKES & KK Edisi 2. Tri Tunggal Tata Fajar.Jakarta. 2002.h.332
e) Status Gizi Menurut Almatsier, S. (2002) Status gizi buruk akan menyebabkan daya tahan seseorang menurun, sehingga seseorang mudah terkena infeksi oleh mikroba. Berkaitan dengan infeksi saluran pernapasan, apabila terjadi secara berulang dan disertai batuk berdahak, akan menyebabkan terjadinya bronkhitis kronis (dalam Yulaekah, 2007:71-72). Salah satu penilaian status gizi seseorang yaitu dengan menghitung Indeks Massa Tubuh (IMT). Hasil penelitian tentang kegemukan dan angka kematian, dijelaskan bahwa kegemukan dapat mengurangi umur seseorang (Yulaekah, 2007:72). Bahkan orang gemuk yang tidak merokok berarti hidupnya lebih sehat, memiliki risiko kematian dini yang lebih tinggi dibanding orang yang lebih kurus (Yulaekah, 2007:72). Untuk memantau berat badan dapat digunakan IMT, dengan IMT akan diketahui apakah berat badan seseorang dinyatakan normal, kurus atau gemuk. Penggunaan IMT hanya untuk orang dewasa berumur lebih dari 18 tahun dan tidak dapat diterapkan pada bayi, anak, remaja, ibu hamil dan olahragawan (Yulaekah, 2007:72). Untuk mengetahui nilai IMT dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut : ௧ ௗ ()
IMT = ் ௗ (ெ) ௫ ் ௗ (ெ) Batas ambang IMT ditentukan dengan merujuk ketentuan FAO atau WHO, yang membedakan batas ambang untuk laki - laki dan
perempuan. Disebutkan bahwa batas ambang normal untuk laki-laki adalah 20,1 - 25,0 dan untuk perempuan adalah 18,7 - 23,8. Untuk kepentingan
Indonesia
batas
ambang
dimodifikasi
berdasarkan
pengalaman klinis dan hasil penelitian di beberapa negara berkembang. Pada akhirnya diambil kesimpulan batas ambang IMT untuk Indonesia adalah sebagai berikut (dalam Yulaekah, 2007: 71-73). Tabel 2.2 Batas Ambang Indeks Masa Tubuh (IMT) Kategori Keterangan Kurus
Kekurangan Berat Badan
IMT >17,0
Tingkat Berat Kekurangan Berat Badan
17,0 – 18,4
Tingkat Ringan Normal
-
18,5 – 25,0
Gemuk
Kelebihan Berat Badan Tingkat
25,0 – 27,0
Ringan Kelebihan Berat Badan Tingkat
>27,0
Berat Sumber : WHO / FAO 2003. f) Kebiasaan Olahraga Menurut Yunus F, 1997 bahwa Kapasitas paru dapat dipengaruhi oleh kebiasaan seseorang melakukan Olahraga. Pada Olahraga terdapat satu unsur pokok yang penting dalam kesegaran jasmani, yaitu fungsi pernapasan. Berolah raga secara rutin dapat meningkatkan aliran darah melalui paru yang akan menyebabkan kapiler paru mendapatkan perfusi maksimum, sehingga O2 dapat berdifusi ke dalam kapiler paru
dengan volume lebih besar atau maksimum. Olahraga sebaiknya dilakukan minimal seminggu tiga kali (dalam Yulaekah, 2007: 73). 2.1.9 Peternakan Ayam Kampung Petelur Usaha peternakan adalah kegiatan yang menghasilkan produk peternakan (melakukan pemeliharaan ternak) dengan tujuan sebagian atau seluruh hasilnya dijual/ditukar atau memperoleh pendapatan/keuntungan atas resiko usaha (Bidang Produksi BPS Provinsi Gorontalo, 2007: 20). Ayam kampung sudah lama dikenal oleh masyarakat Indonesia sejak zaman Kerajaan Kutai. Pada saat itu ayam kampung merupakan salah satu jenis upeti dari kadipaten-kadipaten untuk pusat kerajaan. Karena merupakan salah satu upeti maka banyak masyarakat yang beternak ayam kampung sehingga kebiasaan beternak ayam kampung tersebut menyebabkan ayam jenis ini mudah di jumpai di Indonesia (Sujiohadi, 2004). Usaha peternakan ayam sering dijadikan sebagai sumber penyebab utama yang ikut mencemari lingkungan. Oleh karena itu, agar peternakan ayam tersebut menjadi suatu usaha yang berwawasan lingkungan dan efisien, maka tatalaksana pemeliharaan, perkandangan, dan penanganan limbahnya harus selalu diperhatikan. Menurut Deptan (1991) dan Deptan (1994) usaha peternakan dengan populasi tertentu perlu dilengkapi dengan upaya pengelolaan dan pemantauan lingkungan. Untuk usaha peternakan ayam petelur, populasi lebih dari 10.000 ekor induk terletak dalam satu lokasi (Prasetyanto, 2011: 3).
