BAB II LEMBAGA LEGISLATIF INDONESIA SEBELUM AMANDEMEN UNDANG-UNDANG DASAR 1945
2.3. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Pembahasan mengenai badan legislatif di Indonesia dalam masa berlakunya Undang-Undang Dasar 1945 akan diawali dengan membahas Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) terlebih dahulu. Lembaga MPR hanya ada di Indonesia, yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1, 2, dan 3. Yang membedakan lembaga ini dengan lembaga legislatif lainnya adalah anggota-anggotanya yang terdiri dari anggota DPR RI ditambah dengan utusanutusan daerah dari setiap provinsi di Indonesia. 42 Sebelum terbentuk MPR, seperti diketahui UUD 1945 berlaku sejak tanggal 18 Agustus 1945 yang ditetapkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Ketentuan UUD 1945 yang terkait dengan keberadaan MPR terdapat dalam rumusan Pasal 1 ayat (2), Pasal 2, dan Pasal 3. 43 Akan tetapi, ketentuan-ketentuan di dalamnya tidak dilaksanakan sepenuhnya. Melihat kenyataan tersebut, beberapa lembaga negara yang sudah diatur dalam beberapa Pasal UUD 195 belum dapat dibentuk termasuk di dalamnya adalah MPR. Salah satu jalan keluar yang berhasil dirumuskan oleh PPKI adalah ditetapkannya Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945, yang berbunyi: 44
42
Drs. H. Inu Kencana Syafie, M.Si.,dkk, Sistem Pemerintahan Indonesia, Jakarta, PT Rineka Cipta, 2002, hal.53. 43 A.M. Fatwa, Melanjutkan Reformasi Membangun Demokrasi: Jejak Langkah Parlemen Indonesia Periode 1999-2004, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada 2004, hal. 37. 44 Sri Soemantri, Ketetapan MPR(S) Sebagai salah satu Sumber Hukum Tata Negara, Remadja Karya, Bandung, 1985, hal. 11
Universitas Sumatera Utara
Sebelum Majelis Permusyawaratan Raktarm Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Pertimbangan Agung dibentuk menurut Undang-Undang Dasar ini, segala kekuasaannya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan Komite Nasional
Adanya ketentuan dalam Aturan Peralihan memang dibutuhkan mengingat Indonesia masih berada pada zaman revolusi yang segala sesuatunya masih bersifat darurat sehingga tidak ada ketentuan yang mengatur pembentukan lembaga legislatif. Dijalankan. Dengan berdasarkan pasal tersebut, maka seluruh kegiatan legislatif dijalankan oleh Presiden dibantu oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). KNIP dilantik oleh Presiden Soekarno pada tanggal 29 Agustus 1945 dengan beranggotakan sekitar 60 orang dan kemudian berkembang menjadi 539 orang pada tahun 1949. 45 Tugas dan wewenang KNP dirumuskan dan ditetapkan oleh PPKI pada tanggal 22 Agustus 1945. Secara rinci PPKI merumuskan tugas KNIP sebagai berikut: 46 a. Menyatakan kemauan rakyat Indonesia untuk hidup sebagai bangsa yang merdeka. b. Mempersatukan rakyat dari segala tempat di seluruh Indonesia, persatuan kebangsaan yang bulat dan erat c. Membantu menentramkan rakyat dan turut menjaga keselamatan uum. d. Membantu pemimpin dalam menyelenggarakan cita-cita bangsa Indonesia dan di daerah untuk kepentingan umum. e. Komite Nasional Pusat memipin dan member petunjuk kepada Komite Nasional Daerah
45 46
Fatwa, Op. Cit., hal. 38. Ibid, hal. 39-40.
Universitas Sumatera Utara
Seiring perkembangannya, fungsi dan wewenang KNIP menjadi lebih luas dengan dikeluarkannya Maklumat Wakil Presiden Nomor X. 47 Maklumat Wakil Presiden menjadikan KNP semakin kuat karena memiliki tugas dan wewenang yang besar. Isi Maklumat Wakil Presiden Nomor X adalah sebagai berikut 48: a. Sebelum terbentuk MPR dan DPR, KNP diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan garis-garis besar haluan negara. b. Berhubung dengan gentingnya keadaan, pekerjaan sehari-hari KNP dijalankan oleh sebuah badan pekerja yang anggotanya dipilih dari dan oleh anggota KNP dan bertanggung jawab kepada KNP. Mengingat tugas dan wewenangnya yang ikut menetapkan GBHN, maka KNP dapat disebut sebagai “embrio” MPR karena memiliki tugas dan wewenang yang kemudian menjadi tugas dan wewenang MPR sesuai Pasal 3 UUD 1945. Namun sejak berlakunya UUD 1945, Indonesia memusatkan kekuatannya untuk mempertahankan dan membela kemerdekaannya, sehingga UUD 1945 belum dapat dilaksanakan dengan baik. Kegiatan KNIP kemudian berhenti setelah dikeluarkannya Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959.49
2.3.1. Konstituante masa Konstitusi RIS dan UUD 1950 (1949-1959) Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) setelah diadakan Konferensi Meja Bundar karena Belanda masih berusaha untuk menduduki beberapa wilayah Indonesia. Status Konstitusi RIS masih bersifat sementara sampai disusunnya konstitusi yang permanen. Terkait dengan lembaga permusyawaratan rakyat pada
47
Ibid Ibid 49 Abdy Yuhana, Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945; Sistem Perwakilan di Indonesia dan Masa Depan MPR, Fokus Media, Bandung, 2013, hal. 79. 48
Universitas Sumatera Utara
masa itu, dalam konstitusi RIS dikenal lembaga Konstituante yang memiliki tugas dan wewenang MPR yaitu menetapkan UUD. Sistem pemerintahan Konstitusi RIS adalah parlementer dan pemegang kedaulatan menurut Konstitusi RIS Lembaga Konstituante merupakan gabungan dari DPR dan Senat.50 Kondisi Negara RIS yang berada di bawah tekanan Belanda menyebabkan penolakan dan gugatan di beberapa daerah yang mengakibatkan pembubaran Negara RIS menjadi Negara Kesatuan. Konstitusi RIS juga tidak berlaku lagi diganti UndangUndang Dasar Sementara (UUDS) 1950.51 UUDS mengatur lembaga permusyawaratan dengan nama yang sama dengan Konstitusi RIS yaitu Konstituante. Tugas Konstituante diatur dalam Pasal 134 UUDS 1950 yang isinya sama dengan Pasal 187 Konstitusi RIS. Anggota Konstituante dipilih oleh rakyat dengan ketentuan seorang anggota mewakili 150 ribu jiwa penduduk. 52 Pada tahun 1955 diselenggarakan pemilu untuk pertama kali dalam sejarah Indonesia. Jumlah seluruh anggota Konstituante yang terpilih adalah 514 orang dengan tambahan 30 orang yang mewakili golongan minoritas (Cina, Eropa, dan wilayah yang masih dikuasai Belanda yaitu Irian Jaya). Anggota Konstituante dilantik pada tanggal 10 November 1956 dengan masa kerja selama hampir tiga tahun. Selama masa kerjanya, Konstituante telah mengadakan tujuh kali sidang pleno, dua di antaranya adalah rapat alat kelengkapan Konstituante untuk membahas rancangan Undang-Undang Dasar. 53 Konstituante menghasilkan 12 keputusan tentang materi-materi konstitusi dengan 157 pokok perumusan soal-soal dan pasal untuk UUD yang sedang disusun.
50
Samsul Wahidin, MPR RI dari Masa ke Masa, Jakarta, Bina Aksara, 1986, Hal. 93. Fatwa, Op. Cit., Hal. 42. 52 Ibid 53 Ibid, hal. 43 51
Universitas Sumatera Utara
Konstituante dibubarkan oleh Presiden Soekarno dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. 54 Bersamaan dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden, UUD 1945 diberlakukan kembali dan kemudian dibentuk MPR Sementara (MPRS) dan DPA Sementara.
