BAB II PENGAKUAN ANAK DALAM HUKUM ISLAM
A. Kedudukan Anak dalam hukum Islam Anak adalah bunga hidup. Anak adalah harum-haruman rumah tangga. Obat jerih pelarai demam. Kepada anak bergantung pengharapan keluarga dikemudian hari. Dialah ujung cita-cita dalam segenap kepayahan. Misalnya terjadi perselisihan di dalam rumah antara suami dan istri, perselisihan itu dapat didamaikan apabila suami-istri
sama-sama melihat anaknya masih suci itu, yang tak boleh menjadi
korban pertikaian dan perselisihan ayah bundanya. Oleh sebab itu Nabi Muhammad SAW sangat sayang kepada anak-anak. Sampai punggungnya diperkuda-kuda oleh anak-anak sedang dia sujud waktu shalat. Sampai anak-anak dipangkunya ketika mengerjakan ibadat itu. Apabila dia hendak sujud diletakannya anak itu kesampingnya dan bila hendak tegak di pungutnya kembali. Beliau bersabda : “Rumah yang tidak ada anak-anak, tidaklah ada berkat didalamnya” (Abu Syaikh, Ibnu Hibban)25 Dalam Hadis lain Rasul bersabda : “Anak-anak adalah setengah dari harum-haruman surga” (Turmidzi) “peliharalah
anak-anakmu
dan
perbaikilah
budi
pekerti
mereka.
Sesungguhnya anak-anak itu adalah hadiah Allah kepadamu”. (Dirawikan Oleh Bukhari). 26
25
33
Hamka, Lembaga Hidup, PT. Pustaka Panjimas, Jakarta, 1983, hlm. 223.
Universitas Sumatera Utara
1. Pengertian anak dalam hukum Islam Dalam kamus bahasa Indonesia disebutkan bahwa, “Anak adalah manusia yang masih kecil” atau “Anak-anak yang masih kecil (belum dewasa)”.27 Anak dalam pengertian bahasa sangat banyak yaitu keturunan yang kedua, manusia yang masih kecil, binatang yang masih kecil, pohon kecil yang tumbuh pada umbi atau rumpun tumbuhan-tumbuhan yang besar, orang yang termasuk dalam satu golongan pekerjaan (keluarga dan sebagainya), bagian yang kecil (pada suatu benda), yang lebih kecil dari pada yang lain.28 Pengertian anak dalam Hukum Islam dan hukum keperdataan yang dihubungkan dengan keluarga. Anak dalam hubunganya dengan keluarga, seperti anak kandung, anak laki-laki dan anak perempuan, anak sah dan anak tidak sah, anak sulung dan anak bungsu, anak tiri dan anak angkat, anak piara, anak pungut, anak kemenakan, anak pisang, anak sumbang (anak haram) dan sebagainya.29 Pengelompokan pengertian anak, memiliki aspek yang sangat luas. Berbagai makna terhadap anak, dapat diterjemahkan untuk mendekati anak secara benar menurut system kepentingan agama, hukum, sosial dari bidang masing-masing
26
Ibid. Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia,Pusat Pembinaan dan Perkembangan Bahasa, Balai Pustaka, Jakarta, 1998, hlm.31. 28 Hilman Hadikusuma, Bahasa Hukum Indonesia, Alumni, Bandung, 1992, lihat Darwin Prinst, Hukum Anak Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hlm.4, lihat juga Afisah Wardah Lubis, “Memahami Perkembangan Psikologi Anak dalam Rangka Implementasi Perlindungan Anak”, Majalah Konvensi, Vol. II No. 1 Maret 1998, LAAI, Medan, hlm. 62, dan lihat juga Syakir Abdul Azhim, Membimbing Anak Trampil Berbahasa, Gema Insani, Jakarta, 2002, hlm. 2. 29 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2002, hlm. 41. 27
34
Universitas Sumatera Utara
bidang. Pengertian anak dari berbagai cabang ilmu akan berbeda-beda secara substansial fungsi, makna dan tujuan. Sebagai contoh, dalam agama Islam pengertian anak sangat berbeda dengan pengertian anak yang dikemukakan bidang disiplin ilmu hukum, sosial, ekonomi, politik dan hankam. Pengertian anak dalam Islam disosialisasikan sebagai makhluk ciptaan Allah SWT yang arif dan berkedudukan mulia yang keberadaanya melalui proses penciptaan yang berdimensi pada kewenangan kehendak Allah SWT30. Secara rasional, seorang anak terbentuk dari unsur gaib yang transcendental dari proses ratifiksi sain (ilmu pengetahuan) dengan unsur-unsur ilmiah yang diambil dari nilai-nilai material alam semesta dan nilai-nilai spiritual yang diambil dari proses keyakinan (tauhid Islam).31 Penjelasan status anak dalam agama Islam ditegaskan dalam al-Quran surat al-Isra ayat 70, yang artinya : “Dan sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam. Kami angkut mereka didarat dan dilautan, kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah kami ciptakan.” Menunjukan bahwa al-Qur’an atau akidah Islam meletakan kedudukan anak sebagai suatu makhluk yang mulia, diberikan rezeki yang baik-baik dan memiliki nilai plus semua diperoleh melalui kehendak sang Pencipta Allah SWT, untuk menyikapi nilai transcendental dimaksud, pada bagian lain al-Qur’an menegaskan 30
Iman Jauhari, Advokasi Hak-Hak Anak Ditinjau dari Hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan, Pusataka Bangsa, Medan, 2008, hlm. 46. 31 Ibid.
35
Universitas Sumatera Utara
eksistensi anak tersebut dengan firman Allah SWT, dalam al-Qur’an surat at-Tiin ayat 4 yang menentukan, “Sesungguhnya aku ciptakan kamu manusia dalam bentuk yang sebaikbaiknya, atau semulia-mulianya” Statement yang diberikan oleh Islam menjadikan bidang ilmu pengetahuan, khususnya ilmu hukum semakin objektif dalam memandang proses advokasi dan hukum perlindungan anak, baik dalam melakukan pembinaan anak, pemeliharaan anak, yang pada akhirnya akan menjadikan anak sebagai khalifah-filardi ditengahtengah masyarakat millennium ini. Berbeda kalau cara pandang dengan system ilmu pengetahuan khususnya ilmu hukum yang dibangun berdasarkan liberaslisasi dari warisan hukum kaum penjajah belanda dan berpatokan pada filsafat, sosial, budaya dan ekonomi yang dikemukakan oleh teori-teori pada umumnya, seperti teori Darwin, Herbert Spencer, Karl Marx, August Comte, dan lain-lain menjadikan proses evolusi fisik, kultur, dan perdaban tentang status anak dan hak-hak anak yang transparansional. Pengertian status anak yang diberikan masing-masing Sarjana Hukum mengandalkan teori-teori yang dilandaskan pada alam semesta (natural of law) yang menekankan prinsip-prinsip the struggle for life and survival of the fittest (perjuangan untuk hidup yang kuat akan bertahan)32
32
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, Mizan, Bandung,2000, hlm. 345. statemen ini mengandung pesan pewarisan anak sebagai generasi penerus, agama, bangsa, dan Negara harus dipersiapkan menjadi manusia yang tangguh, cerdas, dan mandiri. Statemen tersebut tidak meminimlisasikan system hukum dalam sosialisasi kehidupan tata pergaulan masyarakat di tingkat regional, maupun dunia internasional.
36
Universitas Sumatera Utara
Menurut ajaran Islam, Anak adalah amanah Allah SWT dan tidak bisa dianggap sebagai harta benda yang bisa diperlakukan sekehendak hati oleh orang tuanya. Sebagai amanah anak harus dijaga sebaik mungkin oleh orang tua yang mengasuhnya. Anak adalah manusia yang memiliki nilai kemanusiaan yang tidak bisa dihilangkan dengan alasan apapun. “Dalam kamus bahasa Arab Anak disebut juga dengan walad, satu kata yang mengandung penghormatan, sebagai makhluk Allah yang sedang menempuh perkembangan kea rah abdi Allah yang shaleh. Pendapat Ibnu Abbas salah seorang ahli tafsir dikalangan sahabat Nabi Muhammad SAW dalam penafsiran kata-kata walad pada ayat 176 surat an-Nisa’ yang mempunyai pengertian mencakup baik anak laki-laki maupun anak perempuan. Pandangan ini sangat berbeda dengan ijma para fuqaha dan ulama yang di anut selama ini, bahwa yang dimaksud dengan walad dalam ayat tersebut hanya anak lakilaki saja, tidak termasuk anak perempuan. Namun demikian, pengertian walad dalam nash bisa berarti laki-laki dan juga bisa berarti perempuan33 Kata al-Walad dipakai untuk menggambarkan adanya hubungan keturunan, sehingga kata al-walid dan al-walidah diartikan sebagai ayah dan ibu kandung. Berbeda dengan kata ibn yang tidak mesti menunjukan hubungan keturunan dan kata ab tidak berarti mesti ayah kandung.34 Dan menurut Prof.Dr. Hamka anak ialah aliran dari air dan darah sendiri.35 2. Macam-macam anak dalam hukum Islam
33
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, Maktabah al-Dakwah al-Islamiyah Shabab alAzhar, Cairo, 1990, hlm.95. 34 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: pesan, kesan dan keserasian al-Qur’an, Jilid XV, Lentera Hati, 2004, hlm. 614. 35 Prof. Dr. Hamka juzu’ XXI-XXII, Tafsir al-Azhar, pustaka panji mas Jakarta 1988, hlm. 195.
37
Universitas Sumatera Utara
Dalam hukum Islam terdapat bermacam macam kedudukan/status anak, sesuai dengan sumber asal-usul anak itu sendiri, sumber asal itulah yang akan menentukan kedudukan status seorang anak. Adapaun kedudukan/status anak dalam hukum Islam adalah anak kandung, anak angkat, anak susu, anak pungut, anak tiri, dan anak luar nikah36 masing-masing anak tersebut diatas, mendapat perhatian khusus dalam syariat Islam yang menentukan kedudukan/statusnya, baik dalam keturunan dan kewarisan, maupun perwalian. a. Anak Kandung Anak kandung dapat juga dikatakan anak yang sah, pengertianya adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah antara ibu dan bapaknya. Dalam hukum positif dinyatakan anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.37 Dalam pandangan hukum Islam, ada empat syarat supaya nasab anak itu dianggap sah, yaitu : a) Kehamilan bagi seorang isteri bukan hal yang mustahil, artinya normal dan wajar untuk hami. Imam Hanafi tidak mensyaratkan seperti ini, menurut beliau meskipun suami isteri tidak melakukan hubungan seksual, apabila anak lahir dari seorang isteri yang dikawini secara sah maka anak tersebut adalah anak sah b) Tenggang waktu kelahiran dengan pelaksanaan perkawinan sedikit-dikitnya enam bulan sejak perkawinan dilaksanakan. Tentang ini terjadi ijma’ para pakar hukum Islam (fuqha) sebagai masa terpendek dari suatu kehamilan
36
Lihat Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan lihat juga Pasal 99 huruf a Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam 37 Lihat Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan lihat Pasal 99 huruf a intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang perkawinan.
