BAB II TEORI DASAR METODE STACK KONVENSIONAL DAN ZERO-OFFSET COMMON-REFLECTION-SURFACE (ZO CRS) STACK
II.1 Metode Stack Konvensional Di lapangan, data seismik hadir sebagai common source gather (CSG) ,lihat Gambar 2.1a, yang kemudian diurut kedalam common midpoint (CMP) gathers. CMP gather didefinisikan sebagai pengumpulan data berupa traces yang memiliki posisi midpoint yang sama. Titik midpoint merupakan titik yang terletak diantara pasangan sumber dan receiver. Contoh untuk geometri CMP gather dapat dilihat pada gambar 2.1b. Lokasinya pada lintasan seismik dihitung dari lokasi sumber S dan lokasi receiver G oleh (S + G)/2. Jarak antara sumber dan receiver disebut dengan offset, untuk half-offset h dideskripsikan sebagai (G - S)/2.
Gambar 2.1 Geometri seismik refleksi. Gambar ini menunjukkan sebuah common source gather(a) dan sebuah common midpoint (b) gather. (Mann, 1999)
Ketika akuisisi data seismik dilakukan sepanjang lapisan horizontal di bawah permukaan yang homogen, refleksi primer dalam penampang common midpoint gather akan tepat berada di sepanjang fungsi traveltime hiperbola. Sebuah CMP gather mengandung semua ray yang mengiluminasi titik yang sama pada sebuah reflektor dengan offset yang berbeda-beda (lihat Gambar 2.1b). Inilah ide dasar metode stack CMP konvensional yang diungkapkan oleh Mayne,
6
dimana trace-trace dari offset yang berbeda-beda mengandung informasi untuk titik yang sama pada reflektor horizontal. Informasi yang banyak ini dapat dijumlahkan secara konstruktif untuk menghasilkan sebuah penampang stack dengan rasio sinyal terhadap noise yang tinggi. Sebagaimana diungkapkan oleh Mayne, proses stacking CMP gather, setelah dilakukan-nya koreksi NMO, akan meningkatkan rasio sinyal terhadap noise. Mayne mengatakan : “secara teori rata-rata peningkatan kualitas data akan sebanding
dengan akar pangkat dua dari jumlah sinyal”. Namun muncul
permasalahan berikutnya, apakah semua data multicoverage yang ada dipakai agar dihasilkan hasil yang terbaik, kalau seperti ini berarti akan sangat banyak waktu yang diperlukan untuk melakukan pengolahan data. Oleh karena itu, Mayne mensiasati hal ini dengan melakukan sorting ke dalam CMP gather. Namun terminologi CMP gather yang dimaksudkan oleh Mayne adalah Common Reflection Point. Dua terminologi ini akan berarti sama untuk kasus perlapisan horizontal, namun untuk kasus lapisan dengan kemiringan, dua terminologi ini akan sangat berbeda. Sebagaimana kita kenal, fungsi traveltime dari CMP gather bisa direpresentasikan dalam persamaan berikut:
(2.1) dimana t0 adalah waktu penjalaran Zero offset, dan x adalah jarak atara source dan receiver. Untuk kasus reflektor dengan medium homogen, parameter yang berpengaruh hanya kecepatan medium saja. Sementara itu, pada kasus reflektor yang memiliki kemiringan, fungsi traveltime merupakan kombinasi dari unit kecepatan dan dip yang dikenal dengan nama Dip Move Out. Parameter ini bergantung pada kemiringan reflektor dan kecepatan medium itu sendiri.