2.3.2. MPRS masa Demokrasi Terpimpin pada tahun 1960-1965 MPRS dibentuk dengan Penetapan Presiden Nomor 2 tahun 1959 sebagai pelaksanaan dari Dekrit Presiden 5 Julli 1959 yang menetapkan empat hal yaitu, pertama pembubaran konstituante, kedua menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 agar berlaku kembali, ketiga pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, dan keempat pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara. 55 Susunan keanggotaan Majelis ditetapkan dengan Peraturan Presiden Nomor 12 tahun 1959 dengan ketentuan anggota DPR Gotong Royong sebanyak 94 orang dan utusan Golongan Karya sebanyak 232 orang 56. Pimpinan MPRS bersifat melembaga tetapi tidak terlepas dari pengaruh presiden karena pimpinan diberi predikat menteri yang berarti pembantu Presiden. Menteri pada masa ini diartikan sebagai pembantu presiden dan Ketua MPR sendiri berpredikat sebagai Wakil Perdana Menteri. Cara mengambil keputusan pada Sidang Umum MPR adalah berdasarkan musyawarah untuk mencapai mufakat dengan kemungkinan campur tangan Presiden sebagaimana diatur dalam Ketetapan MPRS No. VIII/MPRS/1965. Dalam ketetapan ini disebutkan bahwa apabila setelah diusahakan tetapi musyawarah untuk mufakat tidak tercapai maka masalahnya 54
Ibid, hal. 45. Soemantri,Op. Cit., hal. 26. 56 Golongan Karya pada masa ini bukanlah Golongan Karya yang dibentuk pada tahun 1964 dan menjadi peserta Pemilu 1971 dst dan juga bukan Partai Golkar yang menjadi peserta Pemilu 1999 sampai saat ini. Budiardjo, Op. Cit., hal. 202. 55
Universitas Sumatera Utara
diserahkan kepada Pimpinan MPRS. Dengan demikian tidak ada kemungkinan untuk mengambil keputusan dengan persetujuan suara terbanyak. 57 MPRS tidak dapat melaksanakan tugas dan wewenangnya seperti dinyatakan UUD 1945 karena anggota MPRS yang berasal dari DPR tidak dipilih langsung oleh rakyat, tetapi diangkat Presiden. MPRS hanya dapat menetapkan GBHN tetapi tidak dapat mengubah UUD 1945. 58 MPRS pada masa Demokrasi Terpimpin telah melaksanakan sidang sebanyak tiga kali.
Dalam tiga kali Sidang Umum telah dihasilkan delapan
ketetapan, yaitu Ketetapan Nomor I sampai dengan VIII dengan perincian dua ketetapan pada Sidang Umum I ( tanggal 19 November-3 Desember 1960), dua ketetapan pada Sidang Umum II (tanggal 15-22 Mei 1963), dan empat ketetapan pada Sidang Umum III (11-16 April 1965). Hal yang penting dalam ketetapan tersebut adalah Ketetapan Nomor I/MPRS/1960 mengenai Manifesto Politik RI sebagai Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan Ketetapan Nomor VIII/MPS/1965 perihal prinsip musyawarah untuk mufakat dalam Demokrasi Terpimpin sebagai pedoman bagi lembaga permusyawaratan/perwakilan. Di samping itu Majelis juga telah menghasilkan beberapa resolusi, keputusan, dan nota. 59 Terkait dengan MPR, MPRS menetapkan tugas dan wewenang MPR yang diatur dalam UUD 1945 adalah sebagai berikut 60: a. Melakukan sepenuhnya kedaulatan rakyat (Pasal 1 ayat (2)) b. Menetapkan/mengubah UUD (Pasal 3)
57
Ibid. Ismail Sunny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Jakarta, Aksara Baru, 1977, hal. 229. 59 Ibid. 60 Fatwa, Op. Cit., hal. 50. 58
Universitas Sumatera Utara
c. Menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara (Pasal 3) d. Memilih dan mengangkat Presiden maupun Wakil Presiden. (Pasal 6 dan Penjelasan UUD 1945 tentang Sistem Pemerintahan Negara ayat 3).
2.1.2. MPRS masa Demokrasi Pancasila pada tahun 1966-1971 Keberadaan MPR pada awal periode ini masih bersifat sementara karena susunan keanggotaannya masih belum mengacu pada UUD 1945. Hal tersebut disebabkan belum terselenggarannya Pemilihan Umum. Banyak perubahan yang terjadi pada susunan keanggotaan, di mana semua anggota MPRS yang terlibat keanggotaan PKI dan yang dianggap pendukung Soeharto digantikan. Selain itu diadakan penambahan anggota MPRS sehingga jumlahnya menjadi 828 orang 61 (dua kali lipat jumlah anggota DPR Gotong Royong). 62 Sidang Umum pada masa Demokrasi Pancasila dilaksanakan sebanyak tiga kali dan Sidang Istimewa dilaksanakan sekali. Perinciannya adalah sebagai berikut 63: a. Sidang Umum IV, tanggal 20 Juni-5 Juli 1966 di Jakarta. Jumlah anggotanya adalah 545 orang, terdiri atas 241 anggota DPR, DPD sebanyak 110 orang, dan Golongan Karya sebanyak 194 orang. Karena merupakan masa transisi dari Orde Baru, banyak anggota Majelis yang mengalami pemecatan karena dianggap terlibat dalam Gerakan 30 September PKI. Sidang Umum IV diketuai oleh Jend. A. H. Nasution
61
Berdasarkan Keputusan Presiden No. 92/1968 yang ditetapkan pada tanggal 12 Maret 1968, di mana terjadi penggantian keanggotan MPR sejumlah 32 orang. Mohammad Tolchah Mansoer, Pembahasan Beberapa Aspek tentang Kekuasaan-kekuasaan Eksekutif dan Legislatif Negara Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta, 1983, hal. 346 62 Ibid, hal. 347. 63 Budiardjo,Op. Cit., hal. 203.
Universitas Sumatera Utara
dan menghasilkan 24 Ketetapan (Ketetapan Nomor IX sampai dengan XXXII/MPRS/1966). b. Sidang Umum V dilaksanakan pada tanggal 21-27 Maret 1968, dengan jumlah anggota yang mengikuti adalah 828 orang. Sidang umum ini menghasilkan delapan ketetapan (Ketetapan Nomor XXXVII sampai dengan XLIV/MPRS/1968). c. Sidang Istimewa dilaksanakan tanggal 7-12 Maret 1967 di Jakarta diikuti anggota sebanyak 660 orang dan menghasilkan empat ketetapan (Ketetapan Nomor XXXIII sampai dengan XIIIVI/MPRS/1967). Dalam mengadakan penambahan dan hal lain yang menyangkut MPRS, melalui UU No. 10 tahun 1966, fungsi MPRS seperti fungsi MPR hasil pemilihan umum sampai terbentuknya MPR yang bersifat permanen. 64 Pimpinan MPR bersifat melembaga tetapi terlepas dari pengaruh Presiden karena menurut Undang-Undang Nomor 10 tahun 1966 mengenai kedudukan MPR dan DPR Gotong Royong Pasal 19, Pimpinan MPR tidak dapat dirangkap dengan jabatanjabatan Presiden, Wakil Presiden, Menteri, Jaksa Agung, Ketua, Hakim-Hakim Anggota Mahkamah Agung, Ketua dan Anggota BPK, Ketua dan Anggota DPA, dan jabatan-jabatan lain. 65 Faktor lainnya adalah semua fungsi lembaga negara telah dikembalikan menurut posisi dan fungsi sebagaimana yang diatur dalam UUD 1945. Dengan demikian kedudukan dan fungsi MPRS pada masa Demokrasi Pancasila luas sekali. 66
64
Yuhana, Op. Cit., hal. 82.
65
Ibid Yuhana, Op. Cit.,hal. 84
66
Universitas Sumatera Utara
Di samping fungsi yang bersifat protokoler, Pimpinan MPRS juga bertugas memimpin dan mewakili MPRS, mengikuti dan mengawasi pelaksanaan ketetapan-ketetapan
MPRS.
