CONTINUING PROFESSIONAL CONTINUING DEVELOPMENT PROFESSIONAL CONTINUING DEVELOPMENT MEDICAL EDUCATION
Akreditasi PP IAI–2 SKP
Perkembangan Terapi Zat Besi Intravena dari Masa ke Masa Henny Dokter umum di Kemanggisan, Jakarta Barat, Indonesia
ABSTRAK Zat besi merupakan suatu makromineral esensial yang sangat dibutuhkan untuk sintesis eritrosit. Anemia defisiensi besi dapat ditemukan bersamaan dengan anemia pada penyakit ginjal kronik. Satu-satunya terapi efektif untuk anemia defisiensi besi adalah penggantian zat besi, baik dari makanan maupun dari suplemen. Suplemen zat besi intravena lebih efektif daripada zat besi oral. Sediaan zat besi intravena iron dextran sering dikaitkan dengan efek samping. Sediaan ferric gluconate masih terkendala masalah toksisitas pada anak. Iron sucrose, sediaan zat besi intravena yang tergolong stabil, profil keamanannya cukup baik dibandingkan sediaan-sediaan sebelumnya; namun diduga dapat mencetuskan aterosklerosis. Ferumoxytol adalah sediaan zat besi intravena dengan waktu paruh cukup panjang meskipun pencapaian konsentrasi puncaknya cepat; dapat mengintervensi pemeriksaan magnetic resonance imaging (MRI). Sediaan zat besi intravena terbaru, yaitu ferric carboxymaltose, dianggap sediaan dengan pendosisan paling nyaman (seminggu sekali), terbukti efektivitasnya setara dengan sediaan zat besi intravena lain. Keragaman sediaan zat besi intravena memungkinkan pilihan sesuai kebutuhan pasien, kondisi kesehatan yang menyertai, dan ketersediaan. Kata kunci: Anemia defisiensi besi, zat besi, penyakit ginjal kronik
ABSTRACT Iron is a macromineral which is essentially needed for synthesis of red blood cells Iron deficiency anemia may be found in patients with chronic kidney disease. The only effective therapeutic approach for iron deficiency anemia is iron replacement therapy, either in food or in supplement form. Intravenous iron supplementation is more effective than oral iron supplementation. Iron dextran is often associated with frequent adverse effects. Ferric gluconate, has more convenient dose schedule, but associated with high toxicity in children. Iron sucrose, an intravenous iron known for its stability, has better safety profile, but is considered to be atherogenic. Ferumoxytol is an intravenous iron, has long half-life but quick to reach peak concentration, interferes magnetic resonance imaging (MRI) examination. The latest intravenous iron, ferric carboxymaltose, is still considered as the most convenient (with schedule of once a week), and has been proven to be as effective as the other intravenous iron forms. These various forms of intravenous iron enables clinicians to select intravenous iron suited for their patients’ needs, their medical conditions, and availability. Henny. Development of Intravenous Iron Supplementation Therapy. Keywords: Iron deficiency anemia, iron, chronic kidney disease
PENDAHULUAN Zat besi merupakan salah satu makromineral esensial yang sangat dibutuhkan untuk sintesis eritrosit. Zat besi juga dibutuhkan untuk berbagai reaksi enzimatik. Dalam keadaan normal, zat besi didapatkan dari makanan sehari-hari dan diabsorpsi dengan baik di saluran cerna. Pada umumnya, manusia dapat mengabsorpsi sekitar 10-15% zat besi yang didapat dari makanan. Ada dua bentuk zat besi di alam, yaitu:1 1. Zat besi heme (berasal dari mioglobin dan Alamat korespondensi
586
hemoglobin hewan). Dalam keadaan normal, tubuh manusia mengabsorpsi sekitar 35% zat besi dari heme. 2. Zat besi non-heme (berasal dari tumbuhan, misalnya kacang-kacangan). Dalam keadaan normal, tubuh manusia mengabsorpsi sekitar 2-20% zat besi dari nonheme. Beberapa faktor dapat mempengaruhi absorpsi zat besi oleh tubuh manusia, khususnya yang berupa non-heme; kacang kedelai dan teh
telah diketahui dapat menghambat absorpsi zat besi.1 Sedangkan vitamin C, yang dikenal dengan nama asam askorbat, dapat mereduksi ion Fe3+ (ferric iron) menjadi Fe2+ (ferrous iron), sehingga lebih mudah diserap oleh sel-sel mukosa di saluran cerna.1,2 Jika diberikan secara oral, zat besi diabsorpsi di saluran cerna bagian atas; di duodenum dan jejunum awal. Hal ini mengakibatkan tablet zat besi tidak cocok diformulasikan sebagai tablet salut enterik; dan terapi
email:
[email protected]
CDK-231/ vol. 42 no. 8, th. 2015
CONTINUING PROFESSIONAL DEVELOPMENT zat besi oral tidak dapat diberikan pada gangguan atau kerusakan di duodenum atau jejunum.1,2
besi oral, atau diantisipasi sudah mengalami gangguan absorpsi zat besi apabila diberikan secara oral.