38
Universitas Sumatera Utara
c) Anak yang lahir itu terjadi dalam waktu kurang dari masa sepanjangpanjangnya kehamilan. Tentang hal ini masih diperselisihkan oleh para pakar hukum Islam. d) Suami tidak mengingkari anak tersebut melalui lembaga li’an. Jika seorang laki-laki ragu tentang batas minimal maksimal kehamilan kehamilan terlampaui maka ada alasan bagi suami untuk mengingkari anak yang dikandung oleh isterinya dengan cara li’an38 Anak yang sah mempunyai kedudukan tertentu terhadap keluarganya, orang tua berkewajiban untuk memberikan nafkah hidup, pendidikan yang
cukup,
memelihara kehidupan anak tersebut sampai ia dewasa atau sampai ia dapat berdiri sendiri mencari nafkah. Anak yang sah merupakan tumpuan harapan orang tuanya dan sekaligus menjadi penerus keturunanya.39 b. Anak angkat Anak angkat dalam hukum Islam, dapat dipahami dari maksud firman Allah dalam surat al-Ahzab ayat 4 dan 5 yang menyatakan : “Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanya perkataanmu dimulutmu saja. Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka” Pengertian anak angkat dalam hukum Islam adalah yang yang dalam pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan
38
H. Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Material dalam Praktek Peradilan Agama, Editor Iman Jauhari, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2003, 102. 39 Ibid, hlm. 103
39
Universitas Sumatera Utara
putusan pengadilan.40 Dengan adanya pengangkatan anak, maka anak angkat itu tidak mengakibatkan berubahnya hubungan hukum antara anak angkat dengan orang tua angkatnya baik dalam hubungan keturunan/darah maupun dalam hubungan muhrim. Sehingga status anak angkat terhadap harta peninggalan orang tua angkatnya ia tidak mewarisi tetapi memperolehnya melalui wasiat dari orang tua angkatnya, apabila anak angkat tidak menerima wasiat dari orang tua angkatnya, maka ia diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.41 Dalam hukum Islam, lembaga (peraturan) pengangkatan anak, anak angkat itu tidak mempunyai hubungan darah antara orang tua angkat dengan anak angkatnya. Hal ini berarti bahwa di dalam hukum Islam anak angkat tidak dijadikan dasar mewarisi, karena prinsip dasar untuk mewarisi adalah hubungan darah dan perkawinan, demikian
juga
pengangkatan
anak
tidak
mengakibatkan
halangan
untuk
melangsungkan perkawinan. c. Anak tiri Mengenai anak tiri ini dapat terjadi apabila dalam suatu perkawinan terdapat salah satu pihak baik isteri atau suami, maupun kedua belah pihak masing-masing membawa anak kedalam perkawinanya. Anak itu tetap berada pada tanggung jawab orang tuanya, apabila didalam suatu perkawinan tersebut pihak isteri membawa anak yang di bawah umur (belum dewasa) dan menurut keputusan pengadilan anak itu 40
Lihat Pasal 171 huruf h Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum
41
Lihat Pasal 209 ayat (2) Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum
Islam. Islam.
40
Universitas Sumatera Utara
masih mendapat nafkah dari pihak bapaknya samapai ia dewasa, maka keputusan itu tetap berlaku walaupun ibunya telah kawin lagi dengan peria lain. Kedudukan anak tiri ini baik dalam Hukum Islam maupun dalam Hukum Adat, Hukum Perdata Barat tidak mengatur secara rinci. Hal itu karena seorang anak tiri itu mempunyai ibu dan bapak kandung, maka dalam hal kewarisan ia tetap mendapat hak waris dari harta kekayaan peninggalan (warisan) dari ibu dan bapak kandungnya apabila ibu dan bapak kandungnya meninggal dunia.42 d. Anak piara/asuh Anak piara/asuh lain juga dari anak-anak tersebut diatas, karena mengenai piara/asuh ini ia hanya dibantu dalam hal kelangsungan hidupnya maupun kebutuhan hidupnya baik untuk keperluan sehari-hari maupun untuk biaya pendidikan.43 Dalam hal anak piara ini ada yang hidupnya mengikuti orang tua asuh, namun hubungan hukumnya tetap dan tidak ada hubungan hukum dengan orang tua asuh. Selain dari pada itu ada juga anak piara/asuh yang tetap
mengikuti orang tua
kandungnya, namun untuk biaya hidup dan biaya pendidikanya mendapatkan dari orang tua asuh. Sehingga dengan demikian dalam hal pewarisan, maka anak piara/asuh sama sekali tidak mendapat bagian, kecuali apabila orang tua asuh memberikan hartanya melalui hibah atau kemungkinan melalui surat wasiat. e. Anak luar nikah
42 43
41
Iman Jauhari, Hak-Hak Anak dalam Hukum Islam, Pustaka Bangsa, Jakarta, 2003, hlm. 87. Ibid., hlm. 9.
Universitas Sumatera Utara
Anak luar nikah adalah anak yang lahir dari hasil hubungan kelamin luar Nikah.44 Dalam Hukum Islam anak tersebut dapat dianggap anak di luar nikah adalah 1) Anak zina, adalah anak yang lahir dari hasil hubungan kelamin tanpa pernikahan, karena perbuatan yang dilakukan oleh orang yang menyebabkan kelahiran anak tersebut. 2) Anak mula’anah, adalah anak yang dilahirkan oleh seorang isteri yang mana keberadaan anak itu dibantah oleh suami sebagai anaknya dan menuduh isterinya telah berbuat zina dengan pria lain dengan cara melakukan sumpah li’an terhadap isterinya. 3) Anak shubhat, adalah anak yang dilahirkan dari seorang wanita yang digauli dengan cara syubhat, yang dimaksud dengan syubhat dalam hal ini, menurut jawad mughaniyah yaitu seorang laki-laki menggauli seorang wanita yang haram atasnya karena tidak tahu dengan keharaman itu.45 Mengenai status anak luar nikah, baik didalam hukum nasional maupun hukum Islam bahwa anak itu hanya dibangsakan pada ibunya, bahwa anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan dengan ibunya dan keluarga ibunya.46 Maka hal ini berakibat pula pada hilangnya kewajiban tanggung jawab ayah kepada anak dan hilangnya hak anak kepada ayah Didalam hukum Islam dewasa dilihat sejak ada tanda-tanda perubahan badaniah baik bagi laki-laki maupun perempuan. Apabila tanda-tanda ini tidak kelihatan maka seorang anak dianggap telah dewasa apabila telah mencapai usia 15 tahun. Dari Ibnu Umar menyebutkan yang artinya :
44
Iman Jauhari, Advokasi Hak-Hak Anak ditinjau dari Hukum Islam dan Peraturan Perundang-Undangang, Op. cit., hlm. 202. 45 Huzaemah Tahido, Kedudukan Anak diluar Nikah menurut Hukum Islam, Makalah, KOWANI, Jakarta, hlm. 2. seperti dikutip oleh Enty Lafina Nasution, Tesis Perlindungan Hukum berdasarkan Akta Kelahiran terhadap Anak yang tidak diketahui Asal-Usulnya dan Peraturan Perundang-undangan (Study Kasus di Kota Binjai), Program Pasca Sarjana Universitas Pembangunan Pancabudi, Medan 2009. 46 Lihat Pasal 43 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 100 Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
42
Universitas Sumatera Utara
“Rasulullah SAW memeriksaku ketika hendak berangkat perang Uhud. Ketika itu aku baru berusia 14 tahun. Beliau tidak membolehkanku pergi berperang. Ketika hendak berangkat ke medan perang khandak beliau memeriksaku pula. Ketika itu aku telah berusia 15 tahun, dan Beliau membolehkanku ikut perang. Kata Nafi’ maka ku datangi Umar Bin Abdul Aziz, ketika itu ia telah menjadi Khalifah. Lalu kusampaikan kepadanya hadist tersebut. Katanya sesungguhnya itu adalah batas antara usia kecil dan dewasa. Lalu dia tulis surat kepada seluruh pegawainya supaya mereka mewajibkan pelaksanaan tugas-tugas agama (mukallaf) bagi setiap anak yang telah mencapai usia 15 tahun. Anak yang kurang dari usia tersebut menjadi tanggungan orang tuanya”.47 Dalam hukum Islam, melakukan hubungan seksual antara peria dan wanita tanpa ikatan perkawinan yang sah disebut zina. Hubungan seksual tersebut tidak dibedakan apakah pelakunya gadis, bersuami atau janda, jejaka, beristeri atau duda sebagaimana yang berlaku pada hukum perdata. Ada dua macam istilah yang dipergunakan bagi zina yaitu
1) Zina muhson yaitu zina yang dilakukan oleh orang yang telah atau pernah menikah 2) Zina ghairu muhson adalah zina yang dilakukan oleh orang belum pernah menikah, mereka bersetatus perjaka/perawan. Hukum Islam tidak menganggap bahwa zina ghairu muhson yang dilakukan oleh bujang/perawan itu sebagai perbuatan biasa, melainkan tetap dianggap sebagai perbuatan zina yang harus dikenakan hukuman. Hanya saja hukuman itu kuantitasnya berbeda, bagi penzina muhson dirajam sampai mati sedangkan yang ghairu muhson dicambuk 100 kali. Anak yang dilahirkan sebagai akibat zina ghairu muhson disebut anak luar perkawinan.48 Dalam kitab al-Ahwal Syakhsiyyah karangan Muhyidin sebagaimana yang dikutip oleh Muhammad Jawad Mughniyah diketemukan bahwa nasab tidak dapat
47
Imam Muslim, Shahih Muslim, terjemah Ma’mur daud, Hadits Nomor 1829, Jilid IV, Wijaya, Jakarta, 1993, hlm 33. Lihat juga Imam Bukhari, Shahih Bhukari, Hadist Nomor 1241, Terjemahan Zainuddin Hammidi Bukhari, et al, Jilid III, Wijaya, Jakarta, 1981, hlm. 73. 48 Fuad Mohd. Fachruddin, Masalah Anak dalam Hukum Islam, Pedoman Ilmu Jaya, Jakarta, 1991, hlm. 35. Lihat Fathurrahman Djamil, Pengakuan Anak Luar Kawin dan Akibat Hukumnya, PT. Pustaka Firdaus, Jakarta, 1994, hlm. 75.
