BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Kajian Teori Kajian teori adalah dasar berpikir yang bersumber dari suatu teori yang
relevan dan dapat digunakan sebagai tuntunan untuk memecahkan permasalahan dalam penelitian. Kjian teori berfungsi sebagai kerangka acuan dan sudut pandang dalam mengarahkan suatu penelitain untuk memberi jawaban sementara terhadap rumusan masalah yang diajukan, serta membantu dalam penyusunan instrumen penelitian. Berikut diuraikan kajian teori dalam penelitian ini.
2.1.1
Teori dan Konflik Keagenan Jensen dan Meckling (1976) mendefinisikan Agency Theory sebagai
hubungan keagenan sebagai sebuah kontrak dimana satu atau lebih orang (principal) menyewa orang lain (agen) untuk melakukan beberapa jasa demi kepentingan mereka dengan mendelegasikan beberapa wewenang pembuatan keputusan kepada agen. Teori ini muncul karena prinsipal dan agen memiliki kepentingan yang tidak selaras yang mengasumsikan bahwa masing-masing individu semata-mata termotivasi oleh kepentingan dirinya sendiri sehingga menimbulkan konflik kepentingan antara prinsipal dan agen dari pendelegasian tugas yang
diberikan
kepada
agen
dimana
agen
tidak
dalam
kepentingan
untuk
memaksimumkan kesejahteraan principal, tetapi mempunyai kecenderungan untuk mementingkan diri sendiri dengan mengorbankan kepentingan pemilik. 11
12
Konteks organisasi sektor publik menjelaskan bahwa pengertian akuntabilitas
sebagai
kewajiban
pemegang
amanah
(pemerintah)
untuk
memberikan pertanggungjawaban, menyajikan, melaporkan, dan mengungkapkan segala aktivitas dan kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya kepada pihak pemberi amanah yaitu masyarakat (Mardiasmo, 2009). Pendapat Mardiasmo tentang akuntabilitas dalam konteks sektor publik mengandung arti bahwa dalam pengelolaan pemerintah daerah terdapat hubungan keagenan (teori keagenan) antara masyarakat sebagai principal dan pemerintah sebagai agen. Permasalahan yang berkaitan dengan kualitas laporan keuangan sering disebabkan oleh adanya benturan kepentingan manajemen (pemerintah) dengan kepentingan stakeholder (masyarakat), namun seringkali manajemen melakukan kecurangan untuk memaksimumkan kesejahteraan mereka dan mengamankan posisi mereka tanpa memandang bahaya yang ditimbulkan terhadap stakeholder baik para pengguna maupun pemeriksa laporan keuangan. Leruth dan Paul (2007) menyatakan bahwa masalah keagenan (agency problem) terjadi ketika kecurangan pada umumnya berasal dari tujuan untuk meminimalkan tingkat usaha demi peningkatan kompensasi yang diterima melalui penyalahgunaan
jabatan
publik
untuk
kepentingan
diri
sendiri
yang
diintrepetasikan dalam bentuk korupsi. Masalah teori keagenan yang meresap dalam ekonomi modern juga karena pembagian yang luas pada lingkup kerja dan spesialisasi (Besley and Ghatak, 2014). Mengurangi dan meminimalkan kecurangan
yang dilakukan
dalam
penyampaian
akuntabilitasnya
dapat
berdampak terhadap asimetri informasi, maka diperlukan kontrol dan pemeriksaan
13
oleh pihak yang diberikan wewenang dalam pelaksanaan pengawasannya. Pendelegasian wewenang pengawasan dilimpahkan oleh pemerintah kepada lembaga pengawas internal pemerintah dalam hal ini ialah Inspektorat. Informasi atas laporan hasil pemeriksaan dari Inspektorat digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam pengambilan keputusan ekonomis sekaligus alat evaluasi kinerja agar terciptanya akuntabilitas pemerintahan yang baik.
