BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Terapi Intravena (Infus)
2.1.1 Pengertian Terapi Intravena (Infus) Terapi Intravena (IV) adalah menempatkan cairan steril melalui jarum, langsung ke vena pasien. Biasanya cairan steril mengandung elektrolit (natrium, kalsium, kalium), nutrient (biasanya glukosa), vitamin atau obat (Brunner & Sudarth, 2002). Terapi intravena adalah pemberian sejumlah cairan ke dalam tubuh, melalui sebuah jarum, ke dalam pembuluh vena (pembuluh balik) untuk menggantikan kehilangan cairan atau zat-zat makanan dari tubuh (Darmadi,2010). Terapi intravena (IV) digunakan untuk memberikan cairan ketika pasien tidak dapat menelan, tidak sadar, dehidrasi atau syok, untuk memberikan garam yang dirperlukan untuk mempertahankan keseimbangan elektrolit, atau glukosa yang diperlukan untuk metabolisme dan memberikan medikasi (Perry & Potter, 2006).
2.1.2 Tujuan Pemberian Terapi Intravena (Infus) Memberikan
atau
menggantikan
cairan
tubuh
yang
mengandung
air,
elektrolit,vitamin, protein, lemak, dan kalori, yang tidak dapat dipertahankan secara
adekuat
melalui
oral,
memperbaiki
keseimbangan
asam-
basa, memperbaiki volume komponen-komponen darah, memberikan jalan
1
14
masuk untuk pemberian obat-obatan kedalam tubuh, memonitor tekanan vena sentral (CVP), memberikan nutrisi pada saat sistem pencernaan mengalami gangguan (Perry & Potter, 2006).
2.1.3 Vena Tempat Pemasangan Infus Menurut Perry & Potter (2006) vena-vena tempat pemasangan infus: Vena Metakarpal, vena sefalika, vena basilica, vena sefalika mediana, vena basilika mediana, vena antebrakial mediana.
2.1.4 Cara Pemilihan Daerah Insersi Pemasangan Infus Menurut Perry&Potter (2006) banyak tempat bisa digunakan untuk terapi intravena, tetapi kemudahan akses dan potensi bahaya berbeda di antara tempattempat ini. Pertimbangan perawat dalam memilih vena adalah sebagai berikut: Usia klien (usia dewasa biasanya menggunakan vena di lengan, sedangkan infant biasanya menggunakan vena di kepala dan kaki), lamanya pemasangan infus (terapi jangka panjang memerlukan pengukuran untuk memelihara vena), type larutan yang akan diberikan, kondisi vena klien, kontraindikasi vena-vena tertentu yang tidak boleh dipungsi, aktivitas pasien (misal bergerak, tidak bergerak, perubahan tingkat kesadaran, gelisah), terapi IV sebelumnya (flebitis sebelumnya membuat vena menjadi tidak baik untuk digunakan), tempat insersi/pungsi vena yang umum digunakan adalah tangan dan lengan. Namun vena-vena superfisial di kaki dapat digunakan jika klien dalam kondisi tidak memungkinkan dipasang di daerah tangan. Apabila memungkinkan, semua klien sebaiknya menggunakan ekstremitas yang tidak dominan.
15
2.1.5 Indikasi dan Kontraindikasi Pemberian Terapi Intravena Menurut Perry & Potter (2006) indikasi pada pemberian terapi intravena: pada seseorang dengan penyakit berat, pemberian obat melalui intravena langsung masuk ke dalam jalur peredaran darah. Misalnya pada kasus infeksi bakteri dalam peredaran darah (sepsis). Sehingga memberikan keuntungan lebih dibandingkan memberikan obat oral. Namun sering terjadi, meskipun pemberian antibiotika intravena hanya diindikasikan pada infeksi serius, rumah sakit memberikan antibiotika jenis ini tanpa melihat derajat infeksi. Antibiotika oral (dimakan biasa melalui mulut) pada kebanyakan pasien dirawat di rumah sakit dengan infeksi bakteri, sama efektifnya dengan antibiotika intravena, dan lebih menguntungkan dari segi kemudahan administrasi rumah sakit, biaya perawatan, dan lamanya perawatan. Obat tersebut memiliki bioavailabilitas oral (efektivitas dalam darah jika dimasukkan melalui mulut) yang terbatas. Atau hanya tersedia dalam sediaan intravena (sebagai obat suntik). Misalnya antibiotika golongan aminoglikosida yang susunan kimiawinya “polications” dan sangat polar, sehingga tidak dapat diserap melalui jalur gastrointestinal (di usus hingga sampai masuk ke dalam darah). Maka harus dimasukkan ke dalam pembuluh darah langsung. Pasien tidak dapat minum obat karena muntah, atau memang tidak dapat menelan obat (ada sumbatan di saluran cerna atas). Pada keadaan seperti ini, perlu dipertimbangkan pemberian melalui jalur lain seperti rektal (anus), sublingual (di bawah lidah), subkutan (di bawah kulit), dan intramuskular (disuntikkan di otot).
