12
BAB II SEJARAH PERKEMBANGAN TAFSIR AL- QUR’AN A. Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Qur'an melalui salah satu ayatnya memperkenalkan diri sebagai hudan (petunjuk)1 bagi umat manusia, penjelasan-penjelasan terhadap petunjuk itu dan sebagai al-furqan (pembeda).2 Oleh karena fungsinya yang sangat strategis itu maka al-Qur'an haruslah dipahami secara tepat dan benar. Upaya dalam memahami al-Qur'an dikenal dengan istilah tafsir. Sekalipun demikian, aktivitas menafsirkan al-Qur'an bukanlah pekerjaan gampang, mengingat kompleksitas persoalan yang dikandungnya serta kerumitan yang digunakannya.3 Sejarah mencatat, penafsiran al-Qur'an telah tumbuh dan berkembang sejak masa-masa awal pertumbuhan dan perkembangan Islam. Hal ini didukung oleh adanya fakta sejarah yang menyebutkan bahwa Nabi pernah melakukannya. Pada saat sahabat beliau tidak memahami maksud dan kandungannya kepada Nabi. Dalam konteks ini Nabi berposisi sebagai mubayyin, penjelas terhadap segala persoalan umat. Penafsiran-penafsiran yang dilakukan Nabi memiliki sifat-sifat dan karakteristik tertentu,
1 Hudan adalah salah satu sifat al-Qur'an, dan sifat al-Qur'an yang lain adalah Nur (cahaya) Q.S. 4: 74, Syifa (obat), rahmah (rahmat), dan mau’izah (nasihat) Q.S. 10: 57, mubin (yang menerangkan) Q.S. 5: 15, mubarak (yang diberkati) Q.S. 6: 92, busyra (kabar gembira) Q.S. 2: 97, aziz (yang mulia) Q.S. 41: 41, majid (yang dihormati) Q.S. 85: 21, basyir (pembawa kabar gembira) dan nazir (pembawa peringatan) Q.S. 41: 3-4. 2 Furqan adalah salah satu nama al-Qur'an, lihat Q.S. 25: 1, dan nama-nama yang lainnya adalah qur’an (Q.S. 17: 9), kitab (Q.S. 21: 10), zikr (Q.S.15: 9), tanzil (Q.S. 26: 192) 3 Sebut saja syarat-syarat mufassir adalah; mempunyai akidah yang benar, bersih dari hawa nafsu, lebih dahulu menafsirkan dengan al-Qur'an, sunnah, pendapat sahabat, tabi’in, mempunyai pengetahuan bahasa Arab dengan segala cabangnya, mempunyai pengetahuan tentang pokok-pokok ilmu berkaitan dengan al-Qur'an; seperti qira’at, mempunyai pemahaman yang cermat. Adapun adab seorang mufassir adalah; berniat baik dan bertujuan benar, berakhlak baik, taat dan beramal, jujur dan teliti dalam penukilan, tawadhu’, berjiwa mulia, vokal dalam menyampaikan kebenaran, berpenampilan baik, bersikap tenang dan mantap, mendahulukan orang lain, mempersiapkan langkah-langkah penafsiran yang baik. Lihat Mannaa Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an , terjemahan Drs. Mudzakkir AS, cet. 6, Litera Antar Nusa, Jakarta, 2001, h. 462-466. Bandingkan Muhammad Ali Sh-Shabuny, Pengantar Study al-Qur'an, terj., H. M.Chudlori Umar dan M. Matsna H.S., Al-Ma’arif, Bandung, 1987, h. 218-225.
13
diantaranya penegasan makna (bayan al-tashrif); perincian makna (bayan altafshil); perluasan dan penyempitan makna; kwalifikasi makna serta pemberian contoh. Sedangkan dari segi motifnya, penafsiran Nabi Saw terhadap ayat-ayat al-Qur'an mempunyai tujuan, pengarahan (bayan irsyad), peragaan (thatbiq), pembentukan (bayan tash hih) atau koreksi. Sepeninggal Nabi, kegiatan penafsiran al-Qur'an tidak berhenti malah boleh jadi semakin meningkat. Munculnya persoalan-persoalan baru seiring dengan dinamika masyarakat yang progresif mendorong umat Islam generasi awal sampai sekarang mencurahkan perhatian yang besar dalam menjawab problematika umat.4 1. Periode periwayatan tafsir Sebagai sebuah produk pemikiran manusia, tafsir al-Qur'an telah menapaki perjalanan sejarahnya yang cukup panjang. Perjalanan sejarah perkembangan tafsir al-Qur'an bisa ditelusuri jejaknya hingga era awal perkembangan Islam, yakni pada masa Rasulullah. Karena Rasulullah dianggap sebagai mufassir pertama yang meretas jalan bagi tumbuh dan berkembangnya tafsir al-Qur'an hingga dewasa ini. Bahwa Rasulullah berfungsi ganda –sebagai perantara sampainya wahyu Allah kepada umat manusia sekaligus mufassir bagi wahyu yang dibawanya –adalah realitas yang tidak bisa diingkari. Sebagaimana ditegaskan Allah dalam surat an-Nahl ayat 64. `Þm É AÞu5 % Ä2Íz 8´P9Í)µ x´ V ¡*«Þ µlµß Æá *Ýa uµ 4Ü µQ A+Ýs u@kÎK (64 :[ )ﺍﻟﻨﺤﻞJÉAµ%ÝÉe Artinya: Dan Kami tidak menurunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur'an) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. (Q.S. An-Nahl : 64)
4
218-225.
M. Al-Fatih Suryadilaga, dkk., Metodoogi Ilmu Tafsir, cet. I, teras, yogyakarta, 2005, h.
14
Allah memberikan hak dan kewenangan pada Rasulullah untuk menafsirkan al-Qur'an. Penafsiran Rasulullah biasanya bermula dari kemusykilan yang dihadapi oleh para sahabat dalam memahami ayat-ayat al-Qur'an. Bahkan para sahabat secara sengaja mendatangi Rasulullah untuk sekedar mengetahui kandungan makna yang terdapat dalam ayat alQur'an yang baru saja mereka pelajari.5 Selain menafsirkan al-Qur'an dengan al-Qur'an Rasulullah juga menafsirkan al-Qur'an dengan sunnah. Contoh penafsiran al-Qur'an dengan al-Qur'an diantaranya; kata dzulm (
)ﻇﻠﻢpada surat al-An’am ayat 82 ditafsirkan dengan syirk ( ) ﺷﺮﻙdalam surat Luqman ayat 13. Kata at-Thaariq ( ) ﺍﻟﻄﺎﺭﻙpada surat ath-Thariq ayat 1 ditafsirkan dengan al-Najmu al-tsaqib ( ) ﺍﻟﻨﺠﻢ ﺍﻟﺜﺎﻗﺐdalam surat yang sama ayat 3. Kata lailatin mubaarakatin ( ) ﻟﻴﻠﺔ ﻣﺒﺎﺭﻛﺔpada surat al-Dukhan ayat 31 diafsirkan dengan lailati al-qadar ( ) ﻟﻴﻠﺔ ﻗﺪﺭpada surat al-qadarr ayat 1, dan lailati al-qadar ditafsirkan dengan syahru ramadhan ( ﺷﻬﺮ
)ﺭﻣﻀﺎﻥpada surat al-Baqarah ayat 185. Adapun contoh penafsiran al-Qur'an dengan as-sunnah diantaranya adalah; kata al-shalawat al-wustha ( ) ﺍﻟﺼﻠﻮﺓ ﺍﻟﻮﺳﻂpada surat al-Baqarah ayat 238 ditafsirkan dengan shalat ashar. Kata al-maghdlubi alaihim dan al-dlollin ( ﺍﻟﻀﺎ ﻟﲔ, ) ﺍﳌﻐﻀﻮﺏ ﻋﻠﻴﻬﻢpada surat al-Fatihah ayat 7 ditafsirkan dengan Yahudi dan Nasrani. Kata quwwah (ﺓ ) ﻗﻮpada surat al-Anfal ayat 60 ditafsirkan dan al-romyu () ﺍﻟﺮﻣﻲ. Kata kiflain ( ) ﻛﻔﻠﲔpada surat al-
5
Ahkmad Arif Junaidi, Pembaharuan Metodologi Tafsir al-Qur'an, Studi Atas Pemikiran Tafsir Kontekstual Fazlur Rahman, Cet. I, Gunungjati, Semarang, 2000, h. 29-30.
15
Hadid ayat 28 ditafsirkan dengan di’fani () ﺿﻌﻔﺎﻥ. Kata awwibi (ﰊ ) ﺍﻭpada surat Saba ayat 10 ditafsirkan dengan sabbihi (ﺤﻲ) ﺳﺒ.6 Rasulullah selalu memberikan penjelasan dan penafsiran tentang kemusykilan-kemusykilan yang dihadapi para sahabat hingga beliau wafatnya pada tahun 11 H, meskipun harus diakui bahwa tidak semua penafsiran dan penjelasan Nabi dapat diketahui. Di samping itu, pada periode tersebut penafsiran al-Qur'an belum terkodifikasi, karena kegiatan tulis menulis pada masa itu masih jarang sekali dan periwayatan tafsir masih terbatas pada penyampaian secara lisan saja.7 Semenjak Rasulullah wafat, para sahabat tampil ke muka untuk mengelaborasikan ayat-ayat al-Qur'an. Kalau pada masa Rasulullah para sahabat bisa langsung bertanya padanya tentang kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi, maka setelah wafatnya, mereka melakukan ijtihad sendiri dalam menafsirkan al-Qur'an,8 dan tetap berpegang pada al-Qur'an dan sunnah Nabi. Dalam menafsirkan al-Qur'an, para sahabat berpegang pada; pertama al-Qur'an itu sendiri. Dimana ayat al-Qur'an yang masih bersifat global terdapat penjelasannya pada ayat lain, begitu pula ayat-ayat yang masih bersifat mutlak atau umum, pada ayat lain terdapat qayid atau yang mengkhususkannya. Kedua, dikembalikan kepada Nabi. Hal ini dilakukan karena beliau merupakan penafsir pertama bagi al-Qur'an, dan diantara kandungan al-Qur'an terdapat ayat-ayat yang tidak dapat diketahui ta’wilnya kecuali penjelasan Rasulullah. Misalnya rincian tentang perintah dan larangan-Nya serta ketentuan mengenai hukum-hukum yang difardukan-Nya. Ketiga, melalui pemahaman dan ijtihad. Apabila para sahabat tidak mendapatkan tafsiran dalam al-Qur'an dan tidak pula mendapatkan sesuatu pun yang berhubungan dengan hal itu dari 6
Mannaa Khalil Al-Qattan, op.cit., h. 468 bandingkan Muhammad Ali Sh-Shabuny, op.cit., h. 206-209. 7 Ahkmad Arif Junaidi, op.cit., h. 31. 8 Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Mizan, Bandung, 1994, h. 71.