1. Penentuan Lokasi Dalam memulai usaha peternakan ayam maka para peternak harus memilih lokasi peternakan dengan mempertimbangkan faktor-faktor sosial, faktor lingkungan yang berpengaruh, dan faktor ekonomis (faktor ini tidak akan dijelaskan lebih lanjut dalam pembahasan ini). a) Faktor Sosial Sebelum
membangun
usaha
peternakan
perlu
mempertimbangkan apakah lokasi yang dipilih akan mengganggu lingkungan
masyarakat
sekitarnya
atau
tidak.
Hal
ini
perlu
dipertimbangkan secara matang terutama jika lokasinya berada di daerah pemukiman. Untuk peternakan yang berskala besar, lokasi seperti ini jelas tidak bisa digunakan. Sedangkan untuk peternakan yang berskala kecil, dengan penanganan yang baik lokasi ini masih bisa digunakan. Lokasi peternakan ayam sebaiknya tidak terlalu berdekatan dengan daerah pemukiman. Hal ini disebabkan peternakan ayam mempunyai
pengaruh
terhadap
lingkungan
sekitarnya.
Jika
pengelolannya kurang baik maka pengaruhnya akan semakin tampak. Bau kotoran ayam yang menyengat, debunya yang kotor, dan pencemaran air dapat mengganggu ketentraman masyarakat sekitarnya. b) Faktor Lingkungan Yang Berpengaruh Dalam memilih lokasi peternakan ayam perlu diperhatikan faktor lingkungan, yaitu keadaan lingkungan yang mendukung
budidaya ayam kampung petelur. Peternakan ayam kampung sebaiknya berada di lokasi yang cukup luas. Selain itu, udaranya harus segar dan keadaan sekitarnya tenang. 2. Tenaga Kerja Peternakan Ayam Menurut KepMenTan, No. 420 Tahun 2001 bahwa tenaga kerja peternakan ayam harus memiliki syarat-syarat seperti: a) Tenaga kerja yang diperkerjakan hendaknya berbadan sehat; b) Mendapat pelatihan teknis produksi, kesehatan hewan dan lain-lainnya; c) Setiap usaha peternakan ayam buras hendaknya menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan dibidang ketenaga-kerjaan. Produktiftas ternak mencerminkan kemampuan ternak per ekor dalam menghasilkan produksi per satuan waktu (Bidang Produksi BPS Provinsi Gorontalo, 2007: 34). Produktifitas beberapa ternak yang diusahakan rumah tangga usaha peternakan di Provinsi Gorontalo disajikan pada tabel 2.3. Tabel 2.3 Produktifitas Ternak Yang Diusahakan Rumah Tangga Usaha Peternakan di Provinsi Gorontalo Jenis Ternak
Rata-rata produksi/ Ekor/Thn (Butir)
Ratarata Jumlah Butir per Kg
Persent ase Betina Produkt if
Estimasi Populasi (000 Ekor)
Estimasi Produksi Telur (Ton)
2007 (5)
2007 (7)
2008 (6)
2008 (8)
(1)
(2)
(3)
(4)
1. Ayam buras
42,32
20,26
21,51
1.099
1.611
494
724
2. Ayam ras petelur
180,00
15,0
65,00
115
110
897
858
3. Itik
190,00
12,80
46,10
98
163
671
1.115
Sumber: Bidang Produksi BPS Provinsi Gorontalo 2.2.0 Pengertian Kesehatan Kerja Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) merupakan salah satu persyaratan yang ditetapkan dalam hubunga ekonomi antar negara seperti Pasar bebas Asean Free Trade Agreement (AFTA) 2003 yang harus dipenuhi seluruh negara anggota termasuk Indonesia. Untuk dapat mewujudkan dan melindungi masyarakat pekerja Indonesia, pembangunan di bidang kesehatan telah menjabarkan melalui Visi Indonesia Sehat 2010 dan misinya yang menitikberatkan pada pemeliharaan dan peningkatan pelayanan kesehatan yang bermutu, merata dan terjangkau serta memelihara dan meningkatkan kesehatan individu, keluarga dan masyarakat beserta lingkungannya (Pusat kesehatan Kerja, 2005:1). Dalam UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, pada pasal 23 disebutkan bahwa setiap tempat kerja wajib menyelenggarakan kesehatan kerja, khususnya tempat kerja yang mempunyai risiko bahaya kesehatan, mudah terjangkit penyakit atau mempunyai karyawan paling sedikit 10 orang (dalam Direktorat Bina Kesehatan Kerja, 2007:1). Keselamatan
