BAB II PENGALIHAN KEPEMILIKAN ATAS HARTA BERSAMA A. Hak Milik Kepemilikan adalah kekuasaan yang didukung secara sosial untuk memegang kontrol terhadap sesuatu yang dimiliki secara eksklusif dan menggunakannya untuk tujuan pribadi70. Pasal 499 KUH Perdata berbunyi : “Menurut paham undang-undang yang dinamakan kebendaan ialah tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak, yang dapat dikuasai hak milik.” Pasal 570 KUH Perdata : “Hak milik adalah hak untuk menikmati kegunaan sesuatu kebendaan dengan leluasa, dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan kedaulatan sepenuhnya, asal tidak bersalahan dengan undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh suatu kekuasaan yang berhak menetapkannya, dan tidak mengganggu hak-hak orang lain; kesemuanya itu dengan tak mengurangi kemungkinan akan pencabutan hak itu demi kepentingan umum berdasarkan atas ketentuan undang-undang dan dengan pembayaran ganti rugi.” Pasal 572 KUH Perdata : (1) Tiap-tiap hak milik harus dianggap bebas adanya. (2) Barangsiapa membeberkan mempunyai hak atas kebendaan milik orang lain, harus membuktikan hak itu.
70
http://id.wikipedia.org/wiki/Kepemilikan, diakses tanggal 31 Mei 2010.
Universitas Sumatera Utara
Pasal 573 KUH Perdata : “Membagi sesuatu kebendaan yang menjadi milik lebih dari satu orang, harus dilakukan menurut aturan-aturan yang ditentukan tentang pemisahan dan pembagian harta-peninggalan.” Pasal 574 KUH Perdata : “Tiap-tiap pemilik sesuatu kebendaan, berhak menuntut kepada siapapun juga yang menguasainya, akan pengembalian kebendaan itu dalam keadaan beradanya.” Pasal 584 KUH Perdata : “ Hak milik atas sesuatu kebendaan tak dapat diperoleh dengan cara lain, melainkan dengan pemilikan, karena perlekatan, karena daluwarsa, karena perwarisan, baik menurut undang-undang, maupun menurut surat wasiat, dan karena penunjukan atau penyerahan berdasar atas suatu peristiwa perdata untuk memindahkan hak milik, dilakukan oleh seorang yang berhak berbuat bebas terhadap kebendaan itu.” Menurut Undang-undang Pokok Agraria No. 5 tahun 1960, hak milik diatur dalam pasal 20 sampai pasal 27. Pasal 20 berbunyi : (1) Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan pasal 6. (2) Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada orang lain. Kita katakan ada pemilikan bersama, kalau ada benda yang dimiliki oleh lebih dari seorang pemilik atau dengan perkataan lain, ada lebih dari seorang pemilik atas
Universitas Sumatera Utara
satu atau sekelompok benda71. Umumnya suatu benda dimiliki oleh satu orang sebagai pemilik, tetapi tidak tertutup kemungkinan, bahwa satu benda dimiliki oleh lebih dari satu orang. Masing-masing pemilik dalam pemilikan bersama kita sebut pemilik-serta,72 Dalam perkawinan antara U Lee Moy dan Tan Jong Nio telah diperoleh harta bersama yang berupa tanah dan bangunan toko Agung yang terletak di Desa Pandean, Kecamatan Mejayan, Kabupaten Madiun dengan sertifikat hak milik No.89/Desa Pandean, luas 233 m2 surat ukur tanggal 24-9-1977 No. 9/1977 (objek sengketa) yang diatasnamakan Hadi Soetjipto dahulu bernama U Ek Tjoo (Terlawan II) dengan batas-batasnya sebagai berikut : Utara
: Jalan Raya;
Timur
: Toko Ponorogo;
Selatan
: Tanah Maryono
Barat
: Apotik Caruban
Semasa U Lee Moy masih hidup telah membeli tanah berikut bangunan toko yang berdiri di atas tanah tersebut yang letaknya di Desa Pandean, Kecamatan Mejayan, Kabupaten Madiun yang kini menjadi objek sengketa, pembelian tersebut dalam akta jual beli diatasnamakan Hadi Soetjipto (Terlawan II), karena Terlawan II adalah Warga Negara Indonesia sedangkan ayah (U Lee Moy) masih berstatus asing dan Terlawan II adalah anak tertua. 71
A. Pitlo, Het Zakenrecht, naar het Nederlands Burgerlijk Wetboek, Tjeenk-Willink & Zoon, Haarlem, 1949, hal. 175. 72 J. Satrio, Hukum Waris Tentang Pemisahan Boedel, Op. Cit., hal. 3.
Universitas Sumatera Utara
Akta Jual beli tersebut dibuat di depan PPAT Drs. Kodiran Soerachman tanggal 10 April 1981 No. 39.A/D/IV/-4/1981 yang berisi jual beli antara Ong Siong Ing selaku kuasa dari Endang Soewarni Indriastoeti dengan Hadi Soetjipto dahulu bernama U Ek Tjoo. Pasal 1905 KUH Perdata berbunyi : “Keterangan seorang saksi sahaja tanpa suatu alat bukti lain, di muka Pengadilan tidak boleh dipercaya.” Pasal 1908 KUH Perdata berbunyi : “Dalam mempertimbangkan nilai sesuatu kesaksian, Hakim harus memberikan perhatian khusus pada persamaan-persamaan kesaksian-kesaksian satu sama lain, pada persamaan antara kesaksian-kesaksian dengan apa yang diketahui dari lain sumber tentang hal yang menjadi perkara, pada alasan-alasan yang kiranya telah mendorong para saksi untuk mengutarakan perkaranya secara begini atau secara begitu, pada cara hidup, kesusilaan dan kedudukan para saksi, dan pada umumnya, pada segala apa saja yang mungkin ada pengaruhnya terhadap lebih atau kurang dapat dipercayanya para saksi itu.” Dalam perlawanan tersebut para pelawan telah mengajukan saksi-saksi yaitu : 1.
Soejono, di bawah sumpah menerangkan pada pokoknya sebagai berikut : -
Bahwa saksi pernah menjadi saksi dalam jual-beli hak atas tanah dan bangunan yang berdiri di atasnya berupa Toko “Agung” antara Ong Song Ing dengan U Lee Moy pada tahun 1981 seharga Rp. 12.000.000.(dua belas juta rupiah) di hadapan PPAT kecamatan Mejayan dan hadir pada waktu itu adalah Ong Song Ing, U Lee Moy, Soetarjo, Hadi Soetjipto dan saksi sendiri;
Universitas Sumatera Utara
-
Bahwa oleh karena U Lee Moy pada saat itu statusnya masih Warga Negara Asing maka akhirnya tanah yang telah dibeli oleh U Lee Moy tersebut diatasnamakan anaknya yaitu Hadi Soetjipto dan setelah dibeli, bangunan toko “Agung” tersebut ditunggu oleh Hadi Soetjipto dengan seorang perempuan setengah tua yang bernama Tan Jong Nio;
-
Bahwa pada saat terjadi jual-beli tanah tersebut telah bersertifikat dengan luas 233 m2;
-
Bahwa saksi mengetahui batas-batas tanah tersebut : Utara berbatasan dengan Jalan Raya jurusan Madiun-Surabaya; Timur berbatasan dengan toko Ponorogo milik He Ming; Selatan berbatasan dengan tanah Maryono (Anggota ABRI); Barat berbatasan dengan tanah milik Pemda (dahulu digunakan untuk bioskop sekarang digunakan untuk Apotik);
-
Bahwa U Lee Moy mempunyai tiga anak yaitu Hadi Soetjipto dan dua orang saudaranya yaitu satu laki-laki dan satu perempuan
2. Soewito, di bawah janji menerangkan pada pokoknya sebagai berikut : -
Bahwa hubungan U Lee Moy dengan Tan Jong Nio adalah suami isteri dan mereka mempunyai tiga orang anak yaitu : 1. U Ek Tjoo 2. U Ie Hoo 3. U Ie Hwa
Universitas Sumatera Utara
-
Bahwa anaknya yang bernama U Ie Hwa adalah perempuan sudah meninggal dengan Tjiang Tjiang mempunyai seorang anak yang saksi tidak tahu namanya dan sekarang U Ie Hwa sudah meninggal dunia;
-
Bahwa saksi mengetahui U Lee Moy membeli tanah dan rumah di atas tanah tersebut di Caruban dari Kiem Hong yang nama Indonesianya Endang Soewarni Indriastoeti, karena saksi diperintah oleh Kiem Hong untuk menyerahkan kunci rumah tersebut kepada U Lee Moy dan setelah dibeli diatasnamakan Hadi Soetjipto (anaknya) karena U Lee Moy masih Warga Negara Asing;
-
Bahwa tanah dan bangunan berupa toko “Agung” tersebut sejak dibeli hingga kini yang menjaga yaitu Hadi Soetjipto tetapi yang memasok (mengisi) dagangan toko tersebut adalah U Lee Moy;
-
Bahwa saksi mengetahui kalau U Lee Moy membeli tanah ketika U Lee Moy berbincang-bincang dengan isterinya dengan bahasa Hok Jay dan saksi mengerti maksud pembicaraan mereka;
-
Bahwa jual-beli tanah dan bangunan di atasnya tersebut seharga Rp. 12.000.000,- (dua belas juta rupiah) dan mengenai luas serta batasbatasnya saksi tidak tahu;
3. Endang Soewarni Indriastoeti, di bawah janji menerangkan yang pada pokoknya sebagai berikut : -
Bahwa saksi kenal dengan U Lee Moy dan Tan Jong Nio, mereka yang membeli tanah saksi di Caruban;
Universitas Sumatera Utara
-
Bahwa status tanah saksi adalah Hak Milik dan sudah bersertifikat;
-
Bahwa yang membayar harga tanah saksi tersebut adalah U Lee Moy dengan harga Rp. 12.000.000,- (dua belas juta rupiah) dan yang menerima bukan saksi, karena telah dikuasakan semuanya kepada mertuanya yaitu Ong Song Ing untuk menyelesaikan jual-beli tersebut, jadi saksi menerima pembayaran tersebut dari mertuanya;
-
Bahwa menurut mertua saksi tanah yang dibeli oleh U Lee Moy diatasnamakan Hadi Soetjipto (anaknya U Lee Moy karena U Lee Moy masih berstatus Warga Negara Asing maka diatasnamakan anaknya yang sudah berstatus Warga Negara Indonesia);
-
Bahwa batas-batas tanah yang dijual kepada U Lee Moy yaitu : Sebelah kanan dengan toko “Ponorogo”; Sebelah kiri dengan Terminal; Sebelah depan dengan jalan raya jurusan Madiun-Surabaya; Sebelah belakang dengan halaman kampung penduduk.
