12
BAB II LEMBAGA BIMBINGAN BELAJAR MELENGKAPI PENDIDIKAN FORMAL
Bab II merupakan tinjauan pustaka. Bab ini terbagi-bagi dalam beberapa sub-bab. Dalam bab ini penulis menguraikan secara lebih terperinci buku-buku rujukan dan artikel-artikel mengenai materi-materi yang berhubungan dengan permasalahan-permasalahan dalam penelitian ini. Beberapa sub-bab tersebut diantaranya konsep dasar pendidikan nonformal, sejarah perkembangan pendidikan nonformal, dan upaya pencerdasan bangsa dan pengembangan kewirausahaan.
A. Konsep Dasar Pendidikan Nonformal Untuk buku-buku rujukan yang membahas konsep-konsep dasar pendidikan luar sekolah atau nonformal yang meliputi pengertian pendidikan nonformal, tujuan dan fungsi pendidikan nonformal, ciri-ciri pendidikan nonformal, satuan/wadah kegiatan pendidikan nonformal, sifat-sifat pendidikan nonformal, syarat-syarat pendidikan nonformal, penilaian pendidikan nonformal, dan kaitan bimbingan belajar dengan pendidkan nonformal, diantaranya: Buku yang pertama berjudul “Konsep Dasar Pendidikan Luar Sekolah” karya S. Joesoef. Dalam buku tersebut, S. Joesoef mencoba mengajak pembaca untuk memahami konsep-konsep dasar mengenai pendidikan luar sekolah atau nonformal. Pengarang membagi bukunya menjadi beberapa bab. Salah satunya
13
adalah bab mengenai pendidikan luar sekolah. Dalam bab tersebut, dibahas secara definitif dan terperinci mengenai pengertian pendidikan luar sekolah atau nonformal, ciri-ciri pendidikan nonformal, dan satuan/wadah kegiatan pendidikan nonformal. Upaya ini memudahkan pembaca dan penulis untuk mengidentifikasi secara jelas mengenai apa itu pendidikan nonformal dan apa saja konsep yang berhubungan dengan pendidikan nonformal. Buku tersebut memberikan kontribusi terhadap penelitian ini yaitu dalam menjelaskan konsep dasar pendidikan nonformal. Bimbingan belajar merupakan bentuk satuan pendidikan nonformal. Pengertian dari pendidikan nonformal seperti yang dijelaskan pada Komunikasi Pembaruan Nasional Pendidikan dalam Joesoef (2004: 50), yaitu: “Setiap kesempatan di mana terdapat komunikasi yang teratur dan terarah di luar sekolah dan seseorang memperoleh informasi, pengetahuan, latihan maupun bimbingan sesuai dengan usia dan kebutuhan kehidupan, dengan tujuan mengembangkan tingkat keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang memungkinkan baginya menjadi peserta-peserta yang efisien dan efektif dalam lingkungan keluarga, pekerjaan bahkan lingkungan masyarakat dan negaranya”. Bimbingan belajar juga merupakan bentuk satuan pendidikan nonformal yang memiliki beberapa ciri khusus. Ciri-ciri pendidikan nonformal seperti dijelaskan dalam Joesoef (2004: 72-73), yaitu: 1. Diselenggarakan oleh pemerintah dan atau pihak swasta. 2. Pada umumnya tidak dibagi atas jenjang. 3. Waktu penyampaian diprogram lebih pendek. 4. Usia siswa di sesuatu kursus tidak perlu sama.
14
5. Para siswa umumnya berorientasi studi jangka pendek, praktis, agar segera dapat menerapkan hasil pendidikannya. 6. Materi mata pelajaran pada umumnya lebih banyak bersifat praktis dan khusus. 7. Merupakan respon daripada kebutuhan khusus yang mendesak. 8. Credentials (ijazah, dan sebagainya) umumnya kurang memegang peranan penting terutama bagi penerimaan siswa. Menurut Joesoef (2004: 63), terdapat banyak satuan/wadah kegiatan pendidikan nonformal ada tiga salah satunya yaitu bimbingan belajar. Bimbingan belajar adalah suatu lembaga kegiatan belajar mengajar yang dilaksanakan dalam jangka waktu tertentu. Bimbingan belajar tetap memenuhi unsur belajar mengajar seperti warga belajar, sumber belajar, program belajar, tempat belajar, dan fasilitas belajar. Sistem pengajaran dapat berupa ceramah, diskusi, latihan, praktek, dan penugasan. Dan pada akhir kegiatan bimbingan belajar ada evaluasi untuk menentukan keberhasilan. Menurut penulis, buku yang pertama cukup informatif untuk menjelaskan mengenai konsep dasar pendidikan nonformal. Namun, pengarangnya tidak memberikan penjelasan yang definitif dan terperinci mengenai persamaan antara pendidikan luar sekolah dan pendidikan nonformal. Pengarangnya menjelaskan bahwa pendikan nonformal dan informal sama dengan pendidikan luar sekolah. Ketidakjelasan ini membuat penulis sedikit kesulitan dalam hal menentukan apakah pendidikan luar sekolah itu sama dengan pendidikan nonformal atau tidak.