Oleh
karena
itu
Pimpinan
MPRS
berhak
mengeluarkan keputusan-keputusan yang disebut Keputusan Pimpinan MPRS, Instuksi Pimpinan MPRS, Memorandum Pimpinan MPRS, dan Nota Pimpinan MPRS. Badan Pekerja MPRS juga bertugas untuk mengikuti dan mengawasi pelaksanaan ketetapan MPRS sehingga dapat merupakan kompetitor DPR Gotong Royong pada masa tersebut. 67 Cara
menentukan Pimpinan
MPRS
juga
berbeda
dengan
masa
sebelumnya, yaitu dipilih dari antara anggota MPR itu sendiri. Cara mengambil keputusan dalam majelis masa Demokrasi Pancasila sama dengan majelis sebelumnya, yaitu musyawarah untuk mufakat tetapi tidak ada campur tangan Presiden walaupun kemungkinan untuk mengambil keputusan berdasarkan persetujuan suara terbanyak juga telah diatur dalam Ketetapan MPRS itu sendiri. 68 MPRS ini bersidang 3 kali yaitu 2 kali Sidang Umum dan 1 kali Sidang Istimewa. MPRS ini juga menghasilkan beberapa keputusan, keputusan pimpinan dan nota pimpinan. 69
67
Budiardjo, Op. Cit., hal. 347. Ibid. 69 Ibid, hal. 203. 68
Universitas Sumatera Utara
2.1.3. MPRS hasil Pemilihan Umum tahun 1971-1976 Majelis ini dibentuk berdasarkan Undang Undang Nomor 16 tahun 1969 tentang susunan dan kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Jumlah anggota seluruhnya adalah 920 orang yang terdiri dari 460 anggota DPR-RI, 130 orang Utusan Daerah, dan 530 orang utusan Golongan Karya. Majelis ini mengadakan Sidang Umum tanggal 12 sampai dengan tanggal 24 Maret 1973 di Jakarta dan menghasilkan delapan ketetapan dan beberapa keputusan, antara lain yang penting adalah Ketetapan Nomor IV/MPRS/1973 tentang GBHN. 70 Berbeda dengan Majelis sebelumnya, Majelis ini hanya memiliki dua jenis keputusan, yaitu: 71 a. Ketetapan MPR yang memiliki kekuatan hukum mengikat seluruh rakyat Indonesia dan seluruh lembaga negara dan lemabaga masyarakat. Ketetapan MPR adalah produk legislatif tertinggi dalam negara Republik Indonesia dan tidak dapat dibatalkan atau diubah oleh lembaga negara lain. b. Keputusan yang hanya memiliki kekuatan hukum mengikat ke dalam Majelis. Pimpinan Majelis bertugas sebagai pimpinan sidang-sidang dan pimpinan yang bersifat protokoler, tetapi tidak berwenang mengatasnamakan Majelis atau mengawasi ketetapan-ketetapan Majelis. Pimpinan Majelis juga tidak dapat dirangkap dengan jabatan-jabatan Presiden, Menteri, dan sebagainya. Sama halnya dengan pimpinan MPRS masa Demokrasi Pancasila, pimpinan majelis diangkat dari dan oleh anggotanya sendiri. Pimpinan hasil pemilihan umum 70 71
Ibid. hal. 347. Yuhana, Op. Cit., hal. 87.
Universitas Sumatera Utara
tersebut dirangkap oleh pimpinan DPR-RI, kecuali wakil ketua yang diambil dari utusan daerah (DPD). Cara mengambil keputusan dalam sidang tetap menggunakan musyawarah untuk mufakat. 72 Setelah pengesahan keanggotaan MPR hasil pemilu tahun 1971, selama pemerintahan Soeharto pada setiap pasca pemilu (tahun 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997) secara rutin diselenggarakan sidang MPR yang beragendakan pengucapan sumpah/janji anggota MPR pada 1 Oktober dan berselang beberapa waktu lamanya digelar sidang MPR untuk membahas dan mengambil putusan terhadap materi-materi yang telah dipersiapkan sebelumnya oleh alat kelengkapan MPR, yaitu badan pekerja MPR, termasuk pemilihan presiden dan wakil presiden.
2.1.4. MPRS hasil Pemilihan Umum tahun 1977-1982 dan tahun 1982-1987 Jumlah anggota MPR dua kali anggota DPR, yaitu 920 orang, yang berlangsung sejak periode 1977-1982 dan 1982-1987. Pada tahun 1978 muncul Ketetapan MPR Nomor III/MPR/1978 di mana tertulis bahwa MPR adalah lembaga tertinggi negara sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan negara tertinggi dan pelaksana kedaulatan rakyat. 73 Ada lima hal yang menyebabkan kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi 74, antara lain: a. MPR merupakan penjelmaan seluruh rakyat Indonesia. b. MPR mewakili seluruh rakyat, seluruh golongan dan seluruh daerah.
72
Budiardjo, Op. Cit., hal. 346. Miriam Budiardjo dan Ibrahim Ambong, Fungsi Legislatif dalam Sistem Politik Indonesia, Jakarta, PT Rajagrafindo Persada, 1996, hal. 243. 74 Rosjidi Ranggawidjaja,S.H.,M.H., Hubungan Tata Kerja Antara Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Presiden, Jakarta, Radar Jaya Offset, 1991, hal. 68. 73
Universitas Sumatera Utara
c. MPR sebagai satu-satunya lembaga tertinggi negara pelaksana kedaulatan rakyat. d. MPR sebagai satu-satunya lembaga negara yang menetapkan UndangUndang Dasar, memilih dan mengangkat presiden dan wakil presiden. e. MPR sebagai satu-satunya lembaga negara yang menetapkan haluan negara (staatsdoeleinden) dalam rangka melaksanakan politiek als ethiek atau taakstelling (politik dan etika atau tugas). Untuk periode 1982-1987, 1992-1997, dan 1997-1999, jumlah anggota MPR meningkat menjadi 1000 orang. Tambahan anggota ditunjuk mewakili kelompok dan golongan selain tiga partai peserta pemilu (Golkar, PDI, dan PPP). Cara kerja MPR berdasarkan UUD 1945, Pasal 2 ayat (2) yang berbunyi: 75 Majelis Permusyawaratan Rakyat bersidang sedikit-dikitnya sekali dalam lima tahun di ibu kota negara.
Selain itu kinerja MPR juga ditetapkan dalam Pasal 2 ayat (3) yang berbunyi: Segala keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat ditetapkan dengan suara terbanyak.
Untuk keperluan tertentu MPR dapat bersidang lebih dari satu kali dalam lima tahun. MPR hasil Pemilu tahun 1997 melakukan Sidang Umum Maret 1998 dan juga mengadakan Sidang Istimewa pada November 1998, tetapi MPR hasil Pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, 1992 hanya sidang sebanyak satu kali. 76 Pada Sidang Umum MPR tahun 1988, 1993, dan tahun 1998 tidak ada materi Ketetapan MPR yang bersifat khusus karena berbagai Ketetapan MPR yang disahkan
75 76
Yuhana, Op. Cit., Hal. 88. Ibid
Universitas Sumatera Utara
bersifat rutin, antara lain Ketetapan MPR mengenai GBHN, pertanggungjawaban presiden, dan pengangkatan presiden dan wakil presiden. 77 Kedudukan, tugas, dan wewenang MPR diatur dalam Pasal 3 UUD 1945 dan Penjelasan tentang UUD Negara Indonesia dalam menjelaskan sistem pemerintahan negara bagian ketiga yang menjelaskan bahwa kekuasaan negara tertinggi berada di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat. 78
2.2. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Sebelum terbentuk KNIP, cikal bakal perwakilan rakyat di Indonesia telah ada pada masa penjajahan Hindia – Belanda yaitu Volkstraad. Volkstraad dibentuk sebagai dampak gerakan nasional serta perubahan yang mendasar di seluruh dunia dengan selesainya Perang Dunia I (1914-1918). Volksraad dideklarasikan pada 16 Desember 1916 dengan anggota sebanyak 39 orang 79 di mana anggotanya mayoritas diangkat oleh Gubernur Belanda dan sebagian dipilih. Dalam perjalanan Volksraad muncul beberapa usul dari para anggota untuk mengubah susunan dan pengangkatan Volksraad agar dapat dijadikan tahap menuju Indonesia merdeka, namun selalu ditolak. Salah satunya adalah Petisi Sutardjo pada tahun 1935 yang berisi permohonan kepada Pemerintah Belanda agar diadakan pembicaraan bersama antara Indonesia dan Berlanda dalam suatu perundingan mengenai nasib Indonesia di masa yang akan datang, atau Gerakan Indonesia Berparlemen dari Gabungan Politik Indonesia. Petisi ini juga ditolak
77
Syafiie, Op. Cit., hal. 55. B.N. Marbun, DPR-RI Pertumbuhan dan Cara Kerjanya, Edisi Revisi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 2000, hal. 47. 79 Ibid, hal. 198. 78
Universitas Sumatera Utara
pemerintah kolonial Belanda. 80 Dengan kata lain, Volksraad sebagai sebuah lembaga dalam konteks Indonesia sebagai wilayah jajahan pada saat itu memang hanya merupakan basa basi politik pemerintahan kolonial. Pada tanggal 8 Maret 1942 Belanda mengakhiri masa penjajahan selama 350 tahun di Indonesia. Pergantian penjajahan dari Belanda kepada Jepang mengakibatkan keberadaan Volksraad secara otomatis tidak diakui lagi, dan bangsa Indonesia memasuki masa perjuangan Kemerdekaan.
