BAB II TEORI DASAR
2.1 Perubahan Iklim Perubahan iklim sebagai implikasi dari pemanasan global telah mengakibatkan ketidakstabilan atmosfer di lapisan bawah terutama yang dekat dengan permukaan bumi. Perubahan iklim baru dapat diketahui setelah periode waktu yang panjang. Hingga saat ini penelitian-penelitian terkait perubahan iklim telah banyak dilakukan, sebagian besar mengindikasikan akan adanya kenaikan temperatur global walaupun besarnya belum dapat dipastikan. Gambar 2.1 menampilkan adanya trend kenaikan anomali temperatur global berdasarkan kondisi pada akhir abad ke-19.
Gambar 2.1 Grafik anomali temperatur global (Sumber: www.metoffice.gov.uk) Sejak tahun 1950, anomali temperatur global mengalami kenaikan secara kontinu hingga mencapai 0,70C pada tahun 2000. Kondisi ini mengindikasikan adanya perubahan iklim skala global. Definisi perubahan iklim adalah semua perubahan dalam iklim dalam suatu kurun waktu, apakah karena perubahan alamiah atau sebagai akibat aktivitas manusia (UNDP Indonesia, 2007). Sedangkan berdasarkan Assessment Report (AR4) Working Group I IPCC, istilah perubahan iklim mengacu pada sebuah perubahan dari keadaan iklim (sebagai contoh dengan menggunakan uji II - 1
statistik) oleh perubahan pada nilai rata-ratanya dan atau variabilitasnya dan berlangsung lama pada periode berikutnya, baik pada periode dekadal atau yang lebih panjang (AR4 IPCC, 2007 dalam Kurniawan, 2008). Iklim memiliki kecenderungan berubah yang dapat diakibatkan oleh dua faktor. Faktor pertama adalah akibat aktivitas manusia seperti urbanisasi, deforestasi, dan industrialisasi. Sedangkan faktor kedua adalah akibat aktivitas alam seperti pergeseran kontinen, letusan gunung api, perubahan orbit bumi terhadap matahari, noda matahari, dan peristiwa El-nino (Tjasyono, 2004). Aktivitas manusia yang tidak terkontrol semakin memicu terjadinya penyimpangan pada sistem iklim, jika tidak dapat dikendalikan dampaknya justru dapat mengancam kehidupan manusia. Beberapa respon fisis yang dapat diamati akibat perubahan iklim diantaranya adalah peningkatan temperatur rata-rata, peningkatan laju rata-rata evaporasi dan presipitasi, peningkatan tinggi muka laut, dan beberapa perubahan yang terjadi di biosfer. Berbagai respon tersebut selanjutnya dijadikan bahan acuan dalam membuat simulasi dan prediksi perubahan iklim. Sebagian besar pekerjaan ini didasarkan pada penggunaan beberapa model iklim yang berbasis model numerik dan memiliki kemampuan dalam mensimulasikan berbagai proses fisis itu secara fundamental (Kurniawan, 2008). 2.2 Kondisi dan Perubahan Tutupan Hutan Kalimantan
2.2.1 Kondisi Hutan di Kalimantan Hutan merupakan salah satu sumber daya alam di bumi yang sangat besar manfaatnya bagi kehidupan manusia, baik ditinjau dari segi ekonomis maupun dari fungsinya dalam ekosistem dan lingkungan. Namun dilihat dari kondisinya saat ini, luas hutan di Indonesia mengalami penurunan yang cukup drastis dan sebagian besar kondisinya sangat mengkhawatirkan. Hingga saat ini, Indonesia telah kehilangan hutan aslinya sebesar 72 persen (World Resource Institute, 1997). II - 2
Salah satu kawasan di Indonesia yang memiliki luas hutan tropis terluas adalah Pulau Kalimantan. Namun pada kenyataanya, laju penurunan luas hutan di kawasan ini tiap tahunnya sangat tinggi dan sulit dikendalikan. Lahan hutan yang luas di Kalimantan telah dieksploitasi secara buruk dan pengelolaanya pun tidak sesuai dengan aturan yang jelas, sehingga banyak yang tinggal menyisakan bentang lahan kering dan gersang. Kebakaran hutan pun seringkali terjadi terutama pada musim kemarau yang berkepanjangan. Hingga saat ini belum ada upaya nyata untuk mengembalikan kondisinya seperti semula. Gambar 2.2 menunjukan perbedaan kondisi hutan Kalimantan pada pertengahan tahun 1980an dengan awal tahun 2000.