15
Sama halnya dengan buku kedua yang berjudul “Filsafat Pendidikan Nonformal” karya Oong Komar. Dalam buku tersebut, Oong Komar menjelaskan secara definitif dan terperinci mengenai konsep dasar pendidikan nonformal. Pengarangnya membagi buku tersebut ke dalam tiga bagian. Salah satunya adalah bagian ketiga yang terdiri dari enam bab. Beberapa bab dari bab-bab tersebut berisi pembahasan mengenai konsep dasar pendidikan nonformal yaitu pengertian pendidikan nonformal, tujuan pokok dan fungsi pendidikan nonformal, program pendidikan nonformal, dan satuan pendidikan nonformal. Menurut Komar (2006: 216), definisi operasional Pendidikan Nonformal dalam bentuk satuan bimbingan belajar adalah usaha sadar untuk mengembangkan diri melalui kegiatan pengajaran dan pelatihan yang berlangsung di luar satuan/ jalur kegiatan pendidikan sekolah (TK, SD, SMP, SLTA dan PT), baik yang dilembagakan maupun tidak, baik peningkatan kemampuan kerja dan mengikuti kemajuan zaman. Hoxeng (1973) dan Srinivasan (1977) dalam Komar (2006: 236) mengklasifikasikan program pendidikan nonformal atas dasar pendekatan pembelajaran yang digunakan, yakni: (a) pembelajaran yang memusatkan pada bahan belajar, (b) pembelajaran yang memusatkan pada pemecahan masalah, (c) pembelajaran yang memusatkan pada perubahan keadaan masyarakat, dan (d) pembelajaran yang memusatkan pada kreativitas perencanaan dan pengembangan sumber daya manusia. Jadi, dapat penulis simpulkan bahwa bimbingan belajar merupakan satuan pendidikan nonformal yang programnya didasari atas pendekatan pembelajaran yang memusatkan pada bahan belajar.
16
Menurut Pasal 7, SK Mendikbud Nomor: 015a/U/1981 dalam Komar (2006: 238-239), bimbingan belajar termasuk ke dalam rumpun kursus khusus. Berbeda dengan buku yang pertama, buku yang kedua berisi pembahasan yang lebih definitif dan terperinci karena banyak mengutip dari banyak ahli baik dari dalam maupun luar negeri serta lebih jelas dibandingkan dengan buku yang pertama karena pengarangnya menjelaskan persamaan antara konsep pendidikan luar sekolah dengan pendidikan nonformal sehingga tidak terjadi ketidakjelasan. Namun, pengarangnya tidak menjelaskan perbedaan antara pendidikan nonformal dengan pendidikan-pendidikan yang lainnya (pendidikan formal dan pendidikan informal) sehingga penulis tidak bisa memahami perbedaan pendidikan formal, pendidikan nonformal dengan pendidikan informal secara jelas. Buku yang ketiga berjudul “Pedoman Pendidikan Luar Sekolah” karya W. P. Napitupulu. Dalam buku tersebut, W. P. Napitupulu membahas mengenai konsep dasar pendidikan nonformal. Pengarangnya membagi bukunya ke dalam dua bab. Dalam bab yang kedua berisi pembahasan mengenai peraturan pemerintah Republik Indonesia tentang pendidikan luar sekolah atau pendidikan nonformal. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 1991 tentang Pendidikan Luar sekolah (Nonformal) BAB I Pasal 1 ayat (1) dan (4) dalam Napitupulu (1992: 37): 1. Pendidikan luar sekolah adalah pendidikan luar sekolah adalah pendidikan yang diselenggarakan di luar sekolah baik dilembagakan maupun tidak.
17
4. Bimbingan belajar adalah satuan pendidikan luar sekolah yang terdiri atas sekumpulan
warga
masyarakat
yang
memberikan
pengetahuan,
keterampilan, dan sikap mental tertentu bagi warga belajar. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 1991 tentang Pendidikan Luar sekolah (Nonformal) BAB II Pasal 2 dalam Napitupulu (1992: 38), penyelenggaraan bimbingan belajar sebagai satuan pendidikan nonformal bertujuan: 1. Melayani warga belajar supaya dapat tumbuh dan berkembang sedini mungkin dan sepanjang hayatnya guna meningkatkan martabat dan mutu kehidupannya; 2. Membina warga belajar agar memiliki pengetahuan, keterampilan, dan sikap mental yang diperlukan untuk mengembangkan diri, bekerja mencari nafkah atau melanjutkan ke tingkat dan / atau jenjang pendidikan yang lebih tinggi; dan 3. Memenuhi kebutuhan belajar masyarakat yang tidak dapat dipenuhi dalam jalur pendidikan sekolah Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 1991 tentang Pendidikan Luar sekolah (Nonformal) BAB IX Pasal 14 ayat (1) dalam Napitupulu (1992: 41), bentuk satuan pendidikan nonformal, yaitu: 1. Bimbingan belajar diselenggarakan bagi warga belajar yang memerlukan bekal untuk mengembangkan diri, bekerja mencari nafkah dan/atau melanjutkan ke tingkat atau jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
18
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 1991 tentang Pendidikan Luar sekolah (Nonformal) BAB IX Pasal 20 ayat (1) dan (2) dalam Napitupulu (1992: 43), penilaian/evaluasi dari bimbingan belajar sebagai satuan pendidikan nonformal, diantaranya: 1. Terhadap hasil belajar warga belajar dapat diadakan penilaian yang dapat dinyatakan dengan surat keterangan lulus, ijasah, atau sertifikat. 2. Terhadap
satuan
pendidikan
yang
memerlukan
pengesahan
dari
Pemerintah diadakan penilaian. Ada hal yang menurut penulis merupakan nilai tambah dalam buku tersebut yaitu berisi tentang status hukum dari keberadaan pendidikan nonformal itu sendiri di Indonesia. Dalam buku tersebut, dinyatakan bahwa perencanaan, pendirian, dan pelaksanaan dari bimbingan belajar sebagai satuan pendidikan nonformal di Indonesia telah disahkan secara legal menurut undang-undang yakni Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1991. Jadi, dalam buku tersebut penulis dapat mengetahui status hukum dari bimbingan belajar. Hal ini sejalan dengan pendapat S. Joesoef dalam buku yang pertama. S. Joesoef juga mencantumkan peraturan-peraturan yang merupakan pedoman dari pendidikan nonformal yaitu berdasarkan Pembukaan dan UUD 1945, Garis-garis Besar Haluan Negara, dan Pelita, sehingga penulis dapat lebih memahami tentang status hukum dari pendidikan nonformal. Namun, menurut penulis buku yang ketiga merupakan buku yang paling tidak lengkap dan paling sedikit memberikan kontribusi untuk penelitian dibandingkan buku-buku yang lainnya karena sedikit membahas mengenai konsep dasar pendidikan nonformal.
