BAB II LANDASAN TEORI
A. Resiliensi 1. Pengertian Resiliensi Resiliensi merupakan kemampuan seseorang untuk bertahan, bangkit, dan menyesuaikan dengan kondisi yang sulit. Resiliensi adalah kapasitas untuk merespon secara sehat dan produktif ketika berhadapan dengan kesengsaraan atau trauma, yang diperlukan untuk mengelola tekanan hidup sehari-hari (Reivich & Shatte, 2002). Grotberg (dalam Schoon, 2006) menyatakan bahwa resiliensi adalah kemampuan seseorang untuk menilai, mengatasi, dan meningkatkan diri ataupun mengubah dirinya dari keterpurukan atau kesengsaraan dalam hidup. Karena setiap orang itu pasti mengalami kesulitan ataupun sebuah masalah dan tidak ada seseorang yang hidup di dunia tanpa suatu masalah ataupun kesulitan. Jadi, dapat disimpulkan bahwa resiliensi adalah suatu kemampuan untuk bertahan dan bangkit dalam menghadapi berbagai kesulitan hidup.
2. Faktor-faktor Pembentuk Resiliensi Terdapat tujuh kemampuan yang membentuk resiliensi, yaitu regulasi emosi, pengendalian impuls, optimisme, empati, analisis penyebab masalah, efikasi diri, dan pencapaian (Reivich dan Shatte, 2002).
a.
Regulasi Emosi Regulasi emosi adalah kemampuan untuk tetap tenang di bawah kondisi yang
menekan. Greef (dalam Reivich dan Shatte, 2002) menyatakan bahwa individu yang memiliki kemampuan untuk mengatur emosinya dengan baik dan memahami emosi orang lain akan memiliki self-esteem dan hubungan yang lebih baik dengan orang lain. Tidak semua emosi yang dirasakan oleh individu harus dikontrol. Tidak semua emosi marah, sedih, gelisah dan rasa bersalah harus diminimalisir. Hal ini dikarenakan mengekspresikan emosi yang kita rasakan baik emosi positif maupun negatif merupakan hal yang konstruksif dan sehat (Reivich dan Shatte, 2002). Lebih lanjut Reivich dan Shatte (2002) menyatakan bahwa penelitian menunjukkan orang yang kurang memiliki kemampuan untuk mengatur emosi mengalami kesulitan dalam membangun dan menjaga hubungan dengan orang lain. Hal ini bisa disebabkan oleh berbagai macam faktor, di antara alasan yang sederhana adalah tidak ada orang yang mau menghabiskan waktu bersama orang yang marah, merengut, cemas, khawatir serta gelisah setiap saat. Emosi yang dirasakan oleh seseorang cenderung berpengaruh terhadap orang lain. Semakin kita terasosiasi dengan kemarahan maka kita akan semakin menjadi seorang yang pemarah. b. Pengendalian Impuls Reivich dan Shatte (2002) menyatakan bahwa pengendalian impuls adalah kemampuan individu untuk mengendalikan keinginan, dorongan, kesukaan, serta tekanan yang muncul dari dalam diri. Individu yang memiliki kemampuan pengendalian impuls yang rendah, cepat mengalami perubahan emosi yang pada
akhirnya mengendalikan pikiran dan perilaku mereka. Mereka menampilkan perilaku mudah marah, kehilangan kesabaran, impulsif, dan berlaku agresif. Pada tahun 1970, Goleman (dalam Reivich dan Shatte, 2002), penulis dari Emotional Intelligence, melakukan penelitian terhadap 7 orang anak kecil berusia sekitar 7 tahun terkait kemampuan individu dalam pengendalian impuls. Dalam penelitian tersebut anak-anak tersebut masing-masing ditempatkan pada ruangan yang berbeda. Sebelum peneliti pergi, masing-masing anak diberikan sebuah Marshmallow untuk dimakan oleh mereka. Namun peneliti juga menawarkan apabila mereka dapat menahan untuk tidak memakan Marshmallow tersebut sampai peneliti kembali ke ruangan tersebut, maka mereka akan mendapatkan satu buah Marshmallow lagi.
Setelah sepuluh tahun, peneliti melacak kembali
keberadaan anak-anak tersebut dan terbukti bahwa anak-anak yang dapat menahan untuk tidak memakan Marshmallow, memiliki kemampuan akademis dan sosialisasi yang lebih baik dibandingkan anak-anak yang sebaliknya (Goleman dalam Reivich dan Shatte (2002). Individu dapat mengendalikan impulsivitas dengan mencegah terjadinya kesalahan pemikiran, sehingga dapat memberikan respon yang tepat pada permasalahan yang ada. Pencegahan dapat dilakukan dengan dengan menguji keyakinan individu dan mengevaluasi kebermanfaatan terhadap pemecahan masalah. Individu dapat melakukan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat rasional yang ditujukan kepada dirinya sendiri, seperti „apakah penyimpulan terhadap masalah yang saya hadapi berdasarkan fakta atau hanya menebak?‟, ‟apakah saya sudah melihat permasalahan secara keseluruhan?‟, ‟apakah manfaat dari semua ini?‟, dll (Reivich dan Shatte, 2002).