16
Rasulullah, mereka melakukan ijtihad dengan mengerahkan segenap kemampuan nalar. Hal ini mengingat mereka adalah orang-orang Arab asli yang sangat menguasai bahasa Arab, memahaminya dengan baik dan mengetahui aspek-aspek ke-balaghah-an yang ada di dalamnya.9 Banyak sahabat yang ahli menafsirkan al-Qur'an, tetapi yang terkenal diantara mereka ada 10 orang, yaitu khalifah empat, Ibn Mas'ud, Ibnu Abbas, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa Al-Asy’ari, dan Abdullah bin Zubair.10 Diantara khalifah empat yang banyak diterima tafsirnya dan disampaikan kepada masyarakat ialah Ali bin Abi Thalib. Adapun khalifah yang lain sedikit sekali tafsirnya, karena beliau-beliau lebih dahulu wafat. Diantara nama-nama sahabat yang disebutkan di atas, yang paling terkenal adalah Ibnu Abbas.11 Beliau mendapat julukan Tarjamul qur’an.12 Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Mas’ud: “Sebaik-baik terjemah oleh Ibnu Abbas.” Mujahid juga mengatakan: “Ibnu Abbas dijuluki dengan Albahru atau lautan, karena banyak ilmunya.13 Sedangkan Umar bin Khatab memasukkan Ibnu Abbas ke dalam sekh-syekh Badar.14 Keistimewaan Ibnu Abbas dalam memahami gharibul-qur’an (kesulitan-kesulitan al-Qur'an) karena mempunyai banyak pengetahuan mengenai syair-syair Arab (raja-raja) dan pengetahuan bahasa Arab yang mendalam. Sebagaimana do’a kepada Ibnu Abbas:
ﻳ ِﻦ ﻭﻋﻠﹼﻤﻪ ﺍﻟﺘﺄﻭﻳﻞﻪ ِﻓﻰ ﺍﹼﻟ ِﺪ ﻬ ﻢ ﹶﻓ ِّﻘ ﻬ ﹶﺍﻟﹼﻠ 9
Mannaa Khalil Al-Qattan, op.cit., h. 470-472. Sumber lain menyebutkan Aisyah di dalamnya, dan tidak menyebutkan Abu Musa AlAsy’ari. Lihat Kahar Masyhur, Pokok-pokok Ulumul Qur’an, cet.I, Rineka Cipta, Jakarta, 1992, h. 166-167. 11 Namanya adalah Abdullah bin Abbas anak dari Abbas paman Nabi. Ia lahir 3 tahun sebelum hijrah. Dalam kesehariannya Ibnu Abbas sudah biasa bergaul dengan Nabi. Hingga pada suatu saat Nabi mendekatkannya ke dada beliau dan mendo’akan: (ﺍﻟﻠﻬﻢ ﻋﻠﹼﻤﻪ ﺍﳊﻜﻤﺔYa Allah, ajarkanlah kepadanya hikmah. HR. Bukhari). Dalam riwayat lain, “Ya Allah, ajarkanlah kepadanya al-Qur’an.” Muhammad bin Saleh al-‘Utsaimin, Ushulun fi al-Tafsir, terj. S. Agil Husain Al-Munawar, dan Ahmad Rifqi Mukhtar, Cet. I, Dina Utama, Semarang, 1989, h. 45. 12 M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu-ilmu Al-Qur’an, Pustaka Rizki Putra, Semarang, 2002, h. 200. 13 Kahar Masyhur, op.cit., h. 167. 14 Ibid. h. 168. 10
17
Artinya: “Ya Allah berilah ia kedalaman pemahaman mengenai agama dan ajari ia tafsir.” Contoh keahlian Ibnu Abbas dalam menafsirkan al-Qur'an suatu hari Umar bin Khathab menyertakan Ibnu Abbas dalam suatu pertemuan. Umar berkata, “Apa pendapat kalian tentang firman Allah dalam surat:
ﺍﺫﺍﺟﺎ ﺀ ﻧﺼﺮﺍﷲ ﻭﺍﻟﻔﺘﺢ hingga ayat terakhir.” Sebagian mereka menjawab: “(Dalam surat ini) kita diperintahkan memuji dan beristighfar kepada Allah jika kita mendapatkan kemenangan.” Sebagian yang lain berdiam diri. Lalu Umar bertanya kepada Ibnu Abbas:”Seperti tadikah pendapat engkau?” Ibnu Abbas menjawab: “Surat ini menandakan dekatnya ajal Rasulullah, Allah memberitahukannya dengan datangnya pertolongan dan kemenangan (fathu Makkah) seolah-olah Allah mengatakan: “Itu adalah tanda ajal engkau, maka bertasbihlah dengan memuji dan bersitighfar kepada Tuhanmu, maka sesungguhnya Dia Maha Penerima taubat.” Umar berkata: “Sungguh saya tidak mengetahui seperti yang engkau ketahui.”15 Kehebatan Ibnu Abbas dalam menafsirkan al-Qur'an tidak terbantahkan lagi, sehingga dikatakan ada tafsir yang berasal dari Ibnu Abbas dan dicetak di Mesir yang dinamakan Tafsirul-Miqyas (standar tafsir) dan dikumpulkan oleh Thahir Muhammad bin Yakub Fairuzi Ayaadi Assyafi’i. Adapun metode yang terbaik dari Ibnu Abbas adalah metode Mu’awiyah bin Saleh dari Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu Abbas. Ini adalah metode yang paling mudah menjadi pegangan bagi Bukhari, Muslim, Ahmad dan Ashhasbus-sunan. Tafsir-tafsir lain yang berasal dari Ibnu Abbas kebanyakan beredar pada Muhammad bin Marwan Assad, Asshagir, dan Muhammad bin Sa’ib Kilabi. Selain metode Mu’awiyah, yaitu metode yang kedua dan sahih menurut syarat Syaikhani (Bukhari dan Muslim) ialah metode Qais bin 15
Ibid.
18
Muslim dari Kufah, berasal dari ‘Atkah bin Saa’ib, dari Sa’ad bin Zubair dari Ibnu Abbas.16 Adapun karir Ibnu Abbas adalah khalifah Utsman memberikannya kekuasaan pada musim haji tahun 35 H, sedang Ali Bin Abi Thalib memberikannya kekuasaan atas Bashrah. Ketika Ustman terbunuh, Ibnu Abbas berangkat ke Hijaz dan menetap di Makkah. Setelah itu pegi ke Thaif hingga meninggal di kota tersebut tahun 68 H dalam usia 71 tahun.17 Ahli tafsir di kalangan sahabat yang terkenal selain Ibnu Abbas adalah Ibnu Mas'ud.18 Beliau sempat mempelajari lebih dari 70 surat dalam al-Qur'an, sebagaimana Nabi pernah bersabda: ”Barang siapa yang hendak membaca al-Qur'an setepat diturunkan, hendaklah ia membacanya menurut bacaan Ibnu Umi Abd (Ibnu Mas'ud).” Abdullah bin Mas’ud termasuk orang yang berkhidmat pada Nabi. Beliau mempersiapkan sandal, air wudlu , dan bantal Nabi, hingga Abu Musa Al-Asy’ari berkata: “Suatu saat saya dan saudara saya datang dari Yaman, lalu kami berhenti (singgah) sebentar, ketika itu pula kami melihat dari keluar masuknya beliau dan ibunya ke rumah Nabi, bahwa beliau termasuk ahli bait Nabi.”19
16
Kahar Masykur, op.cit., h. 168. Bandingkan Said Agil Husain Al-Munawar, Al-Qur’an Membangun Kesalehan Hakiki, Cet. IV, Ciputat Press, Jakarta , 2005, h. 68. 17 Muhammad bin Saleh Al-‘Utsaimin, op.cit., h. 46. 18 Nama lengkapnya adalah Abdullah bin Mas’ud bin Ghafil al-Hadzli. Ibunya bernama Ummu Abd dan terkadang dinisbatkan kepada ibunya. Beliau termasuk orang-orang yang pertama kali masuk Islam, turut serta berhijrah pada dua hijrah dan peperangan Badar serta peperangan lainnya. Ibid. h. 44. 19 Ahlul bait (kata bait dengan al atau tanpa al) disebut sebanyak tiga kali yaitu pada surat al-Qashash ayat 12, surat al-Ahzab ayat 33 surat Hud ayat 73. Secara umum arti kata ahlul bait adalah anggota (ahli, penghuni) keluarga. Tetapi alQur’an dalam surat al-Ahzab ayat 33 secara khusus mengidentifikasinya sebagai keluarga dan keturunan Nabi Saw. Istilah ini identik dengan ahlal bait dan juga ‘Ali-Muhammad (keluarga Nabi Muhammad). Namun batasan siapa yang termasuk ahlul bait ini menjadi sumber kontroversi, khususnya di kalangan syi’ah, yang menganggap kepemimpinan umat berada pada ahlul bait. Memang, sepeninggal Nabi untuk periode yang cukup lama keluarganya tidak mendapatkan hak istimewa apapun dalam tatanan kepemimpinan umat. Perbedaan interpretasi tentang ahli bait secara umum dibagi menjadi dua aliran. Syi’ah Imaniah membatasi ahlul bait hanya kepada keturunan Nabi saja, yang berarti keturunan Fatimah dengan Ali. Kelompok lain mendasarkan keanggotaan ahlul bait kepada keterkaitan anggota keluarga dalam urusan warisan baik zawul arham maupun ‘asabat, sehingga mencakup semua keturunan Hasyim atau bahkan Quraisy secara umum dan kadang-kadang menjangkau “para ahli
19
Pada masa pemerintahan Umar bin Khattab, beliau diutus ke Kufah untuk mengajarkan kepada penduduknya ajaran-ajaran agama. Pada masa pemerintahan Utsman, beliau diangkat sebagai Amir di Kufah, dan setelah beberapa lama dipanggil kembali ke Madinah hingga wafat pada tahun 32 H. Beliau dimakamkan di pemakaman Baqi’ dalam usia 70 tahun lebih.20 Adapun ahli tafsir yang terkenal diantara khalifah empat adalah Ali bin Abi Thalib.21 Sebagaimana Rasulullah pernah mengatakan kepada Ali: “ Relakah engkau ditempatkan disampingku bagaikan Nabi Harun as. di samping Nabi Musa as, hanya saja tidak ada Nabi setelahku?” Beliau terkenal dengan keberaniannya dan kepintarannya dalam bidang ilmu dan kesucian jiwa. Suatu riwayat mengatakan bahwa tanyakanlah saya tentang kitabullah! Demi Allah, tidak satu ayat pun dalam kitabullah, kecuali saya mengetahui diturunkannya siang atau malam hari. Ibnu Abbas mengatakan: “Bila datang kepada kami riwayat seorang yang jujur mengatakan dari Ali ra. Kami tidak akan menyimpang darinya.” Riwayat lain mengatakan: “ Saya tidak akan mengambil riwayat tafsir al-Qur'an melainkan dari Ali ra.” Ali bin Abi Thalib termasuk anggota musyawarah yang ditunjuk Umar bin Khatab untuk menentukan seorang khalifah. Abdurrahman bin ‘Auf menawarkan kepada beliau masalah kekhalifahan, namun belaiu enggan kecuali dengan beberapa syarat yang tidak diterima oleh sebagian anggota. Kemudian Abdurrahman bin ‘Auf membai’at Utsman untuk menjadi khalifah, dan dilanjutkan oleh Ali dan lainnya. Beliau dibai’at
Ka’bah,” yaitu seluruh umat Islam. M. Ishom, El Saha, M.A. dan Saiful Hadi, S.Ag., Sketsa AlQur’an, cet. I, Listafariska Putra, Jakarta, 2005, h. 27-28. 20
Muhammad bin Saleh Al-‘Utsaimin, op.cit., h.44. Ali bin Abi Thalib adalah sepupu Nabi sekaligus menantunya, suami Fatimah AzZahra, dan termasuk salah satu khulafa al-Rasyidin, dengan nama julukan yaitu Abu al-Hasan dan Abu Turab. Beliau dilahirkan sepuluh tahun sebelum kebangkitan Nabi Saw. dan tumbuh terdidik dalam pangkuan Rasulullah. Beliau turut dalam setiap peperangan, pemegang bendera Islam pada sebagian besar peperangan. Beliau tidak pernah tertinggal, kecuali perang Tabuk, karena sengaja ditinggalkan oleh Rasulullah agar dapat menjaga keluarganya. Lihat Ibid. h. 43. 21
20
menjadi khalifah setelah Utsman, hingga terbunuh pada malam ke-17 bulan Ramadhan tahun 40 H di Kufah sebagai syahid.22 Ketika wilayah Islam semakin luas –sebagai hasil nyata dari penaklukkan -penaklukkan tentara Islam ke wilayah-wilayah atau negara sekitarnya –para sahabat pun banyak yang berpindah ke wilayah-wilayah baru yang ditaklukkan, termasuk juga para sahabat ahli tafsir. Di wilayah yang baru tersebut para sahabat ahli tafsir banyak yang mendirikan madrasah-madrasah tafsir. Dari situlah tafsir berkembang pesat di kalangan generasi setelah sahabat, yaitu generasi tabi’in. Madrasahmadrasah tafsir yang didirikan para mufassir sahabat tersebut banyak memunculkan ahli tafsir di kalangan tabi’in yang kemudian juga banyak tersebar ke wilayah-wilayah lain.23 Di Makkah, misalnya, berdiri perguruan Ibnu Abbas. Diantara muridnya yang terkenal adalah Sa’id bin Jubair (w. 94 H), Ikrimah Maula Ibni Abbas, Tawus bin Kaisan al-Yamani (w. 106 H) dan Ata’ bin Abi Rabah (w.115 H). Mereka ini semuanya dari golongan maula (sahaya yang telah dibebaskan). Dalam hal periwayatan tafsir dari Ibnu Abbas, mereka tidaklah setingkat; ada yang sedikit dan ada pula yang banyak, sebagaimana para ulama pun berbeda pendapat mengenai kadar “keterpercayaan” dan kredibilitas mereka. Dan yang mempunyai kelebihan diantara mereka tetapi mendapat sorotan adalah Ikrimah. Para ulama berbeda pandangan di sekitar penilaian terhadap kredibilitasnya meskipun mereka mengakui keilmuan dan keutamaannya. Di Madinah, Ubay bin Ka’ab lebih terkenal di bidang tafsir dari pada orang lain. Pendapat-pendapatnya tentang tafsir banyak dinukilkan generasi sesudahnya. Diantara murid-muridnya dari kalangan tabi’in, yang belajar kepadanya secara langsung atau tidak, yang terkenal adalah Zaid bin Aslam (w. 136 H), Abu ‘Aliyah dan Muhammad bin Ka’ab al-Qurazi (keduanya hidup pada abad I H). 22 23
Ibid. Ahkmad Arif Junaidi, op.cit., h. 33.
