BAB II MAJAZ DALAM TRADISI PEMIKIRAN ISLAM
A. Paradigma Pengalihan Makna Bahasa: Dari Bentuk Denotatif (Haqiqah) Ke Bentuk Metafora (Majaz). Pengalihan makna dari bentuk denotatif (haqiqah) ke bentuk metafora (majaz) merupakan tradisi susastra yang sudah dikenal secara populer dalam ilmu al-Qur’an. Secara etimologis lafaz hakikat dapat diartikan sebagai esensi, realitas, kebenaran, atau makna yang sesungguhnya. Sedangkan secara terminologis, hakikat dapat didefinisikan sebagai suatu lafaz yang tetap pada makna aslinya, dan tidak ada taqdim (makna yang didahulukan) dan ta’khir (makna yang diakhirkan) di dalamnya. Sedangkan majaz merupakan kebalikan dari hakikat, yaitu makna kiasan (elegoris). Artinya, suatu lafaz yang digunakan untuk suatu arti, yang semua lafaz itu bukan diciptakan untuknya.1 Mayoritas ulama sepakat tentang adanya makna hakikat dan majaz dalam al-Qur’an, meskipun untuk term yang disebutkan terakhir oleh sebagian ulama yang lain masih diperselisihkan keberadaannya. Artinya, bahwa mereka tidak mengakui adanya makna majaz dalam al-Qur’an. Sebab, majaz sangat terkait dengan kebohongan (al-kadzab), padahal al-Qur’an harus bersih dari sifat-sifat yang demikian. Alasan lain adalah bahwa seorang pembicara (almutakallim) tidak menggunakan makna majaz, kecuali jika terpaksa, sedangkan keadaan terpaksa tidak mungkin terjadi pada Tuhan. Di antara ulama yang berpendapat demikian adalah mayoritas kelompok al-Dhahiri, Ibn al-Qas dari kelompok Syafi’iyah, Ibn Kuwaiz dari kelompok Malikiyyah.2 Pendapat kelompok al-Dhahiri dan yang sepaham dengannya, mendapat reaksi yang sangat keras dari para ulama yang lain, dan dinilai sebagai pendapat yang tidak benar. Sebab, jika makna majaz dalam al-Qur’an M. Noor Ichwan, Memahami Bahasa Al-Qur’an: Refleksi Atas Persoalan Linguistik, Pustaka Pelajar Yogyakarta bekerjasama dengan Walisongo Press IAIN Walisongo Semarang, 2002, hlm. 219. 2 M. Noor Ichwan, Ibid., hlm. 220. 1
14
15
ditiadakan, hal itu sama dengan menghilangkan aspek keindahan bahasa dalam al-Qur’an. Mengenai hal ini imam as-Suyuthi mengatakan bahwa: alasan mereka itu tidak bisa diterima, sebab jika unsur majaz dalam al-Qur’an ditiadakan, niscaya ia akan kehilangan keindahannya. Bahkan para ulama sepakat bahwa majaz lebih tinggi keindahanya dari pada hakikat. Seandainya majaz harus dihilangkan dari al-Qur’an, niscaya harus dibersihkan pula dari hadzf (pembuangan kata), taukid (kata penguat), pengulangan kisah-kisah dan lain sebagainya. Kehakikatan suatu lafaz dapat dikhususkan dalam bidang-bidang ilmu tertentu, sehingga ia mempunyai nama-nama sesuai dengan tempat ia dipergunakan. Jika penggunanya sesuai dengan istilah bahasa, maka ia dapat disebut sebagai haqiqat lughawiyah. Dan jika penggunaannya sesuai dengan istilah syara’, maka ia dapat disebut sebagai haqiqat syar’iyah, dan lain sebagainya. Hal yang demikian juga berlaku bagi makna majaz, sehingga ada majaz lughawi, majaz syar’i dan lain sebagainya. Pada umumnya, penggunaan suatu makna hakikat dan makna majaz baru dapat ditentukan setelah lafaz tersebut dirangkai dalam suatu kalimat atau dipergunakan dalam suatu pembicaraan. Untuk dapat mengetahui arti hakikat suatu lafaz bisa dengan cara sima’i, yaitu dengan cara mendengarkan bagaimana para ahli bahasa mengartikannya, sedangkan untuk makna majaz dapat diketahui dengan melalui penelitian terhadap qarinah-qarinah yang menyertai lafaz tersebut.3 Sebelum membahas lebih jauh mengenai metode pengalihan makna dalam bahasa dari bentuk denotatif (haqiqah) ke bentuk metafora (majaz), terlebih dulu penulis kemukakan beberapa hal yang termasuk dalam kategori metafora. Menurut Ibn Qutaibah (w. 276 H) -sebagaimana dikutip oleh Nashr Hamid Abu Zayd- telah memberikan batasan-batasan segi majaz dengan berpendapat bahwa majaz meliputi peminjaman kata atau ungkapan (isti’arah), perumpamaan (tamtsil), pembalikan (qalb), pendahuluan (taqdim), pengakhiran (ta’khir), pembuangan (hadzf), sindiran (ta’ridh), pemfasihan 3
M. Noor Ichwan, Ibid., hlm. 220.
16
(ifshah), kiasan (kinayah), penjelasan maksud tunggal, kata tunggal dan jamak untuk makna dua orang (tatsniyah), kata khusus untuk makna umum, kata umum untuk makna khusus, dan lain-lain.4 Meskipun di kalangan mufassir yang lebih sering digunakan adalah istilah maśal dan beberapa kata turunannya, seperti tamtsil, hal ini dikarenakan istilah tamśil banyak tercantum dalam al-Qur’an. Semua hal di atas merupakan fenomena gaya bahasa yang menunjukkan adanya perubahan dalam penunjukan kata dan keluar dari penunjukan makna kata yang lazim. Perumpamaan (matsal) misalnya, sering dipakai oleh al-Qur’an memiliki maksud penyerupaan (tasybih) suatu benda terhadap benda lain. Oleh karenanya makna perumpamaan (matsal) sangat dekat dengan makna penyerupaan (tasybih). Satu hal yang menunjukkan keserasian tersebut adalah bahwa kata syibh yang terdapat dalam al-Qur’an, tidak tercantum kecuali memiliki makna penyerupaan, persamaan, dan kesamaran antara dua hal. Jika sesuatu diserupakan, berarti terjadi kemiripan dan ambiguisitas yang susah dibedakan antara keduanya. Dalam al-Qur’an, tidak disebutkan kata kinayah meskipun maksudnya pernah disebutkan oleh kalimat lain yang bermakna menyembunyikan atau menutupi. Terdapat kata yang bermakna kinayah atau yang mendekatinya diungkapkan dalam bentuk tasyrih (penjelasan), dimana tasyrih memiliki dua sisi makna, yakni żahir (nyata) dan bathin (tersembunyi), sebagaimana yang terdapat dalam firman Allah swt berikut: “Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikannya dalam batinmu”.5 Selain itu, terdapat juga kata jauz yang berarti “memotong” atau “memindah”. Makna ini tidak jauh berbeda dengan pengertian majaz, yaitu berpindahnya makna hakiki (denotatif) ke makna lain yang berkaitan
Lihat Nashr Hamid Abu Zayd, Menalar Firman Tuhan: Wacana Majas dalam alQur’an Menurut Mu’tazilah, Abdurrahman Kasdi dan Hamka Hasan (terj.), Mizan, Bandung, 2003, hlm. 136. 5 Lihat surat al-Baqarah ayat 235. Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya, CV. Al-Waah, Semarang, 1993, hlm. 57. 4
17
dengannya (metafor). Adapun makna ‘aur yang menjadi asal pengambilan istilah isti’arah tidak tercantum dalam al-Qur’an. Oleh karenanya, wajar jika ia termasuk istilah yang terakhir muncul dalam terminologi balaghah. Sebaliknya, istilah maśal merupakan istilah yang paling banyak beredar di kalangan mufasir. Selain itu, ia banyak tercantum dalam al-Qur’an, sedangkan istilah kinayah juga lebih sedikit dipakai jika dibandingkan dengan maśal. Hal ini disebabkan, di satu sisi, ia sedikit sekali disinggung dalam al-Qur’an, dan di sisi yang lain, penunjukan nilai sastranya kurang jelas.6 Dari penjelasan di atas, kiranya dapat kita pahami bahwa nalar bahasa, gramatika maupun retorika, selalu tunduk pada aturan bahasa dan konteksnya. Nalar model ini memandang bahasa sebagai sebuah struktur dan sistem, atau sebagai konvensi-konvensi dan penyimbolan-penyimbolan, yakni sebagai tanda-tanda yang menunjukkan pada objek dan simbol-simbol yang menunjukkan pada sesuatu. Hanya saja situasi bahasa dan pembentukannya memunculkan fenomena yang terkait dengan wujud. Oleh sebab itu, bahasa kehilangan kemampuannya untuk mencipta dan berkreasi, dan kata-kata tercerabut kemampuannya untuk melakukan generalisasi dan pelampauan. Dengan kata lain, bahasa sebagai ekspresi wujud, merupakan keterbukaan terhadap “yang ada” dan kemungkinan bagi wujud, yaitu kemungkinan membangun kebenaran sekaligus menyingkapnya dan menuturkannya. Bahasa yang kreatif dan inovatif adalah majaz (metafora), yang berarti melewati, melampaui, pindah dan beralih, sedangkan “wujud” merupakan keresahan dan kelainan atau kontradiksi atau reposisi. Demikianlah Ali Harb memberikan kesimpulan.7
6 7
Nashr Hamid Abu Zayd, op.cit., hlm. 137. Ali Harb, Hermeneutika Kebenaran, LKiS, Yogyakarta, 2003, hlm. 24.