2.1.2 Teori Atribusi Heider (1958) menyatakan bahwa teori atribusi merupakan teori yang menjelaskan mengenai proses bagaimana kita menentukan penyebab dan motif tentang perilaku seseorang. Teori ini mengacu tentang bagaimana seseorang menjelaskan penyebab perilaku orang lain atau dirinya sendiri yang akan ditentukan apakah dari internal misalnya sifat, karakter, sikap, ataupun eksternal misalnya tekanan situasi atau keadaan tertentu yang akan memberikan pengaruh terhadap perilaku individu (Ayuningtyas, 2012). Faktor situasional yang menyebabkan perilaku seseorang dalam persepsi sosial disebut dengan dispositional atributions dan situational attributions (Gordon and Graham, 2006). Dispositional attributions atau penyebab internal yang mengacu pada aspek perilaku individual yang ada dalam diri seseorang seperti kepribadian, persepsi diri, kemampuan, motivasi. Sedangkan situational attributions atau penyebab eksternal yang mengacu pada lingkungan sekitar yang dapat mempengaruhi perilaku, seperti kondisi sosial, nilai-nilai sosial, dan pandangan masyarakat. Dengan kata lain, setiap tindakan atau ide yang akan
14
dilakukan oleh seseorang akan dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal individu tersebut. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teori atribusi karena teori ini dapat menjelaskan faktor internal pemeriksa khusunya karakteristik personal yaitu indepensi, kompentensi dan pengalaman kerja yang berpengaruh terhadap kualitas hasil pemeriksaan. Disamping itu, etika pemeriksa juga akan mampu memperlemah dan bahkan kemungkinan mampu memperkuat pengaruh faktor internal tersebut. Pada dasarnya karakteristik personal seorang pemeriksa merupakan salah satu penentu kualitas hasil pemeriksaan yang akan dilakukan karena akan dijadikan pertimbangan dalam penentuan keputusan ekonomi untuk terciptanya akuntabilitas pengelolaan pemerintah.
2.1.3
Teori Pembelajaran Pembelajaran adalah setiap perubahan prilaku yang relatif permanen,
terjadi sebagai hasil pengalaman (Robbins,
1998). Perubahan perilaku
menunjukkan bahwa pembelajaran telah terjadi dalam cara tertentu. Pembelajaran terjadi ketika seorang individu berprilaku, bereaksi, dan merespon sebagai hasil dari pengalaman dengan satu cara yang berbeda dari caranya berprilaku sebelumnya. Pengalaman bisa didapat secara langsung melalui pengamatan, latihan, ataupun bisa didapatkan secara tidak langsung. Teori pembelajaran (learning theory) juga menguraiakan bahwa seseorang dapat belajar dengan mengamati apa yang terjadi pada individu lain dan hanya dengan diberi tahu mengenai sesuatu, seperti belajar dari pengalaman langsung.
15
Teori ini juga mengakui keberadaan pembelajaran melalui pengamatan atau pelatihan dan pentingnya persepsi dalam pembelajaran. Teori pembelajaran ini sangat relevan untuk menjelaskan perubahan perilaku etika pemeriksa yang mampu mempengaruhi hubungan dari kompetensi dan pengalaman kerja yang dimiliki oleh aparat pemeriksa dalam melaksanakan pemeriksaan terhadap kualitas pemeriksaan yang dihasilkan.
2.1.4
Pendekatan Kontinjensi Pendekatan kontinjensi yang digunakan oleh para peneliti dalam penelitian
seperti ini adalah dalam rangka memberikan masukan faktor-faktor yang sebaiknya dipertimbangkan dalam perancangan penelitian. Pendekatan kontinjensi yang digunakan banyak menarik minat para peneliti karena mereka ingin mengetahui apakah tingkat keandalan variabel independen selalu berpengaruh sama pada setiap kondisi atau tidak terhadap variabel dependennya. Dengan didasarkan pada teori kontinjensi maka ada dugaan bahwa terdapat faktor situasional lainnya yang mungkin akan saling berinteraksi didalam mempengaruhi situasi tertentu. Beberapa penelitian dalam akuntansi menggunakan pendekatan kontinjensi adalah untuk melihat hubungan variabel-variabel konstekstual seperti ketidakpastian lingkungan (Outley, 1980). Keterkaitan interaksi hubungan antara etika pemeriksa dengan kompetensi, pengalaman kerja dan independensi dapat dijelaskan oleh pendekatan kontigensi. Dengan demikian teori kontinjensi dalam penelitian ini mengargumenkan bahwa kompetensi, pengalaman kerja dan independensi yang dimiliki pemeriksa dalam
16
mencapai kualitas hasil pemeriksaan yang baik, akan bergantung pada suatu kondisi tertentu, salah satunya adalah etika yang dimiliki pemeriksa.