Mengenai harta warisan, J. Satrio mengatakan bahwa : Besarnya harta-keluarga, yang dengan meninggalnya si pewaris – seluruhnya atau paling tidak sebagian – menjadi warisan, sedikit banyak ditentukan oleh hukum harta perkawinan yang berlaku bagi si pewaris. Bukankah banyaknya kelompok harta yang terbentuk dalam suatu keluarga bergantung dari Hukum Harta Perkawinan yang berlaku bagi pewaris? Bagi mereka yang tunduk pada KUH Perdata, berdasarkan Pasal 11973, berlaku asas, bahwa dalam satu keluarga hanya 73
Pasal 119 KUH Perdata: (1) Mulai saat perkawinan dilangsungkan, demi hukum berlakulah persatuan bulat antara hartakekayaan suami dan isteri, sekedar mengenai itu dengan perjanjian kawin tidak diadakan ketentuan lain.
Universitas Sumatera Utara
ada satu kelompok harta saja, yaitu harta persatuan, kecuali para suami-istri yang bersangkutan sebelum kawin, dengan suatu akta notariil, telah membuat perjanjian-kawin (Pasal 14774), yang isinya menyimpangi prinsip harta-persatuan ex Pasal 119 tersebut75. Mengenai harta perkawinan, KUH Perdata menganut asas yang berbeda dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu : 1.
Berdasarkan Pasal 119 KUH Perdata, pada asasnya semua harta suami dan istri, baik yang dibawa masuk ke dalam perkawinan maupun yang diperoleh sepanjang perkawinan, masuk ke dalam harta persatuan. Sedangkan Pasal 31 ayat (2) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatakan bahwa seorang istri, sepanjang perkawinan tetap cakap untuk bertindak
2.
Menurut Pasal 124 KUH Perdata Pengelolaan atas harta persatuan dilakukan oleh suami sendiri, sedangkan. Pasal 35 ayat (2) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan mengatakan bahwa harta bawaan istri dan suami, yang dibawa masuk ke dalam perkawinan, dengan sendirinya menjadi harta pribadi masing-masing suami/istri yang membawanya ke dalam perkawinan.
(2) Persatuan itu sepanjang perkawinan tak boleh ditiadakan atau diubah dengan sesuatu persetujuan antara suami dan isteri. 74 Pasal 147 KUH Perdata : (1) Atas ancaman kebatalan, setiap perjanjian kawin harus dibuat dengan akta notaries sebelum perkawinan berlangsung. (2) Perjanjian mulai berlaku semenjak saat perkawinan dilangsungkan, lain saat untuk itu tak boleh ditetapkannya. 75 J. Satrio, Hukum Waris Tentang Pemisahan Boedel, Op. Cit., hal. 9. Di samping itu masih ada perkecualian berdasarkan anak kalimat terakhir Pasal 120 KUH Perdata : “Sekedar mengenai laba-labanya, persatuan itu meliputi harta kekayaan suami dan isteri, bergerak dan tak bergerak, baik yang sekarang, maupun yang kemudian, maupun pula, yang mereka peroleh dengan cuma-cuma, kecuali dalam hal terakhir ini si yang mewariskan atau yang menghibahkan dengan tegas menentukan sebaliknya.”
Universitas Sumatera Utara
Bercampurnya harta tersebut melalui perjanjian kawin justru merupakan perkecualian. 3.
Menurut Pasal 105 ayat (3) KUH Perdata, pengurusan atas harta pribadi istri, kalau ada, termasuk kalau ada hibah atau warisan yang jatuh pada si istri sepanjang perkawinan dan ditentukan tidak boleh masuk dalam harta persatuan, dilakukan oleh suami. Sedangkan menurut Pasal 36 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatakan bahwa atas harta pribadi, masing-masing suami/istri berhak untuk mengambil tindakan hukum sendiri, tanpa kerjasamanya garwa yang lain (suami atau istrinya). Sedangkan tindakan atas harta bersama, suami harus mendapat persetujuan dari istri dan demikian pula sebaliknya76. Yang dimaksud dengan pemilikan bersama adalah adanya lebih dari seorang
pemilik atas sebuah (sekelompok) benda yang sama77. Dalam suatu pemilikan bersama yang belum dibagi kita katakan di sana ada keadaan “pemilikan bersama yang tak terbagi” di antara para pemilik-serta atas suatu (sekelompok) benda milikbersama tertentu. Dalam pemilikan-bersama, masing-masing pemilik kita sebut sebagai pemilik-serta. Masing-masing pemilik-serta mempunyai hak-bagian yang takterbagi (onverdeeld aandeel) dalam pemilikan-bersama78.
76
Ibid, hal. 12. Karena pemilikan-bersama dalam suatu perseroan, sesudah pembubarannya menjadi suatu pemilikan bersama yang bebas, yang setiap waktu bisa dituntut pemisahannya, maka ada yang mengatakan, bahwa “vrij, in deze terminologis, is dus de mede-eigendom waar men vrij is tot scheiding over te gaan” (seperti yang dikutip oleh J. Satrio), baca Pitlo, Zakenrecht, hal. 176. 78 J. Satrio, Hukum Waris Tentang Pemisahan Boedel, Op. Cit., hal. 20. 77
Universitas Sumatera Utara
Kebebasan pada pemilikan bersama terwujud pada bebas atau tidaknya para pemilik untuk setiap saat mengalihkan bagian tak terbagi yang dimiliki atas harta benda bersama tersebut. Jelas pada pemilikan bersama yang terikat, para pemilik atas harta benda bersama tidak bebas untuk mengalihkan bagian tak terbaginya kepada pihak lain, sehingga selama pemilikan bersama belum berakhir maka tindakan hukum atas benda milik bersama harus dilakukan oleh para pemiliknya secara bersama-sama. sedangkan pada pemilikan bersama yang bebas, para pemilik atas harta benda bersama bebas untuk mengalihkan bagian tak terbaginya kepada pihak lain. walaupun demikian sebaiknya untuk pengalihan bagian tak terbagi tersebut diketahui dan disetujui oleh pemilik lainnya79. Ada beberapa lembaga pemilikan-bersama yang disebutkan dalam KUH Perdata, yang oleh doktrin diterima sebagai bentuk pemilikan bersama yang-terikat dan di dalam literatur biasa dikemukakan sebagai contoh, yaitu80 : a. Harta persatuan dalam suatu perkawinan, yang dimiliki bersama antara suamiistri.81 b. Pemilikan bersama antara para pesero atas harta perseroan. c. Pemilikan bersama atas harta kekayaan perkumpulan yang tidak mempunyai status badan hukum. d. Pemilikan bersama para ahli waris atas warisan yang belum terbagi. Bangunan toko “Agung tersebut dibeli pada saat U Lee Moy masih hidup dan terikat perkawinan dengan Tan Jong Nio, maka harta tersebut merupakan harta bersama antara U Lee Moy dengan Tan Jong Nio, dan berdasarkan keteranganketerangan para saksi yang mengatakan bahwa tanah dan bangunan tersebut dibeli 79
http://romyjaya.org/?p=35, diakses pada tanggal 5 Desember 2009. J. Satrio, Hukum Waris Tentang Pemisahan Boedel, Op. Cit., hal. 23. 81 Menurut Surat M.A. No. M.A./Pemb.0807/75 tanggal 20-8-1975 untuk Hukum Harta Benda dalam perkawinan masih berlaku peraturan-peraturan yang lama. 80
Universitas Sumatera Utara
oleh U Lee Moy dan diatasnamakan anaknya karena U Lee Moy masih berstatus Warga Negara Asing, maka dapat dikatakan bahwa perbuatan tersebut merupakan tindakan “topengan” atau “pinjam nama”. Karena menurut Pasal 21 Undang-undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 menyebutkan bahwa : (1) Hanya warga Negara Indonesia dapat mempunyai hak milik (2) Oleh Pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya. (3) Orang asing yang sesudah berlakunya Undang-undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa waktu atau percampuran harta karena perkawinan, demikian pula warga Negara Indonesia yang mempunyai hak milik
dan
setelah
berlakunya
undang-undang
ini
kehilangan
kewarganegaraannya, wajib melepaskan hak itu di dalam jangka waktu satu
tahun
sejak
diperolehnya
hak
tersebut
atau
kehilangan
kewarganegaraannya itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau hak milik itu tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh pada Negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung. (4) Selama seseorang di samping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing maka ia tidak dapat mempunyai tanah dengan hak milik dan baginya berlaku ketentuan ayat 3 pasal ini.
Universitas Sumatera Utara
Oleh sebab itu U Lee Moy yang masih berstatus Warga Negara Asing tidak bisa memperoleh Hak Milik atas tanah di Indonesia, sedangkan anaknya sudah Warga Negara Indonesia dan boleh memiliki hak milik, maka terpaksa hak milik dibuat atas nama anakya. Hal ini bisa dianggap sebagai penyelundupan hukum. Secara de jure, Hadi Soetjipto adalah pemiliknya, tetapi secara de facto dimiliki oleh U Lee Moy. Menurut Irwin Ashari : “Hukum Indonesia secara tegas melarang kepemilikan hak atas tanah untuk orang asing, oleh karena itu orang asing yang meminjam nama seorang WNI untuk mendapatkan hak milik atas tanah, yang dibiayai oleh orang asing merupakan bentuk penyelundupan hukum sehingga segala bentuk perjanjian mengenai pinjam nama tersebut menjadi batal demi hukum karena sejak awal memang dilarang”82. Penyelundupan hukum adalah suatu perbuatan yang bertujuan untuk menghindarkan
(menghindari)
berlakunya
hukum
nasional
sehingga
yang
bersangkutan memperoleh suatu keuntungan-keuntungan tertentu sesuai dengan keinginannya, sebab baginya berlaku hukum asing83. Sudargo Gautama berpendapat bahwa : “ Untuk dapat menentukan bahwa ada tidaknya penyelundupan hukum maka kita harus berusaha mengetahui niat yang bersangkutan untuk menghindarkan atau mengubah titik-titik taut tertentu dalam suatu peristiwa HPI tertentu. Apakah 82
http://notaris-indonesia.grouply.com/message/6801, diakses tanggal 7 Agustus 2010.