18
B. Majaz: Sumber dan Sejarah Perkembangannya. Pada pembahasan sebelumnya, kita telah mengetahui bagaimana konsepsi majaz. Konsepsi majaz sebagai perangkat ungkapan sastrawi di sini menjadi sangat penting, karena ia berperan baik dalam diskursus kritis sastra Arab maupun dalam tradisi tafsir, yang pada kenyataannya mengalami perkembangan dan pertumbuhan yang sistematis. Oleh karenanya pada pembahasan kali ini, penulis bermaksud memberikan ulasan mengenai pertumbuhan dan perkembangan dari konsep majaz dalam sejarah peradaban Islam. 1). Sumber-Sumber Majaz Pembahasan mengenai majaz dalam al-Qur’an tentu tidak bisa dilepaskan dari konteks sejarah Arab di mana al-Qur’an diturunkan. Hal ini karena turunnya al-Qur’an tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial dan kultural masyarakat Arab, dan bahkan fenomena-fenomena tradisi yang ada terkadang diungkapkan kembali dalam al-Qur’an, seperti misalnya ekspresi dan apresiasi yang tinggi terhadap nilai sastra yang dilakukan oleh masyarakat Arab. Konteks sejarah masyarakat Arab inilah yang mempengaruhi al-Qur’an untuk mengapresiasi nilai-nilai tertinggi sastra dan keindahan bahasa. Oleh karenanya memperhatikan kondisi geokultural dan kehidupan sosial masyarakat Arab adalah prasyarat yang harus dipenuhi bagi pemerhati maupun peneliti kajian sastra dalam alQur’an. Adapun mengenai sumber-sumber majaz secara umum adalah bersumber dari tradisi masyarakat Arab yang sudah terbiasa dengan tradisi sastra yang sangat tinggi. Tradisi masyarakat Arab yang memiliki peran penting ini setidaknya disebabkan beberapa faktor, yakni: Pertama; Kondisi Geo-Kultural. Secara garis besar penduduk Arab terdiri dari dua kelompok. Pertama, kaum Baduwi yang tinggal di padang pasir. Kedua, penduduk kota yang hidup di daerah subur. Adanya dua macam kondisi geografis yang berbeda ini mengakibatkan terjadinya
19
dualisme karakter penduduk, yaitu antara kaum Baduwi dan penduduk kota.8 Sementara itu bila dilihat dari asal usul keturunannya, penduduk Arab dapat dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu Qahthaniyun (keturunan Qahthan) yang mendiami wilayah bagian utara, dan Adnaniyun (keturunan Isma’il bin Ibrahim) yang mendiami wilayah bagian selatan. Tetapi lama kelamaan kedua golongan itu membaur karena terjadi perpindahan dari utara ke selatan, atau sebaliknya.9 Keadaan alam yang berupa gurun pasir, tandus dan kering sangat mempengaruhi watak dan sikap mereka yang tercermin dalam kebudayaan dan kepercayaannya. Mereka harus menjalani kehidupan yang keras dan lebih mengutamakan kekuatan fisik dalam menghadapi kenyataan. Kondisi yang tidak kondusif ini memaksa mereka untuk hidup berpindah-pindah, atau nomad.10 Dalam kajian antropologi, hidup yang tidak menetap dan selalu berpindah-pindah untuk memenuhi hajat hidupnya dikenal dengan istilah primitive farming, yaitu pertanian berpindah-pindah.11 Kebiasaan ini seringkali menyebabkan timbulnya perselisihan antara satu kabilah dengan kabilah lainnya untuk merebut pintu rejeki berupa padang rumput dan mata air. Menghadapi kenyataan ini mereka dipaksa untuk memiliki sifat keberanian dalam membela diri.12 Di samping itu, kerasnya kondisi gurun pasir juga membuat mereka sering menghadapi rasa putus asa dan ketakutan. Maka untuk meneguhkan hatinya mereka mempercayai takhayyul dan dewa-dewa yang dianggap dapat memberikan keteguhan, kekuatan dan kemakmuran. Mungkin inilah salah satu alasan mengapa manusia itu beragama? Secara antropologis, agama menambah kemampuan manusia untuk menghadapi 8
Effat al-Sharqawi, Filsafat Kebudayaan Islam, A. Rafi’ Ustmani (terj.), Pustaka, Bandung, 1986, hlm. 37. 9 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000, hlm. 9. 10 Badri Yatim dan H. D. Sirojuddin AR, Sejarah Kebudayaan Islam I, DEPAG RI, Jakarta, 1995, hlm. 35. 11 Enok Maryani dan Nunung Farida, Antropologi, PT. Grafindo Media Pertama, 1997, hlm. 27. 12 A. Latif Osman, Ringkasan Sejarah Islam, Widjaya, Jakarta, 2000, hlm. 24.