7
Gambar 2.2. Geometry CS gather (a) dan CMP gather (b) pada reflektor yang memiliki dip (Müller, 1999)
Untuk model 2D yang terdiri dari satu reflektor yang memiliki kemiringan dip Φ , seperti yang tergambar dalam Gambar 2.2, fungsi traveltime terhadap offset untuk model di atas adalah sebagai berikut:
t 2 (h) = t02 +
4h 2 2 vNMO
(2.2)
dimana kecepatan NMO diturunkan dari persamaan kecepatan berikut:
vNMO =
v cos Φ
(2.3)
Kecepatan NMO disini disebut sebagai apparent velocity atau stacking velocity . Adanya sudut Φ menyebabkan kurva traveltime menjadi lebih datar daripada traveltime untuk lapisan horizontal. Oleh karena itu, kecepatan NMO akan selalau lebih besar daripada kecepatan interval medium. Inversi kecepatan yang didasarkan pada moveout ini akan menghasilkan kecepatan medium apparent yang lebih tinggi daripada kecepatan medium yang sebenarnya, sehingga untuk kasus seperti ini, koreksi NMO masih akan menyisakan residual NMO. Pada kasus lapisan horizontal, kecepatan NMO akan sama dengan kecepatan interval medium.
8
Gambar 2.3. (a) kumpulan ray dari masing-masing CMP gather (b) detail yang menunjukkan titik refleksi dari tiap CMP gather
Pada kasus perlapisan yang memiliki kemiringan planar, CMP gather akan mengalami situasi yang disebut smearing, dimana tiap titik refleksi dalam satu CMP gather tidak akan tepat berada di titik CMP yang dimaksudkan. Fenomena ini dengan jelas diperlihatkan dalam gambar 2.3. Pada gambar tersebut terlihat bahwa titik-titik refleksi dalam satu CMP gather tidak lagi berada dalam satu titik, namun tersebar dalam sebuah area tertentu. Dalam kasus lapisan miring yang planar, situasi ini bisa di atasi dengan menggunakan koreksi DMO ( Dip Move Out). Namun untuk kasus lapisan miring yang berbentuk melengkung, atau pada kasus medium yang tidak homogen, koreksi ini menjadi tidak tepat lagi. Meskipun telah dilakukan koreksi NMO dan DMO, smearing dari titik refleksi residual masih terjadi. Efek ini akan makin besar apabila dijumpai bentuk reflektor yang makin melengkung atau medium yang makin tidak homogen.
II.2 ZO CRS Stack Metode yang dimasukkan dalam kelompok metode macro-model independent imaging method
adalah metode Common Refflection Surface
(Mőller, 1999; Hubral, 1998; Hıcht, 1998; Jäger, 1999). Metode ini tidak
9
membutuhkan informasi kecepatan selain informasi mengenai kecepatan medium dekat permukaan. Höcht (1998), Jäger (1999), dan Müller (1999) secara impresif menunjukkan bahwa operator stacking ZO CRS stack mendekati peristiwa dalam data prestack lebih baik dari operator stacking konvensional ( NMO/DMO stack). Ketiga parameter stacking menjelaskan operator CRS ditentukan otomatis sepenuhnya berdasarkan analisa koherensi dalam data prestack. Secara kontras dengan metode imajing konvensional tertentu, seperti CMP stack, CRS stack menggunakan fungsi volum data multi-coverage selama prosesnya.
II.2.1 Operator Stacking ZO CRS Penjelasan mengenai operator stacking ZO CRS dapat kita lihat dalam gambar 2.4 dan gambar 2.5 . Operator untuk ZO CRS-Stack ditentukan oleh raypaths yang memantul di permukaan R (warna merah). Pada “time-half offset cube” terlihat bahwa operator tersebut (warna hijau) ditentukan dari data seismik yang cukup banyak jumlahnya (warna biru).