2.2.1. Komite Nasional Indonesia Pusat (1945-1949) Setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya, pada tanggal 18 Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) menetapkan Undang– Undang Dasar Republik Indonesia yang dikenal dengan Undang-Undang Dasar 1945. UUD 1945 kemudian menjadi dasar ketentuan-ketentuan dalam penyelenggaraan kebijakan di Indonesia. Sesuai dengan ketentuan dalam Aturan Peralihan, tanggal 29 Agustus 1945, dibentuk Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang beranggotakan 137 orang. Tanggal pembentukan KNIP yaitu 29 Agustus 1945 diresmikan sebagai hari jadi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Yang membedakan KNIP dengan DPR adalah KNIP memiliki tugas dan fungsi lain yaitu merangkap fungsi MPR dan juga DPA untuk membantu presiden. 81 Susunan kepemmpinan KNIP yang pertama adalah Kasman Singodimedjo sebagai ketua, Sutardjo Kartohadikusumo sebagai wakil ketua I, J. Latuharhary sebagai wakil ketua II dan Adam Malik sebagai wakil ketua III82.
80
Ibid, hal. 199. Dr. Muchtar Pakpahan,S.H.,M.H., DPR RI Semasa Orde Baru, Jakarta. Pustaka Sinar Harapan, 1994, hal. 59. 82 Fatwa, Op. Cit., hal. 39. 81
Universitas Sumatera Utara
Kegiatan KNIP sehari-hari dipegang oleh Badan Pekerja KNIP (BP KNIP). BP KNIP dibentuk pada tanggal 17 Oktober 1945 dengan Sutan Sjahrir sebagai ketua dan wakil ketua Amir Sjarifuddin 83. KNIP telah mengadakan sidang di Kota Solo pada tahun 1946, di Malang pada tahun 1947, dan Yogyakarta tahun 1949. Perjuangan mempertahankan kemerdekaan dilaksanakan serentak di medan-perang dan di meja perundingan. Dinamika revolusi dicerminkan dalam sidang-sidang KNIP, antara pendukung pemerintah dan golongan keras yang menentang perundingan. Republik Indonesia dan Kerajaan Belanda telah dua kali menandatangani perjanjian, yaitu Linggarjati dan Renville. Tetapi semua persetujuan itu dilanggar oleh Belanda, dengan melancarkan agresi militer ke daerah Republik. Sejak proklamasi kemerdekaan Indonesia sampai pada tanggal 17 Agustus 1950, sebagai badan perwakilan KNIP dan BP KNIP telah menjalankan hak dan kewajibannya. KNIP memiliki dua tugas yaitu membentuk undang-undang bersama pemerintah dan berperan menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Hak anggota KNIP diatur dalam peraturan Tata Tertib, yaitu mengajukan usul, interpelasi, angket pertanyaan, dan mosi. Fungsi pengawasan juga sebagian berhasil diputuskan menjadi perundang-undangan. KNIP telah menyetujui 133 Rancangan Undang-Undang menjadi Undang-Undang, di antaranya yang penting adalah Undang-Undang Nomor 11 tahun 1949 tentang pengesahan Konstitusi Republik Indonesia Serikat. Di bidang pengawasan, KNIP mengadakan dua kali interpelasi dan mengeluarkan 6 mosi. 84
83 84
Budiardjo, Op.Cit, hal. 331. Pakpahan, Op. Cit., hal. 55-57.
Universitas Sumatera Utara
2.2.2. Badan Legislatif Republik Indonesia Serikat (1949-1950) Badan legislatif pada masa Republik Indonesia Serikat terdiri atas dua majelis, yaitu 32 orang yang bergabung dalam senat dan 146 orang yang bergabung dalam Dewan Perwakilan Rakyat. Pada badan legislatif, 49 orang di antaranya berpusat di Yogyakarta. DPR memiliki hak budget, hak inisiatif, dan amandemen, di samping wewenang untuk menyusun rancangan undang-undang bersama-sama pemerintah. Hak-hak lainnya yang dimiliki adalah hak bertanya, hak interpelasi, hak angket. DPR tidak memiliki hak untuk menjatuhkan kabinet.85 Dalam periode 1 tahun badan legislatif telah menyelesaikan 7 buah undang-undang termasuk di antaranya Undang-Undang No. 7 tahun 1950 tentang perubahan konstitusi sementara Republik Indonesia, 16 mosi, dan 1 interpelasi, baik oleh senat maupun DPR. 86
2.2.3. Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (1950-1956) Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS) memiliki sekitar 235 anggota yang terdiri atas anggota bekas DPR dan bekas Senat Republik Indonesia Serikat, serta anggota Badan Pekerja KNIP dan anggota Dewan Pertimbangan Agung Republik Indonesia yang berpusat di Yogyakarta. Badan ini memiliki hak legislatif seperti hak budget, hak amandemen, hak inisiatif, dan hak kontrol seperti hak bertanya, interpelasi, angket, dan mosi. 87 Pada tanggal 15 Agustus 1950, DPR dan Senat RIS menyetujui UndangUndang Dasar Sementara Negara Kesatuan Republik Indonesia (UUDS NKRI,
85
Budiardjo, Op. Cit., hal. 332. Ibid 87 Ibid 86
Universitas Sumatera Utara
UU No. 7/1950, LN No. 56/1950). 88 Undang-undang ini diadopsi dari UUD RIS yang mengalami sedikit perubahan, terutama yang berkaitan dengan perubahan bentuk negara dari negara serikat menjadi negara kesatuan. UUDS tersebut diberlakukan pada tanggal 17 Agustus 1950. Dalam UUDS Pasal 113 sampai Pasal 116 diatur bahwa DPR memiliki hak menetapkan anggaran belanja. Selain itu, pada Pasal 83 ayat (2) UUDS ditetapkan para menteri bertanggung jawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintah baik 89 bersama-sama untuk seluruhnya maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri. Hal ini berarti DPR memiliki berhak dan berkewajiban mengawasi segala perbuatan pemerintah. DPRS dapat memaksa menteri untuk mengundurkan diri. Tetapi DPRS dapat dibubarkan oleh presiden, karena DPRS dianggap tidak lagi mewakili aspirasi rakyat. Hak-hak yang dimiliki DPRS adalah hak amandemen, hak interpelasi, hak angket, hak kekebalan, dan hak mengeluarkan suara. DPRS telah membahas 237 Rancangan Undang-Undang dan menyetujui 167 menjadi Undang-Undang, di antaranya yang terpenting adalah UndangUndang Nomor 7 tahun 1953 tentang pemilihan anggota-anggota Konstituante dan anggota-anggota Badan Legislatif. DPRS juga telah menyetujui 21 mosi dari 82 mosi yang diusulkan, 16 interpelasi dari 24 yang diajukan, 1 angket, dan melaksanakan 2 kali hak budget. 90
88
Maksudi, Op. Cit., hal. 202. Ibid, hal. 204 90 Budiardjo, Op. Cit., hal. 333. 89
Universitas Sumatera Utara
2.2.4. Dewan Perwakilan Rakyat (1955-1960) Dengan berlakunya kembali UUD 1945, dan Penetapan Presiden Nomor 1 tahun 1959, ditetapkan bahwa DPR hasil pemilihan umum 1955 menjalankan tugas DPR menurut UUD 1945 dan bekerja dalam suatu rangka yang lebih sempit dalam arti bahwa hak-haknya kurang terperinci dalam UUD 1945 jika dibandingkan dengan UUD RIS 1945 dan UUDS 1950. DPR ini sering disebut sebagai DPR Peralihan. DPR Peralihan mempunyai 262 anggota yang terdiri atas 56 anggota dari Partai Nasional Indonesia, 53 anggota dari Masyumi, 45 anggota dari Nadhatul Ulama, 33 anggota dari Partai Komunis Indonesia, dan selebihnya berasal dari partai-partai kecil. Jumlah fraksi adalah 18 dan 4 anggota tidak berfraksi. 91 Undang-Undang Dasar 1945 menentukan adanya sistem presidensial di mana DPR boleh menjatuhkan presiden. Secara formal kedudukan DPR terhadap badan eksekutif adalah sama derajat namun dalam beberapa hal kedudukan DPR terhadap presiden cukup kuat,oleh karena anggota DPR secara otomatis menjadi anggota MPR. Jumlah total DPR adalah 50% dari anggota MPR, jadi suara anggota DPR jika kompak dan bersatu dapat mempengaruhi suasana dalam MPR. 92 DPR memiliki hak untuk mengadakan sidang luar biasa MPR jika dianggap perlu untuk meminta tanggung jawab kepada Presiden, suatu hak yang tidak diberikan kepada Presiden.