16
Kesadaran menurun dan berisiko terjadi aspirasi (tersedakobat masuk ke pernapasan), sehingga pemberian melalui jalur lain dipertimbangkan. Kadar puncak obat dalam darah perlu segera dicapai, sehingga diberikan melalui injeksi bolus (suntikan langsung ke pembuluh balik/vena). Peningkatan cepat konsentrasi obat dalam darah tercapai, misalnya pada orang yang mengalami hipoglikemia berat dan mengancam nyawa, pada penderita diabetes mellitus. Alasan ini juga sering digunakan untuk pemberian antibiotika melalui infus/suntikan, namun perlu diingat bahwa banyak antibiotika memiliki bioavalaibilitas oral yang baik, dan mampu mencapai kadar adekuat dalam darah untuk membunuh bakteri. Menurut Darmadi (2008) kontraindikasi pada pemberian terapi intravena: Inflamasi (bengkak, nyeri, demam) dan infeksi di lokasi pemasangan infus. Daerah lengan bawah pada pasien gagal ginjal, karena lokasi ini akan digunakan untuk pemasangan fistula arteri-vena (A-V shunt) pada tindakan hemodialisis (cuci darah). Obat-obatan yang berpotensi iritan terhadap pembuluh vena kecil yang aliran darahnya lambat (misalnya pembuluh vena di tungkai dan kaki).
2.1.6 Tipe-tipe Cairan Intravena Cairan hipotonik: osmolaritasnya lebih rendah dibandingkan serum (konsentrasi ion Na+ lebih rendah dibandingkan serum), sehingga larut dalam serum, dan menurunkan osmolaritas serum. Maka cairan “ditarik” dari dalam pembuluh darah keluar ke jaringan sekitarnya (prinsip cairan berpindah dari osmolaritas rendah keosmolaritas tinggi), sampai akhirnya mengisi sel-sel yang dituju. Digunakan pada keadaan sel “mengalami” dehidrasi, misalnya pada pasien cuci darah
17
(dialysis) dalam terapi diuretik, juga pada pasien hiperglikemia (kadar gula darah tinggi) dengan ketoasidosis diabetik. Komplikasi yang membahayakan adalah perpindahan tiba-tiba cairan dari dalam pembuluh darah ke sel, menyebabkan kolaps kardiovaskular dan peningkatan tekanan intrakranial (dalam otak) pada beberapa orang.Contohnya adalah NaCl 45% dan Dekstrosa 2,5%. Cairan Isotonik: osmolaritas (tingkat kepekatan) cairannya mendekati serum (bagiancair dari komponen darah), sehingga terus berada di osmolaritas (tingkat kepekatan) cairannya mendekati serum (bagiancair dari komponen darah), sehingga terus berada di dalam pembuluh darah. Bermanfaat pada pasien yang mengalami hipovolemi (kekurangan cairan tubuh, sehingga tekanan darah terus menurun). Memiliki risiko terjadinya overload (kelebihan cairan), khususnya pada penyakit gagal jantung kongestif dan hipertensi. Contohnya adalah cairan RingerLaktat (RL), dan normalsaline/larutan garam fisiologis (NaCl 0,9%). Cairan hipertonik: osmolaritasnya lebih tinggi dibandingkan serum, sehingga “menarik” cairan dan elektrolit dari jaringan dan sel ke dalam pembuluh darah. Mampu menstabilkan tekanan darah, meningkatkan produksi urin, dan mengurangi edema (bengkak). Penggunaannya kontradiktif dengan cairan Hipotonik. Misalnya Dextrose 5%, NaCl 45% hipertonik, Dextrose 5%+RingerLactate, Dextrose 5%+NaCl 0,9%, produk darah (darah), dan albumin. (Perry & Potter, 2006) Pembagian cairan lain adalah berdasarkan kelompoknya: a.
Cairan Kristaloid : bersifat isotonik, maka efektif dalam mengisi sejumlah volume cairan (volume expanders) ke dalam pembuluh darah dalam waktu
18
yang singkat, dan berguna pada pasien yang memerlukan cairan segera. Misalnya Ringer-Laktat dan garam fisiologis. b.
Cairan Koloid : ukuran molekulnya (biasanya protein) cukup besar sehingga tidak akan keluar dari membrane kapiler, dan tetap berada dalam pembuluh darah, maka sifatnya hipertonik, dan dapat menarik cairan dari luar pembuluh darah. Contohnya adalah albumin dan steroid (Perry & Potter, 2006).
2.1.7 Komposisi Cairan Terapi Intravena Larutan Nacl (berisi air dan elektrolit (Na+, cl-), Larutan dextrose (berisi air atau garam dan kalori), Ringer laktat, berisi air (Na+, K+, cl-, ca++, laktat), Balans isotonic berisi (air, elektrolit, kalori ( Na+, K+, Mg++, cl-, HCO, glukonat), Whole blood (darah lengkap) dan komponen darah, Plasma expanders (berisi albumin, dextran, fraksi protein plasma 5%, hespan yang dapat meningkatkan tekanan osmotic, menarik cairan dari intertisiall, kedalam sirkulasi dan meningkatkan volume darah sementara), Hiperelimentasi parenteral (berisi cairan, elektrolit, asam amino, dan kalori) (Smeltzer & Bare, 2002).
2.1.8 Menentukan kecepatan cairan Intravena (Infus) Pertama atur kecepatan tetesan pada tabung IV. Tabung makrodrip dapat meneteskan 10 atau 15 tetes per 1 ml. Tabung mikrodrip meneteskan 60 tetes per 1 ml. Jumlah tetesan yang diperlukan untuk 1 ml disebut faktor tetes. Atur jumlah mililiter cairan yang akan diberikan dengan jumlah total cairan yang akan diberikan dengan jumlah jam infus yang berlangsung. Kemudian kalikan hasil tersebut dengan faktor tetes. Untuk menentukan berapa banyak tetesan yang
19
akan diberikan permenit, bagi dengan 60. Hitung jumlah tetesan permenit yang akan diinfuskan. Jika kecepatan alirannya tidak tepat, sesuaikan dengan kecepatan tetesan (Smeltzer & Bare, 2002).