2.1.5
Pemeriksaan (Audit) Undang-undang Republik Indonesia No. 15 Tahun 2004 tentang
Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, menyatakan bahwa pemeriksaan adalah proses identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi yang dilakukan secara independen, objektif, dan profesional berdasarkan standar pemeriksaan, untuk menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas, dan keandalan informasi mengenai pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Pengertian audit adalah suatu proses sistematik untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara objektif mengenai pernyataan-pernyataan tentang kegiatan dan kejadian ekonomi, dengan tujuan untuk menetapkan tingkat kesesuaian antara pernyataan-pernyataan tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan,
serta
penyampaian
hasil-hasilnya
kepada
pemakai
yang
berkepentingan (Bastian, 2003). Sedangkan Kohler (1976) menyatakan bahwa auditing adalah proses pengumpulan dan evaluasi bukti mengenai suatu informasi untuk menetapkan dan melaporkan tingkat kesesuaian antara informasi tersebut dengan kriterianya. Auditing hendaknya dilakukan oleh seseorang yang kompeten dan independen. Audit intern menurut Sawyer (2005) adalah sebuah penilaian yang sistematis dan objektif yang dilakukan auditor intern terhadap operasi dan kontrol yang berbeda- beda dalam organisasi untuk menentukan apakah: (1) informasi
17
keuangan dan operasi telah akurat dan dapat diandalkan; (2) risiko yang dihadapi perusahaan (organisasi) telah diidentifikasi dan diminimalisasi; (3) peraturan ekstern serta kebijakan dan prosedur intern yang bisa diterima telah dipenuhi; (4) kriteria operasi (kegiatan) yang memuaskan telah dipenuhi; (5) sumber daya telah digunakan secara efisien dan ekonomis; dan (6) tujuan organisasi telah dicapai secara efektif , semua dilakukan dengan tujuan untuk dikonsultasikan dengan manajemen dan membantu anggota organisasi dalam menjalankan tanggung jawabnya secara efektif.
2.1.6
Kualitas Hasil Pemeriksaan Angelo (1981) mendefinisikan audit quality sebagai probabilitas
(kemungkinan) dimana seorang auditor menemukan dan melaporkan tentang adanya suatu pelanggaran dalam sistem akuntansi kliennya. Deis dan Giroux (1992) menjelaskan adapun kemampuan untuk menemukan salah saji yang material dalam laporan keuangan perusahaan tergantung dari kompetensi auditor sedangkan kemauan untuk melaporkan temuan salah saji tersebut tergantung pada independensinya. Pusdiklatwas BPKP mendefinisikan bahwa kualitas hasil pemeriksaan adalah probabilitas seorang auditor atau pemeriksa dapat menemukan dan melaporkan suatu penyelewengan yang terjadi pada suatu instansi atau pemerintah (baik pusat maupun daerah).
Berdasarkan
Standar
Pemeriksaan
Keuangan
Negara
(SPKN),
pemeriksaan yang dilaksanakan auditor atau pemeriksa tersebut dapat berkualitas jika memenuhi ketentuan atau standar auditing.
18
Tuntutan dilaksanakannya audit pada sektor publik ini, adalah dalam rangka pemberian pelayanan publik secara ekonomis, efisien dan efektif sebagai konsekuensi logis dari adanya pelimpahan wewenang dan tanggung jawab dalam menggunakan dana, baik yang berasal dari pemerintah pusat maupun dari pemerintah daerah itu sendiri (Mardiasmo, 2009). Agar pelaksanaan pengelolaan dana masyarakat yang diamanatkan tersebut transparan dengan memperhatikan value for money, maka diperlukan suatu kualitas pemeriksaan (audit) yang baik oleh auditor yang memiliki karakteristik independensi, kompetensi dan pengalaman kerja yang cukup memadai.