91
Ibid, hal. 334. Dibuktikan pada saat Memorandum Dewan Perwakilan Rakyat – Gotong Royong tanggal 9 Juni 1966 yang diajukan kepada MPRS yang diterima sebagai Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966. Budiardjo, Ibid. 92
Universitas Sumatera Utara
Menurut UUD 1945, wewenang badan legislatif mencakup ketetapan bahwa setiap undang-undang memerlukan persetujuan DPR (pasal 20). DPR memiliki hak inisiatif (pasal 21), hak untuk memprakarsai rancangan undangundang. Pemerintah tidak akan terlepas dari pengawasan DPR. Hak lain yang ditentukan dalam UUD 1945 adalah hak budget (pasal 23), yaitu hak untuk turut memutuskan rancangan undang-undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. 93 DPR Peralihan kemudian dibubarkan dengan Penetapan Presiden Nomor 3 tahun 1960 karena adanya perselisihan antara pemerintah dengan DPR Peralihan mengenai penetapan APBN. Dalam melaksanakan tugas di bidang pengawasan, DPR Peralihan memiliki hak-hak, seperti mengajukan pertanyaan, meminta keterangan, mengadakan penyelidikan, mengajukan amandemen, mengajukan usul pernyataan pendapat atau asal-usul lain, dan dapat mengajukan anjuran calon untuk mengisi suatu jabatan dalam hal demikian ditentukan oleh undang-undang. DPR Peralihan hanya menyelesaikan 5 buah undang-undang dan 2 buah usul pernyataan pendapat. 94
2.2.5. Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong - Demokrasi Terpimpin (1960-1966) DPR Gotong Royong didirikan dengan Penetapan Presiden Nomor 4 tahun 1960 sebagai pengganti DPR Peralihan yang dibubarkan dengan Penetapan Presiden Nomor 3 tahun 1960. 95 Anggota DPR-GR berjumlah 283 orang, dengan
93
Ibid Ibid, hal 334. 95 DPR Peralihan dibubarkan karena DPR hanya menyetujui 36 miliar rupiah APBN dari 44 miliar yang diajukan. Maksudi, Op. Cit¸ hal. 206. 94
Universitas Sumatera Utara
komposisi 130 orang dari partai, 152 orang dari golongan karya, dan 1 wakil Irian. Semua anggota tidak dipilih, tetapi ditunjuk oleh presiden dari daftar-daftar yang diajukan oleh golongan masing-masing. DPR-GR sangat berbeda dengan badan legislatif sebelumnya karena tidak hanya bekerja dalam sistem pemerintahan yang lain, tetapi bekerja dalam suasana di mana DPR ditonjolkan sebagai pembantu pemerintah, yang dicerminkan dalam istilah Gotong Royong. Perubahan fungsi tersebut disusun dalam tata tertib DPR GR yang dituangkan dalam Peraturan Presiden Nomor 14 tahun 1960. Dalam peraturan tersebut tidak disebut hak kontrol seperti hak bertanya dan hak interpelasi. 96 Kelemahan DPR Gotong Royong sebagai lembaga legislatif adalah DPR Gotong Royong kurang memakai hak inisiatifnya untuk mengajukan rancangan undang-undang. Selain itu DPR-GR telah membiarkan badan eksekutif mengadakan Penetapan-Penetapan Presiden atas dasar Dekrit Presiden 5 Juli 1959, seolah-olah dekrit merupakan sumber hukum baru, padahal Dekrit Presiden dibuat untuk menuntun Indonesia kembali pada UUD 1945. Semua perundangundangan seharusnya berdasarkan langsung pada UUD 1945. Selain itu, banyak keputusan
penting
(misalnya
pengguntingan
uang,
politik
konfrontasi,
pengambilalihan perkebunan dan perusahaan asing) diputuskan di luar DPR-GR. 97 Perubahan lain yang terjadi adalah munculnya Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman Nomor 19 tahun 1964 yang memberi wewenang kepada presiden untuk campur tangan dalam pengadilan demi kepentingan revolusi. Undang-undang tersebut merupakan ketentuan yang dengan tegas menyalahi ketentuan UUD 1945, di mana dijelaskan kekuasaan kehakiman tidak terpengaruh 96 97
Budiardjo, Op. Cit., hal. 335 Ibid, hal. 335
Universitas Sumatera Utara
kekuasaan pemerintah (pasal 24 dan 25). 98 Dalam hal keanggotaan, DPR juga mengalami perubahan besar. Jika DPR sebelumnya perwakilan berdasarkan asas perwakilan politik atau perwakilan partai-partai politik, maka dalam DPR-GR keanggotaan meliputi beberapa golongan karya seperti anggota dari angkatan bersenjata, petani, buruh, alim ulama, pemuda, koperasi, dan perempuan. Dari partai-partai politik banyak anggota DPR hasil pemilihan umum kembali menduduki kursi dalam DPR Gotong Royong, kecuali wakil-wakil dari partai Masyumi dan Partai Serikat Indonesia yang dibubarkan Presiden Soekarno pada tahun 1960. Pimpinan DPR GR diberi status sebagai menteri, di mana bertentangan dengan asas trias politica. Dalam Demokrasi Terpimpin sistem pemungutan suara diganti dengan sistem musyawarah untuk mencapai mufakat. Ketentuan ini terdapat dalam Amanat Presiden tahun 1959 yang menyatakan bahwa Undang-Undang Dasar 1945 adalah cerminan asli kepribadian bangsa Indonesia yang sejak zaman purbakala mendasarkan sistem pemerintahan kepada seorang ketua yang tidak mendiktatori tetapi “memimpin”. Dalam tata tertib DPR GR (Peraturan Presiden Nomor 14 tahun 1960, pasal 103) yang berlaku sampai September 1964, ditentukan bahwa keputusan sedapat mungkin diambil dengan kata mufakat, maka Presiden mengambil keputusan dengan memperhatikan pendapat-pendapat yang dikemukakan dalam musyawarah/mufakat tetap dipertahankan, akan tetapi peranan Presiden dalam proses pengambilan keputusan tidak disebut. 99
98 99
Ibid, hal. 336 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Selama masa kerjanya DPR Gotong Royong dari tanggal 25 Juni 1960 sampai dengan 15 November 1965 adalah sebagai berikut: 100 a. Tahun 1960, menghasilkan 5 Undang-undang dan 4 menyatakan pendapat. b. Tahun 1961, menghasilkan 22 Undang-undang dan 4 pernyataan pendapat. c. Tahun 1962, menghasilkan 19 Undang-undang dan 1 pernyataan pendapat d. Tahun 1963, menghasilkan 14 Undang-undang dan 1 pernyataan pendapat. e. Tahun 1964, menghasilkan 35 Undang-undang dan 5 pernyataan pendapat f. Tahun 1965, menghasilkan 21 Undang-undang dan 11 pernyataan pendapat.
2.2.7. Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong Demokrasi Pancasila (1966-1971) Sesudah terjadi G 30 S/PKI, DPR Gotong Royong mengalami perubahan, baik mengenai keanggotaan maupun wewenangnya. Periode DPR Gotong Royong diawali dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 10 Tahun 1966 tentang keanggotaan, kedudukan, fungsi, tugas dan wewenang DPR-GR. 101 Anggota PKI dikeluarkan, sedang partai-partai politik lainnya memakai hak recall untuk mengganti anggota yang dianggap terlibat atau bersimpati kepada PKI dengan wakil lain. Susunan keanggotaan DPR Gotong Royong berjumlah 242 orang, 102 orang dari jumlah tersebut merupakan anggota partai politik, yakni 44 anggota Partai Nasional Indonesia, 34 Nadhlatul Ulama, selebihnya adalah anggota dari beberapa partai kecil. Sedangkan 140 anggota lainnya berasal dari Golongan Karya (Golkar) dan ABRI. 102
Pada hakikatnya setelah 19 November 1966,
100
Pakpahan, Op. Cit., hal. 69. Pakpahan, Op. Cit., hal. 79. 102 Budiardjo, Op. Cit., hal 337. 101
Universitas Sumatera Utara
keanggotaan DPR-GR merupakan kelanjutan dari Peraturan Presiden No. 4 Tahun 1960. 103 Pada tanggal 13 Februari 1968 Pj. Presiden Soeharto melantik anggota DPR GR sebanyak 414 yang dikelompokkan ke dalam fraksi-fraksi. Susunan keanggotaan DPR-GR setelah pelantikan sebagai berikut: Tabel 2.2. Susunan Keanggotaan DPR Gotong Royong Tahun 1968104 Nama Partai
Jumlah Anggota (Orang)
Partai Nasional Indonesia
78
Nadhlatul Ulama
75
Partai Kristen Indonesia
17
Partai Katolik
15
PSII
20
IPKI
11
Perti
9
Murba
4
Partai Muslimin Indonesia
18
ABRI
75
103
Per.Pres No. 4 Tahun 1960 menetapkan jumlah anggota, pimpinan serta penambahan Gotong Royong di belakang DPR. Pakpahan, Op. Cit., hal 79. 104 Ibid, hal. 80.