ANEMIA DEFISIENSI ZAT BESI Seseorang dapat mengalami penurunan kadar zat besi di dalam tubuhnya, misalnya pada kasus pasca-bedah saluran cerna, riwayat gangguan menstruasi (hipermenore), pada masa kehamilan, atau riwayat ulkus peptik. Kadar zat besi rendah di dalam tubuh sering diidentikkan dengan anemia; meskipun sebenarnya penyebab anemia tidak hanya defisiensi zat besi. Anemia defisiensi besi juga mungkin ditemukan bersamaan dengan anemia pada penyakit ginjal kronik.2
4. Transfusi darah Dianjurkan apabila pasien mengalami perdarahan aktif dan telah menunjukkan gejala-gejala seperti sesak napas dan nyeri dada. Transfusi darah tidak mengobati penyebab anemia, sehingga tetap harus dicari penyebab perdarahannya.
Gejala anemia defisiensi zat besi antara lain:3 1. Kelelahan 2. Penurunan kemampuan bekerja atau bersekolah 3. Kurang optimalnya perkembangan kognitif dan sosial selama masa anak 4. Terganggunya fungsi imunitas tubuh, sehingga rentan terkena infeksi Satu-satunya terapi efektif anemia defisiensi besi adalah dengan terapi penggantian zat besi, baik dari makanan maupun dari suplemen. Manajemen kasus defisiensi zat besi antara lain mengikuti langkah-langkah sebagai berikut:2 1. Pengaturan diet Peningkatan asupan daging, hati, dan makanan laut dapat membantu memulihkan defisiensi zat besi. Untuk sayuran, tingkatkan konsumsi sayuran hijau (seperti brokoli dan kol) dan kacang-kacangan. 2. Terapi zat besi oral Umumnya diberikan pada pasien yang sudah didiagnosis anemia defisiensi zat besi. Dosis zat besi oral yang dibutuhkan biasanya tergantung berat badan dan kadar hemoglobin pasien. Umumnya pasien defisiensi zat besi memerlukan 150-200 mg zat besi elemental, atau setara dengan 2-5 mg/kgBB/hari. Ada beberapa jenis tablet zat besi yang dapat diberikan: ferrous sulfate (sulfas ferosus), ferrous fumarate, ferrous gluconate. 3. Terapi zat besi intravena Terapi zat besi intravena diberikan apabila pasien tidak dapat menoleransi terapi zat
CDK-231/ vol. 42 no. 8, th. 2015
TERAPI ZAT BESI INTRAVENA Indikasi Terapi zat besi oral merupakan terapi yang relatif paling praktis pada kasus anemia defisiensi besi, namun memiliki keterbatasan. Salah satu keterbatasan terapi zat besi oral adalah efek samping saluran cerna; misalnya rasa tidak enak di perut, mual, muntah, diare, konstipasi, ataupun perubahan warna tinja menjadi hitam. Keterbatasan lainnya adalah bahwa terapi zat besi oral tidak terlalu efektif pada kasus-kasus anemia tertentu; untuk anemia karena keganasan dan anemia karena penyakit ginjal, dianjurkan terapi zat besi intravena karena terapi zat besi oral telah terbukti tidak memberikan respons klinis yang memadai. Hal ini tampaknya disebabkan oleh kondisi inflamasi kronik pada penyakit ginjal kronik, yang mengganggu absorpsi zat besi di saluran cerna.2,4 Disepakati bahwa terapi zat besi intravena diindikasikan pada kasus-kasus sebagai berikut:2,4 1. Pasien yang mengalami gangguan saluran cerna, sehingga absorpsi zat besinya terganggu, misalnya pasca-bedah reseksi usus. 2. Pasien yang sudah mengalami defisiensi zat besi kronis. 3. Pasien yang mendapatkan terapi erythropoietin. 4. Pasien yang tidak dapat menoleransi terapi zat besi oral. Perkembangan Terapi Ferric Hydroxide Ferric hydroxide merupakan sediaan zat besi intravena pertama yang diperkenalkan secara medis, di awal abad ke-20. Sediaan awal ini memiliki kelemahan utama, yaitu tidak ada selaput karbohidrat di luar molekul zat besi, sehingga pelepasan kation besi