83
http://fatdavid.blog.friendster.com/2008/10/tugas-makalah-hukum-perdata-internasionalperspektif-hukum-perdata-internasional-mengenai-penyelundupan-hukum/
Universitas Sumatera Utara
perbuatan itu dilakukan secara sungguh- sungguh atau tidak, yang mana antara lain dapat dikaji dari fakta-fakta dalam kehidupan sosial atau lingkungan sebenarnya.”84 Tujuan perbuatan penyelundupan hukum adalah untuk dapat menghindarkan suatu akibat hukum yang tidak dikehendaki. Jadi, di dalam setiap perbuatan penyelundupan hukum selalu ada unsur subjektif, yakni dalam bentuk kehendak atau niat untuk menyelundupi sesuatu85. Kehendak adalah proses batin yang hanya diketahui oleh masing-masing pihak. Untuk melahirkan kesepakatan, kehendak itu harus dinyatakan. Ketika pernyataan kehendak itu bertemali, dalam arti masing-masing menyatakan kerelaannya untuk menerima kehendak pihak lain, maka lahirlah kesepakatan86. Menurut J. Satrio, pernyataan kehendak dapat dilakukan secara tegas dan dapat pula dilakukan secara diam-diam. Pernyataan kehendak secara tegas bisa dilakukan secara tertulis, lisan, atau dengan tanda.87 Jika terjadi perbedaan antara kehendak batin dengan pernyataannya, maka menurut Teori Kehendak (Wils Theorie)− yang dipegangi adalah kehendak batin, yakni kehendak yang sesungguhnya seperti yang terbetik di dalam hati pihak yang bersangkutan. Tetapi menurut Teori Kepercayaan (Vertrouwens Theorie), yang dipegangi adalah pernyataan eksternal pihak bersangkutan karena kehendak batin hanya bisa diketahui melalui manifestasi eksternal yang dinyatakannya.88 84
1977.
Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia, Cet.I, Bina Cipta, Bandung,
85
http://fatdavid.blog.friendster.com/2008/10/tugas-makalah-hukum-perdata-internasionalperspektif-hukum-perdata-internasional-mengenai-penyelundupan-hukum/
eprints.sunan-ampel.ac.id/2/1/1MukarramPrinsip%2B.doc, diakses pada tanggal 6 Mei 2010. 86
87
J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, hal. 183 88 Al-Sanhu>ri,> Naza}riyyat al-‘Aqd, (Beirut: Dar> al-Fikr, t.t.), h. 167
Universitas Sumatera Utara
Teori kepercayaan (vertrouwenstheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan itu terjadi pada saat pernyataan kehendak dianggap layak diterima oleh pihak yang menawarkan89. Tidak dikatakan bahwa tanah dan bangunan tersebut dibelikan untuk Hadi Soetjipto (anaknya), hanya memakai/pinjam nama dan kewarganegaraan anaknya saja agar dapat membeli tanah dan bangunan tersebut), juga menurut keterangan saksi tanah tersebut
dibeli
oleh U
Lee Moy.
Sertifikat
tanah tersebut
juga
disimpan/dipegang oleh U Lee Moy. Oleh sebab itu tanah dan bangunan tersebut adalah milik U Lee Moy. Menurut Syuhada, Anggota Tehnis Hukum Balai Harta Peninggalan Medan : “Tanah tersebut bukan merupakan harta bersama lagi, setelah U Lee Moy meninggal dunia, maka menjadi harta warisan dari U Lee Moy.”90 Menurut Muhammad Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis : Sertifikat adalah surat tanda bukti hak, oleh karena itu telah kelihatan berfungsinya, bahwa sertifikat itu berguna sebagai “alat bukti”. Alat bukti yang menyatakan tanah ini telah diadministrasi oleh Negara. Dengan dilakukan administrasinya lalu diberikan buktinya kepada orang yang mengadministrasi tersebut. Bukti atau sertifikat adalah milik seseorang sesuai dengan yang tertera dalam tulisan di dalam sertifikat tadi. Jadi bagi si pemilik tanah, sertifikat tadi adalah merupakan pegangan yang kuat dalam hal pembuktian hak miliknya, sebab dikeluarkan oleh instansi yang sah dan berwenang secara hukum. Hukum
89
Mariam Darus Badrulzaman, Sutan Remy Sjahdeni, Heru Soepraptomo, Faturrahman Djamil, dan Tryana Soenandar, Kompilasi Hukum Perikatan Dalam Rangka Memperingati Memasuki Masa Purna Bakti Usia 70 Tahun, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal. 74. 90 Wawancara dengan Syuhada, Anggota Tehnis Balai Harta Peninggalan Medan, pada tanggal 13 Juli 2010.
Universitas Sumatera Utara
melindungi pemegang sertifikat tersebut dan lebih kokoh lagi bila pemegang sertifikat tersebut itu adalah namanya yang tersebut dalam sertifikat91. Dalam sistem pendaftaran tanah, Indonesia menganut sistem Publikasi Negatif, maksudnya adalah Negara tidak menjamin kebenaran data yang disajikan dalam sertifikat, oleh karena itu belum tentu seseorang yang tertulis namanya pada sertifikat adalah mutlak sebagai pemilik92. Kelemahan dari stelsel negatif antara lain : - Buku Tanah tidak memberikan jaminan yang mutlak; - Peranan yang pasif dari pejabat balik nama; - Mekanisme yang sulit dan sukar dimengerti oleh orang-orang biasa. Sedang keuntungan yang mendasar dalam stelsel negatif adalah adanya perlindungan pada pemilik yang sebenarnya93. Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda94. Dapat dikatakan bahwa Hadi Soetjipto telah diberi kepercayaan (fidusia) oleh ayahnya (U Lee Moy), seharusnya ia menjaga kepercayaan yang telah diberikan ayahnya tersebut kepadanya, bukannya melakukan tindakan-tindakan sendiri atas objek tersebut tanpa sepengetahuan orang tuanya (pemilik sebenarnya).
Secara
91
Mhd. Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, Mandar Maju, Bandung, 2008, hal. 204. 92 Ibid, hal. 172. 93 Ibid, hal. 173. 94 Pasal 1 angka (1) UU No. 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
Universitas Sumatera Utara
hukum perbuatan membagi tanah tersebut yang dilakukan oleh Hadi Soetjipto adalah sah, tetapi secara moral tindakan tersebut tidak dapat dibenarkan, dan telah melanggar kepercayaan yang diberikan oleh orang tuanya tersebut. Jadi dengan kata lain pemilik sebenarnya tanah dan bangunan tersebut adalah Tn. U Lee Moy (dengan Ny. Tan Jong Nio), tetapi menurut hukum Tn. U Lee Moy tidak bisa memiliki tanah di Indonesia, karena berstatus Warga Negara Asing. Menurut hukum pemiliknya adalah Hadi Soetjipto, karena namanya yang tercantum dalam sertifikat tanah tersebut. Menurut Syuhada : “ Pemilik harta tersebut adalah Ahli waris sesuai Surat Keterangan Waris yang dibuat oleh Notaris Abdullah Rosid tersebut, Hadi Soetjipto Cuma pemegang kuasa saja. Seharusnya U Lee Moy jangan mengatasnamakan salah satu anak saja, lebih baik mengatasnamakan semua anaknya, atau dibuat wasiat saja.”95 Berdasarkan pendapat dari Syuhada yang mengatakan bahwa lebih baik kalau sertifikat diatasnamakan semua anak maka lebih susah kalau mau proses balik nama. Lebih baik kalau sebelumnya dibuat surat pernyataan atau pengakuan dari Hadi Soetjipto kalau tanah tersebut sebenarnya adalah milik dari U Lee Moy, dan ketika setelah U Lee Moy berstatus WNI, maka sertifikat tanah tersebut dibaliknamakan atas nama U Lee Moy.
95
Wawancara dengan Syuhada, Anggota Tehnis Balai Harta Peninggalan Medan, pada tanggal 13 Juli 2010.