19
Dalam buku yang keempat yang berjudul “Pendidikan Nonformal: Wawasan, Sejarah Perkembangan, Filsafat dan Teori Pendukung, serta Asas” karya Djudju Sudjana, menurut penulis merupakan buku yang paling lengkap dan paling banyak memberikan kontribusi untuk penelitian jika dibandingkan dengan buku-buku yang lainnya. Djudju Sudjana membagi bukunya ke dalam tujuh bab. Salah satu dari bab tersebut yaitu bab 1 membahas secara lebih definitif dan terperinci mengenai konsep dasar pendidikan nonformal, seperti: pengertian pendidikan nonformal, tujuan dan fungsi pendidikan nonformal, ciri-ciri pendidikan nonformal, satuan/wadah kegiatan pendidikan nonformal, sifat-sifat pendidikan nonformal, syarat-syarat pendidikan nonformal, dan lain-lain. Menurut Sudjana (2004: 22) bimbingan belajar sebagai satuan pendidikan nonformal adalah setiap kegiatan terorganisasi dan sistematis, di luar sistem persekolahan yang mapan, dilakukan secara mandiri atau merupakan bagian penting penting dari kegiatan yang lebih luas yang sengaja dilakukan untuk melayani peserta didik tertentu di dalam mencapai tujuan belajarnya. Definisi yang diusulkan oleh Coombs dan teman sekerjanya telah diterima secara umum. Mereka mendefinisikan bimbingan belajar sebagai salah satu bentuk satuan pendidikan nonformal sebagai berikut: “Suatu aktivitas pendidikan yang diatur di luar sistem pendidikan formal baik yang berjalan tersendiri ataupun sebagai suatu bagian yang penting dalam aktivitas yang lebih luas yang ditujukan untuk melayani sasaran didik yang dikenal dengan tujuan-tujuan pendidikan.”
20
Bimbingan belajar sebagai satuan pendidikan nonformal (luar sekolah) memiliki ciri-ciri tertentu yang hal ini dikemukakan oleh Sudjana (2004: 29-32) yaitu antara lain: 1. Dilihat dari tujuan, bimbingan belajar bertujuan untuk memenuhi kebutuhan belajar tertentu yang fungsional bagi kehidupan masa kini dan masa depan 2. Dilihat dari waktu, pelaksanaan bimbingan belajar relatif singkat dan tergantung dari kebutuhan warga belajar 3. Dilihat dari proses belajar mengajar, yang mana proses belajar dalam bimbingan belajar dipusatkan di lingkungan masyarakat dan lembaga serta struktur program yang sifatnya fleksibel 4. Dilihat dari isi program. Dalam hal ini kurikulum yang beragam dan berpusat pada kepentingan peserta didik dengan mengutamakan aplikasi 5. Dilihat dari pengendalian program, yang mana dilakukan oleh pelaksana program dan peserta didik Sehubungan dengan pembahasan di atas, lembaga bimbingan belajar baik Primagama, Ganesha Operation (GO), Nurul Fikri, maupun Sony Sugema College (SSC) merupakan sebuah lembaga/satuan pendidikan nonformal yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (a) bertujuan untuk memenuhi kebutuhan belajar tertentu yakni meningkatkatkan prestasi dan membatu memasuki sekolah atau perguruan tinggi negeri favorit, (b) waktunya disesuaikan dengan kebutuhan (relatif singkat), (c) proses belajar mengajar dipusatkan di suatu lembaga bimbel, dan (d) kurikulum disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik dan lebih praktis.
21
Menurut penulis, dalam buku yang keempat pengarangnya tidak membahas mengenai konsep-konsep dasar pendidikan nonformal tersebut secara klasifikatif
sehingga
penulis
kesulitan
dalam
mengklasifikasi
dan
mengidentifikasi konsep-konsep tersebut.