a
b
Gambar 2.2 Perubahan kondisi hutan antara (a) pertengahan tahun 1980 dan (b) awal tahun 2000 (Sumber: European Communities) 2.2.2 Deforestasi dan Degradasi Hutan Di Kalimantan Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat diketahui bahwa hutan tropis Indonesia telah mengalami deforestasi. Definisi deforestasi menurut Departemen Kehutanan Indonesia adalah perubahan kondisi penutupan lahan dari hutan menjadi bukan hutan (termasuk perubahan untuk perkebunan, pemukiman, kawasan industri, dan lain-lain). Hingga saat ini, deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia masih terus terjadi.
II - 3
Gambar 2.3 Penurunan tutupan vegetasi hutan antara tahun 1985 s.d 2000 (Sumber: Departemen Kehutanan Indonesia, 2008) Berdasarkan data dan hasil analisis Departemen Kehutanan, pada periode 1985-1997 laju deforestasi dan degradasi di Indonesia mencapai 1,8 juta hektar per tahun. Pada periode 1997-2000 terjadi peningkatan laju deforestasi yang cukup signifikan yaitu mencapai rata-rata sebesar 2,8 juta hektar dan menurun kembali pada periode 20002005 menjadi sebesar 1,08 juta hektar. Gambar 2.3 menunjukan bahwa pada periode tahun 1985 s/d 1987, penurunan tutupan vegetasi hutan yang sangat besar terjadi di Kalimantan dan Sumatera. Sedangkan pada periode 1997 s/d 2000 selain terjadi di Kalimantan dan Sumatera, laju deforestasi tertinggi juga terjadi di Papua. Sedangkan pada periode berikutnya, yaitu antara tahun 2000 s/d 2005 terjadi penurunan angka rata-rata tutupan vegetasi hutan. Tabel 2.1 Luas hutan di pulau Kalimantan Luas Wilayah (Ha)
Propinsi Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Total
14.546.318
1985 Luas % Hutan (Ha) 8.700.600 59,8
1991 Luas % Hutan (Ha) 8.117.960 55,8
1997 Luas % Hutan (Ha) 6.717.026 46,1
2000 Luas % Hutan (Ha) 6.736.261 46,3
15.249.222
11.614.400
76,2
11.492.950
75,4
9.900.00
64,9
9.320.771
61,1
3.703.550
1.795.900
48,5
1.749.360
47,2
999.182
27,0
648.000
17,5
19.504.912
19.875.100
91,6
17.584.260
90,2
13.900.00
71,3
12.477.309
64,0
53.004.002
41.986.000
79,2
38.944.530
73,5
31.516.208
59,5
29.181.953
55,1
(sumber: http://www.theodora.com/maps/new/indonesia_maps.html)
II - 4
Berdasarkan grafik pada gambar 2.3 dapat dilihat bahwa laju deforestasi tertinggi di Indonesia untuk tahun 1985 hingga tahun 2000 terjadi di Pulau Kalimantan. Tingkat deforestasinya hingga mencapai 0,9 juta hektar tiap tahunnya. Luas tutupan hutan sejak tahun 1985 hingga 2000 untuk 4 propinsi di Kalimantan disajikan pada tabel 2.1. Persentase total luas hutan di Kalimantan sejak tahun 1985 hingga tahun 1991 mengalami penurunan sebesar 5,7%. Laju deforestasi ini meningkat dari tahun 1991 hingga tahun 1997 sebesar 14%. 2.2.3 Pengaruh Hutan Terhadap Iklim Hutan merupakan komponen penyeimbang berbagai siklus di alam termasuk untuk sirkulasi iklim dan cuaca skala lokal. Peran hutan dalam mengatur temperatur bumi dan pola cuaca adalah dengan menyimpan karbon dan air dalam jumlah besar. Secara umum hubungan antara iklim, vegetasi, dan hutan sangat kompleks dan masih membutuhkan penelitian lebih lanjut. Kondisi hutan yang berbeda akan memiliki kemampuan yang berbeda pula dalam hal mengatur iklim mikro di sekitarnya, misalnya temperatur udara, kelembaban udara, penerimaan cahaya matahari, dan defisit tekanan uap air. Hutan dan iklim memiliki suatu keterkaitan, dimana kondisi hutan yang baik akan menyeimbangkan sistem energi yang selanjutnya akan berpengaruh pada kondisi iklim setempat maupun global. Di sisi lain, kondisi iklim pun dapat mempengaruhi keberadaan hutan, misalnya musim kemarau yang panjang bisa memicu kebakaran hutan. Antara tumbuhan dan iklim memang terdapat suatu interaksi, dimana pengaruh tumbuhan pada iklim menjadi penting dengan semakin besarnya tumbuhan dan semakin banyaknya jumlah tumbuhan (Tjasyono, H.K, 1999). Perubahan luas hutan akibat deforestrasi dan kebakaran hutan akan mempengaruhi neraca energi yang akan merubah kondisi iklim permukaan di kawasan tersebut.