43
Universitas Sumatera Utara
ditetapkan dengan syubhat macam apapun, kecuali orang yang melakukan syubhat itu mengakuinya, karena ia sebenarnnya lebih mengetahui tentang dirinya. Tentang hal yang terakhir ini disepakati oleh para ahli hukum di kalangan sunny dan syaiah.49 Hukum Islam membedakan Syubhat kepada dua bentuk yaitu : 1) Anak syubhat dalam akad, adalah manakala seorang laki-laki melaksanakan akad nikah dengan seorang wanita seperti halnya dengan akad nikah sah lainya, tapi kemudian ternyata bahwa akadnya tersebut fasid karena satu dan lain alasan. 2) Syubhat dalam tindakan (perbuatan), yakni manakala seorang laki-laki mencampuri seorang wanita tanpa adanya akad antara mereka berdua baik sah maupun fasid. Semata-mata karena tidak sadar ketika melakukanya, atau dia menyakini bahwa wanita tersebut adalah halal untuk dicampuri, tapi kemudian ternyata bahwa wanita itu adalah wanita yang haram dicampuri. Termasuk dalam kategori ini adalah hubungan seksual yang dilakukan orang gila, orang mabuk dan orang mengigau, serta orang yang yakin bahwa orang yang dia campuri itu adalah isterinya, tapi kemudian ternyata bahwa wanita itu bukan isterinya.50 3. Hak-hak anak dalam hukum Islam Kedudukan anak dalam pengertian Islam, yaitu anak adalah titipan Allah kepada orang tua, masyarakat, bangsa dan Negara pewaris dari ajaran Islam (Wahyu Allah SWT) yang kelak akan memakmurkan dunia sebagai rahmatan lilalamin.51 Pemberian ini memberikan hak atau melahirkan hak anak yang harus diakui diyakini, dan diamankan sebagai implementasi amalan yang diterima oleh anak dari orang tua, masyarakat, bangsa dan Negara. Ketentuan tersebut ditegaskan dalam Surat al-Isra’ (17) yang artinya
49
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh lima mazhab, Lentera, Jakarta, 2007, hlm. 388. Ibid. hlm. 389 51 Iman Jauhari, Advokasi Hak-Hak Anak ditinjau dari Hukum Islam dan Peraturan Perundang-Undangang, Op. cit., hlm. 50. 50
44
Universitas Sumatera Utara
“dan janganlah kamu membunuh anak-anak karena takut kemiskinan. Kamilah yang member rezki kepada mereka dan juga kepada kamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar” Ukuran manusia menurut Islam adalah Iman dan akhlak, siapa yang telah memperoleh keduanya, maka tidak berbahaya baginya sekalipun ia memiliki dunia dan tidak pula turun kemuliaanya karena ia hidup sederhana.52 Hak mempunyai dua makna yang asasi, yaitu : Pertama, “sekumpulan kaidah dan masih yang mengatur dasar-dasar yang harus ditaati dalam hubungan manusia sesame manusia, baik mengenai orang, maupun mengenai harta”. Dalam pengertian yang pertama kali, hak sama dengan makna hukum dalam istilah sarjana ushul. Inilah yang dikehendaki di waktu mengatakan al-Haqqul madaniyah. Kedua, “kekuasaan menguasai sesuatu atau sesuatu wajib atas seseorang bagi selainya”.53 Hak menurut Pengertian umum yaitu suatu ketentuan yang denganya syara’ menetapkan suatau kekuasaan atau suatu beban hukum54 Demikian ini adalah sebagai hak wali bertasharruf atas tiap-tiap anak yang dibawah perwalianya. Hak-hak anak yang mutlak
dalam dimensi akidah dan
pandangan kehidupan agama Islam, terdiri dari : 1) Hak untuk melindungi anak ketika masih berada dalam kandungan atau rahim ibunya terdapat dalam al-Qur’an Surat al-Baqarah ayat 233 2) Hak untuk disusui selama dua tahun terdapat dalam al-Qur’an Surat Luqman ayat 14 3) Hak untuk diberi pendidikan, ajaran, pembinaan, tuntutan dan akhlak yang benar terdapat dalam al-Qur’an Surat al-Mujadilah ayat 11 52
Abdullah Syah, Harta Menurut Pandangan al-Qur’an, Press Medan, Medan, 1992, hlm.
18. 53
Tengku Muhammad Hasbi ash Shiddieqy, Pengantar Fiqh Mu’amalah, PT. Pustaka Rizki Putra, Semarang, 1997, hlm. 121. 54 Iman Jauhari. Advokasi Hak-Hak Anak ditinjau dari Hukum Islam dan Peraturan Perundang-Undangang, Op. cit., hlm. 51.
45
Universitas Sumatera Utara
4) Hak untuk mewarisi harta kekayaan milik kedua orang tuanya terdapat dalam al-Qur’an Surat an-Nisa’ ayat 2, 6 dan 10. 5) Hak untuk mendapatkan nafkah dari orang tuanya terdapat dalam surat alQashah ayat 12 6) Hak untuk mempertahankan agama dan aqidahnya, bila dipaksa untuk murtad oleh pelaksana hadhanah terdapat dalam surat Luqman ayat 5155 Hak asasi anak dalam pandangan Islam dikelompokan secara umum ke dalam bentuk hak asasi anak yang meliputi subsistem berikut ini : a) b) c) d) e) f)
Hak anak sebelum dan sesudah dilahirkan Hak dalam kesucian keturunan Hak anak dalam menerima pemberian nama yang baik Hak anak dalam menerima susuan Hak anak dalam mendapat asuhan, perawatan pemeliharaan Hak dalam memiliki harta benda atau hak warisan demi kelangsungan hidup anak yang bersangkutan g) Hak anak dalam bidang pendidikan dan pengajaran56 Hak anak dalam pandangan Islam ini memiliki aspek yang universal terhadap kepentingan anak, yaitu : Meletakan hak anak dalam pandangan Islam, memberikan gambaran bahwa tujuan dasar kehidupan umat Islam adalah membangun umuat manusia yang memegang teguh ajaran Islam dengan demikian, hak anak dalam pandangan Islam meliputi aspek hukum dalam lingkungan hidup seseorang untuk Islam. Cara pandang yang dimaksud tidak saja memposisikan umat Islam yang harus tunduk pada hukumhukum Islam seperti hukum pidana Islam, hukum perdata Islam, Hukum perkawinan Islam, hukum tata negara Islam dan hukum waris sebagai formalitas-formalitas wajib yang harus ditaati oleh umat Islam dan apabila dilanggar maka perbuatan tersebut 55
Iman Jauhari, Perlindungan Hukum terhadap Anak dalam Keluarga Poligami, Pustaka Bansa Press, Jakarta, 2003, hlm. 87 56 Iman Jauhari, Hak-Hak Anak Dalam Hukum Islam, Op., cit., hlm. 21.
46
Universitas Sumatera Utara
akan mendapat laknat dan siksaan dari Allah SWT baik diatas dunia maupun di akhirat kelak. Pada tindakan lain seorang umat Islam harus taat dalam menegakan hak azasi anak dengan berperang pada hukum nasional yang positif. Islam meletakan perbedaan yang mencolok dalam penegakan hak asasi anak dari pengertian hukum lainya. Islam juga meletakan hak asasi anak yang dapat diletakan atas dasar hukum perdata, hukum pidana, dan hukum tata negera yang berlaku dalam ruang lingkup wilayah Indonesia.57 Dimensi Islam dalam meletakan hak asasi anak manusia sangat luas dan mulai dari ajaran kehidupan sosial. Masayarakat Indonesia adalah kumpulan dari sekelompok manusia yang marginal, dan setiap manusia tanpa kecuali senantiasa mengalami masa yang disebut kanak-kanak. Sehingga hak asasi anak dipandang sebagai benih dari suatu masyarakat. Dalam pandangan ini Abdur Rozak Hussein menyatakan sebagai berikut : “jika benih anak dalam masyarakat itu baik maka sudah pasti masyarakat terbentuk menjadi masyarakat yang baik pula, lebih lanjut dikatakan: Islam menyatakan bahwa anak-anak merupakan benih yang akan tumbuh untuk membentuk masyarakat di masa yang akan datang.58
57
Maulana Hasan Wadong, Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, Grasindo, Jakarta, 2000, hlm. 33. 58 Abdul Rozak Husein, Hak-Hak Anak Dalam Islam, Fikahati, Aneska, Jakarta, 1992, hlm. 19.
47
Universitas Sumatera Utara
B. Pengaturan nasab dalam hukum Islam Pengertian nasab secara bahasa diartikan dengan kerabat, keturunan atau menetapkan keturunan.59 Menurut Wahbah az Zuhayly dalam kitabnya al-Fiqhul Islamiyyu wa Adillatuh, nasab adalah salah satu dari hak anak yang lima, yakni: nasab, ridha‟ (susuan), hadhanah
(pemeliharaan), walayah (perwalian/
perlindungan) dan nafkah.60 1. Ketentuan dalam al-Qur’an Al-Qur’an surat al-Ahzab ayat 4 yakni tentang hukum zhihar dan kedudukan anak angkat, Allah SWT berfirman 4. “Tidaklah Allah menjadikan isteri yang kamu dhihar itu menjadi seperti ibumu, dan tidak Allah menjadikan anak angkat itu menjadi seperti anak kandungmu sendiri. Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukan jalan (yang benar)” Pada ayat 5 surat al-Ahzab ini dijelaskan : “Panggillah anak-anak angkat itu dengan nama ayah-ayah mereka, yang demi kian itu lebih adil disisi Allah. Apabila kamu tidak mengetahui ayahayah mereka, maka anak angkat itu adalah saudaramu dalam agama, dan maulamu (orang dekatmu). Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”
2. Ketentuan dalam al-Hadist 59
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Yayasan Penyelenggara, Jakarta, 1973, hlm. 449. http://www.google.com/search?ie=UTF-8&oe=UTF8&sourceid=navclient&gfns=1&q=mengupas+permasalahan+istilhaq+dalam+hukum+islam diakses 2 June 2010 60
48
Universitas Sumatera Utara
Sebagaimana dikutip oleh Mukhsin Asyrof61 dari sabda Nabi Muhammad SAW “tentang nasab seorang anak yakni anak yang lahir dinasabkan pada suami, sedangkan untuk pelaku zina adalah batu” Masalah nasab ini juga yang dikutip oleh Mukhsin Asrof dari Hadist Nabi Muhammad SAW diriwayatkan, bahwasanya dia bersabda : “barang siapa dipanggil kepada selain nama ayahnya sedangkan dia mengetahui, maka sorga haram baginya” 3. Menurut Fiqih Islam Dalam hukum islam, asal usul seorang anak (nasab) dapat diketahui dari salah satu diantara tiga sebab, yaitu : a b c
Dengan cara al-firasy, yaitu berdasarkan kelahiran karena adanya perkawinan yang sah; Dengan cara iqrar, yaitu pengakuan yang dilakukan oleh seseorang terhadap seorang anak dengan menyatakan bahwa anak tersebut adalah anaknnya; Dengan cara bayyinah, yakni dengan cara pembuktian bahwa berdasarkan bukti-bukti yang sah seorang betul anak sipulan. Dalam hal yang terakhir ini termasuk juga anak yang lahir dari wathi’ syubhat dan anak yang lahir dari nikah fasid. Dengan hal ini dapat diketahui bahwa dalam hukum Islam anak dibagi kepada dua bagian, yaitu anak yang diketahui hubungan darah dengan bapaknya. Anak yang tidak diketahui hubungan darah denga bapaknya dengan sendiri mempunyai hubungan keperdataan dengan ibunya yang melahirkannya dan bisa mempunyai hubungan keperdataan dengan bapaknya, jika bapaknya itu mengakuinya.62 Terjadi perbedaan yang prinsip tentang motivasi pengakuan anak menurut
hukum Islam. Dalam hukum perdata barat pengakuan anak dapat dilakukann oleh 61
H. A Mukhsin Asyrof, Mengupas Permasalahan Istilhaq dalam Hukum islam, Makalah Pada Rakernas Akbar Mahkamah Agung Ri, Agustus 2008, Pekan baru. Hlm. 7 62 Iman Jauhari, advokasi hak-hak anak, Op. Cit., Hlm. 182. lihat juga Fatchur rahman, Op. Cit., hlm. 72
49
Universitas Sumatera Utara
seseorang yang merupakan kebutuhan hukum bagi pasangan yang hidup bersama tanpa nikah. Sedangkan motivasi pengakuan anak menurut hukum islam adalah63 : a b c
Demi kemaslahatan anak yang diakui; Rasa tanggung jawab dan taklief ijtimai; Menyembunyikan aib karena anak tersebut terlahir di luar kawin orang tuanya; Antisipasi terhadap datangnya mudharat yang lebih besar di masa yang akan datang apabila anak tersebut tidak diakuinya. Hukum islam hanya memberikan akibat hukum kepada anak dengan orang tua berdasarkan pernikahan, tetapi untuk menutupi aibnya syariat islam menganjurkan agar orang mengakui anak yang jelas ayahnya.