Universitas Sumatera Utara
Untuk mendapatkan jawaban yang lebih pasti mengenai siapakah pemilik yang sah atas tanah dan bangunan tersebut dan apakah perbuatan membagi tanah tersebut sah? , maka peneliti telah melakukan wawancara dengan para Notaris dan jawaban dari para Notaris adalah sebagai berikut : 1. Notaris Soedjono Sosilo menjawab : “Perbuatan Hadi Soetjipto membagi tanah dan bangunan tersebut secara hukum adalah sah. Kalau ada pernyataan dari Hadi Soetjipto, maka pemiliknya adalah orang tuanya. Sepanjang tidak dituntut maka maka sah, kalau dituntut maka lihat putusan pengadilan”.96 2. Notaris Tjong Deddy Iskandar menjawab “Nama yang tercantum dalam sertifikat berhak membagi objek tersebut kepada orang lain sepanjang ia mau dan disetujui oleh istrinya. Serta perjanjian membagi tersebut adalah sah”.97 3. Notaris Cipto Soenaryo menjawab “Secara hukum Hadi Soetjipto berhak untuk membagi tanah dan bangunan toko “Agung” tersebut, karena sertifikat atas nama dia. Walaupun di akta perjanjian membagi separuh bagian tanah dan bangunan kepada U I Hwa disebutkan bahwa tanah tersebut berasal dari orang tuanya, namun U Lee Moy secara hukum tidak dapat memiliki tanah di Indonesia karena berstatus WNA”98 4. Notaris Yusrizal menjawab : “Pemilik tanah yang sah adalah Hadi Soetjipto dan perbuatan membagi tanah tersebut sah.”99
96
Wawancara dengan Notaris Sudjono Sosilo, pada tanggal 5 Juli 2010. Wawancara dengan Notaris Tjong Deddy Iskandar, tanggal 5 Juli 2010. 98 Wawancara dengan Notaris Cipto Soenaryo, pada tanggal 5 Juli 2010. 99 Wawancara dengan Notaris Yusrizal, pada tanggal 6 Juli 2010. 97
Universitas Sumatera Utara
5. Notaris Indra S. Tarigan menjawab : “Bisa dibuat akta perjanjian membagi harta tersebut, tak perduli dari mana asalnya barang tersebut, tanah tersebut tetap milik anak (Hadi Soetjipto), secara hukum ayahnya (U Lee Moy) WNA bagaimana pun tetap tidak bisa memiliki tanah di Indonesia”100. 6. Notaris Lili Suryati menjawab : “Anak tersebut (Hadi Soetjipto) adalah pemilik yang sah, Kalau ada pengakuan bahwa tanah tersebut adalah milik orang tuanya, maka tidak bisa dibagi, kalau tidak ada pengakuan maka bisa dibagi.”101 7. Notaris Rubianto Tarigan menjawab : “Nama yang ada di sertifikat adalah pemilik yang sah, dan perjanjian membagi itu sah.”102 8. Notaris Ny. Jasmi Rivai menjawab : “Pemilik sah adalah anaknya, perbuatan membagi itu sah. Tanah tersebut bukan harta bersama, karena bukan terdaftar atas nama suami istri tersebut. Kalau terdaftar atas nama Tan Jong Nio baru merupakan harta bersama. Di dalam akta perjanjian diterangkan bahwa tanah berasal dari orang tua. Artinya mungkin saja merupakan pemberian orang tuanya atau dibeli dari uang orang tuanya. Bukan berarti merupakan harta bersama orang tuanya. Kecuali disebutkan merupakan harta gono gini orang
100
Wawancara dengan Notaris Indra S. Tarigan, pada tanggal 12 Juli 2010. Wawancara dengan Notaris Lili Suryati, tanggal 12 Juli 2010. 102 Wawancara dengan Notaris Rubianto Tarigan, tanggal 12 Juli 2010. 101
Universitas Sumatera Utara
tuanya atau ada surat pernyataan/pengakuan dari anak tersebut sebelumnya bahwa tanah tersebut adalah milik orang tuanya.”103 9. Notaris Ferry Susanto Limbong menjawab : “Pemilik sah adalah nama yang tercantum di dalam Sertifikat, dan perbuatan membagi tersebut sah.”104 10. Notaris Syamsurizul A. Bispo menjawab : “Secara hukum siapa yang tertera di akta adalah pemilik asli, sepanjang tidak ada pernyataan dari dia bahwa tanah tersebut adalah milik orang tuanya.”105 TABEL 1 Siapakah pemilik sah atas tanah tersebut ?
No.
Nama
Jumlah Responden 10 orang
n=10 Persentase (%) 100
1
Hadi Soetjipto
2
U Lee Moy
0 orang
0
Total
10 orang
100
Sumber : Data pengolahan TABEL 2 Apakah perbuatan Hadi Soetjipto membuat perjanjian untuk membagi tanah tersebut sah ?
No.
Nama
Jumlah Responden
n=10 Persentase (%)
103
Wawancara dengan Notaris Ny. Jasmi Rivai, tanggal 12 Juli 2010. Wawancara dengan Notaris Ferry Susanto Limbong, tanggal 13 Juli 2010. 105 Wawancara dengan Notaris Syamsurizul A. Bispo, tanggal 13 Juli 2010. 104
Universitas Sumatera Utara
1
Sah
10 orang
100
2
Tidak Sah
0 orang
0
Total
10 orang
100
Sumber : Data pengolahan Berdasarkan jawaban tersebut di atas, yaitu 10 orang responden menjawab pemilik sah tersebut adalah Hadi Soetjipto (nama yang tercantum di dalam Sertifikat) dan perbuatan membagi tanah tersebut kepada U I Hwa adalah sah. Yaitu 100 % (seratus persen). Pendapat para Notaris tersebut secara normatif adalah benar, karena nama yang tercantum di dalam sertifikat adalah dianggap sebagai pemilik yang sah, tetapi secara etika dan moral tindakan Hadi Soetjipto tersebut tidak benar. Perbuatan Liliana Handoyo, Notaris di Madiun
yang membuat akta
perjanjian membagi harta antara Hadi Soetjipto dengan U I Hwa sebenarnya juga tidak dapat disalahkan, karena walaupun ada disebutkan bahwa objek berasal dari orang tuanya, itu mungkin saja artinya dibeli dari uang orang tuanya atau merupakan pemberian orang tuanya (seperti yang dikatakan Notaris Jasmi Rivai), apalagi sertifikat tanah tersebut atas nama Hadi Soetjipto, maka secara hukum Hadi Soetjipto berhak untuk melakukan tindakan hukum terhadap miliknya tersebut. Jika saja di dalam akta perjanjian yang dibuat Hadi Soetjipto dengan U I Hwa tidak dicantumkan bahwa tanah tersebut berasal dari orang tuanya, maka ibunya dan Hadianto pasti tidak bisa menggugat, tetapi karena ada disebutkan dalam perjanjian
Universitas Sumatera Utara
tersebut, maka ibunya dan Hadianto Utomo mempunyai bukti untuk menggugat. Berdasarkan pengakuannya sendiri bahwa tanah tersebut adalah berasal dari orang tuanya, berarti dia mengakui bahwa tanah tersebut adalah milik orang tuanya. Pasal 1891 KUH Perdata berbunyi : “Akta-akta pengakuan membebaskan dari kewajiban untuk mempertunjukkan alas hak yang asli, asal dari akta-akta itu cukup ternyata akan isinya alas hak tersebut.” Yang menjadi dasar bagi para penggugat untuk menggugat adalah karena adanya surat perkawinan antara U Lee Moy dengan Tan Jong Nio, serta tanah tersebut dibeli di masa perkawinan U Lee Moy dengan Tan Jong Nio, sehingga merupakan harta bersama mereka, sertifikat tanah tersebut dipegang oleh U Lee Moy. Serta berdasarkan Surat Keterangan Hak Waris yang dibuat oleh Notaris Abdullah Rosid, yang menyatakan bahwa ahli waris dari U Lee Moy adalah Tan Jong Nio, Hadi Soetjipto serta Hadianto Utomo. Akte perjanjian membagi harta antara Hadianto Utomo dengan U I Hwa dibuat pada tahun 1986, sedangkan U Lee Moy pada tahun 1983 telah memperoleh Kewarganegaraan Indonesia, seharusnya setelah ia mendapatkan kewarganegaraan Indonesia ia mengadakan proses balik nama atas tanah tersebut menjadi namanya. B. Sejarah Etnis Tionghoa Diterima Sebagai Subjek Hukum di Indonesia Sejarah asal mula Tionghoa memasuki Indonesia adalah sebagai berikut : Dalam Ensiklopedia Nasional Indonesia, dikatakan bahwa istilah Cina berasal dari nama dinasti Chin (abad ketiga sebelum Masehi) yang berkuasa di Cina selama lebih dari dua ribu tahun sampai tahun 1913. Bencana banjir, kelaparan, dan peperangan memaksa orang-orang bangsa Chin ini merantau ke seluruh dunia.
Universitas Sumatera Utara
Kira-kira pada abad ke tujuh orang-orang ini mulai masuk ke Indonesia. Pada abad ke sebelas, ratusan ribu bangsa Chin mulai berdiam di kawasan Indonesia, terutama di pesisir timur Sumatra dan di Kalimantan Barat. Bangsa Chin yang merantau dari Cina ini di Indonesia lalu disebut dengan Cina perantauan. Orangorang Cina perantauan ini mudah bergaul dengan penduduk lokal sehingga mereka bisa diterima dengan baik106. Para perantau yang membawa keluarga mereka kemudian membentuk perkampungan yang disebut dengan “Kampung Cina” Di kota-kota di mana terdapat banyak orang Cina bertempat tinggal, kampung ini lalu disebut dengan Pecinan. Orang –orang yang tinggal di Pecinan ini banyak yang menjadi pedagang107. Leluhur orang Tionghoa-Indonesia berimigrasi secara bergelombang sejak ribuan tahun yang lalu melalui kegiatan perniagaan. Peran mereka beberapa kali muncul dalam sejarah Indonesia, bahkan sebelum Republik Indonesia dideklarasikan dan terbentuk. Catatan-catatan dari Cina menyatakan bahwa kerajaan-kerajaan kuna di Nusantara telah berhubungan erat dengan dinasti-dinasti yang berkuasa di Cina. Faktor inilah yang kemudian menyuburkan perdagangan dan lalu lintas barang maupun manusia dari Cina ke Nusantara dan sebaliknya108. Ketika bangsa barat, terutama Belanda dengan perusahaan dagangnya (VOC) memasuki Indonesia dan memonopoli perdagangan di Indonesia, para pedagang dari negeri Chin yang sudah menguasai perdagangan selama beratus-ratus tahun ini bentrok dengan mereka. Akibatnya, VOC dan kemudian pemerintah Belanda memberikan beberapa konsesi berupa hak-hak istimewa kepada bangsa perantau dari Cina ini. Salah satunya adalah mereka dianggap sebagai penduduk Timur Asing yang dianggap mempunyai kedudukan setingkat lebih tinggi daripada warga penduduk asli109. Golongan Tionghoa sebenarnya adalah salah satu kelompok masyarakat yang diberi tempat di dalam masyarakat Hindia Belanda oleh berbagai usaha dan hukum. 106
http://www.ngobrolaja.com/showthread.php?t=51539 , diakses tanggal 6 Mei 2010. Ibid. 108 http://wapedia.mobi/id/Tionghoa-Indonesia?t=6., Diakses tanggal 6 Mei 2010. 107
109
http://www.ngobrolaja.com/showthread.php?t=51539 , diakses pada tanggal 6 Mei 2010.
