BAB II TEORI DASAR
2.1 Hidrologi Hidrologi adalah cabang Geografi Fisis yang berurusan dengan air di bumi, sorotan khusus pada propertis, fenomena, dan distribusi air di daratan. Khususnya mempelajari kejadian air di daratan, deskripsi pengaruh bumi terhadap air, pengaruh fisik air terhadap daratan, dan mempelajari hubungan air dengan kehidupan di bumi. (Linsley et al, 1949)
2.1.1
Daur Hidrologi
Siklus hidrologi merupakan suatu rangkaian peristiwa yang terjadi sejak air jatuh ke bumi hingga naik ke udara untuk kembali lagi ke bumi. Berdasarkan pada pengertian tersebut dapat digambarkan suatu gambar daur hidrologi seperti dibawah ini :
Gambar 2.1 Siklus hidrologi secara umum (Sumber : Thompson&Turk, 1991. Saunders College Publication)
II-1
2.2 Intensitas Curah Hujan Intensitas curah hujan didefinisikan sebagai intensitas curah hujan rata-rata yang diasumsikan jatuh seragam di atas daerah tangkapan hujan untuk menentukan durasi dan frekuensi (Interval rata-rata periode ulang), dan satuan yang biasa digunakan untuk menyatakan intensitas curah hujan adalah mm/jam. Pada daerah tangkapan hujan yang kecil, besarnya durasi tergantung pada hubungannya dengan waktu konsentrasi atau lamanya aliran dari daerah tangkapan hujan ke saluran keluar (outlet). Sedangkan untuk daerah tangkapan hujan yang lebih besar, digunakan pola aliran sementara agar intensitas curah hujan berubah-ubah selama periode yang berbeda dari durasi hujan. Untuk daerah tangkapan hujan tebesar unsur-unsur di area digunakan untuk mendapat batas intensitas curah hujan, agar didapat curah hujan aktual yang tidak seragam di atas daerah tangkapan.
2.2.1 Perhitungan Intensitas Curah Hujan Intensitas curah hujan adalah banyaknya curah hujan per satuan waktu. Dalam perhitungan limpasan menggunakan t satuan waktu 1 jam. Intensitas curah hujan rata-rata dalam t jam (I) dinyatakan dengan rumus sebgai berikut (dalam hidrologi untuk pengairan) : (2.1) Dimana : I
= intensitas curah hujan (mm/jam)
Rt
= curah hujan selama t jam (mm)
T
= lamanya hujan (jam)
Besarnya intensitas curah hujan berbeda-beda tergantung pada lamanya curah hujan dan frekuensi kejadiannnya. Beberapa rumus intensitas curah hujan yang
II-2
dihubungkan dalam hal ini, telah disusun sebagi rumus-rumus eksperimental. Satu diantaranya adalah rumus Mononobe (dalam hidrologi untuk pengairan). Rumus ini digunakan untuk menghitung intensitas curah hujan setiap waktu berdasarkan curah hujan harian dan telah disesuaikan dengan data intensitas curah hujan yang ada di stasiun meteorologi ITB, Kemala Pergina (2007).
(2.2) Dimana : I
= intensitas curah hujan (mm/jam)
T
= lamanya curah hujan (jam)
R24
= curah hujan maksimum dalam 24 jam (mm)
2.2.2 Perkiraan Durasi Hujan Hubungan antara intensitas dan waktu adalah semakin besar intensitas hujan. Umumnya semakin singkat pula kejadian hujannya. Apabila curah hujan dihubungkan dengan waktu, dan kedua skala tersebut bersifat logaritma, curah hujan yang terekam terletak pada atau tepat dibawah garis lurus (Paulhus, 1963, dalam Hidrologi Teknik). Dan persamaan garis lurus tersebut adalah : 442
.
(2.3)
Maka untuk mencari durasi hujan, persamaan tersebut menjadi : .
(2.4)
Dimana : t
: Durasi hujan (jam)
R
: Curah hujan (mm)
II-3
2.2.3 Penentuan Debit Aliran Untuk menentukan debit aliran pada penelitian tugas akhir ini digunakan metode Rasional. Metode rasional adalah metode lama yang masih digunakan hingga sekarang untuk memperkirakan debit aliran daerah perkotaan dengan cakupan daerah kecil. Asumsi dasar dari metode ini adalah sebagai berikut : 1. Intensitas hujan seragam di seluruh daerah dan mempunyai waktu yang tetap/konstan. 2. Puncak limpasan terjadi pada saat seluruh daerah juga mengalami limpasan. 3. Debit puncak pada satu titik merupakan fungsi dari intensitas hujan rata-rata dari hujan deras yang mempunyai durasi sama dengan waktu konsentrasi di titik tersebut. 4. Frekuensi banjir sama dengan curah hujan. Rumus umum yang digunakan untuk menghitung debit (Q) adalah rumus rasional sebagai berikut : . . .