B. Sejarah Perkembangan Pendidikan Nonformal Untuk
buku-buku
rujukan
yang
membahas
mengenai
sejarah
perkembangan pendidikan nonformal di Indonesia yang meliputi asal-usul/latar belakang pendidikan nonformal, faktor pendukung perkembangan pendidikan nonformal, dan perencanaan pendidikan nonformal diantaranya: Buku yang pertama berjudul “Konsep Dasar Pendidikan Luar Sekolah” karya S. Joesoef. Dalam buku tersebut, S. Joesoef mencoba mengajak pembaca untuk memahami asal-usul atau latar belakang dari pendidikan luar sekolah atau nonformal di Indonesia. Pengarang membagi bukunya menjadi beberapa bab. Salah satunya adalah bab mengenai pendidikan luar sekolah. Dalam bab tersebut, dibahas secara terperinci mengenai alasan-alasan timbulnya sistem pendidikan luar sekolah. Pengarangnya mengklasifikasi dan mengidentifikasi alasan-alasan tersebut ke dalam tiga segi yaitu: (1) Alasan dari segi faktual – historis, yang meliputi kesejarahan, kebutuhan pendidikan, keterbatasan sistem persekolahan, potensi sumber belajar, dan keterlantaran pendidikan luar sekolah, (2) Alasan dari segi analitis – perspektif, yang meliputi pelestarian identitas bangsa dan kecenderungan belajar individual, dan (3) Alasan dari segi formal – kebijakan
22
yang meliputi Pembukaan dan UUD 1945, Garis-garis Besar Haluan Negara, dan Pelita. Selain itu, dalam bab berikutnya yaitu bab mengenai pendidikan informal, formal, dan nonformal, pengarangnya juga mengklasifikasi dan mengidentifikasi pendapatnya mengenai latar belakang dari pendidikan nonformal. Dalam bagian tersebut, pengarangnya membagi latar belakang pendidikan nonformal ke dalam dua sudut tinjauan yaitu peningkatan pendidikan informal dan kelengkapan pendidikan formal. Upaya ini memudahkan pembaca untuk mengklasifikasi dan mengidentifikasi secara jelas mengenai apa itu pendidikan nonformal, apa saja konsep yang berhubungan dengan pendidikan nonformal, dan bagaimana sejarah perkembangan/latar belakang pendidikan luar sekolah dan pendidikan nonformal. Dan buku tersebut memberikan kontribusi terhadap penelitian yaitu membantu penulis dalam mencari sumber mengenai sejarah perkembangan pendidikan nonformal. Menurut Joesoef (2004: 67-69), latar belakang diselenggarakannya pendidikan nonformal dapat ditinjau dari dua sudut tinjauan yaitu: 1. Peningkatan pendidikan informal Dalam masyarakat yang sudah kompleks dengan sistem pembagian kerja yang tajam, pendidikan informal kurang memberikan kepuasan pada manusia akan kebutuhan pendidikan yang harus dimiliki/diperlukan. Dan pendidikan informal yang selama ini berlangsung sudah dirasa kurang efektif dan efisien baik bagi anak didik maupun pendidikan sehingga perlu peningkatan.
23
2. Kelengkapan pendidikan formal Pendidikan formal mengakibatkan manusia terus menerus berada dalam setting buatan, yang bersifat modern, yang kadang-kadang membahayakan anak didik sendiri yakni “menjadi golongan manusia tersendiri dalam masyarakatnya”. Selain itu, pendidikan formal yang semakin terperinci menjadikan seseorang hanya menguasai bidang tertentu. Menurut penulis, buku yang pertama cukup informatif untuk menjelaskan mengenai sejarah perkembangan pendidikan luar sekolah dan nonformal. Namun, pengarangnya tidak memberikan penjelasan yang definitif dan terperinci mengenai persamaan antara pendidikan luar sekolah dan pendidikan nonformal. Pengarangnya menjelaskan bahwa pendikan nonformal dan informal sama dengan pendidikan luar sekolah. Ketidakjelasan ini membuat penulis sedikit kesulitan dalam hal menentukan apakah pendidikan luar sekolah itu sama dengan pendidikan nonformal atau tidak. Selain itu, kekurangan dari buku yang pertama yaitu tidak dicantumkannya periode dalam pembahasan mengenai sejarah pendidikan luar sekolah dan latar belakang pendidikan nonformal, sehingga penulis tidak mengetahui secara pasti kapan pertama kali pendidikan nonformal itu muncul di Indonesia. Dalam buku yang pertama juga tidak dibahas secara spesifik mengenai sejarah dan latar belakang berdirinya lembaga bimbingan belajar di Indonesia sehingga penulis kesulitan dalam meneliti dan membahas mengenai latar belakang dan peranan lembaga bimbingan belajar di Indonesia.