dan
Kesehatan
Kerja
di
Indonesia
telah
dikembangkan sejak lama, bahkan Sistem Manajeman Keselamatan dan Kesehatan Kerja ditetapkan pada tahun 1996 namun dalam pelaksanaan Keselamatan dan Kesehatan Kerja masih banyak kendala dan masalah yang dihadapi (Direktorat Bina Kesehatan Kerja, 2007: 4).
Berlandaskan berbagai dasar hukum yang berlaku, ruang lingkup pembinaan dan pengaturan Kesehatan dan Keselamatan Kerja meliputi: (Direktorat Bina Kesehatan Kerja, 2007:4) a) Kesehatan dan Keselamatan Kerja di sektor kesehatan meliputi: sarana kesehatan, sarana kerja, pekerja beserta cara kerjanya dan penyehatan lingkungan kerja di semua unit kerja. b) Kesehatan dan Keselamatan Kerja di semua sektor pembangunan, berupa penyehatan lingkungan kerja, sarana kerja dan pekerja beserta cara kerjanya di semua unit kerja/unit produksi. Program Kesehatan Kerja merupakan suatu upaya pemberian perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja bagi masyarakat pekerja yang bertujuan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat pekerja, mencegah timbulnya gangguan kesehatan, melindungi pekerja dari bahaya kesehatan serta menempatkan pekerja dilingkungan kerja yang sesuai dengan kemampuan fisik dan psikis pekerja (Pusat Kesehatan Kerja, 2005: 2). Upaya Kesehatan Kerja merupakan salah satu kegiatan pokok Puskesmas
dalam
rangka
memberikan
perlindungan
kesehatan
dan
keselamatan kerja kepada masyarakat pekerja di wilayah kerja Puskesmas (Pusat Kesehatan Kerja, 2005: 2). Upaya
kesehatan
kerja
mencakup
kegiatan
pelayanan,
pendidikan dan pelatihan serta penelitian di bidang kesehatan kerja. Pelayanan kesehatan kerja dilaksanakan melalui upaya peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit termasuk pengendalian faktor resiko,
penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan termasuk pemulihan kapasitas kerja (Pusat Kesehatan Kerja, 2007: 2). Dalam kehidupan sehari-hari manusia berhubungan dengan berbagai faktor atau makhluk atau benda yang ada disekelilingnya. Akibat hubungan itu dapat dapat terjadi berbagai macam penyakit atau kelainan. Jadi secara luas penyakit lingkungan dapat didefinisikan sebagai penyakit yang terjadi akibat interaksi manusia dengan lingkungannya (Pringgoutomo, Himawan, Achmad Tjarta, 2002: 291). Bila terjadi pemajanan terhadap faktor pengganggu/perusak yang spesifik yang terjadi di tempat kerja, maka penyakit/kelainan yang terjadi digolongkan dalam penyakit kerja atau Okupasional (Pringgoutomo, Himawan, Achmad Tjarta, 2002: 292). Keselamatan dan Kesehatan Kerja merupakan tanggung jawab bersama antara perusahaan dan pekerja (Katman, 2010: 8). a) Tanggung Jawab Perusahaan Perusahaan dituntut untuk menyediakan dan memelihara, sejauh yang dapat dilakukan, untuk pekerja suatu lingkungan kerja yang aman tanpa resiko terhadap kesehatannya (Katman, 2010: 8). Disamping itu perusahaan juga mempunyai kewajiban khusus, misalnya menyediakan tata tertib yang perlu ditaati. Sedangkan kewajiban umumnya antara lain: (Katman, 2010: 8-9) 1) Melakukan pelaksanaan umum terhadap undang-undang keselamatan kerja yang berlaku.