berlangsung cepat dan menghasilkan reaksi toksik. Penggunaan ferric hydroxide di masa itu pun hanya untuk kasus-kasus tertentu.5 Karena keterbatasan tersebut, dikembangkan sediaan ferric hydroxide polymaltose atau iron-hydroxide polymaltose complex (IPC). Namun, sediaan zat besi ini pun tidak terlalu efektif. Mehta (2001) pernah melaporkan empat kasus anemia defisiensi besi peripartum yang gagal ditangani dengan baik oleh IPC.6 Laporan ini dikonfirmasi kembali oleh Mehta sendiri dua tahun kemudian, yang membuktikan bahwa hampir seluruh pasien anemia defisiensi besi tidak berespons terhadap IPC.7 Iron Dextran Iron dextran merupakan terapi zat besi intravena yang pertama kali diperkenalkan secara komersial pada tahun 1954.5 Iron dextran merupakan pengembangan dari ferric hydroxide.8 Molekul dextran, yang membentuk kompleks dengan ferric hydroxide dalam sediaan ini, merupakan suatu polisakarida dengan berat molekul lebih dari 1 kDa dan membentuk struktur polimer dari gugus alfa-D-glucopyranosyl.9 Iron dextran awal memiliki berat molekul besar, sehingga sering dirujuk sebagai highmolecular weight iron dextran (HMW-ID). Sediaan ini menjadi populer selama lebih dari 30 tahun.5 Sejak awal pengembangannya, iron dextran diindikasikan untuk terapi anemia defisiensi besi yang tidak berespons optimal dengan terapi zat besi oral. Meskipun sudah diberikan secara intravena, efek samping masih dilaporkan. Laporan klinis menunjukkan bahwa terapi iron dextran berhubungan dengan kejadian efek samping reaksi anafilaktik yang cukup banyak; khususnya dengan HMWID. Reaksi anafilaktik ini berpotensi fatal dan bahkan sudah dicantumkan sebagai black box warning untuk produk-produk iron dextran yang dipasarkan di Amerika Serikat.8 Kemudian dikembangkan low-molecular weight iron dextran (LMW-ID), LMW-ID masih banyak digunakan sebagai pilihan terapi zat besi intravena yang terjangkau. Namun, efek samping reaksi anafilaktik tetap saja dilaporkan. Secara keseluruhan, total efek
587
CONTINUING PROFESSIONAL DEVELOPMENT samping terkait terapi LMW-ID masih jauh lebih banyak daripada sediaan zat besi generasi baru. Keller (2013) melaporkan bahwa total kejadian efek samping terkait LMW-ID mencapai angka 97,4 per juta dosis ekuivalen zat besi yang diterima; sementara untuk iron sucrose hanya 14,0 dan untuk ferric gluconate hanya 16,7 kejadian per juta dosis ekuivalen zat besi.10 Ferric Gluconate Ferric gluconate adalah nama ringkas senyawa kompleks sodium ferric gluconate dengan sukrosa; yang memiliki berat molekul sekitar 289-440 kDa. Saat diperkenalkan di tahun 1999, sodium ferric gluconate merupakan terapi zat besi intravena