BAB II PONDOK PESANTREN DAN KECERDASAN INTERPERSONAL A. Pondok Pesantren 1. Pengertian Pondok Pesantren Pondok pesantren merupakan sebuah lembaga pendidikan informal yang didirikan seseorang yang biasa disebut dengan sebutan Kiai, dengan tujuan pendidikan tertentu. Kata pondok pesantren berasal dari dua kata yaitu kata “pondok” dan kata “pesantren”. Kata pondok sendiri berasal dari kata Arab yaitu kata funduq yang berarti hotel atau asrama. Sedangkan kata pesantren berasal dari kata santri dengan awalan pe- dan akhiran –an yang berari tempat tinggal para santri.1 Sebenarnya, dari pengertian kedua istilah diatas, baik pondok maupun pesantren sama-sama mengandung substansi pengertian sebagai tempat tinggal para santri sehingga penggunaan istilah tersebut secara bersamaan yang lazim adalah pondok, pesantren hanya penguat makna saja. Akan tetapi penggunaan salah satunya sudah dianggap cukup memadai untuk mendeskripsikan lembaga pendidikan Islam.2 Secara terminologis, pesantren didefinisikan sebagai lembaga pendidikan
tradisional
Islam
untuk
mempelajari,
memahami,
menghayati dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan
1
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi Tentang Kehidupan Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1982), hlm. 18. 2 Muljono Damopili, Pesantren Modern IMMIM Mencetak Muslim Modern, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011), hlm. 57.
21
22
pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku kehidupan sehari-hari. Dalam definisi ini kata “tradisional” bukan berarti kolot dan ketinggalan zaman, tetapi menunujuk pada pengertian bahwa lembaga ini telah hidup sejak ratusan tahun yang lalu yang telah menjadi bagian dari sistem kehidupan sebagaian besar umat Islam Indonesia. Selain itu, pondok pesantren sebagai lembaga komunitas dan sebagai lembaga pendidikan yang besar dan luas penyebarannya di berbagai pelosok tanah air telah banyak memberi saham dalam pembentukanan manusia Indonesia yang religius. Bahkan, lembaga tersebut telah melahirkan pemimpin bangsa dimasa lalu, kini, dan agaknya juga masa yang akan datang. Lulusan dari pesantren tak pelak lagi banyak yang mengambil partisipasi aktif dalam pembangunan bangsa.3 Tujuan pendidikan merupakan bagian terpadu dari faktor-faktor pendidikan. Tujuan termasuk kunci keberhasilan pendidikan, di samping faktor-faktor lain yang terkait, seperti: pendidik, peserta didik, alat pendidikan dan lingkungan pendidikan.4 Perumusan tujuan pendidikan pesantren secara jelas dan standar yang berlaku secara umum belum pernah dijumpai sebelumnya. Pokok persoalannya bukan terletak pada ketiadaan tujuan, melainkan tidak tertulisnya tujuan tersebut. Sebenarnya semua pesantren memiliki tujuan, hanya saja tidak dituangkan dalam bentuk tulisan, sehingga para peneliti 3
Ibid., hlm. 58. Mujamil Qomar, Pesantren Dari Tarnsformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi, (Jakarta: Erlangga, 2002), hlm. 3. 4
23
merumuskan tujuan itu hanya berdasarkan perkiraan dan atau wawancara. Dalam buku Muljiono Damopili yang berjudul Pesantren Modern IMMIM Mencetak Muslim Modern menyebutkan bahwa: dari hasil wawancara Mastuhu tujuan pendidikan pesantren adalah: Menciptakan dan mengembangkan kepribadian Muslim, yaitu kepribadian yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan, berakhlak mulia, bermanfaat bagi masyarakat atau berkhidmat kepada masayarakat dengan menjadi abdi masayarakat, menyebarkan agama atau menegakkan Islam dan kejayaan umat di tengah-tengah masyarakat dan mencintai ilmu dalam rangka mengembangkan kepribadian manusia.5 Dalam buku yang berjudul Lembaga Pendidikan Islam Indonesia Abad ke-20 menyebutkan