II - 5
2.3 Keseimbangan Energi dan Kaitannya Terhadap Iklim Istilah radiasi didefinisikan sebagai transfer energi yang terjadi tanpa membutuhkan medium perantara untuk mentransmisikannya (Ritter, 2006). Definisi lain menyebutkan bahwa radiasi adalah suatu bentuk energi yang dipancarkan oleh setiap benda yang mempunyai temperatur di atas nol mutlak, dan merupakan satu-satunya bentuk energi yang dapat menjalar di dalam vakum angkasa luar (Prawirowardoyo, 1996). Energi yang diperlukan untuk berbagai proses dalam atmosfer berasal dari matahari. Sebagian radiasi matahari diserap langsung di dalam atmosfer, sebagian lagi diteruskan melewati atmosfer dan diserap oleh permukaan. Penyerapan ini memanaskan permukaan bumi, yang selanjutnya menjadi sumber radiasi gelombang panjang yang disebut radiasi bumi. Radiasi neto (Q*) yang diterima digunakan untuk proses-proses yang terjadi dalam sistem bumi. Kegunaan utama dari energi ini adalah pada perubahan fasa air (Latent Heat, LE), perubahan temperatur udara (Sensible Heat, H), dan pemanasan di bawah permukaan tanah (Ground heat, G) dengan perumusan sebagai berikut: Q* = H + LE + G
Gambar 2.4 Keseimbangan energi permukaan (Sumber: http://nevada.usgs.gov/)
II - 6
Neraca energi adalah selisih antara radiasi yang diserap dan yang dipancarkan oleh suatu benda atau permukaan. Pada siang hari umumnya terjadi surplus radiasi di permukaan sedangkan atmosfer mengalami defisit radiasi. Untuk menyeimbangkan neraca energi, maka kelebihan energi tersebut dikembalikan ke atmosfer dalam bentuk panas laten dan panas sensible. Temperatur permukaan bumi merupakan tanggapan dari semua fluks energi yang melewati permukaan tersebut. Adanya penambahan atau kehilangan energi pada permukaan mengakibatkan perubahan temperatur permukaan bumi. Dalam
menggambarkan
transfer
energi
dapat
menggunakan
panah
untuk
menggambarkan arah transfer panas tersebut. Selain itu digunakan pula tanda positif dan negatif untuk menunjukan adanya penambahan panas atau kehilangan panas. Berdasarkan ketentuan yang ditetapkan Sellers (1965) dan Oke (1987), flux nonradiatif yang hilang secara langsung dari permukaan adalah positif. Nilai positif tersebut mengindikasikan kehilangan panas dari permukaan sedangkan nilai negatif menunjukan tambahan panas. Berdasarkan penelitian sebelumnya mengenai dampak perubahan tutupan lahan hutan terhadap unsur iklim diperoleh hasil bahwa penurunan luas hutan yang dibuat untuk beberapa skenario akan menyebabkan perubahan pada karakteristik permukaan di hutan, diantaranya albedo permukaan, leaf area index, tipe vegetasi, dan surface roughness length. Perubahan karakteristik permukaan tersebut mempengaruhi unsurunsur neraca energi seperti sensible heat flux dan laten heat flux yang kemudian akan mempengaruhi iklim lokal. Hasil yang diperoleh dari simulasi selama 1 tahun menunjukkan bahwa penurunan luas hutan menyebabkan kenaikan suhu udara ratarata dari 25,3°C pada simulasi kontrol menjadi 25,4°C pada simulasi penurunan rasio hutan 25% dan 25,5°C pada simulasi penurunan rasio hutan 50%. Selain itu, intensitas curah hujan konvektif pun naik sebesar 5,21% pada simulasi penurunan rasio hutan 25% dan 6,20 % pada simulasi penurunan rasio hutan 50% (Sofyan, 2005). Hasil penelitian ini akan coba dikembangkan dalam penelitian tugas akhir ini. II - 7