20
kelemahan hidupnya. Agama dapat memberi dukungan psikologis waktu terjadi tragedi, kecemasan dan krisis. Agama juga memberi kepastian dan arti bagi manusia, karena secara naturalistis nampaknya di dunia ini penuh dengan hal-hal yang probabilistis.13 Suku Nomad padang pasir tidak mempunyai agama formal atau doktrin tertentu. Mereka menganut apa yang disebut dengan humanisme suku, dimana yang paling penting adalah keunggulan manusia dan kehormatan sukunya.14 Keadaan ini berbeda dengan penduduk kota Makkah. Karena mereka tinggal di sebuah kota dan sibuk dengan perdagangannya, maka mereka memerlukan agama formal. Apalagi bagi kelas bawah yang mengalami kesulitan materi yang disebabkan oleh ketimpangan dalam distribusi kekayaan, sehingga mereka memerlukan semacam ketenangan spiritual. Sementara masyarakat pertanian mengembangkan pemujaan dan peribadatannya sendiri yang dikaitkan dengan kesuburan. Pemujaan ini secara perlahan berkembang dari bentuk yang abstrak menjadi bentuk yang konkrit. Seorang sejarawan muslim, al-Syahrastani mengatakan, di sekitar Ka’bah terdapat 360 berhala, yang paling terkenal adalah Hubal yang dibawa oleh Amr bin Lahi dari Belka di Syiria ke Arabia dengan tujuan agar bisa mendatangkan hujan ketika diminta. Tiga patung tuhan lainnya yang terkenal di Makkah adalah Manat, Lata dan Uzza. Tor Andrae mengatakan bahwa persembahan buat ketiga tuhan (dewa) tersebut sudah berlangsung lama. Dengan menilik namanya, Manat yang dipuja oleh suku Hudzail yang suka berperang dan mengarang puisi serta tinggal di selatan Makkah nampaknya ia menjadi model dewa perempuan yang menentukan nasib dan keberuntungan. Sedangkan Lata dikenal pada masa Heroditus, dan bermakna “Dewi”.
Roger M. Keesing dan Samuel Gunawan, Antropologi Budaya: Suatu Perspektif Kontemporer, R.G. Soekadijo (terj.), Erlangga, Jakarta, 1992, hlm. 93. 14 W. Montgomery Watt, Muhammad: Prophet and Statesman, London: tp, 1961, hlm. 51. Lihat dalam A. Muzakki dan Syuhadak, Bahasa dan Sastra dalam al-Qur’an, UIN Malang Press, Malang, 2006, hlm. 5. 13
21
Dalam sejarah Arab, Lata mempunyai kedudukan sebagai dewi Semit garis ibu, kesuburan dan langit, terutama di kawasan Semit barat. Dan Uzza yang berarti perkasa dan terhormat berada di Nakla. Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa ketiga patung tuhan itu adalah perempuan. Ketiganya dikaitkan dengan ritus kesuburan tanah atau pemujaan ibu yang berasal dari wilayah utara atau negara-negara Mediterranian. Sementara di Makkah sistem patriarki lebih menonjol, sehingga sistem matrilinial secara struktural tidak menjadi bagian dari masyarakat. Dalam masyarakat seperti ini, dimana superioritas laki-laki telah berlangsung lama, tuhan-tuhan perempuan ini tidak mungkin dipuja dalam upacara meminta kesuburan. Satu-satunya kesimpulan yang bisa dikemukakan adalah bahwa tuhan-tuhan tersebut berasal dari daerah yang di situ pertanian sangat menonjol, yaitu kawasan subur di utara.15 Sekalipun mereka menyembah berhala, namun para sejarawan Muslim tidak memberikan predikat kepada orang-orang Arab yang kafir dengan sebutan paganisme mumi, tetapi sebagai orang-orang musyrik, yaitu orang-orang yang mempersekutukan roh-roh setempat dengan Tuhan. Mereka mempunyai suatu keyakinan bahwa menyembah berhala itu bukan menyembah kepada wujudnya, tetapi hal tersebut dimaksudkan sebagai perantara untuk menyembah Tuhan. Kondisi ini dilukiskan dalam al-Qur’an: “Kami tidak menyembah kepada mereka, tetapi hanya agar mereka mendekatkan diri kepada Tuhan sedekat-dekatnya” (QS. [39]: 3). Demikian
keadaan
masyarakat
Arab
menjelang
lahirnya
Muhammad saw. yang membawa Islam. Masa itu biasa disebut dengan zaman jahiliyah, masa kegelapan dan kebodohan dalam hal agama, bukan hal yang lain, seperti ekonomi, perdagangan dan sastra. Dalam dua hal terakhir itu bangsa Arab telah mencapai perkembangan yang pesat. Makkah bukan saja merupakan pusat perdagangan lokal, tetapi jalur perdagangan dunia yang penting saat itu, yang menghubungkan antara 15
hlm. 6-7.
W. Montgomery Watt, ibid, hlm. 50. Lihat dalam A. Muzakki dan Syuhadak, Ibid.,
22
utara (Syam) dan selatan (Yaman), serta antara timur (Persia) dan barat (Abenisia dan Mesir). Keberhasilan Makkah menjadi pusat perdagangan internasional seperti itu disebabkan oleh karena kejelian Hasyim pada sekitar abad ke-6 M dalam mengisi kekosongan peranan bangsa lain di bidang perdagangan di Makkah. Kebiasaan mengembara membuat mereka senang hidup bebas tanpa aturan yang dapat mengikat kemauannya. Karena itu mereka menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan. Namun di balik watak ini mereka memiliki jiwa seni yang sangat halus dalam bidang sastra (syair). Kepandaian dalam menggubah syair merupakan kebanggaan, karena setiap kabilah akan memposisikan pada tempat yang terhormat. Maka tidak heran kalau pada masa itu muncul para penyair ternama, semisal Umru’ al-Qais, al-Nabighah al-Dzubyani,, Asya, Harits bin Hillizah alYasykari, Antarah al-Absi, Zuhair bin Abi Sulma, Lubaid bin Rabi’ah dan lainnya. Mereka biasanya mengekspresikan syairnya di pasar Ukaz yang terletak di antara Tha’if dan Nakhlak. Syair-syair yang berkualitas tinggi kemudian disebut muaqat, karena syair-syair tersebut digantung di sekitar Ka’bah sebagai hasil karya sastra yang bermutu.16 Masyarakat jahiliyah, baik yang nomadik maupun yang menetap hidup dalam budaya kesukuan. Organisasi dan identitas sosial berakar pada keanggotaan dalam satu rentang komunitas yang luas. Antara anggota suku terjalin hubungan darah. Setiap orang yang mempunyai hubungan darah -baik secara riil maupun hanya dugaan belaka- berhak untuk memperoleh perlindungan. Watak dan loyalitas kesukuan ini, oleh Ibn Khaldun disebut sebagai Ashabiyah yang menjadi faktor penting dalam membentuk kelompok politik yang solid. Menurutnya, Ashabiyah tidak hanya meliputi satu keluarga saja yang satu sama lainnya dihubungkan oleh tali kekeluargaan, tetapi meliputi hubungan yang
16
Abdul Aziz bin Muhammad al-Faishal, al-Adab al-Arabi wa Tarikhuhu, al-Mamlakah al-Arabiyah al-Su’udiyah, Riyadh, 1405 H, hlm. 75. Lihat dalam A. Muzakki dan Syuhadak, Ibid., hlm. 8-9.