pertama yang memungkinkan pemberian lebih jarang daripada iron dextran, yaitu mengikuti jadwal hemodialisis pasien.11 Kelemahan produk ferric gluconate terletak pada toksisitas pelarutnya, yaitu benzil alkohol, terhadap anak, khususnya bayi prematur dan bayi dengan berat badan lahir rendah. Hal ini membatasi pemakaian ferric gluconate pada pasien anak yang mengalami anemia terkait penyakit ginjal kronik.11 Ferric gluconate, bersama iron dextran, sempat dikhawatirkan dapat memperburuk fungsi ginjal pasien penyakit ginjal kronik. Namun, uji retrospektif Mansour, dkk. (2011) selama sekitar 21 bulan, menunjukkan bahwa kecepatan penurunan fungsi ginjal pasien penyakit ginjal kronik tidak berbeda bermakna sebelum dan sesudah pemberian terapi zat besi intravena dengan ferric gluconate ataupun iron dextran.12 Iron Sucrose Iron sucrose pertama kali diperkenalkan di tahun 2000. Sediaan zat besi intravena ini merupakan suatu kompleks larut air antara ferric hydroxide dengan sukrosa, yang memiliki berat molekul sekitar 34-60 kDa. Iron sucrose memiliki waktu paruh sekitar 6 jam.13 Salah satu kelebihan iron sucrose adalah stabilitasnya, setelah di dalam syringe atau setelah dicampur dengan larutan infus, iron sucrose masih stabil selama 7 hari. Kelebihan lainnya adalah bahwa iron sucrose masih merupakan zat besi intravena yang memiliki indikasi terluas, sesuai rekomendasi United
588
States Food and Drug Administration (US FDA). Iron sucrose dapat diberikan untuk pasien penyakit ginjal kronik dengan anemia, baik yang belum maupun yang sudah menjalani dialisis.13 Meskipun World Health Organization (WHO) belum mengonfirmasikan bahwa keamanan iron sucrose lebih baik daripada iron dextran, data penelitian dan laporan kasus secara konsisten menunjukkan bahwa kejadian efek samping iron sucrose lebih jarang dibandingkan pada iron dextran; kejadian efek samping terkait iron sucrose tergolong rendah (0,002%) jika dibandingkan dengan iron dextran (0,6-2,3%) ataupun ferric gluconate (0,04%).14 Temuan ini konsisten dengan pernyataan sebelumnya bahwa efek samping terkait iron sucrose lebih jarang dilaporkan daripada LMW-ID dan ferric gluconate.15 European Medicines Agency menyatakan test dose di awal injeksi iron sucrose tidak diperlukan karena tidak bernilai prediktif. Pemantauan intensif terhadap pasien yang baru mendapatkan terapi iron sucrose cukup untuk mengantisipasi reaksi tidak diinginkan.16 Belakangan ini tengah diteliti dampak iron sucrose terhadap aterosklerosis dan disfungsi endotel. Iron sucrose ditemukan memiliki efek terhadap monosit dan terhadap cedera endotel. Fell, dkk. (2014) menemukan bahwa berdasarkan uji in vitro, iron sucrose dapat mengaktivasi monosit, yang mendorong peningkatan produksi sitokin-sitokin proinflamasi, yang pada akhirnya akan meningkatkan produksi reactive oxygen species (ROS).17 Temuan yang serupa juga didapatkan oleh Kuo, dkk. (2014) yang membuktikan lewat studi preklinik bahwa iron sucrose dapat mendorong terjadinya disfungsi lapisan endotel, melalui aktivasi sinyal nitric oxide, nuclear factor kappa-B (NF-kB), dan vascular cell adhesion molecule-1 (VCAM-1).18 Hal ini menunjukkan bahwa secara in vitro, iron sucrose terbukti mendorong terbentuknya senyawa radikal bebas dan mencetuskan aterogenesis. Masih diperlukan studi untuk mengonfirmasikan bahwa efek ini juga konsisten pada manusia. Ferumoxytol Ferumoxytol merupakan suatu sistem molekul iron oxide (zat superparamagnetik)