Gambar 2.4 Permukaan operator stacking dari CRS stack (Mann, 2002)
10
Operator zero-offset CRS stacking didasarkan pada 3 atribut muka gelombang, yaitu sudut datang atau emergence angle (α) sinar pada zero offset dan 2 jari-jari kurvatur dari bentuk muka gelombang yang diwakili dengan RN dan RNIP (jari-jari gelombang Normal Incident Point). Parameter α, RN dan RNIP merupakan parameter yang tidak bergantung pada model kecepatan. Parameter α, emergence angle atau sudut datang, merupakan parameter yang memiliki kaitan erat dengan kemiringan dari reflektor. Hubral (1983) memperkenalkan konsep penjalaran gelombang hipotetikal N dan NIP. Parameter RNIP merupakan jari-jari dari gelombang NIP. NIP (Normal Incident Point ) didefinisikan sebagai gelombang yang menjalar dari permukaan ke reflektor dan kembali lagi ke permukaan. Muka gelombang ini mengerucut menjadi satu titik di reflektor. Dengan asumsi tidak adanya energi yang hilang selama penjalaran gelombang, muka gelombang yang mencapai satu titik di reflektor menjadi sumber gelombang baru, yaitu gelombang NIP. NIP adalah gelombang yang dihasilkan oleh satu titik point source. Dengan asumsi kecepatan konstan, maka parameter RNIP dapat digunakan untuk menentukan jarak dari reflektor ke titik x0. Parameter RN didefinisikan sebagai gelombang yang menjalar dengan arah normal. Gelombang ini dihasilkan oleh sebuah exploding reflektor yang identik dengan exploding reflektor dari Lowenthal (1976). Parameter ini membawa informasi mengenai bentuk kelengkungan dari reflektor. Gambar 2.5 akan memberikan ilustrasi mengenai 3 parameter wavefield atribut ZO CRS. Didasarkan pada ray theory dari Červený (1985), parameter dari surface stacking ZO CRS dapat diturunkan. Dengan mengekspresikan penjalaran gelombang dalam Normal Incidence Point (NIP) wave dan Normal (N) wave (Hubral, 1983), traveltime hiperbolik disini disebut sebagai traveltime aproksimasi CRS, adalah ekspansi deret Taylor orde dua dari traveltime refleksi untuk gelombang paraxial di sekitar gelombang normal incident. Dengan menggunakan teori gelombang paraxial [(Schleicher et al., 1993); (Tygel et al., 1997)] atau dengan menggunakan pendekatan geometri (Höcht et al., 1999) maka 11
dapat diturunkan persamaan traveltime untuk CRS. Tiga atribut aproksimasi traveltime ini mendefinisikan permukaan CRS stacking di koordinat (xm, h, t).
Gambar 2.5 (hijau) kurvatur gelombang normal (merah) kurvatur gelombang NIP (Mann, 2007)
Dari penurunan persamaan di atas, didapatkan dua persamaan fungsi dari traveltime, yaitu persamaan fungsi traveltime parabolik dan persamaan hiperbolik. Persamaan fungsi traveltime parabolik nantinya digunakan untuk menghitung zona Fresnel dari reflektor, sedangkan persamaan fungsi hiperbolik digunakan untuk analisa koherensi dan proses stacking CRS. Persamaan (2.4) merupakan persamaan yang menggambarkan persamaan parabolik sebagai berikut : (2.4) Sedangkan persamaan fungsi hiperboliknya digambarkan oleh persamaan (2.5) berikut ini :
(2.5)
dimana t0 merupakan traveltime, v0 merupakan kecepatan di dekat permukaan, xm adalah koordinat dari midpoint, x0 merupakan koordinat dari zero-offset, h merupakan koordinat dari half-offset, dan tiga parameter terakhir merupakan
12
parameter atribut kinematik wavefield yang merupakan parameter permukaan stack CRS pada titik x0. Atribut kinematik wavefield merupakan parameter yang menggambarkan lokasi, orientasi, dan bentuk reflektor, namun selain itu atribut kinematik wavefield juga menjelaskan penjalaran gelombang NIP dan gelombang normal. Ketiga parameter stacking ini memiliki nilai fisis, sehingga penampang parameter digunakan untuk inversi model kecepatan makro yang akan datang (Majer,2000).
II.2.2 Tahapan Alir ZO CRS Stack Proses pengolahan data CRS stack dibagi menjadi dua jenis, yaitu strategi pencarian pragmatic dan strategi pencarian tambahan. Di bagian strategi pencarian pragmatic, pengolahan data dilakukan dua tahapan proses pengolahan data, yaitu : •
Pencarian parameter atribut CRS dengan menggunakan automatic CMP stack, dan menjadikan parameter tersebut sebagai nilai awal untuk proses optimasi berikutnya.
•
Melakukan optimasi atribut CRS dan kemudian melakukan stacking CRS.
Strategi pencarian pragmatic ini dijelaskan lagi melalui tahapan alir pada gambar 2.6, dimana proses ini sangat bergantung terhadap hasil dari proses automatic CMP stack yang dilakukan. Karena hasil dari proses automatic CMP stack akan digunakan sebagai nilai inisial pencari nilai pada tahapan selanjutnya.