23
timbul akibat terjadinya persekutuan.17 Di kalangan suku sering terjadi konflik atau ghazwa (perang antar suku). Di antara penyebabnya adalah perselisihan untuk merebut kepemimpinan, kekuasaan, kekuatan dan sebagainya. Perselisihan itu tidak menjadi padam dengan berakhirnya perang. Tetapi peristiwa tersebut kemudian diekspresikan dalam bentuk gubahan syair yang dapat membangkitkan semangat suku. Kedua; Kehidupan Arabia. Risalah yang dibawa Nabi saw. memiliki keterkaitan yang erat dengan dunia perniagaan masyarakat Arab kota ketika itu. Tanah air pertama Islam, Makkah merupakan pusat perniagaan yang sangat makmur. Sementara Yatsrib (kemudian berubah nama menjadi Madinah) adalah oase kaya yang juga merupakan kota niaga, sekalipun tidak sebesar Makkah. Meskipun Madinah memiliki peran sentral yang amat vital dalam evolusi eksternal misi kenabian Muhammad, namun komersial Makkah lah yang tampaknya paling mendominasi ungkapan-ungkapan dalam al-Qur’an. Kafilah-kafilah dagang yang biasanya pergi ke selatan di musim dingin, dan ke utara di musim panas dirujuk dalam al-Qur’an (106;2). Rute ke selatan adalah Yaman, dan ke utara adalah ke Syiria. Di tangan kafilah-kafilah dagang inilah orang-orang Makkah mempertaruhkan eksistensinya yang asasi. Perdagangan dan urusan-urusan finansial yang bertalian dengannya sangat menjanjikan bagi penghasilan penduduk kota Makkah. Bahkan, secara ekonomis hampir setiap orang menaruh minat yang besar pada kafilah-kafilah dagang. Penjarahan atas suatu kafilah ataupun musibah lain yang menimpanya merupakan pukulan berat dan bencana bagi penduduk kota tersebut. Itulah sebabnya, supaya keamanan kafilah-kafilah terjamin maka orang-orang Quraisy harus melakukan
Zainab al-Khudhairi, Filsafat Sejarah Ibn Khaldun, (Ahmad Rafi’ Utsmani (terj.), Pustaka, Bandung, 1995, hlm. 143. 17
24
negoisasi dengan negara-negara tetangga dan menjalin hubungan baik dengan suku-suku pengembara di berbagai bagian rute perniagaan.18 Meskipun kata tajir (pedagang) tidak digunakan dalam al-Qur’an, tetapi kata yang berakar sama, yaitu tijarah (perniagaan) disebutkan sebanyak sembilan kali. Perniagaan merupakan tema sentral dalam kehidupan yang tercermin dalam perbendaharaan kata yang digunakan dalam kitab suci tersebut,19 dengan mengutip C. C. Torry yang telah melakukan penelitian, khusus mengenai The Commercial-Theological Terms in the Koran, menyimpulkan bahwa istilah-istilah perniagaan digunakan dalam kitab suci tersebut untuk mengungkapkan butir-butir doktrin yang paling mendasar, bukan sekedar kiasan ilustratif. Ia menganalisis terma-terma perniagaan dalam kategori-kategori sebagai berikut; term-term matematik (hisab, al-luib, ahsha), takaran dan ukuran (wazana, mizan, tsaqula, mitsqal), pembayaran dan upah (jaza, tsawwaba, tsawab, waffa, afa, kasaba), kerugian dan penipuan (khasira, bakhasa, zilalama, alata, naqsuha), jual-beli (syird’, isytara, tijarah, tsaman, rabiha), serta pinjam-meminjam dan jaminan (qardl, aslafa, rahin). Ungkapan-ungkapan di dunia perniagaan memang menghiasi lembaran-lembaran al-Qur’an dan digunakan untuk mengungkapkan ajaran Islam yang asasi. Hisab, suatu istilah yang lazim digunakan untuk perhitungan untung-rugi dalam dunia perniagaan muncul di beberapa tempat dalam al-Qur’an sebagai salah satu nama hari kiamat (yaum alhisab), ketika perhitungan terhadap segala perbuatan manusia dilakukan dengan cepat (sari al-hisab). Sementara kata hisab (pembuat perhitungan) dinisbatkan kepada Tuhan dalam kaitannya dengan perbuatan manusia. Setiap orang akan bertanggungjawab atas segala perbuatan yang telah dilakukannya. Perbuatan baik dan direstui akan memperoleh imbalan atau upah. Sebaliknya, perbuatan buruk dan dikutuk akan diganjar azab neraka. 18
Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001, hlm. 12. 19 W. Montgomery Watt, Pengantar Qur’an, INIS, Jakarta, 1998, hlm. 5.
25
Ungkapan lain yang lazim digunakan dalam masyarakat niaga Makkah, seperti menjual (bay’) dan membeli (isytara) pada umumnya digunakan al-Qur’an untuk mengungkapkan gagasan-gagasan keagamaan Islam yang mendasar. Lihatlah beberapa ungkapan yang dipakai dalam alQur’an, misalnya al-Qur’an mengungkapkan bahwa orang-orang yang tidak beriman dikatakan telah membarter (isytarau) kesesatan dengan petunjuk (QS. [2]: 16), atau kekafiran dengan keimanan (QS. [3]: 177). Lebih jauh, kata bay’ di beberapa tempat dalam al-Qur’an Juga dihubungkan dengan pengadilan akhirat, dan disebutkan bahwa pada hari itu tidak ada lagi transaksi (QS. [2]: 254 dan QS. [14]: 31). 20 Sekalipun orang-orang Makkah sibuk dengan aktivitas niaganya, mereka tetap mempertahankan ciri pengembaraannya. Baru beberapa generasi mereka meninggalkan kehidupan nomadik untuk menetap di Makkah, dalam rentang waktu yang belum begitu lama ini tentunya belum dapat mengubah karakter tersebut. Kesibukan rata-rata orang Arab dalam dunia bisnis bisa juga dikaitkan dengan pandangan dunia nomadik mereka tentang
kehidupan.
Orang-orang
yang
menaruh
perhatian
pada
kebudayaan Arab akan mengenal realisme sederhana yang mencirikan weltanshhaung (pandangan dunia) Arab. Realisme ini bertalian secara intim dengan iklim padang pasir yang kejam.21 Bagi orang Arab, dunia yang fana ini merupakan satu-satunya dunia yang eksis. Eksistensi di luar batas dunia merupakan hal yang nonsen. Konsepsi tentang eksistensi yang secara khas mencirikan pandangan dunia masyarakat Arab ini direkam dalam berbagai bagian alQur’an. “Mereka berkata, kehidupan kita hanyalah di dunia ini, kita mati dan kita hidup serta tidak ada yang membinasakan kita kecuali musa”. (QS. [45] : 24) Kemungkinan akan dibangkitkannya manusia dalam kehidupan mendatang sama sekali merupakan konsepsi yang asing dan berada di luar benak mereka. Konsepsi pesimistik tentang kehidupan di 20 21
Taufik Adnan Amal, op. cit., hlm. 14. Taufik Adnan Amal, Ibid., hlm. 15.