2) Memeriksa kesehatan badan, kondisi mental, dan kemampuan fisik pekerja yang akan diterima di tempat kerja. Pemeriksaan kesehatan tersebut dapat pula dilakukan pada pekerja yang akan dipindahkan ke pekerjaan lain sesuai dengan sifat-sifat pekerjaan yang akan diterima pekerja yang bersangkutan. 3) Memeriksa kesehatan pekerja yang dibawah pimpinannya kepada dokter secara berkala. 4) Menjelaskan dan menunjukkan kepada setiap pekerja baru tentang: a) Kondisi dan bahaya yang dapat timbul di tempat kerja, b) Semua pengamanan dan alat perlindungan yang diharuskan ditempat kerja, c) Alat perlindungan diri bagi pekerja yang bersangkutan, dan d) Cara-cara dan sikap yang aman dalam melaksanakan pekerjaan. 5) Melarang setiap pekerja untuk bekerja sebelum yakin bahwa pekerja yang bersangkutan telah memahami hal-hal yang berkenaan dengan Butir (4) di atas. 6) Melakukan kecelakaan
pembinaan dan
terhadap
pemberantasan
pekerja
dalam
pencegahan
kebakaran
serta
peningkatan
keselamatan dan kesehatan kerja, dan juga dalam pemberian Pertolongan Pertama pada Kecelakaan (P3K). 7) Memenuhi dan menaati semua syarat dan ketentuan yang berlaku bagi usaha dan tempat kerja yang dijalankannya.
8) Melaporkan setiap kecelakaan yang terjadi di tempat kerja kepada pejabat yang ditunjuk oleh Pemerintah. 9) Menempatkan semua syarat keselamatan kerja yang diwajibkan dalam satu buku Undang-undang keselamatan kerja beserta peraturan pelaksanaannya di tempat kerja atau di tempat-tempat yang mudah terlihat dan terbaca dan menurut petunjuk pekerja pengawas atau ahli keselamatan kerja. 10) Memasang semua poster atau gambar keselamatan kerja yang diwajibkan di tempat kerja dan semua bahan pembinaan lainnya pada tempat-tempat yang mudah terlihat dan terbaca menurut petunjuk pekerja pengawas atau ahli keselamatan kerja. 11) Menyediakan secara cuma-cuma alat perlindungan diri bagi pekerja dan orang lain yang memasuki tempat kerja beserta petunjuk-petunjuk yang diperlukan menurut petunjuk pekerja pengawas atau ahli keselamatan kerja. 12) Menyediakan dan merawat pabrik dan sistem kerja (seperti langkah kerja rutin dan frekuensi kerja). 13) Pengaturan sistem keamanan kerja dalam hubungannya dengan tanaman dan zat kimia (seperti toksik kimia, debu, dan serat). 14) Penyediaan lingkungan kerja yang aman (seperti pengendalian tingkat bising dan getaran).