yang dilapisi oleh polyglucose sorbitol carboxymethylether di bagian luarnya. Berat molekul ferumoxytol adalah 750 kDa. Konsentrasi maksimal dalam darah tercapai dalam kira-kira 20 menit, dengan waktu paruh sekitar 15 jam, relatif panjang dibandingkan generasi zat besi intravena sebelumnya. Ferumoxytol adalah sediaan zat besi intravena pertama yang dapat diberikan dengan selang lebih lama, yaitu seminggu.19 Kelemahan ferumoxytol adalah dapat mengintervensi zat kontras MRI (magnetic resonance imaging). Hal ini disebabkan oleh interaksi daya magnetik kation zat kontras MRI dengan kation zat besi dari ferumoxytol yang sama-sama bersifat paramagnetik. Efek ini masih ada dalam rentang 3 bulan; artinya jika pemeriksaan MRI dilakukan dalam 3 bulan setelah injeksi ferumoxytol, hasil pemeriksaannya bisa terganggu.19 Ferric Carboxymaltose Ferric carboxymaltose merupakan suatu kompleks antara kation zat besi trivalen dengan karbohidrat, dengan berat molekul 150 kDa. Efek ambilan zat besi dari sediaan ini oleh jaringan tubuh pasien anemia terkait penyakit ginjal kronik berkisar antara 61-84% dalam 24 jam setelah injeksi. Efek suplementasi tercapai dalam 15-115 menit setelah injeksi.20 Secara klinis, ferric carboxymaltose ini merupakan pengembangan sediaan zat besi intravena yang memungkinkan terapi diberikan dalam frekuensi lebih jarang (sekali seminggu), dalam jumlah lebih besar untuk sekali infus. Saat ini, ferric carboxymaltose lebih diarahkan untuk kasus anemia defisiensi besi terkait penyakit ginjal kronik pada pasien yang belum menjalani dialisis.21 Penelitian terbaru membandingkan pemberian ferric carboxymaltose 750 mg per minggu dengan iron sucrose 200 mg 5 kali injeksi dalam 2 minggu, untuk kasus anemia karena penyakit ginjal kronik pada pasien nondialisis. Peningkatan Hb yang dihasilkan ferric carboxymaltose adalah 1,13 g/dL; sementara untuk kelompok iron sucrose hanya 0,92 g/dL (95% CI 0,13 s/d 0,28). Demikian pula dengan jumlah pasien yang mengalami kenaikan Hb 1 g/dL ke atas, lebih banyak pada kelompok ferric carboxymaltose daripada iron sucrose (48,6% vs 41,0%; 95% CI untuk selisih 3,611,6%). Kedua sediaan zat besi intravena ini memiliki profil keamanan setara.21
CDK-231/ vol. 42 no. 8, th. 2015
CONTINUING PROFESSIONAL DEVELOPMENT Approval dari FDA
Konsentrasi per mL
Iron dextran, HMW
1954
Iron dextran, LMW
Nama Generik
Dosis Dewasa
Rekomendasi untuk Anak
Indikasi
Test Dose
Sifat-sifat Khusus
50
Anemia defisiensi besi umum
Perlu
100 mg/hari selama 2 menit, sampai status besi terkoreksi
Berat badan 5 kg ke atas
Dilaporkan reaksi anafilaktik yang berpotensi fatal. Perlu pemantauan petugas kesehatan yang berpengalaman.