2.1.9 Hal-hal yang harus diperhatikan terhadap Tipe-tipe Infus Dextrose 5% in water (D 5 W) digunakan untuk menggantikan air (cairan hipotonik) yang hilang, memberikan suplai kalori, juga dapat dibarengi dengan pemberian obat-obatan atau berfungsi untuk mempertahankan vena dalam keadaan terbuka dengan infus tersebut. Hati-hati terhadap terjadinya intoksikasi cairan (hiponatremia, sindroma pelepasan hormon antidiuretik yang tidak semestinya). Jangan digunakan dalam waktu yang bersamaan dengan pemberian transfusi (darah atau komponen darah). Natrium Clorida (Nacl) 0,9% digunakan untuk menggantikan garam (cairan isotonik) yang hilang, diberikan dengan komponen darah, atau untuk pasien dalam kondisi syok hemodinamik. Hati-hati terhadap kelebihan volume isotonik (misalnya: gagal jantung dan gagal ginjal). Ringer laktat digunakan untuk menggantikan cairan isotonik yang hilang, elektrolit tertentu, dan untuk mengatasi asidosis metabolik tingkat sedang. (Perry & Potter, 2006).
2.1.10 Tipe-tipe Pemberian Terapi Intravena (Infus) Intravena (IV) push (IV bolus), adalah memberikan obat dari jarum suntik secara langsung kedalam saluran/jalan infus.
20
Indikasi: pada keadaan emergency resusitasi jantung paru, memungkinkan pemberian obat langsung kedalam intravena, Untuk mendapat respon yang cepat terhadap pemberian obat (furosemid dan digoksin), Untuk memasukkan dosis obat dalam jumlah besar secara terus menerus melalui infus (lidocain, xilocain), Untuk menurunkan ketidaknyamanan pasien dengan mengurangi kebutuhan akan injeksi, Untuk mencegah masalah yang mungkin timbul apabila beberapa obat yang dicampur. Continous Infusion (infus berlanjut) dapat diberikan secara tradisional melalui cairan yang digantung, dengan atau tanpa pengatur kecepatan aliran. Infus melalui intravena, intra arteri, dan intra thecal (spinal) dapat dilengkapi dengan menggunakan pompa khusus yang ditanam maupun eksternal. Hal yang perlu dipertimbangkan yatu: Keuntungan: mampu untuk mengimpus cairan dalam jumlah besar dan kecil dengan akurat, adanya alarm menandakan adanya masalah seperti adanya udara di selang infus atau adanya penyumbatan, mengurangi waktu perawatan untuk memastikan kecepatan aliran infus. Kerugian: memerlukan selang yang khusus dan biaya lebih mahal Intermitten Infusion (Infus Sementara) dapat diberikan melalui heparin lock, “piggy bag” untuk infus yang kontiniu, atau untuk terapi jangka panjang melalui perangkat infus. (Perry & Potter, 2006)
2.1.11 Komplikasi Terapi Intravena (Infus) Menurut
Darmadi
(2010)
beberapa
komplikasi
yang
dapat
terjadi
dalam pemasangan infus: hematoma, yakni darah mengumpul dalam jaringan
21
tubuh akibat pecahnya pembuluh darah arteri vena, atau kapiler, terjadi akibat penekanan yang kurang tepat saat memasukkan jarum, atau “tusukan” berulang pada pembuluh darah. Infiltrasi, yakni masuknya cairan infus ke dalam jaringan sekitar (bukan pembuluh darah), terjadi akibat ujung jarum infus melewati pembuluh darah. Plebitis, atau bengkak (inflamasi) pada pembuluh vena, terjadi akibat infus yang dipasang tidak dipantau secara ketat dan benar Emboli udara, yakni masuknya udara ke dalam sirkulasi darah, terjadi akibat masuknya udara yang ada dalam cairan infus ke dalam pembuluh darah, rasa perih/sakit dan reaksi alergi.
2.2 Plebitis 2.2.1 Pengertian Plebitis Plebitis didefinisikan sebagai inflamasi vena yang disebabkan baik oleh iritasi kimia, mekanik maupun oleh bakteri. Hal ini dikarakteristikan dengan adanya daerah yang memerah dan hangat di sekitar daerah penusukan atau sepanjang vena, pembengkakan, nyeri atau rasa keras disekitar daerah penusukan atau sepanjang vena dan bisa keluar cairan/pus. Insiden plebitis meningkat sesuai dengan lamanya pemasangan jalur intravena, komplikasi cairan atau obat yang diinfuskan (terutama PH dan tonisitasnya), ukuran dan tempat kanula dimasukkan, pemasangan jalur intravena yang tidak sesuai dan masuknya mikroorganisme pada saat penusukan (Brunner dan Sudarth,2002). Menurut Infusion Nursing Society (INS, 2006) plebitis merupakan peradangan pada tunika intima pembuluh darah vena, yang sering dilaporkan sebagai komplikasi pemberian terapi infus. Peradangan didapatkan dari mekanisme iritasi
22
yang terjadi pada endhothelium tunika intima vena, dan perlekatan tombosit pada area tersebut.