21
Di Irak berdiri perguruan Ibnu Mas'ud yang dipandang oleh para ulama sebagai cikal bakal mazhab ahli ra’y. dan banyak pula tabiin di Irak yang terkenal dalam bidang tafsir. Yang masyhur diantaranya ialah Alqamah bin Qais, Masruq, al-Aswad bin Yazid, Murrah al-Hamazan, Amir asy-Sya’bi, Hasan al-Basri (w. 110 H) dan Qatadah bin Di’amah asSadusi (w. 117 H). Para ulama berbeda pendapat tentang tafsir yang berasal dari tabiin jika tafsir tersebut tidak diriwayatkan sedikitpun dari Rasulullah atau para sahabat; apakah pendapat mereka itu dapat dipegangi atau tidak? Segolongan ulama berpendapat, tafsir mereka tidak (harus) dijadikan pegangan, sebab mereka tidak menyaksikan peristiwa-peristiwa atau situasi dan kondisi yang berkenaan dengan turunnya ayat-ayat alQur'an, sehingga mereka dapat saja berbuat salah dalam memahami apa yang dimaksud. Sebaliknya, banyak mufasir berpendapat, tafsir mereka dapat dipegangi, sebab pada umumnya mereka menerimanya dari para sahabat. Pendapat yang kuat ialah jika para tabiin sepakat atas sesuatu pendapat,
maka
bagi
kita
wajib
menerimanya,
meninggalkannya untuk mengambil yang lain.
tidak
boleh
24
Pada masa ini, tafsir tetap konsisten dengan cara khas, penerimaan dan periwayatan. Akan tetapi setelah banyak ahli kitab Islam, para tabi’in banyak menukil dari mereka cerita-cerita israiliyat yang kemudian dimasukkan ke dalam tafsir. Misalnya, yang didiriwayatkan dari Abdullah bin Salam, Ka’bul Ahbar, Wahb bin Munabbih, dan Abdul Malik bin Abdul Aziz bin Juraij. Di samping itu, pada masa ini, mulai timbul silang pendapat mengenai status tafsir yang diriwayatkan dari mereka karena banyak pendapat-pendapat mereka. Namun demikian pendapat-pendapat tersebut sebenarnya berdekatan satu dengan yang lain atau hanya merupakan sinonim semata. Dengan demikian perbedaan itu hanya dari 24
Mannaa Khalil Al-Qattan, op.cit., h. 33, bandingkan Muhammad bin Saleh Al‘Utsaimin, op.cit., h. 46., dan Drs. Kahar Masyhur, op.cit., h. 169.
22
segi redaksional, bukan perbedaan yang saling bertentangan dan kontradiktif.25 2. Periode Pembukuan Tafsir Pelacakan sejarah tafsir al-Qur'an tidak bisa dilepaskan dari sejarah kodifikasi hadits Nabi. Karena sebagaimana diketahui, pada tahap awal penyusunan tafsir masih bercampur- baur dengan kodifikasi hadits. Sejarah kodifikasi tafsir bermula dari kekhawatiran Umar ibn Abdul Aziz, khalifah Bani Umayah ke-8, akan timbulnya pemalsuan dan punahnya hadits Nabi. Kekhawatiran tersebut berlanjut dengan pengiriman surat perintah sang khalifah kepada seluruh pejabat dan ulama berbagai wilayah pada akhir tahun 100 H. Isi surat perintah tersebut adalah agar seluruh hadits Nabi yang ada di wilayah tersebut dihimpun. Surat perintah tersebut menjadi dasar hukum bagi upaya kodifikasi hadits Nabi hampir diseluruh wilayah Islam. Kurangnya tingkat selektifitas dalam kegiatan kodifikasi hadits Nabi agaknya memberi celah bagi munculnya embrio kodifikasi tafsir alQur'an. Para ulama ahli hadits yang mengembara ke berbagai wilayah untuk mencari, mengumpulkan, dan mengkodifikasikan hadits Nabi pada akhirnya memasukkan produk-produk penafsiran al-Qur'an ke dalam kitab hadits mereka. Produk-produk penafsiran al-Qur'an yang dinisbakan kepada Rasulullah, sahabat dan tabiin tersebut biasanya masuk ke dalam satu bab tersendiri dalam kitab hadits tersebut.26 Sehingga dikatakan pada masa ini kegiatan membukukan tafsir belum mandiri, karena masih numpang dalam kitab-kitab hadits. Tokoh-tokoh yang terkenal pada masa ini adalah Yazid bin Harun as-Sulami (w. 117 H), Syu’bah bin al-Hajjaj (w.160 H), Waki’ bin Jarrah (w. 197 H), Sufyan bin Uyainah (w. 198 H ), Rauh bin ‘Ubadah al-Bisri (w. 205 H), Abdurrazaq bin Hummam (w. 211 H), Adam bin Abu Iyas (w. 220 H), dan ‘Abd bin Humaid (w. 249 H). Tafsir golongan ini sedikit pun 25 26
Mannaa Khalil Al-Qattan, Ibid. h. 476. Ahkmad Arif Junaidi, op.cit., h. 35.
23
tidak ada yang sampai kepada kita. Yang kita terima hanyalah nukilannukilan yang dinisbatkan kepada mereka sebagaimana termuat dalam kitab-kitab tafsir bil ma’tsur. Sesudah golongan tersebut di atas datanglah generasi berikutnya yang menulis tafsir secara khusus dan independen serta menjadikannya ilmu yang yang berdiri sendiri dan terpisah dari hadits. Al-Qur'an mereka tafsirkan secara sistematis sesuai dengan tertib mushaf. Di antara mereka adalah Ibnu Majah (w. 273 H), Ibnu Jarir at-Thabari (w. 310 H), Abu Bakar bin al-Mundzir an-Naisaburi (w. 318 H), Ibnu Abi Hakim (w. 327 H), Abusy-Syaikh bin Hibban (w. 369 H), Al-Hakim (w. 405 H), dan Abu Bakar bin Mardawaih (w. 410 H). Tafsir generasi ini memuat riwayat-riwayat yang disandarkan kepada Rasulullah, sahabat, tabi’it tabi’in, dan terkadang disertai pentarjih-an terhadap pendapat-pendapat yang diriwayatkan dan penyimpulan (istimbat) sejumlah hukum serta penjelasan kedudukan kata (i’rab) jika diperlukan, sebagaimana dilakukan Ibnu Jarir at-Thabari. Pada perkembangan selanjutnya, di mana ilmu pengetahuan telah berkembang
dengan
pesat,
pembukuan
tafsir
telah
mencapai
kesempurnaan, cabang-cabangnya bermunculan, perbedaan pendapat terus meningkat, masalah-masalah “kalam” semakin berkobar, fanatisme mazhab menjadi serius dan ilmu-ilmu filsafat bercorak rasional bercampur-baur dengan ilmu-ilmu naqli serta setiap golongan berupaya mendukung mazhab masing-masing. Ini semua menyebabkan tafsir ternoda, sehingga para mufasir dalam menafsirkan al-Qur'an berpegang pada pemahaman pribadi dan mengarah ke berbagai kecenderungan. Ahli ilmu rasional hanya memperhatikan dalam tafsirannya kata-kata pujangga dan filosof, seperti Fakhruddin al-Razi (w. 606 H). Ahli fikih hanya membahas soal-soal fikih, seperti Al-Jassas dan Al-Qurtubi. Sejarawan hanya mementingkan kisah dan berita-berita, seperti Al-Salabi (w. 426 H) dan
Al-Khazin.
Demikian
pula
golongan
ahli
bid’ah
berupaya
menta’wilkan kalamullah menurut selera mazhabnya yang rusak itu,
24
seperti Al-Rummani, Al-Juba’i, Al-Qadi Abdul Jabbar, dan Zamakhsyari (w. 538 H) dari kaum Mu’tazilah, Mala Muhsin al-Kasyi dari golongan Syi’ah Imamiah al-Isna ‘Asyriyah, dan golongan ahli tasawuf hanya mengemukakan makna-makna isyari, seperti Ibnu ‘Arabi.27
3. Macam-macam Metode dan Corak Tafsir Untuk menghasilkan suatu produk penafsiran yang dapat dipertanggungjawabkan, seorang mufasir harus menggunakan metode28 yang memadai. Dalam sejarah perkembangan tafsir banyak berkembang metode penafsiran yang dipergunakan oleh para mufasir untuk menafsirkan al-Qur'an. Berikut ini akan ditampilkan metode tafsir, sebagaimana diungkapkan oleh al-Farmawy adalah metode tahlili, ijmali, muqarin, dan maudlu’iy.29 Metode pertama yakni metode tahlily (analitis), dimana Baqir Shadr30 menyebutkannya dengan metode tajzi’iy, yaitu suatu metode tafsir dimana mufasirnya berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur'an dari berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat-ayat dan suratsurat al-Qur'an sebagaimana yang tercantum dalam mushaf.31 27 Mannaa Khalil Al-Qattan, op.cit., h. 477 bandingkan Allamah Sayyid Muhammad Husain Thabathaba’I, Al-Quran Fi Al-Islam, Terj. A. Malik Madani dan Hamim Ilyas, cet. I, Mizan, Bandung, 1987, h. 66-67. 28 Kata Metode dalam bahasa Arab adalah manhaj dan thariqat yang berarti cara, dan dalam bahasa Indonesia berarti; cara yang teratur dan terpikit baik-baik untuk mencapai maksud; cara kerja yang tersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai suatu yang ditentukan. Berarti metode tafsir adalah suatu cara yang teratur untuk mencapai pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksudkan Allah di dalam ayat-ayat al-Quran yang diturunkan kepada Nabi Muhamad Saw. Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, edisi II, Pustaka Progressif, Yoyakarta, 1997, h. 489 dan Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. I, Balai Pustaka, Jakarta, 1988, h. 580-581 Bandingkan Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, cet. 9. Balai Pustaka, Jakarta, 1986, h. 649. 29 Abdul Hayy al-Farmawy, Metode Tafsir Maudhui, Terj. Rosihan Anwar, M.Ag., Cet. Pustaka Setia, Bandung, 2002, h. 23. 30 Nama lengkapnya adalah Ayatullah Baqir Shadr. Lahir pada tanggal 25 Dzul-Qaidah 1353 H. Beliau adalah seorang ulama terkenal dari Irak, dan meninggal karena dibunuh pada malam 9 April 1980, karena dianggap membahayakan pemerintahan Ba’as di Irak. 31 Muhammad Baqir Shadr, Al-Tafsir al-Maudlu’i wa al-tafsir al-Takziiy fi al-Qur’an al Karim, Dar al-Taaruf li al-Mathbu’ah, Beirut, tt, h. 10. Lihat juga bukunya yang lain, Tren of
25
Dalam menafsirkan al-Qur'an dengan menggunakan metode ini, mufasir menguraikan hal-hal sebagai berikut; arti kosa kata, asbabunnuzul, munasabah, konotasi kalimatnya, pendapat-pendapat yang telah diberikan berkenaan dengan tafsiran ayat-ayat tersebut, baik yang disampaikan oleh Nabi, sahabat, tabiin, maupun ahli tafsir lainnya.32 Prosedur ini dilakukan dengan mengikuti susunan mushaf, ayat per ayat dan surat per surat. Metode ini terkadang menyertakan pula perkembangan kebudayaan generasi Nabi sampai tabiin, terkadang pula diisi dengan uraian-uraian kebahasaan dan materi-materi khusus lainnya yang kesemuanya ditujukan untuk memahami al-Qur'an yang mulia.33 Perlu dicatat bahwa yang menjadi ciri dalam metode ini bukan menafsirkan al-Qur'an dari awal mushaf sampai akhirnya, melainkan terletak pada pola dari pembahasan dan analisisnya. Artinya, selama pembahasan tidak mengikuti pola perbandingan, atau tipikal, atau juga global, maka penafsiran tersebut dapat digolongkan ke dalam tafsir tahlili, sekalipun uraiannya tidak mencakup keseluruhan mushaf mulai dari surat al-Fatihah sampai surat an-Nas, seperti; tafsir al-Manar karya monumental Rasyid Ridha. Walaupun kitab tafsir ini belum menafsirkan al-Qur'an sampai akhir mushaf, kitab tersebut tetap dapat dikategorikan ke dalam tafsir tahlili.34 Kelebihan dari metode ini, pertama, mempunyai ruang lingkup yang luas, artinya dapat dikembangkan dalam berbagai corak penafsiran sesuai dengan keahlian masing-masing mufasir. Kedua, memuat berbagai ide, di mana mufasir diberi kesempatan yang luas untuk mencurahkan ideide dan gagasannya dalam menafsirkan al-Qur'an. Itu artinya pola penafsiran metode ini dapat menampung berbagai ide yang terpendam di
History in Qur’an, Terj. M.S. Nasrullah dengan judul Sejarah dalam Perspektif Al-Qur’an, Pustaka Pelajar, Jakarta, 1993, h.56. Bandingkan Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama, Sebuah Kajian Heremeneutik, Paramadina, Jakarta, 1996, h. 190. 32 Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an, cet. II, Pustaka Pelajar, 2000, h. 31. Bandingkan Quraisy Syihab, op.cit., h. 86. 33 Abdul Hayy al-Farmawy, op.cit., h.24. 34 Nashruddin Baidan, op.cit., h. 52.