2.1.7
Kompetensi Kompetensi adalah kualifikasi yang dibutuhkan oleh auditor untuk
melaksanakan audit dengan benar (Rai, 2008). Dalam melakukan audit, seorang auditor harus memiliki mutu personal yang baik, pengetahuan yang memadai, serta keahlian khusus di bidangnya. Kompetensi berkaitan dengan keahlian profesional yang dimiliki oleh auditor sebagai hasil dari pendidikan formal, ujian profesional maupun keikutsertaan dalam pendidikan dan pelatihan. Dalam standar audit APIP disebutkan bahwa audit harus dilaksanakan oleh orang yang memiliki keahlian dan pelatihan teknis cukup sebagai auditor yang
mampu melaksanakan tugas pengawasan sesuai dengan Standar Audit. Dengan demikian, auditor belum memenuhi persyaratan jika ia tidak memiliki pendidikan dan pelatihan yang memadai dalam bidang audit. Dalam audit pemerintahan, auditor dituntut untuk memiliki dan meningkatkan kemampuan atau keahlian melalui
19
pendidikan dan pelatihan sertifikasi JFA. Ayuningtyas (2012) menjelaskan bahwa
ada 5 (lima) pengetahuan yang harus dimiliki oleh seorang auditor, yaitu : (1.) Pengetahuan pengauditan umum, (2.) Pengetahuan area fungsional, (3.) Pengetahuan mengenai isu-isu akuntansi yang paling baru, (4.) Pengetahuan mengenai industri khusus, (5.) Pengetahuan mengenai bisnis umum serta penyelesaian masalah.
2.1.8
Pengalaman Kerja Pengalaman kerja auditor adalah pengalaman yang dimiliki auditor dalam
melakukan audit yang dilihat dari segi lamanya bekerja sebagai auditor dan banyaknya tugas pemeriksaan yang telah dilakukan (Nugraha, 2012). Pengalaman merupakan suatu proses pembelajaran dan pertambahan perkembangan potensi bertingkah laku baik dari pendidikan formal maupun non formal atau bisa diartikan sebagai suatu proses yang membawa seseorang kepada suatu pola tingkah laku yang lebih tinggi. Pengalaman kerja dapat memperdalam dan memperluas kemampuan kerja. Semakin sering seseorang melakukan pekerjaan yang sama, semakin terampil dan semakin cepat dia menyelesaikan pekerjaan tersebut. Semakin banyak macam pekerjaan yang dilakukan seseorang, pengalaman kerjanya semakin kaya dan luas, dan memungkinkan peningkatan kinerja (Sembiring, 2012). Seorang auditor harus mempunyai pengalaman dalam kegiatan auditnya (Mulyadi, 2002). Pendidikan formal dan pengalaman kerja dalam profesi auditor merupakan dua hal penting dan saling melengkapi. Pengalaman dapat diukur
20
dengan rentang waktu yang telah digunakan terhadap suatu tugas (job) atau pekerjaan. Jadi dapat dikatakan bahwa seseorang jika melakukan pekerjaan yang sama secara terus menerus, maka akan menjadi lebih cepat dan lebih baik dalam menyelesaikannya. Hal ini dikarenakan dia telah benar-benar memahami teknik atau cara menyelesaikannya, serta telah banyak mengalami berbagai hambatanhambatan atau kesalahan-kesalahan dalam pekerjaannya tersebut, sehingga dapat lebih cermat dan berhati hati menyelesaikannya.
2.1.9
Independensi Independen adalah sikap mental yang bebas dari pengaruh, tidak
dikendalikan oleh pihak lain, dan tidak tergantung oleh pihak lain (Mulyadi, 2002). Auditor tidak dibenarkan memihak kepada kepentingan siapapun. Untuk memenuhi pertanggungjawaban profesionalnya, auditor pemerintah harus bersikap independen karena ia melaksanakan pekerjaannya untuk kepentingan umum. Independensi juga berarti adanya kejujuran dalam diri auditor dalam mempertimbangkan fakta dan adanya pertimbangan yang obyektif tidak memihak dalam
diri
auditor
dalam
merumuskan
dan
menyatakan
pendapatnya.