24
Sama halnya dengan buku kedua yang berjudul “Filsafat Pendidikan Nonformal” karya Oong Komar. Dalam buku tersebut, Oong Komar menjelaskan secara definitif dan terperinci mengenai sejarah perkembangan pendidikan nonformal di Indonesia. Pengarangnya membagi buku tersebut ke dalam tiga bagian. Salah satunya adalah bagian ketiga yang terdiri dari enam bab. Bab 14 dalam buku tersebut berisi pembahasan mengenai sejarah perkembangan pendidikan nonformal di Indonesia dari mulai masa sebelum penjajahan, masa penjajahan, masa revolusi fisik, awal kemerdekaan dan masa agresi, orde pembangunan, sampai era reformasi. Sama halnya seperti buku yang pertama, dalam buku yang kedua juga tidak dibahas secara spesifik mengenai sejarah dan latar belakang berdirinya lembaga bimbingan belajar di Indonesia sehingga penulis kesulitan dalam meneliti dan membahas mengenai latar belakang dan peranan lembaga bimbingan belajar di Indonesia. Berbeda dengan buku yang pertama, buku yang kedua berisi pembahasan yang lebih terperinci jika dibandingkan dengan buku yang pertama karena buku yang kedua membahas sejarah perkembangan pendidikan nonformal di Indonesia dari periode yang paling awal sampai periode yang paling akhir. Dalam hal ini, pengarangnya mengklasifikasi dan mengidentifikasi perkembangan pendidikan nonformal secara periodik (berdasarkan waktu/zaman). Upaya ini memudahkan pembaca dan penulis untuk mengklasifikasi dan mengidentifikasi secara jelas mengenai kapan pendidikan nonformal muncul di Indonesia dan kapan pendidikan nonformal berkembang dan berperan di Indonesia. Namun, menurut penulis buku
25
yang kedua memiliki kekurangan yang sama dengan buku yang pertama yaitu pengarangnya tidak membahas mengenai praktisi-praktisi pendidikan nonformal dan pengkritik-pengkritik persekolahan (pendidikan formal). Buku yang ketiga berjudul “Perencanaan Pendidikan Nonformal” karya M. Sardjan Kadir. Dalam buku tersebut, M. Sardjan Kadir membahas mengenai perkembangan pendidikan nonformal yang lebih difokuskan kepada pembahasan mengenai perencanaan pendidikan nonformal. Pengarangnya membagi bukunya ke dalam tiga bab. Dalam bab yang kedua berisi pembahasan secara terperinci mengenai perkembangan pendidikan nonformal yang meliputi praktisi-praktisi pendidikan nonformal, pengkritik-pengkritik persekolahan (pendidikan formal), dan pengkritik pendidikan nonformal. Menurut Kadir (1982: 97-99), selain terdapat kritik-kritik terhadap pendidikan formal (persekolahan), terdapat juga kritik-kritik terhadap pendidikan nonformal, diantaranya: 1. Aktivitas-aktivitas pendidikan nonformal biasanya bukan suatu proses untuk memberikan suatu penghargaan dan karena itu lulusannya tidak dapat bersaing secara efektif dengan lulusan pendidikan formal untuk mendapatkan suatu pekerjaan. 2. Orang-orang yang masuk program-program pendidikan nonformal secara relatif memiliki harapan yang lebih rendah daripada orang-orang yang masuk sekolah. Ada hal yang menurut penulis merupakan nilai tambah dalam buku tersebut dan tidak dibahas dalam buku-buku yang lainnya yaitu berisi tentang
26
kritik mengenai pendidikan nonformal itu sendiri. Hal ini membuktikan bahwa pengarang dalam buku tersebut bersifat netral. Namun, menurut penulis buku yang ketiga merupakan buku yang paling tidak lengkap dan paling sedikit memberikan kontribusi untuk penelitian jika dibandingkan dengan buku-buku yang lainnya karena dalam buku tersebut sedikit membahas mengenai sejarah perkembangan pendidikan nonformal, khususnya tidak membahas secara kronologis/periodik mengenai awal mula lahirnya pendidikan nonformal sampai pada perkembangan terakhirnya. Sama halnya seperti buku yang pertama dan buku yang kedua, dalam buku yang ketiga juga tidak dibahas secara spesifik mengenai sejarah dan latar belakang berdirinya lembaga bimbingan belajar di Indonesia sehingga penulis kesulitan dalam meneliti dan membahas mengenai latar belakang dan peranan lembaga bimbingan belajar di Indonesia. Dalam buku yang keempat yang berjudul “Pendidikan Nonformal: Wawasan, Sejarah Perkembangan, Filsafat dan Teori Pendukung, serta Asas” karya Djudju Sudjana, menurut penulis merupakan buku yang paling lengkap dan paling banyak memberikan kontribusi untuk penelitian jika dibandingkan dengan buku-buku yang lainnya. Djudju Sudjana membagi bukunya ke dalam tujuh bab. Salah satu dari bab tersebut yaitu bab 2 membahas secara lebih terperinci mengenai sejarah perkembangan pendidikan nonformal yang meliputi: (1) Asalusul Pendidikan Nonformal yang terdiri dari pengaruh pendidikan informal, pengaruh tradisi masyarakat, dan pengaruh agama dan (2) Faktor Pendukung Pendidikan Nonformal
yang terdiri dari
para praktisi di masyarakat,
27
