BAB II TINJAUAN PUSTAKA
1.1
Kajian Pustaka Pada bab ini akan diuaraikan mengenai kajian pustaka yang berisi sebagai
berikut: penelitian terdahulu yang isinya berupa tinjauan terhadap hasil-hasil penelitian dengan objek yang relevan , pendekatan masalah yang berisi pendapatpendapat ilmiah yang kemudian dapat digunakan sebagai landasan berpikir, kerangka pemikiran yang berisi model berpikir peneliti tentang bagaimana masalah penelitian dicarikan solusinya secara sistematis dan ilmiah, dan hipotesis.
1.1.1 Penelitian Terdahulu Winarsih (2008) dengan judul penelitian “Implementasi kebijakan sertifikasi guru sekolah dasar” (studi kasus di Kabupaten Semarang).Penelitian ini dilakukan untuk menilai bagaimana pelaksanaan kebijakan sertifikasi guru, namun dikhususkan pada guru-guru sekolah dasar dengan mengambil lokasi penelitian di Kabupaten Semarang dan sekitarnya. Penelitian ini menggunakan lima buah indikator teori implementasi kebijakan yaitu komunikasi, sumberdaya, disposisi implementor, struktur birokrasi, dan lingkungan sosial ekonomi. Dengan menggunakan lima buah indikator ini, maka Winarsih percaya bahwa Implementasi kebijakan sertifikasi guru sekolah dasar di Kabupaten Semarang sangat dipengaruhi dan dapat diukur berdasarkan lima faktor diatas. Jika kelima
1
2
faktor berjalan dengan optimal maka implementasi dapat dinyatakan relatif baik namun jika tidak berjalan dengan optimal maka implementasi kebijakan dapat dikategorikan gagal. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode penjelasan deskriptif. Rancangan penelitian ini menggunakan rancangan studi kasus, dimana rancangan ini dipilih karena penelitinya ingin memberikan gambaran yang terperinci dan detail mengenai objek penelitiannya. Terdapat dua jenis data yang digunakan dalam penelitian ini, yang pertama data primer berupa hasil wawancara dengan informan sebagai sumber data, dan data sekunder berupa kutipan atau analisis dari dokumen-dokumen yang berhubungan dengan objek penelitian. Adapaun data-data dari penelitian ini diambil dengan menggunakan teknik-teknik sebagai berikut: wawancara, diskusi kelompok terarah, observasi, dan dokumentasi. Hasil dari penelitian ini mengungkapkan bahwa implementasi kebijakan sertifikasi guru sekolah dasar di Kabupaten Semarang berjalan cukup baik.Indikator-indikator yang dipakai untuk mengukur implementasi kebijakan sertifikasi guru dinilai telah berjalan relatif optimal.Masalah signifikan yang terjadi dalam penelitian ini adalah, masalah komunikasi dan sosial ekonomi. Komunikasi disini maksudnya belum baiknya pihak yang melakukan sertifikasi dalam mengkomunikasikan informasi-informasi kepada guru-guru, sehingga seringkali ditemukan salah persepsi di kalangan para guru mengenai bagaimana proses sertifikasi seharusnya berjalan. Sedangkan untuk masalah lingkungan sosial ekonomi disini disebutkan adalah kurang mendukungnya lingkungan sosial
3
ekonomi di Kabupaten Semarang dalam menunjang proses implementasi kebijakan sertifikasi guru sekolah dasar. Pada akhirnya ada beberapa saran yang direkomendasikan terkait dengan penelitian dari Winarsih ini, antara lain: 1. Dalam proses implementasi kebijakan tentang implementasi kebijakan sertifikasi guru SD di Kabupaten Semarang ini diperlukan komitmen dan dukungan yang kuat dari berbagai pihak terutama dari Pemerintah Daerah agar tujuan ideal yang akan diwujudkan dapat tercapai 2. Pemerintah agar segera membayar tunjangan profesi bagi guru yang sudah memiliki sertifikat pendidik dan tunjangan-tunjangan lain sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan
Dosen.
Dengan
demikian
maka
tujuan
pemerintah
untuk
memberdayakan profesi guru yang berujung pada peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia dapat terwujud. Penelitian ini memilikikesamaan dari segi pendekatan metode dan teknik pengumpulan data dengan penelitian yang peneliti lakukan namun agak berbeda dalam objek penelitian dan teori yang digunakan. Mira Nurhayati (2008) dengan judul penelitian Pengaruh implementasi Kebijakan Sertifikasi Guru Terhadap Kinerja Guru SD Negeri di Kecamatan Antapani pada Dinas Pendidikan Kota Bandung.Penelitian ini bermaksud untuk mengukur dan menjelaskan pengaruh implementasi kebijakan sertifikasi guru terhadap kinerja guru SD Negeri di Kecamatan Antapani.Terdapat dua indikator kinerja
dalam
penelitian
ini,
yaitu
kedisiplinan
dan
kemampuan
4
mengajar.Sedangkan untuk variabel implementasi memakai tiga indikator yaitu organisasi, komunikasi dan kemampuan pelaksana (implementator). Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode eksplanatif.Teknik pengumpulan data dilakukan dengan penelitian kepustakaan juga penelitian lapangan yang meliputi observasi non-patisipan, wawancara dan penyebaran angket pada 22 orang responden dengan teknik sensus. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan hasil output rank bahwa nilai mean untuk guru yang belum disertifikasi (0) jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan nilai mean guru yang sudah disertifikasi (31,16<45,18). Penelitian ini menyimpulkan bahwa implementasi kebijakan sertifikasi guru memiliki pengaruh terhadap kinerja guru SD di Kecamatan Antapani pada Dinas Pendidikan Kota Bandung, sehingga faktor lain yang tidak diukur tidak mempunyai pengaruh yang berarti seperti kepemimpinan yang dilakukan Kepala Sekolah Dasar Negeri di Kecamatan Antapani Kota Bandung. Adapun saran-saran yang dikemukakan oleh peneliti setelah melakukan penelitian antara lainadalah : 1. Implementasi kebijakan sertifikasi guru dalam jabatan yang selama ini ditetapkan dalam bentuk Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) ke depan harus ditetapkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) agar sesuai dengan amanat Pasal 11 Ayat (4) UndangUndang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. 2. Guru yang telah mengikuti sertifikasi harus selalu meningkatkan kinerjanya dengan mengikuti pendidikan lanjutan, ikut serta dalam forum