26
muka bumi ini memiliki implikasi yang jauh menjangkau dalam kehidupan padang pasir. Pengejaran terhadap kenikmatan semu duniawi yang dilakukan dengan berbagai cara merupakan fenomena umum di Arabia. Jika kehidupan hanya terbatas di dunia dan suatu ketika masa akan membinasakan manusia, maka solusi paling realistik adalah hedonisme. Bahkan, dalam konsepsi pagan Arab, penumpukan kekayaan dalam
rangka
pengejaran
kesenangan
duniawi
dipandang
bisa
memberikan kehidupan abadi (khulud). Kejamnya kehidupan di padang pasir juga turut mendominasi tamsilan dalam al-Qur’an. Kejadian hari kiamat misalnya, digambarkan laksana gunung-gunung yang berubah menjadi tumpukan pasir yang beterbangan (QS:73;14). Situasi semacam ini juga ditamsilkan al-Qur’an sehubungan dengan perbuatan orang-orang kafir. Dikatakan, bahwa “amalan-amalan mereka laksana fatamorgana yang dari jauh terlihat seperti sumber air, tetapi ketika mereka sampai di sana tidak terdapat sesuatu pun kecuali Allah” (QS. [24]: 39). Dalam kaitannya dengan eskatologis, al-Qur’an seringkali menggunakan bahasa metaforis, karena ia memiliki kekuatan yang bisa mempertemukan antara ikatan emosional dan pemahaman kognitif sehingga seseorang dimungkinkan untuk mampu melihat dan merasakan sesuatu yang berada jauh di belakang teks. Contoh lain, bagaimana al-Qur’an menggambarkan siksa neraka dan keindahan surga. Neraka digambarkan bagaikan perkampungan api sementara penghuninya terkurung dan tidak bisa melarikan diri. Dan surga disajikan dengan gambaran taman yang rindang beserta para bidadari yang amat menawan yang telah menanti kedatangan calon penghuni surga. Menurut analisa psikolinguistik, metafor dan bahasa ikonografik yang disajikan alQur’an sangat efektif untuk menghancurkan kesombongan masyarakat jahiliyah Arab kala itu yang tingkat sastranya dikenal sangat tinggi.22
Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik, Paramadina, Jakarta, 1996, hlm. 83. 22
27
Lantaran tekanan populasi yang berkesinambungan terhadap persediaan makanan, maka perjuangan untuk mempertahankan eksistensi melawan musuh tidak pernah berakhir. Untuk menghadapi musuh dan melawan keganasan alam mereka menyatukan dirinya ke dalam kelompok atau suku yang biasanya didasarkan pada pertalian darah. Kesetiakawanan kesukuan memang merupakan prasyarat mutlak dalam kehidupan liar di padang pasir. Tanpa solidaritas yang tinggi, tidak ada harapan bagi siapa pun untuk meraih keberhasilan dalam mempertahankan eksistensi di tengah-tengah iklim dan kondisi sosial padang pasir yang kejam. Dalam kondisi padang pasir yang serba sulit, merupakan hal amat mulia jika kedermawanan diberi tempat tinggi dalam daftar kebajikan utama. Dalam pandangan mereka, kedermawanan bertalian erat dengan konsep kemuliaan, dan bahkan dianggap sebagai bukti kemuliaan sejati seseorang. Juga dengan memegang janji, ia merupakan salah satu kebajikan tertinggi lainnya yang paling khas. Kebajikan memegang janji memanifestasikan dirinya dalam kerelaan seseorang untuk berkorban nyawa tanpa pamrih demi membela sesama anggota suku karena secara primordial ia terikat dengan janji dan kehormatan untuk melakukan hal itu. Hal-hal yang bertalian dengan kehormatan di kalangan orang Arab ini kemudian memiliki kedudukan penting sebagai latar historis untuk memahami berbagai gagasan moral dalam al-Qur’an.23 2). Sejarah Perkembangan Majaz Dalam kajian gaya bahasa Arab modern, konsep majaz lazim digunakan oleh para sarjana klasik sebagai lawan dari istilah haqiqah: Berkaitan dengan persoalan majaz, secara historis setidaknya ada tiga kelompok berbeda yang memposisikan majaz sebagai lawan dari haqiqah. Dalam sejarahnya telah terjadi perbedaan pendapat mengenai keberadaan majaz. Setidaknya ada tiga kelompok yang berseberangan, yakni: Pertama, Mu’tazilah yang secara dogmatis ajarannya banyak bersinggungan dengan
23
Taufik Adnan Amal, op. cit., hlm. 19.
28
majaz. Mereka menjadikan majaz sebagai senjata untuk memberikan interpretasi terhadap teks-teks yang tidak sejalan dengan pemikiran mereka. Kedua, Dzahiriyah, kelompok yang menolak keberadaan majaz baik dalam bahasa maupun dalam al-Qur’an, dan sebagai konsekuensi mereka juga menolak adanya ta’wil. Pada intinya mereka menentang dengan keras pemahaman terhadap teks yang melampaui bahasa. Dan ketiga, Asy’ariyah yang mengakui adanya majaz dengan persyaratanpersyaratan tertentu. Paling tidak mereka memposisikan diri secara moderat di antara dua kelompok di atas.24 Perbedaan pendapat berkenaan dengan eksistensi majaz dalam alQur’an disebabkan karena perbedaan analisis dan kesimpulan tentang asal usul bahasa. Kalangan Mu’tazilah berkeyakinan bahwa bahasa sematamata
merupakan konvensi
murni
manusia. Sementara kalangan
Dzahiriyah berkeyakinan bahwa bahasa merupakan pemberian Tuhan (tawqifi) yang diajarkan kepada Adam, dan setelah itu beralih kepada anak keturunannya. Berbeda dengan kelompok Asy’ariyah yang menyatakan, bahasa merupakan kreativitas manusia, akan tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa Tuhan juga berperan dalam memberikan kemampuan kepada manusia. Meminjam istilah Komaruddin Hidayat, secara garis besar terdapat tiga teori mengenai asal usul bahasa, yaitu; teologis, naturalis dan konvensionalis. Pendukung aliran teologis mengatakan, manusia bisa berbahasa karena anugerah Tuhan, pada mulanya Tuhan mengajarkan kepada Adam selaku nenek moyang seluruh manusia. Teori kedua, naturalis, beranggapan bahwa kemampuan manusia berbahasa merupakan bawaan alam, sebagaimana kemampuan untuk melihat, mendengar maupun berjalan. Dan teori ketiga, conventionalis, berpandangan bahwa
Nasr Hamid Abu Zaid, Naqd al-Khitab al-Diniy, Jumhuriyah Misr al-Arabiyah, Kairo, 1994, hlm. 122. Lihat dalam A. Muzakki dan Syuhadak, op. cit., hlm. 69-70. 24
29
bahasa pada awalnya muncul sebagai produk sosial. Ia merupakan hasil konvensi yang disepakati dan kemudian dilestarikan oleh masyarakat.25 Pertentangan mengenai asal usul bahasa jauh sebelum pemikir muslim pernah muncul dan menjadi polemik di kalangan filosof Yunani. Apakah bahasa itu dikuasai alam, nature atau fisei, ataukah bahasa itu bersifat konvensi atau nomos. Pendapat yang menyatakan bahwa bahasa adalah bersifat alamiah (fisei) yaitu bahasa mempunyai hubungan dengan asal usul, sumber dalam prinsip-prinsip abadi dan tak dapat diganti di luar manusia itu sendiri, dan karena itu tak dapat ditolak. Kaum naturalis dengan tokoh-tokohnya, seperti Cratylus dalam dialog dengan Plato mengatakan bahwa semua kata pada umumnya mendekati benda yang ditunjuk. Jadi ada hubungan antara komposisi bunyi dengan apa yang dimaksud. Bahasa bukanlah hanya bersifat fisis belaka, melainkan telah mencapai makna secara alamiah atau fisei. Sebaliknya, kaum konvensionalis berpendapat bahwa makna bahasa diperoleh dari hasil-hasil tradisi, kebiasaan berupa persetujuan bersama. Karena itu, bahasa dapat berubah dalam perjalanan zaman. Bahasa bukanlah pemberian Tuhan, melainkan bersifat konvensional. Demikian pendapat Hermogenes saat berdialog dengan Plato.26 Secara etimologis kata majaz tidak ditemukan dalam al-Qur’an, namun akar kata dari kata majaz, yaitu j-w-z, seperti jawwaza (memotong) dan tajawwaza (melewati) ada dalam al-Qur’an. Joseph van Ess, seperti yang dikutip Nur Kholis, menyatakan bahwa pada abad pertama Hijriyah kata majaz dalam kerangka argumentasi teologis, secara substantif telah dipergunakan. Pengertian substantif yang dimaksud adalah sebagai makna yang melewati batas-batas leksikal dan bukan arti yang sebenarnya: Salah satu contoh adalah interpretasi Joseph terhadap argumentasi-argumentasi teologis yang dikemukakan oleh Hasan Muhammad Ibn al-Hanafiyah (w. 100 H) yang dipahaminya sebagai 25