d
Syarat penetapan/penghubungan nasab dan keturunan adalah : a
Kandungan tersebut masih dalam status perkawinan yang sah diantara suami dan isteri Masa kandungan tidak kurang dari enam bulan dan tidak lebih dari empat tahun menurut jumhur ulama dan dua tahun menurut Abu Hanifah atau lima tahun menurut Imam Malik Terjadi Senggama yang hakiki di antara suami isteri, kecuali pendapat Abu Hanifah : Aqad yang sah saja sudah cukup untuk menghubungkan nasab/keturunan Nasab/keturunan dapat dihubungkan kepada suami, apabila ia tidak menafikan/menolak nasab anak tersebut64
b
c
d
Menurut hamdan Abbas bahwa seseorang yang sengaja memasukan sepermanya kepada wanita yang bukan isterinya, anak yang terjadi dari seperma tersebut tidak dapat dinasabkan kepada yang empunya seperma itu. Akan tetapi lakilaki dan wanita tersebut harus di hukum ta’zir, karena perbuatan itu termasuk pelanggaran/jinayat.65 63
Abdullah Ali Husein, Muqaranah Tasyri’iyah Minal Qawarninul Wadh’iyyah...” seperti dikutip Iman Jauhari Advokasi Hak-Hak Anak ditinjau dari Hukum Islam dan Peraturan Perundang Undangan, Op. Cit., 2008, hlm. 182.. 64 H. Hamdan Abbas, “Peminjaman Rahim untuk Kandungan Bayi Ditinjau Dari Segi Islam” , dam Meminjamkan Rahim Untuk Kandungan Bayi, Universitas Washliyah, Medan 1987, hlm. 81. 65 Hak-Hak Anak dalam Hukum Islam, Op. Cit., hlm. 17
50
Universitas Sumatera Utara
Menurut Iman Jauhari sebab-sebab yang menimbulkan nasab adalah : a. Perkawinan yang sah. b. Istilhaq iqrar yaitu : seorang ayah atau saudara mengaku bahwa si A adalah anaknya atau saudaranya dan dibenarkan si A apabila ia sudah dewasa, atau diakui oleh waris bahwa si A itu waris mereka. Maka hubungan nasab yang demikian itu disahkan oleh syari’at Islam c. Al-bayyinah yaitu dua orang waris menjadi saksi bahwa si A anak dari ayah mereka atau dilahirkan oleh isteri ayah mereka, walaupun dibantah oleh waris yang lain demikianlah salah satu sebab senasab dalam Islam d. Al-qaifah seorang ahli firasat, yaitu seorang ahli firasat yang mengetahui nasab/keturunan dengan firasatnya, ia melihat kepada si anak dan ayahnya atau saudaranya, lalu ia benarkan anak dengan ayahnya atau saudara dengan saudaranya sedarah.66
Sebab-sebab ketetapan nasab anak disebelah ibunya ialah kelahiran, sama sah atau tidak. Adapun sebab-sebab ketetapan nasab disebelah bapak ialah67 1). Perkawinan yang sah Jumhur fuqaha bersepakat mengatakan bahwa anak yang dilahirkan oleh perempuan yang mempunyai suami secara sah disambungkan nasab kepada suaminya berpandukan kepada hadist yang lepas artinya, “anak yang lahir sah berhak ditetapkan nasab keturunanya”68 Perkawinan yang syah mempunyai beberapa syarat : a. Suami sekurang-kurangnya berumur sepuluh tahun, maka apabila suami umurnya kurang dari sepuluh tahun tiba-tiba isterinya melahirkan, maka anak tersebut bukan anak suaminya. b. Anak tersebut lahir sekurang-kurangnya enam bulan setelah aqad nikah, sebab sekurang-kurang mengandung adalah enam bulan. Lain halnya dengan keguguran, maka dua atau tiga bulan setelah aqad nikah, tetap dibangsakan
66
Iman Jauhari, Kapita Selekta Hukum Islam, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2007, hlm. 3-4 Iman Jauhari, Hak-Hak Anak dalam Hukum Islam, Loc. Cit. 68 Ibid. 67
51
Universitas Sumatera Utara
kepada suami juga, maka tajhiznya adalah tanggungan suami, jadi masa enam bulan tersebut diatas adalah bagi anak yang sempurna saja c. Apabila isteri yang masih dalam masa iddah melahirkan sedalam jangka waktu empat tahun, maka anak tersebut masih dibangsakan kepada bekas suami, sebab selama-lama waktu mengandung adalah empat tahun, kecuali apabila suami meli’an isterinya yaitu menuduh isteri berzina serta menghadirkan saksi empat orang atau syahadat empat kali, yang kelima la’nat Tuhan baginya jikalau ia berdusta, maka anak tersebut tidak anaknya lagi. Tetapi apabila lebih dari empat tahun dari masa perceraian ia melahirkan, maka anak tersebut bukan anak dari bekas suaminya.69 Maksud firasy adalah perempuan yang dijadikan hamparan laki-laki dan bersedap-sedap denganya. Hukum yang demikian itu adalah dengan beberapa syarat a) Suami dari orang yang boleh menyebabkan isteri hamil, pada kebiasaanya adalah seorang yang baliqh pada pandangan ulama “Maliki dan Syafi’I”. pada pendapat ulama Hanafi seseorang itu dikira muda remaja (murahiq) ketika berusia 12 tahun, menurut ulama Hanbali ialah mereka yang menjangkau umur 10 tahun. Karena itu tidak ada ketetapan nasab dari anak-anak kecil yang belum baliqh sekalipun seorang anak itu dilahirkan oleh ibunya lebih dari enam bulan dari tarikh aqad perkawinan. Tidak ada ketetapan nasab dari orang yang terpotong zakar dan dua buah zakarnya pada pendapat ulama Maliki. Bagi orang yang terpotong dua buah zakarnya, atau sebiji yang kiri sahaja, maka kedudukannya dijurukan kepada para doktor yang pakar. Jika mereka berpendapat bahwa ia boleh menyebabkan kehamilan, maka boleh ketentuan nasab daripadanya, sebaliknya jika doktor berpendapat bahwa ia tidak boleh menyebabkan perempuan hamil, maka tidak ada ketetapan nasab daripadanya. Manakala ulama Syafi’I dan Hanbali berpendapat boleh ditetapkan nasab dari orang yang terpotong zakar saja tetapi masih ada dua buah zakarnya, dan orang yang mempunyai zakar saaja walaupun dua buah zakarnya tiada. Tidak ada penetapan nasab kepada orang yang terpotong zakar dan tidak ada keduadua zakarnya. b) Anak itu dilahirkan setelah enam bulan dari masa aqad perkawinan pada pendapat ulama Hanafi, sementara pendapat jumhur ialah setelah enam bulan dikira masa ia dibolehkan melakukan persetubuhan. Jika anak itu dilahirkan kurang dari waktu minimum masa mengandung, yaitu enam bulan, maka ulama berpendapat tidak ada ketetapan nasab dari si suami, dan ia merupakan bukti bahwa kehamilan itu berlaku sebelum aqad perkawinan, kecuali sekiranya suami mendakwa anak itu adalah anaknya, karena dakwaanya itu 69
52
Ibid
Universitas Sumatera Utara
diandaikan bahwa perempuan adalah hamil denganya sebelum aqad perkawinan sama dengan berasaskan aqad yang fasid, ataupun berlaku persetubuhan syubhat. Dakwaan si suami itu didasarkan dengan berasaskan demi menjaga kemashlahatan anak dan menutup keaiban marwah seseorang. c) Membolehkan pertemuan antara suami isteri setelah belaku aqad perkawinan. Syarat ini disepakati oleh para fuqaha. Cuma mereka memperhatikan tentang maksud yang dikehendaki denganya, adakah ia bermaksud membolehkan pertemuan pada gambaran pemikiran ataupun bertemu pada realita dan kebiasaan.70
Ulama
Hanafi
berpendapat
bahwa
yang
menjadi
syaratnya
ialah
membolehkannya bertemu pada gambaran pemikiran. Bila ada kemungkinan suami isteri itu berjumpa pada pandangan akal, maka ketetapan nasab anak dari si suami kiranya si isteri melahirkan anak setelah enam bulan dari mulai aqad perkawinan, sekalipun tidak ada ketetapan nasab anak dari si suami kiranya si isteri melahirkan anak setelah enam bulan dari mulai aqad perkawinan, sekalipun tidak ada ketetapan pertemuan mereka pada zahirnya. Jika seorang lelaki dari barat berkawin dengan seroang perempuan yang berada di timur dan mereka berdua tidak berjumpa pada zahir dalam waktu setahun, dan si isteri melahirkan anak setelah enam bulan dari mulai perkawinan, anak itu ketetapan nasabnya dari suami karena kemungkinan yang dipandang dari segi keramat. Keramat wali-wali adalah suatu yang benar. Kadangkala zahir keramat dapat memendekan jarak yang jauh dalam waktu yang sedikit, dan mungkin suami terdidiri dari golongan orang yang dapat melipat bumi. Pendapat
70
53
Ibid., hlm. 18-19.