2.2.2
Faktor yang mempengaruhi terjadinya plebitis
Menurut Perry & Potter 2005 faktor yang mempengaruhi terjadinya plebitis, diantaranya adalah faktor internal dan eksternal. Yang termasuk faktor internal adalah: a.
Usia: pertahanan terhadap infeksi dapat berubah sesuai usia. Pada pasien neonatus sangat rentan terhadap infeksi. Menurut WHO (2009) sebagian besar infeksi neonatus lanjut di dapat di rumah sakit melalui pemberian cairan intravena, kurangnya tindakan aseptik untuk semua prosedur dan tindakan menyuntik yang kurang bersih. Pada neonatus keadaan banyak bergerak dapat mengakibatkan vena kateter bergeser dan hal ini yang bisa menyebabkan plebitis.
b.
Status nutrisi: pada pasien dengan gizi buruk mempunyai vena yang tipis sehingga mudah rapuh, selain itu pada gizi buruk daya tahan tubuhnya kurang sehingga jika terjadi luka mudah terkena infeksi.
c.
Stress: tubuh berespon terhadap stress dan emosi atau fisik melalui adaptasi imun. Rasa takut akan cedera tubuh dan nyeri sering terjadi diantara anakanak,konsekuensi rasa takut ini dapat sangat mendalam dimana anak-anak yang mengalami lebih banyak rasa takut dan nyeri karena pengobatan akan merasa lebih takut terhadap nyeri dan cenderung menghindari perawatan medis, dengan menghindari pelaksanaan pemasangan infus/berontak saat
23
dipasang bisa mengakibatkan plebitis karena pemasangan yang berulang dan respon imun yang menurun. d.
Keadaan vena: kondisi vena yang kecil dan vena yang sering terpasang infus mudah mengalami plebitis.
e.
Faktor penyakit: penyakit yang diderita pasien dapat mempengaruhi terjadinya plebitis, misalnya pada pasien Diabetes Militus (DM) yang mengalami aterosklerosisakan mengakibatkan aliran darah ke perifer berkurang sehingga jika terdapat luka mudah mengalami infeksi
Menurut INS (2006) faktor eksternal yang dapat menyebabkan plebitis adalah: kimia, mekanik, dan bacterial. a.
Chemical Phlebitis (Plebitis kimia)
Kejadian plebitis ini dihubungkan dengan bentuk respon yang terjadi pada tunika intima vena dengan bahan kimia yang menyebabkan reaksi peradangan. Reaksi peradangan dapat terjadi akibat dari jenis cairan yang diberikan atau bahan material kateter yang digunakan. PH darah normal terletak antara 7,35 –7,45 dan cenderung basa. PH cairan yang diperlukan dalam pemberian terapi adalah 7 yang berarti adalah netral. Ada kalanya suatu larutan diperlukan konsentrasi yang lebih asam untuk mencegah terjadinya kristalisasi dekstrosa dalam proses sterilisasi autoclaf, jadi larutan yang mengandung glukosa, asam amino, dan lipid yang biasa digunakan dalam nutrisi parenteral lebih bersifat flebitogenik. Osmolalitas diartikan sebagai konsentrasi sebuah larutan atau jumlah partikel yang larut dalam suatu larutan.
24
Pada orang sehat, konsentrasi plasma manusia adalah 285 ±10 mOsm/kgH2O (Sylvia,2008). Larutan sering dikategorikan sebagai larutan isotonik, hipotonik atau hipertonik, sesuai dengan osmolalitastotal larutan tersebut dibanding dengan osmolalitas plasma.Larutan isotonik adalah larutan yang memiliki osmolalitas total sebesar 280-310 mOsm/L, larutan yang memliki osmolalitas kurang dari itu disebut hipotonik, sedangkan yang melebihi disebut larutan hipertonik. Tonisitas suatu larutan tidak hanya berpengaruh terhadap status fisik klien akaan tetapi juga berpengaruh terhadap tunika intima pembuluh darah. Dinding tunika intima akan mengalami trauma pada pemberian larutan hiperosmoler yang mempunyai osmolalitas lebih dari 600mOsm/L. Terlebih lagi pada saat pemberian dengan tetesan cepat pada pembuluh vena yang kecil. Cairan isototonik akan menjadi lebih hiperosmoler apabila ditambah dengan obat, elektrolit maupun nutrisi (INS, 2006). Vena perifer dapat menerima osmolalitas larutan sampai dengan 900 mOsm/L. Semakin tinggi osmolalitas (makin hipertonis) makin mudah terjadi kerusakan pada dinding vena perifer seperti phlebitis, trombophebitis, dan tromboemboli. Pada pemberian jangka lama harus diberikan melalui vena sentral, karena larutan yang bersifat hipertonis dengan osmolalitas >900 mOsm/L, melalui venasentral aliran darah menjadi cepat sehingga tidak merusak dinding. Kecepatan pemberian larutan intravena juga dianggap salah satu penyebab utama kejadian plebitis. Pada pemberian dengan kecepatan rendah mengurangi irritasi pada dinding pembuluh darah. Penggunaan material katheter juga berperan pada kejadian plebitis. Bahan kateter yang terbuat dari polivinilklorida atau polietelin (teflon) mempunyai resiko terjadi plebitis lebih besar dibanding bahan yang
25
terbuat dari silikon atau poliuretan (INS,2006). Partikel materi yang terbentuk dari cairan atau campuran obat yang tidak sempurna diduga juga bisa menyebabkan resiko terjadinya plebitis. Penggunaan filter dengan ukuran 1 sampai dengan 5 mikron pada infus set, akan menurunkan atau meminimalkan resiko plebitis akibat partikel materi yang terbentuk tersebut (Darmawan,2008). b.