5
ilmiah, mau belajar dalam membuat karya ilmiah, dimana komponenkompenen ini merupakan komponen yang jarang dimiliki guru dalam portofolio. 3. Kepala sekolah merupakan pemimpin pendidikan yang sangat penting, karena kepala sekolah berhubungan langsung dengan pengembangan program pendidikan di sekolah, termasuk pengembangan kinerja guru. Jika dibandingkan dengan penelitian ini, penelitian yang dilakukan oleh Mira Nurhayati ini memiliki kemiripan dalam objek penelitian dan perbedaan dalam teknik pengumpulan data dan pendekatan penelitian. Bambang Budi Raharjo (2009) dengan penelitian berjudul Dampak Kebijakan Akreditasi Sekolah dan Sertifikasi Guru Terhadap Peningkatan Mutu Pendidikan di Kabupaten Banyumas, Propinsi Jawa Tengah. Penelitian ini berangkat dari pertanyaan, Adakah jaminan bahwa sertifikasi akan meningkatkan kualitas kompetensi guru sebagai agen pembelajaran ? Adakah peningkatan kinerja guru setelah memperoleh sertifikat pendidik ? Bagaimanakah bentukbentuk pembinaan kepada guru yang telah memperoleh sertifikat pendidik ? Dan berbagai pertanyaan lain yang serupa. Secara umum tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi pelaksanaan dan dampak dari kebijakan akreditasi sekolah dan sertifikasi guru tersebut terhadap peningkatan mutu di Indonesia khususnya di Kabupaten Banyumas, Provinsi Jawa Tengah. Penelitian
ini
menggunakan
desain
penelitian
evaluasi-responsif
(responsive-evaluation) (Borg, Borg & Gall, 2003). Evaluasi-responsif memfokus pada perhatian dan isu yang berkembang pada stakeholder; dalam konteks
6
penelitian ini evaluasi-responsif diarahkan untuk menilai proses dan dampak kebijakan akreditasi sekolah/madrasah dan sertifikasi guru terhadap peningkatan mutu pendidikan yang dirasakan oleh stakeholder pendidikan (satuan pendidikan), baik dinas pendidikan, kepala sekolah, guru, komite sekolah, dan siswa. Oleh karena itu dalam evaluasi responsif yang dijadikan bahan penilaian bukan hanya data kuantitatif saja melainkan juga data kualitatif. Hasil dari penelitian ini menunjukan dari aspek input, yang meliputi penetapan kuota, penetapan peserta, sosialisasi, workshop penyusunan portofolio, pengiriman berkas, penerimaan pengumuman hasil, penerimaan sertifikat, pengusulan tunjangan, realisasi pencarian tunjangan, sudah dilaksanakan sesuai dengan prosedur dan ketentuan yang berlaku. Dalam hal kondisi peserta sertifikasi guru diungkap dari aspek persepsi, motivasi, kesiapan peserta sertifikasi guru menunjukkan kondisi yang baik.Dalam kaitannya dengan sarana dan prasarana sertifikasi guru dipelajari dari aspek organisasi/lembaga, personal, anggaran, fasilitas sudah memenuhi yang dipersyaratkan. Proses sertifikasi guru diungkap dari aspek jadwal dan tahapan pelaksanaan sertifikasi guru dan koordinasi antar unit, kemudahan untuk memberi dan atau memperoleh layanan, sudah dilaksanakan meskipun belum semuanya memuaskan peserta sertifikasi guru. Ditemukan permasalahan sertifikasi guru dalam aspek penetapan peserta sertifikasi guru 4,4%, permasalahan dalam sosialiasi sertifikasi guru 4,6%, permasalahan dalam workshop penyusunan portofolio11,3%, permasalahan dalam kesiapan peserta sertifikasi guru 12,3%, permasalahan dalam penyusunan portofolio 24,8%, permasalahan dalam pengiriman berkas protofolio 32,8%,
7
permasalahan dalam penerimaan pengumuman hasil 13,9%, permasalahan dalam penerimaan sertifikat 15.4%, permasalahan dalam pengusulan tunjangan 17,6%, permasalahan dalam realisasi pencarian tunjangan peserta 13,4%, permasalahan dalam jadwal dan tahapan pelaksanaan sertifikasi guru 11,4%, permasalahan dalam koordinasi antar unit yang terkait dalam pelaksanaan sertifikasi guru 11,66% , permasalahan dalam memperoleh layanan dari pihak yang berkait dengan sertifikasi guru 21,4%, dan permasalahan dalam pemenuhan kuota sertifikasi guru24,6%. Dampak sertifikasi guru menunjukkan, dari aspek peningkatan kinerja guru sebagai agen pembelajaran 90.4%, peningkatan kinerja sekolah 92.3%, peningkatan mutu pendidikan di tingkat kabupaten/kota 88.9%, peningkatan kesejahteraan guru bersertifikat 98.9%, peningkatan martabat guru bersertifikat 89.9%, peningkatan motivasi guru yang belum bersertifikat 87.2%, dan peningkatan apresiasi pemangku kepentingan terhadap kinerja guru bersertifikat76.1%. Prospek Sertifikasi Guru menunjukkan temuan, aspek persepsi tentang keberlanjutan program sertifikasi guru 97.8%, persepsi tentang keberlanjutan pemberian tunjangan profesi guru 95.6%, prospek tentang mutu pendidik 92.7%, prospek tentang profesi guru sebagai profesi yang setara dengan profesi lain8 9.9%, prospek tentang penjaminan dan perlindungan terhadap profesi guru 93.2%, dan kebanggaan responden terhadap profesi guru 93.2%. Jika dibandingkan dengan penelitian ini, penelitian yang peneliti lakukan memiliki kemiripan dalam hal objek penelitian, teknik pengumpulan dan analisis data namun berbeda dalam sudut pandang analisis, pendekatan penelitian, dan metode yang digunakan.