Universitas Sumatera Utara
yang shahih disisi ulama Hanafi ialah ketetapan nasab dikira dari mulai aqad perkawinan71 Sekalipun tidak wujud kemungkinan bersetubuh. Ini sebagai langkah berjagajaga bagi hak anak supaya tidak hilang nasabnya, menjaga marwah dan mengelak dari wujud masalah anak-anak buangan. Justeru itu, maka disambungkan pertalian nasab anak dengan orang yang ada hubungan suami isteri yang sah. Jika si suami yakin bahwa anak itu buka dari padanya, maka bolehklah ia menafikanya secara li’an. Logika ini tidak dapat diterima oleh para Imam yang tiga (Malik, Syafi’I, dan Ahmad). Mereka berpendapat bahwa syarat di atas bermaksud membolehkan bertemu secara realita pada kebiasaanya dan membolehkan berlaku persetubuhan. Sebabnya kemungkinan mereka bertemu dengan berpandukan akal fikiran saja jarang berlaku. Ia tidak sah diambil kiran perananya dalam aqad yang zahir dalam hukum ditegakan di atas perkara yang selalu berlaku dan yang zahir, bukan mengenai perkara-perkara yang jarang berlaku atau tersembunyi yang luar dari kebiasaan. Oleh sebab itu, jika dipercaya dan diyakini bahwa pada realita tidak ada pertemuan antara suami isteri, maka tidak ada ketetapan nasab anak dari suami. Umpamanya, jika salah seorang dari mereka ditahan di dalam penjara, atau berada di Negara yang jauh dan memakan masa yang lama sehingga melebihi waktu maksimum masa hamil. Karena itu pendapat ini diamalkan dalam undang-undang dan inilah pendapat yang shahih karena ia bersesuaian dengan kaidah-kaidah syariah dan akal.72
71 72
54
Wahhab al-Zuhaili, seperti dikutip oleh Iman Jauhari, Ibid. Ibid. hlm. 20
Universitas Sumatera Utara
Inti sari perselisihan, Ulama Hanafi berpendapat bahwa pertalian nasab anak tidak akan ternafikan melainkan dengan li’an, manakala menurut jumhur, nasab anak ternafi walaupun tanpa lian, karena pada adat kebiasaanya tidak mungkin berlaku pertemuan antara suami isteri73. Waktu ketetapan nasab setelah perceraian dari suami yang sah. Perceraian berlaku sama ada sebelum bersetubuh ataupun setelah bersetubuh : a. Jika suami menceraikan isterinya sebelum bersetubuh dan sebelum berkhalwat, kemudian isteri melahirkan anak setelah bercerai. Maka ia membawa anak itu sebelum lewat waktu enam bulan dari mulai perceraian, berketetapan nasab anak itu dari suami, karena diyakini bahwa isteri telah hamil sebelum berlaku perceraian b. Jika suami menceraikan isterinya setelah bersetubuh atau setelah berkhalwat, sama ada talaq raj’i, talak ba’in, atau suami mati. Maka jika isteri membawa anak setelah talahq atau setelah suami mati, maka ketetapan nasab anak dari suami jika anak itu dillahirkan sebelum berlaku kehamilan yang lama bermula pada hari talaq atau kematian. Kehamilan yang lama seperti yang kami telah terangkan ialah empat tahun pada pendapat ulama Syafi’I dan Hanbali, dua tahun pada pendapat ulama Hanafi dan lima tahun pada pendapat yang masyhur disisi Maliki.74
Sekiranya isteri melahirkan anak setelah lewat waktu yang lama semasa hamil dari hari perceraian atau kematian, maka tidak ada ketetapan nasab anak dari suami yang menceraikanya atau suami yang mati. Ini adalah pendapat jumhur.75 Ulama Hanafi memperincikan tentang talaq raji dan talak ba’in, mereka berpendapat, sekiranya berlaku talaq raj’I dan isteri tidak membuat pengakuan bahwa ‘iddah telah habis, maka ketetapan nasab anak kepada suami, sama dengan isteri
73
Ibid. Ibid 75 Ibid. 74
55
Universitas Sumatera Utara
membawa anak sebelum lewat dua tahun dari perceraian atau setelah lewat dua tahun atau lebih, karena talaq raj’I tidak mengharamkan suami ke atas isterinya. Oleh karena itu suami dibolehkan bersedap-sedap bersama isterinya, dan perbuatan ini dikiran sebagai merujuk semula.76 Jika isteri membuat pengakuan
bahwa iddahnya telah habis dan ada
kemungkinan waktunya telah tamat yaitu telah lewat masa 60 hari pada pendapat Abu Hanifah, dan 39 hari pada pendapat dua sahabat, maka tidak ada ketetapan nasab anak dari suami, kecuali apabila jarak masa di anatara pengakuan dan kelahiran kurang dari enam bulan, karena diantara pengakuan atau salah pengakuanya. Jika masa tersebut enam bulan atau lebih, tidak ada ketetapan juga nasab anak dari suami kecuali jika suami sendiri mendakwa anak itu adalah anaknya. 77 Jika perceraian itu dengan talak ba’in atau kematian suami, dan isteri tidak membuat pengakuan habis iddahnya, maka tidak ada ketetapan nasab anak dari suami, kecuali apabila isteri membawa anak sebelum berlaku masa dua tahun dari perceraian atau kematian, karena maksimum waktu hamil disisi mereka ialah dua tahun. Oleh karena itu, jika ia melahirkan anak dalam jangka waktu ini dan ada kemungkinan ia hamil dari suami nya sebelum talaq atau sebelum kematian suami, maka ketetapan nasab anak dari suami yan menceraikanya atau yang mati. Jika ia
76 77
56
Ibid. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
melahirkan anak setelah masa itu, maka tiada kemungkinan ia hamil sebelum talaq atau sebelum kematian suami 78 Jika ia mendakwa ‘iddahnya telah tamat, dan ada kemungkinan demikian, maka tidak ada ketetapan nasab anak dari suami, kecuali apabila ia bersalin sebelum membuat pengakuan dengan syarat waktu di antara talaq dan kelahiran kurang dari dua tahun79 2). Perkawinan fasid Perkawinan yang fasid dalam menentukan nasab adalah sama seperti perkawinan yang shahih, karena langkah berhati-hati dan cermat dalam menentukan nasab demi untuk mencerahkan hidup anak dan menjaganya. Syarat bagi menentukan nasab dengan sebab perkawinan fasid ada tiga, yaitu : a. Suami teridiri dari orang yang boleh menghamilikan, yaitu baliqh disisi ulama Maliki dan Syafi’I, baliqh atau remaja disisi ulama Hanafi atau Hanbali b. Berlaku persetubuhan dengan perempuan ataupun khalwat pada pendapat ulama Maliki. Jika tidak ada persetubuhan atau khalwat setelah perkawinan fasid, maka tidak ada ketetapan nasab anak karena khalwat pada perkawinan fasid adalah sama seperti khalwat pada perkawinan shahih, Karena berpeluang melakukan persetubuhan. Ulama Hanafi mensyaratkan berlaku persetubuhan saja. Khalwat tidak memadai untuk menentukan nasab dengan sebab perkawinan yang fasid karena tidak dihalalkan persetubuhan antara lelaki dan perempuan c. Perempuan melahirkan anak setelah enam bulan atau lebih dari persetubuhan, atau khalwat disis ulama Maliki, dan dari persetubuhan di sisi ulama Hanafi. Jika perempuan melahirkan anak sebelum lewat masa enam bulan dari persetubuhan dan khalwat di sisi dua golongan pertama, maka tidak ada ketetapan nasab dari lelaki itu karena ia menunjukan bahwa dia telah hamil sebelum bersetubuh, dan ia adalah anak dari lelaki lain. Sebaliknya dia
78 79
57
Ibid. hlm. 23. Ibid
Universitas Sumatera Utara
melahirkan anak setelah enam bulan atau lebih dari bersetubuh berkhalwat, maka ketetapan nasab anak dari suami melalui perkawinan fasid.80 Tidak ternafi nasab dari lelaki itu kecuali dengan li’an pada pendapat Maliki, Syafi’I dan Hanbali. Namun pada pendapat ulama Hanafi tidak ternafi nasab anak itu walaupun dengan li’an, karena tidak sah li’an disisi Hanafi melainkan setelah perkawinan yang sah, sendangkan perkawinan dalam masalah ini adalah fasid. Waktu ketetapan nasab setelah berpisah dari perkawinan yang fasid. Apabila berlaku perpisahan setelah perkawinan fasid dengan sebab isteri ditinggalkan atau dipisahkan oleh qadi setelah bersetubuh atau khalwat, kemudian ia melahirkan anak sebelum berlalu masa maksimum hamil dari ia dipisahkan, maka ketetapan nasab pada pendapat ulama Maliki. Sebaliknya jika melahirkan anak setelah berlalu masa maksimum waktu hamil, tidak ada ketetapan dari suaminya. Waktu hamil maksimum sebagaimana yang telah dijelaskan ialah empat tahun pada pendapat ulama Syafi’I dan Hanbali, lima tahun pada pendapat Hanafi, dan satu tahun syhamsiah disisi undang-undang dan para doktor 81 3). Persetubuhan syubhat Persetubuhan syubhat ialah hubungan jenis buka zina dan tidak berasaskan di atas aqad perkawinan yang sah atau perkawinan yang fasid. Umpamanya, perempuan bersama suaminya pada malam pertama tanpa mengenalinya terlebih dahulu, Cuma orang berkata bahwa itulah isterinya, lalu ia menyetubuhinya. Contoh lain seperti lelaki bersetubuh dengan perempuan yang sedang terbaring di tempat tidurnya dan 80 81
58
Ibid. hlm. 23 Ibid
Universitas Sumatera Utara
disangka itu isterinya, lalu ia menyetubuhi perempuan tersebut. Contoh lain ialah persetubuhan semasa dalam iddah ketika suami menceraikanya dengan talaq tiga, dan ia berkeyakinan bahwa perempuan tersebut masih halal baginya.82 Jika perempuan itu melahirkan anak setelah lewat masa enam bulan atau lebih dari masa persetubuhan, ketetapan nasab dari orang yang menyetubuhinya karena yakin kehamilan itu dari padanya. Jika ia melahirkan anak sebelum lewat masa enam bulan, maka tidak ada ketetapan nasab anak dari padanya, karena diyakini kehamilan itu telah berlaku sebelum persetubuhan syubhat, kecuali jika suami mendakwa bahwa anak yang dilahirkan itu adalah anaknya. Ini karena kemungkinan ia telah menyetubuhinya sebelum itu dengan persetubuhan syubhat yang lain.83 Sekiranya lelaki meninggalkan perempuan yang disetubuhi secara syubhat, maka ketetapan juga nasab dari padanya sebagaimna berketetapan nasab setelah dipisahkan dari perkawinan yang fasid. C. Pengakuan Anak Dalam Hukum Islam Pengakuan anak dalam literatur Hukum Islam disebut dengan “istilhag” atau “iqrar” yang berarti pengakuan seorang laki-laki secara suka rela terhadap seorang anak bahwa ia mempunyai hubungan darah dengan anak tersebut, baik anak tersebut bersetatus di luar nikah atau ana k tersebut tidak diketahui asal usulnya.84 Menurut Fatchur Rahman yang dikatakan dengan mendaku nasab, ialah mendaku orang lain
82
Ibid., hlm. 24 Ibid. 84 Abdul Manan, Aneka Permasalahan Hukum Perdata Islam, Op., Cit., , hlm. 76. 83
59
Universitas Sumatera Utara
yang tidak diketahui asal-mula nasabnya sebagai nasabnya sendiri atau sebagai nasab keluarga.85 Lembaga pengakuan anak menurut
hukum perdata sebagaimana termuat
dalam N-BW dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sama dengan lembaga “istilhaq” dalam hukum Islam yang mempunyai arti adalah pengakuan seorang mukallaf bahwa ia adalah ayah dari seorang anak yang tidak diketahui nasabnya. Menurut Abdullah Ali Husein tidak setiap mukallaf dapat mengakui seorang anaknya yang sah, melainkan harus berpegang kepada asas yaitu : a. b. c. d.