2.3.1 Panas Sensible Fluks panas sensible (sensible heat flux) merupakan transfer energi antara permukaan bumi dengan atmosfer ketika ada perbedaan temperatur diantara keduanya. Transfer panas sensible akan terasa seperti kenaikan atau penurunan temperatur udara. Panas pada mulanya ditransfer ke atmosfer melalui konduksi molekul air yang bertubrukan dengan panas di permukaan. Karena udara menghangat maka timbul sirkulasi udara ke atas melalui konveksi. Demikian transfer panas sensible selesai dalam dua langkah proses. Karena udara merupakan konduktor yang buruk, konveksi menjadi jalan yang paling efisien untuk mentransfer panas sensible ke udara. Ketika daratan lebih hangat daripada udara di atasnya, panas akan ditransfer ke atmosfer sebagai transfer panas sensible positif. Transfer panas akan meningkatkan temperatur udara dan akan mendinginkan daratan. Jika udara lebih hangat daripada daratan, panas akan ditransfer dari atmosfer ke permukaan menghasilkan transfer panas sensible negatif (Ritter, 2006). 2.3.2 Panas Laten Panas laten adalah energi yang diperlukan dalam proses evaporasi atau transpirasi air pada permukaan dan selanjutnya akan terjadi kondensasi di troposfer. Perubahan fasa dari cair ke gas disebut evaporasi. Jika dilihat dalam skala molekuler, maka dapat dilihat bahwa air terdiri atas gugusan molekul air (H2O). Gugusan tersebut terikat bersama dengan ikatan diantara atom hidrogen dari molekul air. Panas yang ditambahkan selama evaporasi memutuskan ikatan antara gugusan sehingga menghasilkan molekul individu yang hilang dari permukaan sebagai gas. Panas yang digunakan dalam perubahan fasa dari cair ke gas disebut latent heat vaporization. Disebut laten karena panas ini disimpan dalam molekul air yang selanjutnya dikeluarkan selama proses kondensasi. Panas laten tidak dapat dirasakan karena tidak meningkatkan temperatur molekul air (Ritter, 2006). II - 8
2.3.3 Curah Hujan Konvektif Penurunan rasio vegetasi di suatu kawasan cenderung meningkatkan temperatur permukaan, karena panas dari radiasi matahari langsung diterima oleh permukaan tanpa adanya penghamburan dan penyerapan oleh vegetasi. Naiknya temperatur permukaan menyebabkan udara menjadi tidak stabil dan menimbulkan gangguan. Parsel udara yang lebih panas dari udara lingkungannya akan mempunyai gaya apung positif sehingga parsel akan bergerak terus ke atas sampai temperatur parsel sama dengan temperatur udara lingkungan (Tjasyono, 1994). Proses kenaikan massa udara akibat pemanasan permukaan disebut konveksi. Gambar 2.5 menunjukan bahwa temperatur potensial ekuivalen ( e) lebih panas apabila ada awan konvektif dibandingkan bila tidak ada awan konvektif atau pada waktu cuaca cerah. Dari profil vertikal tersebut dapat diketahui bahwa terbentuknya awan konvektif dibutuhkan kondisi temperatur parsel udara yang sangat tinggi. Gerak parsel udara ke atas biasanya terpusat dalam daerah yang relatif kecil, yaitu pada pusat sel konvektif. Jika parsel udara naik mencapai paras kondensasi maka gerakan ke atas selanjutnya dapat dilihat dalam bentuk awan konvektif.