8
1.1.2 Implementasi Kebijakan Jika berbicara mengenai implementasi kebijakan, maka akan lebih baik kalau terlebih dahulu memahami definisi dari kata implementasi sendiri. Kamus Webster dalam Solichin Abdul Wahab ( 2004 : 64), pengertian implementasi dirumuskan secara pendek bahwa to implement (mengimplementasikan) berarti to provide means for carrying out ( menyediakan sarana untuk melaksanakan sesuatu) ; to give practical effec to ( menimbulkan dampak/akibat terhadap sesuatu). Berdasarkan pengertian ini maka dapat diketahui kalau implementasi mengandung pengertian sebuah upaya atau proses untuk menjalankan sebuah keputusan tertentu. Dalam konteks studi mengenai kebijakan publik, makna dari implementasi ini bukanlah sekedar penerapan keputusan politik menjadi sebuah aksi nyata yang dapat dirasakan masyarakat melainkan juga mencakup keputusan, konflik, dinamika masyarakat, dan apa yang didapat masyarakat dari sebuah kebijakan. Maka jika mengacu pada definisi implementasi ini, dapat diasumsikan kalau proses implementasi merupakan aspek penting dari keseluruhan proses kebijakan. Carl Friedrich mengemukan pengertian kebijakan sebagai berikut “Kebijakan adalah suatu tindakan, mengarah pada tujuan, diusulkan seseorang, kelompok atau pemerintah dalam lingkungan tertentu, sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan, seraya mencari peluang-peluang untuk mencapai tujuan atau mewujudkan sasaran diinginkan” (dalam Wahab, 1997 : 18).Senada dengan pendapat
tersebut,
Hoogerwerf
mengemukakan
kalau
kebijakan
dapat
didefinisikan “Kebijakan dapat dilukiskan sebagai usaha untuk mencapai tujuan
9
tertentu dengan memakai sarana tertentu. Kebijakan adalah semacam jawaban terhadap suatu masalah.Kebijakan
adalah suatu upaya untuk memecahkan,
mengurangi atau mencegah suatu masalah dengan cara tertentu yaitu tindakan terarah” (Hoogerwerf,1983 : 3-4). Jika mengacu pada pendapat beberapa ahli diatas maka dapat dilihat secara umum kebijakan sebagai sebuah keputusan atau konsensus yang dibuat untuk tujuan-tujuan tertentu, dalam konsep kebijakan publik, kebijakan dibuat untuk memenuhi kepentingan-kepentingan, atau sebagai jawaban atas kebutuhan-kebutuhan masyarakat. Dalam ranah kebijakan publik, James E. Anderson berpendapat “Public policy are those policies developed by governmental bodies and officials atau Kebijakan publik adalah kebijakan-kebijakan yang dikembangkan oleh badanbadan dan pejabat-pejabat pemerintah”(dalam Islamy, 2003 : 19). Implikasi dari pengertian yang dibuatnya, kemudian Anderson perpendapat : 1. Kebijakan publik itu selalu mempunyai tujuan tertentu atau merupakan tindakan yang berorientasi pada tujuan. 2. Kebijakan itu berisi tindakan-tindakan atau pola-pola tindakan pejabat pemerintah. 3. Kebijakan itu merupakan apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah. Jadi, bukan merupakan apa yang pemerintah bermaksud akan melakukan sesuatu atau menyatakan akan melakukan sesuatu. 4. Kebijakan publik itu dapat bersifat positif dalam arti merupakan beberapa tindakan pemerintah mengenai masalah tertentu atau bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan pejabat pemrintah untuk tidak melakukan sesuatu. 5. Kebijakan publik setidak-tidaknya dalam arti yang positif didasarkan melalui atau selalu dilandaskan pada peraturan perundang-undangan dan bersifat memaksa. (dalam Islamy, 2003 : 19)
Berdasarkan beberapa pendapat para ahli di atas dapat diketahui bahwa kebijakan publik memiliki makna sebuah atau serangkaian keputusan yang dibuat
10
oleh pemerintah dengan orientasi tertentu dan dimaksudkan untuk kepentingan orang banyak. Aturan atau ketentuan yang dibuat pemerintah tentunya mengacu pada tujuan ideal demi kebaikan masyarakat banyak, namun apakah nanti kebijakan ini dapat memberi pengaruh nyata pada masyarakat akan sangat tergantung pada proses penerapan atau implementasinya. Pelaksanaan atau implementasi dari sebuah kebijakan adalah konsekuensi logis dari pemaknaan kebijakan itu sendiri. Sebuah kebijakan dapat dikatakan berhasil jika kebijakan tersebut dapat memenuhi tujuannya secara konkrit yaitu sebagai bentuk jawaban
pemerintah dari kebutuhan-kebutuhan masyarakat.
Sebuah kebijakan yang tidak dapat diimplementasikan hanya akan menjadi hiasan dari lembaran negara tanpa dapat memberikan kontribusi yang nyata bagi masyarakat banyak. Pentingnya proses implemantasi ini dapat dilihat dalam pendapat Chief J.O.Udodji yang menyatakan “The execution of policies is as important if not more important than policy making. Policies will remain dreams or blue prints in file saks unless then are implemeted, diartikan sebagai implementasi kebijakan merupakan sesuatu yang penting, bahkan mungkin lebih penting daripada pembuatan kebijakan. Kebijakan-kebijakan akan sekedar berupa impian atau rencana bagus yang tersimpan rapi dalam arsip kalau tidak diimplementasikan” (dalam Wahab, 1990 : 45). Tachjan (2008 : 3), mengemukakan bahwa mengubah program-program menjadi praktek tidaklah sesederhana sebagaimana tampaknya karena berbagai hal yang berkaitan dengan sifat dari permasalahan, situasi sekelilingnya, atau organisasi sebagai mesin administratif yang bertugas melaksanakannya, maka
11
program-program tidak dapat dilaksanakan sebagaimana yang dimaksud. Jika mengacu pada pendapat ini maka harus dipahami bahwa proses implementasi sebuah kebijakan adalah sebuah proses kompleks karena menyangkut banyak aspek dan harus dilakukan dengan sistematis dan hati-hati untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Karena kompleksnya proses implementasi ini beberapa ahli membuat berapa model yang dapat menjadi acuan untuk melaksanakan proses implementasi. Lester dan Stewart Jr (2000 : 14) berpendapat bahwa implementasi sebagai suatu proses dan suatu hasil. Keberhasilan dari sebuah implementasi dapat dilihat dari bagaimana implementasi itu dijalankan dan apakah proses implementasi ini mampu mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya. Sejalan dengan pendapat ini Grindle (1980:8-13) bahwa pengukuran implementasi sebuah kebijakan
dapat
diukur
dari
prosesnya,
maksudnya
adalah
dengan
mempertanyakan apakah pelaksanaan program sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dan kemudian apakah tujuan dari program tersebut telah dapat dicapai dengan sempurna. Pada dasarnya, menurut Grindle, keberhasilan atau kegagalan sebuah proses implementasi kebijakan secara umum dipengaruhi oleh dua faktor yaitu isi kebijakan (contens of public policy) dan konteks kebijakan (contexs of policy). Isi dari kebijakan menyangkut tujuan yang ingin dicapai sehingga berpengaruh pada arah implementasi sebuah kebijakan dan juga nantinya akan mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan tersebut. Isi kebijakan mengandung unsur-unsur yaitu kepentingan, manfaat, perubahan yang diharapkan serta sumberdaya yang dibutuhkan dalam menjadikan sebuah proses
12
implementasi berhasil. Sedangkan konteks dari kebijakan dimaksudkan sebagai kondisi lingkungan yang mempengaruhi impelementasi kebijakan secara keseluruhan.Adapun unsur-unsur yang mempengaruhi konteks kebijakan adalah kekuasaan, kelompok kepentingan, dan lembaga-lembaga terkait yang dapat mengendalikan suatu kebijakan. Jones (1994 : 166), mengemukakan “implementation is that set of activities directed toward putting program into effect”.Implementasi adalah suatu kegiatan yang dimaksudkan untuk membuat sebuah program berjalan, lebih lanjut disebutkan terdapat tiga kegiatan yang harus dilakukan terkait dengan hal ini yaitu organization, interpretation, application. Organization adalah segala tindakan yan berkaitan dengan pembentukan dan penataan sumber daya, unit-unit, dan metode untuk membuat sebuah program berjalan. Jadi untuk mencapai tujuan sebuah kebijakan, pemerintah harus mampu menghimpun dan mengolah segala sumber daya dan memanfaatkannya semaksimal dalam proses implementasi kebijakan tersebut. Interpretation, adalah menafsirkan sebuah kebijakan menjadi sebuah rencana kerja yang jelas sehingga memungkinkan untuk dilaksanakan. Dalam proses implementasi sebuah kebijakan peran birokrasi sebagai “mesin
pemerintah”
sangatlah
besar.