berkembangnya kritik terhadap pendidikan formal, dan para perencana pendidikan untuk pembangunan. Menurut Sudjana (2004: 71-80), faktor-faktor pendukung Pendidikan Nonformal, di antaranya: 1. Sebagai pelengkap atau komplemen pendidikan sekolah. Bimbingan belajar/kursus berfungsi untuk melengkapi kemampuan peserta didik dengan memberikan pengalaman belajar yang tidak diperoleh dalam kurikulum pendidikan formal 2. Sebagai penambah atau suplemen pendidikan sekolah. Bimbingan belajar/kursus juga bertujuan untuk menyediakan kesempatan belajar dalam rangka memperdalam pemahaman dan penguasaan materi tertentu yang sudah diperoleh dalam program pendidikan 3. Sebagai pengganti atau substitusi pendidikan sekolah. Bimbingan belajar/kursus menyediakan kesempatan belajar bagi masyarakat yang dengan berbagai alasan tidak memperoleh kesempatan untuk sekolah sekalipun memasuki sekolah dasar. Dalam hal ini, lembaga-lembaga bimbingan belajar baik Primagama, Ganesha Operation (GO), Nurul Fikri, maupun Sony Sugema College (SSC) memiliki fungsi sebagai pelengkap dan penambah pendidikan formal (sekolah). Sudjana (2004: 81-97) juga menjelaskan bahwa sejumlah praktisi dan pakar pendidikan melontarkan kritik terhadap pendidikan formal, diantaranya: a. Phillip H. Coombs
28
Menurut Coombs, pendidikan formal memiliki empat kelemahan. Pertama, sebagai akibat pertambahan penduduk yang makin pesat maka keinginan masyarakat untuk memperoleh kesempatan pendidikan makin meningkat sehingga menyebabkan beban yang dipikul oleh pendidikan formal semakin berat. Kedua, sumber-sumber yang digunakan untuk pendidikan kurang memadai sehingga pendidikan formal mengalami hambatan untuk merespons secara tepat terhadap kebutuhan dan perkembangan masyarakat. Ketiga, kelambatan sistem pendidikan formal itu sendiri untuk menyesuaikan dengan perkembangan yang terjadi di luar pendidikan. Keempat, kelambanan masyarakat itu sendiri dalam memanfaatkan lembaga dan lulusan pendidikan formal sehingga jurang perbedaan antara jumlah dan kemampuan para lulusan dengan lapangan kerja semakin melebar. b. Ivan Illich Menurut Illich, sekolah memonopoli pendidikan dan lebih menitikberatkan produknya berupa lulusan yang hanya didasarkan atas hasil penilaian dengan menggunakan angka-angka dan ijazah. c. Paulo Freire Menurut Freire, guru cenderung bertindak sebagai penekan (guru sebagai pusat belajar) dan sekolah tidak berhasil dalam untuk mengembangkan situasi pembelajaran yang memberikan kemampuan kepada para peserta didik untuk berpikir kritis sehingga mereka dapat mengenali, menganalisis, dan memecahkan masalah yang timbul dalam dunia kehidupannya. d. Carl Rogers
29
Menurut Rogers, proses pembelajaran dalam pendidikan formal lebih berpusat pada guru sehingga tidak ada kebebasan peserta didik dalam mengeluarkan pendapat dan bertukar pengalaman. e. Abraham H. Maslow Menurut Maslow, kegiatan pembelajaran di sekolah cenderung tidak didasarkan atas kebutuhan peserta didik. Menurutnya, taraf kehidupan peserta didik yang terus meningkat dan disertai dengan telah berkembang kemampuan untuk mengenali kenyataan diri melalui interaksi dengan lingkungannya melalui penggunaan cara-cara baru tidak didukung sepenuhnya oleh sekolah dalam hal pemenuhan kebutuhan aktualisasi diri peserta didik. f. Jerome S. Bruner Menurut Brunner, proses pembelajaran pengetahuan akan berjalan dengan baik apabila didasarkan atas dorongan yang tumbuh dari dalam diri peserta didik, adanya kebebasan peserta didik untuk memilih dan berbuat dalam kegiatan belajar, dan tidak adanya keterikatan peserta didik oleh pengaruh ganjaran dan hukuman yang datangnya dari luar dirinya yaitu guru. g. B. F. Skinner Menurut Skinner, pada umumnya kegiatan pembelajaran yang dilakukan dalam pendidikan tidak didasarkan atas perkembangan lingkungan dan lebih didominasi oleh pendidik (guru) dan bukan oleh bahan dan cara belajar. h. Malcolm S. Knowles Menurut Knowles, pendidik tidak perlu memaksakan pendapat dan keinginannya sendiri kepada para peserta didik, melainkan ia harus lebih banyak
30
melimpahkan tanggung jawab pengelolaan kegiatan belajar kepada para peserta didik. Sama seperti buku yang ketiga, pengarang dalam buku yang keempat membahas pendapat-pendapat para ahli mengenai kritik mereka terhadap pendidikan formal. Namun, sama halnya seperti buku yang pertama, buku yang keempat pun pengarangnya tidak mencantumkan periode dalam pembahasan mengenai asal-usul pendidikan nonformal sehingga penulis tidak mengetahui secara pasti kapan pertama kali pendidikan nonformal itu muncul di Indonesia. Dalam buku yang pertama juga tidak dibahas secara spesifik mengenai sejarah dan latar belakang berdirinya lembaga bimbingan belajar di Indonesia sehingga penulis kesulitan dalam meneliti dan membahas mengenai latar belakang dan peranan lembaga bimbingan belajar di Indonesia.
C. Upaya Pencerdasan Bangsa dan Pengembangan Kewirausahaan Untuk buku-buku yang mengkaji/membahas mengenai Upaya Pencerdasan Bangsa dan Pengembangan Kewirausahaan, diantaranya: Buku pertama yang mengemukakan tentang kewirausahaan adalah buku berjudul Kewirausahaan (1999), yang ditulis oleh Buchari Alma, dalam buku tersebut memaparkan hal sebagai berikut: Sehubungan dengan pengertian wiraswasta menurut Hisrich-Petters (1995:10) yang dikutif Buchari Alma (1999:36) adalah: “entrepreneurship is the process of creating something different with value by devoting the necessary time and effort, assuming the accompanying financial, psychic, and social risks, and receiving the
31
resulting rewards indefendence.”