1992
50
Anemia defisiensi besi umum
Perlu
100 mg/hari selama 2 menit, sampai status besi terkoreksi
Berat badan 5 kg ke atas
Dilaporkan reaksi anafilaktik yang berpotensi fatal. Perlu pemantauan petugas kesehatan berpengalaman.
Ferric gluconate
1999
12,5
Anemia defisiensi besi - pasien HD
Tidak perlu
125 mg/kali, diberikan di 8 sesi HD
6 tahun ke atas
Dapat bereaksi dengan pelarut inaktifnya (benzil alkohol). FDA PSI kategori B.
Iron sucrose
2000
20
Anemia defisiensi besi terkait penyakit ginjal kronik (HD, PD, ND)
Tidak perlu
HD: 100 mg/kali diberikan 10 sesi ND: 200 mg/kali diberikan 5 kali PD: 300-300-400 mg
2 tahun ke atas
Reaksi alergi relatif jarang, meskipun pernah dilaporkan reaksi anafilaktoid. Stabilitas hingga 7 hari. FDA PSI kategori B.
Ferumoxytol
2009
30
Anemia defisiensi besi terkait penyakit ginjal kronik (HD, ND)
Tidak perlu
510 mg 2 kali, berjarak 3-8 hari
Tidak dianjurkan
Dapat berinteraksi dengan kontras MRI menimbulkan reaksi anafilaktik yang berpotensi fatal. FDA PSI kategori C.
Ferric carboxymaltose
2013
50
Anemia defisiensi besi terkait penyakit ginjal kronik (ND)
Tidak perlu
750 mg (atau 15 mg/ kgBB) 2 kali, berjarak 1 minggu
Tidak dianjurkan
Bisa diberikan seminggu sekali. FDA PSI kategori C.
Keterangan: FDA: United States Food and Drug Administration; HD: hemodialysis (hemodialisis); HMW: high molecular weight; LMW: low molecular weight; ND: non-dialysis (tidak/belum menjalani dialisis); PD: peritoneal dialysis (dialisis peritoneal); PSI: pregnancy safety index.
Hal senada dikemukakan dalam tinjauan anemia defisiensi besi pada kasus inflammatory bowel disease (IBD), artikel ini menyebutkan bahwa untuk kasus IBD, iron sucrose merupakan sediaan zat besi intravena yang paling banyak diteliti dan hasilnya baik secara klinis, namun ferric carboxymaltose memiliki kelebihan yaitu koreksi status zat besi pasien dapat dilakukan sampai nilai normal dalam waktu lebih singkat. Hal ini
kurang mungkin pada penggunaan iron sucrose, karena keterbatasan dosis maksimal harian iron sucrose.22 Tabel berikut ini akan merangkum berbagai jenis sediaan zat besi intravena yang telah dibahas.23 PENUTUP Perkembangan terapi zat besi intravena saat
ini telah menghasilkan beberapa sediaan zat besi intravena baru, dengan profil efektivitas yang baik dan profil keamanan yang makin baik pula apabila dibandingkan dengan iron dextran. Hal ini lebih memungkinkan para klinisi untuk memilih sediaan zat besi intravena sesuai kebutuhan pasien anemia defisiensi besi, kondisi kesehatan yang menyertainya, dan ketersediaan di institusi kesehatan masing-masing.
DAFTAR PUSTAKA 1.
University of Rochester Medical Center. Iron: An important mineral in your diet [Internet]. 2014 [cited 2014 Apr 22]. Available from: http://www.urmc.rochester.edu/ encyclopedia/content.
2.
American Society of Hematology. Iron deficiency anemia [Internet]. 2014 [cited 2014 Apr 11]. Available from http://www.hematology.org/Patients/Anemia/Iron-Deficiency.aspx
3.
Centers for Disease Control and Prevention. Iron and iron deficiency [Internet]. 2011 [cited 2014 Apr 22]. Available from: http://www.cdc.gov/nutrition/everyone/basics/vitamins/iron.