Birokrasi
berperan
besar
dalam
menginterpretasikan sebuah kebijakan menjadi sebuah tindakan operasional dan nyata. Kebijakan yang telah dioalah menjadi tindakan operasional yang nyata tidaklah berisi tujuan umum yang hendak dicapai melainkan telah dirumuskan konkritnya seperti alokasi dana, sumber daya, personal dan detail lainnya. Jadi
13
pada level ini kebijakan telah menjadi sebuah proyek atau prosedur kerja yang nyata dan bisa diterapkan. Berdasarkan pendapat-pendapat ahli diatas maka dapat diketahui bahwa implementasi adalah aspek yang penting dari keseluruhan proses kebijakan. Proses implementasi ini sebuah proses yang terencana, dinamis, dan kompleks namun disisi lain harus dapat diukur. Proses implementasi menurut peneliti, sebenarnya adalah dimana sebuah kebijakan diuji, apakah benar-benar dapat bermanfaat bagi masyarakat atau hanya sebuah wacana politik yang hadir untuk orientasi kekuasaan. Van Meter dan Van Horn mengemukakan sebuah gambaran implementasi sebagai berikut : Komunikasi Antar Organisasi dan Kegiatan Implementasi
Standar dan Sasaran Kebijakan Karakteristik Organisasi Pelaksana
Sikap Pelaksana
Kinerja Kebijakan
Sumber Daya
Lingkungan Ekonomi Dan Sosial Politik
Gambar 2.1 Model Proses Implementasi Kebijakan Van Meter dan Van Horn (dalam Tachjan, 2008 : 40)
14
Terkait dengan penjelasan skema ini Meter dan Horn (dalam Tachjan 2008 : 39), mengemukakan bahwa ada enam variabel bebas yang saling berkaitan yang dapat mempengaruhi proses implementasi kebijakan yaitu : 1. Standar dan sasaran kebijakan 2. Sumber Daya 3. Karakteristik agen pelaksana 4. Komunikasi antar organisasi terkait dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan 5. Sikap para pelaksana 6. Lingkungan sosial, ekonomi, politik Jadi dalam pandangan Meter dan Horn untuk menganalisis sebuah proses implementasi kebijakan maka dapat dilakukan dengan meneliti kondisi variabelvariabel di atas. Apabila variabel-variabel diatas berjalan dengan ideal maka dapat dikatakan proses implementasi berjalan dengan baik. Proses implementasi yang baik akan membuat sebuah kebijakan dapat menjadi sebuah konsep nyata yang dapat memberi kontribusi positif pada masyarakat. Selanjutnya Jones (1994 : 12) membuat pengertian implementasi kebijakan sebagai “getting the job done and doing it”. Meski ini merupakan pengertian sederhana namun ini adalah inti dari semua proses implementasi. Kemudian Jones (1994 : 13) membuat batasan implementasi sebagai “a procces off getting additional resources so as to figure out what is to be done”. Dalam hal ini jones berpendapat bahwa dalam sebuah proses implementasi perlu dilakukan upaya
untuk
menggunakan
sumberdaya
yang
tersedia
sehingga
dapat
diperhitungkan apa yang harus dikerjakan. Untuk melakukan identifikasi dan
15
analisis dalam sebuah proses implementasi Jones (1996 : 296) mengemukakan tiga hal yang mencakup ke dalam proses ini yaitu: 1. Organization (Organisasi), berhubungan dengan pembentukan atau penataan kembali sumberdaya, unit-unit dan metode yang mengarah pada upaya mewujudkan kebijakan agar berhasil sesuai dengan tujuan dan sasaran kebijakan. 2. Interpretation (Interpretasi), berhubungan dengan kegiatan untuk menerjemahkan sebuah kebijakan dalam bahasa yang lebih operasional dan mudah dipahami, sehingga substansi kebijakan dapat dipahami oleh pelaku kebijakan dan dapat dilaksanakan dengan mudah. 3. Application (Aplikasi), berhubungan dengan ketentuan rutin penyediaan pelayanan, pembayaran atau lainnya sesuai dengan tujuan kebijakan yang ada. Secara sederhana proses Implementasi Kebijakan menurut Jones dapat dilihat dari gambar berikut ini :
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
ORGANIZATION
INTERPRETATION
Gambar 2.2 Model Implementasi Kebijakan Jones
APPLICATION
16
Daniel Mazmanian dan Paul A. Sabatier mengemukakan model A Frame Work for Implementations Analysis (1983), mengemukakan bahwa variabelvariabel yang mempengaruhi tujuan-tujuan formal pada proses implementasi dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu: 1. Tractability of the problems, maksudnya adalah tingkat kesulitan, mudah atau tidaknya masalah yang digarap untuk dikendalikan 2. Ability of policy decision to structure implementation, maksudnya adalah kemampuan keputusan kebijakan untuk menstrukturkan secara tepat proses implementasinya 3. Nonstatury variable affecting implementation, maksudnya pengaruh langsung dari berbagai variabel yang termuat dalam keputusan kebijakan tersebut. Terkait dengan model Mazmanian dan Sabatier ini dapat dijelaskan setiap kategori variabel yang disebutkan di atas terdiri dari beberapa dimensi sebagai berikut : 1. Mudah atau tidaknya msalah dikendalikan dengan indikator: 1) kesukarankesukaran teknis, 2) keragaman perilaku kelompok sasaran, 3) prosenstase kelompok sasaran sebanding jumlah penduduk, 4) ruang lingkup perubahan perilaku yang diinginkan. 2. Kemampuan kebijakan untuk menstrukturkan proses implenetasi dengan indikator: 1) kejelasan dan kosistensi tujuan, 2) digunakannya teori kausal yang memadai, 3) ketepatan alokasi sumber dana, 4) keterpaduan hierarki dalam dan diantara lembaga pelaksana, 5) aturan-aturan keputusan dari badan pelaksana, 6) rekruitmen pejabat pelaksan, 7) akses formal pihak luar. 3. Variabel di luar kebijakan yang mempengaruhi proses implementasi, dengan indikator: 1) kondisi sosio ekonomi dan teknologi, 2) dukungan public, 3) sikap dan sumber-sumber yang dimiliki kelompok-kelompok, 4) dukungan dari pejabat atasan, 4) dukungan dari pejabat atasan, 5) komitmen dan kemampuan kepemimpinan pejabat-pejabat pelaksana (dalam Tachjan, 2008 : 59)
17
Model proses implementasi menurut Mazmanian dan Sabatier dapat dilihat pada gambar selanjutnya :
Gambar 2.3 Konsep Model Implementasi Mazmanian dan Sabatier (Sumber : Tachjan, 2008 : 58)
Banyaknya pilihan cara yang dikemukakan oleh berbagai ahli menunjukan bahwa besarnya concern studi kebijakan publik untuk mengamati proses implementasi kebijakan. Hal ini memberi gambaran bahwa masalah implementasi pada sebuah proses kebijakan adalah masalah yang krusial. Implementasi yang baik akan mentranformasi sebuah kebijakan dari sebuah produk politik menjadi sesuatu yang konkrit dan berguna bagi masyarakat banyak.