Komarudin Hidayat, op. cit., hlm. 29. Kaelan. M. S, Filsafat Bahasa: Masalah dan Perkembangannya, Paradigma, Yogyakarta, 1998, hlm. 28. 26
30
pemahaman majazi. Pemahaman Joseph terhadap ungkapan Ibn alHanafiyah berangkat dari paradigma yang dibangun Jahm ibn Safwan (w. 128 H) yang menyatakan, “niemand handle realiter aussr Gott allein”, Tidak ada yang bisa melakukan sesuatu kecuali Tuhan semata. Jahm berpendapat, bahwa kemampuan manusia melakukan sesuatu hanyalah merupakan ungkapan majazi, sehingga seolah-olah bisa dikatakan dalam ungkapan lain, “tumbuh-tumbuhan bergerak” atau “matahari terbenam”, yang sejatinya adalah Tuhan-lah yang melakukannya.27 Khususnya pada era Bani Umayyah, sulit untuk memisahkan antara argumentasi-argumentasi teologis dengan beberapa tendensi yang ada di luar tafsir dalam karya-karya tafsir klasik. Karena dalam sejarah kesarjanaan klasik telah didapatkan data sekaligus bahwa pemikiranpemikiran teologis begitu kuat mewarnai penafsiran al-Qur’an. Misalnya karya Abu Ubaidah (w. 207 H) yang berjudul Majaz al-Qur’an menurut banyak peneliti dianggap sebagai karya paling awal yang secara eksplisit menggunakan kata majaz. Kajian John Wansbrough terhadap karya Abu Ubaidah menemukan sebanyak 39 model dan jenis ungkapan yang kesemuanya disebut dengan majaz. Akan tetapi majaz yang dimaksud tidak ada hubungannya secara eksplisit dengan majaz dalam pengertian kajian sastra Arab modern. Adalah Abu Ziyad al-Farra’ (w. 210) seorang linguis yang beraliran Kuffah juga menggunakan dervasi kata majaz, yaitu tajawwuz (melampaui). Maksud tajawwuz di sini bisa berarti melampaui batas-batas leksikal dan gramatikalnya, tidak lagi terpaku pada makna dasar yang dimiliki sebuah kalimat. Misalnya ketika al-Farra’ menafsirkan ayat “famaa rabihat tijaaratuhum” (maka tidaklah beruntung perniagaan mereka) (QS. [2]: 16). Kalimat di atas menurut alFarra’ melampaui batas-batas aturan kebahasaan Arab keseharian. Pemakaian “perniagaan yang menguntungkan” itu tidak lazim, dan yang dipakai
adalah
“pedagang
yang
mendapatkan
untung
dalam
M. Nur Kholis Setiawan, al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar, ELSAQ Press, Yogyakarta, 2005, hlm. 183. 27
31
perniagaannya”, atau “perniagaan anda untung, dan perniagaan anda merugi”.28 Pengembangan konsep dari istilah majaz kemudian dilakukan oleh seorang teolog dan kritikus sastra berhaluan Mu’tazilah, adalah al-Jahiz (w. 155 H). Ia banyak mengembangkan teori bahasa dan filsafat bahasa. Karya berjudul al-Bayan wa al-Tabyin dan al-Hayawan merupakan karya yang memuat analisis teori bahasa yang mencerminkan pemikiran Mu’tazilah. Menurut al-Jahiz, majaz dipahami sebagai lawan dari haqiqah. Dalam karya-karyanya ia tidak hanya menggunakan satusatunya kata majaz sebagai konsep inti, tetapi ia juga menggunakan beberapa kata yang memiliki arti senada, seperti matsal dan isytiqaq yang dalam penggunaannya mengarah kepada makna sesuatu yang lain. Terkait dengan
majaz,
al-Jahiz
menetapkan
dua
persyaratan
sehingga
memungkinkan terjadinya peralihan makna; pertama, terdapat relasi atau hubungan antara makna leksikal dan makna hasil peralihan, dan kedua, peralihan makna tersebut merupakan hasil konvensi pengguna bahasa, bukan rekayasa individu. Juga seorang teolog yang beraliran Sunni, Ibn Qutaibah (w. 276 H) dalam karyanya yang berjudul Ta’wil Musykil al-Qur’an memuat beberapa pembahasan tentang konsep majaz. Secara teoritis ia membagi majaz dalam dua kategori; pertama majaz lafdzi dan kedua majaz ma’nawi. Ibn Qutaibah mendefinisikan majaz sebagai bentuk gaya tutur, atau seni bertutur. Untuk itu kata majaz yang dipergunakan mencakup peminjaman kata (isti’arah), perumpamaan (tamśil), resiprokal (maqlub), susun balik (taqdim wa ta’khir), eliptik (hadzf), pengulangan kata (tiqrar), ungkapan tidak langsung (ikhfa’), ungkapan langsung (idzhar), sindiran (kinayah), dan sebagainya.29 Menurut pengertian di atas, ungkap Qutaibah, dalam al-Qur’an banyak ditemukan kata majaz sebagai lawan dari haqiqah. Dalam hal ini 28
M. Nur Kholis Setiawan, Ibid., hlm. 189. Abd al-Fattah Lasyin, al-Bayan fi Dlau’i Asalib al-Qur’an, Dar al-Ma’arif, Beirut, 1985, hlm. 129. Lihat dalam A. Muzakki dan Syuhadak, op. cit., hlm. 75-76. 29
32
haqiqah dimengerti sebagai kata yang bermakna leksikal, atau makna apa adanya. Lebih jauh ia menyatakan, bahwa penolakan terhadap majaz dalam al-Qur’an berarti mayoritas ungkapan kalimat dalam al-Qur’an merupakan kebohongan, karena ia bukan pengertian yang sesungguhnya. Ketika majaz dipahami sebagai bentuk kebohongan, maka semua kata kerja yang dipakai untuk binatang dan tumbuhan adalah salah. Juga dengan ungkapan komunitas, karena manusia mengatakan pohon tumbuh besar, bukit berdiri tegak, dan sebagainya. Konsep majaz berikutnya dikembangkan oleh seorang ahli gramatika dan ahli filologi yang bernama Sibawaihi (w. 180 H). Ia menyatakan bahwa majaz adalah seni bertutur yang memungkinkan terjadinya perluasan makna. Tokoh gramatik lainnya yang juga memberikan kontribusi terhadap konsep majaz adalah al-Mubarrad (w. 286 H), ia mengatakan majaz merupakan seni bertutur dan berfungsi untuk mengalihkan makna dasar yang sebenarnya. Begitu pula dengan Ibn Jinni (w. 392 H), seorang linguis yang turut menguraikan definisi majaz. Ia mengatakan, majaz sebagai lawan dari haqiqah, dan makna haqiqah adalah makna dari setiap kata yang asli, sedangkan majaz adalah sebaliknya, yaitu setiap kata yang maknanya beralih kepada makna lainnya. Dan tidak ketinggalan, al-Qadi Abd Jabbar (w. 417 H), seorang teolog beraliran Mu’tazilah mengatakan, majaz adalah peralihan makna dari makna dasar atau leksikal ke makna lainnya yang lebih luas. Konvensi bahasa dan maksud penutur merupakan prasyarat terjadinya ungkapan majazi, dengan begitu Abd Jabbar membagi dua model majaz, yaitu majaz dalam konvensi dan majaz dalam maksud penutur.30 Selanjutnya, seorang ulama yang bernama Abd al-Qahir al-Jurjani (w. 471 H) melalui penalaran dua konsep yakni majaz versus haqiqah, ia mengatakan bahwa sebuah kata yang mengacu kepada makna asal atau makna dasar, tanpa mengundang kemungkinan makna lain disebut dengan haqiqah. Sedangkan majaz adalah ketika seseorang mengalihkan makna 30