of
monetary
and
personal
satisfaction
and
Artinya kewirausahaan adalah proses menciptakan sesuatu yang lain dengan menggunakan waktu dan kegiatan disertai modal dan resiko serta menerima balas jasa dan kepuasan serta kebebasan pribadi. Sehubungan dengan konsep kewirausahaan yang berasal dari bahasa Inggris yaitu entrepreneurship, Raymond Kao (1993) mengemukakan pengertian kewirausahaan sebagai suatu proses melakukan sesuatu yang baru dan berbeda dengan tujuan menciptakan kemakmuran bagi individu dan memberikan tambahan nilai pada masyarakat”. Entrepreneur sendiri yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi wirausaha didefinisikan sebagai “orang yang menciptakan kemakmuran dan juga proses peningkatan nilai tambah melalui gagasan yang dimilikinya, serta memadukan berbagai sumber daya yang ada dan membuat gagasan menjadi kenyataan. Berdasarkan pemikiran-pemikiran yang diungkapkan diatas, penulis dapat menarik kesimpulan bahwa pada dasarnya kewirausahaan merupakan sikap mental yang senantiasa berusaha untuk memanfaatkan sesuatu, baik barang maupun situasi tertentu agar memiliki nilai manfaat yang lebih tinggi untuk meningkatkan penghasilan melalui keterampilan yang dimilikinya. Selain itu, seorang wirausaha juga harus mampu melihat suatu peluang dan memanfaatkan untuk mencapai kelangsungan hidupnya dengan cara mengkoordinasikan dan memanfaatkan keterampilan yang dimilikinya, modal dan teknologi untuk mencapai tujuan.
32
Seseorang yang memiliki jiwa wirausaha akan selalu berusaha untuk mengoptimalkan sumber daya yang ada dan memanfaatkan peluang dan datang untuk mengembangkan diri dalam lingkungannya. Dengan keberanian dalam mengambil resiko dan kreativitas serta kemampuan mengorganisasikan sumber daya yang dimilikinya secara tepat guna dan efisien. Berikut penulis uraikan karakteristik kewirausahaan menurut pendapat ahli sebagai gambaran karakter yang mencerminkan jiwa wirausaha yang berpotensi dalam mengembangkan diri menuju keberhasilan dalam mencapai tujuan. Karakteristik kewirausahaan menurut M. Scarborough dan Thomas W Zimmer (Suryana, 2000: 8-9) adalah: 1.
2.
3.
4. 5.
6. 7.
8.
Disire for responsibility: memiliki rasa taggung jawab baik dalam mengontrol sumber daya yang digunakan maupun tanggung jawab terhadap keberhasilan berwirausaha juga atas usaha-usaha yang dilakukannya. Orang yang memiliki tanggung jawab akan selalu mawas diri secara internal. Preference for moderate risk: lebih memilih resiko mederat, artinya menghindari resiko yang rendah dan tinggi. Wirausaha harus balajar untuk mengelola resiko. Desire for immediate feed back: menghendaki umpan balik yang segera. Ia selalu ingin mengetahui hasil dari apa yang dikerjakannya. Oleh karena itu, dalam memperbaiki kinerjanya, ia selalu memiliki kemampuan untuk menggunakan ilmu pengetahuan yang dimilikinya dan selalu belajar dari kegagalan. Confidence in their ability to success: ia cenderung optimis dan memiliki keyakinan yang kuat terhadap kemampuan yang dimilikinya untuk berhasil. High level energy: memiliki tingkat energi yang tinggi di atas rata-rata orang lainnya. Ia lebih suka kerja keras walaupun dalam waktu yang relatif lama. Memiliki semangat dan suka kerja keras untuk mewujudkan keinginannya demi masa depan yang lebih baik. Future orientation: berorientasi pada masa depan, persfektif dan berwawasan jauh kedepan untuk tumbuh dan berkembang. Skill at organizing: memilki keterampilan dalam mengorganisasikan sumber daya untuk menciptakan nilai tambah. Memiliki kemampuan untuk menggunakan pengaruh tanpa kekuatan (power), memiliki taktik mediator dan negotiator daripada dictator. Value of achievement over money: selalu menilai prestasi dengan uang. Uang baginya berarti penghargaan bagi keberhasilan yang diraihnya.
33
Wirausahawan selalu berusaha untuk menjaga komitmennya dalam melakukan tugasnya sampai berhasil. Ia tidak setengah-setengah dalam melakukan pekerjaannya. Karena itu, ia selalu tekun, ulet, dan pantang menyerah, sebelum tujuannya tercapai. Dalam melakukan pekerjaanya tersebut, wirausaha tidak bertindak spekulatif, tetapi selalu penuh perhitungan. Ia berani mengambil resiko terhadap pekerjaanya karena sudah diperhitungkan. Oleh sebab itu wirausaha selalu berani mengambil resiko yang moderat atau resiko yang tidak tinggi maupun tidak rendah, artinya resiko yang didukung oleh komitmen yang kuat, hal ini akan menjadi pendorong untuk terus berjuang mencari peluang sampai ada hasil. Bagi penulis, buah karya Buchari Alma tersebut memberikan kontribusi yang cukup besar. Kelebihan buku tersebut yaitu selain lugas membahas pengertian wirausaha secara lengkap dan terperinci, tiap sub-bab yang terkandung di dalamnya juga dinilai memiliki korelasi yang baik antara satu sama lain, sehingga secara keseluruhan mampu memberikan gambaran dan pemahaman yang jelas bagi penulis. Buku kedua yang membahas mengenai kewirausahaan adalah buku karya Suhono Harso dengan judul Entrepreneurial Economic Development (2004). Pada dasarnya pembahasan dalam buku tersebut, hampir sama dengan apa yang dikemukakan oleh Buchari Alma, terutama mengenai pengertian kewirausahaan. Kontribusi buku Entrepreneurial Economic Development dapat membantu penulis dalam memahami kewirausahaan. Kekurangan dari Entrepreneurial Economic Development yaitu kurang terperincinya penjelasan mengenai