26
dalam benak mufasir, bahkan ide-ide jahat dan ekstrim pun dapat ditampungnya. Kelemahan dari metode ini, pertama, menjadikan petunjuk alQur'an parsial atau terpecah-pecah, sehingga terasa seakan-akan al-Qur'an memberikan pedoman secara tidak utuh dan tidak konsisten, karena penafsiran yang diberikan pada suatu ayat berbeda dari penafsiran yang diberikan pada ayat-ayat yang lain yang sama dengannya. Kedua, melahirkan subjektif, di mana metode ini memberikan peluang yang luas sekali kepada mufasir untuk mengemukakan ide-ide dan pemikirannya, sehingga kadang-kadang ia tidak sadar bahwa dia telah menafsirkan alQur'an secara subjektif, dan tidak mustahil pula di antara mereka yang menafsirkan al-Qur'an sesuai dengan kemauan hawa nafsunya, tanpa mengindahkan kaidah-kaidah yang berlaku. Ketiga, masuknya pemikiran israiliyat.35 Seperti dikatakan Baqir Shadr, bahwa kelemahan dari metode ini adalah mufasir menggunakan semua sarana yang ada hanya untuk menemukan makna harfiah dari suatu ayat, atau hanya menghasilkan suatu mengkoordinasikan informasi dari ayat-ayat al-Qur'an serta tidak mampu menyuguhkan pandangan al-Qur'an berkenaan dengan berbagai persoalan kehidupan.36 Di samping itu, dalam metode ini sering ditemukan adanya upaya menemukan dalil atau dalih pembenaran pendapat dari para mufasir dengan ayat-ayat al-Qur'an dan juga tidak mampu memberi jawaban tuntas terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi sekaligus tidak banyak memberi pagar-pagar metodologis yang dapat mengurangi subjektifitas mufasirnya. Selain itu, sifat penafsiran sangat teoritis, tidak sepenuhnya mengacu kepada penafsiran persoalan-persoalan khusus yang mereka alami, sehingga uraian-uraian yang sangat teoritis dan umum tersebut
35 36
Ibid. 53-60. Muhammad Baqir Shadr, op.cit., h. 57.
27
mengesankan bahwa itulah pandangan al-Qur'an untuk setiap tempat dan waktu.37 Metode yang kedua adalah metode ijmaly (global), yaitu metode tafsir di mana mufasirnya berusaha menafsirkan al-Qur'an secara singkat dan global. Dengan metode ini, mufasir mengemukakan penafsiran yang tidak terlalu jauh dari bunyi teks ayat al-Qur'an. Mufasir memberikan penafsiran dengan cara yang paling mudah dan tidak berbelit-belit.38 Artinya, mufasir dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an menggunakan uraian yang ringkas tetapi mencakup, dengan bahasa yang populer, mudah dimengerti dan enak dibaca. Kitab tafsir yang termasuk kategori ini di antaranya adalah Kitab Tafsir Al-Qur'an al-Karim karya Muhammad Farid Wajdi, Al-Tafsir al-Wasith terbitan Majma’ al-Buhits al-Islamiyyat, Tafsir Jalalain karya Al-Mahally dan Al-Suyuthy, dan Taj al-Tafasir karya Muhammad Utsman al-Mirghani.39 Kelebihan dari metode ini, pertama, mudah dipahami dan praktis, tanpa berelit-belit pemahaman al-Qur'an segera dapat diserap oleh pembacanya. Pola penafsiran seperti ini lebih cocok untuk para pemula seperti mereka yang berada di jenjang pendidikan SLTA ke bawah, atau mereka yang baru belajar tafsir al-Qur'an. Demikian pula bagi mereka yang ingin memperoleh pemahaman ayat-ayat al-Qur'an dalam waktu yang relatif singkat. Kedua, bebas dari penafsiran israiliyat, karena penafsirannya lebih murni dan terbebas dari pemikiran-pemikiran israiliyat. Dengan demikian, pemahaman al-Qur'an akan dapat dijaga dari intervensi pemikiranpemikiran yang kadang-kadang tidak sejalan dengan martabat al-Qur'an sebagai kalam Allah yang Maha Suci. Selain itu juga dapat membendung pemikiran-pemikiran spekulatif yang dikembangkan oleh teolog, sufi, dan lain-lain. Ketiga, akrab dengan bahasa al-Qur'an sehingga pembaca tidak merasakan bahwa dia telah membaca kitab tafsir. 37
Quraisy Syihab, op.cit., h. 86-87. Komaruddin Hidayat, op.cit., h. 192. 39 Nashruddin Baidan, op.cit., h. 13. 38
28
Kekurangan metode ini adalah pertama, menjadi petunjuk alQur'an bersifat parsial. Kedua, tidak ada ruangan untuk mengemukakan analisis yang memadai. Dalam hal ini mufasir harus menyadari bahwa memang tidak ada ruangan bagi mereka untuk mengemukakan pembahasan-pembahasan yang memadai sesuai dengan keahlian mereka masing-masing.40 Dengan demikian, model penafsiran seperti ini tidak cukup untuk mengantarkan pembaca dalam mendialogkan al-Qur'an dengan persoalan sosial maupun problema keilmuan yang aktual dan problematis.41 Metode yang ketiga adalah metode muqarin (perbandingan). Dari berbagai literatur yang ada, dapat dirangkum bahwa yang dimaksud dengan metode komparatif ialah: 1) membandingkan teks (nash) ayat-ayat al-Qur'an yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih, dan atau memiliki redaksi yang berbeda bagi satu kasus yang sama; 2) membandingkan ayat al-Qur'an dengan hadits yang pada lahirnya terlihat bertentangan; 3) membandingkan berbagai pendapat ulama tafsir dalam menafsirkan al-Qur'an. Dari definisi tersebut terlihat jelas bahwa tafsir al-Qur'an dengan menggunakan metode ini ruang lingkupnya sangat luas.42 Jika dilaksanakan secara konsisten, tentu saja metode ini sangat bagus, bisa memperkaya wawasan pembacanya. Penafsir dituntut menguasai sekian banyak kepustakaan mengenai tafsir alQur'an, sejak dari salaf sampai kepustakaan kontemporer. Mengingat luasnya cakupan yang bisa diperbandingkan, biasanya tafsir muqarin hanya
membatasi
Sebagaimana
pada sejumlah ayat atau surat-surat tertentu.
diketahui,
berbeda-beda
kepekaan
dan
perhatian
intelektualnya, sekalipun yang dihadapi sama-sama al-Qur'an. Ada di antara mereka yang mengkhususkan kajiannya pada aspek hukum, filsafat,
40
Ibid., h.22-28. Komaruddin Hidayat, op.cit., h. 192. 42 Abdul Hayy al-Farmawy, op.cit., h.39, bandingkan M. Quraisy Syihab, Tafsir dengan Metode Maudhu’iy, di dalam beberapa aspek ilmiah tentang al-Qur’an, 1986, cet. h. 38., dan Zhahir ibn ‘Awwad al-Alma’i, Dirasat fi Tafsir al-Maudhu’ii, ttp., t. pn, 1405 H, h. 20-21. 41
29
tasawuf, kesusastraan, keilmuan, ekonomi, dan aspek-aspek lain yang memungkinkan, karena al-Qur'an terbuka untuk diajak dialog oleh setiap pembacanya.43 Adapun kitab tafsir yang masuk dalam kategori ini adalah Rawa’i al-Bayan Fi Tafsir Ayat al-Ahkam karya Ali Ash-Shabuny. Kelebihan metode ini adalah pertama, memberikan wawasan penafsiran yang relatif lebih luas kepada para pembaca bisa dibandingkan metode-metode yang lain. Di mana semua pendapat atau penafsiran yang diberikan itu dapat diterima selama proses penafsirannya melalui metode dan kaidah yang benar. Kedua, membuka pintu untuk selalu bersikap toleran terhadap pendapat orang lain yang kadang-kadang jauh berbeda dari pendapat kita dan tidak mustahil ada yang kontradiktif. Dengan demikian, dapat mengurangi fanatisme yang berlebihan kepada suatu madzhab atau aliran tertentu. Ketiga, metode ini sangat berguna bagi mereka yang ingin mengetahui berbagai pendapat tetapi suatu ayat. Oleh karena itu, penafsiran semacam ini cocok untuk mereka yang ingin mendalami dan memperluas penafsiran al-Qur'an. Keempat, mufasir didorong untuk mengkaji berbagai ayat dan hadits-hadits serta pendapatpendapat para mufasir yang lain. Dengan demikian, pola ini akan membuatnya lebih berhati-hati dalam proses penafsiran suatu ayat, sehingga penafsiran yang diberikannya relatif lebih terjamin kebenarannya dan lebih dapat dipercaya. Kekurangan metode ini adalah pertama, metode ini tidak dapat diberikan kepada para pemula, seperti mereka yang sedang belajar pada tingkat sekolah menengah ke bawah, karena pembahasan yang dikemukakan di dalamnya terlalu luas dan kadang-kadang bisa ekstrim. Kedua,
metode
ini
kurang
dapat
diandalkan
untuk
menjawab
permasalahan sosial yang tumbuh di tengah-tengah masyarakat. Hal itu disebabkan metode ini lebih mengutamakan perbandingan daripada pemecahan masalah. Ketiga, metode ini terkesan lebih banyak menelusuri penafsiran-penafsiran yang pernah diberikan oleh ulama daripada 43
Komaruddin Hidayat, op.cit., h. 193.