Pergumulan bahwa:
Antara
“tujuan
Modernisasi pendidikan
dan Indentitas
pesantren
adalah
meninggikan moral, melatih dan mempertinggi semangat, menghargai nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan, mengajarkan sikap dan tingkah laku yang jujur dan bersih hati”.6 Namun seiring berkembangnya zaman tujuan pendidikan pesantren sudah diperluas., namun pada dasarnya esensi dan substansinya masih tetap. Tujuan umum pesantren adalah membina warga negara agar berkepribadian Muslim sesuai dengan ajaran-ajaran agama Islam dan menanamkan rasa keagamaan tersebut pada semua kehidupannya serta menjadikannya sebagai orang yang berguna bagi agama, masyarakat, dan negara. 7
5
Muljiono Dampolii, op. cit., hlm. 82. Arief Subhan, Lembaga Pendidikan islam Indonesia Abad Ke-20 Pergumulan Antara Modernisasi dan Identitas, Cet. Ke- 1, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2012), hlm. 84. 7 Mujamil Qomar, op. cit., hlm. 3-6. 6
24
Sebagai lembaga pendidikan Islam, pondok pesantren memiliki beberapa elemen dasar yang membedakannya dengan lembaga pendidikan lain. Elemen-elemen tersebut adalah: a. Pondok Diantara ciri pokok pesantren adalah memiliki sebuah pondok, sehingga lembaga pendidikan ini popular dan sering disebut dengan pondok pesantren. Keberadaan pondok dalam pesantren berfungsi sebagai wadah pembinaan, penggemblengan dan pengajaran serta pendidikan ilmu pengetahuan bagi para santrinya. Dengan demikian penting menumbuhkan atmosfir kesederhanaan, relegius yang mendalam, terciptanya iklim akademik yang kondusif dibidang keilmuan dalam pondok pesantren. Melalui pondok, santri dapat mengembangkan dan melatih ilmu-ilmu yang praktis, seperti ketrampilan berbahasa, tahfidz Al- Qur’an dan ketrampilan-ketrampilan agama lain. Dalam pondok berlangsung sistem pembelajaran secara kekeluargaan yang dapat membantu proses pembinaan akhlak bagi santri.8 Ada tiga alasan mengapa pesantren harus menyediakan pondok atau asrama bagi para santrinya. Pertama, kemasyhuran seorang kiai dengan kedalaman pengetahuannya tentang agama Islam yang menarik para santri baik yang dekat sampai yang jauh tempat tinggalnya untuk berguru kepadanya dalam waktu yang 8
Amiruddin Nahrawi, Pembaharuan Pendidikan Pesantren, (Yogyakarta: Gama Media, 2008), hlm. 25.
25
cukup lama. Para santri itu harus meninggalkan kampung halamannya dan menetap di dekat kediaman kiai. Kedua, kebanyakan pesantren terletak di desa-desa di mana tidak ada perumahan (akomodasi) yang cukup untuk menampung banyak santri. Ketiga, ada sikap timbal balik antara kiai dan santri, di mana seorang kiai seolah-olah adalah seorang bapak yang mempunyai tanggung jawab kepada anaknya dan para santri adalah titipan dari Tuhan yang harus dilindungi. Rasa timbal balik tersebut yang menimbulkan keakraban dan kebutuhan untuk saling berdekatan terus-menerus. Selain itu dari pihak santri tumbuh perasaan pengabdian kepada sang kiainya.9 b. Masjid Pada dasarnya masjid merupakan sentral bagi kegiatan kaum muslim. Di dunia pesantren, masjid dijadikan sebagai sentral segala kegiatan pesantren. Bukan saja ritual rutin seperti beribadah kepada Allah (sholat lima waktu), tetapi juga sebagai tempat berlangsungnya
penyelenggaraan
proses
belajar
mengajar,
terutama kegiatan kajian kitab, sorogan, muhadloroh, dan lain-lain. c. Pengajaran kitab-kitab Islam klasik Pengajaran kitab-kitab klasik merupakan salah satu ciri khas pesantren. di lingkungan pesantren, kitab klasik lebih dikenal dengan sebutan kitab kuning. Ini karena dilihat dari bahan
9
Zamakhsyari Dhofier, op. cit., hlm. 46-47.
26
kertasnya yang berwarna kekuning-kuningan. Kitab-kitab itu sendiri biasanya ditulis oleh para ulama abad pertengahan yang menekankan pada kajian fikih, hadits, tafsir maupun akhlak. Pengajaran ini sangat penting, karena dapat menjadikan santri menguasai bahasa arab yang merupakan bahasa kitab-kitab itu sendiri dan menguasai pemahaman pada muatan dari kitab-kitab tersebut.10 Menurut Zamakhsyari Dhofier kitab-kitab klasik yang diajarkan di pesantren dapat digolongkan kedalam 8 kelompok seperti: (1) nahwu (syntax) dan shorof (morfologi), (2) fiqh, (3) ushul fiqh, (4) hadits, (5) tafsir, (6) tauhid, (7) tasawuf dan etika, dan (8) cabang-cabang lain seperti tarikh dan balaghah. Kitab-kitab tersebut meliputi teks yang sangat pendek sampai teks yang terdiri dari berjilid-jilid tebal.11 d. Santri Santri merupakan elemen penting dalam suatu lembaga pesantren. Walaupun demikian menurut tradisi pesantren terdapat 2 golongan santri, yaitu: a) Santri mukim, yaitu mereka para santri yang berasal dari daerah yang jauh dan menetap dalam kelompok pesantren. b) Santri kalong, yaitu mereka para santri yang berasal dari desadesa sekitar pesantren, yang biasanya tidak menetap di 10 11
Amiruddin Nahrawi, op. cit., hlm. 25-26. Zamakhsyari Dhofier, op. cit., hlm. 50.
27
pesantren untuk belajar di sana. Mereka bolak-balik dari rumahnya. 12 e. Kiai Elemen yang terpenting dalam lembaga pesantren adalah seorang kiai. Pada dasarnya gelar kiai lebih ditujukan kepada orang yang memiliki pengetahuan agama Islam secara mendalam, sekaligus memiliki lembaga pendidikan pesantren. Kiai memiliki peran yang sangat penting dan strategis dalam pengembangan dan penggerakan pesantren. Maka, kiai berdimensi ganda, yaitu sebagai pemimpin pondok pesantren dan sebagai pemilik pondok pesantren.13 Secara intelektual, Nata mengemukakan bahwa “seorang kiai haruslah memenuhi persyaratan akademik, yaitu: a) Menguasai ilmu agama secara mendalam, b) Ilmunya diakui masyarakat, c) Menguasai kitab-kitab kuning dengan baik, d) Taat beribadah, e) Mandiri dalam bersikap, f) Tidak mau mendatangi penguasa, g) Memiliki genealogi dengan kiai-kiai lain, h) Mempunyai ilham.”14 Seiring dengan laju perkembangan masayarakat, maka pendidikan pesantren, baik tempat, bentuk hingga substansinya telah jauh mengalami perubahan. Pesantren tidak sesederhana dulu. Pesantren dapat diklasifikasikan menjadi pesantren salafi, khalaf, kilat dan terintegrasi (Yacub, 1985: 70). 12
Zamakhsyari Dhofier, op. cit., hlm. 50. Amiruddin Nahrawi, op. cit., hlm. 27. 14 Muljono Damopili, op. cit., hlm. 76. 13
28
a. Pesantren salafi, yaitu pesantren yang tetap mempertahankan pelajarannya dengan kitab-kitab klasik, dan tanpa diberikan pengetahuan umum. Metode pengajarannya yang digunakan adalah metode sorogan dan weton. b. Pesantren khalaf, yaitu pesantren yang menerapkan sistem pengajaran klasikal (madrasi), memeberikan ilmu umum dan ilmu agama dan juga memberikan pendidikan ketrampilan. c. Pesantren kilat, yaitu pesantren yang berbentuk semacam training dalam waktu relatif singkat, dan biasanya dilaksanakan pada waktu libur sekolah. Aspek-aspek yang ditekankan dalam pesantren ini adalah ketrampilan ibadah dan kepemimpinan. Para santri adalah siswa
sekolah
yang
dipandang
perlu
mengikuti
kegiatan
keagamaan di pesantren kilat ini. d. Pesantren terintegrasi, yaitu pesantren yang lebih menekankan pada pendidikan vocasional dan kejuruan, sebagaimana balai latihan kerja di Departemen Tenaga Kerja, dengan program yang terintegrasi. Santrinya biasanya berasal dari anak-anak yang putus sekolah atau para pencari kerja. Dalam penelitiannya Prasojo (1975: 83-84) menjelaskan bahwa: ada lima macam bentuk pesantren yang dilukiskan dengan tingkattingkat perkembangan fisiknya: a. Pesantren yang hanya masih terdiri dari masjid dan rumah kiai. Pola ini adalah pola awal pondok pesantren berdiri. b. Pesantren yang terdiri dari masjid, rumah kiai dan pondok sebagai tempat kediaman santri sekaligus ruang belajar. c. Pesantren yang terdiri dari masjid, rumah kiai, pondok dan madrasah.
29
d. Pesantren yang terdiri dari masjid, rumah kiai, pondok, madrasah dan tempat ketrampilan. e. Pesantren yang terdiri dari masjid, rumah kiai, pondok, madrasah, tempat ketrampilan, universitas, gedung pertemuan, tempat olah raga, dan sekolah-sekolah umum.15 Meskipun banyak sekali berkembang bentuk-bentuk pondok pesantren yang ada, namun pada dasarnya esensi pondok pesantren masih sama.
2. Fungsi dan Peran Pondok Pesantren a. Fungsi Pondok Pesantren Sejak berdirinya pada abad yang sama dengan masuknya Islam hingga sekarang, pesantren telah bergumul dengan masayarakat luas. Pesantren telah berpengalaman menghadapi berbagai corak masyarakat dalam rentang waktu itu. Pesantren tumbuh atas dukungan mereka, sehingga pesantren memiliki fungsi yang jelas. Pada masa yang paling awal (masa Syaikh Maulana Malik Ibrahim), pesantren berfungsi sebagai pusat pendidikan dan penyiaran agama Islam. Kedua fungsi ini sangat menunjang, untuk berdakwah atau menyiarkan agama Islam pendidikan dapat menjadi sebuah bekal, sedangkan dengan dakwah atau penyiaran agama Islam bisa dimanfaatkan sebagai sarana dalam membangun sistem pendidikan. Pada masa walisongo (Sunan Gresik, Sunan 15
Khozin, Jejak-Jejak Pendidikan Islam Di Indonesia Rekontruksi Sejarah Untuk Aksi, cet. kedua, (Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, 2006), hlm. 100-102.
30
Ampel, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Kudus, Sunan Firi, Sunan Kalijaga, Sunan Muria dan Sunan Gunung Jati) fungsi pondok pesantren adalah sebagai penyetak calon ulama dan mubaligh yang militant dalam menyiarkan agama Islam. Sebagai lembaga dakwah, pesantren berusaha mendekati masyarakat dan bekerja sama dalam mewujudkan pembangunan masayarakat. Warga pesantren telah terlatih melaksanakan pembangunan
untuk
kesejahteraan
masyarakat
khususnya,
sehingga terjalin hubungan yang harmonis antara warga pesantren dengan masyarakat. Sehingga menurut Ma’shum, fungsi pesantren mencakup tiga aspek yaitu fungsi religius (diniyyah), fungsi sosial (ijtimaiyyah) dan fungsi edukasi (tarbiyyah). Fungsi tersebut masih berlangsung sampai sekarang. Selain sebagai lembaga pendidikan, pesantren juga berfungsi sebagai lembaga pembinaan moral dan kultural. b. Peran Pondok Pesantren Selain itu pesantren juga memiliki peran penting dalam mengisi pembangunan masyarakat. Ada tiga peran penting yang dimiliki pesantren dalam masyarakat: a) Sebagai pusat berlangsungnya transmisi ilmu-ilmu Islam tradisional, b) Sebagai penjaga dan pemelihara keberlangsungan Islam tradisional,
31
c) Sebagai pusat reproduksi ulama’. Lebih dari itu pesantren juga menjadi pusat penyuluhan kesehatan, pusat pengembangan teknologi tepat guna bagi masyarakat pedesaan dan sebagainya. 16 Pesantren mengemban beberapa peran, utamanya sebagai lembaga pendidikan, selain itu pesantren juga berperan sebagai lembaga
bimbingan
keagamaan,
keilmuan,
pelatihan,
pengembangan masyarakat, dan sekaligus sebagai simpul budaya. Biasanya peran-peran itu tidak langsung terbentuk, melainkan melewati tahap demi tahap. Setelah sukses sebagai lembaga pendidikan, pesantren bisa pula menjadi lembaga keilmuan, pelatihan
dan
pemberdayaan
masyarakat.
Keberhasilan
membangun integrasi dengan masyarakat barulah memberinya mandat sebagai lembaga bimbingan keagamaan dan simpul budaya.17
3. Pondok Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan Pengembangan apapun yang dilakukan oleh pondok pesantren tidak mengubah ciri pokoknya sebagai lembaga pendidikan dalam arti luas. Ciri inilah yang menjadikan pondok pesantren tetap dicari oleh masyarakat. Disebut dalam arti luas karena tidak semua pondok pesantren menyelenggarakan madrasah, sekolah dan kursus seperti 16
Mujamil Qomar, Op. Cit., hlm. 22-23. M. Dian Nafi’ (Editor), Praksis Pembelajaran Pesantren, Cet. Ke- 1, (Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara, 2007), hlm. 11. 17
32
yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan di luar keteraturan pendidikan di dalamnya terbentuk karena pengajian yang bahannya diatur sesuai urutan penjenjangan kitab. Penjenjangan ini diterapkan secara turun-temurun membentuk tradisi kurikuler yang terlihat dari standar-standar isi, kualifikasi pengajar, dan santri lulusannya. Tradisi itu jelas menunjuk kepada pewarisan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Tradisi ini tidak dapat dilihat sebagai sesuatu yang mandek atau negatif, melainkan harus juga dilihat sebagai keberhasilan para ulama’ dalam membangun standar pembelajaran agama di pesantren yang terbukti dapat diterapkan sampai kurun waktu yang lama dan menjangkau kawasan yang sangat luas. Dimanapun pesantren didirikan tidak perlu menunggu banyak tenaga ahli untuk memulai kegiatan pembelajarannya. Bahkan cukup dengan seorang kiai, sebuah pesantren sudah dapat dirintis dan memberikan manfaat bagi umat.18 Pesantren merupakan lembaga penyebaran agama, sebab nilai filosofis berdirinya pesantren untuk mempengaruhi secara positif beragamaan masyarakat. Masyarakat yang pada mulanya tidak tahu tentang agama dapat mengetahui dan akhirnya menjadi pemeluk yang taat. Mengubah masyarakat yang tadinya tidak tebal keislamannya menjadi masyarakat yang Islam.
18
Ibid, hlm. 13.
33
Sebagai sebuah pesantren, lembaga ini memiliki tujuan umum dari pendidikan pesantren, yaitu memberikan bekal pengetahuan agama kepada para santri, akan tetapi setiap pesantren memiliki tujuan khusus yang berbeda-beda dengan kekhasan pesantren itu sendiri. Menurut K.H. Ali Maksum bahwa: “metode mengajar dalam pesantren berdasarkan dari tujuan pesantren pada umumnya di sekitar ilmu pengetahuan agama dengan praktik langsung dalam pengawasan ketat kiai sebagai pengasuh pondok bersama ciri khasnya. Namun dengan demikian kekhasan tersebut perlu dikembangkan dengan ilmu pengetahuan lain seperti ilmu kalam, ilmu tauhid yang merupakan ilmu-ilmu operasional yang harus dicerminkan dalam kehidupan seharihari”.19 B. Kecerdasan Interpersonal 1. Pengertian Kecerdasan Interpersonal Kecerdasan merupakan sesuatu yang bisa diamati namun sulit sekali untuk didefinisikan. Howard Gardner (1993) mengemukakan bahwa kecerdasan sesorang meliputi delapan kecerdasan, yaitu (1) kecerdasan matematika logika, (2) kecerdasan bahasa, (3) kecerdasan musical, (4) kecerdasan visual spasial, (5) kecerdasan kinestik, (6) kecerdasan interpersonal, (7) kecerdasan intrapersonal dan (8) kecerdasan naturalis.20 Kecerdasan interpersonal atau bisa dikatakan dengan kecerdasan sosial adalah kemampuan untuk berhubungan dengan orang-orang di sekitar. Kecerdasan ini merupakan sebuah kemampuan untuk 19
Amiruddin Nahrawi, op. cit., hlm. 101-104. http://gozaligunadarma.blogspot.com/2011/11/pengertian-kecerdasaninterpersonal.html. (November 2011). Diakses, 4 desember 2014. 20
34
memahami dan memperkirakan perasaan orang lain kemudian menanggapinya dengan layak. Kecerdasan ini bukanlah sesuatu yang lahir
bersama
dengan
seseorang,
tetapi
sesuatu
yang harus
dikembangkan melalui pembinaan.21 Eksistensi manusia sebagai makhluk sosial dituntut untuk bisa menjalin interaksi dengan sesamanya. Menjalin hubungan ini diakui oleh sebagian ahli psikolog sebagai sebuah kebutuhan yang harus dipenuhi dengan baik. Bila tidak, manusia akan mengalami banyak gangguan. Selain itu setiap individu mempunyai pembawaan yang integral seperti kerja sama, empati dan sifat mementingkan kepentingan orang lain.22 Kecerdasan interpersonal memungkinkan seseorang untuk bisa memahami dan berkomunikasi dengan orang lain, melihat perbedaan mood, tempramen, motivasi dan kemampuan. Termasuk juga kemampuan untuk membentuk dan menjaga sebuah hubungan, serta mengetahui berbagai peran yang terdapat dalam suatu kelompok, baik sebagai anggota maupun pemimpin. Kecerdasan interpersonal ini terlihat jelas pada orang-orang yang memiliki kemampuan sosial yang baik, seperti pemimpin politik atau pemimpin agama, para orang tua yang trampil, guru, ahli terapi ataupun konselor. Kecerdasan yang mendukung
21
dalam
mengembangkan
kecerdasan
sosial
adalah
May Lwin, et. al., Cara Mengembangkan Berbagai Komponen Kecerdasan, Alih Bahasa Christine Sujana, (Jakarta: PT. Indeks, 2008), hlm. 197. 22 Akhmad Muhaimin Azzet, Mengembangkan Kecerdasan Sosial Bagi Anak, (Jogjakarta: Katahati, 2010), hlm. 39-40.