M. Nur Kholis Setiawan, op. cit., hlm. 199.
33
dasar ke makna lainnya karena alasan tertentu, atau ia bermaksud melebarkan medan makna dari makna dasarnya. Secara teoritik, menurut al-Jurjani majaz adalah peralihan makna dari yang leksikal menuju yang literer, atau dari yang denotatif menuju yang konotatif. Secara implisit, definisi di atas mengacu pada pengertian majaz mufrad, yakni majaz dalam kosa kata, sekaligus ia menunjukkan jenis majaz yang kedua yaitu majaz dalam kalimat. Pembagian ini dilandasi pada pertimbangan bahwa seseorang bisa merangkai majaz baik dalam bentuk kosa kata maupun dalam bentuk kalimat. Dan penggunaan ini sangat bergantung pada konteksnya.31 Termasuk kategori ungkapan majaz yang pernah berkembang di kalangan sarjana muslim klasik adalah tasybih. Istilah tasybih pertama kali dipakai pada era al-Mubarrad (w. 286 H) dan Ibn al-Mu’taz (w. 296 H), meskipun kata tersebut juga muncul pada era al-Farra’ dan Abu Ubaidah, namun hanya sebatas sebagai tambahan penjelasan kebahasaan dan belum sampai pada pengertian sebagai diskursus ilmu bayan. Al-Jahiz (w. 255 H) misalnya, meskipun dalam banyak karya ia tidak menjadikan tasybih sebagai obyek kajiannya, namun ia sudah mengulas dan mempergunakannya sebagai penopang argumentasinya akan keindahan ungkapan al-Qur’an.32 Al-Mubarrad (w. 285 H) dalam karyanya yang berjudul al-Kamil memberikan ulasan tentang tasybih. Uraian al-Mubarrad dinilai oleh para kritikus sastra kontemporer sebagai sumbangan yang sangat berarti terhadap perkembangan tasybih dalam diskursus retorik Arab. Ia berpendapat, tasybih merupakan seni bertutur yang paling sering dipakai dalam bahasa Arab. Kajian khusus mengenai tasybih telah dilakukan oleh Ibn Abi Awn (w. 323 H), di mana ia tidak saja membahas tasybih secara komprehensif, melainkan juga pelbagai macam syair semenjak era klasik sampai era Abbasiyah. Dalam karyanya al-Tasybihat, ia menempatkan 31
M. Nur Kholis Setiawan, Ibid., hlm. 202. Fadlal Hasan Abbas, al-Balaghah Fununuha wa Afnanuha, Dar al-Furqan, Aman, 1987, hlm.18. Lihat dalam A. Muzakki dan Syuhadak, op.cit, hlm. 78-79. 32
34
ayat-ayat al-Qur’an sebagai pijakan dan basis keindahan serta kesempurnaan kemukjizatan al-Qur’an. Tetapi kajian tasybih secara spesifik sebagai elemen ilmu bayan dalam kerangka sebagai dogma kei’jazan al-Qur’an baru diangkat oleh al-Rummani (w. 386 H). Dibandingkan para sarjana sebelumnya, al-Rummani bukan saja membahas tasybih pada tataran teoritis tetapi ia sudah masuk bagaimana al-Qur’an bisa dilacak keindahan sastranya melalui tasybih. Embrio pemikiran tasybih di atas kemudian disempurnakan oleh Abd al-Qahir al-Jurjani (w. 471 H), di mana ia lebih menjelaskan perbedaan antara tasybih dan tamstil. Berkenaan dengan kajian tasybih maka pada tahapan berikutnya memunculkan tema sentral lainnya, yaitu isti’arah. Ia merupakan pengembangan dari tasybih, hanya saja perbedaannya kalau isti’arah harus salah satu dari tharafan tasybih yang muncul. Sastrawan Arab pertama kali menggunakan istilah isti’arah adalah Abu Amr bin al-’Auf (w. 154 H), kemudian diikuti oleh Ibn Qutaibah (w. 276 H), al-Mubarrad (w. 285 H), Tsa’lab (w. 291 H), Qadamah (w. 337 H), al-Jurjani (w. 366 H), al-Rumani (w. 384 H), Abu Hilal (w. 395 H), Ibn Rusyd (w. 463 H), dan Abd al-Qahir (w. 471 H), dan kemudian disempurnakan sehingga menjadi bagian dari ilmu al bayan pada masa al-Sakaki (w. 626 H).33 Al-Qur’an menggunakan isti’arah bukan hanya sekedar sebagai proses peminjaman kata, seperti lazimnya digunakan dalam syair Arab, tetapi juga meminjam persamaan yang bisa dicerna secara nalar, atau sebagai persamaan yang diambil berdasarkan kemiripan akal. Sehingga prinsip peminjaman dalam al-Qur’an ini dimaksudkan untuk menarik perhatian para pendengar dan pembaca al-Qur’an sebagai resiptornya. Selain tasybih dan isti’arah tema lain yang menjadi perbincangan adalah kinayah. Konsep ini telah muncul semenjak era Abu Ubaidah (w. 207 H), al-Farra’ (w. 210 H) dan al-Jahiz (w. 255 H). Penggunaan 33
hlm. 80.