30
mengemukakan penafsiran-penafsiran baru. Sebenarnya hal ini bisa saja tidak terjadi apabila mufasir bisa mengaitkannya dengan kondisi yang dihadapinya.44 Metode ke empat adalah metode maudlu’iy (tematik), yaitu membahas ayat-ayat al-Qur'an sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan.45 Metode tafsir yang ide awalnya berasal dari Al-Syathiby dan mengkristal dalam tulisan Mahmud Syalthuth ini dalam operasionalnya mempunyai beberapa langkah. Pertama, menetapkan tema yang akan dibahas. Kedua, menginventarisir ayat-ayat yang berkaitan dengan tema tersebut. Ketiga, menyusun himpunan ayat yang tersebut sesuai dengan kronologi turunnya ayat yang dibarengi dengan pemahaman akan asbabunnuzulnya. Keempat, memahami munasabah ayat tersebut dalam suratnya masing-masing. Kelima, menyusun pembahasan dalam outline yang sempurna. Keenam, melengkapi pembahasan dengan hadits-hadits yang relevan dan yang terahir mempelajari ayat-ayatnya tersebut mempunyai pengertian yang sama atau mengkompromikan yang amm dan khash, mutlaq dan muqayyad, atau yang secara zhahir bertentangan, sehingga semuanya bertemu pada muara yang sama tanpa perbedaan atau pemaksaan.46 Selain penafsiran maudlu’iy dalam bentuk ayat, sebagaimana dikemukakan di atas, juga dikenal penafsiran maudlu’iy dalam bentuk surat, di mana sebuah surat dikaji dengan kajian yang universal (tidak parsial) yang di dalamnya dikemukakan misi awalnya lalu misi utamanya, serta kaitan antara satu bagian surat dan bagian yang lain, sehingga wajah surat itu mirip seperti bentuk yang sempurna dan saling melengkapi.47 Di antara tafsir yang termasuk kategori tafsir maudlu’iy, misalnya; Al-Insan Fi al-Qur'an dan Mar-at Fi al-Qur'an, keduanya karangan Mahmud al-‘Aqqad; Al-Riba Fi al-Qur'an karangan Al-Maududi. 44
Nashruddin Baidan, op.cit., h. 142-144. Ibid., h.151. 46 Akhmad Arif Junaidi, op.cit., 26. 47 Abdul Hayy al-Farmawy, op.cit., h.42. 45
31
Kelebihan metode ini adalah pertama, menjawab tantangan zaman, artinya metode ini ditujukan untuk menyelesaikan permasalahan. Di mana metode ini mengkaji semua ayat al-Qur'an yang berbicara tentang kasus yang sedang dibahas secara tuntas dari berbagai aspeknya. Kedua, praktis dan sistematis. Kondisi semacam ini sangat cocok dengan kehidupan umat yang semakin modern dengan mobilitas yang tinggi sehingga mereka seakan-akan tak punya waktu untuk membaca kitab-kitab tafsir yang besar, padahal untuk mendapatkan petunjuk al-Qur'an mereka harus membacanya. Ketiga, dinamis, artinya sesuai dengan tuntutan zaman sehingga menimbulkan image di dalam benak pembaca dan pendengarnya bahwa al-Qur'an senantiasa mengayomi dan membimbing kehidupan di muka bumi ini pada semua lapisan dan strata sosial. Keempat, membuat pemahaman menjadi utuh, karena tema-tema yang akan dibahas terlebih dahulu ditetapkan, sehingga pemahaman ayat-ayat al-Qur'an dapat diserap secara utuh. Kekurangan dari metode ini adalah pertama, memenggal ayat alQur'an, di mana cara ini kadang dipandang tidak sopan oleh kaum tekstualis. Kedua, membatasi pemahaman ayat. Dengan ditetapkannya tema atau judul penafsiran, maka pemahaman suatu ayat menjadi terbatas pada permasalahan yang dibahas tersebut. Padahal tidak mustahil satu ayat itu dapat ditinjau dari berbagai aspek.48 Sementara itu dalam menafsirkan al-Qur'an, para ulama ahli tafsir mempergunakan pendekatan-pendekatan yang berbeda. Tercatat ada dua pendekatan yang masyhur dan banyak digunakan oleh para ulama untuk memahami dan menafsirakan ayat-ayat al-Qur'an. Pertama, pendekatan bil ma’tsur, yaitu pendekatan yang berpegang teguh pada kesahihan manqul secara berurutan, yaitu menafsirkan al-Qur'an dengan al-Qur'an, apabila tidak ditemukan penjelasannya dalam ayat yang lain maka berpegang pada sunnah Nabi, kemudian qaul sahabat, bila ternyata masih belum ditemukan penjelasannya, maka berpegang pada pendapat pembesar tabiin (Kibarut 48
Nashruddin Baidan, op.cit., h. 165-168.
32
tabiin).49 Kitab tafsir yang termasuk dalam kategori ini diantaranya adalah Jami’ al-Bayan Fi Tafsir al-Qur'an karya monumental dari Ibnu Jarir alThabary dan Tafsir al-Qur'an al-Azim karya Ibn Katsir. Kelebihan dari tafsir dengan menggunakan pendekatan ini terletak pada kekayaan informasi kesejarahannya yang luas berdasarkan riwayat yang disampaikan, sehingga pembaca bisa mengenali peristiwa-peristiwa yang terjadi di seputar turunnya al-Qur'an dan suasana sosial psikologis Rasulullah dan para sahabat sewaktu al-Qur'an diturunkan. Sedangkan kelemahannya terletak pada munculnya periwayatan-periwayatan yang tanpa sanad meskipun hanya kecil prosentasenya. Di samping itu, mufasir hanya disibukkan oleh pembahasan tentang berbagai pendapat yang ada, sehingga pesan ayat menjadi terabaikan. Pendekatan yang kedua adalah pendekatan bil ra’yi, yaitu pendekatan tafsir yang didasarkan pada pemahaman yang mendalam dan disandarkan pada makna-makna lafadz al-Qur'an, setelah memahami madlul dan dalalah dari pernyataan-pernyataan al-Qur'an yang terangkai oleh lafadz tersebut.50 Adapun tafsir yang termasuk kategori ini adalah Mafatih al-Ghaib karya Al-Razi, Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil karya Al-Baidzawy, Al-Kasysyaf karya Zamakhsyary. Kelebihan yang dimiliki pendekatan tafsir ini terletak pada upayanya untuk menangkap pesan-pesan dan pemahaman al-Qur'an tidak secara tekstual serta tidak terkurungi oleh lingkup historis-sosiologis yang bersifat lokal, melainkan menggali substansi pesan al-Qur'an yang bersifat rasional dan universal yang hadir dalam “busana” lokal. Sedangkan kelemahannya terletak pada kesulitan kita untuk mengontrol pengaruh subyektif mufasir sehingga dikhawatirkan yang terjadi adalah penalaran penafsir yang disandarkan pada al-Qur'an.51 Sebagai dampak kemajuan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam muncullah 49
tafsir
dengan
berbagai
Mannaa Khalil Al-Qattan, op.cit., h. 482. Akhmad Arif Junaidi, op.cit., 27-29. 51 Ibid. 50
kecenderungannya.
Beberapa
33
kecenderungan atau corak yang nampak adalah pertama, corak sufistik. Terdapat dua aliran dalam corak sufistik, yaitu aliran tasawuf teoritis dan aliran tasawuf praktis. Penafsiran sebagaimana yang disalurkan oleh para ahli tasawuf teoritis ditolak oleh ulama, karena mereka menakwilkan ayat-ayat alQur'an tanpa mengikuti cara-cara yang benar. Dan penafsiran model ini sangat sedikit jumlahnya yang dapat diterima. Menurut Adz-Dzahabi, belum ada ulama tasawuf yang menyusun sebuah kitab tafsir khusus, yang di dalamnya dijelaskan ayat per ayat, seperti tafsir isyari, yang ditemukan hanyalah penafsiran-penafsiran al-Qur'an secara parsial yang dinisbatkan kepada Ibn Arabi, yaitu pada Kitab Al-Futuh al-Makiyyah dan Kitab AlFushush, keduanya ditulis oleh Ibn Arabi. Adapun penafsiran yang dilakukan oleh aliran tasawuf praktis adalah menakwilkan al-Qur'an dengan penjelasan yang berbeda dengan kandungan tekstualnya, yakni berupa isyarat-isyarat yang hanya dapat ditangkap oleh mereka yang sedang menjalankan suluk. Namun, tetap memungkinkan untuk menggabungkan antara penafsiran tekstual dan penafsiran isyarat itu. Dan ulama aliran ini menyebut karya tafsirnya dengan tafsir isyarat. Rupanya penafsiran ini bukanlah hal yang baru, sebagaimana sabda Nabi:
ﻊ ﻣ ﹾﻄﹶﻠ ﺪ ﺣ ﻭِﻟﻜﹸ ﱢﻞ ﺣﺪ ﻑ ٍ ﺮ ﺣ ﻭِﻟﻜﹸ ﱢﻞ ﻦ ﺑ ِﻄﻭ ﺮ ﻳ ٍﺔ ﹶﻇ ِﻬِﻟ ﹸﻜﻞﱢ ﺍ Setiap ayat memiliki makna lahir dan batin. Setiap huruf memiliki batasan-batasan tertentu. Dan setiap batasan memiliki tempat untuk melihatnya. Kitab tafsir yang termasuk kategori ini adalah Tafsir al-Qur'an al-Adzim karya Imam At-Tutsuri (w. 283 H), Haqaiq at-Tafsir karya Al-Allamah asSulami (w. 412 H), Arais al-Bayan Fi Haqaiq al-Qur'an karya Imam AsSyirazi (w. 606 H).52
52
Abdul Hayy al-Farmawy, op.cit., h.27-30.
34
Corak yang kedua adalah corak fiqih atau hukum. Bersamaan dengan lahirnya tafsir bil ma’tsur, lahirlah tafsir yang bercorak fiqih. Di mana keduanya dinukil tanpa dibeda-bedakan. Hal ini terjadi karena tatkala menemukan kemuskilan dalam memahami al-Qur'an, para sahabat – sebagaimana telah dijelaskan – langsung bertanya kepada Nabi dan beliaupun menjawabnya. Jawaban-jawaban Nabi ini, di samping dikategorikan sebagai tafsir bil ma’tsur, juga dikategorikan sebagai tafsir fiqih. Setelah nabi wafat, para sahabat berijtihad menggali sendiri hukumhukum syara dari al-Qur'an ketika mereka menghadapi permasalahanpermasalahan yang belum pernah terjadi pada masa Nabi. Ijtihad para sahabat pun di samping dikategorikan sebagai tafsir bil ma’tsur, juga dikategorikan sebagai tafsir fiqih. Demikian pula ijtihad para tabiin. Tafsir bercorak fiqih seiring dengan majunya intensitas ijtihad. Pada awalnya penafsiran-penafsiran fiqih lepas dari kontaminasi hawa nafsu dan motivasi-motivasi negatif. Hal itu berjalan sampai periode munculnya madzhab fiqih yang berbeda-beda. Pada periode munculnya madzhab yang empat dan yang lainnya, kaum muslimin dihadapkan pada kejadian-kejadian yang tidak pernah terjadi pada genarasi sebelumnya, sehingga belum ada keputusan hukum mengenainya. Oleh karena itu, setiap imam madzhab berijtihad di bawah naungan al-Qur'an, sunnah dan sumber-sumber penetapan hukum syariat lainnya. Mereka lalu memberi hukum dan hasil ijtihadnya yang telah dibangun dengan berbagai dalil. Setelah periode ini berlalu, muncullah para pengikut imam-imam madzhab. Di antara mereka ada orang-orang yang fanatik terhadap madzhab
yang
dianutnya.
Ketika
memahami
al-Qur'an,
mereka
menggiringnya agar sesuai dengan madzhab yang dianutnya. Namun ada juga yang tidak fanatik dengan madzhab yang dianutnya, mereka memahami al-Qur'an dengan pemikiran yang bersih dari kecenderungan hawa nafsu. Bahkan, mereka memahami dan menafsirkannya atas dasar makna-makna yang mereka yakini kebenarannya. Dan kitab tafsir yang
35
termasuk kategori ini di antaranya adalah Ahkam al-Qur'an karya AlJashshash (w. 370 H), Ahkam al-Qur'an karya Ibnu Al-Arabi (w. 543 H), Al-Jami’ li Ahkam al-Qur'an karya Al-Qurthubi (w. 671 H).53 Corak yang ketiga adalah corak falsafi. Pada masa khalifah Abbasiyah digalakkan penerjemahan buku-buku asing ke dalam bahasa Arab. Di antaranya adalah buku-buku filsafat, yang pada gilirannya dikonsumsi oleh umat Islam. Menyikapi hal ini, umat Islam terbagi menjadi dua golongan. Golongan pertama adalah golongan yang menolak filsafat, karena menganggapnya bertentangan dengan aqidah dan agama. Di antara tokohnya adalah Imam Al-Ghazali dan Al-Fakhr ar-Razi. Golongan kedua adalah golongan yang mengagumi filsafat. Mereka menekuni dan menerimanya sepanjang tidak bertentangan dengan normanorma Islam. Mereka berusaha memadukan antara filsafat dan agama serta menghilangkan pertentangan antara keduanya, tetapi gagal. Yang mereka capai hanya menengah-nengahi antara keduanya. Sebab, tidak mungkin nash al-Qur'an mengandung teori-teori filsafat. Dari golongan pertama lahirlah kitab Mafatih al-Ghaib karya AlFakhr ar-Razi (w. 606 H). Adapun golongan kedua. Dr. Adz-Dzahabi berkata, “Kami tidak pernah mendengar ada seorang filsuf –yang mengagung-agungkan filsafat – yang mengarang satu kitab tafsir al-Qur'an yang lengkap. Yang kami temukan hanya sebagian pemahaman mereka terhadap al-Qur'an yang berpencar-pencar dalam buku-buku filsafat karangan mereka”.54 Corak yang keempat adalah corak sastra dan bahasa. Corak ini timbul akibat banyaknya orang non arab yang memeluk agama islam dan mereka tidak menguasai bahasa arab, juga kelemahan orang-orang arab sendiri dibidang sastra, sehingga dirasakan kebutuhan untuk menjelaskan kepada mereka tentang keistimewaan dan kedalaman arti kandungan al-
53 54
Ibid.30-32. Ibid.