4.
MacDougall IC. Poor response to erythropoietin: Practical guidelines on investigation and management. Nephrol Dial Transplant.1995; 10: 607-14.
5.
Cansado RD, Muñoz M. Intravenous iron therapy: How far have we come? Rev Bras Hematol Hemoter. 2011; 33(6): 461-9.
6.
Mehta BC. Iron hydroxide polymaltose--cause of persistent iron deficiency anemia at delivery. Indian J Med Sci. 2001; 55(11): 616-20.
7.
Mehta BC. Ineffectiveness of iron polymaltose in treatment of iron deficiency anemia. JAPI. 2003; 51: 419-21.
aspx?ContentTypeID=1&ContentID=547
html
8.
INFeD [prescribing information]. New Jersey: Watson Pharma; 2009.
9.
Sigma-Aldrich. Dextrans [Internet]. 2014 [cited 2014 Jun 13]. Available from: http://www.sigmaaldrich.com/life-science/biochemicals/biochemical-products.html?TablePage=22696471
10. Keller DM. Iron dextran has highest adverse effects rate of all IV iron products [Internet]. 2010 [cited 2013 Aug 30]. Available from: http://www.medscape.com/viewarticle/724539_print 11. Ferrlecit [prescribing information]. Bridgewater, New Jersey: Sanofi-Aventis; 2011. 12. Mansour W, Bissram M, Rosner MH. Intravenous iron therapy and risk of progressive loss of kidney function in patients with chronic kidney disease. Nephron Clin Pract. 2011; 118(2): 18994. 13. Venofer [prescribing information]. Massachusetts: Vifor Pharmaceuticals/Fresenius Medical Care; 2012. 14. Cansado RD, Muñoz M. Intravenous iron therapy: How far have we come? Rev Bras Hematol Hemoter. 2011; 33(6): 461-9. 15. Hayat A. Safety issues with intravenous iron products in the management of anemia in chronic kidney disease. Clin Med Res. 2008; 6(3-4): 93-102.
CDK-231/ vol. 42 no. 8, th. 2015
589
CONTINUING PROFESSIONAL DEVELOPMENT 16. European Medicines Agency. New recommendations to manage risk of allergic reactions with inravenous iron-containing medicines [Internet]. 2013 [cited 2014 Jun 17]. Available from: www.ema.europa.eu/ema/index.jsp?curl=pages/news_and_events/news/2013/06/news_detail.001833.jsp@mid=WC0b01ac058004d5c1 17. Fell LH, Zawada AM, Rogacev KS, Seiler S, Fliser D, Heine GH. Distinct immunologic effects of different intravenous iron preparations on monocytes. Nephrol Dial Transplant. 2014; 29(4): 809-22. 18. Kuo KL, Hung SC, Lee TS, Tarng DC. Iron sucrose accelerates early atherogenesis by increasing superoxide production and upregulating adhesion molecules in CKD. J Am Soc Nephrol. 2014; 25(11): 2596-606. doi: 10.1681/ASN.2013080838. [Epub 2014 Apr 10]. 19. Feraheme [prescribing information]. Massachusetts: AMAG Pharmaceuticals; 2013. 20. Injectafer [prescribing information]. New York: Vifor Pharmaceuticals/American Regent; 2013. 21. Onken JE, Bregman DB, Harrington RA, Morris D, Buerkert J, Hamerski D, et al. Ferric carboxymaltose in patients with iron-deficiency anemia and impaired renal function: The REPAIR-IDA trial. Nephrol Dial Transplant. 2014; 29: 833-42. 22. Adis Medical Writers. Control disease activity and correct iron deficit when iron-deficiency anemia occurs in patients with inflammatory bowel disease. Drugs Ther Perspect. 2014; 30: 209-12. 23. Krikorian S, Shafai G. Managing iron deficiency anemia of CKD with IV iron. US Pharmacist. 2013; 38(8): 22-6.
590
CDK-231/ vol. 42 no. 8, th. 2015