15) Penyediaan fasilitas kesejahteraan yang memadai (seperti lokasi membersihkan diri, tempat menyimpan barang, tempat makan/kantin, dan sebagainya). 16) Penyediaan tempat yang memadai untuk informasi bahaya yan sesuai dengan instruksi latihan dan pengamatan para pekerja, yang dapat memberikan rasa keamanan kerja. b) Tanggung Jawab Pekerja Saat bekerja seorang pekerja wajib: (Katman, 2010: 10) 1) Memberikan keterangan yang benar jika diminta oleh perusahaan dan atau pegawai keselamatan kerja pemerintah. 2) Memakai alat perlindungan diri yang diwajibkan oleh perusahaan. 3) Memenuhi dan menaati semua syarat keselamatan dan kesehatan kerja yang diwajibkan. 4) Meminta kepada perusahaan agar dilaksanakan semua syarat keselamatan dan kesehatan kerja yang diwajibkan. 5) Menyatakan keberatan pada pekerjaan yang syarat kesehatan dan keselamatan kerja serta alat perlindungan diri yang diwajibkan diragukan oleh pekerja yang bersangkutan, kecuali pada hal-hal khusus yang ditentukan lain oleh perusahaan dalam batas-batas yang masih dapat dipertanggungjawabkan. 6) Memiliki sikap peduli pada keselamatan dan kesehatan dirinya dan semua orang yang mungkin dapat terkena dengan bekerja mengikuti aturan di tempat kerja.
7) Bekerjasama dengan perusahaan dengan menghargai tindakan yang diambil oleh perusahaan untuk diikuti dan dilaksanakan dengan beberapa syarat yang ditentukan atau dengan hukum yang berlaku. c) Alat-alat perlindungan Diri Karena sifat-sifat yang melekat pada bahan, proses, atau sistem, ada bahaya-bahaya tertentu yang tidak dapat ditiadakan. Hal-hal yang dapat dilakukan dalam meniadakan cedera yang diakibatkan akibat kerja dengan menggunakan alat-alat perlindungan diri. Alat-alat perlindungan diri haruslah: 1) Cocok bagi pemakai 2) Dibersihkan secara menyeluruh dan teratur 3) Dipelihara dengan baik 4) Diserahkan kepada
si pemakai harus setelah diberi latihan
penggunaannya terlebih dahulu Pakaian kerja merupakan alat pelindung yang paling lazim untuk melindungi keseluruhan tubuh dari lingkungan tempat kerja baik itu hembusan angin, temperatur yang lebih tinggi dari temperatur sekitar, dan sebagainya. Pakaian kerja ini umumnya terbuat dari bahan katun karena sifat penghantar panasnya yang buruk dari bahan tekstil sintetik lainnya. Disamping itu, masih ada beberapa alat perlindungan diri lain seperti yang akan dijelaskan berikut (Katman, 2010: 22). 1) Helm Keras dan Empuk
Helm keras berfungsi untuk melindungi kepala dari cedera akibat bendabenda yang jatuh, sedangkan helm empuk berfungsi untuk menghindari benturan kepala pada benda-benda keras dan/atau tajam ditempat-tempat sempit atau rendah. Kebiasaan buruk dan berbahaya untuk alat ini ialah helm ini sering dilepas ditempat-tempat yang panas dan lembab. 2) Sarung Tangan Sarung tangan terdiri atas beberapa macam. Sarung tangan pelindung berfungsi untuk melindungi tangan dari luka akibat tersayat atau tertusuk oleh tepi-tepi atau ujung-ujung runcing benda keras. Sarung tangan antibahan kimia melindungi tangan sewaktu menangani bahan kimia yang dapat mencederai telapak tangan. Sarung tangan insulasi berfungsi untuk melindungi
tangan
sewaktu
menangani
benda-benda
panas
atau
bertemperatur sangat rendah. 3) Sepatu Keselamatan Sepatu ini sama dengan sepatu kulit biasa kecuali pada ujungnya diberi pelat pengeras (yang tidak akan berubah bentuk jika ditimpa oleh bendabenda dengan bobot tertentu, biasanya diuji di atas 2500 kg) dan sol yang anti minyak dan anti gelincir. Sepatu ini berfungsi untuk melindungi ujung jari kaki dari cedera remuk akibat tertimpa benda-benda berat dan juga melindungi pemakainya dari terpeleset ditempat-tempat berminyak. 4) Penutup Mulut/Hidung Alat terbuat dari bahan tekstil dan berpori ini berfungsi untuk menutup mulut dan hidung ditempat kerja yang partikel debunya cukup banyak.