36
Qur'an dari segi bahasa.55 Corak ini ditampilkan oleh az-Zamakhsyari dan al-Nasafi.56 Corak yang kelima adalah corak ‘ilmi. Ajaran al-Qur'an adalah ajaran ilmiah yang berdiri diatas prinsip pembebasan akal dari tahayul dan kemerdekaan berfikir. Manakala para ulama menyadari hal-hal yang demikian, maka sebagian dari mereka mencoba menafsirkan ayat-ayat alQur'an tersebut berdasarkan bidang ilmu serta hasil kajian mereka terhadap gejolak atau fenomena alam yang terjadi pada saat mufasir menulis kitab tafsir mereka. Tokoh-tokoh yang termasuk dalam kategori ini diantaranya adalah imam Fakhrurrazi dalam karyanya Tafsir al-Kabir, al-Ghazali dalam karyanya Ihya’ Ulumuddin dan Jawahir al-Qur'an, alSuyuthi dalam karyanya al-Itqan.57 Corak yang keenam adalah corak adabi ijtima’i, dimana corak ini berupaya menyingkapkan keindahan bahasa al-Qur'an dan mukjizatmukjizatnya,
menjelaskan
makna-makna
dan
maksudnya,
memeperlihatkan aturan-aturan al-Qur'an tentang kemasyarakatan, dan mengatasi persoalan-persoalan yang dihadapi umat islam secara khusus, dan permasalahan umat lainya secara umum. Corak tafsir inipun berupaya mengkompromikan antara al-Qur'an dengan teori-teori pengetahuan yang valid. Adapun tokoh yang menggunakan corak
ini dalam tafsirnya,
diantaranya adalah Rasyidh ridha (w. 1354 H) dalam karyanya Tafsir alManar.58
B. Sejarah Perkembangan Tafsir di Indonesia Tradisi penulisan tafsir di Indonesia sebenarnya telah bergerak cukup lama, dengan keragaman teknis penulisan, corak, dan bahasa yang dipakai. Pada bagian ini akan diuraikan tentang perjalanan dan sejarah penulisan tafsir di Indonesia, dimana penulis membagi dua periode; 55
Quraish Sihab, op. cit., h. 72 Abdul Hayy al-Farmawy, op. cit., h. 26 57 Ibid., h. 33-34 58 Ibid., h. 37 56
37
pertama, periode sebelum abad ke-20, dan kedua, periode sesudah abad ke-20. 1. Periode Pertama; sebelum abad ke-20 Seiring dengan masuknya agama islam ke Indonesia, yang berdasarkan seminar di Medan tahun 1963, bahwa Islam telah masuk ke Indonesia pada abad I/ II H atau abad VII/ VIII M dan berlangsung sampai abad X H atau XV M. Usaha memahami pesan-pesan al-Qur'an dalam bahasa setempat sejak itu dimulai. Namun penafsiran yang ada belum tertulis dan belum mengacu dalam bentuk buku tafsir tersendiri, tetapi masih integral dan bercampur dengan ajaran-ajaran islam yang lain semisal tauhid, fiqih, tasawuf dan lain-lain, serta disajikan secara praktis dalam bentuk amaliah sehari-hari. Contoh populer yang dapat ditemukan adalah istilah “molimo” yang dikemukakan oleh Sunan Ampel (w. 1478 M), yang berarti menghindari lima hal, yaitu emoh main (judi), emoh ngombe (minuman keras), emoh madat (menghisap candu), emoh maling (mencuri), emoh madon (berzina) itu semua adalah penafsiran dari surat al-Maidah : 38-39 dan 90, serta surat al-Isra : 32.59 Kemudian kita bisa mencatat bahwa pada abad ke-16 di Nusantara telah muncul proses penulisan tafsir yang lebih maju dibanding tahun tahun sebelumnya. Setidaknya ini dapat dilihat dari naskah Tafsir Surat alKahfi: 9. Teknis tafsir ini ditulis secara parsial berdasarkan surat tertentu, yakni surat al-Kahfi dan tidak diketahui siapa penulisnya. Manuskripnya dibawa dari Aceh ke Belanda oleh seorang ahli bahasa Arab dari Belanda, Erpinus (w. 1624) pada awal abad ke-17. sekarang manuskrip itu menjadi koleksi Cambridge University Library dengan katalog MS Ii, 6. 45. diduga manuskrip ini dibuat pada masa awal pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M) dimana mufti kesultanannya adalah Syams al-Din alSumatrani, atau bahkan sebelumnya, Sultan ’Ala al-Din Ri’ayat Syah
59
Jurnal Esensia, Jurnal Ilmu-ilmu Ushuluddin, vol. 3. No. 2, juli 2002, h. 191
38
Sayyid al-Mukammil (1537-1604 M), dimana mufti kesultanannya adalah Hamzah al-Fansyuri. Dilihat dari corak atau nuansa tafsir, Tafsir Surat al-Kahfi ini sangat kental dengan warna sufistik. Ini tentu mencerminkan bahwa penulisnya adalah orang yang mempunyai pandangan spiritual yang tinggi, atau bahkan pengikut tarikat yang mapan pada saat di Aceh, yaitu tarikat Qadiriyah. Dari sisi referensi merujuk pada Tafsir al-Khazin dan Tafsir alBaydlawi. Hal ini juga menunjukkan bahwa penulisnya seorang yang menguasai bahasa arab dengan baik dan mempunyai keilmuan yang tinggi.60 Setelah Tafsir Surat al-Kahfi, selang waktu yang lama muncul karya tafsir yaitu Tarjuman al-Mustafid yang ditulis oleh Abd al-Rauf alSinkili (1615-1693)61 lengkap 30 juz. Tahun penulisan karya ini tidak bisa diketahui dengan pasti. Menurut Peter Riddel setelah melihat informasi
60
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir indonesia, dari Hermeneutika hingga Ideologi, cet I, Teraju, Bandung, 2003, h. 53-54 61 Diantara para ilmuan yang meneliti Abd al-Rauf al-Sinkili adalah D. A. Rinkes, menulis disertasinya mengenai Abd al-Rauf al-Sinkili pada tahun 1909. dalam disertasinya ia hanya membahas segi tasawufnya saja pada karangan Abd Ar-rauf Rinkes tidak menerbitkan teks asli Abd al-Rauf, tetapi hanya memberikan terjemahan dan ringkasan. Memnag istilah khas dimasukkan, tetapi selain itu, semuanya digambarkan dalam bahasa dan sistematika Rinkes sendiri. Sebagai tulisan pokok diberikan ringkasan Umdatu al-Muhtadin, barang kali karya Abd alRauf ini yang paling penting di bidang tasawuf. Rauf adalah seorang yang membawa tarikat Syattariyah ke Indonesia, sehingga banyak informasi mengenai tarikat ini, juga di jawa (walaupun sangat mungkin tarikat syattariyah tidak dibawa ke Jawa oleh Rauf, tetapi oleh ulama lainya) A.H. Johns dan Voorhoeve termasuk ilmuwan yang meneliti karya Rauf. Dalam penelitianya mereka berdua hanya menerbitkan satu atau dua buah naskah kecil karya Rauf dengan beberapa catatan tambahan mengenai riwayat Hidupnya dan karangan lainya. Mereka berdua juga memberikan tambahan pengetahuan mengenai tokoh ini, khususnya karyanya dibidang tasawuf, tetapi mereka tidak berusaha memberikan sebuah overall-study yang meliputi semua aspeknya. Karya Rauf dalam bidang Fiqih, Mir’atu al-Tullab, belum pernah mendapat perhatian yang cukup serius dari sarjana barat, pada tahun 1844 telah diterbitkan suatu saduran karya ini oleh Meursinge, akan tetapi Meursinge hanya mengambil-dari karangan Rauf ini – apa yang dianggap cukup relevan untuk pengetahuan mengenai hukum islam secara praktis. Dan Dr. Peunuh Dali di IAIN Ciputat, Jakarta, dalam disertasinya ia memandang bahwa karangan Rauf dari segi fiqih umum saja. Dalam studi ini Peunuh Khusus membahas bab nikah dari karya Rauf (ada pendapat bahwa Rauf hendak mengisi kekosongan yang masih ada sesudah karangan al-Raniri dibidang fiqih ibadah, yang disusun dalam kitab Sirathal-Mustaqim, karena Rauf membahas Fiqih selain Fiqih Ibadah). Dalam Disertasinya yang belum diterbitkan itu, Peunuh berangkat dari asumsi dan catatan Rauf bahwa bukunya merupakan terjemahan dasri karangan Zakarya alAnshari. Lihat. Karel A. Steenbrink, mencari tuhan dengan kaca mata barat, kajian kritis mengenai agama di Indonesia, Cet Islam, IAIN sunan Kalijaga Press, Yogyakarta, 1988, h. 183-185
39
dari manuskrip tertua karya ini, mengambil kesimpulan tentatif, karya ini ditulis sekitar tahun 1675 M. Tarjuman al-Mustafid karya Abd al-Rauf al-Sinkili ini menurut banyak pengamat merupakan terjemah dari Tafsir al-Baydlawi. Ilmuwan yang berpendapat semacam ini adalah Snouck Hurgronje. Namun Peter Ridel mempunyai pendapat lain, yaitui Tarjuman al-Mustafid ini justru merupakan terjemah dari Tafsir al-Jalalayn, meskipun banyak merujuk pula pada Tafsir al-Baydlawi, Tafsir Khazin dan beberapa tafsir yang lain. Sebab Tafsir al-Baydlawi merupakan karya tafsir yang ekstensif dan rumit, sedangkan
Tarjuman
al-Mustafid
sebagaimana
Tafsir
al-Jalalain,
62
modelnya singkat, jelas, dan elementer.