c. Optimisme Optimisme adalah ketika kita melihat bahwa masa depan kita cemerlang, individu yang resilien adalah individu yang optimis (Reivich & Shatte, 2002). Peterson dan Chang (dalam Siebert, 2005) mengungkapkan bahwa optimisme sangat terkait dengan karakteristik yang diinginkan oleh individu, kebahagiaan, ketekunan, prestasi dan kesehatan. Individu yang optimis percaya bahwa situasi yang sulit suatu saat akan berubah menjadi situasi yang lebih baik. Optimis membuat kesehatan menjadi lebih baik, jarang mengalami depresi, serta memiliki produktivitas kerja yang tinggi, apabila dibandingkan dengan individu yang cenderung pesimis. Sebagian individu memiliki kecenderungan untuk optimis dalam memandang hidup ini secara umum, sementara sebagian individu yang lain optimis hanya pada beberapa situasi tertentu (Siebert, 2005). Optimisme bukanlah sebuah sifat yang terberi melainkan dapat dibentuk dan ditumbuhkan dalam diri individu (Siebert, 2005). Reivich & Shatte (2002) menyatakan bahwa optimisme yang dimiliki oleh seorang individu menandakan bahwa individu tersebut percaya bahwa dirinya memiliki kemampuan untuk mengatasi kemalangan yang mungkin terjadi di masa depan. Orang yang resilien adalah orang yang optimis. Mereka percaya bahwa hal tersebut dapat mengubah ke arah yang lebih baik. Mereka mempunyai harapan terhadap masa depan dan percaya bahwa mereka mengontrol kehidupan mereka. Jika dibandingkan terhadap orang yang pesimis, optimis secara fisik lebih sehat, lebih sedikit mengalami depresi, lebih baik di sekolah mereka, lebih produktif dalam pekerjaan mereka, dan lebih banyak memenangkan dalam keolahragaan. Hal ini merupakan hasil dari ratusan studi yang terkontrol dengan baik.
d. Analisis Penyebab Masalah Analisis penyebab masalah (causal analysis) merujuk pada kemampuan individu untuk mengidentifikasikan secara akurat penyebab dari permasalahan yang mereka hadapi. Individu yang tidak mampu mengidentifikasikan penyebab dari permasalahan yang mereka hadapi secara tepat, akan terus menerus berbuat kesalahan yang sama (Reivich & Shatte, 2002). Seligman (dalam Reivich & Shatte, 2002) mengidentifikasikan gaya berpikir explanatory yang erat kaitannya dengan kemampuan causal analysis yang dimiliki individu. Gaya berpikir explanatory dapat dibagi dalam tiga dimensi: personal, permanen, dan pervasive. Gaya berpikir “Saya-Selalu-Semua” merefleksikan keyakinan bahwa penyebab permasalahan berasal dari individu tersebut (Saya), hal ini selalu terjadi dan permasalahan yang ada tidak dapat diubah (Selalu), serta permasalahan yang ada akan mempengaruhi seluruh aspek hidupnya (Semua). Sementara individu yang memiliki gaya berpikir “Bukan Saya-Tidak Selalu-Tidak semua” meyakini bahwa permasahalan yang terjadi disebabkan oleh orang lain (Bukan Saya), dimana kondisi tersebut masih memungkinkan untuk diubah (Tidak Selalu) dan permasalahan yang ada tidak akan mempengaruhi sebagian besar hidupnya (Tidak semua). Explanatory memegang peranan penting dalam konsep resiliensi. Individu yang terfokus pada “Selalu-Semua” tidak mampu melihat jalan keluar dari permasalahan yang mereka hadapi. Sebaliknya individu yang cenderung menggunakan gaya berpikir “Tidak selalu-Tidak semua” dapat merumuskan solusi dan tindakan yang akan mereka lakukan untuk menyelesaikan permasalahan yang ada (Reivich & Shatte, 2002).
Reivich & Shatte (2002) menyatakan bahwa individu yang resilien adalah individu yang memiliki fleksibilitas kognitif. Mereka mampu mengidentifikasikan semua penyebab yang menyebabkan kemalangan yang menimpa mereka, tanpa terjebak pada salah satu gaya berpikir explanatory. Individu yag resilien tidak akan menyalahkan orang lain atas kesalahan yang mereka perbuat demi menjaga self-esteem mereka atau membebaskan mereka dari rasa bersalah. Mereka tidak terlalu terfokus pada faktor-faktor yang berada di luar kendali mereka, sebaliknya mereka memfokuskan dan memegang kendali penuh pada pemecahan masalah, perlahan mereka mulai mengatasi permasalahan yang ada, mengarahkan hidup mereka, bangkit dan meraih kesuksesan. e. Empati Empati adalah kemampuan untuk memahami dan memiliki kepedulian terhadap orang lain (Greef, 2005). