BAB II PENTINGNYA PENGATURAN TINDAK PIDANA TERORISME DI DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA
A. Pengaturan dan Karakteristik Tindak Pidana Terorisme 1. Arti Pentingnya Pengaturan Terorisme Kejahatan terorisme merupakan salah satu bentuk kejahatan berdimensi internasional yang sangat menakutkan masyarakat. Di berbagai negara di dunia telah terjadi kejahatan terorisme baik di negara maju maupun negara-negara sedang berkembang, aksi-aksi teror yang dilakukan telah memakan korban tanpa pandang bulu. Hal ini menyebabkan Perserikatan Bangsa Bangsa dalam kongresnya di Wina Austria tahun 2000 mengangkat tema The Prevention of Crime and The Treatment of Offenders, antara lain menyebutkan terorisme sebagai suatu perkembangan perbuatan dengan kekerasan yang perlu mendapat perhatian. 41 Menurut Muladi, terorisme merupakan kejahatan luar biasa (Extraordinary Crime) yang membutuhkan pula penanganan dengan mendayagunakan cara-cara luar biasa (Extraordinary Measure) karena berbagai hal: 42
41
Lihat, Soeharto, Implemetasi Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa dan Korban dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, (Bandung: Disertasai Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, 2009), hal. 47 bahwa di Indonesia regulasi mengenai tindak pidana terorisme diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Filosofis yang ada dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme bahwa terorisme merupakan musuh umat manusia, kejahatan terhadap peradaban, merupakan Internasional dan Transnational Organized Crime. Tujuan dari dibentuknya Undang-Undang Tindak Pidana Terorisme adalah perlindungan masyarakat, sedangkan paradigma pembentukan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang merupakan paradigma tritunggal yaitu melindungi wilayah negara kesatuan Republik Indonesia, Hak Asasi Manusia dan Perlindungan Hak Asasi Tersangka. 42 Muladi, Penanggulangan Terorisme Sebagai Tindak Pidana Khusus, bahan seminar Pengamanan Terorisme sebagai Tindak Pidana Khusus, Jakarta, 28 Januari 2004, hal 7
Universitas Sumatera Utara
a. Terorisme merupakan perbuatan yang menciptakan bahaya terbesar (the greatest danger) terhadap hak asasi manusia. Dalam hal ini hak asasi manusia untuk hidup (the right to life) dan hak asasi untuk bebas dari rasa takut. b. Target terorisme bersifat random atau indiscriminate yang cenderung mengorbankan orang-orang tidak bersalah. c. Kemungkinan digunakannya senjata-senjata pemusnah massal dengan memanfaatkan teknologi modern. d. Kecenderungan terjadinya sinergi negatif antar organisasi terorisme nasional dengan organisasi internasional. e. Kemungkinan kerjasama antara organisasi teroris dengan kejahatan yang terorganisasi baik yang bersifat nasional maupun transnasional. f. Dapat membahayakan perdamaian dan keamanan internasional. Terorisme sebagai kejahatan telah berkembang menjadi lintas negara. Kejahatan yang terjadi di dalam suatu negara tidak lagi hanya dipandang sebagai yurisdiksi satu negara tetapi bisa diklaim termasuk yurisdiksi tindak pidana lebih dari satu negara. Menurut Romli Atmasasmita dalam perkembangannya kemudian dapat menimbulkan konflik yurisdiksi yang dapat mengganggu hubungan internasional antara negara-negara yang berkepentingan di dalam menangani kasus-kasus tindak pidana berbahaya yang bersifat lintas batas teritorial. 43
43
Keterangan Pemerintah tentang diterbitkannya Perpu Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang disampaikan oleh Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, tahun 2002, hal 8.
Universitas Sumatera Utara
Kejahatan terorisme menggunakan salah satu bentuk kejahatan lintas batas negara yang sangat mengancam ketentraman dan kedamaian dunia. Terorisme adalah suatu kejahatan yang tidak dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa. Secara akademis, terorisme dikategorikan sebagai ”kejahatan luar biasa” atau ”extraordinary crime” dan dikategorikan pula sebagai ”kejahatan terhadap kemanusiaan” atau ”crime
against
humanity”. 44
Mengingat
kategori
yang
demikian
maka
pemberantasannya tentulah tidak dapat menggunakan cara-cara yang biasa sebagaimana menangani tindak pidana biasa seperti pencurian, pembunuhan atau penganiayaan. Tindak pidana terorisme selalu menggunakan ancaman atau tindak kekerasan yang mengancam keselamatan jiwa tanpa memilih-milih siapa yang akan menjadi korbannya. Terorisme merupakan kejahatan luar biasa (Extra Ordinary crime) yang membutuhkan pula penanganan dengan mendayagunakan cara-cara luar biasa (Extra Ordinary Measure). Sehubungan dengan hal tersebut Muladi mengemukakan: 45 ”Setiap usaha untuk mengatasi terorisme, sekalipun dikatakan bersifat domestik karena karakteristiknya mengandung elemen ”Etno Socio or Religios Identity”, dalam mengatasinya mau tidak mau harus mempertimbangkan standar-standar keluarbiasaan tersebut dengan mengingat majunya teknologi komunikasi, informatika dan transportasi modern. Dengan demikian tidaklah mengejutkan apabila terjadi identitas terorisme lintas batas negara (transborder terorism identity)”. Sejalan dengan itu 44
Muladi, Loc.cit Muladi, Penanganan Terorisme Sebagai Tindak Pidana Khusus (Extra Ordinary Crime), Materi Seminar di Hotel Ambara Jakarta, 28 Juni 2004, hal. 1. 45
Universitas Sumatera Utara
Romly Atmasasmita mengatakan bahwa dari latar belakang sosiologis, terorisme merupakan kejahatan yang sangat merugikan masyarakat baik nasional maupun internasional, bahkan sekaligus merupakan perkosaan terhadap hak asasi manusia. 46 Menurut T. P. Thornton dalam Terror as a Weapon of Political Agitation (1964) terorisme didefinisikan sebagai penggunaan teror sebagai tindakan simbolis yang dirancang untuk mempengaruhi kebijaksanaan dan tingkah laku politik dengan cara-cara ekstra normal, khususnya dengan penggunaan kekerasan dan ancaman kekerasan. penggunaan cara-cara kekerasan dan menimbulkan ketakutan adalah cara yang sah untuk mencapai tujuan. Proses teror, menurutnya memiliki tiga unsur, yaitu: 47 1. Tindakan atau ancaman kekerasan. 2. Reaksi emosional terhadap ketakutan yang amat sangat dari pihak korban atau calon korban. 3. Dampak sosial yang mengikuti kekerasan atau ancaman kekerasan dan rasa ketakutan yang muncul kemudian. Terorisme dapat diartikan sebagai penggunaan atau ancaman penggunaan kekerasan fisik yang direncanakan, dipersiapkan dan dilancarkan secara mendadak terhadap sasaran langsung yang lazimnya adalah non combatant untuk mencapai suatu tujuan politik. Pengertian terorisme dalam rumusan yang panjang oleh James
46
Romly Atmasasmita, Kasus Terorisme Di Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Materi Seminar Penanganan Terorisme Sebagai Tindak Pidana Khusus, Jakarta 28 Juni 2004, hal. 3 47 Bryan A. Gardner, Editor in Chief, Black Law Dictionary, Seventh Edition, 1999, hal. 84.
Universitas Sumatera Utara
Adams adalah: 48 Penggunaan atau ancaman kekerasan fisik oleh individu- individu atau kelompok-kelompok untuk tujuan-tujuan politik, baik untuk kepentingan atau untuk melawan kekuasaan yang ada, apabila tindakan - tindakan terorisme itu dimaksudkan untuk mengejutkan, melumpuhkan atau mengintimidasi suatu kelompok sasaran yang lebih besar daripada korban- korban langsungnya. Terorisme melibatkan kelompok-kelompok yang berusaha untuk menumbangkan rezim-rezim tertentu untuk mengoreksi keluhan kelompok/nasional, atau untuk menggerogoti tata politik internasional yang ada. Tindak Pidana terorisme merupakan tindak pidana murni (mala perse) yang dibedakan dengan administrative criminal law (mala prohibita). memahami makna terorisme dari beberapa lembaga di Amerika Serikat juga memberikan pengertian yang berbeda-beda, seperti misalnya: United Stated Central Intelligence (CIA). Terorisme internasional adalah terorisme yang dilakukan dengan dukungan pemerintah atau organisasi asing dan/atau diarahkan untuk melawan negara, lembaga, atau pemerintah asing. United Stated Federal Bureau of Investigation (FBI) terorisme adalah penggunaan kekuasaan tidak sah atau kekerasan atas seseorang atau harga untuk mengintimidasi sebuah pemerintahan, penduduk sipil dan elemen-elemennya untuk mencapai tujuan sosial atau politik. 49
48
Muchamad Ali, Syafaat dalam Terorisme, Definisi, Aksi dan Regulasi, (Jakarta: Imparsial, 2003), hal. 59. 49 Muladi, Loc.cit
Universitas Sumatera Utara
Terorisme mengandung arti sebagai penggunaan atau ancaman tindakan dengan ciri-ciri : 50 a. Aksi yang melibatkan kekerasan serius terhadap seseorang, kerugian berat pada harta benda, membahayakan kehidupan seseorang, bukan kehidupan orang yang melakukan tindakan, menciptakan resiko serius bagi kesehatan atau keselamatan publik atau bagian tertentu dari publik atau didesain secara serius untuk campur tangan atau mengganggu sistem elektronik. b. Penggunaan ancaman atau didesain untuk mempengaruhi pemerintah atau mengintimidasi publik atau bagian tertentu dari publik. c. Penggunaan atau ancaman dibuat dengan tujuan mencapai tujuan politik, agama atau ideologi. d. Penggunaan atau ancaman yang masuk dalam kegiatan yang melibatkan penggunaan senjata api atau bahan peledak. Selanjutnya, pemberantasan tindak pidana terorisme berlandaskan kepada 6 (enam) prinsip yaitu: 1. National security adalah untuk mewujudkan prinsip teritorialitas dari hukum pidana sekaligus untuk melandasi pertahanan dan keamanan negara sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia. 2. Balance of justice adalah untuk menegakkan prinsip equality before the law, baik terhadap tersangka/terdakwa maupun terhadap korban sehingga due proses harus digandengkan dengan model crime control dalam mencegah dan memberantas tindak pidana terorisme. 3. Safe guarding rules adalah prinsip yang harus dipertahankan dan dilaksanakan untuk mencegah terjadinya abuse of power dalam mencegah dan pemberantasan tindak pidana ini.
50
F. Budi Hardiman, Terorisme, Definisi, Aksi dan Regulasi, (Jakarta: Imparsial, 2003), hal 4.
Universitas Sumatera Utara
4. Safe harbor rules adalah prinsip yang diharapkan upaya untuk memberikan perlindungan kepada tersangka pelaku tindak pidana terorisme dan prinsip ini dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme telah diperkuat dengan ketentuan yang mengkriminalisasi perbuatan memberikan kemudahan (fasilitas) sesudah tindak pidana tersebut dilakukan (accessories after the facts) sebagai tindak pidana yang berdiri sendiri. 5. Sunshine principle adalah prinsip yang mengedepankan transparansi dan akuntabilitas dalam proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di muka sidang pengadilan dalam kasus pidana terorisme. 6. Sunset principle adalah prinsip yang mengadakan pembatasan waktu (time limits) terhadap kebijakan pemerintah yang bersifat pembentukan kelembagaan khusus dan atau mekanisme khusus tertentu yang diperlukan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana terorisme.
2. Pengaturan Teorisme di dalam Undang-Undang Keadaan yang mendesak menyebabkan Pemerintah Republik Indonesia sejak awal tahun 1999 telah memulai mengambil langkah-langkah untuk menyusun Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Pengaturan tersebut memang sangat dibutuhkan
mengingat
terorisme
merupakan
suatu
fenomena
yang
dapat
dikatakan tidak asing lagi di telinga masyarakat Indonesia. Terlebih setelah terjadinya beberapa aksi pengeboman di beberapa wilayah Indonesia. Sebut saja peristiwa bom Bali I dan bom Bali II yang mendapat perhatian dari dunia internasional dikarenakan banyaknya warganegara asing yang turut menjadi korban. Indonesia telah mengkriminalisasi
tindakan
terorisme
dengan diundangkannya peraturan
pemerintah pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 yang berdasarkan UU No. 15 Tahun 2003 telah ditetapkan menjadi Undang-Undang. Sedangkan untuk pendanaan terorisme sendiri tidak diatur secara tersendiri melainkan diatur
Universitas Sumatera Utara
secara bersamaan dalam Perpu 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. 51 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) Nomor 1 Tahun 2002 yang kemudian disetujui menjadi Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 secara spesifik juga memuat perwujudan ketentuan-ketentuan yang dikeluarkan Perserikatan BangsaBangsa (PBB) dalam Convention Against Terorism Bombing (1997) dan Convention on the Suppression of Financing Terorism (1997), antara lain memuat ketentuanketentuan tentang lingkup yuridiksi yang bersifat transnasional dan internasional serta ketentuan-ketentuan khusus terhadap tindak pidana terorisme internasional. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 juga mempunyai kekhususan, antara lain: 52 1. Merupakan ketentuan payung terhadap peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan tindak pidana terorisme. 2. Memuat ketentuan khusus tentang perlindungan terhadap hak asasi tersangka atau terdakwa yang disebut ”safe guarding rules”. 3. Di dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini juga ditegaskan bahwa tindak pidana yang bermotif politik atau yang bertujuan politik sehingga pemberantasannya dalam wadah kerjasama bilateral dan multilateral dapat dilaksanakan secara lebih efektif. 4. Memuat ketentuan yang memungkinkan Presiden membentuk satuan tugas anti teror dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas publik (sunshine principle) dan atau prinsip pemberantasan waktu efektif (sunset principle) yang dapat mencegah penyalahgunaan wewenang satuan tugas bersangkutan. Memuat ketentuan tentang yuridiksi yang didasarkan kepada asas teritorial, 51
Soeharto, Op.cit, hal. 8 bahwa pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang dalam kerangka prinsip ketatanegaraan abnormal recht voor abnormale tijden (hukum darurat untuk kondisi darurat), karenanya dibenarkan pula penerapan asas lex specialis derogate lex generalis (Pasal 103 KUHPidana) 52 Ibid
Universitas Sumatera Utara
5.
6.
7.
8.
asas ekstrateritorial dan asas nasional aktif sehingga diharapkan dapat secara efektif memiliki daya jangkauan terhadap tindak pidana terorisme Memuat ketentuan tentang pendanaan untuk kegiatan teroris sebagai tindak pidana terorisme sehingga sekaligus juga membuat Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini tidak berlaku bagi kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum, baik melalui unjuk rasa, protes, maupun kegiatan-kegiatan yang bersifat advokasi. Di dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini tetap dipertahankan ancaman sanksi pidana yang minimum khusus untuk memperkuat fungsi penjeraan terhadap para pelaku tindak pidana terorisme. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini merupakan ketentuan khusus yang diperkuat sanksi pidana dan sekaligus merupakan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang bersifat koordinatif (coordinating act) dan berfungsi memperkuat ketentuan-ketentuan di dalam peraturan perundangan lainnya yang berkaitan dengan pemberantasan terorisme. Penggunaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2002 didasarkan pada pertimbangan bahwa terjadinya terorisme di berbagai tempat di Indonesia telah menimbulkan kerugian baik materiil maupun immateriil serta menimbulkan ketidakamanan bagi masyarakat oleh karena itu setelah menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003, Undang-Undang tersebut telah menjadi ketentuan payung dan bersifat koordinatif (coordinating act) terhadap peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana terorisme. Undang-Undang Pemberantasan Terorisme ini juga menegaskan bahwa tindak pidana yang bertujuan politik sehingga pemberantasannya dalam wadah kerja sama bilateral dan multilateral dapat dilaksanakan secara lebih efektif. Tersangka atau terdakwa mendapat perlindungan khusus terhadap hak asasinya (safe guarding rules) dan juga diatur tentang ancaman sanksi pidana minimum khusus untuk memperkuat fungsi penjeraan terhadap pelaku tindak pidana terorisme.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Barda Nawawi Arief, kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan (politik kriminal) pada hakikatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfere). 53 Oleh karena itu dapatlah dikatakan bahwa tujuan akhir dari politik kriminal adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Kebijakan untuk menggali tindak pidana terorisme juga terlihat dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional yaitu dalam dalam Buku II Bab I Bagian Keempat tentang Tindak Pidana Terorisme khususnya Pasal 242 sampai dengan Pasal 251. Menurut Barda Nawawi Arief, kebijakan penanggulangan kejahatan yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan secara garis besar meliputi: 54 a. Perencanaan atau kebijakan tentang perbuatan-perbuatan terlarang apa yang akan ditanggulangi karena dipandang membahayakan atau merugikan. b. Perencanaan atau kebijakan tentang sanksi apa yang dapat dikenakan terhadap pelaku perbuatan terlarang itu (baik berupa pidana atau tindakan) dan sistem penerapan. c. Perencanaan atau kebijakan tentang prosedur atau mekanisme peradilan pidana dalam rangka proses penegakan hukum pidana
53
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hal. 2 54
Ibid
Universitas Sumatera Utara
Indonesia pada saat ini sudah memiliki peraturan untuk menanggulangi tindak pidana terorisme sebagaimana tercantum di dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang. Pembuat undang-undang menempatkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 ini sebagai peraturan payung dan bersifat koordinatif yang berfungsi memperkuat ketentuanketentuan di dalam peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana terorisme. Pembentukan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia, merupakan kebijakan dan langkah antisipatif yang bersifat proaktif yang di landaskan kepada kehati-hatian dan bersifat jangka panjang, karena masyarakat Indonesia adalah masyarakat multi etnik dan mendiami ratusan ribu pulau yang tersebar di seluruh wilayah nusantara, letaknya ada yang berbatasan dengan negara lain dan oleh karenanya seluruh komponen bangsa Indonesia berkewajiban memelihara dan meningkatkan kewaspadaan akan adanya segala bentuk kegiatan tindak pidana terorisme. Materi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 terdiri dari 47 (empat puluh tujuh) pasal yang antara lain mengatur masalah ketentuan umum, lingkup berlakunya, kualifikasi tindak pidana terorisme, tindak pidana yang berkaitan dengan terorisme di Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 mempunyai kekhususan meliputi: 55
55
Lilik Mulyadi, Peradilan Bom Bali Perkara Amrozi, Imam Samudra, Ali Ghufron dan Ali Imron alias Alik, (Jakarta: Jambatan, 2007), hal. 14-15.
Universitas Sumatera Utara
1. Sebagai ketentuan payung terhadap peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana terorisme juga bersifat ketentuan khusus yang diperkuat sanksi pidana dan sekaligus koordinatif dan berfungsi memperkuat ketentuan peraturan perundang- undangan. 2. Adanya perlindungan terhadap hak asasi tersangka atau terdakwa yang disebut”safe guarding rules”. 3. Adanya pengecualian bahwa tindak pidana terorisme dikecualikan dari tindak pidana politik atau tindak pidana yang bermotif politik atau tindak pidana yang bertujuan politik sehingga pemberantasannya dalam wadah kerja sama bilateral dan multilateral dapat dilaksanakan secara lebih efektif. 4. Ketentuan undang-undang ini memberi kemungkinan Presiden membentuk satuan tugas anti teror dengan berlandaskan prinsip transparansi dan akuntabilitas publik (sun shine principle) dan atau prinsip pembatasan waktu efektif (sunset principle). 5. Adanya kualifikasi bahwa pendanaan untuk kegiatan terorisme sebagai tindak pidana terorisme. 6. Dikenal, diakui dan dipertahankannya ancaman sanksi pidana dengan minimum khusus untuk memperkuat fungsi penjeraan terhadap pelaku tindak pidana terorisme.
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 menyatakan bahwa tindak pidana terorisme yang diatur didalam undang-undang ini dikecualikan dari tindak pidana politik, tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana politik, tindak pidana dengan motif politik dan tindak pidana dengan tujuan politis yang menghambat ekstradisi. Harus diakui penjelasan undang-undang tersebut sangat disayangkan tidak dijelaskan apa yang dimaksud tindak pidana politik dan tindak pidana dengan tujuan politik. Menurut Barda Nawawi Arif, dalam kebijakan legilatif selama ini tidak ada suatu suatu perbuatan yang secara formal di kualifikasikan sebagai ”kejahatan atau tindak pidana politik” oleh karena itu dapat dikatakan bahwa istilah ”kejahatan atau tindak pidana politik” bukan merupakan istilah yuridis
Universitas Sumatera Utara
melainkan hanya merupakan istilah atau sebutan teoritik ilmiah (scientific term). Selanjutnya Barda Nawawi Arief mengemukakan: 56 ”Jadi kebijakan strategis dalam penanggulangan kejahatan (termasuk tindak pidana terorisme) terletak pada kebijakan penanggulangan yang sensitif. Inilah yang tidak dipenuhi oleh kebijakan penal dalam menanggulangi kejahatan, karena kebijakan penal merupakan kebijakan parsial, represif dan simptomik. Walaupun kebijakan penal bersifat represif, namun sebenarnya juga mengandung unsur preventif, karena dengan adanya ancaman dan penjatuhan pidana terhadap delik atau kejahatan diharapkan ada efek pencegahan atau penangkalnya (deterent effect). Disamping itu kejahatan penal tetap diperlukan dalam penanggulangan kejahatan karena hukum pidana merupakan salah satu sarana kebijakan sosial untuk menyalurkan ”ketidaksukaan masyarakat (social dislike) atau ”pencelaan atau kebencian sosial” (social disaproval / social abhorence) yang sekaligus juga diharapkan menjadi sarana ”perlindungan dengan sosial” (social defence), oleh karena itulah sering dikatakan bahwa ”penal policy” merupakan bagian integral dari social defence policy.
Pasal 6 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 memperinci pengertian tindak pidana terorisme yaitu setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling
56
Barda Nawawi Arief, Loc.cit
Universitas Sumatera Utara
lama 20 (dua puluh) tahun. Berdasarkan rumusan pasal ini menimbulkan dua macam tindak pidana bila dilihat dari akibatnya, yaitu: 57 1. Menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain. Rumusan tindak pidana ini menitikberatkan pada munculnya akibat yaitu suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal dan cara yang digunakan yaitu merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain (harus dibuktikan maksud untuk mencapai akibat tersebut). Yang perlu diperjelas dari rumusan ini adalah apa yang dimaksud dengan suasana teror? Kalau yang dimaksud adalah ketakutan atau korban secara massal seharusnya “suasana teror” tidak dimasukkan lagi karena bisa ditafsirkan sepihak oleh aparat keamanan. 2. Menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vila strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional.
B. Pendanaan Terorisme Pendanaan
terorisme
merupakan
urat
nadi
dari
terjadinya
suatu
kegiatan terorisme. Dalam melakukan suatu aksi teror dibutuhkan dana dalam jumlah besar.
Berdasarkan
pendanaan
terorisme
kenyataan dianggap
ini
upaya
sebagai
pencegahan
upaya
terkini
dan pemberantasan untuk memberantas
kegiatan terorisme itu sendiri. Pengaturan pendanaan terorisme dalam Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menyatakan bahwa “Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun, setiap orang yang dengan sengaja menyediakan atau mengumpulkan dana dengan tujuan akan digunakan atau patut diketahuinya akan digunakan sebagian atau 57
seluruhnya
untuk
melakukan
tindak
pidana
Soeharto, Op.cit, hal. 48-49
Universitas Sumatera Utara
terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9 dan Pasal 10”. 58 Selanjutnya Pasal 13 huruf (a) menyebutkan bahwa Setiap
orang
yang
dengan sengaja memberikan bantuan atau kemudahan terhadap pelaku tindak pidana terorisme, dengan memberikan atau meminjamkan uang atau barang atau harta kekayaan lainnya kepada pelaku tindak pidana terorisme. Berdasarkan Pasal tersebut di atas dapat terlihat bahwa pembuat Undang Undang
sudah
mencoba
untuk
mengkriminalisasi
pendanaan
terorisme.
Walaupun pengertian maupun istilah pendanaan terorisme itu sendiri tidak didefinisikan secara jelas, namun dengan adanya sanksi atas pemberian dana bagi kegiatan terorisme sebetulnya undang-undang itu sendiri telah menunjukkan adanya kriminalisasi pendanaan terorisme seperti yang telah diamanatkan oleh konvensi
internasional
tentang
pencegahan
pendanaan terorisme. Pendanaan
terorisme sebagaimana yang diatur dalam UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sifatnya sebagai penyertaan dimana tindak pidana ini dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan memberikan bantuan atau kemudahan terhadap pelaku tindak pidana. Penyertaan yang dianut oleh UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana terorisme berbeda dengan
penyertaan
sebagaimana
yang
dikenal dalam Pasal 56 KUHP. Sedangkan pendanaan terorisme yang diatur dalam UU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang tidak terdapat unsur memberikan bantuan atau kemudahan terhadap pelaku tindak pidana atau tidak harus bersifat 58
Pasal 11 Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
Universitas Sumatera Utara
penyertaan. Selain itu, penyertaan
yang
dianut
oleh
UU
Terorsime
pada
prinsipnya menggunakan ketentuan dalam Pasal 56 KUHP, hanya pemidanaannya saja yang dipersamakan dengan pelaku. Selanjutnya, teroris memerlukan dana untuk mendapatkan senjata dan bahanbahan peledak yang belakangan ini banyak digunakan. Kelompok-kelompok teroris yang sudah sangat terorganisir menggunakan peralatan-peralatan yang lebih canggih, baik untuk senjata maupun sarana komunikasi. Selain itu, agar tenaga-tenaga dapat terlatih untuk menjalankan aksinya mereka perlu membuat pelatihan. Dibutuhkan adanya tempat untuk menampung para teroris sehingga mereka dapat hidup dan memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari. Semua kegiatan dan kebutuhan diatas membutuhkan dana yang dapat dibilang tidak sedikit. Sehingga, apabila setiap negara dapat memotong aliran dana bagi para teroris maka tindakan terorisme dapat dicegah. Upaya terbaru untuk memberantas kegiatan terorisme adalah dengan memotong aliran dana bagi kegiatan tersebut. Dalam melaksanakan aksinya teroris atau organisasi teroris membutuhkan dana yang cukup besar. Apabila pemerintahan di setiap negara
dapat
pencegahan pendanaan terorisme mustahil
untuk
bekerjasama
maka
dapat memberantas
dan
bukanlah kegiatan
mendukung
upaya
suatu
harapan
yang
terorisme
secara
nyata.
Perserikatan Bangsa-Bangsa juga menyadari akan pentingnya upaya terbaru ini, sehingga pada tanggal 9 Desember 1999 dikeluarkanlah International Convention For The Suppression of
The
Financing
of
Terrorism.
Konvensi
pendanaan
terorisme ini menghendaki agar tiap negara peserta mengambil langkah-langkah
Universitas Sumatera Utara
untuk mencegah dan mengatasi pendanaan terorisme baik secara langsung maupun tidak langsung. 59
Perkembangan
selanjutnya
adalah
Indonesia
meratifikasi
konvensi
internasional tentang pendanaan terorisme dengan diundangkannya UU No. 6 Tahun 2006 sehingga apa yang diatur dalam konvensi tersebut menjadi telah berlaku di Indonesia. 60 Pada Konvensi Internasional tentang Pemberantasan Pendanaan Terorisme atau International Convention For The Suppression of The Financing of Terrorism hanya mengatur pendanaan yang dilakukan oleh orang ataupun sekelompok orang yang terjadi antar negara atau yang bersifat multinasional. 61 Sedangkan dalam metode pembiayaan bagi terorisme juga dikenal negara sebagai pihak yang mendukung kegiatan terorisme (state- sponsored terrorism) dengan ikut menyalurkan dana bagi kegiatan tersebut. Contoh nyata dari metode ini adalah Afghanistan selama dibawah pimpinan Taliban yang kerap kali memberikan fasilitas seperti kamp-kamp pelatihan kepada Osama bin Laden dan bahkan memberikan dukungan dana yang berasal dari Al-Qaeda dan ekstrimis islam
59
Christy Natalia, Op.cit, hal. 85 United Nations, International Convention For The Suppression of The Financing of Terrorism, (New York, 1999), article 3. 61 Soeharto, Op.cit, hal. 3 bahwa dari segi pengaturan hukum Internasional terdapat tiga konvensi internasional yang mengatur tentang terorisme yaitu: a. International Convention and Suppression of Terorism, 1973 (Konvensi tentang Pencegahan dan Pemberantasan Terorisme). b. International Convention of Suppression of Terrorist Bombing 1997 (Konvensi Internasional tentang Pemberantasan Pengeboman oleh Terorisme) disahkan oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2006 tanggal 5 April 2006. c. International Convention for the Suppression of Financing of Terorism 1999. (Konvensi Internasional tentang Pemberantasan Pendanaan untuk Terorisme) disahkan oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2006 tanggal 5 April 2006. 60
Universitas Sumatera Utara
yang berada di Pakistan. 62 Atas dasar kenyataan ini perserikatan Bangsa-Bangsa mengeluarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1333 Tahun 2001 yang memberikan
sanksi kepada Taliban atas kegiatan pembiayaan terorisme yang
dilakukannya. Indonesia sendiri pada saat ini telah dapat ditemui kasus yang diadili dengan menggunakan Pasal-Pasal yang mengatur pendanaan terorisme. Dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, pemerintah Indonesia juga telah mengatur pendanaan terorisme. Ketentuan pendanaan terorisme ini diatur secara bersamaan dengan kegiatan terorisme dalam undang-undang tersebut. Namun, undang-undang terorisme
atau
ini
tidak
bahkan
secara
tegas menggunakan
istilah
pendanaan
memberikan pengertian apa itu pendanaan terorisme.
Dalam ketentuan yang mengatur pendanaan terorisme hanya melarang tindakantindakan untuk memberikan bantuan dana bagi kegiatan terorisme. Pengaturan terkait pendanaan terorisme diatur dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, yaitu dengan diundangkannya UU No. 25 Tahun 2003 yang merubah dan menambah UU No. 15 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian sebelum lahirnya UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. UU No.15 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian uang diundangkan sebelum adanya undang-undang tentang tindak pidana terorisme. Namun, Pasal 2 UU No. 15 Tahun 2002 telah memasukkan tindak pidana terorisme sebagai 62
salah
satu
bentuk
kejahatan
asal
pada pencucian uang. Diaturnya
“Al Qaeda Bankrolls Afghan Attacks,” London Daily Telegraph, July 27, 2004
Universitas Sumatera Utara
terorisme dalam undang-undang ini adalah untuk mengcover apabila kemudian diundangkannya
UU
tentang
Tindak
Pidana Terorisme.
Setelah
adanya
perubahan dan penambahan , yaitu dengan diundangkannya UU No. 25 Tahun 2003 barulah pendanaan terorisme diatur dalam undang-undang tindak pidana pencucian uang serta diikuti dengan UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UUPPTPPU). Perkembangan tindak pidana terorisme ke depannya tentu saja akan semakin kompleks kepentingannya dan didukung oleh berbagai peralatan yang yang semakin canggih. Aksi-aksi teror yang ada sekarangpun ini jauh lebih berbahaya dari aksi teror yang dikenal sebelumnya. Selain itu, sulit dideteksi apa, bagaimana, dimana dan siapa yang menjadi sasaran berikut. 63 Namun, dari awal dan perkembangan terorisme didapati satu hal yang tidak akan berubah bahwa kegiatan atau aksi teror pastilah
membutuhkan
dana. Berdasarkan pemahaman ini maka dengan semakin
ditingkatkannya kerjasama dan usaha-usaha untuk dapat memotong aliran dana bagi kegiataan teroris maka bukanlah suatu yang mustahil untuk dapat mencegah atau menekan angka terjadinya aksi-aksi terorisme. Istilah pendanaan terorisme muncul dikarenakan adanya aksi teror diberbagai
belahan
dunia.
Teror
berarti
usaha
menciptakan
ketakutan,
kengerian atau kekejaman oleh seseorang, kelompok atau golongan. Namun ketika teror telah hadir dan menyeruak dalam realitas berarti aksi teror telah menjelma dalam berbagai wujud serta cara yang demikian akrab dengan kehidupan 63
Budi Gunawan, Terorisme: Mitos dan Konspirasi. (Jakarta: Forum Media Utama, 2006), hal. 5
Universitas Sumatera Utara
manusia yang mengisi agenda sejarah kebiadaban manusia. Dengan akrabnya aksi teror ini sebagai salah satu pilihan manusia, akhirnya teror bergeser dengan sendirinya sebagai terorisme. Artinya terorisme ikut ambil bagian dalam kehidupan berbangsa untuk menunjukkan potret lain dari dan di antara berbagai jenis dan ragam
kejahatan
khususnya
kejahatan
kekerasan, kejahatan terorganisir dan
kejahatan yang tergolong luar biasa (extra ordinary crime). 64 Dalam
berbagai
pengaturan dan penulisan pendanaan terorisme ada beberapa istilah yang sering digunakan, yaitu Financing
of
Terrorism dan Terrorist Financing. Apabila
diartikan secara bebas Financing of Terrorism adalah pendanaan atau pembiayan terorisme, sedangkan terrorist financing adalah pendanaan atau pembiayaan kepada teroris. Perbedaan antara kedua istilah ini adalah pendanaan terorisme ditujukan kepada pendanaan aksi teror atau
kegiatan
terorisme,
sedangkan
pendanaan
kepada teroris berarti untuk keperluan latihan sehari-hari, dan kebutuhan para teroris selama di dalam kamp pelatihan (lebih ditujukan kepada pelaku tindak pidana terorisme). 65 Penggunaan istilah Financing of Terrorism dapat dilihat pada Pasal 11 UU Tindak Pidana Terorisme yang melarang tindakan menyediakan dana yang akan digunakan untuk melakukan tindak pidana terorisme. Sedangkan istilah terrorist financing dapat dilihat pada Pada 13a UU Tindak Pidana Terorisme yang
64
Sidik, Muhammad Imam dan Abdul Wahid, Sunardi, Kejahatan Terorisme: Perspektif Agama, HAM, dan Hukum. Cet. I. (Bandung: PT Refika Aditama, 2004), hal 1-2 65 Sutan Remy Sjahdeini, Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang Dan Pembiayaan Terorisme, Cet. II. Ed. Safrizar, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2007), hal. 287
Universitas Sumatera Utara
melarang
memberikan
bantuan
atau
kemudahan
dengan memberikan atau
meminjamkan uang kepada pelaku tindak pidana terorisme. Dari segi gramatikal pendanaan terorisme terdiri dari dua kata, yaitu pendanaan (financing) dan terorisme (terrorism). Pendanaan berasal dari kata dana yang berarti uang yang disediakan untuk suatu keperluan, sedangkan pendanaan sendiri berarti penyediaan dana yang digunakan untuk suatu keperluan. 66 Pengertian pendanaan terorisme secara gramatikal ini belum dapat mewakili sepenuhnya pemahaman akan pendanaan bagi kegiatan terorisme pada prakteknya di setiap negara. Hal ini dikarenakan memberikan definisi atau pengertian dari istilah terorisme itu sendiri sudah merupakan wacana tersendiri yang sifatnya subjektif dari pihak yang memberikan istilah tersebut. Menurut Brian Jenkins mendukung pernyataan ini dengan pendapatnya, yaitu: “… what called terrorism thus seems depend on the point of view. At the time, point in this expanding use of the term “terrorism” can mean just what those who use the term (not the terrorist) want it to mean- almost any violent act by any opponent”. 67
C. Pendanaan Terorisme Terkait Pencucian Uang Di dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pasal khusus yang mengatur pendanaan terorisme adalah Pasal 11 yang menyebutkan 66
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. Ke-3, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), hal. 183-184. 67 Indriyanto Seno Adji, Permasalahan Terorisme dan Hukum Pidana, (Makalah disampaikan pada sosialisasi RUU tentang pemberantasan terorisme yang diselenggarakan oleh Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia R.I., Jakarta, 3 Desember 2001), hal. 1
Universitas Sumatera Utara
bahwa dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun, setiap orang yang dengan sengaja menyediakan atau mengumpulkan dana dengan tujuan akan digunakan atau patut diketahuinya akan digunakan sebagian atau seluruhnya untuk melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10. selanjutnya Pasal 13 mensyaratkan bahwa setiap memberikan
bantuan
orang
yang
dengan
sengaja
atau kemudahan terhadap pelaku tindak pidana terorisme,
dengan memberikan atau meminjamkan uang atau barang atau harta kekayaan lainnya kepada pelaku tindak pidana terorisme. Dengan diundangkannya UU No. 25 Tahun 2003 sebelum lahirnya UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pemcegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UUPPTPPU), maka pendanaan terorisme telah diatur dalam UU Tindak Pidana Pencucian Uang. Pasal 1 angka 1 UUPPTPPU menyatakan bahwa pencucian
uang
adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak
pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini. Pasal 3 merumuskan bahwa setiap Orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana
sebagaimana
dimaksud
dalam
Pasal
2
ayat
(1)
dengan
tujuan
menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh)
Universitas Sumatera Utara
tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Hasil tindak pidana yang dimaksud dalam perumusan pencucian di atas adalah berdasarkan Pasal 2 ayat 1 UU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana diatur dalam UU No. 8 Tahun 2010 (UUPPTPPU). Harta kekayaan yang dipergunakan secara langsung atau tidak langsung untuk kegiatan terorisme dipersamakan sebagai hasil tindak pidana yang diperoleh dari tindak pidana terorisme. International Convention For The Suppression of The Financing of Terrorism sebagai konvensi internasional pertama yang melarang pendanaan terorisme tidak mengatur kaitan antara pendanaan terorisme dan tindak pidana pencucian uang. Namun, dalam perkembangan selanjutnya ternyata metode yang digunakan dalam pendanaan terorisme dan pencucian uang memiliki beberapa keterkaitan dan persamaan. Untuk dapat melihat keterkaitan dan hubungan antara pendanaan terorisme dan kegiatan pencucian uang maka sebelumnya kita harus mengetahui apa yang dimaksud dengan pencucian uang dan mengapa kegiatan tersebut harus dilarang. Kegiatan
pencucian
uang
atau
Money
Laundering
merupakan istilah yang sebetulnya belum lama dipakai. Penggunaan pertama kali adalah di dalam surat kabar berkaitan dengan skandal Watergate di Amerika Serikat pada tahun 1973.
Sedangkan
penggunaan
istilah
tersebut
dalam
konteks
pengadilan atau hukum muncul untuk pertama kalinya pada tahun 1982 dalam perkara
US
v $.4.255.625,39
(12982)
551
F
Supp.
314. 69 Kasus
ini
menyangkut denda terhadap pencucian uang hasil penjualan kokain Colombia.
Universitas Sumatera Utara
Istilah pencucian uang pada saat itu menunjuk kepada pencucian hak milik mafia yaitu hasil usaha yang diperoleh secara gelap dengan maksud menjadikan seluruh hasil tersebut seolah-olah diperoleh dari sumber yang yang sah. 68 Amerika serikat adalah negara pertama di dunia yang mengkriminalisasi kegiatan pencucian uang dengan diundangkannya Money Laundering Control Act of 1986 atau MLCA. Sejak saat itu undang-undang yang berkaitan dengan pencucian uang yang dikeluarkan oleh Amerika Serikat sering dijadikan acuan oleh banyak negara di dunia. 69 Tujuan dari dilarangnya kegiatan pencucian uang adalah dampaknya yang negatif bagi perekenomian suatu negara serta untuk mencegah para pelaku tindak pidana untuk menikmati hasil kejahatannya. Kegiatan membawa
dampak
buruk
pencucian
uang
akan
bagi pembangunan dan ekonomi suatu negara.
Dalam kondisi dana langka, uang panas hasil kejahatan bisa sangat menggiurkan, apakah bagi suatu negara miskin atau masalah
likuiditas.
Maka
lembaga
keuangan
yang
menghadapi
secara sengaja atau tidak suatu negara seolah-olah
menyediakan diri dijadikan sebagai tempat pencucian uang. Padahal akibat negatif yang ditimbulkan sangat dahsyat. Tidak hanya dari sudut etika moral berusaha, tetapi juga dampaknya yang dapat mengacaukan kinerja lembaga keuangan dan bahkan merusak sistem politik dan ekonomi suatu negara. 70 Dengan pencucian uang maka
68
Sutan Remy Sjahdeini dalam Chiristy Natalia, Op.cit, hal. 54 Arief Amrullah, Tindak Pidana Pencucian Uang: Money Laundering, (Malang: Bayumedia Publishing, 2004), hal. 8-9. 70 Chiristy Natalia, Loc.cit 69
Universitas Sumatera Utara
sumber daya dan dana banyak digunakan untuk kegiatan yang tidak sah dan merugikan masyarakat. Pada awalnya dampak buruk ini belum telihat. Hal ini dikarenakan apabila uang hasil tindak pidana dalam jumlah
yang sangat besar
dimasukkan kedalam suatu penyedia jasa keuangan awalnya dirasakan sebagai investasi yang akan pendukung kegiatan ekonomi. Namun, yang perlu diingat bahwa uang ini dapat dimasukkan dan dikeluarkan sewaktu-waktu karena tujuan utamanya memang bukan untuk investasi melainkan hanya untuk menyamarkan asalusul uang. Penarikan dan pemasukkan sejumlah besar uang yang terus menerus secara keseluruhan akan mengakibatkan ketidakstabilan dalam kondisi ekonomi dan pembangunan negara. Dari uraian mengenai pencucian uang, maka selanjutnya dikenal pula yang
dinamakan
dengan
Terrorist
Money
Laundering.
Terrorist
Money
Laundering dapat diartikan sebagai tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh teroris atau anggota organisasi teroris dan/atau ditujukan untuk membiayai kegiatan teroris. Pendanaan terorisme dengan pencucian uang dalam perkembangannya ternyata memilik metode atau proses yang hampir sama. Sehingga seringkali pendanaan terorisme diatur secara bersamaan dengan kegiatan pencucian uang dalam peraturan perundang-undangan. Hal inilah yang terjadi di Indonesia, dimana berdasarkan UU No. 8 Tahun 2010 maka pendanaan terorisme juga diatur dalam UU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian uang. Hubungan
antara
pendanaan
terorisme
dengan
pencucian
uang dipertegas dengan dikeluarkannya Special Recommendation on Terrorist
Universitas Sumatera Utara
Financing oleh The Financial Action Task Force on Money Laundering(FATF). Lembaga ini semula bertujuan untuk memerangi kegiatan pencucian uang, namun saat ini FATF telah memperluas misinya yaitu dengan ikut memberantas kegiatan pendanaan terorisme. Perluasan misi yang dilakukan oleh FATF menunjukan keterkaitan yang erat antara pendanaan terorisme dengan pencucian uang. 71 Predicate Crime atau kejahatan asal dari tindak pidana pencucian uang disebut juga sebagai underlying criminal activity yang ketika masuk kedalam suatu sistem keuangan atau proses pencucian, akan menghasilkan kejahatan pencucian uang. Berdasarkan istilah “predicate offense”, Konvensi Vienna memberikan batasan tindak pidana yang dapat dijadikan predicate offense hanyalah
pada
tindak pidana obat-obatan terlarang. Sebagai akibatnya, kejahatan yang tidak berhubungan
dengan
penjualan
obat-obatan
terlarang seperti
penipuan,
penculikan, dan pencurian tidak dapat dikatakan adanya pencucian uang dari uang hasil kejahatan tersebut berdasarkan Konvensi Vienna. 72 Perkembangannya, FATF dan berbagai instrumen internasional lainnya telah memperluas definisi dari
kejahatan
asal
yang
diberikan
oleh Konvensi Vienna yaitu dengan
memasukkan beberapa macam kejahatan serius lainnya. Misalnya, Konvensi Pallermo yang memberikan pengaturan bahwa, “Palermo Convention requires all participant countries to apply that convention’s Money Laundering offenses
71 72
Ibid Ibid
Universitas Sumatera Utara
to the widest range of predicate offenses.”
73
Berdasarkan Konvensi Palermo
maka kejahatan yang dapat dijadikan predicate offense atau predicate crime akan semakin luas. Sewaktu
diundangkannya
UU
No.
15
Tahun
2002
tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Indonesia belum mempunyai undang-undamg yang secara khusus mengatur tindak pidana terorisme terlebih lagi pendanaan terorisme. Namun, dalam Pasal 2 UU No. 15 Tahun 2002 (sebelum lahirnya UUPPTPPU) terorisme telah dimasukkan sebagai salah satu bentuk kejahatan asal dalam pencucian uang. Hal ini dilakukan oleh para pembuat undangundang sebelum dikeluarkannya Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Pembuat undang-undang memasukkan kejahatan terorisme sebagai predicate crime walaupun belum dikriminalisasi untuk mengantisipasi keluarnya undang-undang terorisme yang akan mengkriminalisasi terorisme sebagai tindak pidana dan untuk menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia ikut dalam gerakan anti terorisme. Sebelum lahirnya undang-undang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana terorisme yakni UU No. 8 Tahun 2010, undang-undang hanya mengatur terorisme sebagai salah satu predicate crime atau underlying crime yang menjadi sumber atau asal-usul harta kekayaan yang digunakan dan merupakan objek pencucian uang. Tetapi kemudian dengan UU No. 8 Tahun 2010 ditambahkan satu ayat baru ke dalam Pasal 2 UUPPTPPU, yaitu Pasal 2 ayat 2 yang menyangkut pembiayaan terorisme. Pasal 2 ayat 2 UU No. 8 Tahun 2010 jo UU No. 25 Tahun 73
Schott dalam Christy Natalia, Ibid
Universitas Sumatera Utara
2003 jo. UU No. 15 Tahun 2002 mengatur bahwa yang harta kekayaan yang digunakan secara langsung ataupun tidak langsung untuk membiayai kegiatan terorisme dipersamakan sebagai
hasil
tindak
pidana.
Adakalanya
dalam
pendanaan terorisme menggunakan uang yang berasal dari kejahatan lainnya, dapat dikatakan sudah ada kegiatan pencucian uang, kemudian digunakan kembali untuk membiayai kegiatan terorisme. 74 Organisasi terorisme juga memperoleh dana untuk membiayai segala kegiatannya melalui cara atau jalur yang sah. Dalam UUPPTPPU Indonesia ,baik sumber pendanaan kegiatan terorisme tersebut halal maupun berasal dari kejahatan yang lainnya, keduanya dipersamakan sebagai hasil tindak pidana. Pendanaan terorisme yang berasal dari kejahatan yang lainnya dan kemudian dimasukkan ke dalam financial system untuk dapat digunakan kembali bagi kegiatan terorisme
dinamakan
dengan
terrorist
money
laundering. Sedangkan, bagi
dana yang berasal dari sumber yang sah dan kemudian digunakan mendanai
kegiatan
terorisme
dikenal
dengan
untuk
istilah financing of terrorism
reverse money laundering. Perbedaan antara Financing of Terrorism dengan Money Laundering salah satunya adalah berdasarkan sumbernya. Pendanaan terorisme bisa diperoleh dari sumber yang halal kemudian dimasukkan ke dalam suatu sistem keuangan
untuk
digunakan
secara
langsung
atau
tidak
langsung
untuk
melakukan tindakan terorisme. 75
74 75
Ibid Ibid
Universitas Sumatera Utara
Pencucian uang berasal dari suatu kejahatan lainnya
(predicate
crime)
kemudian dimasukkan kedalam suatu sistem keuangan sehingga menjadi uang yang seolah-olah berasal dari suatu sumber yang sah. Pada pendanaan terorisme yang ingin disembunyikan atau disamarkan adalah tujuan dari penggunaan uang tersebut bukan sumber dari uang
yang
dimasukkan
kedalam
suatu
sistem
keuangan. Berbeda halnya dengan pencucian uang, yang ingin disembunyikan atau disamarkan justru sumber atau asal usul dari uang yang dimasukkan kedalam sistem keuangan. Kedua konsep ini kemudian dikenal dengan Financing of Terrorism reverse Money Laundering. Dari
berbagai
uraian
mengenai
kaitan
antara
pendanaan terorisme dengan pencucian uang, maka secara garis besar perbedaan utama antara kedua tindak pidana tersebut adalah: 76 1. Pendanaan terorisme dapat atau seringkali berasal dari uang yang halal (clean money) atau didapat dari usaha yang sah atau dana yang dikumpulkan dari bantuan sosial atau sumbangan atau dapat pula berasal dari suatu tindak pidana; sedangkan pencucian uang melibatkan atau berasal dari kejahatan yang lainnya atau “ dirty money”. 2. Dalam pendanaan terorisme biasanya jumlah yang dimasukan kedalam sistem keuangan lebih kecil dibandingkan dengan pencucian uang yang terkait dengan jumlah uang yang sangat besar (significant amount). 3. Pendanaan terorisme biasanya menggunakan orang-orang biasa yang tidak mempunyai teman (terbatas jumlahnya) atau kegiatan-kegiatan yang mencurigakan. Satu hal yang harus diingat bahwa aksi teror dapat dilakukan oleh siapa saja, tidak harus seorang profesional bahkan orang desa sekalipun dapat melakukannya, misalnya Amrozi sebagai pelaku bom Bali awalnya hanyalah lulusan SMA yang tidak mempunyai keahlian. Pencucian uang berkaitan atau meliputi pihak-pihak yang biasanya berhungan dengan kejahatan (khususnya dalam dunia perbankan). 4. Tujuan dari pendanaan terorisme adalah untuk membeli perlengkapan atau kebutuhan lainnya yang mendukung kegiatan para teroris (misalnya, pelatihan untuk merekrut para anggota baru, gedung dan infrastruktur 76
Ibid, hal. 50
Universitas Sumatera Utara
lainnya yang akan dijadikan kamp-kamp pelatihan, serta menambah jumlah mata-mata untuk mendukung aksinya tersebut). Tujuan dari pencucian sendiri lebih kepada mengubah uang dari sumber yang tidak sah menjadi seolah-olah sah. 5. Selain itu, pendanaan terorisme lebih fokus kepada penggunaan uang dan tujuan dari penggunaan uang tersebut. Sedangkan pencucian uang kepada sumber dari uang yang diperoleh dan bagaimana menggunakan uang itu kembali.
Universitas Sumatera Utara