35
kecerdasan lingusitik (kecerdasan berbahasa), dengan pengolahan kata yang baik maka kecerdasan sosial akan lebih efektif.23 Salah seorang psikolog dari Inggris, N K Humphrey mengatakan bahwa kecerdasan interpersonal adalah hal yang paling penting dalam intelek manusia, ia mengatakan bahwa kegunaan kreatif dan pikiran manusia yang paling besar adalah mengadakan acara untuk mempertahankan sosial manusia secara efektif.24 Dalam konteks keindonesiaan, UU Guru dan Dosen yang telah disahkan oleh DPR pada Desember 2005, sesungguhnya telah menyiapkan sebuah kenyataan bahwa seorang guru dan dosen harus memiliki kecerdasan interpersonal atau kecerdasan sosial agar proses pendidikan di Indonesia tidak mengabaikan hal penting ini. Kecerdasan sosial sangat penting dimiliki seseorang agar seseorang bisa sukses dalam kariernya, baik dalam sebuah kelembagaan atau sendiri.25 Ciri-ciri orang yang memiliki kecerdasan interpersonal yang baik antara lain: a. Terikat dengan orang tua dan berinteraksi dengan orang lain. b. Membentuk dan menjaga hubungan sosial. c. Mengetahui dan menggunakan cara-cara yang beragam dalam berhubungan dengan orang lain. 23
http://azharmind.blogspot.com/2011/09/mengenal-dan-mengembangkankecerdasan.html (September 2011), Diakses, 4 Desember 2014. 24 Linda Campbell, et. al., Multiple Intelligences: Metode Terbaru Melesatkan Kecerdasan, Alih Bahasa Tim Inisiasi, (Depok: Inisiasi Press, 2002), hlm. 172. 25 Akhmad Muhaimin Azzet, op. cit., hlm. 40.
36
d. Merasakan perasaan, pikiran motivasi, tingkah laku dan gaya hidup orang lain. e. Memahami dan berkomunikasi secara efektif, baik dengan cara verbal maupun nonverbal. f. Tertarik pada karir yang berorientasi interpersonal, seperti mengajar, pekerja sosial, konseling, manajemen atau politik.26 Kecerdasan sosial ini memiliki tiga dimensi yang merupakan satu kesatuan yang utuh serta ketiganya saling mengisi satu sama lain. Ketiga dimensi tersebut adalah: a) Social Sensitivity (Sensitiv Sosial) Kemampuan untuk merasakan dan mengamati reaksi-reaksi atau perubahan orang lain yang ditunjukannya baik secara verbal maupun non-verbal. Anak yang memiliki sensitivitas yang tinggi akan mudah memahami dan menyadari adanya reaksi-reaksi tertentu dari orang lain, entah reaksi tersebut positif ataupun negatif. Adapun indikator dari sensivitas sosial itu sendiri menurut Safaria adalah sebagai berikut: (a) Sikap empati Empati adalah pemahaman kita tentang orang lain berdasarkan sudut pandang, perspektif, kebutuhan-kebutuhan, pengalaman-pengalaman orang tersebut. Anak yang memiliki empati yang baik akan mempunyai kemampuan tenggang rasa terhadap orang lain dan peka terhadap situasi orang lain.27 Oleh karena itu sikap empati sangat dibutuhkan di dalam proses 26 27
hlm. 133.