Gambar 2.5 Profil vertikal temperatur potensial ekivalen rata-rata hujan (bulan Januari) (Sumber: Tjasyono, 1994) II - 9
e
pada musim
Perubahan temperatur di suatu kawasan mengakibatkan perbedaan tekanan yang semakin besar dengan daerah di sekitarnya. Sehingga udara yang mengandung uap air dari wilayah sekitar yang bertekanan tinggi akan bergerak ke kawasan tersebut. Ini menyebabkan kawasan tersebut menjadi lembab sehingga tetes awan yang dihasilkan pada proses konveksi akan mencapai jenuh dan selanjutnya menghasilkan curah hujan konvektif. Semakin tinggi temperatur di suatu kawasan akibat perubahan tutupan lahan, maka perbedaan temperatur dengan daerah di sekitarnya pun akan semakin besar. Hal ini menyebabkan proses pembentukan awan konvektif meningkat, sehingga intensitas curah hujan di suatu kawasan berpotensi meningkat. 2.4 Model Regional REMO
2.4.1 Deskripsi Model REMO adalah model iklim atmosfer berskala regional dan berfungsi untuk menurunkan skala output model global menuju skala regional yang resolusinya lebih tinggi (metoda down-scalling).
Gambar 2.6 Proses downscaling model REMO (Sumber: Holger, 2006) REMO bekerja dengan resolusi spasial horizontal 0.5 dan 1/6 derajat dengan sejumlah grid berukuran tertentu. Sedangkan resolusi vertikal model ini berkisar antara 1000 mb hingga 10 mb atau sekitar 20 hingga 40 lapisan atmosfer.
II - 10
Seperti halnya model iklim lainnya, REMO pun menggunakan data input berupa data statis dan data dinamis historis. Data statis meliputi data orografis dan tutupan lahan yang sifatnya tetap tidak berubah terhadap waktu. Sedangkan data dinamis meliputi data temperatur muka laut dan dinamika atmosfer yang selalu di-update setiap 6 jam pada model ini.
Gambar 2.7 Asal mula model iklim regional REMO (Sumber: Jacob, 2001) REMO merupakan model jenis hidrostatik yang dapat dijalankan dengan metoda fisika dari European Model/Deutschland Model (Jacob and Podzun, 1997) dengan menggunakan metode parameterisasi model global ECHAM4 Max Planck Institute. Model jenis hidrostatik baik digunakan untuk skala global dan regional dimana faktor lokal seperti pegunungan, bukit, atau lereng terjal dapat diabaikan. 2.4.2 Karakteristik Model Model ini menggunakan persamaan primitif hidro-termodinamik yang menampilkan arus nonhidrostatik kompresibel dalam atmosfer. Parameterisasi fisika dari ECHAM4, temperatur, uap air, kandungan air cair, tekanan permukaan, komponan angin horizontal, kelembaban spesifik, hujan, dan sedimen salju merupakan variabel prognostik (diramalkan). Persamaan dasar ditulis dalam bentuk adveksi dan persamaan kontinuitas digantikan oleh persamaan prognostik tekanan pertubasi. Beberapa spesifikasi model REMO diuraikan pada penjelasan berikut ini. 1. Representasi horizontal menggunakan grid sistem Arakawa-C sedangkan koordinat vertikal menggunakan 20 level vertikal sistem hybrid p (tekanan) dan η.
II - 11
Titik tengah T merupakan suatu variabel yang dipengaruhi oleh u, v, dan w. Variabel ini bisa temperatur, tekanan, kelembapan, liquid water content, dan parameter lainnya. Model Grid Arakawa C
Gambar 2.8 Model komputasi grid Arakawa C-2 dimensi (kiri) dan 3 dimensi (kanan) (Sumber: Parodi, 2005) 2. Sistem diskretisasi vertikal mengikuti metoda Simmons dan Burridge.