Universitas Sumatera Utara
Pemerintah Hindia Belanda sudah puas dengan hanya memberikan masyarakat Tionghoa – sebagai satu golongan etnik rasial – satu kedudukan dan fungsi tertentu dalam masyarakat Hindia Belanda110. Politik hukum Belanda terhadap golongan Tionghoa adalah satu konflik antara dua asas. Asas untuk mengadakan politik demi kepentingan Belanda dan asas mempertahankan hukum adat, membiarkan orang-orang hidup menurut kebiasaankebiasaan sendiri. Inilah sebabnya mengapa demikian lamanya dipertahankan “hukum adat orang-orang Tionghoa”, biarpun tak ada seorang yang mengetahui apa hukum adat ini.111 VOC mencoba memecahkan persoalan ini dengan incidentele legistatie (dengan hanya bila perlu mengadakan undang-undang untuk orang-orang Tionghoa). Pada 1604, VOC mengeluarkan satu ketetapan (edict) untuk mendirikan College van Boedelmeesteren bagi orang-orang Tionghoa. College van Boedelmeesteren ini diberi tugas mengatur warisan-warisan mereka dan mengawasi warisan-warisan atau kekayaan anggota golongan ini yang berada di bawah umur. College ini didirikan guna memberikan kepastian dalam klaim-klaim kreditor-kreditor Belanda terhadap kekayaan orang-orang Tionghoa yang meninggal dunia. Selain karena sering ada kecurangan dalam warisan-warisan yang menyebabkan ahli waris yang di bawah umur merugikan dan menjadi miskin112. Ini bisa terjadi karena di Tiongkok warisan kepada anak di bawah umur diatur oleh klan, tetapi di sini klan tak ada, jadi timbul kecurangan-kecurangan dalam warisan-warisan. Pada itu juga diakui hak waris anak perempuan. Pada 1848, orang-orang Eropa di Indonesia ditundukkan dalam hukum Negara Belanda. Gubernur Jenderal diberi hak untuk menyatakan pemberlakuan hukum Belanda pada golongan-golongan lain sebagian atau seluruhnya. Para saudagar Belanda berpendapat bahwa akan menguntungkan mereka bila orang-orang Timur Asing ditundukkan pada hukum Belanda itu, hukum yang dikenal orang-orang Belanda dan yang tertulis untuk mengatur hubungan-hubungan ekonomis mereka
81-82.
110
Onghokham, Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa, Komunitas Bambu, Depok, 2009, hal.
111
Ibid. Masa jabatan 1750-1756 – Penyunting (JJ Rizal).
112
Universitas Sumatera Utara
dengan orang-orang Timur Asing. Kepentingan saudagar-saudagar Belanda ini mendorong pemerintah Hindia Belanda untuk memberlakukan pada orang-orang Tionghoa seluruh hukum perdata Belanda, kecuali “apa yang berkenaan dengan soal-soal keluarga dan warisan”. Jadi pernyataan berlaku sebagian dari hukum Belanda pada orang-orang Timur Asing didasarkan pada kepentingan Belanda, tetapi egoisme Belanda ini pada akhirnya menguntungkan golongan Timur Asing113. Masyarakat Tionghoa di Indonesia pernah terbagi dalam tiga golongan besar: totok, peranakan, dan hollands spreken. Yang tergolong totok adalah mereka yang baru satu turunan di Indonesia (orang tuanya masih lahir di Tiongkok) atau dia sendiri masih lahir di sana. Lalu ketika masih bayi diajak xia nan yang. Yang disebut peranakan adalah yang sudah beberapa keturunan lahir di tanah yang kini bernama Indonesia. Sedangkan yang hollands spreken adalah yang -di mana pun lahirnya- menggunakan bahasa Belanda, mengenakan jas dan dasi, kalau makan pakai sendok dan garpu, dan ketika Imlek tidak mau menghias rumah dengan pernik-pernik yang biasa dipergunakan oleh peranakan maupun totok114. Peraturan berikutnya adalah wijkenstelsel, pemusatan permukiman orang Tionghoa, yang dikeluarkan pada tahun 1866 dan dimuat dalam Staatsblad van Nederlandsch Indië No 57. Peraturan ini menyebutkan bahwa para pejabat setempat menunjuk tempat-tempat yang dapat digunakan sebagai wilayah permukiman orang Tionghoa dan Timur Asing lainnya. Lagi-lagi, peraturan ini untuk keamanan. Maksudnya, supaya orang-orang tersebut mudah diawasi. Mereka yang melanggar dengan tetap tinggal di luar dari wilayah yang telah ditentukan akan dikenai sanksi penjara atau denda sebesar 25-100 gulden dengan diberi batas waktu tinggal115. Di samping wijkenstelsel, ada pula peraturan lain, yaitu passenstelsel yang berlaku sejak 1816. Orang Tionghoa harus membawa kartu pas jalan jika hendak mengadakan perjalanan ke luar daerah. Mereka yang tidak mendaftarkan diri dan diketahui tidak membawa kartu tersebut dalam perjalanan akan dikenai sanksi hukuman atau denda sebesar 10 gulden. Peraturan ini sangat merepotkan orang Tionghoa, terutama dalam hal mengembangkan perdagangan mereka. Hal itu karena prosedur yang sulit dan waktu pembuatan yang cukup lama.116
113
114
WJ Cator, The Economic Position of The Chinese in the Indies, Chicago, 1939. http://ratualit.blogspot.com/2009/01/menengok-sejarah-etnis-tionghoa-di.html,
diakses
tanggal 6 Mei 2010. 115 http://www.mesias.8k.com/sunjayadi.htm, diakses tanggal 6 Mei 2010. 116 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Dalam hal peradilan, sejak 1848 bagi masyarakat Tionghoa berlaku peradilan politierol. Maksudnya suatu peradilan polisi di mana kepala polisi berhak bertindak sebagai hakim, Ia berhak memberi keputusan hukuman tanpa harus mendengarkan keterangan saksi terlebih dahulu. Jelas dalam sistem ini unsur pemerasan dan ketidakadilan sering kali terjadi117. Dengan dipertahankannya hukum adat, berbagai golongan bangsa hidup menurut tradisi mereka masing-masing. Menurut kebiasaan-kebiasaanya sendiri dan hukum adatnya sendiri118. Jadi selain asas politik yang menyebabkan terjadinya perbedaan antara golongan Bumiputra dan Tionghoa, termasuk juga hukum adat. Orang-orang Tionghoa berlainan dengan hukum adat golongan Bumiputra119. Onghokham mangatakan bahwa : Asas politik mempertahankan hukum adat dapat dilaksanakan terhadap golongan Bumiputra tanpa menimbulkan banyak kesukaran. Sedangkan penerapannya bagi orang-orang Tionghoa di Jawa manjadi sangat rumit. Orang-orang Tionghoa datang dari Tiongkok dengan pengertian hukum yang berlaku di Tiongkok Selatan. Hukum ini memang sesuai dengan keadaan di sana, tetapi tak sesuai dengan keadaan di Hindia. Sebab di Hindia tidak ada klan yang merupakan basis hukum di Tiongkok120. Asas hukum adat yang dipertahankan menimbulkan banyak kesukaran dan anarkis dalam hukum Tiongkok, apalagi ditambah dengan adanya incidentele legistatie dari pemerintah Belanda. Orang-orang Tionghoa di Hindia juga berhubungan dengan bangsa-bangsa yang memiliki kebudayaan lain. Hal itu
117
Ibid. J.S. Furnivall, Colonial Policy and Practice. 119 Onghokham, Op. Cit., hal. 83. 120 Ibid. 118
Universitas Sumatera Utara