Adanya status yang baik dari anak tanpa ayah Tidak ada ketunggalan Hukum dalam masalah nasab Pengakuan itu diharapkan melindungi bagi yang lemah Adanya larangan mengingkari kembali pengakuanyang telah diberikan. Dengan asas ini hukum Islam telah memberikan patokan terhadap masalah anak sah dalam kehidupan seseorang, sehingga tidak terjadi hal-hal yang buruk dalam kehidupan seseorang.86 Menurut konsep hukum Islam, pengakuan anak ada dua macam yaitu
pengakuan anak untuk diri sendiri dan pengakuan anak untuk orang lain. Pada prinsipnya sama tujuanya hanya dalam pelaksanaanya sendiri sedikit berbeda, yakni : a. Mendaku nasab orang lain untuk didaku nasabnya oleh si pendaku (muqrir) sendiri, dan b. Mendaku nasab orang lain untuk didakukan-nasabnya kepada orang lain yang tidak mendaku87 85
Fatchur Rahman, Op. Cit., hlm. 72. Abdullah Ali Husein, Muqarranah Tasyri’iyah minal qawaninul wadhriyyah wa Tasyri’il Islam muqaranatan bainil fiqhil Qanuniyah faransiy wa mazhabil Imukam Malik, Darul Ihyail Kutub Arabiyah, Cairo, 1997, hlm.235 87 Fatchur Rahman, Loc. cit 86
60
Universitas Sumatera Utara
Menurut Iman Jauhari cara menentukan asal usul anak ada tiga yaitu dengan cara perkawinan sah atau fasid, pengakuan nasab, dan kesaksian,88 pada kesempatan ini akan dibahas secara rinci tentang pengakuan nasab atau dakwaan nasab. 1. Pengakuan keatas diri sendiri Umpamanya bapak mengakui anak, ataupun anak mengakui bapak, seperti ia berkata, “ini adalah anak saya”, atau “ini adalah ibu saya”, atau “ini adalah bapak saya”. Pengakuan ini sah dibuat walaupun ia sedang sakit berat yang membawa mati dengan empat syarat yang akan datang yang disepakati oleh kebanya fuqaha di kalangan mazhab-mazhab. Syarat-syarat itupun telah disebut dalam pembahasan pengakuan (iqrar) dan akan diuraikan berikut: a) Orang yang diakui tidak diketahui nasab, yaitu ia tidak diketahui nasabnya dari bapak yang lain. Seandainya ia diketahui mempunyai nasab dari bapak yang lain (bukan yang membuat pengakuan), maka pengakuanya adalah batal karena syarat menghukumkan ketetapan nasab dari bapak itu dan bila yakin ketetapan pada nasab dari seseorang, ia tidak lagi menerima perpindahan daripadanya kepada yang lain. Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW melaknat orang yang menasabkan keturunan tidak kepada bapaknya atau orang yang mewalikan tidak pada walinya. b) Orang yang tidak diketahui nasab di sisi setengah ulama Hanafi ialah orang yang tidak diketahui mempunyai bapak di negeri tempat dilahirkan. Ini jelas pada masa kini di samping kemudahan perhubungan dan mencari negeri tempat ia dilahirkan. c) Para ulama membuat pengecualian dari syarat itu berketetapan dengan anak li’an, ia tidak sah didakwa dengan nasabnya dan dihubungkan dengan orang lain. Ini karena ada kemungkinan bahwa bapak yang membuat li’an itu akan menarik balik li’an dan membohongi dirinya tentang dakwaan anak itu bukan anaknya. d) Pengakuan dirasakan benar dari segi pandangan dan realita dengan orang yang diakui anak itu dan kemungkinan ketetapan pertalian nasab dengan orang yang membuat pengakuan. Sekiranya orang yang diakui nasab itu 88
61
Iman Jauhari, Hak-Hak Anak Dalam Hukum Islam, Op. cit., hlm. 25
Universitas Sumatera Utara
e)
f)
g)
h) i)
62
berada ditahap umur yang munasabah sebagai anak bagi orang yang membuat pengakuan. Jika orang yang diakui nasab itu jelas lebih tua atau sebaya atau berbeda umurnya tidak jauh dengan orang yang membuat pengakuan yang kebiasaanya tidak mungkin ia adalah anak kepada orang yang membuat pengakuan, maka dalam hal yang seperti ini tidak sah pengakuanya karena pengakuan itu dibohongi oleh panca indera dan kenyataan. Jika ada orang yang membuat pengakuan katanya kepada seorang anak lelaki, “ini adalah anak saya”, sedangkan umur anak itu 10 tahun dan umur yang membuat pengakuan 20 tahun, maka tidak diambil pengakuan itu disisi ulama Hanafi karena anak itu tidak mungkin dilahirkan sebagai anaknya pada pendapat mereka sebelum orang yang membuat pengakuan berumur 12 tahun. Dengan demikian apabila dua orang yang membuat pengakuan berbalas bertetapan apabila masing-masing mengaku nasabnya, maka tidak ada ketetapan nasabnya karena apabila satu pengakuan pada nasab bercabang dengan pengakuan orang lain padanya berarti terdapat dua pengakuan bertentangan, maka tidak dihubungkan pertalian nasab dengan salah satu dari mereka karena tidak ada alasan diutamakan salah seorang dari pada yang lainya. Anak yang diakui itu membenarkan pengakuan, seandainya ia mempunyai keahlian untuk membuat demikian, yaitu : baliqh dan berakal disisi jumhur, dan mumaayiz dissi Hanafi, karena pengakuan (iqrar) adalah dalil yang merupakan hujjah hanya keatas orang yang membuat pengakuan saja. Ia tidak menjadi hujjah ke atas orang lain kecuali dengan saksi, atau orang lain itu membenarkan ikrar orang yang membuat pengakuan itu. Jika anak yang diakui itu masih kecil atau gila, maka tidak disyaratkan pembenaran daripadanya karena kedua-duanya tidak berkeahlian membuat pengakuan atau membenarkan. Ulama Maliki berpendapat bahwa tidak mungkin menjadi satu syarat bagi ketetapan nasab dari orang yang membuat pengakuan dipersiapkan pengakuanya oleh orang yang diakui karena nasab adalah hak anak keatas bapak. Oleh karena itu ketetapan pengakuanya tanpa tertakluk kepada orang yang diakui seandainya tidak ada dalil yang menunjukan pembohongan orang yang membuat pengakuan. Pengakuan tidak boleh menetapkan nasab dengan orang lain, ada benar ataupun bohong karena pengakuan manusia adalah hujah ke atas diri orang yang membuat pengakuan saja, bukan hujah keatas orang lain, karena yang menjadi hujah ke atas orang lain ialah kesaksian atau dakwaan. Kesaksian seseorang pada perkara yang tidak dilihat oleh orang lelaki tidak diterima, dan dakwaan yang dibuat oleh seorang saja tidak menjadi hujjah.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan ini, apabila orang yang membuat pengakuan nasab ialah seorang isteri ataupun perempuan yang sedang berada dalam iddah, maka disyaratkan juga suaminya turut setuju mengaku anak yang diakui oleh isterinya itu adalah anaknya juga. Ataupun isteri dapat membuktikan bahwa dia yang melahirkan anak yang diakui dari suaminya itu karena pengakuan itu meletakan nasab kepada orang lain, dan ini tidak boleh diterima kecuali ia membenarkanya atau dengan bukti saksi. Ikrar batal jika orang yang membuat pengakuan itu berkata secara terang dalam ikrarnya bahwa anak yang dia akui itu adalah anaknya dari zina, karena zina tidak layak menjadi sebab bagi ketetapan nasab, lantaran nasab adalah suami nikmat, maka tidak boleh dicapai dengan cara yang diharamkan. Apabila sempurna ikrar nasab anak atau bapak dengan syarat-syarat ini, sahlah nasab orang yang diakui dari orang yang membuat pengakuan dan akhirnya berlakulah pusaka mempusakai. Apabila sah ikrar, maka orang yang membuat ikrar itu tidak boleh menarik balik pengakuanya karena apabila ketetapan ia tidak boleh dibatalkan dengan penarikan balik pengakuan. Ulama Hanafi juga mensyaratkan sah ikrar nasab anak itu ketika masih hidup. Oleh karena itu, jika seseorang membuat pengakuan bahwa si anu anaknya sedangkan si anu itu telah mati, maka tidak sah pengakuan tersebut dan tidak ada ketetapan nasab denganya. Nasab tidak perlu menentukan setelah anak itu mati, lantaran mayat tidak diperlukan kemuliaan dan penghormatan keturunan. Akan tetapi Ulama Hanafi mengecualikan dari hukuman ini apabila anak yang mati itu mempunyai anak. Maka demi untuk menjaga kemashlahatan cucu-cucunya, karena mereka memerlukan
63
Universitas Sumatera Utara
penentuan nasab bapak mereka. Menentukan nasab bapak mereka adalah suatu kemuliaan dan penghormatan bagi mereka. Ulama Maliki tidak mensyaratkan anak yang diakui itu masih hidup karena nasb anak adalah hak anak ke atas bapaknya. Oleh karena itu, menentukan nasabnya tidak bergantung kepada hidup atau mati sianak, sebagaimana tidak disyaratkan ada pembenaran dari anak. Namun orang yang mengakui bapak tidak berhak mempusakai harta dari anak yang diakui itu, kecuali anak itu mempunyai anak atau anak itu mempunyai harta yang sedikit supaya ia tidak dituduh membuat pengakuan nasab untuk mendapat harta yang banyak. Syarat-syarat yang lepas itu adalah juga syaratsyarat pengakuan nasab kepada orang lain selain dari syarat yang terakhir. Ulama Syafi’I dan Hanbali berpendapat bahwa nasab boleh menetapkan keatas orang lain dengan pengakuan (iqrar) dengan syarat-syarat yang lepas dan dengan syarat-syarat pewaris membuat pengakuan dan bapak yang dihubungkan dengan orang yang masih hidup walaupun ia seorang yang gila karena pengakuan (iqrar) orang lain bagi menetapkan nasab seseorang dari seseorang sedangkan ia masih hidup adalah mustali89 Menurut Abdullah Ali Husein dalam hukum Islam dikenal berapa syarat untuk melaksanakan pengakuan seorang anak bagi dirinya sendiri, yaitu: 1) Orang yang mengakui anak haruslah seorang pria sebab tidak ada alat bukti lain menurut hukum Islam untuk membuktikan adanya hubungan kebapaan, sedangkan bagi wanita pembuktian dapat dilaksanakan dengan menyatakan ia mengandung dan melahirkan anak tersebut 89
Wahhab al-Zuhaili seperti dikutip oleh Iman Jauhari dalam Bukunya Hak-Hak Anak Dalam Hukum Islam, Op., Cit., . hlm 863-865
64
Universitas Sumatera Utara
2) Orang yang mengakui anak itu haruslah orang mukallaf, sedangkan pengakuan orang gila, orang yang dipaksakan dan orang yang belum cukup umur tidak dapat diterima 3) Anak yang diakui itu haruslah anak yang tidak diketahui nasabnya, tidak sah pengakuan terhadap anak yang sudah diketahui nasabnya, demikian juga terhadapa anak yang telah ter bukti secara sah sebagai anak zina atau tidak diakui sebelumnya dengan cara lain 4) Pengakuan itu tidak disangkal oleh akal sehat, misalnya umur anak yang diakui lebih tua dari yang megakui, atau tempat tinggal mereka sangat jauh yang menurut ukuran biasa tidak mungkin mereka mempunyai hubungan anak atau kebapaan. 5) Pengakuan itu dibenarkan oleh anak dewasa yang diakuinya, jika yang diakuinya menyangkal terhadap pengakuan itu maka peria yang mengakui itu harus membuktikanya atau anak yang diakui itu harus mengangkat sumpah kalau ia mau maka hubungan nasab itu terbukti adanya.90
Apabila pengakuan anak telah dilaksanakan sesuai dengan syarat-syarat sebagaimana tersebut diatas, maka anak yang diakui itu menjadi anak yang sah dan kedudukanya adalah sama dengan kedudukan anak kandung. Pengakuan
anak
tersebut dapat dilakukan di hadapan dua orang saksi, atau dihadapan lembaga resmi dengan akta otentik atau surat biasa. Pengakuan anak tersebut merupakan tindak sepihak, kecuali apabila orang yang diakui itu sudah dewasa dan menyangkalnya, dalam hal yang terakhir ini diperlukan campur tangan pihak pengadilan. Apabila seorang pria telah melaksanakan pengakuan terhadap seorang anak dengan menyatakan bahwa ia adalah anaknya, maka pengakuan tersebut tidak boleh dicabut kembali, sekali ia telah mengirarkanya maka pengakuan itu berlaku terus sepanjang masa. Pengakuan anak itu dapat dilaksanakan kapan saja, walaupun setelah meninggalnya orang yang diakui. Hanya saja hukum Islam menganggap bahwa
90
65
Ibid. hlm. 236-237.