Linda Campbell, et. al., op. cit., hlm. 173. Dian Ibung, Mengembangkan Nilai Moral pada Anak, (Jakarta: PT. Gramedia, 2009),
37
bersosialisasi agar tercipta suatu hubungan yang saling menguntungkan. (b) Sikap prososial Prososial adalah tindakan moral yang harus dilakukan secara kultural seperti berbagi, membantu seseorang yang membutuhkan, bekerja sama orang lain dan mengungkapkan simpati. b) Sosial Insight Kemampuan seseorang untuk memahami dan mencari pemecahan masalah yang efektif dalam satu interaksi sosial, sehingga masalah-masalah tersebut tidak menghambat apalagi menghancurkan relasi sosial yang telah dibangun. Di dalamnya juga terdapat kemampuan dalam memahami situasi sosial dan etika sosial sehingga anak mampu menyesuaikan dirinya dengan situasi tersebut. Adapun indikator dari sosial insight adalah: (a) Kesadaran diri, (b) Pemahaman situasi sosial dan etika sosial, (c) Ketrampilan pemecahan masalah sosial. c) Sosial Communication Penguasaan ketrampilan komunikasi sosial merupakan kemampuan individu untuk menggunakan proses komunikasi dalam menjalin dan membangun hubungan interpersonal yang sehat.
Dalam
proses
menciptakan,
membangun
dan
mempertahankan relasi sosial maka seseorang membutuhkan sarannya. Tentu saja sarana yang digunakan adalah melalui proses
38
komunikasi melalui penampilan fisik. Ketrampilan komunikasi yang harus dikuasai adalah ketrampilan mendengarkan efektif, ketrampilan berbicara efektif, ketrampilan public speaking dan ketrampilan menulis secara efektif.28
2. Manfaat Kecerdasan Interpersonal dan Pentingnya Kecerdasan Interpersonal Ada beberapa alasan penting mengapa memiliki kecerdasan interpersonal bukan hanya penting tetapi juga merupakan sebuah dasar bagi kesejahteraan seseorang, yaitu: a. Untuk menjadi orang dewasa yang sadar secara sosial dan mudah menyesuaikan diri, b. Menjadi berhasil dalam segala hal, c. Untuk kesejahteraan emosional dan fisik.29 Selain itu banyak sekali manfaat yang dapat diambil dari upaya mengembangkan kecerdasan interpersonal. Dalam buku yang berjudul Mengembangkan Kecerdasan Sosial Bagi Anak ada beberapa manfaat mengembangkan kecerdasan sosial bagi kehidupan, antara lain: a. b. c. d.
28
Menyehatkan jiwa dan raga, Membuat suasana nyaman, Meredakan perkelahian, Membangkitkan semangat.30
T. Safaria, Interpersonal Intellegence, Metode Pengembangan Kecerdasan Interpersonal Anak, (Yogyakarta: Amara Books, 2005), hlm. 24-25. 29 May Lwin, et. al., op. cit., hlm. 198-202. 30 Akhmad Muhaimin Azzet, op. cit., hlm. 83-88.
39
3. Strategi Pengajaran untuk Kecerdasan Interpersonal Dalam buku yang berjudul Mengelola Kecerdasan Dalam Pembelajaran ada beberapa strategi dalam mengajarkan kecerdasan interpersonal pada anak, diantaranya: a. Berbagi rasa dengan teman Berbagi rasa adalah strategi kecerdasan majemuk diterapkan bagi anak. Hal ini dilakukan dengan mendorong anak untuk bercerita dengan temannya, atau sejenis membangun sistem persahabatan dengan teman-teman yang lain. b. Kerja kelompok Kerja kelompok ini sangat cocok untuk pengajaran kecerdasan ganda karena disusun sedemikian rupa sehingga melibatkan banyak anak. Kerja kelompok juga bisa membantu anak belajar mengorganisasi kelompok. c. Simulasi Simulasi memang melibatkan sejumlah kecerdasan (kecerdasan kinestik, linguistik, dan spasial), namun strategi ini dimaksudkan kedalam kategori kecerdasan interpersonal karena interaksi antarmanusia yang terjadi dapat membantu anak mengembangkan tingkat pemahaman yang baru, melalui percakapan dan bentukbentuk interaksi lain.31
31
Hamzah B. Uno dan Masri Kuadrat, Mengelola Kecerdasan Dalam Pembelajan, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2009), hlm.144-148.