menyebabkan terjadinya “penyelundupan” asas-asas hukum ke dalam masyarakat Tionghoa, yang berbeda atau bertentangan dengan hukum Tiongkok121. Anarki dalam hukum ini menyebabkan intervensi dari pemerintah Belanda untuk mempertahankan ketatatertiban dan asas politik hukum. Namun ada sebab lain yang lebih penting untuk mengadakan intervensi itu. Orang-orang Tionghoa banyak mengadakan hubungan ekonomi dengan orang-orang Belanda dan untuk kepentingan orang-orang Belanda maka hubungan-hubungan ekonomis itu diatur oleh hukum yang mereka kenal, dengan kata lain oleh hukum Belanda122. Dalam Regeringsreglement tahun 1854, masyarakat Hindia Belanda dibagi dalam tiga golongan besar, yaitu Europeanen (golongan orang Eropa), Vreemde Oosterlingen (Timur Asing), dan Inlander (pribumi). Pada pembagian secara rasial ini, orang Tionghoa dimasukkan dalam kelompok Timur Asing bersama orang India, Arab, dan Melayu. Pemisahan ini dimaksudkan untuk alasan keamanan. Mereka diharuskan mengenakan pakaian khas, ciri khas fisik kelompok masing-masing, seperti penggunaan thaucang (kuncir) bagi para pria Tionghoa. Khusus untuk istilah golongan Vreende Ossterlingen merupakan pergeseran nama dari Vreemdelingen yang berlaku pada abad ke-17 dan ke-18123 Ini menyebabkan bahwa pada 1855 orang-orang Tionghoa harus tunduk pada sebagian hukum Belanda, lantas akhirnya pada seluruh hukum Belanda pada tahun 1917. Ini memberikan banyak keuntungan ekonomis pada orang-orang Tionghoa. Orang-orang Belanda tentunya lebih suka mengadakan hubungan ekonomis dengan golongan ini, sebab diatur oleh hukum Belanda, hukum yang tertulis dan yang mereka ketahui. Jadi makin banyak hukum Belanda yang dinyatakan berlaku untuk orang-orang Tioghoa, maka makin erat hubungan ekonomisnya orang-orang Tionghoa dengan orang-orang Belanda124. Karena tak ada ketentuan hukum dalam hal warisan maka orang-orang Tionghoa sendiri juga tak mempunyai asas-asas tentang hal ini. Karena tak ada hukum soal warisan, maka pada advokat mendorong supaya tiap-tiap orang yang
121
Ibid. Ibid, hal. 84. 123 http://www.mesias.8k.com/sunjayadi.htm, diakses pada tanggal 6 Mei 2010. 124 Onghokham, Op. Cit., hal. 84. 122
Universitas Sumatera Utara
mungkin dapat dianggap sebagai ahli waris mengadakan proses-proses tentang warisan125. Kekacauan dan anarki dalam hukum warisan ini memuncak pada abad ke-19. Beberapa kali umpamanya pada 1892 dan 1896 pemerintah coba memecahkan keruwetan ini, tetapi tak berhasil. Pada 1896 kepada Mr. Fromberg diberi tugas untuk merancang hukum keluarga dan hukum warisan, tetapi usaha Mr. Fromberg ini tak dipakai dan disingkirkan. Semua usaha untuk mengatur hal ini kebanyakan tak berhasil karena salah satu syarat untuk memperbaiki hukum warisan Tionghoa ialah selalu jangan sampai perubahan ini meminta uang, meminta biaya dari pemerintah.126 Kekacauan-kekacauan ini membawa akibat yang buruk bagi orang Tionghoa. Proses-proses tentang warisan yang terkenal pada abad yang lalu menyebabkan ketidakakuran dan runtuhnya persatuan dalam keluarga-keluarga. Kakak dengan adik, saudara-saudara laki dengan saudara-saudara perempuan, keponakan dengan paman mengadakan persengketaan yang hebat di muka hakim, yang menyebabkan hubungan-hubungan satu sama lain menjadi buruk.127 Kekacauan memuncak sedemikian rupa, sehingga perlu sekali pemecahan dengan segera; selain itu mulai muncul kaum intelektual muda Tionghoa. Mereka ini yang meminta supaya undang-undang Belanda saja yang mengatur warisan dan juga supaya dinyatakan berlakunya peraturan cacah jiwa (Burgerlijke Stand) pada orang-orang Tionghoa. Pada 1917 pemerintah Belanda menyatakan berlakunya hampir seluruh hukum Belanda pada orang-orang Tionghoa di Pulau Jawa dan Madura. Pada 1919 peraturan ini diundangkan.128 Sejarah hukum perdata barat menurut Utrecht adalah sebagai berikut : Hukum perdata Eropa bagian terbesar berasal dari hukum perdata Perancis yang dikodifikasi pada tanggal 21 Maret 1804. Kodifikasi hukum perdata Perancis baru dibuat pada waktu sesudah Revolusi Perancis. Pada tanggal 12 Agustus 1800 oleh Kaisar Napoleon dibentuk suatu panitia yang diserahi tugas membuat rencana kodifikasi. Kodifikasi hukum perdata itu dibuat pada tanggal 21 Maret 1804, Pada tahun 1807 kodifikasi hukum perdata itu yang semula disebut Code Civil des Francais diundangkan lagi dengan nama Code Napoleon. Pada tahun 1811 sampai tahun 1838 Code Napoleon juga berlaku di Negeri Belanda sebagai kitab 125
Ibid, hal. 88. Ibid, hal. 88-89. 127 Ibid, hal. 89. 128 Ibid. 126
Universitas Sumatera Utara
undang-undang hukum resmi. Pada tahun 1814 dibentuk panitia yang bertugas membuat rencana kodifikasi hukum Belanda , yaitu kodifikasi hukum “nasional”. Panitia diketuai oleh Mr. J.M. Kemper. Yang menjadi sember kodifikasi hukum perdata Belanda ialah : bagian terbesarnya Code Napoleon dan bagian kecilnya hukum Belanda yang kuno. Rencana Kemper tersebut tidak diterima oleh para sarjana hukum Belgia. Setelah Kemper meninggal dunia pada tahun 1824, maka kodifikasi itu dipimpin oleh Nikolai. Karena Nicolailah, maka bagian besar kodifikasi hukum perdata Belanda didasarkan atas Code Napoleon. Hanya beberapa bagian saja kodifikasi tersebut didasarkan atas hukum Belanda yang kuno. Maka dari itu orang dapat mengatakan bahwa kodifikasi hukum perdata Belanda (tahun 1838) adalah suatu tiruan kodifikasi hukum perdata Perancis dengan beberapa perubahan kecil yang berasal dari hukum Belanda yang kuno.129 Selanjutnya menurut Utrecht : Karena peperangan yang mengakibatkan pemisahan antara Negeri Belanda dan Belgia (th. 1830 - th. 1839), maka kodifikasi hukum perdata Belanda itu baru dapat diresmikan pada tahun 1838. Pada tahun itu diadakan beberapa kitab undang-undang hukum Belanda, yaitu disamping Nederlands Burgerlijk Wetboek (hukum perdata Belanda), dijadikan berlaku juga Nederlands Wetboek van Koophandel (hukum dagang Belanda), Rechterlijke Organisatie (RO, peraturan susunan pengadilan Belanda), Rechtsvordering (hukum acara privat Belanda), Algemene Bepalingen van Wetgeving (AB, ketentuan-ketentuan umum mengenai perundang-undangan Belanda).130 Menurut Utrecht perkembangan hukum perdata barat di Indonesia adalah sebagai berikut : Berdasarkan azas konkordansi, kodifikasi hukum perdata Belanda menjadi contoh bagi kodifikasi hukum perdata Eropa di Indonesia. Hukum perdata Eropa di Indonesia terdiri atas anasir-anasir yang berasal dari hukum Romawi, hukum Perancis yang kuno, dan hukum Belanda yang kuno. Sebagai akibat proses penyosialisasian hukum maupun usaha menghapuskan dualisme dalam tata hukum yang berasal dari zaman Hindia Belanda dahulu, Mahkamah Agng telah mengeluarkan surat edaran tertanggal 5 September 1963 Nr. 1115/P/3292/M/1963 (aslinya Nr. 3/1963). Dalam surat edaran tersebut badan pengalihan tertinggi kita menyatakan bahwa KUH Perdata dianggap “tidak sebagai undang-undang, melainkan sebagai suatu dokumen yang hanya menggambarkan suatu kelompok 129
E. Utrecht dan Moh. Saleh Djinjang, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, PT. Ichtiar Baru, Jakarta, Cet.XI, 1983, hal. 475-477. 130 Ibid, hal. 477-478.
Universitas Sumatera Utara
hukum tak tertulis” dan “menganggap tidak berlaku lagi antara pasal-pasal berikut dari Burgerlijk Wetboek”, yaitu pasal-pasal 108, 110, 284 ayat 2, 1238, 1460, 1579, 1603x ayat-ayat 1 dan 2, dan 1682.131 Hukum perdata di Indonesia pada dasarnya bersumber pada Hukum Napoleon kemudian berdasarkan Staatsblaad nomor 23 tahun 1847 tentang burgerlijk wetboek voor Indonesie atau biasa disingkat sebagai BW/KUHPer. BW/KUHPer sebenarnya merupakan suatu aturan hukum yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda yang ditujukan bagi kaum golongan warganegara bukan asli yaitu dari Eropa, Tionghoa dan juga timur asing. Namun demikian berdasarkan kepada pasal 2 aturan peralihan Undang-undang Dasar 1945, seluruh peraturan yang dibuat oleh pemerintah Hindia-Belanda berlaku bagi warga negara Indonesia (azas konkordasi). Beberapa ketentuan yang terdapat didalam BW pada saat ini telah diatur secara terpisah/tersendiri oleh berbagai peraturan perundangundangan. Misalnya berkaitan tentang tanah, hak tanggungan dan fidusia132.