Universitas Sumatera Utara
pengakuan anak terhadap orang yang telah meninggal dunia bermotif yang tidak baik, biasanya karena ada warisan. Dalam hukum Islam pengakuan anak yang seperti ini baru dapat diterima apabila anak yang diakui itu tidak mempunyai ahli waris dan harta peninggalanya hanya sedikit.91 2. Pengakuan Terhadap orang lain Pengakuan dengan nasab yang diletakan kepada orang lain, yaitu ikrar keturunan yang merupakan cabang dari asal nasab. Contohnya seseorang berikrar katanya, “ini adalah saudara saya”, “ini adalah bapak saudara saya”, “ini adalah datuk saya”, atau “ini adalah anak saudara saya”92 Pengakuan itu adalah sah dengan syarat-syarat di atas serta satu syarat tambahan, yaitu pembenaran orang lain. Apabila seseorang berkata, “ini adalah saudara saya”, maka ketetapan nasabnya disisi Ulama Hanafi dengan syarat bapaknya mengiakan pengakuan anaknya itu, atau ada bukti saksi menunujukan sah pengakuanya itu, atau dua orang waris mengiakan pengakuan itu jika bapanya telah mati karena ikrar hanya menjadi hujjah bagi orang yang membuat pengakuan saja. Ia hanya mempunyi wilayah (kuasa) keatas diri sendiri, tidak pada orang lain. Jika bapak ataupun dua orang waris tidak mengiakan pengakuan itu, ataupun tidak ada bukti saksi yang menunjukan sah ikrar itu, maka implikasi ke atas orang yang membuat pengakuan itu adalah mengikuti pengakuanya pada hak dirinya
91
H. Taufiq, Pengakuan Anak Wajar Menurut Hukum Perdata Tertulis dan Hukum Islam , Dirbinbaperais Depag RI, Jakarta, 1995, hlm. 62 92 Iman Jauhari, Hak-Hak Anak Dalam Hukum Islam, Op. cit., hlm. 29
66
Universitas Sumatera Utara
sendiri. Dengan itu, ia diwajibkan memberi nafkah orang yang diakui saudaranya seandainya ia seorang fakir yang lemah sedangkan yang membuat pengakuan itu kaya. Orang yang diakui saudaranya turut berkongsi harta pusaka yang didapati oleh orang yang membuat pengakuan dari peninggalan bapaknya ini adalah pendapat ulama Hanafi. Ulama Maliki berpendapat, orang yang diakui saudara mengambil kadar yang kurang dari bahagian orang yang membuat pengakuan dengan sebab pengakuanya. Apabila seseorang anak membuat pengakuan dengan saudara yang lain, sedangkan anak yang lain mengingkarinya, maka anak yang ingkar mengambil separuh pusaka, manakala separuh lagi berkongsi antara anak yang membuat pengakuan denga orang yang diakui saudaranya. Ini disisi ulama Hanafi. Adapun pendapat ulama Maliki, anak yang inkar mengambil seluruh bahagian pusaka dan orang yang diakui saudara mengambil apa yang kurang dari bahagian anak yang membuat pengakuan dengan andaian bahwa harta pusaka dibagi tiga.93 Jika harta peninggalan si mati ada 12 dinar umpamanya, maka orang yang diakui saudara disisi Hanafi mengambil 3 dinar sebagai harta anak yang membuat pengakuan. Manakala pendapat maliki, ia mengambil anak yang membuat pengakuan. Manakala pendapat Maliki, ia mengambil 2 dinar, anak yang ingkar 6 dinar, dan anak yang membuat pengakuan 4 dinar, karena pusaka dibagi tiga. Dalam keadaan tidak ada orang yang diakui, bagi anak yang membuat pengakuan 6 dinar,
93
67
Ibid. hlm. 30
Universitas Sumatera Utara
dan dalam keadaan ia wujud, maka anak yang berikrar 4 dinar, dan yang kurang dari padanya, yaitu 2 dinar dambil oleh orang yang diakui saudara. Apabila sah ikrar bernasab bagi seseorang, maka orang yang diakui bernasab mempusakai harta orang yang membuat ikrar jika ia mati sama seperti ahli waris lain, sekalipun yang lain itu tidak mengiakan pengakuan simati sebelum ia meninggal dunia. Jenis keterangan dalam meletakan nasab kepada orang lain. Meletakan nasab kepada orang lain adalah dengan keterangan disisi Abu Hanifah dan Muhammad. Ia adalah pengakuan dua orang lelaki atau seorang lelaki dan dua orang perempuan sebagaimana saksi. Imam Malik berpendapat, pengakuan nasab kepada orang lain tidak berketetapan, kecuali dengan ikrar dua oran karena ia meletakan nasab keatas orang lain. Oleh karena itu, diambil bilangan orang yang berikrar sebagaimana buku penyaksianya. Manakala pendapat Syafi’I, Ahmad dan Abu Yusuf, jika semua ahli waris membuat pengakuan bernasab dengan orang yang akan berkongsi mereka dalam medapat pusaka, maka berketetapan nasabnya, walaupun ahli waris hanya seorang saja baik lelaki maupun perempuan, karena nasab adalah hak yang ketetapan dengan pengakuan seperti pengakuan berhutang. Oleh karena ikrar adalah suatu perkataan yang tidak disyaratkan keadilan, maka tidak sah diqiyaskan dengan saksi.94 Perbedaan antara ikrar bernasab dengan mem ‘bin’kan anak, bahwa pengakuan bernasab berlainan dengan mem’bin’kan seseorang anak angkat, karena 94
68
Ibid. hlm. 31-32
Universitas Sumatera Utara
pengakuan ini tidak mewujudkan nasab. Ia sebenarnya satu cara bagi menentukan dan menzahirkanya. Tindakan membinkan seseorang anak angkat adalah suatu perbuatan mengada-ngadakan nasab, dia boleh berlaku walaupun orang yang dijadikan anak angkat itu mempunyai bapak yang dikenali. Sebaliknya anak yang berketetapan nasab dengan ikrar mungkin terjadi kecuali apabila bapak bagi anak itu tidak diketahui95 Menurut Husni syarat-syarat yang diperlukan dalam pengakuan anak secara tidak langsung adalah secara umum sama dengan syarat-syarat yang diperlukan dalam pengakuan untuk diri sendiri, hanya ditambah dua points lagi, yaitu : 1. Bahwa orang yang dihubungkan nasab kepadanya membenarkan bahwa ia betul mempunyai hubungan nasab dengan seseorang yang dihubungkan nasab kepadanya. 2. Ada saksi-saksi yang membenarkan pengakuan dari orang yang dihubungkan nasab kepadanya dan saksi-saksi ini diperlukan jika orang lain yang dihubungkan dengan nasab kepadanya tidak membenarkan pengakuan tersebut.96 Apabila syarat-syarat pengakuan anak baik untuk diri sendiri maupun untuk kepentingan orang lain sudah terpenuhi, maka sahlah pengakuan tersebut secara hukum. Demikian juga apabila seorang laki-laki mengadakan hubungan seksual dengan seorang wanita di luar nikah, kemudian wanita tersebut hamil, lalu laki-laki tadi atau yang orang lain yang buka membuahi wanita itu menikah dengan wanita hamil tadi, maka anak yang dilahirkan oleh wanita itu menjadi anak yang sah. Hal ini disebabkan karena dengan kesediaan laki-laki tersebut menikahi wanita hamil tadi,
95
Wahab al-Zuhaili, seperti dikutip Iman Jauhari dalam bukunya Hak-Hak Anak Dalam Hukum Islam Op. cit. hlm. 866-868 96 Ahmad Husni, Ahkam Syai’iyah fi Ahwalisy Syashiyah ‘ala Mazhibil Iman Abu Hanifah, Darul Qutub, Cairo, hlm. 56.
69
Universitas Sumatera Utara
berarti secara diam-diam telah mengakui anak yang lahir dari perkawinan tersebut, kecuali suami wanita itu mengingkari dengan cara lain. Ketentuan ini adalah sejalan dengan hal yang tersebut dalam fiqih Syafi’I, di mana disebutkan bahwa wanita hamil karena zina dapat saja dinikahi oleh laki-laki yang tidak menghamilinya dan sah sebagai suami isteri dengan segala akibat hukumnya. Jadi laki-laki dan wanita yang menikah itu dapat melakukan hubungan seksual tanpa menunggu kelahiran anaknya, sebagaimana yang dikemukakakn oleh Imam Hanafi, demikian juga tentang kedudukan anak yang dilahirkan itu menjadi anak sah dari suami isteri yang menikah itu meskipun bukan dari orang yang menghamili wanita tersebut.97 Dalam kompilasi Hukum Islam Indonesia disebutkan bahwa laki-laki yang menghamili wanita itu saja yang boleh menikah dengan wanita yang hamil tersebut. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi percampuran nasab anak yang lahir itu apabila wanita yang hamil itu kawin dengan orang bukan membuahinya/menghamilinya. Sebenarnya kalau terdapat alasan yang kuat tentang motivasi tentang pengakuan anak, baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, tidak ada salahnya hakim mengambil pendapat sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Imam Syafi’I, meskipun syarat yang dikemukakan oleh Imam Hanafi sebagaimana tersebut di atas dapat dijadikan dasar dalam menetapkan pengakuan anak bagi wanita hamil dan melahirkan anak.98
70
97
Iman Jauhari dalam Bukunya Hak-Hak Anak Dalam Hukum Islam, Op., Cit., hlm 175.