Alat ini akan menepis udara yang dihirup oleh hidung sehingga partikel debu tidak memasuki saluran pernapasan dan atau paru-paru. 5) Sumbat Telinga Alat ini serupa dengan sumbat telinga yang digunakan oleh perenang. Alat ini dimasukkan kedalam lubang telinga untuk meredam bunyi yang kuat, misalnya bunyi yang ditimbulkan oleh pemaluan pada pembentukan pelat dengan tangan, atau bunyi diesel pembangkit listrik ukuran megawatt. 6) Tutup Telinga Alat ini lebih efektif dan lebih nyaman dibandingkan dengan sumbat telinga. Alat ini serupa dengan perangkat-penyuara-kepala (headset) yang menutupi seluruh daun telinga. 7) Alat Pernapasan Ditempat-tempat
yang
sangat
khusus
misalnya
diruangan
yang
mengandung gas yang cukup pekat, diperlukan alat pernapasan khusus sehingga bukan lagi udara dilingkungan tersebut yang dihirup oleh pekerja tetapi udara bertekanan yang dimampatkan dalam botol udara yang diikat dipunggung pekerja yang bersangkutan. Udara tersebut biasanya adalah oksigen.
2.2 Kerangka Berfikir 2.2.1 Kerangka Teori Lingkungan Konsentrasi SO2 Konsentrasi NO2 Partikel debu mikroorganisme
1. 2. 3. 4.
Normal
Aktifitas Pekerja 1. Masa kerja 2. Lama paparan
Kapasitas paru Faktor Pekerja 1. 2. 3. 4.
Umur JK BB TB
Tidak Normal
Perilaku 1. Kebiasaan penggunaan APD 2. Kebiasaan merokok 3. Kebiasaan olahraga
2.2.2 Kerangka Konsep Variabel Bebas
Variabel Terikat
Aktifitas Pekerja 1. Lama paparan 2. Masa kerja
Faktor Pekerja
Kapasitas
1. Umur
Paru
2. JK 3. IMT
Perilaku Pekerja 1. Kebiasaan penggunaan APD 2. Kebiasaan merokok 3. Kebiasaan olahraga
Keterangan: = Variabel Bebas (Variabel Independen)
= Variabel Terikat (Variabel Dependen)
= Variabel yang diteliti
2.3 HIPOTESIS 2.3.1 Hipotesis Alternatif (Ha) a) Tidak ada pengaruh faktor jenis kelamin terhadap kapasitas paru peternak ayam CV. Malu’o Jaya dan peternak ayam Risky Layer. b) Tidak ada pengaruh faktor umur terhadap kapasitas paru peternak ayam CV. Malu’o Jaya dan peternak ayam Risky Layer. c) Tidak ada pengaruh faktor kebiasaan merokok terhadap kapasitas paru peternak ayam CV. Malu’o Jaya dan peternak ayam Risky Layer. d) Tidak ada pengaruh faktor kebiasaan olahraga terhadap kapasitas paru peternak ayam CV. Malu’o Jaya dan pekerja peternakan ayam Risky Layer. e) Tidak ada pengaruh faktor lama paparan terhadap kapasitas paru peternak ayam CV. Malu’o Jaya dan peternak ayam Risky Layer. f) Tidak ada pengaruh faktor masa kerja terhadap kapasitas paru peternak ayam CV. Malu’o Jaya dan peternak ayam Risky Layer. g) Tidak ada pengaruh faktor IMT terhadap kapasitas paru peternak ayam CV. Malu’o Jaya dan peternak ayam Risky Layer.