13
Gambar 2.6 Tahapan Alir Strategi Pencarian Pragmatik pada CRS stack (Mann, 2002)
Automatic CMP stack dilakukan dengan menggunakan persamaan hiperbola sebagai berikut : (2.6)
Persamaan (2.6) terlihat seakan tidak dapat digunakan akibat faktor nilai α dan nilai RNIP yang masih belum diketahui. Namun hal tersebut dapat diselesaikan dengan memperkenalkan parameter baru yaitu q, sehingga nantinya persamaan (2.6) hanya bergantung pada satu parameter saja yang berupa : (2.7)
Parameter q sebenarnya sangat erat berhubungan dengan nilai kecepatan NMO pada CRS stack. Persamaan NMO CRS stack sendiri didapatkan dengan
14
membandingkan persamaan (2.5) yaitu persamaan hiperbolik dari operator CRS stack, dengan mengasumsikan nilai xm = x0, dan persamaan (2.6) yang merupakan persamaan operator CMP stack, yang menghasilkan persamaan (2.8) seperti berikut : (2.8)
Dengan menggunakan persamaan (2.8) nilai q dapat diketahui untuk setiap sampel ZO. Kemudian untuk tiap nilai q ini dianalisa koherensinya dengan data pre-stack, nilai q dengan koherensi tertinggi disimpan sebagai nilai q initial. Dengan mendapatkan nilai q yang optimum, sebenarya juga duidapatkan nilai NMO yang optimum. Penjumlahan dari tiap sampel dari prestack data menggunakan kecepatan stacking NMO ini dilakukan untuk mendapatkan penampang CMP stack. Prosedur ini dilakukan secara otomatis, oleh karena itu dinamai dengan automatic CMP stack. Selain menghasilkan penampang automatic CMP stack, tahapan ini menghasilkan penampang q dan penampang koherensi. Tahapan selanjutnya adalah pembuatan penampang ZO. Penampang ZO ini dibentuk oleh dua parameter atribut kinematik wavefield yaitu nilai α dan RN. Pencarian nilai α atau yang sering disebut juga sebagi emergence angle dari event refleksi dilakukan dengan mengubah nilai h=0 pada persamaan hiperbolik (2.5). Asumsi tersebut didapat dengan menganggap tidak ada perubahan nilai terhadap jarak half-offset akibat perhitungan nilai α yang terletak pada titik x0. Persamaan hiperbola (2.5) dapat ditulis sebagai berikut :
(2.9)
Persamaan di atas kemudian bisa disederhanakan dengan mengubah nilai RN menjadi tak hingga menjadi persamaan berikut ini : (2.10)
15
Dengan menggunakan persamaan (2.10), maka nilai dari α dapat ditentukan dan disimpan sebagai nilai inisial emergence angle. Setelah α didapatkan, dicari nilai RNIP dengan menggunakan data dari penampang q pada tahapan automatic CRS stack. Pencarian nilai RNIP didasari oleh persamaan (2.9), dimana pada akhirnya kedua nilai tersebut, α dan RNIP digunakan untuk mencari nilai RN dengan mensubstitusi nilai – nilai tersebut ke dalam persamaan hiperbolik CRS stack pada persamaan (2.5). Sehingga pada tahap ini didapatkan nilai α dan RN sebagai pembentuk penampang ZO daan juga nilai RNIP sebagai hasil sampingannya. Sekarang tiga parameter stacking untuk tiap ZO time sample sudah didapatkan, pasangan parameter ini merepresentasikan stacking surface pada domain (xm , h, t). Dengan menjumlahkan data pre-stack sepanjang permukaan ini, maka akan didapatkan penampang stack initial. Analisa koherensi dengan data pre-stack kembali dilakukan, analisa ini digunakan sebagai quality control dari hasil stacking initial. Untuk mendapatkan hasil stacking yang terbaik, maka dilakukan proses optimasi dengan menggunakan input data nilai initial parameter stacking. Algoritma yang digunakan untuk proses optimasi ini adalah The Flexible Polyhedron Search (Nelder dan Mead, 1965). Nilai initial digunakan sebagai input untuk mendekati nilai global optimum. Penelitian mengenai bekerjanya algoritma ini dalam optimasi parameter CRS dilakukan oleh Jäger (1999). Hasil dari optimasi parameter stacking ini selanjutnya digunakan dalam proses stacking dengan keluaran berupa penampang stack. Pencarian dengan metode ini ternyata masih memiliki kelemahan, yaitu tidak bisa menangani permasalahan conflicting dip. Dengan menggunakan pragmatic search strategy ini, hanya satu operator stacking yang dipakai dalam tiap ZO sampel untuk disimulasikan. Pada kasus conflicting dip, dimana event memiliki koherensi minimum akibat penjumlahan yang destruktif, metode pragmatic search akan mengabaikan event ini. Padahal kecepatan stacking yang ditentukan tidak selalu berhubungan dengan event yang memiliki koherensi terbesar, tetapi bisa juga diakibatkan oleh conflicting dip.