Mechanical Phlebitis (Plebitis Mekanik)
Plebitis mekanikal sering dihubungkan dengan pemasangan atau penempatan katheter intravena. Penempatan katheter pada area fleksi lebih sering menimbulkan kejadian plebitis oleh karena pada saat ekstremitas digerakkan katheter yang terpasang ikut bergerak dan menyebabkan trauma pada dinding vena. Penggunaan ukuran katheter yang besar pada vena yang kecil juga dapat mengiritasi dinding vena.sehingga mudah terjadi plebitis (Darmawan,2008). c.
Backterial Phlebitis(Plebitis Bakteri)
Plebitis bakterial adalah peradangan vena yang berhubungan dengan adanya kolonisasi bakteri yang disebabkan karena tehnik aseptik/perawatan infus yang tidak baik.Aseptik dressing/perawatan infus adalah perawatan pada tempat pemasangan infus terhadap pasien yang terpasang infus untuk mencegah terjadinya infeksi (Darmawan,2008). Aseptik dressing yang pernah dilakukan berdasarkan laporan dari The Centers for Disease Control and Prevention (CDC) tahun 2002 dalam artikel intravaskuler catheter-related infection in adult and pediatric kuman yang sering dijumpai pada pemasangan katheter infus adalah stapylococus dan bakteri gram negative, tetapi denganepidemic HIV / AIDS infeksi oleh karena jamur dilaporkan meningkat. Vena katheter pada area fleksi
26
lebih sering menimbulkan kejadian plebitis, oleh karena jamur dilaporkan meningkat.
Tabel 2.1 Kuman Pathogen yang Sering Ditemukan di Aliran Darah Pathogen Tabel 2.1 Kuman pathogen yang sering ditemukan di aliran darah Pathogen
1986 - 1989
1992 - 1999
Coagulase-negatif Staphylococcus
27
37
S Aureus
16
13
Enterococcus
8
13
Gram-negatif rods
19
14
E coli
6
2
Enterobacter
5
5
P aeruginosa
4
4
K pneumoniae
4
3
Candida species
8
8
2.2.3 Pencegahan Plebitis Menurut Dougherty (2008) kejadian plebitis merupakan salah satu komplikasi yang terjadi pada pemberian terapi cairan baik terapi rumatan cairan, pemberian obat melalui intravena maupun pemberian nutrisi parenteral.Oleh karena itu sangat diperlukan pengetahuan tentang faktor-faktor yang berperan dalam kejadian plebitis serta pemantauan yang ketat untuk mencegah dan mengatasi kejadian plebitis. Ada banyak hal yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya plebitis antara lain:
27
a. Mencegah plebitis bakterial Pedoman yang lazim dianjurkan adalah menekankan pada kebersihan tangan, tehnik aseptik, perawatan daerah infus, antisepsis kulit serta observasi dan pemantauan yang ketat untuk mencegah dan mengatasi kejadian plebitis.. b. Selalu waspada dan tindakan aseptic. Selalu berprinsip aseptik setiap tindakan yang memberikan manipulasi pada daerah infus. Studi melaporkan Stopcock (yang digunakan sebagai jalan pemberian obat, pemberian cairan infus atau pengambilan sampel darah ) merupakan jalan masuk kuman. c. Rotasi catheter Untuk pemindahan lokasi pemasangan harus dilakukan sebelum terjadi plebitis.INS (2006) merekomendasikan bahwa kanula perifer harus diganti setiap 72 jam dan segera mungkin jika diduga terkontaminasi, adanya komplikasi, atau ketika telah dihentikan. Hal ini menunjukkan bahwa waktu terjadinya plebitis dapat terjadi sebelum 72 jam.Oleh karena itu perlu dipertimbangkan untuk pemindahan lokasi pemasangan yang tepat sehingga angka kejadian plebitis dapat dikurangi. Penggantian kanul infus sebelum 72 jam dilakukankarena dalam proses penyembuhan luka yaitu pada fase inflamasi mempunyai prioritas fungsional yaitu menggalakkan hemostasis, menyingkirkan jaringan mati, dan mencegah infeksi oleh bakteri patogen terutama bakteria. Inflamasi merupakan reaksi tubuh terhadap luka yang dimulai setelah beberapa menit dan berlangsung
selama
sekitar 3 hari setelah cedera. Proses perbaikan terdiri dari mengontrol perdarahan (hemostatis), mengirim darah dan sel ke area yang mengalami cedera, dan
28
membentuk selsel epitel pada tempat cedera (epitelialisasi). Sel epitel pada tempat cedera (epitelialisasi). Selama proses hemostatis, pembuluh darah yang cedera akan mengalami konstriksi dan trombosit berkumpul untuk menghentikan perdarahan. Bekuan-bekuan darah membentuk matriks fibrin yang nantinya akan menjadi kerangka untuk perbaikan sel. Apabila fase ini berlangsung lebih dari 3 hari maka proses iflamasi akan berlanjut. d. Aseptic dressing INS merekomendasikan untuk penggunaan balutan yang transparan sehingga mudah untuk melakukan pengawasan tanpa harus memanipulasinya Penggunaan balutan konvensional masih bisa dilakukan, tetapi kassa steril harus diganti tiap 24 jam. e. Kecepatan pemberian Makin lambat infus larutan hipertonik diberikan makin rendah risiko plebitis. Namun, ada paradigma berbeda untuk pemberian infus obat injeksi dengan osmolaritas tinggi. Osmolaritas boleh mencapai 1000 mOsm/L jika durasi hanya beberapa jam. Durasi sebaiknya kurang dari tiga jam untuk mengurangi waktu kontak campuran yang iritatif dengan dinding vena. Ini membutuhkan kecepatan pemberian tinggi (150–330 mL/jam). Vena perifer yang paling besar dan kateter yang sekecil dan sependek mungkin dianjurkan untuk mencapai laju infus yang diinginkan, dengan filter 0.45mm. Katheter harus diangkat bila terlihat tanda dini nyeri atau kemerahan.Infus relatif cepat ini lebih relevan dalam pemberian infus sebagai jalan masuk obat, bukan terapi cairan maintenance atau nutrisi parenteral.