98
Lihat Pasal 53 Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
Universitas Sumatera Utara
Menurut
Fathi
Usman
pemikiran
dari
mazhab
Syafi’I
ini
lebih
menitikberatkan kepada manfaat dan mudharat bagi semua pihak, terutama bagi anak yang lahir dari hasil perbuatan zina atau luar nikah. Tentang hal ini Asy Syatibi dalam kitab al-Muwafaqad menyatakan bahwa manfaat dan mudharat adalah merupakan hal yang nisbi, bukan hakiki. Suatu keadaan yang mungkin dianggap bermanfaat di suatu waktu tertentu belum tentu bermanfaat untuk orang lain. Oleh karena itu terserah kepada hakim untuk menetapkan mana yang lebih baik dan bermanfaat untuk semua pihak, sehingga segalanya dapat berjalan secara baik dan damai. Solusi yang diberikan oleh Syatibi ini akan lebih jelas apabila dikaitkan dengan tugas hakim sebagai pencipta hokum dalam skala makro. Dengan demikian hakim bebas memutuskan soal tersebut baik dengan konsep Imam Syafi’I maupun dengan konsep Imam Hanafi atau pendapat yang lain asalkan membawa manfaat kepada semua pihak, tidak akan menimbulkan mudharat para generasi selanjutnya.99 3. Pengakuan Anak Terhadap Anak Temuan. Menurut sayyid sabiq yang dimaksud dengan “al-Laqith” (anak temuan) adalah anak kecil yang belum baliqh, yang diketemukan di jalan atau sesat dijalan dan tidak diketahui keluargnya. Memungutnya merupakan fardu kifayah, sama hukumnya memungut barang hilang lainya. Seorang anak kecil yang ditemukan di Negara Islam, maka dihukumkan sebagai muslim. Orang yang menemukan anak temuan tersebut berkewajiban untuk member nafkah, jika ia tidak memiliki harta,
99
71
Fathi Ustman, al-Fiqhu Islamy wa Tathwwur, Darul Kuwaitiyah, Kuwait, 1989, hlm 26
Universitas Sumatera Utara
maka ia dapat minta bantuan kepada Baitul Mal guna dipergunakan untuk biaya hidup dan biaya lain-lain yang diperlukan anak temua tersebut.100 Ahmad Husni mengatakan bahwa : “Sebenarnya hukum Islam telah memberikan perhatian yang serius terhadap lembaga pengakuan anak ini, termasuk juga pengakuan terhadap anak temuan. Hampir semua kitab fiqih tradisional maupun kontemporer menulis tentang lembaga pengakuan anak ini, khususnya kepada anak temuan yang disebut dengan “laqith”. Demikian juga undang-undang keluarga muslim di Negaranegara Islam Timur Tengah telah menetapkan bahwa perlindungan terhadap anak temuan itu merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh orang Islam untuk menyantuninya, jika ia tidak melakukanya maka ia akan berdosa dan dapat dikenakan denda sebagai perbuatan jarimah. Apa yang dikemukakan oleh Ahmad Husni ini di Indonesia belum dapat tempat yang wajar, belum ada pengaturan secara luas tentang lembaga masalah anak temuan yang harus diakui sebagai anak kandungnya. Tentang hal ini merupakan satu hal yang sangat tabu dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Peraturan perundang-undangan tentang hukum kekeluargaan di Indonesia belum memberikan forsi yang lengkap dan rinci terhadap lembaga pengakuan anak sebagaimana dalam peraturan-peraturan hokum kekeluargaan di Negara Muslim lainya dan juga di beberapa Negara yang tergabung dalam asean”101 Orang Islam yang menemukan anak temuan dapat melakukan pengakuan terhadap anak tersebut terhadap anak kandungnya. Apabila pihak yang orang menemukan anak tersebut telah mengikrarkan pengakuanya, maka sahlah anak tersebut sebagai anaknya sendiri, dan sah pula pertalian nasab anak tersebut dengan orang yang mengakuinya meskipun pengakuan tersebut dilawan oleh orang lain dengan menunjukan bukti-bukti yang kuat dan meyakinkan. Menurut Imam Malikk, pengakuan tersebut tidak sampai menimbulkan nasab yang sah, kecuali yang 100
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid 7, Penerjemah Moh. Thalib, al-Ma’arif Bandung, 1994,
hlm. 92. 101
Ahmad Husni, Ahkam Syai’iyah fi Ahwalisy Syashiyyah ‘ala mazahabil Imam Abu Hanifah, Seperti dikutip oleh Abdul Manan dalam bukunya Aneka permasalahan Hukum Perdata Islam, Op., Cit., hlm. 57.
72
Universitas Sumatera Utara
menemukan anak tersebut mempunyai alasan dan bukti yang dibenarkan oleh hukum Islam. Jika hal ini dapat dilaksanakan oleh orang yang menemukan anak tersebut, maka sahlah anak itu sebagai anak kandungnya dan mempunyai akibat hukum keperdataan dalam bidang kewarisan, perwalian dan sebagainya.102 Tentang anak temuan yang lahir dari perkawinan yang tidak sah atau sebagai akibat zina, anak tersebut tidsak mempunyai hubungan dengan laki-laki yang menghamili ibunya bahkan laki-laki itu harus dirajam sebagaimana ketentuan yang telah digariskan dalam hukum Islam. Anak yang lahir dari akibat zina ini hanya mempunyai hubungan darah dengan ibu yang melahirkanya. Tetapi Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa anak yang lahir dari hubungan di luar nikah antara seorang lakilaki dengan seorang wanita yang tidak terkait dengan perkawinan lain, dapat diakui oleh orang laki-laki membuahinya sebagai anak yang sah. Sedangkan kejahatan terhadap zina yang dilakukan tetap dilaksanakan sesuai dengan yang telah ditetapkan oleh hukum Islam. Sebahagian besar para pakar hukum Islam tidak sependapat dengan pemikiran Ibnu Taimiyah ini, mereka hanya sepakat bahwa hukum Islam mengajurkan untuk mengakui anak luar nikah itu hanya sebatas pada kemshlahatan dan untuk menutupi aib saja, ini pun sepanjang tidak ada halangan hukum Islam yang mengaturnya. Jadi tidak merubah statusnya dari anak luar nikah menjadi anak yang sah.103
102
Iman Jauhari, Hak-Hak Anak Dalam Hukum Islam, Op., Cit. Hlm. 178
103
H. Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Materiel dalam Praktek Peradilan Agama, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2003, hlm. 119.
73
Universitas Sumatera Utara
Menurut Taufiq ada perbedaan yang prisipil antara pengakuan anak menurut hukum Islam dengan konsep pengangkatan anak dalam hukum perdata Barat adalah : “Menurut konsep hukum Islam dan pengangkatan anak itu tidak semata-mata untuk memberikan kedudukan anak luar nikah sebagai anak kandung, sedangkan menurut konsep hukum perdata barat pengakuan anak dan pengangkatan itu semata-mata memberikan kedudukan anak luar kawin sebagai anak kandung. Ketentuan-ketentuan hukum Islam mengenai pengakuan anak tersebut segi lahir semata bukan bukan dari segi hakekat dan agama (diyani). Sehubungan dengan hal itu, apabila seorang mengambil anak dari rumah sakit yang tidak diketahui siapa orang tuanya mengakuinya sebagai anaknya, maka perbuatan ini mengakibatkan timbulnya hubungan hukum perdataaan antara anak yang diakui tersebut dengan orang yang mengakuinya sebagai anak kandung”.104
Untuk melakukan pengakuan anak tidak ada pembatasan waktu, seseorang dapat saja melakukan pengakuan anak kapan saja bahkan pada saat anak yang diakui itu telah meninggal duniapun pengakuan itu dapat dibenarkan. Hanya saja dalam hal yang terakhir ini hukum Islam sangat bersikap hati-hati, jangan sampai pengakuan itu mengakibatkan timbulnya kemudharatan pada pihak lain sebagai sebahagian besar pengakuan yang dilakukan setelah anak itu meningggal dunia biasanya bermotif harta warisan. Bukan motif lain yang sebagaimana yang telah diuraikan diatas. Apabila pengakuan anak telah dilaksanakan oleh seseorang sesuai dengan ketentuan yang telah ditentukan oleh hukum Islam maka akan lahir akibat hukum yang timbul pertalian nasab antara yang mengakui dengan yang diakui, anak yang diakui itu menjadi anak yang sah menurut syar’i dan sama kedudukanya dengan anak hasil perkawinan yang sah dalam segala hal dan kewajiban yang timbul dari padanya.
104
H. Taufiq, Pengakuan Anak Wajar Menurut Hukum Islam, Makalah, Kowani, Jakarta, 1996, hlm. 6.
74
Universitas Sumatera Utara
Khusus pengakuan anak untuk orang lain, jika dibantah oleh anak yang diakuinya dan tidak ada bukti yang menguatkan pengakuanya, maka tidak ada akibat hukum dari padanya seperti pertalian nasab dan hak kewarisan, hubungan hanya sebatas pada hak kekeluargaan saja seperti hak memberi nafkah, memelihara dan memberikan pendidikan secukupnya. Disamping itu, dengan adanya pengakuan anak itu maka akhirnya hak mempusakai dengan jalan mewaris. Khusus dalam hal pengakuan anak untuk orang lain, sedangkan orang yang diakui itu tidak membenarkan pengakuan itu dan tidak ada bukti-bukti yang mendukung adanya pertalian nasabnya, maka yang mengakui mengandung resiko dengan timbulnya hak antara yang diakui dan yang mengakui dan tidak sebaliknya. Menurut Mazhab Hanafi bahwa orang yang diakui itu memperoleh setelah maulal muwalah. Orang karena itu apabila yang mengakui mempunyai ahli waris, termasuk dwawil arham, maka yang dilakukan itu tidak berhak mewaris. Tetapi jika ahli waris suami atau isteri maka ia berhak atas sisanya karena Raad kepada suami atau isteri dan ini harus diakhirkan (Ahmad Husni). Berbeda dengan mazhab Syafi’i bahwa hak mempusakai itu bukan hak sebagai pewaris, meskipun dalam beberapa hal dianggap sebagai pewaris, meskipun dalam beberapa hal dianggap sebagai pewaris, misalnya hak didahulukan dari pada memberikan kelebihan sepertiga kepada
75
Universitas Sumatera Utara
penerima wasiat. Alasan mazhab Syafi’I bahwa kewarisan itu haruslah didasarkan kepada pertalian nasab yang sah105
105
76
F athurrahman, Op. Cit., hlm. 74-75.
Universitas Sumatera Utara