34
kewirausahaan. Hal tersebut dikarenakan buku tersebut memuat beberapa bab yang terdiri dari jurnal-jurnal penelitian, yang mana jurnal-jurnal tersebut kurang sinergis karena tidak hanya terfokus kepada aspek kewirausahaan. Dan buku ketiga yang memuat kewirausahaan yaitu karyanya Thoby Multis dengan judul Kewirausahaan yang Berproses (1995). Buku tersebut memaparkan pendapat para ahli sebagai berikut: Ahli ekonomi Adam Smith dan Jean Baptiste Say mengatakan, bahwa seorang wirausaha adalah seorang yang menyatukan faktor-faktor produksi. Pendapat tersebut kemudian dilengkapi oleh Joseph Schumpeter Ahli ekonomi Austria yang menambahkan inovasi dan pemanfaatan peluang usaha sebagai bagian dari aktivitas wirausaha. Adapun Jose Carlos Jarillo Mossi mendefinisikan, kewirausahaan sebagai “seorang yang merasakan adanya peluang, mengejar peluang-peluang yang ada sesuai dengan situasi dirinya, dan percaya bahwa kesuksesan merupakan suatu hal yang bisa dicapai.” Sementara itu Heru Sutojo menegaskan pendapat dari J.A. Schumpeter yang mengatakan, bahwa entrepreneur adalah orang yang bisa mengadakan kombinasi baru, di mana kombinasi itu merupakan fenomena yang fundamental bagi pembangunan ekonomi, dengan sifat-sifat entrepreneur sebagai berikut: selalu memiliki prakarsa otoritas, melihat ke masa depan, mempunyai intuisi yang kuat, mempunyai kebebasan mental, mempunyai jiwa kepemimpinan dan pemberontak sosial (social deviance). Entrepreneurship adalah sikap untuk melakukan suatu usaha karena ada suasana yang mendukung untuk merealisasikannya. Seorang entrepreneur akan
35
selalu berpikir untuk bertindak mencari pemecahan (looking at solution), sesuai dengan inisiatif yang muncul untuk meraih target dengan kedinamisan tertentu. Sementara itu, Mc. Clelland berpendapat bahwa entrepreneur adalah orang yang mengorganisasikan badan usaha dan berusaha untuk meningkatkan kapasitas produktifnya. Berdasarkan
pemikiran-pemikiran yang diungkapkan di atas, penulis
dapat menarik kesimpulan bahwa pada dasarnya para ahli telah berusaha mengidentifikasi ciri-ciri pribadi para wirausaha. Di antaranya yang paling sering diungkapakan adalah adanya kebutuhan untuk mencapai sesuatu (achievement), adanya kebutuhan akan kontrol, orientasi intuitif dan kecenderungan untuk mengambil resiko. Kelebihan sumber buku kewirausahaan yang berproses yakni mampu melengkapi pemaparan dalam buku kewirausahaan karya Buchari Alma. Dalam buku tersebut dikemukakan banyak pendapat dari para ahli, sehingga membantu penulis untuk mengetahui lebih jelas mengenai pengertian kewirausahaan. Akan tetapi meskipun buku tersebut memberikan banyak pencerahan terhadap penulis, pembahasan dalamya terlalu luas. Masih dalam buku yang sama, dikemukakan bahwa munculnya jiwa kewirausahaan sesungguhnya adalah keinginan yang kuat untuk mencapai prestasi gemilang yang dikerjakan melalui penampilan kerja yang baik. Bagi Mc. Clelland, nilai kerja yang baik khususnya dalam era pembangunan terletak pada “spirit” atau “semangat” seseorang dalam menghadapi pekerjaanya. Inilah yang oleh Mc. Clelland disebut sebagai motivasi berprestasi.
36
Adapun ciri pikiran dan tingkah laku yang menggambarkan adanya motif berprestasi tinggi pada seseorang adalah: 1. Menyatakan kebutuhan akan prestasi 2. Mengharapkan atau memperkirakan keberhasilan 3. Membayangkan atau memperkirakan kegagalan 4. Antisipasi hambatan luar dalam diri 5. Mengharapkan bantuan dan dorongan dari orang lain 6. Memiliki pikiran atau perasaan positif dan negatif 7. Mengaitkan atau memikirkan masa depan. (McClelland dalam Soewarsono, 1994:31). Sehubungan dengan teori tersebut, Lembaga bimbingan belajar baik Primagama, Ganesha Operation (GO), Nurul Fikri (NF), maupun Sony Sugema College (SSC) merupakan sebuah lembaga yang terbentuk dari semangat dan keinginan kuat dari setiap pendirinya/pemiliknya untuk mencapai keberhasilan melalui perencanaan yang matang. Buku yang terakhir adalah Pedoman Pendidikan Luar Sekolah karya W. P. Napitupulu (1992). Dalam bukunya dijelaskan bahwa keberadaan lembaga bimbingan belajar semakin kuat dengan hadirnya Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Salah satu hal yang ditekankan dalam UU Nomor 2 tahun 1989 adalah terkait dengan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan, yakni bahwa pada dasarnya beban penyelenggaraan pendidikan tidak saja dipikul oleh pemerintah saja, tetapi juga pada keluarga dan masyarakat (Napitupulu, 1992: 37).
37
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa Lembaga bimbingan belajar baik Primagama, Ganesha Operation (GO), Nurul Fikri (NF), maupun Sony Sugema College (SSC) merupakan lembaga yang ikut serta program pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan dengan tujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa disamping mengembangkan kewirausahaan (entrepreneurship) mereka.