18
1.1.3 Sertifikasi Guru Sebuah studi yang dilakukan Heyneman dan Loxley di 29 negara pada tahun 1983 menyebutkan bahwa diantara berbagai masukan (input) yang menentukan kualitas pendidikan (yang diukur dari prestasi belajar siswa) sepertiganya ditentukan oleh guru. Peranan guru menjadi semakin penting ketika kita berbicara dalam konteks negara berkembang yang sarana dan prasarana pendidikannya terbatas. Hasil lengkap dari penelitian tersebut adalah: pada 16 negara berkembang guru memberi kontribusi pada prestasi belajar sebesar 34%, manajemen 22%, waktu belajar 16%, dan saran fisik 26%. Fasli Jalal (2007 : 1) berpendapat bahwa pendidikan yang bermutu sangat tergantung pada keberadaan guru yang bermutu, yaitu guru yang profesional, sejahtera, dan bermartabat. Berdasarkan hal tersebut maka dapat diasumsikan kalau keberadaan guru yang bermutu adalah syarat utama sistem dan praktek pendidikan yang bermutu. Guru secara sederhana dapat diartikan sebagai orang yang memberikan ilmu pengetahuan kepada anak didik (Anwar Q & Sagala S, 2004 : 120).Karena tugasnya itulah, guru dapat menambah kewibawaannya dan keberadaan guru sangat diperlukan masyarakat, mereka tidak meragukan lagi akan urgensinya guru bagi anak didik. Sedangkan kalau menurut Undang - Undang No. 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen, guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik,
mengajar,
membimbing,
mengarahkan,
melatih,
menilai
dan
mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah.
19
Jika mengacu pada Undang - Undang No. 20 Tahun 2003 dan Undang Undang No. 14 Tahun 2005 maka ada beberapa peran guru dalam proses pendidikan di Indonesia, yaitu : 1. Guru Sebagai Pendidik. Guru adalah pendidik yang menjadi tokoh, panutan dan identifikasi bagi para peserta didik dan lingkungannya. Oleh karena itu guru harus mempunyai standar kualitas pribadi tertentu, yang mencakup tanggungjawab, wibawa, mandiri dan disiplin.Guru harus memahami nilai-nilai, norma moral dan sosial, serta berusaha berperilaku dan berbuat sesuai dengan nilai dan norma tersebut. Guru juga harus bertanggung jawab terhadap tindakannya dalam proses pembelajaran di sekolah.Sebagai pendidik guru harus berani mengambil keputusan secara mandiri berkaitan dengan pembelajaran dan pembentukan kompetensi, serta bertindak sesuai dengan kondisi peserta didik dan lingkungan. 2. Guru sebagai Pengajar. Dalam tugasnya, guru membantu peserta didik yang sedang berkembang untuk mempelajari sesuatu yang belum diketahuinya, membentuk kompetensi dan memahami materi standar yang dipelajari. Guru sebagai pengajar, harus terus mengikuti perkembangan teknologi, sehinga apa yang disampaikan kepada peserta didik merupakan hal-hal baru dan mengikuti perkembangan zaman. Derasnya arus informasi, serta cepatnya perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan telah memunculkan pertanyaan terhadap tugas guru sebagai pengajar. Masihkah guru diperlukan mengajar di depankelas seorang diri, menginformasikan, menerangkan dan menjelaskan. Untuk itu guru harus senantiasa mengembangkan profesinya secara profesional, sehingga tugas dan peran guru sebagai pengajar masih tetap diperlukan sepanjang hayat. 3. Guru sebagai Pembimbing. Guru sebagai pembimbing dapat diibaratkan sebagai pembimbing perjalanan yang berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya yang bertanggungjawab. Sebagai pembimbing, guru harus merumuskan tujuan secara jelas, menetapkan waktu perjalanan, menetapkan jalan yang harus ditempuh, menggunakan petunjuk perjalanan serta menilai kelancarannya sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan peserta didik. Sebagai pembimbing semua kegiatan yang dilakukan oleh guru harus berdasarkan kerjasama yang baik antara guru dengan peserta didik. Guru memiliki hak dan tanggungjawab dalam setiap perjalanan yang direncanakan dan dilaksanakannya. 4. Guru sebagai Pengarah. Guru adalah seorang pengarah bagi peserta didik, bahkan bagi orang tua. Sebagai pengarah guru harus mampu mengarkan peserta didik dalam memecahkan permasalahan-permasalahan yang dihadapi, mengarahkan peserta didik dalam mengambil suatu keputusan dan menemukan jati dirinya. Guru juga dituntut untuk mengarahkan peserta didik dalam mengembangkan potensi dirinya, sehingga peserta didik dapat membangun karakter yang baik bagi dirinya dalam menghadapi kehidupan nyata di masyarakat.