Menurut E. Utrecht : “Tahun 1848 menjadi tahun yang sangat penting dalam sejarah hukum Indonesia. Pada tahun itu hukum privat yang berlaku bagi golongan hukum Eropa dikodifikasi, yakni dikumpulkan dan dicantumkan dalam beberapa kitab undangundang berdasarkan suatu sistim tertentu. Di dalam pembuatan kodifikasi itu dipertahankan juga azas konkordansi.”133 Perubahan Pasal 75 RR menjadi Pasal 131 IS adalah : Pada tahun 1919, pasal 75 dan 109 baru RR 1854 dapat berlaku umum dan resmi, latar belakangnya adalah oposisi terhadap kodifikasi hukum adat itu. Akhirnya pada tahun 1925 dibuat IS. Pasal-pasal 75 redaksi baru dan 109 redaksi baru RR 1854 dimasukkan ke dalam IS dengan mengalami perubahan yang sangat kecil, yaitu perkataan “algemene verordiningen” (peraturan umum) diganti dengan perkataan “ordonnantie”. Mengenai bagian-bagian lain, maka redaksi kedua ketentuan tersebut tidak mengalami perubahan. Pasal 75 redaksi baru RR 1854 131
Ibid, hal. 478. http://id.wikisource.org/wiki/Kitab_Undang-Undang_Hukum_Perdata, tanggal 6 Desember 2009. 133 E. Utrecht dan Moh. Saleh Djinjang, Op. Cit., hal. 176. 132
diakses
pada
Universitas Sumatera Utara
sekarang pasal 131 IS, dan pasal 109 redaksi baru RR 1854 sekarang redaksi pasal 163 IS.134 Perbedaan antara Redaksi lama Pasal 75 RR 1854 dan Pasal 131 IS, yaitu redaksi baru Pasal 75 RR 1854 yaitu : 1. Pasal 131 IS memuat suatu tugas bagi pembuat ordonansi (legislatif) sedangkan pasal 75 lama RR 1854 memuat suatu tugas bagi hakim (yudikatif). Maka dari itu pasal 131 IS menjadi pasal kodifikasi (codificatie artikel) pada zaman Hindia Belanda. Ayat 1 menjadi pasal kodifikasi hukum acara serta hukum pidana, ayat 2 sub a menjadi pasal kodifikasi hukum privat Eropa dan pasal 2 sub b menjadi pasal hukum privat adat. 2. Pasal 131 ayat 2 sub a IS memberi kesempatan untuk mengadakan perkecualian terhadap azas konkordansi. Pembuat ordonansi dapat : a. Mengatakan hukum khusus yang menyesuaikan keperluan hukum golongan hukum Eropa denga keadaan khusus di Indonesia b. Menerapkan hukum yang berlaku bagi beberapa golongan hukum bersamasama.135 Dalam hukum positif Indonesia berlaku bermacam-macam hukum perdata, yaitu hukum perdata Eropa (KUHPerdata), hukum adat dan hukum Islam. Pluralisme hukum perdata ini disebabkan karena berdasarkan Pasal 163 IS, penduduk Hindia Belanda digolongan menjadi golongan Eropa, Bumi Putra dan Timur Asing. Dan berdasarkan Pasal 131 IS kepada masing-masing golongan diberlakukan hukum perdata yang berbeda136. Menurut Utrecht : Pasal 163 IS, yang berasal dari zaman kolonial, menyebut siapa yang tergolong di dalam masing-masing golongan hukum itu137 : 1. Yang tunduk pada peraturan-peraturan golongan hukum adat ialah semua orang Bumiputera (Indonesia asli), terkecuali mereka yang telah masuk suatu golongan hukum lain. Tergolong juga, mereka yang dahulu golongan hukum lain, tetapi sejak lama dianggap atau diterima sebagai orang Bumiputera. Hukum adat juga tidak berlaku bagi seorang Indonesia asli yang beragama Kristen dalam hal ordonansi telah menentukan hukum lain. 134
Ibid, hal. 184-185. Ibid., hal. 185. 136 http://pustaka.ut.ac.id/website/index.php?option=com_content&view=article&id=61:pkni4 207-sistem-hukum-indonesia&Itemid=75&catid=30:fkip, diakses pada tanggal 6 Mei 2010. 137 Menurut Utrecht, Pasal 163 IS adalah penafsiran otentik (authentieke interpretatie),lihat Lemaire, hal. 24, dan Logemann, Staatsrecht van Nederlands Indie, 1947, hal. 86. 135
Universitas Sumatera Utara
2. Yang tunduk pada peraturan-peraturan golongan hukum Eropa (Barat) ialah : a. Orang Belanda b. Orang lain yang berasal dari Eropa (misalnya, seorang Jerman, seorang Inggris) c. Orang Jepang dan orang lain yang tidak termasuk sub a atau sub b tetapi juga tunduk pada suatu hukum keluarga yang azas-azasnya dalam garis besar seperti azas-azas hukum keluarga yang terdapat dalam KUH Perdata (yaitu hukum keluarga Belanda yang berdasarkan azas monogami), misalnya seorang Amerika, seorang Australia. d. Mereka yang lahir sebagai anak sah atau yang diakui sah sebagai anak dari mereka yang disebut pada sub-sub 2a, 2b dan 2c, dan keturunan mereka. 3. Yang tunduk pada peraturan-peraturan golongan hukum adat Timur Asing ialah orang Asia lain, misalnya orang Cina, orang Arab, orang India, orang Pakistan (kedua golongan orang ini disebut “Voorindiers”). Hukum adat Timur Asing tidak berlaku bagi seseorang Timur Asing yang beragama Kristen dalam hal ordonansi telah menentukan hukum lain138. Untuk mengatasi kevakuman hukum setelah Indonesia merdeka, berdasar pada Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, ketentuan-ketentuan tersebut di atas masih diberlakukan. Tetapi UU Nomor 62 Tahun 1958 dan Instruksi Presidium Kabinet Nomor 31/U/IN/13/1966, hanya mengenal pembagian penduduk menjadi warga negara Indonesia dan warga negara Asing dan menghapuskan penggolongan penduduk. Sehingga meskipun hukum perdata dalam hukum positif Indonesia masih bersifat pluralistis, tetapi tidak lagi ditujukan pada golongan penduduk tertentu, melainkan ditujukan kepada warga negara Indonesia secara umum139. Bagi generasi pra-Orba, istilah “Cina” jelas berkonotasi merendahkan, oleh karena itu mereka lebih suka disebut “Tionghoa”140. Sejarah pemakaian kata “Tionghoa” berawal di kalangan perkumpulan Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) Batavia pada tahun 1900. Pada saat itu istilah “Tjina” atau “Tjienna” –yang dipakai sejak lama– mulai dianggap merendahkan. Pada tahun 1928 Gubernur Jendral Hindia 138
E. Utrect dan Moh. Saleh Djinjang, Op. Cit., hal. 167-168. .http://pustaka.ut.ac.id/website/index.php?option=com_content&view=article&id=61:pkni4 207-sistem-hukum-indonesia&Itemid=75&catid=30:fkip, diakses pada tanggal 6 Mei 2010. 140 http://iccsg.wordpress.com/2006/10/14/tionghoa-dalam-dinamika-sejarah-indonesiamodern-refleksi-seorang-sejarawan-peranakan/, diakses pada tangga 6 Mei 2010. 139
Universitas Sumatera Utara
Belanda secara formal mengakui penggunaan istilah “Tionghoa” dan “Tiongkok” untuk berbagai keperluan resmi141 Dengan Undang-undang Republik Indonesia No. 62 Tahun 1958 jo. Undangundang Nomor 3 Tahun 1976 tentang Kewarganegaraan, maka Kewarganegaraan serta Penduduk Indonesia dibagi dalam : 1. Warganegara Asing; dan 2. Warganegara Asli yaitu : mereka yang telah menjadi Warganegara berdasarkan Undang-undang atau Peraturan yang berlaku dahulu sebelum Undang-undang ini; mereka yang memenuhi syarat-syarat tertentu yang telah ditetapkan dalam Undang-undang ini142. Berdasarkan dengan Staatblad 1917 No, 129 yang mulai berlaku pada tanggal 1 Mei 1919 jo. Stbld. 1924 No. 557 yang mulai berlaku pada tanggal 1 Mei 1925 jo. Staatblad 1925 No. 29 yang mulai berlaku pada tanggal 1 September 1925 kepada mereka Golongan Timur Asing Tionghoa ini diperlakukan143 : 1. Burgerlijk Wetboek dan Wetboek Van Koophandel kecuali pasal-pasal tertentu dari Bagian Kedua dan Ketiga Buku I Titel IV, mengenai upacara yang harus mendahului perkawinan dan tentang pencegahan perkawinan.
141
Lea E. Williams, Overseas Chinese Nationalism: The Genesis of the Pan-Chinese Movement in Indonesia, 1900-1916 (Glencoe: 1960), p.61; Charles Coppel, Studying Ethnic Chinese in Indonesia (Singapore : 2002), h.372. 142 Mohd. Idris Ramulyo, Op. Cit., hal. 14. 143 H. Suparman Usman, Ikhtisar Hukum Waris Menurut KUH Perdata (BW), Darul Ulum Press, Serang, 1990, hal. 6.
Universitas Sumatera Utara
2. Untuk mereka Golongan Timur Asing Tionghoa ini diadakan Pencatatan Sipil sendiri berdasarkan Stbld. 1917 No. 130 jo. Staatblad 1919 No.81. 3. Diadakan ketentuan khusus yaitu mengenai perkongsian dan Adopsi (pengangkatan anak) yang diatur berdasarkan Staatblad 1917 No. 129 jo. Staatblad 1919 No. 18. Menurut Subekti, dan juga pendapat Mahadi mengatakan bahwa : “Di zaman Hindia Belanda ini terutama sesudah tahun 1928, yang menjadi sumber hukum Perdata bagi golongan Indonesia adalah Hukum Adat” Tetapi menurut pendapat Sajuti Thalib yang mendasarkan pendapatnya kepada Hazairin, kesimpulan yang dikemukakan oleh Subekti dan Mahadi itu hanya menekankan pada segi hukum saja. Pada hal dengan jelas dapat dipelajari pasal 75 R.R. itu yang menyebut Undang-undang Agama dan Kebiasaan, sejajar sebagai Hukum yang berlaku bagi penduduk pribumi, berarti Hukum Adat berlaku untuk orang-orang yang tunduk Hukum Adat dan Hukum Islam diperlakukan bagi orang-orang Islam, sedangkan orang Timur Asing yang dibicarakan di atas tadi berlaku Hukum Adat mereka.144. Setelah negara Indonesia merdeka, orang Tionghoa yang berkewarganegaraan Indonesia digolongkan sebagai salah satu suku dalam lingkup nasional Indonesia, sesuai Pasal 2 UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia145.
144
Sajuti Thalib, Receptio a Contrario Receptie Theorie and Receptio a Contratia, diterbitkan sendiri, Jakarta, 1975. 145 Trisnanto, AM Adhy (Minggu, 18 Februari 2007), "Etnis Tionghoa Juga Bangsa Indonesia", Suara Merdeka, http://www.suaramerdeka.com/harian/0702/18/nas04.htm, diakses tanggal 6 Mei 2010.