Universitas Sumatera Utara
Karya Pembangunan A
32
Karya Pembangunan B
32
Karya Pembangunan C
28
Jumlah Anggota
414
Kedudukan dan wewenang DPR GR 1966-1971 adalah sebagai berikut: 105 a. Bersama dengan pemerintah menetapkan APBN sesuai Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 beserta penjelasannya. b. Bersama dengan pemerintah membentuk undang-undang sesuai dengan Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 21 ayat (1), dan Pasal 22 UUD 1945 beserta penjelasannya. c. Melakukan pengawasan atas tindakan pemerintah sesuai UUD 1945 dan penjelasannya khususnya penjelasan Bab VII. Tata kerja DPR Gotong Royong diusahakan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Dasar 1945, terutama hal yang berkaitan dengan kontrol. Dalam Pasal 77 ayat 1 menentukan bahwa DPR melakukan pengawasan dengan usahausaha, antara lain: 106 d. Mengajukan pertanyaan e. Meminta keterangan (interpelasi) f. Mengadakan penyelidikan (angket) g. Mengajukan perubahan (amandemen) h. Mengajukan usul pernyataan pendapat atau asal usul lain
105 106
Maksudi, Op. Cit., hal. 207. Pakpahan, Op. Cit., hal 72.
Universitas Sumatera Utara
i. Menganjurkan seseorang jika ditentukan oleh Undang-Undang Dalam pengambilan keputusan, sistem mufakat masih dipertahankan dengan ketentuan bahwa keputusan harus diambil oleh anggota DPR sendiri tanpa ada campur tangan presiden. Di samping itu, ada kemungkinan untuk menggunakan cara dengan suara terbanyak oleh MPR berdasarkan UndangUndang Dasar 1945. Ditetapkan bahwa dalam pengambilan keputusan diadakan dua tahap, pertama mencari mufakat. Jika tidak tercapai mufakat, jika menyangkut kepentingan nasional yang penting maka akan diadakan pemungutan suara secara rahasia dan tertulis atas sistem suara yang terbanyak. 107 DPR Gotong Royong pada masa Demokrasi Pancasila telah menyelesaikan 82 buah Undang-Undang, di antaranya adalah Undang-Undang Nomor 15 tahun 1969 tentang Pemilihan Umum Anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat dan Undang-Undang Nomor 16 tahun 1969 tentang susunan dan kedudukan MPR, DPR, dan DPRD, 7 buah resolusi, 9 buah penyataan pendapat, dan 1 buah angket. 108
2.2.8. Dewan Perwakilan Rakyat (hasil Pemilihan Umum 1971, 1971-1997) Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia pada masa ini adalah hasil pemilihan yang diselenggarakan pada tanggal 3 Juli 1971 berdasarkan UndangUndang Nomor 15 tahun 1969 tentang Pemilihan Umum Anggota-Anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat dan Undang-Undang Nomor 16 tahun 1969 tentang Susunan dan kedudukan MPR, DPR, DPRD. Pengambilan sumpah jabatan anggota DPR dilaksanakan pada tanggal 28 Oktober 1971 oleh Oemar 107 108
Budiardjo, Op. Cit., hal. 337 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Senoadji selaku Ketua MA.Badan legislatif ini memiliki 460 anggota (100 anggota diangkat, 360 anggota lainnya dipilih dalam pemilihan umum seperti yang disebut dalam Pasal 10 ayat 3 Undang-Undang Nomor 16 tahun 1969) yang terdiri atas: 109 a. 261 anggota berasal dari Golongan Karya Pembangunan. 227 anggota tersebut dipilih melalui pemilihan umum, 25 anggota diangkat, dan 9 anggota mewakili Irian Jaya. b. 58 anggota Nadhlatul Ulama c. 24 anggota Parmusi d. 10 anggota dari PSII e. 2 anggota dari Perti f. 20 anggota dari PNI g. 7 anggota dari Parkindo h. 3 anggota dari Partai Katolik i. 75 anggota dari ABRI. Seluruh anggotanya diangkat. Untuk menyederhanakan dan meningkatkan efisiensi kerja para anggota dalam melaksanakan tugasnya sebagai wakil rakyat maka dibentuk fraksi dalam DPR-RI. Pengertian fraksi menurut peraturan tata tertib DPR RI (Keputusan Nomor 7/DPR-RI/III/71-72 Pasal 33 ayat 1) adalah pengelompokkan anggota DPR RI yang mencerminkan konstelasi pengelompokan politik dalam masyarakat yang terdiri dari unsur-unsur Golongan Karya dan Golongan Politik. Semua anggota DPR-RI wajib menjadi anggota Fraksi. Berdasarkan pengelompokkan fraksi maka ada 4 fraksi yang terbentuk yaitu: 110 109 110
Pakpahan, Op.Cit.,hal. 80. Budiardjo, Op. Cit.,hal. 338.
Universitas Sumatera Utara
a. Fraksi ABRI dengan anggota 75 orang b. Fraksi Karya Pembangunan beranggotakan 261 orang c. Fraksi Demokrat Pembangunan yang terdiri atas PNI, Parkindo, dan Partai Katolik yang setelah berfusi menjadi Fraksi Partai Demokrasi Indonesia. Jumlah anggotanya adalah 30 orang. d. Fraksi Persatuan Pembangunan yang terdiri atas NU, Parmusi, PSII, dan Perti yang setelah berfusi menjadi Fraksi Partai Persatuan Pembangunan sehingga jumlahnya menjadi 94 orang. Selain pembentukan fraksi, terjadi juga penggabungan pimpinan MPRS dan DPR. Hal tersebut sesuai dengan UU No. 10 Tahun 1966 pada pasal 8 dan pasal 9. Misalnya pada Pasal 9 ayat (1) berbunyi: 111 Sebelum memangku jabatannya, anggota-anggota pimpinan MPRS/DPR-GR diambil sumpah dan janjinya menurut agama masing-masing oleh Ketua Mahkamah Agung dalam rapat paripurna terbuka MPRS/DPR-GR.
Sesuai ketentuan UUD 1945, DPR-RI di samping membentuk UndangUndang bersama pemerintah dan menetapkan APBN, juga bertugas melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang, APBN, dan kebijakan Pemerintah. Untuk melaksanakan fungsi pengawasan, anggota DPR-RI memiliki hak antara lain: 112 a. Mengajukan pertanyaan b. Meminta keterangan (interpelasi) c. Mengadakan penyelidikan (angket) d. Mengadakan perubahan (amandemen) e. Mengajukan pernyataan pendapat 111 112
Pakpahan, Op.Cit., hal. 81. Ibid, hal. 339.
Universitas Sumatera Utara
f. Mengajukan atau menganjurkan seseorang jika ditentukan oleh perundang-undangan Pada masa kerja tahun 1971-1977 terdapat 49 anggota diganti oleh organisasi induk. Jumlah tersebut berasal dari Fraksi Karya Pembangunan sebanyak 16 orang, Fraksi Persatuan Pembangunan sebanyak 6 orang, Fraksi Demokrasi Indonesia sebanyak satu orang dan Fraksi ABRI sebanyak 4 orang. 113 Sebagai hasil pelaksanaan tugas- tugas DPR-RI tersebut, sejak tanggal 2 Oktober 1971 sampai tanggal 27 April 1976 telah dihasilkan 34 buah Undang-Undang, 3 buah memorandum, dan 4 buah usul pernyataan pendapat. Berbeda dengan DPRGR pada masa Demokrasi Pancasila, dalam melaksanakan tugas membentuk undang-undang dan tugas pengawasan hanya dibentuk Komisi sebanyak 11 Komisi. Hal tersebut dipengaruhi kepentingan pemerintah dalam pemilihan umum yang sekaligus sebagai pelaksanan pemilu. Kepentingan tersebut adalah ingin tetap menguasai pemerintahan agar melalui kekuasaan dapat dilaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni. Untuk mencapai kepentingan politik tersebut, pemerintah menempuh lima strategi pokok 114, yaitu: a. Membuat Golkar sebagai salah satu organisasi kekuatan sosial politik peserta pemilu. b. Menggarap partai politik yang kuat. Pada hasil Pemilu 1955, ada empat partai politik besar yakni PNI, Masyumi, NU, dan PKI. Masyumi telah dibubarkan di Orde Lama, dan PKI dibubarkan di awal Orde Baru. Menjelang Pemilu 1971 tersisa NU dan PNI yang digarap dengan dua
113 114
Pakpahan, Op. Cit., hal. 87. Awad Bahasoan, Mencari Format Politik, Jakarta, Prisma, 1981, hal. 51-52.