(2.5)
Dimana : Q
= Debit puncak (m3/s)
k
= Koefisien (0,278 bila luas daerah dalam km2 dan 0,00278 bila luas daerah
dalam ha) C
= Koefisien pengaliran (lihat lampiran tabel 5)
I
= Intensitas curah hujan maksimum (I Maks) rata-rata (mm/jam)
A
= Luas daerah tangkapan hujan (km2)
Batas-batas daerah pengaliran ditetapkan berdasarkan peta topografi, pada umumnya dalam skala 1 : 50.000 -1 : 25.000. Jika luas daerah pengaliran relatif kecil diperlukan peta dalam skala yang lebih besar. Dalam praktek sehari-hari, sering terjadi, tidak tersedia peta topografi ataupun peta pengukuran lainnya yang memadai sehingga menetapkan batas daerah pengaliran merupakan suatu pekejaan yang sulit.
II-4
Jika tidak memungkinkan memperoleh peta topografi yang memadai, asumsi berikut (pada gambar 2.2.) dapat dipakai sebagai bahan pembanding. Gambar pembanding :
Gambar 2.2 Penampang melintang luas daerah untuk perhitungan debit maksimum dari drainase (Sumber : Dinas Bina Marga, 1990) L=
Batas daerah pengaliran yang diperhitungkan
Adapun syarat-syarat dari persamaan metode rasional akan dijelaskan seperti di bawah ini : 1. Koefisien limpasan Koefisien ditetapkan sebagai rasio kecepatan maksimum pada aliran air dari daerah tangkapan hujan. Koefisien ini merupakan nilai banding antara bagian hujan yang membentuk limpasan langsung dengan hujan total yang terjadi. Nilai C tergantung pada beberapa karakteristik dari daerah tangkapan hujan, yang termasuk didalamnya : a. Relief atau kelandaian daerah tangkapan. b. Karakteristik daerah, seperti perlindungan vegetasi, tipe tanah dan daerah kedap air. c. Storage atau karakteristik detention lainnya. Koefisien limpasan/pengaliran untuk berbagai macam kondisi geografis dapat dilihat pada lampiran Tabel 5
II-5
2.3 Drainase Sistem drainase permukaan pada konstruksi jalan raya pada umumnya berfungsi sebagai berikut: 1. Mengalirkan air hujan/air secepat mungkin keluar dari permukaan jalan dan selanjutnya dialirkan lewat saluran samping; menuju saluran pembuang akhir. 2. Mencegah aliran air yang berasal dari daerah pengaliran disekitar jalan masuk ke daerah perkerasan jalan. 3. Mencegah kerusakan lingkungan di sekitar jalan akibat aliran air. Suatu jalan direncanakan mempunyai kapasitas mengalirkan aliran air hujan yang jatuh pada badan jalan sampai pada tempat pembuangan sistem drainase, dimana sistem ini dapat membantu mengurangi resiko genangan. Pada tempat-tempat tertentu pada batu tepi dibuat lubang-lubang masuk ke saluran drainase yang tersedia di sisi jalan, dan bila tidak dilengkapi dengan batu tepi maka air hujan akan langsung masuk ke saluran drainase pada sisi jalan melewati bahu jalan. Sistem drainase (saluran samping) biasanya berupa saluran terbuka berbentuk persegi panjang, sedangkan pada jalan raya dalam kota umumnya selokan ditutup dengan plat beton yang sekaligus berfungsi sebagai trotoar. Oleh karena itu perhitungan yang digunakan untuk menentukan volume maksimum yang dapat ditampung oleh saluran samping bergantung pada bentuk dimensi fisiknya.
II-6
Berikut ini contoh gambar penampang melintang dari saluran samping yang umum :
Gambar 2.3 Macam-macam bentuk dan bahan dari dimensi saluran samping suatu jalan (Sumber : Dinas Bina Marga, 1990)
II-7