29
2.2.4
Karakteristik Kejadian Plebitis Pada Neonatus
Menurut Putra (2012) neonatus adalah masa kehidupan pertama diluar rahim sampai dengan usia 28 hari. Terjadi perubahan yang sangat besar dari kehidupan di dalam rahim menjadi di luar rahim. Pada masa ini akan terjadi pematangan organ hampir pada semua system organ bayi. Neonatus mengalami masa perubahan dari kehidupan di dalam rahim yang serba tergantung pada ibu menjadi kehidupan di luar rahim yang serba mandiri. Masa perubahan yang paling besar terjadi selama 24-72 jam pertama. Oleh karena itu sangatlah diperlukan penataan dan persiapan yang matang untuk melakukan tindakan invasif terhadap neonatus. Neonatus sangat rentan terhadap infeksi dikarenakan system kekebalan tubuhnya belum cukup matang untuk melawan infeksi. Infeksi pada neonatus umumnya disebabkan oleh bakteri yang masuk ke dalam tubuh karena mereka mendapatkan perawatan invasif seperti pemasangan infus, kateter dan selang pernafasan (ventilator). Oleh karena itu neonatus yang terpasang infus sangat rentan terjadi plebitis, dengan tehnik aseptik, pengawasan dan observasi yang ketat angka kejadian plebitis pada neonatus dapat dicegah.
2.3 Angka Kejadian Plebitis Angka kejadian plebitis termasuk infeksi nosokomial yang merupakan salah satu indikator mutu dalam standar pelayanan rumah sakit dimana angka standar yang menjadi acuan adalah ≤1.5%. Angka kejadian plebitis adalah perbandingan jumlah kejadian plebitis dengan jumlah pasien yang mendapat terapi infus (Dep.Kes RI,2008).
30
2.4 Instrumen Monitoring dan Evaluasi Kejadian Plebitis 2.4.1
VIP Score
Terapi infus termasuk ke dalam salah satu tindakan infasive, oleh karena itu perawat harus terampil saat melakukan pemasangan infus. Ketika seorang perawat diberi tugas untuk memberikan terapi infus, kemampuan yang diperlukan perawat adalah melakukan pemasangan infus dengan benar dan terampil. Perawat juga harus memiliki komitmen untuk memberikan terapi infus yang aman, efektif dalam pembiayaan, serta melakukan perawatan infus yang berkualitas sehingga dapat mencegah terjadinya plebitis (Alexander,etal, 2010). Salah satu cara untuk mencegah dan mengatasi plebitis yaitu dengan mendeteksi dan menilai terjadinya plebitis selama pemasangan infus. Menurut RCN (2010), adapun cara yang dapat digunakan adalah dengan menerapkan VIP score. Dinas Kesehatan di Inggris tahun 2010, dan INS di Inggris tahun 2011 dan RCN di Amerika Serikat tahun 2010 merekomendasikan VIP score sebagai alat atau indikator yang valid, reliabilitas dan secara klinis layak digunakan untuk menentukan indikasi dini plebitis dan menentukan skor yang tepat untuk plebitis. VIP score sudah diterima sebagai standar internasional, sudah digunakan di banyak negara dan sudah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa. VIP score memiliki kelebihan yaitu terdapat pengelompokan skor yang jelas mengenai pembagian plebitis mulai dari skor nol sampai skor empat, sehingga perawat akan dapat nenentukan kriteria dan skor phlebitis dengan tepat. VIP score sudah dikembangkan oleh Andrew Jackson, konsultan perawat terapi intravena dan perawatan Rumah Sakit Umum Rotherharm, NHS Trust di Inggris.