Universitas Sumatera Utara
cara yaitu menarik pimpinannya ke dalam Golkar atau menimbulkan perpecahan internal. c. Menggarap pegawai negeri. Pada tahun 1969 dikeluarkan Peraturan Mendagri No. 12 Tahun 1969 yang melarang pegawai negeri bergabung dalam partai politik. d. Mengaktifkan Korps Karyawan Departemen Dalam Negeri. Selain melarang pegawai negeri bergabung dalam partai politik, tujuan dikeluarkannya Permendagri No. 12 tersebut adalah agar anggota Korps menanggalkan partainya kecuali di Golkar. e. Menggarap massa pendukung Islam dengan memmbentuk GUPPI yang menempatkan anggota-anggota ulama untuk menarik massa beragama Islam. Cara ini kemudian efektif dan berpengaruh terhadap partai Islam. Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Kep. DPR RI No. 7 tentang Peraturan Tata Tertib DPR RI, DPR menjalakan tugas utama sebagai berikut: 115 a. Bersama-sama dengan pemerintah menetapkan anggaran pendapatan dan belanja negara sesuai dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945. b. Bersama-sama dengan pemerintah membuat undang-undang sesuai Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 21 ayat (1), Pasal 22 UUD 1945 beserta penjelasannya. c. Melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang, pelaksanaan APBN, dan kebijaksanaan pemerintah sesuai UUD 1945. Menurut Pasal 8 ayat (1) untuk melaksanakan tugas dan wewenang DPR tersebut dalam Pasal 2 ayat (1) anggota DPR memiliki hak-hak sebagai berikut 116: 115 116
Pakpahan, Op. Cit., hal. 90. Ibid, hal. 90.
Universitas Sumatera Utara
a. Mengajukan pertanyaan bagi masing-masing anggota b. Meminta keterangan atau interpelasi c. Mengadakan penyelidikan atau angket d. Mengadakan amandemen e. Mengajukan seseorang jika dituntut oleh perundang-undangan Dalam hal pengambilan keputusan, DPR-RI masih ada persamaan dengan DPR Gotong Royong Demokrasi Pancasila, yaitu mengutamakan sistem musyawarah dan apabila tidak mungkin maka keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak. Cara pengambilan atau penyampaian suara dilakukan anggota secara lisan, atau, tertulis. Sementara pemungutan suara apabila menyangkut indiviu dan masalah-masalah yang dipandang penting oleh rakyat dapat dilakukan dengan tertulis atau rahasia. Selama periode 1971-1977, DPR GR membahas 43 RUU menjadi undang-undang, yang semuanya berasal dari eksekutif. Pada periode ini DPR tidak pernah menggunakan hak inisiatif, hak interpelasi dan hak angketnya. 117 Periode berikutnya, pada tahun 1977 dan tahun 1982 jumlah anggota DPRRI masing-masing adalah 460 anggota. Jumlah tersebut terdiri dari 360 anggota DPR yang dipilih dan 100 anggota yang diangkat. Perubahan jumlah anggota DPR yang dipilih dan diangkat terjadi sejak Pemilihan Umum (Pemilu) 1987 di mana jumlah anggota meningkat menjadi 500 orang dengan perincian 400 anggota dipilih dan 100 anggota diangkat. DPR hasil Pemilu tahun 1992 tetap berjumlah 500 anggota dengan peningkatan jumlah anggota DPR yang dipilih
117
Ibid, hal. 91.
Universitas Sumatera Utara
yaitu 425 anggota dan penurunan jumlah anggota DPR yang diangkat menjadi 75 anggota. Pada masa kerja 1977-1982, berdasarkan Peraturan Tata Tertib DPR Tahun 1979 Pasal 14 ayat (1), tugas dan wewenang DPR adalah 118: a. Bersama Presiden membentuk undang-undang. b. Bersama Presiden menetapkan APBN c. Melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang, APBN, kebijakan pemerintah sesuai UUD 1945 dan Ketetapan MPR. d. Membahas hasil pemeriksaan atas pertanggungjawaban keuangan negara yang diberitahukan oleh BPK e. Melaksanakan hal yang ditugaskan oleh Ketetapan MPR dan DPR. Sesuai Pasal 8 dan 9, DPR memiliki hak interpelasi, angket, amandemen, pernyataan pendapat, inisiatif, mengusulkan seseorang dan protokoler. Selama masa kerja 1977 sampai tahun 1982, , DPR RI menyelesaikan 55 RUU menjadi undang-undang, semuanya berasal dari inisiatif eksekutif. Pada tahun 1981, DPR menghasilkan UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang disebut sebagai karya agung di bidang hukum. DPR menggunakan lima kali hak bertanya, satu kali hak interpelasi, satu kali hak angket, dan dua kali hak mengusulkan individu. 119 Pada periode ini juga DPR tidak menggunakan hak inisiatifnya. Pada tahun 1982-1987 masih berjumlah 460 orang. Pada periode ini anggota DPR menjalankan tugas melalui sidang pleno, rapat komisi, dan pernyataan-pernyataan. Di akhir periode, DPR menghasilkan 46 RUU menjadi 118 119
Ibid, hal. 94. Ibid, hal. 95-97.
Universitas Sumatera Utara
undang-undang. Jika dibandingkan dari tahun ke tahun pada masa Orde Baru, fungsi DPR dalam menghasilkan undang-undang mengalami penurunan. Dalam jangka waktu 1972-1997, DPR hanya menghasilkan 273 undang-undang. Dengan jumlah itu, setiap tahun DPR menghasilkan kurang dari 11 undang-undang atau kurang dari satu undang-undang setiap bulannya. Karena hal tersebut, anggota DPR dijuluki “5D” yaitu datang, daftar, duduk, dengar, dan duit. Kondisi tersebut bertahan sampai berakhirnya kekuasaan Soeharto tahun 1998. Untuk lebih jelasnya, perkembangan fungsi legislasi DPR menghasilkan undang-undang dibentuk dalam tabel 2.3. Tabel 2.3. Produk Undang-Undang DPR tahun 1972-1997120 No.
DPR Periode
Undang-Undang
Rata-Rata/tahun
1
1972-1977
43
8,6
2
1977-1982
55
11
3
1982-1987
46
9,4
4
1987-1992
56
11,2
5
1992-1997
73
14,6
Setelah Pemilu 1971, terjadi perubahan secara fundamental dalam sistem kepartaian di Indonesia. Presiden Soeharto pada tahun 1973 mengajak kesembilan partai politik dan Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar) yang 120
Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi; Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2010, hal. 149.
Universitas Sumatera Utara
bersaing pada Pemilu 1971 untuk memfusikan diri atas dasar Golongan Spiritual, Golongan Nasionalis, dan Golongan Karya. Fusi tersebut menghasilkan tiga partai politik yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Demokrasi Indonesia (PDI), dan Golongan Karya (Golkar). DPR RI sejak Pemilu 1977 didominasi oleh Golkar yang memperoleh 60-80 persen kursi di DPR RI. Selain itu jumlah kursi ABRI jauh lebih besar dibandingkan kursi PPP dan PDI yang persentasenya semakin menurun. 121 Tabel 2.4. Perbandingan Jumlah Kursi DPR 1971-1977 122 Golkar
PPP
PDI
ABRI
Pemilu
121 122
Jumlah Kursi
%
Kursi
%
Kursi
%
Kursi
%
1971
236
51
94
20
30
7
100
22
460
1977
232
50
99
22
29
6
100
22
460
1982
242
53
94
20
24
5
100
22
460
1987
299
60
61
12
40
8
100
22
500
1992
282
62
62
12
56
11
100
22
500
1997
325
65
89
18
11
2
75
15
500
Budiardjo, Op. Cit., hal. 340. Ibid, hal. 138.
Universitas Sumatera Utara
2.3. Utusan Daerah dan Utusan Golongan Semasa Republik Indonesia Serikat (RIS) pada tahun 1949-1950 sebelum dibentuk Utusan Daerah atau Dewan Perwakilan Daerah di Indonesia, lembaga negara yang khusus mewakili kepentingan daerah diwakili oleh senat. Keberadaan senat dibentuk karena negara Indonesia saat itu merupakan negara federasi, dan pada saat itu struktur parlemen Indonesia bersifat bikameral. Dalam konstitusi RIS, selain keberadaan DPR yang diatur dalam Bab III Pasal 98 sampai dengan Pasal 121, keberadaan Senat juga diatur dalam Bab II Pasal 80 sampai dengan Pasal 97. Setiap senat mewakili daerah-daerah bagian dan setiap daerah bagian mempunyai dua anggota dalam senat (Pasal 80 ayat 1 dan 2). Anggota senat ditunjuk oleh pemerintah daerah bagian dari daftar yang disampaikan oleh masing-masing perwakilan rakyat dan yang memuat tiga calon untuk tiap-tiap kursi. 123 Anggota senat berjumlah 32 orang, yaitu masing-masing 2 anggota dari tiap negara bagian. Ketua senat diangkat oleh presiden berdasarkan saran atau anjuran yang dimajukan oleh senat atau sebagian anggota senat. Senat mengadakan rapat-rapat di Jakarta kecuali jika dalam hal-hal darurat pemerintah menentukan tempat yang lain. Rapat-rapat yang membahas pokokpokok sebagai yang dimaksud dalam Pasal 127 sub a dan Pasal 168 harus terbuka bagi umum, kecuali jika ketua menimbang perlu ataupun sekurang-kurangnya lima anggota menuntut agar pintu tertutup bagi umum. 124 Senat dapat mengundang menteri untuk turut serta dalam permusyawaratan dan memberi keterangan di dalamnya.