Adapun bahasa melayu yang digunakan oleh ‘Abdul Rauf tidak menjadi masalah, karena bahasa ini adalah salah satu dari bahasa yang berkembang di wilayah Indonesia, khususnya di wilayah Sumatra dan menjadi salah satu penyumbang terpenting
dalam bangunan bahasa
Indonesia modern. Pada periode ini juga diinformasikan terdapat kitab tafsir yang berjudul Tasdiq al-Ma’arif yang ditulis di Sampon Aceh, tetapi tidak diketahui siapa pengarangnya. Dimana, tafsir ini merupakan tafsir sufistik dan ditulis untuk membela prinsip-prinsip ajaran sufi.63 Pada abad ke-19 M, muncul sebuah karya tafsir yang menggunakan bahasa Melayu-Jawi, yaitu kitab Faraidl al-Qur'an. Kitab tafsir ini tidak diketahui siapa penulisnya. Ditulis dalam bentuk yang sangat sederhana, dan tampak lebih sebagai artikel tafsir, sebab hanya terdiri dari dua halaman dengan huruf kecil dan spasi rangkap. Naskahnya masuk dalam sebuah buku koleksi beberapa tulisan ulama’ Aceh yang diedit oleh Ismail bin Abd al-Mutalib al-‘Asyi, Jami’ al-Jawami’ alMushannafat: Majmu’ Beberapa Kitab Karangan Beberapa Ulama Aceh. Manuskrip buku ini disimpan di Perpustakaan Universitas Amsterdam
62 63
Ibid., h. 184 Jurnal Esensia, op. cit., h. 193
40
dengan kode katalog: Amst. IT. 481/ 96(2). Karya ini kemudian diterbitkan di Bulaq, Mesir. Objek penafsiran naskah ini adalah surat al-Nisa’: 11-12 yang berbicara tentang hukum waris. Keterangan yang diberikannya sederhana tetapi lebih dari sekedar terjemah. Setelah memaparkan ayat tertentu, uraian selanjutnya selalu diawali dengan kata “tafsirnya”. Namun, karena tidak adanya data tentang penulisnya, kita kesulitan untuk menguraikanya lebih dalam. Pada abad ke-19 M terdapat tafsir utuh yang ditulis oleh ulama’ asal Indonesia, Imam Muhammad Nawawi al-Bantani(1813-1879M), yaitu Marah Labid li Kasyfi Ma’na al-Qur’an al-Majid atau Tafsir Munir li Ma’alim Tanzil. Namun, tafsir yang menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar ini, ditulis diluar Nusantara, yaitu Makkah. Penulisannya selesai pada hari Rabu, 5 Rabi’al- Akhir 1305 H. Sebelumnya, naskahnya disodorkan kepada para ulama’ Makkah dan Madinah untuk diteliti, lalu naskahnya dicetak di negeri itu. Atas kecemerlangannya dalam menulis tafsir itu, oleh ulama Mesir, Imam Nawawi di beri gelar “Sayyid Ulama alHijaz”, pemimpin ulama’ Hijaz.64 2. Periode kedua; sesudah abad ke-20 Secara kronologis dari dekade ke dekade, literatur tafsir al-Qur'an di Indonesia mengalami dinamika yang menarik baik dari segi penyampaian, tema-tema kajian serta sifat penafsir. Pada dekade 1920-an muncul Alqoeranoel Hakim Beserta Toedjoean dan Maksoednja, karya H. Iljas dan Abdul Jalil (Padang Panjang: 1925). meskipun hanya penafsiran atas juz pertama saja, karya tafsir ini menunjukan bahwa pada saat itu telah muncul-dari segi sifat penafsir-model penafsiran kolektif.65 Selain tafsir tersebut diatas, juga terdapat tafsir al-Qur'an yang ditulis dan terbit dalam bahasa Indonesia adalah Tafsir Qur’an Karim yang
64 65
Islah Gusmian, op. cit., h. 54-55 Ibid., h. 56
41
ditulis oleh Mahmud Yunus66, pada awal abad ke-20. Tafsir ini mulai ditulis pada bulan November 1922 dan selesai pada tahun 1938. Penulisannya terjadi menjadi empat tahap, tahap pertama, juz 1-3 ditulis oleh Mahmud Yunus sendiri, tahap kedua penulisannya dilakukan oleh H. Ilyas Muhammad Ali dibawah bimbingan Mahmud Yunus dan merampungkan juz 4, tahap ketiga dimulai tahun 1935 hingga menyelesaikan juz 18, dalam tahap ini dia dibantu oleh H. M. Kasim Bakry, tahap keempat diselesaikannya sendiri pada tahun 1938. Mahmud memulai karyanya dengan menggunakan Arab Melayu bukan dengan huruf latin, barang kali sebagai jalan tengah yang ditempuhnya agar tidak terlalu konfrontatif. Bagi Mahmud Yunus upaya menafsirkan al-Qur'an ke dalam bahasa setempat merupakan sebuah upaya teramat penting, sebab tanpa penafsiran kedalam bahasa setempat, banyak orang Islam bangsa ini yang tidak mengetahui isi al-Qur'an, padahal alQur'an diturunkan oleh Allah supaya isinya diperhatikan, sebagai petunjuk dan pengajaran, bukan semata-mata untuk dilagukan. Selanjutnya ia mengatakan bahwa al-Qur'an sudah diterjemahkan orang kedalam bahasa Belanda, Inggris, Jerman, dan lain-lain, sehingga mereka mengerti alQur'an tetapi banyak orang Islam Indonesia yang tidak mengetahuinya67. Pada tahun 1998 terbitlah tafsir juz pertama karya A Hasan68 yang 66
Mahmud Yunus dilahirkan di Sungayang, Batu Sangkar, Sumatra Barat, pada hari Sabtu, 30 Ramadhan 1316 H, bertepatan dengan 10 pebruari 1899 M. Ayahnya bernama Yunus bin Incek dan ibunya bernama Hafsah binti M. Tahir. Buyutnya dari pihak ibu adalah seorang ulama besar di Sungayang, bernama M. Ali gelar Angku Kolok. Pada usia 7 tahun ia belajar di Surau Kakeknya M. Tahir tentang al-Qur'an dan bahas Arab. Yunus pernah memasuki sekolah Rakyat tapi hanya sampai kelas 3. kemudian ia pindah ke madrasah yang di asuh oleh Syaikh H. M. Thaib di Surau Tanjung Pauh. Berkat ketekunanya dalam waktu 4 tahun, Yunus telah sanggup mengajarkan kitab-kitab Mahalli, Alfiyah, Jamul Jawami’. Ketika Syiakh H. M Thaib Umar jatuh sakit dan berhenti mengajar, yang menggantikanya adalah Yunus. Pada tahun 1924, ia mendapat kesempatan belajar di Universitaaas al-Azahr, Mesir, dan dalam waktu satu tahun telah memperopleh Syahadah aliyyah, kemudian berusaha masuk Darul Ulum Mesir, dan tercata tsebagai mahasiswa Indonesia yang belajar di sana. Pada tahun 1930, setelah mengambil Takhassus Tadris, akhirnya Yunus memperoleh Ijazah Tadris dari perguruan tinggi ini. Lih. M Yunan Yusuf, karakteristik al-Qur'an di Indonesia Abad ke-20, Jurnal Ulumul Qur’an, Jurnal ilmu dan Kebudayaan, No. 4/ vol III/ 1992, h.60 67 Jurnal Esensia, op. cit., h. 194 68 Hasan dilahirkan di Singapura pada tahun 1887. ayahnya bernama Ahmad atau dikenal bernama Sinna Vappu Marica, seorang penulis dan ahli dalam Islam kesustraan Tamil. Hasan
42
berjudul al-Furqan Tafsir Qur’an, tepatnya pada bulan Muharram 1347/ Juli 1924.69 sebagaimana penulisan tafsir karya Mahmud Yunus, penulisan tafsir yang dilakukan oleh A. Hasan juga mengalami beberapa tahapan. Tahap pertama sampai tahun 1941 dengan menyelesaikan hingga surat Maryam dan yang kedua atas permintaan Salim bin Nabhan seorang pengusaha percetakan dan penerbitan di Surabaya Hasan mengulang kembali tafsirnya dari awal sampai akhir dengan menempuh cara lain, yakni lebih mementingkan pemberian keterangan tiap-tiap ayat agar pembaca bisa memahami maknanya dengan mudah.70 Penerbitan secara lengkap tafsir ini dilakukan pada tahun 1956 sebagaimana tercantum pada tahun pertama penerbitannya. Al-furqan karya A. Hasan tidak lagi mengalami kondisi seperti yang dialami Mahmud Yunus, dimana kegiatan menterjemahkan dan menafsirkan al-Qur'an diluar bahasa arab belum dapat diterima. Pada masanya, A. Hasan telah menulis tafsirnya dengan huruf latin, namun suasana yang dihadapi A. Hasan adalah suasana riuh rendahnya pertentangan antara kaum tradisionalis dan modernis dalam bentuk berpegang teguh terhadap mazhab dengan taklid atau kembali kepada alQur'an dan al-Sunnah dengan ijtihad. Perdebatan tentang sumber hukum islam; ijtihad, ittiba’, taklid, bid’ah, dan faham kebangsaan yang mewarnai pikiran-pikiran A. Hasan juga terpantul dalam tafsirnya.71 Pada tahun 1932 terbit tafsir yang berjudul Qoer’an Indonesia yang diterbitkan oleh Sjarikat Kwekschool Moehammadijah Bahagian
sendiri tidak pernah menyelesaiakn sekolah dasarnya di Singapura. Ia masuk sekolah melayu sampai kelas 4 dan sekolah Inggris sampai kelas yang sama. Hasan mulai bekerja mencari nafkah pada usia 12 tahun. Ia mengambil pelajaran secara privat dan berusaha untuk menguasai bahasa Arab dengan Maksud agar dapat memperdalam pengetahuanya tentang silam atas usaha sendiri. Tahun 1921 Hasan pindah ke Surabya, negeri dimana tempat tinggal keluarga ibunya. Pada masa itu Surabaya telah merupakan pusat pertikaian antara kaum muda dan kaum tua. Kemudian Hasan pindah ke bandung. Dan tinggal dirumah Muhammad Yunus, seorang pendiri persatuan islam. Akhirnya hasan sendiri menjadi tokoh penting pula dalam PERSIS. Lihat. M.Yunan Yusuf, Karakteristik.........op. cit., h. 60 69 A. Hasan, al-Furqan Tafsir Qur’an, Tinta Masyarakat, Jakarta, 1962, h. vii 70 Ibid 71 M. Yunan Yusuf, Krakterustik.....op. cit., h. 53
43
Karang Mengarang.72. Selang dua tahun yaitu tahun 1934 Iskandar Idris menerbitkan tafsir berbahasa daerah Sunda dengan judul Tafsir Hibarna.73. Selanjutnya tahun 1935 terbit berturut-turut dua tafsir yaitu Tafsir al-Syamsiyah yang diterbitkan oleh bagian Penerbitan Terjemah dan Tafsir “al-Ittihadul Islamiyah” pimpinan KH. Sanusi Sukabumi dan karya Munawwar Khalil yang berjudul Tafsir Hidayatur Rahman.74 Kemudian menyusul Tafsir al-Qur'an al-Karim, karya tiga orang ulama asal Sumatra Timur; al-Ustadz H. A. Halim Hasan75, H. Zaenal Arifin Abbas76, dan Abdurrahim Haitami.77 Dimana penyusunannya dimulai awal Ramadhan 1355 H di Binjai, Langkat. Sementara penerbitan pertamanya baru dalam bentuk majalah sebanyak 20 halaman, dimulai pada April 1937, terbit sebulan sekali. Pada akhir 1941, menjelang
72
Departemen Agama RI, Mukadimah al-Qur'an Tafsirnya, Yayasan Dana Bakti Waqaf, UII, Yogyakarta,. 1991, h. 61 73 Ibid., Tafsir ini ternyata judulnya saja yang berbahasa Sunda, isi dan tafsirnya sendiri berbahasa Indonesia. 74 Departemen Agama RI, pendahuluan untuk al-Qur'an dan terjemahnya, Thaha Putra, Semarang, tt, h. 37 75 al-Ustad H. A. Halim Hasan Lahir pada tanggal 15 mei 1901 di Binjai Sumatra Utara. Pada usia 7 tahun mulai belajar ilmu agama pada beberapa ulama di Binjai, antara lain: H. Abdullah Umar Kadhi dan Syaikh H. Muhammad Samah. Pada taun 1926 pergi ke Mekkah menunaikan ibadah haji dan belajar disana. Disamping belajar ilmu-ilmu agama juga belajar ilmu umum, seperti: Jurnalistik dan Politik pada Jamaluddin Adinegoro di Medan serta bahasa Inggris pada M. Ridwan, seorang pensiunan kepala jawatan penerbangan kabupaten Langkat. Keahlian beliau adalah dalam bidang Tafsir, Hadits, Sejarah dan Fiqih. Beliau meninggal dunia sangat tibatiba, yaitu ketika beliau selesai sholat jum’at di Masjid Muhammadiyah, Beliau terjatuh dan kata Dokter mengalami pendarahan Otak. Keesokan harinya tanggal 15 Nopember 1969 beliau wafat di rumah sakit PNP II bangkatan Binjai. Lihat. M. Yunan Yusuf, Karakteristik.......op. cit., h. 60 76 H. Zaenal Arifin Abbas diduga lahir tahun 1920. Pendidikanya pada College Madrasatul Arabiyah dan Tsanawiyah tahun 1927-1935. Syaikh H. Abdul Halim Hasan adalah gurunya yang paling berpengaruh padanya. Kebiasaan menulis sudah di tekuni paada usia 16 tahun. Karyanya disamping tafsir Qur’an tersebut, terdapat pula perihidup sebanyak 6 jilid, Tasawuf Islam, perkembangan Pikiran terhadap agama dan berbagai buku pengetahuan agama untuk siswa sekolah lanjutan. Pada tahun 1945 menjadi ketua umum peratuan perjuangan dan tahun 1948-1949 bertugas sebagai kepala bagian keagamaan Divisi X TNI Sumatra dengan pangkat Mayor. Karirnya dibidang politik dimulai pada tahun 1955 sebgai ketua umum Masyumi sumatra utara, dan memegang jabatan pada pemerintahan sebagai kepala penerangan agama propinsi Sumatra Utara. Pada tahun 1970 beliau diangkat sebagai ketu umum Parmusi Sumatra Utara dan pada tahun 1973 sebagai ketua koordinator PPP Sumatra Utara. Wafat pada tahun 1979 ( informasi ini diperoleh dari Usulan penelitian Drs. Fachrurazy Dalimonte tentang pemikiran H Zaenal Arifin Abbas bagi pembaharu Islam, 1971, Naskah ini tidak diterbitkan). Ibid 77 Tidak diperoleh keterangan riwayat hidup Abdurrahim Haitamy. Informasi yang diperoleh hanyalah tentang wafatnya pada tahun 1948, dalam pengungsian di Lansa, Aceh Timur. ibid
44
pendudukan Jepang dan sesudah pecahnya perang dunia II, karena kertas tidak masuk lagi dari Eropa dan Amerika , penerbitan tafsir tersebut dihentikan. Demikianlah sampai akhir tahun 1941 Tafsir al-Qur'an Karim ini baru selesai juz 7, dan selama masa lima tahun, 1937-1941, juz I dan 2 pernah diterbitkan dalam bahasa Melayu dengan memakai huruf Arab. Penerbitan dalam tulisan Arab Melayu itu dimaksudkan untuk konsumsi di seluruh 9 kerajaan Malaysia. Adapun penulisannya hanya berhasil dikerjakan sampai juz 7 saja78. Satu tahun berikutnya yaitu tahun 1942 terbit Tafsir al-Qur’an bahasa Indonesia karya Mahmud Aziz.79 Tahun-tahun berikutnya, 19421952 adalah tahun-tahun suram bagi perkembangan tafsir di Indonesia. Betapa tidak, selama sepuluh tahun, sejarah tidak mencatat adanya tafsir yang terbit. Kebekuan ini diperkirakan karena adanya pengaruh penjajahan Jepang dan persiapan hiruk pikuk kemerdekaan serta menghadapi perang kemerdekaan. Dalam kebekuan tersebut, mulai mencair dengan munculnya Tafsir al-Qur'an al-Nur karya Hasbi ash-Shiddieqy pada tahun 1952.80 Karya ini memperlihatkan corak yang lain, yaitu tinjauan tentang hukum islam yang menampakan warna yang cukup jelas. Penafsiran ayat-ayat hukum lebih panjang diungkapkan. Banyak orang menganggap Tafsir al-Nur ini merupakan terjemah dari Tafsir al-Maraghi, kendatipun ia membantahnya pada penerbitan ulang tafsirnya itu, demikian pula telah dibuktikan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Abdul Djalal dalam disertasi doktornya pada IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Setelah itu, terbit Tafsir Qur’an karya Zainuddin Hamidy dan Fachruddin Hs tahun 1959. Angkatan tafsir ini mulai dikerjakan sejak 1953. Kesimpulan ini diambil dari kata sambutan H. Agus Salim bertanggal Januari 1953 dan Syaikh Sulaiman al-Rasuli serta Syaikh 78 79
80
ibid., h. 51-52 Departemen Agama RI, Mukaddimah......., h. 61 Departemen Agama RI, Pendahuluan........., h. 34
45
Ibrahim Musa yang dimuat dalam pendahuluan tafsir tersebut bertanggal Agustus 1956. 81 Tafsir al-Ibris karya Bisri Mustofa dari Rembang dengan menggunakan huruf Arab berbahasa Jawa khas pesantren yaitu menggunakan terjemahan yang menggantung dibawah ayat, terbit 1960. Kemudian terbit Tafsir Sinar karya Malik Ahmad yang disusun berdasarkan urutan turunnya surat al-Qur'an tidak disusun seperti Mushaf Utsmani serta tafsir al-Qur'an Hakim karya Hakim Bakry Cs pada tahun yang sama.82 Dua tahun berikutnya yaitu tahun 1962 majalah Gema Islam memuat tafsir karya HAMKA yang tadinya adalah kuliah-kuliah tafsir pada acara Kuliah Subuh di Masjid al-Azhar Kebayoran Baru Jakarta.83 Pada 27 Januari 1964, HAMKA ditangkap penguasa rezim Orde Lama dengan tuduhan berkhianat terhadap tanah air. Penahanan yang dialami HAMKA selama lebih kurang dua setengah tahun memberikan peluang baginya untuk menyelesaikan tafsirnya. Menurutnya beberapa hari sebelum ia dipindahkan menjadi tahanan rumah, tafsirnya sudah dapat diselesaikan 30 juz dan masa tahanan rumah selama dua bulan dipergunakannya untuk menyempurnakan beberapa hal yang dirasa masih kurang lengkap.