20
5. Guru sebagai Pelatih. Proses pendidikan dan pembelajaran memerlukan latihan ketrampilan, baik intelektual maupun motorik, sehingga menuntut guru untuk bertindak sebagai pelatih, yang bertugas melatih peserta didik dalam pembentukan kompetensi dasar sesuai dengan potensi masingmasing peserta didik. Pelatihan yang dilakukan, disamping harus memperhatikan kompetensi dasar dan materi standar, juga harus mampu memperhatikan perbedaan individual peserta didik dan lingkungannya. Untuk itu guru harus banyak tahu, meskipun tidak mencakup semua hal dan tidak setiap hal secara sempurna, karena hal itu tidaklah mungkin. 6. Guru sebagai Penilai. Penilaian atau evalusi merupakan aspek pembelajaran yang paling kompleks, karena melibatkan banyak latar belakang dan hubungan, serta variabel lain yang mempunyai arti apabila berhubungan dengan konteks yang hampir tidak mungkin dapat dipisahkan dengan setiap segi penilaian. Tidak ada pembelajaran tanpa penilaian, karena penilaian merupakan proses menetapkan kualitas hasil belajar, atau proses untuk menentukan tingkat pencapaian tujuan pembelajaran peserta didik. (dalam Panduan Sertifikasi Guru, 2008 : 12)
Jika mengacu pada kompleksnya tuntutan terhadap peran seorang guru, maka peningkatan terhadap kualitas guru melalui program sertifikasi guru yang dicanangkan pemerintah dapat dipandang sebagai sebuah konsekuensi logis. Oleh karena itu kebutuhan buru untuk menjadi sebuah profesi yang mengedepankan profesionalitas adalah sebuah target yang harus dicapai. (Jones, Jenkin & Lord, 2006:1), berpendapat bahwa salah satu faktor mendasar yang menentukan ketercapaian tujuan pendidikan adalah guru. Peran guru amat signifikan bagi setiap keberhasilan proses pembelajaran. Berdasarkan pendapat ini maka menjadi penting untuk seorang guru memiliki kompetensi agar dapat berperan nyata dalam peningkatan kualitas pendidikan secara keseluruhan. Webster’s New World Dictionary mendefensikan profesi sebagai “Suatu pekerjaan yang meminta pendidikan tinggi dalam liberal art atau science dan biasanya meliputi pekerjan mental, bukan pekerjaan manual”. Sedangkan Good’s
21
Dictionary of educationmendefinisikan sebagai “suatu pekerjaan yang meminta persiapan spesialisasi yang relatif lama di perguruan tinggi dan dikuasai oleh suatu kode etik khusus”.Berdasarkan pengertian dari dua kamus ini dapat disimpulkan kalau sederhananya profesi mengandung pengertian sebagai sebuah pekerjaan
yang
menuntut
kualitas
dan
kompetensi
bagi
siapa
yang
mengerjakannya. Pengertian profesi menurut Hornby dalam Roestiyah (1982 : 176) “occuption is one reguiring, advanced educational and special training “ Profesi adalah suatu pekerjaan yang memerlukan pendidikan lanjut dan latihan khusus. Kemudian Levine dalam Soetjipto dan Kosasi. (1999 : 15) berpendapat bahwa: profesi adalah jabatan yang mengandung pengertian: 1) melayani masyarakat, merupakan karier yang akan dilaksanakan sepanjang hayat (tidak berganti-ganti pekerjaan), 2) memerlukan bidang ilmu dan ketrampilan tertentu diluar jangkauan khalayak ramai (tidak setiap orang dapat melakukannya), 3) menggunakan hasil penelitian dan aplikasi dari teori ke praktek (teori baru di kembangkan dari hasil penelitian), 4) memerlukan latihan khusus dengan waktu yang panjang, 5)terkendali berdasarkan lisensi baku dan/atau mempunyai persyaratan masuk (untuk menduduki jabatan tersebut memerlukan izin tertentu atau persyaratan khususyang ditentukan untuk dapat mendudukinya), 6) otonomi dalam membuat keputusan tentang ruang lingkup kerja tertentu atau adanya persyaratan tertentu (tidak teratur orang lain), dan beberapa syarat lain yang menuntut pemahaman, loyalitas, dan keinginan untuk terus berkembang dalam konteks pekerjaan.
Jika mengkategorikan guru sebagai sebuah profesi, tentunya profesi guru akan menuntut sebuah profesionalitas bagi siapapun yang menggelutinya. Menurut Oemar Hamalik dalam Yamin (2006 : 7) guru profesional harus memiliki persyaratan yang meliputi : 1. 2. 3. 4.
Memiliki bakat sebagai guru Memiliki keahlian sebagai guru Memiliki keahlian yang baik dan terintegrasi Memiliki mental yang sehat
22
5. 6. 7. 8.
Berbadan sehat Memiliki pengalaman dan pengetahuan yang luas Berjiwa Pancasila Merupakan warga negara yang baik
Sedangkan menurut Undang - Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pasal 7, profesi guru merupakan bidang pekerjaan khusus yang dilaksanakan berdasarkan prinsip sebagai berikut : 1. Memiliki bakat, minat, panggilan jiwa dan idealism 2. Memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan dan akhlak mulia 3. Memiliki kualitas akademik dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas 4. Memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas 5. Memiliki tanggungjawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan 6. Memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja 7. Memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat 8. Memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan dan 9. Memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur halhal yang berkaitan dengan tugas keprofesionalan guru. (dalam Panduan Sertifikasi Guru, 2008 : 54)
Sertifikasi guru merupakan upaya pemerintah dalam meningkatkan mutu guru yangdibarengi dengan peningkatan kesejahteraan guru. Guru yang telah lulus uji sertifikasiguru akan diberi tunjangan profesi sebesar satu kali gaji pokok sebagai bentuk upaya pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan guru. Tunjangan tersebut berlaku, baikbagi guru yang berstatus pegawai negeri sipil (PNS) maupun bagi guru yang berstatusnon-pegawai negeri sipil (non PNS/swasta).Dengan peningkatan mutu dan kesejahteraanguru maka diharapkan dapat meningkatkan mutu pembelajaran dan mutu pendidikan diIndonesia secara berkelanjutan. Menurut Trianto dan Tutik (2007 : 9) Sertifikat pendidik adalah
23