Tetapi senat tidak boleh bermusyawarah atau
123
Jimly Asshiddiqie, 2004, Format Kelembagaan Negara Dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945,Yogyakarta : FH-UII Press, hal. 159-160. 124 Reni Dwi Purnomowati,S.H.,M.H., Implementasi Sistem Bikameral dalam Parlemen Indonesia, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2005, hal. 143.
Universitas Sumatera Utara
mengambil keputusan jika yang hadir tidak lebih dari setengah jumlah anggota sidang. Apabila dalam pengambilan keputusan belum menemukan hasil, maka keputusan akhir dilakukan dengan undian. 125 Pada dasarnya senat selalu membahas masalah yang berhubungan dengan kepentingan negara bagian. Di samping melakukan kekuasaan legislatif, senat berfungsi sebagai majelis penasihat bagi pemerintah. 126 Pemerintah mendengar senat tentang segala hal yang dianggap perlu oleh pemerintah, bahkan pemerintah berkewajiban mendengar tentang urusan-urusan penting yang khusus mengenai daerah bagian dalam hubungan RIS dan daerah-daerah bagian dan hanyalah jika perlu segera mengambil tindakan jika dalam keadaan terdesak. Secara keseluruhan, cara kerja senat RIS diatur dalam tata tertib senat RIS. Dalam banyak hal , banyak ketentuan seperti tertulis dalam Konstitusi RIS mengenai hak dan kewajiban senat dan anggota senat RIS yang belum dapat berfungsi sempurna, sama halnya dengan kondisi DPR pada masa RIS. Hal ini lebih beralasan lagi karena senat merupakan badan baru dalam kehidupan bernegara dan berdemokrasi di Indonesia. Pasca dibentuknya Negara Kesatuaan Republik Indonesia (NKRI) pada tanggal 17 Agustus 1950, dengan sendirinya senat kemudian di hapus. Pada masa Orde Baru struktur kelembagaan MPR terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Utusan Golongan, dan Utusan Daerah. Utusan Daerah merupakan utusan yang dianggap dapat membawakan kepentingan rakyat yang ada di daerah masing-masing di samping dianggap mengetahui dan memiliki tujuan yang menyeluruh mengenai permasalahan negara pada umumnya. Dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 mengenai Pokok-Pokok Pemerintahan di 125 126
Purnomowati, Ibid, hal. 145. Ibid, hal. 146.
Universitas Sumatera Utara
Daerah, lingkungan daerah terdiri dari Daerah Tingkat I dan Daerah Tingkat II. Tetapi yang menjadi anggota Utusan Daerah berasal dari Daerah Tingkat I. Hal itu sesuai dengan ketentuan yang ada dalam Penpres No. 2 Tahun 1959 pasal 2 yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan daerah yang mendapat utusan dalam MPRS adalah Daerah Swantara Tingkat I. 127 Jumlah Utusan Daerah yang dipilih mengalami penambahan di setiap periodenya. Pada tahun 1971 dan 1977 jumlah anggotanya sebanyak 135 orang, kemudian bertambah di tahun 1982 menjadi 140 orang. Dan di tahun 1987 ditetapkan 147 orang menjadi Utusan Daerah. 128 Utusan Golongan menurut Penjelasan Pasal 2 UUD 1945 adalah golongan yang terbatas pada badan-badan ekonomi, yang kemudian diperluas menjadi golongan karya yang bergerak di bidang-bidang pertanian, buruh, perusahaan, keagamaan, cendekiawan, kepemudaan, seni, dan golongan politik. Pada awalnya Utusan Golongan dihubungan dengan para perancang UUD dengan pengertian seperti gerakan koperasi, yang dianggap sebagai cerminan kedaulatan rakyat di bidang ekonomi. Jumlah anggota dari Utusan Golongan ditetapkan sebanyak 100 orang. 129. Di zaman Orde Baru, pemahaman mengenai Utusan Golongan mengakibatkan terbukanya peluang pengisian sebagian kursi MPR dengan pengangkatan oleh presiden. Utusan Golongan dikembangkan oleh Presiden Soeharto ke dalam tiga jalur ABG. Jalur A adalah angkatan bersenjata, jalur B adalah birokrasi pegawai negeri, dan G adalah Golkar. 130 Makna Utusan Golongan dipersempit untuk kepentingan Orba dalam mengkonsolidasikan
127
Ranggawidjaja, Op. Cit., hal. 69. Ibid, hal. 76. 129 Ibid, hal. 74. 130 Efriza, Op. Cit., hal. 56 128
Universitas Sumatera Utara
dukungan politik melalui Golkar sehingga menguasai pemerintahan terus menerus. Di masa Presiden B.J. Habibie pengangkatan Utusan Golongan dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang kemudian diresmikan secara administrasi dengan Keputusan Presiden. 131 Menurut Jimly adanya ketiga metode perwakilan tersebut didasarkan pada bahwa Republik Indonesia merupakan negara kesatuan yang sangat luas wilayahnya dan sangat besar jumlah penduduknya. Oleh karena itu sejak awal UUD 1945 menganut prinsip semua harus terwakili yakni dengan melembagakan ketiga prinsip perwakilan ; perwakilan politik (political representation, perwakilan teritorial (territorial representation) atau perwakilan daerah (regional representation) dan perwakilan fungsional (functional representation) yang sama-sama tercermin dalam keanggotaan MPR-RI. 132 Dalam perkembangannya keberadaan Utusan Golongan (UG) dan Utusan Daerah (UD) dalam sejarah lembaga perwakilan di Indonesia banyak mengalami berbagai penyimpangan sehingga tidak dapat berjalan secara efektif, tidak demokratis, bahkan justru tidak mencerminkan representasi utusan golongan dan utusan daerah. Atas dasar itu maka diusulkan Utusan Golongan untuk dihapuskan karena konsep golongan yang dinilai masih sangat kabur dan
131
Ibid Jimly Asshiddiqie lebih jauh menjelaskan bahwa struktur kelembagaan MPR dengan metode tiga perwakilan tersebut menunjukan bahwa struktur parlemen Indonesia tidak dapat disebut sebagai parlemen dua kamar atau bikameral, kerana MPR sendiri tidak menjalankan fungsi legislasi dalam arti terlibat dalam proses pembentukan undang-undang. Namun demikian untuk disebut sebagai parlemen unikameral murni juga kurang tepat, mengingat keberadaan MPR sendiri merupakan lembaga tersendiri di luar bahkan berada di atas DPR. Oleh karena itu sebenarnya sistem yang dianut UUD 1945 sebelum amandemen dapat juga disebut quasi menokameral atau semi unikameral. Lihat Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Jakarta : PT. Bhuana Ilmu Populer, 2007, hal. 156. 132
Universitas Sumatera Utara
selalu menimbulkan manipulasi serta kericuhan politik. 133 Permasalahanpermasalahan tersebut pada akhirnya menjadi bagian dari agenda reformasi. Tuntutan perubahan struktur kelembagaan MPR memicu perdebatan di kalangan fraksi di DPR. Sebagian fraksi menyatakan bahwa anggota MPR tetap terdiri dari anggota DPR, Utusan Daerah, dan Utusan Golongan. Sebagian yang lain mengusulkan agar MPR terdiri dari anggota DPR dan DPD, sedangkan utusan golongan dihapuskan. Perdebatan tersebut berakhir melalui sebuah keputusan dengan cara voting dan dihasilkan keputuskan bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri dari anggota DPR dan DPD yang dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum yang tertuang dalam pasal 2 ayat (1) UUD’45 pasca amandemen. 134
133
Moh. Mahfud MD, Demokrasi dan konstitusi di Indonesia, Studi tentang Interaksi Politik dan Kehidupan Ketatanegaraan, 2003, Jakarta : Penerbit Rineka Cipta, Cetakan II, hal. 154. 134 Risalah Rapat Pleno Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR tentang Pandangan Akhir Fraksi tanggal 29 Juli 2000
Universitas Sumatera Utara