Universitas Sumatera Utara
C. Perbedaan Pewarisan Menurut Adat Tionghoa Dengan Pewarisan Menurut KUH Perdata Pewarisan menurut adat Tionghoa mempunyai perbedaan dengan pewarisan menurut KUH Perdata, yaitu : Dikeluarkannya Nieuwe Chinezen Wetgeving (Perundang-undangan Tionghoa Baru) oleh pemerintah Belanda secara bertahap melalui Staatblad 1917 No. 129, Staatblad 1924 No. 557 dan Staatblad 1925 No. 92), maka berlakulah KUH Perdata bagi golongan Timur Asing Tionghoa. Sebelum berlakunya KUH Perdata bagi golongan Tionghoa berlaku hukum adat yang sangat jauh berbeda dengan hukum waris dari KUH Perdata146. Sebenarnya berlakunya ketentuan-ketentuan hukum waris dari KUH Perdata menimbulkan berbagai kesulitan. Kesulitan-kesulitan tersebut timbul sebagai akibat adanya perbedaan-perbedaan sistem kekerabatan, nilai-nilai budaya dan kepercayaan masyarakat keturunan Tionghoa dengan keturunan Eropa. Hal ini terjadi karena pada mulanya KUH Perdata dibuat untuk golongan Eropa, sehingga ketentuan hukumnya disesuaikan dengan sistem kekerabatan, nilai-nilai budaya dan kepercayaan masyarakat yang hidup dan berkembang di Eopa. Contoh dari perbedaan-perbedaan tersebut adalah sistem kekerabatan orang-orang Tionghoa adalah patrilineal, sedang di dalam KUH Perdata adalah parental; di dalam hal perkawinan hukum adat Tionghoa menganut asas poligami, sedang di dalam KUH Perdata menganut asas monogami; berdasar hukum adat Tionghoa memungkinkan adanya pengangkatan anak atau adopsi, sedang di dalam KUH Perdata tidak mengenal adanya lembaga adopsi.147 Menurut Esti Ningrum dan Siti Ismijati Jenie, perbedaan pewarisan antara hukum adat Tionghoa dan KUH Perdata adalah sebagai berikut : Mengenai pengertian perwarisan antara hukum adat Tionghoa dan KUH Perdata terdapat perbedaan. Menurut hukum adat Tionghoa pewarisan dapat terjadi 146
Esti Ningrum dan Siti Ismijati Jenie, Pelaksanaan Pembagian Warisan di Kalangan Orang-Orang Yang Tunduk Pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata di Daerah Kabupaten Banyumas, Program Studi Ilmu Hukum, Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, 2002. 147 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
karena saat pewaris masih hidup atau setelah pewaris meninggal dunia, sedangkan menurut KUH Perdata pewarisan terjadi setelah pewaris meninggal dunia (Pasal 830 KUH Perdata). Dengan demikian peristiwa matinya seseorang menurut KUH Perdata sangat menentukan saat terbukanya warisan. Yang dimaksud dengan meninggal di sini yaitu meninggal secara alamiah, karena KUH Perdata tidak mengenal adanya kematian perdata/mort civile (Pasal 3 KUH Perdata148). Asas hukum waris KUH Perdata tersebut di atas berlainan sekali dengan hukum adat Tionghoa, di mana pewarisan merupakan suatu proses yang berlangsung sejak si pewaris masih hidup sampai si pewaris meninggal dunia.149 Namun di KUH Perdata ada juga mengatur tentang pembagian harta warisan di kala masih hidup, yaitu di Pasal 1121 yang berbunyi : “Para keluarga sedarah dalam garis ke atas diperbolehkan, dalam suatu wasiat atau dalam suatu akta notaris, membuat suatu pembagian dan pemisahan harta-benda mereka di antara para turunannya atau di antara mereka ini dan suami atau isteri mereka yang hidup terlama.” Dengan kata lain KUH Perdata menganut asas bahwa pewarisan hanya berlangsung karena kematian (Pasal 830 KUH Perdata), namun tidak menutup kemungkinan atau diperbolehkan membagi warisan di kala masih hidup, seperti yang diatur di dalam Pasal 1121 KUH Perdata tersebut. Pengertian harta warisan menurut hukum adat Tionghoa yaitu semua kekayaan yang ditinggalkan oleh seorang yang meninggal dunia, baik benda itu sudah dibagi, belum terbagi atau memang tidak terbagi. Hukum adat Tionghoa walaupun
148
Pasal 3 KUH Perdata : “Tiada suatu hukumanpun mengakibatkan kematian perdata atau kehilangan segala hak kewargaan.” 149 Esti Ningrum dan Siti Ismijati Jenie, Op. Cit.
Universitas Sumatera Utara
tidak menetapkan persyaratan bahwa harta warisan harus mempunyai uang sebagaimana dalam KUH Perdata150. Mengenai ahli waris adat Tionghoa, juga dikemukakan oleh Esti Ningrum dan Siti Ismijati Jenie, yaitu : Pada prinsipnya yang dimaksud dengan ahli waris menurut hukum adat Tionghoa yaitu orang-orang yang mempunyai hak untuk memperoleh harta warisan, terutama mereka yang mempunyai hubungan darah dengan pewaris. Pada umumnya ahli waris ini adalah anak-anak dari pewaris, yaitu anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah, anak angkat dan anak yang dilahirkan dari isteri muda. Termasuk pula sebagai ahli waris adalah janda atau duda dari pewaris, walaupun janda atau duda tidak mempunyai hubungan darah dengan pewaris, tetapi mereka ahli waris dari seorang pewaris, Karena janda atau duda dianggap sebagai orang yang terdekat dengan pewaris. Dengan demikian hubungan darah merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi seorang ahli waris, kecuali janda atau duda yang hidup terlama, sebagaimana ditentukan dalam KUH Perdata, namun dalam hubungan darah tersebut KUH Perdata tidak mengenal adanya anak angkat dan anak yang dilahirkan dari isteri muda151. Selanjutnya, mengenai pembagian warisan yang terjadi sebelum pewaris meninggal dalam hukum adat Tionghoa juga dikemukakan sebagai berikut : Dalam perkembangannya, karena pengaruh kehidupan sosial ekonomi, baik pewarisan yang terjadi sebelum pewaris meninggal dunia maupun setelah pewaris meninggal dunia mengalami penambahan. Proses pewarisan yang terjadi sebelum pewaris meninggal dunia tidak hanya dilakukan dengan cara pembagian harta warisan dan pemberian barang-barang tertentu, tetapi dapat pula terjadi dengan pengalihan dan penunjukkan, sedangkan pewarisan yang terjadi setelah pewaris meninggal dunia, selain harta warisan dibagi-bagi kepada ahli waris dan terjadi dengan suatu wasiat, dapat pula terjadi dengan cara penguasaan yang dilakukan oleh salah satu ahli waris152. Masyarakat Tionghoa menganut sistem kekerabatan patrilineal yaitu menarik garis keturunan dari pihak laki-laki (ayah) dan memakai marga dari pihak ayah. Oleh 150
Ibid. Ibid. 152 Ibid. 151
Universitas Sumatera Utara
sebab itu, anak laki-laki sangat dipentingkan, karena akan meneruskan marga keluarga. Anak laki-laki tertua yang biasanya lebih diutamakan. Perbuatan U Lee Moy yang membeli tanah tetapi diatasnamakan anak lakilaki tertuanya (Hadi Soetjipto) adalah sesuai dengan kebiasaan masyarakat Tionghoa pada umumnya di mana anak laki-laki tertua memdapat posisi dan status yang lebih diutamakan dari anak-anak yang lainnya. Pewarisan semasa hidup bagi orang Tionghoa, yaitu ketika orang tua masih hidup, harta-hartanya sudah dibagi-bagikan pada anak-anaknya, biasanya dalam pembagian tersebut anak laki-laki juga mendapatkan bagian yang lebih besar daripada anak perempuan. Biasanya anak laki-laki memperoleh rumah atau tanah, sedangkan anak perempuan hanya memperoleh perhiasan saja. Di samping perbedaan-perbedaan tersebut di atas, antara hukum waris Tionghoa dengan hukum waris dari KUH Perdata terdapat pula persamaan dalam cara pewarisan, yaitu : Cara pewarisan menurut KUH Perdata maupun menurut hukum adat Tionghoa dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu menurut peraturan dan kehendak terakhir pewaris. Kehendak terakhir dari pewaris terhadap harta kekayaan pewaris diutamakan untuk dilaksanakan. Baik hukum adat Tionghoa maupun KUH Perdata di samping memberikan kebebasan terhadap ahli waris , juga memberikan pembatasan antara lain yaitu Legitime Portie (LP) atau bagian mutlak153. Yang termasuk dalam golongan legitimaris adalah : a. Ahli waris sah ab intestato dalam garis lurus ke bawah yaitu anak dan cucu serta keturunan selanjutnya ke bawah, disebut juga descendent dari si mati. 153
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Janda/duda tidak tergolong legitimaris. b. Ahli waris sah ab intestato dalam garis lurus ke atas yaitu ayah/ibu dan para leluhur seterusnya ke atas dari si mati c. Anak luar kawin yang diakui sah terhadap warisan orang tua yang mengakui154. Ahli waris yang tidak mempunyai hak mutlak atau Legitime Portie : Pertama, suami atau istri yang hidup terlama. Kedua, para saudara-saudari dari pewaris, karena mereka berada dalam garis ke samping dan bukan garis lurus ke atas155. Pasal 913 KUH Perdata berbunyi : “bagian mutlak atau legitime portie adalah suatu bagian dari harta peninggalan yang harus diberikan kepada waris dalam garis lurus menurut undang-undang, terhadap bagian mana si yang meninggal tak diperbolehkan menetapkan sesuatu, baik selaku pemberian antara yang masih hidup, maupun selaku wasiat.” Pasal 914 KUH Perdata : (1) Dalam garis lurus ke bawah, apabila si yang mewariskan hanya meninggalkan anak yang sah satu-satunya saja, maka terdirilah bagian mutlak itu atas setengah dari harta peninggalan yang mana oleh si anak itu dalam perwarisan sedianya harus diperolehnya. (2) Apabila dua orang anak yang ditinggalkannya, maka bagian mutlak itu adalah masing-masing dua pertiga dari apa yang sedianya harus diwarisi oleh mereka masing-masing dalam perwarisan.
154 155
M.U. Sembiring, Op. Cit. hal. 66. Anisitus Amanat, Op. Cit., hal. 69.
Universitas Sumatera Utara
(3) Tiga orang atau lebihpun anak yang ditinggalkannya, maka tiga perempatlah bagian mutlak itu dari apa yang sedianya masing-masing mereka harus mewarisinya dalam perwarisan. (4) Dengan sebutan anak, termasuk juga di dalamnya, sekalian keturunannya dalam derajat keberapapun juga, akan tetapi mereka terakhir ini hanya dihitung sebagai pengganti si anak yang mereka wakili dalam mewarisi warisan si yang mewariskannya. Pasal 915 KUH Perdata berbunyi : “Dalam garis lurus ke atas bagian mutlak itu adalah selamanya setengah dari apa yang menurut Undang-undang menjadi bagian tiap-tiap mereka dalam garis itu dalam perwarisan karena kematian.” Pasal 916 KUH Perdata berbunyi : “Bagian mutlak seorang anak luar kawin yang telah diakui dengan sah adalah setengah dari bagian yang menurut undangundang sedianya harus diwarisinya dalam perwarisan karena kematian.”
Universitas Sumatera Utara