31
Andrew Jackson telah mengembangkan skor visual untuk deteksi dini kejadian plebitis dan penetapan skor yang tepat sehingga plebitis dapat dinilai dan dapat dicegah sedini mungkin melalui pengamatan visual yang dilakukan oleh perawat. Dengan penerapan VIP score akan memberdayakan perawat dalam mendeteksi dini terjadinya plebitis dan penentuan yang tepat untuk skor plebitis, sehingga intravena kateter dapat dicabut dan dipindahkan ketempat penusukan yang lain pada indikasi resiko terjadinya plebitis. (INS,2011). Menurut Ermira Tartari Bonnici (2012) VIP Score dapat digunakan sebagai standar untuk mendeksi dini kejadian plebitis. Hal ini sudah dibuktikan dengan penelitian mengenai VIP Score yang dilakukan oleh Ermira Tartari Bonnici tahun 2012 pada Infection Control Unit di Rumah Sakit Dei Mater Imsida Malta, dari hasil penelitiannya tingkat plebitis turun dari 22,7% pada pre intervensi menjadi 6,5% pada post intervensi penerapan VIP Score. VIP Score dapat digunakan untuk mendeteksi dini terjadinya plebitis dan penentuan yang tepat untuk skor plebitis, melalui pengamatan visual yang dilakukan oleh perawat. Ada beberapa jenis VIP Score yang digunakan untuk mendeteksi dini dan menentukan skor plebitis dengan tepat yaitu: a.Andrew Jackson telah mengembangkan skor visual untuk kejadian plebitis, yaitu :
32
Tabel 2.2 Visual Infusion Phlebitis (VIP) Score Oleh Andrew Jackson VISUAL INFUSION PHLEBITIS (VIP) SCORE
OBSERVASI
SKOR
PENANGANAN
IV line tampak sehat
0
Tidak ada tanda plebitis * Observasi dan dokumentasikan pada setiap sift
Salah satu tanda-tanda berikut jelas:
1
* Sedikit nyeri dekat IV line atau
Kemungkinan tanda-tanda awal plebitis * Observasi dan dokumentasikan pada setiap sift
* Sedikit kemerahan dekat IV line Dua dari tanda berikut jelas:
2
Stadium dini plebitis * Pindahkan dan ganti kanula ke area penusukan yang lain
3
* Nyeri di sepanjang kanula
Plebitis * Pindahkan dan ganti kanula ke area penusukan yang lain
* Kemerahan
* Kirim pus swab ke lab.
* Pembengkakan * Pireksia (suhu tubuh >37,8 )
* Rawat luka di area insersi
*Nyeri pada IV line * Kemerahan * Pembengkakan Tiga Atau lebih dari tanda berikut jelas:
* Keluar cairan/pus Semua tanda-tanda berikut jelas: * Nyeri di sepanjang kanula * Kemerahan
4
Stadium lanjut plebitis * Pindahkan dan ganti kanula ke area penusukan yamg lain * Jika suhu > 37,8 mengambil kultur darah
* Pembengkakan *Pireksia (su tubuh>37,8 )
* Kirim pusswab ke lab.
*Keluar cairan/pus
* Rawat luka di area insersi
* Beri informasi kepada dokter
* Vena teraba keras PENGGANTIAN KANULA INFUS TIDAK LEBIH DARI 72 JAM VIP SCORE HARUS DICATAT DAN DIDOKUMENTASIKAN SETIAP SHIFT
33
b. Skala Plebitis Menurut Dougherty, dkk (2010), skala plebitis dibagi menjadi enam Visual Infusion Phlebitis score Sumber : Dougherty, dkk(2010) ) Tabel 2.3 Visual Infusion Phlebitis ( VIP) Score
OBSERVASI Tempat suntikan tampak sehat Salah satu dari berikut jelas:
SKOR
STADIM PLEBITIS
PENANGANAN
0
tidak ada tanda plebitis
observasi kanul
1
Mungkin tanda dini phlebitis
observasi kanul
2
Stadium dini phlebitis
Ganti tempat kanul
3
Stadium moderat plebitis
Ganti tempat kanul
* Nyeri pada tempat suntikan * Eritema pada tempat suntikan Dua dari berikut jelas: * Nyeri pada tempat suntikan * Eritema pada tempat suntikan * Pembengkakan Semua dari berikut jelas: * Nyeri sepanjang kanul
Pikirkan terapi
* Eritema pada tempat suntikan * Pembengkakan Semua dari berikut jelas:
4
Stadium lanjut atau awal tromboplebitis
* Nyeri sepanjang kanul
Ganti tempat kanul Pikirkan terapi
* Eritema pada tempat suntikan * Pembengkakan * Venous cord teraba Semua dari berikut jelas: * Nyeri sepanjang kanul * Eritema pada tempat suntikan * Pembengkakan * Venous cord teraba * Demam
5
Stadium lanjut tromboplebitis
Ganti tempat kanul Pikirkan terapi
34
c.Skala Plebitis yang direkomendasikan oleh Infusion Nursing Standard Of Practice (2006) yaitu sesuai dengan tabel di bawah ini: Tabel 2.4 Visual Infusion Phlebitis (VIP) Score
Skala
Kriteria Klinis
0
Tidak ditemukan gejala
1
Eritema pada daerah insersi
2
Nyeri pada daerah insersimdisertai dengan eritema dan/ atau edema
3
Nyeri pada daerah insersi disertai dengan eritema, pembentukan lapisan, dan/ataupengerasan sepanjang vena
4
Nyeri pada daerah insersi disertai dengan eritema, pembentukan lapisan, pengerasan sepanjang vena >1 inc dan/atau keluaran purulent
2.4.2
Lembar Pengumpulan Data INOS
Merupakan instrumen yang digunakan di RSUP Sanglah untuk melakukan observasi dan evaluasi terhadap infeksi kanula
plebitis , kateter dan tube. ada
pemantauan plebitis tercantum tanda-tanda plebitis meliputi bengkak, merah, temperature
,5 , menggigil, diganti, dan distop.
Pada lembar pengumpulan data INOS memiliki kelemahan yaitu: tidak tercantum skor plebitis sehingga dalam menentukan dan melaporkan plebitis perawat masih mengalami kesulitan.