Gambar 2.9 Struktur vertikal model REMO dengan 20 lapisan (Sumber: Deutscher Wetterdienst, 1995)
II - 12
3. Diskretisasi waktu menggunakan system semi implisit leapfrog sedangkan sistem adveksi menggunakan sistem eksplisit. 4. Interpolasi boundary lateral menggunakan metoda Davies dengan relaksasi daerah boundary lateral menjadi 8 grid. Pada boundary bagian atas yang merupakan kondisi radiatif berdasarkan metoda yang digunakan oleh Bougeault, Klemp, dan Durran. 5. Parameterisasi radiasi diadopsi dari model European Centre for Medium-Range Weather Forecast (ECMWF) dengan perubahan yang dilakukan oleh Rockener dkk. 6. Skala grid parameter mikrofisika awan berdasarkan persamaan neraca curahan Kesler dan skala subgrid proses presipitasi Tiedtke. Sistem konveksi sesuai dengan yang dilakukan oleh Nordeng dan kondensasi menurut Sundqvist. 7. Batas lateral model REMO mempunyai resolusi waktu setiap 6 jam dan diinterpolasi setiap 5 menit. Interpolasi yang digunakan adalah iterpolasi dengan formula 16 titik dan interpolasi bilinier (Deutscher, 1995). Interpolasi batas lateral akan dibentuk menjadi 8 grid. 8. Model ini menggunakan awan yang dibagi menjadi awan stratiform dan awan konvektif. Kandungan air awan stratiform ditentukan oleh persamaan neraca yang berkaitan dengan sumber, fase peluruhan, dan presipitasi. Secara empirik, temperatur merupakan fungsi yang digunakan untuk menentukan kandungan es awan, sehingga pengaruh-pengaruh tersebut dimasukkan dalam perhitungan. Parameterisasi awan konvektif berdasarkan konsep fluks massa Tiedke dengan beberapa perubahan sistem konveksi. 9. Temperatur tanah dihitung dari persamaan difusi dengan lima tutupan lapisan tanah yang berbeda mencakup 10 meter di atas permukaan tanah. Data global permukaan tanah dibentuk dari ekosistem yang kompleks menurut Hagemann yang kemudian dikembangkan secara lebih sempurna. 10. Rata-rata dan variansi permukaan orografi dihitung dari data USGS GTOPO30 dengan resolusi spasial 1km x 1km. Semua parameter permukaan konstan terhadap waktu artinya tidak bervariasi secara bulanan atau musiman. Sistem II - 13
permukaan tanah menggunakan metoda yang digunakan oleh Dumenil dan Todini. Hanya satu tipe permukaan yang muncul dari tiap grid sel (tanah, air, es). 2.4.3 Verifikasi Model Model REMO telah banyak diaplikasikan untuk berbagai penelitian tentang cuaca atau iklim. REMO dapat digunakan untuk simulasi iklim maupun prediksi cuaca dan telah disesuaikan dengan kondisi iklim di Indonesia. Validasi model REMO untuk wilayah Indonesia telah dilakukan oleh Aldrian, et.al (2004) untuk parameter curah hujan pada penelitiannya yang berjudul Long-term simulation of Indonesian rainfall with the MPI regional model. Pada penelitian tersebut, lima pulau besar dan tiga laut di wilayah Indonesia menjadi studi kasus dalam penelitian tersebut. Secara umum model REMO menghasilkan pola spasial curah hujan bulanan dan musiman dengan baik diatas daratan namun kurang baik untuk curah hujan di lautan. Dalam mem-validasi model ini digunakan tiga jenis data yaitu data reanalisis dari European Centre for Medim-Range Weather Forecasts (ERA15), the National Centers for Environmental Prediction and National Center for Atmospheric Research (NRA) dan ECHAM4, kemudian dibandingkan dengan data stasiun. Tabel 2.3 merupakan tabel perbandingan verifikasi output model REMO dengan data curah hujan bulanan dari Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) pada 167 stasiun di seluruh Indonesia menggunakan tiga data global yang berbeda . Tabel 2.2 Verifikasi output model REMO dengan data observasi Pulau Jawa Kalimantan Sumatra Sulawesi Irian
ERA 15 NRA ECHAM 4 0,798 0,716 0,173 0,780 0,668 0,422 0,708 0,682 0,637 0,645 0,577 0,541 0,434 0,350 0,143 (Sumber : Aldrian, et.al., 2003)
II - 14
Gambar 2.10 merupakan grafik perbandingan variabilitas curah hujan rata-rata (kiri) dan rata-rata bulanan (kanan) antara hasil simulasi REMO dengan data observasi untuk Pulau Kalimantan.
Gambar 2.10 Grafik perbandingan CH hasil simulasi dengan data stasiun (Sumber: Aldrian, et.al., 2003) Dari tabel 2.3 dapat dilihat bahwa input model ERA 15 untuk seluruh wilayah memiliki nilai korelasi yang tinggi dengan data observasi dibandingkan dengan data inputan dari NRA atau ECHAM 4. Untuk wilayah Kalimantan, nilai korelasi antara hasil simulasi (data input ERA 15) dengan data observasi memiliki korelasi yang cukup baik, yaitu sebesar 0,780. Berdasarkan hasil verifikasi tersebut, maka data ERA 15 menjadi data input model pada penelitian ini.
II - 15