Independensi menghindarkan diri dari hubungan yang bisa merusak obyektifitas seorang auditor. Pusdiklatwas BPKP (2009) menyatakan bahwa Independen berarti mandiri, tidak tergantung pada sesuatu yang lain atau tidak bias dalam bersikap. Auditor yang independen akan memungkinkan yang bersangkutan bersikap objektif. Independensi auditor harus ditinjau dari dua sisi, independensi dari sisi
21
auditor yang bersangkutan sering disebut independensi praktisi dan independensi dari sisi pihak yang menilai keindependenan auditor sering disebut independensi profesi. Auditor memenuhi independensi praktisi, jika yang bersangkutan berdasarkan ukurannya sendiri mampu menjamin bahwa perilakunya tidak akan bias atau didasari oleh kepentingan suatu pihak tertentu. Auditor memenuhi independensi profesi jika pihak lain tidak dapat menduga bahwa pada saat melakukan audit, auditor akan memihak suatu kepentingan tertentu karena berbagai hal, misalnya hubungan keluarga. Adanya masalah dalam salah satu ukuran independensi akan merusak kepercayaan pengguna laporan mengenai objektivitas hasil audit. Sikap independen auditor dengan didukung kecermatan dan keseksamaan yang dilakukan oleh seorang auditor diharapkan akan menghasilkan kualitas audit yang semakin baik, setiap pendapat yang diberikan oleh auditor dan penyajiannya yang telah mengikuti pedoman yang tercantum dalam standar auditing (Pratiwi, 2013).
2.1.10 Etika Pemeriksa Etika yang sering disebut dengan kode etik pada prinsipnya merupakan sistem dari prinsip-prinsip moral yang diberlakukan dalam suatu kelompok profesi yang ditetapkan secara bersama (BPKP, 2009). Auditor mempunyai kewajiban untuk menjaga standar perilaku etis tertinggi mereka kepada organisasi dimana mereka bernaung, profesi mereka, masyarakat dan diri mereka sendiri, dimana seorang auditor
mempunyai tanggung jawab menjadi komponen dan
untuk menjaga integritas dan obyektivitas mereka (Aprianti, 2010). Satava, et al.
22
(2009) menyatakan bahwa masalah yang dihadapi dalam peningkatan kualitas audit adalah bagaimana meningkatkan sikap atau perilaku aparat pengawasan dalam melaksanakan pemeriksaan, sehingga pengawasan yang dilaksanakan dapat berjalan secara wajar, efektif dan efisien. Dengan demikian, etika juga turut memberikan kontribusi dalam meningkatkan kualitas audit. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, etika berarti nilai mengenai benar dan salah yang dianut individu atau golongan. Etika adalah suatu prinsip moral dan perbuatan yang menjadi landasan bertindaknya seseorang sehingga apa yang dilakukannya dipandang oleh masyarakat sebagai perbuatan yang terpuji dan meningkatkan martabat dan kehormatan seseorang (Douglas and Wier, 2005). Sedangkan etika menurut Dictionary of Accounting adalah disiplin pribadi dalam hubungannya dengan lingkungan yang lebih daripada apa yang sekedar ditentukan oleh Undang-Undang (Kohler, 1979). Etika atau aturan perilaku yang disebut dengan Kode Etik sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. PER/04/M.PAN/03/2008, dibuat untuk dipedomani dalam berperilaku atau melaksanakan penugasan pengawasan dalam mengatur prilaku auditor sesuai dengan tuntutan profesi dan organisasi pengawasan serta standar audit yang merupakan ukuran mutu minimal yang harus dicapai auditor dalam menjalankan tugas auditnya yang bertujuan untuk menumbuhkan kepercayaan dan memelihara citra organisasi dimata masyarakat.
23
2.2
Kajian Empiris Kajian empiris penelitian ini merupakan hasil penelitian sebelumnya yang
telah dilakukan dari pengujian data valid yang diolah dan dikembangkan menjadi suatu teori yang dapat menjelaskan data serta dalam taraf tertentu mampu meramalkan suatu pengetahuan. Kajian empiris yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: Alim (2007), Aini (2009), Aprianti (2010), Singgih (2010), Indah (2010), Martini (2011), Septriani (2011), Slamet (2012), Arisanti 2012), Kharismatuti (2012), Affandi (2013), Yusri (2013), Ningsih (2013), Kadhafi (2014), Liana (2014), Cushing (1999), Boynton (2001), Lowenshon (2005), Tomescu (2013), Strerck (2006), Angelo (1981), Satava (2006), Lauso (2013), Tjun (2012), Blann (2010), Ionescu (2010), Lin (2014), Deis (1992), Douglas (2005), dan Tubbs (1992). Ringkasan dari hasil kajian empiris tersebut sebagai referensi penelitian ini disajikan pada Lampiran 1.