surat keterangan yang diberikan suatu lembaga pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasisebagai bukti formal kelayakan profesi guru, yaitu memenuhi kualifikasi pendidikan minimum dan menguasai kompetensi minimal sebagai agen pembelajaran. Sertifikasi guru juga dapat diartikan sebagai suatu proses pemeberian pengakuan bahwa seseorang telah memiliki kompetensi untuk melaksanakan pelayanan pendidikan pada satuan pendidikan tertentu, setelah lulus uji kompetensi yang diselenggarakan oleh lembaga sertifikasi (Mulyasa, 2007 : 34). Sejak diundangkannya UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, UU No.14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dan PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, maka wacana mengenai sertifikasi guru mendominasi pemberitaan di media massa maupun diskusi dan seminar di dan untuk kalangan guru. Menurut Wibowo dalam Mulyasa (2007 : 35) mengungkapkan bahwa tujuan sertifikasi guru adalah : 1. melindungi profesi pendidik dan tenaga kependidikan 2. melindungi masyarakat dari praktik-praktik yang tidak kompeten, sehingga merusak citra pendidik dan tenaga kependidikan 3. membantu dan melindungi lembaga penyelenggara pendidikan, dengan menyediakan rambu-rambu dan instrumen untuk melakukan seleksi terhadap pelamar yang kompeten 4. membangun citra masyarakat terhadap profesi pendidik dan tenaga kependidikan, memberikan solusi dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan dan tenaga kependidikan. Sedangkan menurut Departemen Pendidikan Nasional mengungkapkan bahwa tujuan sertifikasi guru adalah (1) menentukan kelayakan guru dalam melaksanakan
tugas
sebagai
agen
pembelajaran,
(2)
meningkatkan
24
profesionalisme guru, (3) meningkatkan proses dan hasil pendidikan, (4) mempercepat terwujudnya tujuan pendidikan nasional. Proses sertifikasi gurumerupakan proses yang panjang, alur sertifikasi guru ini berdasarkan ketentuan Departemen Pendidikan Nasional adalah sebagai berikut : 1. Persiapan pelaksanaan sertifikasi guru diawali dengan penyusunan pedoman pelaksanaansertifikasi guru oleh Ditjen PMPTK dan Ditjen Dikti. 2. Berdasarkan surat dari Dirjen PMPTK, Dinas Pendidikan Provinsi membentuk panitiapelaksana sertifikasi guru tingkat provinsi dan Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota. Salahsatu tugas panitia tingkat kabupaten/kota adalah membuat daftar urut prioritas pesertasertifikasi guru berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh Ditjen PMPTK. 3. Ditjen PMPTK melaksanakan sosialisasi pelaksanaan sertifikasi kepada DinasPendidikan Provinsi dan Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota. Dalam kegiatan ini DinasPendidikan Provinsi dan Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota menerima dokumendokumendari Ditjen PMPTK sebagai berikut. a) instrument portofolio, b) pedoman sertifikasi guru bagi Dinas pendidikan Provinsi dan kabupaten/kota, c) pedoman sertifikasi guru bagi peserta, d) Daftar kuota peserta sertifikasi guru untuk masing-masing Kabupaten/Kota, e) Jadwal pelaksanaan sertifikasi guru 4. Berdasarkan daftar urut prioritas peserta sertifikasi guru dan kuota yang diterima dariDitjen PMPTK di wilayah kerjanya, panitia di tingkat kabupaten/kota menetapkan danmenyerahkan daftar peserta sertifikasi ke panitia tingkat provinsi. 5. Panitia tingkat provinsi mengumpulkan daftar peserta sertifikasi dari panitia tingkatkabupaten/kota untuk selanjutnya diserahkan ke panitia tingkat pusat (Ditjen PMPTK). 6. Dinas pendidikan provinsi dan dinas pendidikan kabupaten/kota mengadakan sosialisasi pelaksanaan sertifikasi kepada guru yang ada di wilayahnya. Dalam kegiatan ini guru menerima daftar peserta sertifikasi, berkas sertifikasi (nomor peserta, format pendaftaransertifikasi, instrumen portofolio), dan informasi lain. 7. Guru yang ditetapkan sebagai peserta sertifikasi menghimpun seluruh dokumenportofolio yang dimiliki, difotocopy dan ditata secara kronologis berdasarkan unsur dankomponen yang dinilai, meminta legalisasi dan mengatur secara berurutan berdasarkantahun perolehan portofolio. 8. Portofolio yang telah disusun (dokumen-dokumen dilegalisasi oleh yang berwenang),instrumen portofolio yang telah diisi lengkap, serta persyaratan lainnya kemudiandiserahkan ke Panitia Sertifikasi Tingkat Kabupaten/Kota untuk selanjutnya diserahkanke Rayon LPTK yang
25
ditunjuk sebagai pelaksana sertifikasi. Daftar peserta yang telahmengumpulkan dokumen portofolio diserahkan ke Panitia Tingkat Provinsi dan DitjenPMPTK. 9. Setelah melalui proses penilaian portofolio di Rayon LPTK yang ditunjuk, maka hasilnyaakan disampaikan oleh Rayon LPTK ke Panitia Sertifikasi Tingkat Pusat (DitjenPMPTK), Panitia Sertifikasi Tingkat Provinsi, dan Panitia Sertifikasi TingkatKabupaten/Kota untuk diinformasikan kepada peserta sertifikasi. 10. Guru yang dinyatakan lulus dalam penilaian portofolio akan diberi sertifikat pendidik.Guru yang dinyatakan belum lulus harus melengkapi portofolio atau mengikutipendidikan dan pelatihan profesi guru (Diklat Profesi Guru/DPG). Diklat Profesi Gurudiakhiri dengan ujian. Bagi guru yang tidak lulus ujian diberi kesempatan untukmengulang ujian sebanyak dua kali. 11. Ditjen PMPTK akan memberi Nomor Registrasi Guru bagi guru yang lulus sertifikasi. Gambaran umum yang lebih sederhana tentang alur sertifikasi guru dapat dilihat dalam gambar berikut :
SERTIFIKAT PENDIDIK
Lulus
GURU DALAM
PENILAIAN
JABATAN
PORTOFOLIO
Tidak Lulus
KEGIATAN
Lulus
Lulus
TAMBAHAN
DIKLAT
LENGKAPI PF
UJIAN
PROFESI
UJIAN ULANG
Tidak Lulus
BELAJAR MANDIRI
Gambar 2.4 Alur Sertifikasi Guru Menurut Ketentuan Departemen Pendidikan Nasional
26
1.2
Kerangka Pemikiran Pendidikan adalah faktor penting dalam menentukan kemajuan suatu