16
Untuk memberikan hasil yang lebih optimum maka diperlukan suatu nilai sebagai kendali hasil yang optimum. Dalam hal ini nilai yang disebut sebagai kendali itu adalah Conflicting dips. Hal ini termasuk pada tahapan extended search strategy. Mann (2002) memperkenalkan suatu metode untuk memisahkan event normal dengan event conflicting dip dengan menambahkan kriteria pada penentuan threshold koherensi. Dengan threshold koherensi yang sesuai, event dalam rekaman seismik yang berbeda – beda dan saling bercampur di dalam satu event dapat dipisahkan. Pada dasarnya metode yang dikeluarkan oleh Mann ini masih menggunakan beberapa cara yang diterapkan pada strategi pencarian pragmatic, namun dengan pengembangan dalam prosedur pendeteksi conflicting dip. Dan juga proses penentuan atribut kinematik wavefield α dan RN kali ini dilakukan secara terpisah pada tiap event. Namun metode ini memiliki perbedaan yang saat mencolok saat menentukan nilai dari RNIP. Pencarian nilai RNIP tidak lagi dapat dilakukan dengan mencari hubungan antara α dan VNMO. Karena jika menggunakan cara seperti metode yang terdahulu, maka hanya akan dihasilkan satu kecepatan stack saja, yang pada akhirnya akan menimbulkan ambiguitas dalam kasus conflicting dip. Jürgen
Mann
mengembangkan
metode
pencarian
RNIP
dengan
menggunakan subset data yang lain dari data multicoverage, yaitu Common Shot (CS) dan Common Receiver (CR) gather. Di persamaan ini, operator stacking akan dicari dengan menggunakan menjadi persamaan berikut:
(2.11)
dimana 1/RCS = 1/RNIP + 1/RN , ketika α dan RN sudah ditentukan, maka secara tidak langsung parameter ini bisa ditentukan. Strategi pencarian atribut CRS untuk kondisi conflicting dip dengan menggunakan metoda extended search strategy dapat dirangkum sebagai berikut :
17
1. kondisi conflicting dip diidentifikasi di penampang ZO atau degan kata lain menggunakan penampang CMP stack untuk proses identifikasi ini. 2. Emergence angle α(i) dan radius dari curvature RN(i) bisa dideteksi di penampang CMP stack 3. Metode pencarian radius curvature RNIP(i) bisa dilakukan pada Common Shot (CS) gather atau CRS gather. 4. Jika hanya ada satu event, atau tidak ada conflicting dip, maka pragmatic search strategy masih sesuai untuk digunakan. Dari rangkuman langkah – langkah strategi pencarian tambahan untuk kasus conflicting dip, maka tahapan alir pengolahan data CRS menjadi sebagai berikut :
Data multicoverage
CS/CRS gathers
CRS supergathers
CMP gathers
CMP Stack Otomatis VNMO
ZO Section
α
Mencari RNIP
Mencari α dan RN
RNIP
α RN
Optimisasi opsional dan CRS Stack
Gambar 2.7 Flow chart untuk ZO CRS stack (menurut Mann, 2002)
18