Abd al-Fattah Lasyin, op. cit, hlm. 160. Lihat dalam A. Muzakki dan Syuhadak, Ibid.,
35
kinayah banyak dilakukan oleh mereka dalam hubungannya dengan ayatayat al-Qur’an. Hanya saja konsep yang mereka kembangkan belum ditemukan penjelasan yang mendetail, khususnya terkait dengan kritik sastra Arab. Mereka menggunakan kinayah sebatas sebagai perangkat penjelasan tanpa memasuki kepada kajian yang bersifat teoritis. Selain al-Mubarrad (w. 258 H), adalah al-Jurjani (w. 471 H) yang juga pernah melakukan kajian di mana ia menempatkan kinayah sejajar dengan format ungkapan puitik lainnya, seperti isti’arah, tasybih dan matsal sebagai elemen pembangun teori konstruksinya. Penjelasan alJurjani ini selaras dengan pembagian mengenai ungkapan, yakni makna dan makna dari makna. Makna adalah isi dari kosa kata yang bisa dipahami seseorang tanpa melalui perantara. Sedangkan makna dari makna adalah makna yang tidak bisa didapatkan langsung dari bunyi sebuah kata, melainkan melalui perangkat, dan perangkat tersebut di antaranya adalah isti’arah, tasybih, matsal, dan kinayah. C. Persinggungan Majaz Dengan Ta’wil Setelah kita memahami dua pembahasan pokok mengenai majaz di atas, yakni mengenai paradigma pengalihan makna bahasa dari makna denotatif (haqiqah) ke makna metafora (majaz), dan sejarah perkembangan majaz dalam tradisi Islam. Dari kedua pembahasan di atas kita dapat menemukan sebuah kongklusi bahwa pengertian majaz secara sederhana dapat diartikan sebagai sebuah kalimat bisa memiliki arti yang melampaui batas-batas leksikal dan gramatikalnya, sebagaimana ayat-ayat kejisiman Allah swt dalam al-Qur’an. Dengan demikian, majaz tidak lagi terpaku pada makna dasar yang dimiliki kalimat tersebut. Oleh karenanya, menurut hemat penulis, pada hakikatnya majaz lebih dekat bersinggungan dengan ta’wil, mengapa? Berbagai alasan kiranya pantas untuk disodorkan disini. Pertama; dimana antara keduanya memiliki korelasi yang sama, yaitu sama-sama mencari makna bathin dan melampaui batas-batas leksikal dan gramatikal
36
suatu ayat atau kalimat. Kita telah mengetahui sebuah fakta bahwa al-Qur’an mengandung banyak sisi, bahasa al-Qur’an mengandung prinsip-prinsip majazi yang terkadang berbeda dengan prinsip-prinsip nalar burhani. Secara umum fakta semacam ini telah kita dengan dalam bentuk ungkapan bahwa al-Qur’an
memiliki
ayat-ayat
muhkamat
dan
mutasyabihat,
terjadi
kontradiksi antara teks dan nalar. Dalam hal ini nalar Islam dituntut untuk menyelesaikan problem ini. Para ahli balaghah kemudian menciptakan konsep majaz untuk mengungkapkan kekhasan bayan al-Qur’an, sementara ulama ahli kalam menciptakan konsep ta’wil untuk menghilangkan kontradiksi antara teks dan nalar, dimana ta’wil berfungsi mengembalikan signifikansi yang hilang setelah al-Qur’an menggunakan bahasa yang bersifat metaforis (menggunakan bahasa yang tidak sesuai aslinya). Bahkan majaz dan ta’wil menjadi perhatian utama ulama kalam karena menjadi landasan pembahasan-pembahasan kalam.34 Kedua; selain alasan di atas, secara umum, ta’wil memang berbeda dengan tafsir. Ta’wil bisa dipahami sebagai sebuah kerja interpretasi bathiniyah (esoteric exegese) yang berkaitan dengan penafsiran makna bathin dan dimensi metaforis al-Qur’an. Ta’wil justru mengacu pada makna teks yang bersifat bathiniyah dan transendental. Yang signifikan bukan lagi bahasa teks maupun konteks historisnya, akan tetapi sebuah makna bathiniyah yang merupakan makna terdalam sebuah teks. Makna bathiniyah ini seringkali melampaui makna bahasa. Sementara tafsir berkaitan dengan interpretasi eksternal (exoteric exegese).35
34
Ali Harb, Hermeneutika Kebenaran, Sunarwoto Dema (terj.), LKiS, Yogyakarta, 2003,
hlm. 44. Lihat, Ilham B Seanong, Hermeneutika Pembebasan: Metodologi Tafsir al-Qur’an Menurut Hassan Hanafi, Teraju, Jakarta, 2002, hlm. 63-64. 35
37
Lebih lanjut, jika kita mengaitkan ta’wil dengan epistemologi Islam yang dilontarkan oleh Muhammad Abid al-Jabiri36 maka kita akan menemukan perbedaan struktur epistemologis di antara keduanya. Sebagai metodologi interpretasi al-Qur’an, tafsir sangat dipengaruhi oleh beberapa aspek metodologis dari Ushul Fiqh yang telah dirumuskan oleh al-Syafi’i. Di sini fiqih dan tafsir saling bersinggungan, sebab meskipun keduanya memiliki perbedaan dalam objek formal, namun keduanya berada pada kerangka epistemologi yang sama, yakni epistemologi al-bayan yang objek materialnya adalah al-Qur’an. Karena itu, dalam struktur epistemologi ilmuilmu keislaman, tafsir masuk dalam wilayah epistemologi bayani.37 Sementara dasar-dasar epistemologi ta’wil justru dapat dirujuk pada pemikiran al-Ghozali, bahkan jauh sebelum munculnya sufisme teoritik yang dikembangkan dalam filsafat illuminasi (al-Isyraqiyah). Berangkat dari proyek revitalisasi ilmu-ilmu agama (Ihya ‘Ulumuddin), al-Ghozali telah mengembangkan
suatu
konsep
teks
berdasarkan
pendirian
teologi
Asy’ariyyah mengenai al-Qur’an sebagai sifat Zat dan bukan perbuatannya. Dimensi sufistik dalam pemikiran al-Ghozali ini telah membantu memperluas konsep pemilihan antara sifat qadim dan sifat hadits kalam ke dalam dualisme lain berupa pembagian antara “yang lahir” dan “yang bathin” dalam melihat teks al-Qur’an.38 Dualisme ini kemudian diterapkan pula dalam memahami struktur alQur’an yang terbagi ke dalam dimensi lahir dan bathinnya. Dualisme ini bukan semata-mata pada pembagian makna dan dalalah-nya, sebagaimana yang populer dalam dunia sufi, tetapi juga pada taraf rangkaian dan struktur teks. Yang bathin adalah inti dan substansi yang dikandung teks, sementara 36
Muhammad Abid al-Jabiri dengan proyek besarnya “Kritik Nalar Arab” menemukan beberapa formasi Nalar Arab yang kemudian sangat mempengaruhi bangunan pemikiran Islam secara keseluruhan di belahan dunia Islam. Formasi Nalar Arab menurut al-Jabiry terbagi atas tiga formasi yaitu: Nalar Bayani, Nalar Burhany, dan Nalar Irfany. Nalar di sini dipahami sebagai epistemologi pemikiran. 37 Ilyas Supena, Membongkar Hegemoni Teks Dalam Tradisi Pemikiran Hukum Islam, Jurnal al-Ahkam, Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang, Volume XVI/Edisi I/April 2005, hlm. 67. 38 Ilyas Supena, Ibid., hlm. 67.
38
yang lahir, berupa bahasa kalam adalah kemasan luar yang membungkus teks dan melaluinya teks tampak komunikatif bagi pemikiran manusia. Pemilihan dimensi bathin dan lahir dalam kalam Tuhan ini menggambarkan struktur epistemologi ta’wil yang merupakan bagian dari epistemologi al-Irfân.39 Perbedaan struktur epistemologi di antara keduanya pada akhirnya membawa pula pada perbedaan metodologis. Jika dalam ta’wil dikenal istilah tafsir bil Isyari dan tafsir al-bathini, maka dalam tafsir dikenal istilah tafsir bi riwayah (bil ma’tsur) dan tafsir bi dirayah (tafsir bil ra’yi).40 Pada perkembangannya, tafsir seringkali dikaitkan dengan ilmu al-Qur’an yang lain semisal ilmu nasikh-mansukh, asbab al-Nuzul, muhkamat- mutasabihat, ‘Am-khas, dll. Semua itu nampaknya dikaitkan dengan fungsi-fungsi ilmu tersebut sebagai instrumen mediator bagi kerja-kerja penafsiran. Sementara ta’wil pada perkembangannya menunjukkan penekanan pada proses refleksi, ijtihad (dirayah) dalam proses penafsiran, oleh karenanya mensyaratkan adanya gerak nalar (mental intelektual).41 Selain itu ta’wil justru memberikan prioritas yang besar pada kesadaran intuitif mufassir.
39
Menurut al-Ghazali, kalam illahi adalah sifat qadim zat yang harus dibedakan dari penampakannya (tajalli) dalam bentuk al-Qur’an yang dibaca sebagai teks. Teks yang dapat dibaca secara lisan atau yang tertulis dalam mushaf hanya merupakan penuturan sifat kalam yang qadim. Lihat Ilyas Supena, Ibid., hlm 67-68. 40 Penjelasan selengkapnya lihat Ilyas Supena, Ibid., hlm. 70-71. 41 Ilham B. Seanong, op. cit., hlm. 62-63.