84
Ia memberi nama tafsirnya ini dengan Tafsir al-Azhar,
sebagai kenangan karena tafsir ini dimulai dari Masjid al-Azhar, sebuah nama yang diberikan oleh Syaikh Jami’ah al-Azhar
pada waktu itu
Mahmud Syaltout karena HAMKA memperoleh gelar Ustadziyyah Fakriyyah dari Universitas tersebut. Tafsir ini terbit pertama secara lengkap tahun 1967.85 Tafsir al-Azhar karya HAMKA merupakan karya monumental penulisnya sendiri. Lewat tafsir ini HAMKA berhasil mendemonstrasikan keluasan pengetahuannya hampir disemua disiplin yang tercakup oleh
81
Zaenuddin Hamidi dan Fachrudin Hs., Tafsir Quir’an, Wijaya, Jakarta, 1982, h. ix Departemen Agama RI, Pendahuluan .........., h.37 83 HAMKA, tafsir al-Azhar, Pembina Masa Jakarta, 1967, h. 41 84 Ibid., h. 43-46 85 Ibid, h. 37-43 82
46
bidang-bidang ilmu agama Islam. Suasana rumah tahanan memberikan dorongan tersendiri bagi penulisan tafsirnya. Kehidupan politik yang tidak menentu, bahaya komunis yang bertambah mencekam, secara panjang lebar dikisahkannya dalam pendahuluan tafsirnya. Dua tahun berikutnya yaitu 1969, terbit al-Qur'an Suci Basa Jawi karya Muhammad Adnan. Tahun 1971 terbit dua tafsir yaitu al-Qur’an dan Terjemahannya karya tim yang dibentuk oleh Departemen Agama RI86 dan tafsir al-Qur'an al-Karim al-Bayan karya Hasbi asy-Syiddieqy. Karya Hasbi ini tampaknya diterbitkan karena ketidakpuasannya terhadap karya tafsirnya yang pertama, yaitu tafsir an-Nur.87 Tahun 1972 terbit Tafsir al-Huda berbahasa Jawa karya Bakri Syahid.88 Tafsir yang muncul kemudian adalah al-Qur'an dan Tafsirnya terbit tahun 1975. Tafsir ini sebagai lanjutan dari al-Qur'an dan Terjemahannya karya tim yang dibentuk oleh Departemen Agama RI sebagai salah satu proyek pemerintah dalam pembangunan lima tahun dibidang agama. Proyek ini dimulai pada pertengahan pelita pertama dan selesai pada pertengahan pelita ketiga.89 Al-Qur'an dan Terjemahannya dan al-Qur'an dan Tafsirnya menampakan pula semangat alam pembangunan Indonesia, sebuah pengantar panjang lebar yang dimuat dalam kitab tersebut membicarakan tentang sejarah al-Qur'an, sejarah Nabi Muhammad, al-Qur'an dan ilmu pengetahuan. Sayangnya pengantar ini diisi dengan satu terjemahan harfiah The Holy Qur’an karya Abdullah Yusuf Ali. Demikian pula halnya dengan al-Qur'an dan Tafsirnya yang masih kentara sekali berbau tafsir al-Maraghi, terutama pada jilid-jilid terakhir. Tahun 1977 H. B. Yasin menerbitkan al-Qur'an Bacaan Mulia. Pada tahun ini juga, adik dari penulis Tafsir al-Ibriz yang bernama
86 87
Departemen Agama RI, Pendahuluan ......, h. 34 -37 Hasbi asy-Syidieqy, Tafsir al-Qur'an Karim al-Bayan, al-Ma’arif, Bandung, 1971, h. 1-
2 88 89
Departemen agama RI, Pendahuluan........, h. 37 Departemen agama RI, Mukaddimah...., h. xi
47
Mishbah Musthafa dari pesantren Bangilan Tuban, mulai menulis tafsir alIklil fi Ma’ani al-Tanzil tahun 1977 dan selesai tahun 1985, sebanyak 30 jilid, dimana masing-masing satu jilid merupakan satu juz, dan semuanya ditulis dalam bahasa arab jawa.90 Tahun 1978 Bakhtiar Surin menerbitkan Terjemah dan Tafsir al-Qur'an: Huruf Arab dan Latin.91 Pada tahun 1983 Oemar Bakry menerbitkan tafsir yang berjudul Tafsir Rahmat.92 Tahun 1987 Mishbah Musthafa kembali menulis tafsir yang berjudul Taj alMuslimin Min Kalami Rabbi al-Alamin, sebagai koreksi terhadap tafsirnya terdahulu, namun tafsir ini hanya sampai jilid empat – akhir surat Ali Imran 93– karena beliau meninggal dunia pada tahun 1994.94 Pasca tahun 1980-an, proses kreatif penulisan tafsir tidak saja terus terjadi, tetapi terus berkembang. Dalam periode 1990-an beragam karya tafsir dari intelektual muslim Indonesia. Setidaknya ada 24 karya tafsir yang keseluruhanya mencerminkan adanya keragaman teknis penulisan tafsir serta metodologi yang digunakan. Ini merupakan fenomena yang memperlihatkan adanya trend baru dalam sejarah penulisan tafsir pada dasawarsa 1990-an. 24 tafsir tersebut adalah95: a. Konsep Kufur dalam al-Qur'an, Suatu Kajian Teologis dengan Pendekatan Tafsir Tematik (Jakarta: Bulan Bintang 1991) karya Harifuddin cawidu b. Konsep Perbuatan Manusia Menurut al-Qur'an, Suatu Kajian Tafsir Tematik (Jakarta: Bulan Bintang, 1992) karya Jalaluddin Rahman c. Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam al-Qur'an (Yogyakarta: LESFI, 1992) karya Dr. Musa Asy’ari
90
Misbah Mustafa, al-Iklil fi Ma’ani al-Tanzil, al-Ihsan, Surabaya, 1986, h. 3 Departemen Agama RI, Mukaddimah....., h. 61 92 Howard M Federspield, Kajian al-Qur'an di Indonesia, terj. Tajul Arifin, Mizan, Bandung, 1996, h. 102 93 Misbah al-Musthafa, Tafsir Taj al-Muslimin min Kalami Rabbi al-Alamin, cet II, Majlis Ta’lif wa al-Khatath, Tuban, 1990 91
94
Misbah al-Qur'an-Mustafa, Solat dan Tata Krama, cet I, al-Misbah, 2006, bandingkan dengan hasil wawancara dengan salah satu putranya yang akan diuraikan pada Bab III 95
Islah Gusmian, op. cit., h. 69-99
48
d. Tafsir bil Ma’tsur, Pesan Moral al-Qur'an (Bandung: Rosda karya, 1993) karya Jalaluddin Rahmat e. al-Qur'an Dan Tafsirnya (Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf Universitas Islam Indonesia, 1995) karya Tim UII Yogyakarta f. Ensiklopedi al-Qur'an, Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci (Jakarta: Paramadina, 1996) karya Prof. M. dawam Rahardjo g. Menyelami Kebebasan Manusia, Telaah Kritis Terhadap Konsepsi alQur'an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996) karya Dr. Machasin h. Wawasan al-Qur'an, Tafsir Maudlui Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 1996) karya Dr. M. Quraish Shihab, M. A i. Hidangan Ilahi Ayat-ayat Tahlil (Jakarta: Lentera Hati, 1997) karya M. Quraish Shihab j. Tafsir al-Qur'an al-Karim, Tafsir Atas Surat-surat Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997) karya Dr,. M. Quraish Shihab k. Memahami Surat Yaasin (Jakarta: Golden Terayon Press, 19998) karya Radiks Purba l. Ayat Suci Dalam Renungan 1-30 juz (Bandung: Pustaka, 1998) karya M. E. Hasim m. Ahl al-Kitab, Makna Dan Cakupanya (Jakarta: Paramadina, 1998) karya Muhammad Ghalib Mattalo n. Argumen
Kesetaraan
Gender,
Perspektif
al-Qur'an
(Jakarta:
Paramadina, 1999) karya Dr. Nasaruddin Umar, M. A o. Tafsir Bi al-Ra’yi, Upaya Penggalian Konsep Wanita Dalam al-Qur'an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999) karya Dr. Nashruddin Baidan p. Tafsir Kebencian, Studi Bias Gender Dalam Tafsir (Yogyakarta: LKiS, 1999) karya Dr. H. Zaitunah Subhan q. Tafsir Sufi Surat al-Fatihah (Bandung: Rosda Karya, 1999) karya Jalaluddin Rahmat r. Tafsir Hijri, Kajian Tafsir al-Qur'an surat an-Nisa’ (Jakarta: Logos, 2000) karya KH. Didin Hafidhuddin
49
s. Tafsir Tematik al-Qur'an Tentang Hubungan Sosial Antar Umat Beragama (Yogyakarta: Pustaka SM, 2000) karya Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam PP Muhammadiyah t. Memasuki Makna Cinta (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000) karya Abdurrasyid Ridha, S. Ag u. Dalam Cahaya al-Qur'an, Tafsir Sosial Politik al-Qur'an (Jakarta: Gramedia, 2000) karya Syu’bah Asa v. Jiwa dalam al-Qur'an, Solusi Krisis Keruhanian Manusia Modern (Jakarta: Paramadina, 2000) karya Dr. Achmad Mubarok w. Tafsir Juz Amma Disertai Asbabun Nuzul (Jakarta: Pustaka Dwi Par, 2000) karya Rafiuddin S. Ag dan Drs. KH. Edham Syifa’i x. Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur'an (Jakarta: Lentera Hati, 2000) karya Dr. M. Quraish Shihab