negara. Pendidikan akan membawa peradaban sebuah bangsa ke tingkat yang lebih tinggi sehingga memungkinkan terciptanya penemuan-penemuan baru pada berbagai bidang untuk meningkatkan kesejahteraan orang banyak. Ada banyak variabel yang mempengaruhi tingkat atau kualitas pendidikan, seperti sarana dan prasarana, manajemen sekolah, ketentuan-ketentuan yang dikeluarkan pemerintah, dan kualitas sumberdaya yang menjalankan pendidikan. Variabel-variabel ini saling berhubungan dan mempengaruhi satu sama lain, dibutuhkan suatu upaya terpadu dan berkesinambungan dari semua pihak yang terkait dalam usaha meningkatkan kualitas pendidikan pada suatu wilayah. Kebijakan Sertfikasi Guru merupakan salah satu upaya pemerintah untuk memperbaiki kualitas pendidikan, khususnya untuk meningkatkan performa atau kompetensi guru di seluruh wilayah Indonesia. Pada dasarnya setiap kebijakan pemerintah merupakan sebuah produk atau hasil dari proses politik yang ditujukan sebagai jawaban akan kebutuhankebutuhan masyarakat. Lebih lanjut ada tiga tahapan dalam proses kebijakan yaitu tahapan formulasi, implementasi, dan evaluasi kebijakan. Ketiga tahapan ini merupakan sebuah proses yang saling terkait dan mempengaruhi satu sama lain, sehingga masing-masing tahapan haruslah dikerjakan secara sistematis, serius dan terfokus demi kepentingan publik. Implementasi adalah sebuah proses yang menjembatani antara kebijakan sebagai sebuah hasil atau modus dari proses politik menjadi kebijakan sebagai
27
sesuatu yang nyata dan dapat diterapkan untuk kebaikan masyarakat banyak. (Tachjan, 2008 : 3), berpendapat bahwa mengubah kebijakan kedalam sebuah program bukan semudah membalik telapak tangan, dan tidak dapat sebagai sesuatu yang sederhana, karena terkait dengan sifat dan permasalahan situasi sekelilingnya, atau organisasi sebagai mesin administratif yang melaksanakannya, maka program-program yang dimaksudkan mungkin tidak dapat dilaksanakan sebagaimana dengan yang dimaksudkan. Jadi proses implementasi bukanlah sebuah proses yang sederhana dan cepat, melainkan sebuah proses yang bertahap dan sistematis, oleh karena itu memungkinkan untuk mengukur dan menganalisis sebuah implementasi kebijakan secara ilmiah. Kebijakan
Sertifikasi
guru
merupakan
upaya
pemerintah
dalam
meningkatkan kompetensi sekaligus kesejehteraan para guru. Sederhananya guruguru yang mengikuti proses sertifikasi kemudian akan mendapat sertifikat pendidik sebagai tanda mereka telah melalui proses sertifikasi dan diakui memiliki kompetensi sebagai tenaga pendidik yang bersertifikat.Menurut Samani (2006 : 8) sertiifikat pendidik adalah bukti formal dari pemenuhan dua syarat, yaitu kualifikasi akademik minimum dan penguasaan kompetensi minimal sebagai guru. Sedangkan menurut Trianto dan Tutik (2007 : 9) Sertifikat pendidik adalah surat keterangan yang diberikan suatu lembaga pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasisebagai bukti formal kelayakan profesi guru, yaitu memenuhi kualifikasi pendidikan minimum dan menguasai kompetensi minimal sebagai agen pembelajaran.
28
Berdasarkan kedua pendapat ini dapat diketahui kalau kebijakan sertifikasi guru adalah kebijakan untuk meningkatkan kompetensi dan kesejahteraan guru oleh pemerintah yang didasari pada pertimbangan-pertimbangan tertentu. Bagi guru-guru yang telah berhasil menyelasaikan proses sertifikasi kemudian akan diberi surat pengakuan resmi dari pemerintah, yang dengan berlakunya surat tersebut maka melekatlah seperangkat hak dan kewajiban tertentu pada guru tersebut. Pada dasarnya maksud dan tujuan dari kebijakan ini sudah ideal, namun untuk mengetahui apakah kebijakan telah mampu menghadirkan manfaat-manfaat yang nyata bagi masyarakat, maka diperlukan sebuah pemahaman dan analisis tentang bagaimana kebijakan sertifikasi guru ini di implementasikan di Kabupaten Poso. Fenomena implementasi kebijakan sertifikasi guru di Kabupaten Poso merupakan sesuatu yang dapat dan menarik untuk diteliti. Sebagai alat bantu untuk menganalisis dan meneliti masalah ini peneliti menggunakan model analisis proses implementasi yang dikemukakan oleh Jonesyang menyatakan bahwa implementasi sebuah kebijakan dapat dinilai dan dianalisis dengen mengamati proses-proses sebagai berikut : 1. Tahap organisasi, tahap ini adalah tahapan pengaturan seluruh pihak-pihak yang terlibat dalam implementasi kebijakan menjadi sebuah organisasi yang rapi dan dinamis sehingga dapat menjalankan proses implementasi dengan baik. Pada tahapan ini dilakukan penataan semua sumber daya, unit-unit, dan cara-cara yang digunakan untuk membuat proses implementasi kebijakan berjalan. Pada penelitian ini yang tercakup
29
kedalam tahap pengorganisasian adalah, penguatan dan kejelasan struktur organisasi pelaksana kebijakan, anggaran untuk implementasi kebijakan, pengolahan sarana dan prasarana, penentuan standar operasional prosedur dan koordinasi antar implementator. 2. Tahap Interpretasi, tahapan ini adalah tahapan dimana kebijakan ditranformasikan dari sebuah produk tertulis dari sebuah proses politik menjadi sebuah program yang terarah dan dapat diimplementasikan. Pada tahapan ini kebijakan yang pada mulanya adalah sebuah konsep yang abstrak dirubah menjadi sebuah konsep yang konkrit sehingga dapat dirasakan manfaatnya secara langsung oleh masyarakat. Tahap Interpretasi dalam penelitian ini mencakup pembuatan petunjuk pelaksanaan kebijakan, sosialisasi kebijakan, komunikasi antara pelaksana kebijakan dan kejelasan informasi kebijakan 3. Tahap Aplikasi, maksudnya adalah pelaksanaan dari kegiatan sebagai wujud nyata dari implementasi kebijakan. Dengan adanya proses interpretasi dan pengorganisasian kebijakan sebagai dua proses awal implementasi kebijakan maka tahapan aplikasi ini untuk menguji apakah dua tahapan awal tadi telah berjalan dengan ideal. Pada tahapan ini akan terlihat apakah proses implementasi kebijakan telah mampu memberikan pengaruh positif, khususnya pada target kebijakan dan masyarakat banyak pada umumnya. Dalam konteks penelitian ini penggunaan model proses implementasi yang dikemukakan Jones ini hanya sebagai alat bantu agar penelitian berjalan dengan
30
sistematis dan fokus. Peneliti tidak akan melakukan pengujian teori melainkan berusaha memberikan gambaran situasi di lapangan sesuai dengan realitas yang sebenarnya.
Kebijakan Sertifikasi Guru
Proses Implementasi 1. Tahap Organisasi 2. Tahap Interpretasi 3. Tahap Aplikasi
Hasil Implementasi Kondisi Nyata Hasil Implementasi Kebijakan Sertifikasi Guru Di Kabupaten Poso Gambar 2.5 Model Kerangka Pemikiran
1.3
Proposisi Dari kerangka pemikiran yang telah dibuat, maka dapat diambil proposisi
sebagai berikut : “ Implementasi Kebijakan Sertifikasi Guru di Kabupaten Poso dapat berjalan dengan efektif jika proses implementasi kebijakan yaitu tahap organisasi, tahap interpretasi,
dan
tahap
aplikasi
berjalan
dengan
baik”.
31