2.5 Infeksi Nosokomial 2.5.1 Definisi Infeksi adalah adanya suatu organisme pada jaringan atau cairan tubuh yang disertai suatu gejala klinis baik lokal maupun sistemik. Infeksi Nosokomial adalah
35
suatu infeksi yang diperoleh atau dialami oleh pasien selama dia dirawat di rumah sakit dan menunjukan gejala infeksi baru setelah 72 jam pasien berada dirumah sakit serta infeksi itu tidak ditemukan atau diderita pada saat pasien masuk ke rumah sakit (Darmadi,2008).
2.5.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Infeksi Nosokomial a. Faktor endogen ( umur, sex, penyakit penyerta, daya tahan tubuh, dan kondisikondisi lokal) b. Faktor eksogen (Lama penderita dirawat, kelompok yang merawat, alat medis, serta lingkungan )
2.5.3 . Faktor Penyebab Infeksi Nosokomial Pasien akan terpapar berbagai macam mikroorganisme selama ia rawat di rumah sakit. Kontak antara pasien dan berbagai macam mikroorganisme ini tidak selalu menimbulkan gejala klinis karena banyaknya faktor lain yang dapat menyebabkan terjadinya infeksi nosokomial. Semua mikroorganisme termasuk bakteri, virus, jamur dan parasit dapat menyebabkan
infeksi
nosokomial.
Infeksi
ini
dapat
disebabkan
oleh
mikroorganisme yang didapat dari orang lain (cross infection) atau disebabkan oleh flora normal dari pasien itu sendiri (endogenous infection). Kebanyakan infeksi yang terjadi di rumah sakit ini lebih disebabkan karena faktor eksternal, yaitu penyakit yang penyebarannya melalui makanan dan udara dan benda atau bahan-bahan yang tidak steril.
36
Penyakit yang didapat dari rumah sakit saat ini kebanyakan disebabkan oleh mikroorganisme yang umumnya selalu ada pada manusia yang sebelumnya tidak atau jarang menyebabkan penyakit pada orang normal. Ada tiga jenis mikroorganisme yang bisa menyebabkan infeksi nosokomial yaitu: bakteri dapat ditemukan sebagai flora normal dalam tubuh manusia yang sehat. Keberadaan bakteri disini sangat penting dalam melindungi tubuh dari datangnya bakteri patogen. Tetapi pada beberapa kasus dapat menyebabkan infeksi jika manusia tersebut mempunyai toleransi yang rendah terhadap mikroorganisme, contoh bakteri Anaerobik Gram-positif, Clostridium, Bakteri gram-positif : Staphylococcus aureus yang menjadi parasit di kulit dan hidung dapat menyebabkan terjadinya gangguan pada paru, pulang, jantung dan infeksi pembuluh darah serta seringkali telah resisten terhadap antibiotika. Bakteri gram 36 negative: Enterobacteriacae, contohnya Escherichia coli, Proteus, Klebsiella, Enterobacter. Pseudomonas sering sekali ditemukan di air dan penampungan air yang menyebabkan infeksi di saluran pencernaan dan pasien yang dirawat., Serratia marcescens, dapat menyebabkan
infeksi
serius
pada
luka
bekas
jahitan,
paru,
dan
peritoneum.2) Virus, banyak kemungkinan infeksi nosokomial disebabkan oleh berbagai macam virus, termasuk virus hepatitis B dan C dengan media penularan dari transfusi, dialisis, suntikan dan endoskopi. Respiratory syncytial virus (RSV), rotavirus, dan enteroviruses yang ditularkan dari kontak tangan ke mulut atau melalui rute faecal-oral. Hepatitis dan HIV ditularkan melalui pemakaian jarum suntik, dan transfusi darah. Rute penularan untuk virus sama seperti
37
mikroorganisme lainnya. Infeksi gastrointestinal, infeksi traktus respiratorius, penyakit kulit dan dari darah (Darmadi,2008).
2.5.4 Pencegahan Terjadinya Infeksi Nosokomial Pencegahan dari infeksi nosokomial ini diperlukan suatu rencana yang terintegrasi, monitoring dan program yang termasuk : membatasi transmisi organisme dari atau antara pasien dengan cara mencuci tangan dan penggunaan sarung tangan, tindakan septik dan aseptik, sterilisasi dan disinfektan,. mengontrol resiko penularan dari lingkungan, melindungi pasien dengan penggunaan antibiotika yang adekuat, nutrisi yang cukup, dan vaksinasi. Membatasi resiko infeksi endogen dengan meminimalkan prosedur invasif,pengawasan infeksi, identifikasi penyakit dan mengontrol penyebarannya. Terdapat berbagai pencegahan yang perlu dilakukan untuk mencegah infeksi nosokomial. Antaranya adalah dikontaminasi tangan dimana transmisi penyakit melalui tangan dapat diminimalisasi dengan menjaga hiegene dari tangan. Tetapi pada kenyataannya, hal ini sulit dilakukan dengan benar, karena banyaknya alasan seperti kurangnya peralatan, alergi produk pencuci tangan, sedikitnya pengetahuan mengenai pentingnya hal ini, dan waktu mencuci tangan yang lama. Penggunaan sarung tangan sangat dianjurkan apabila melakukan tindakan atau pemeriksaan pada pasien yang dirawat di rumah sakit (Darmadi,2008).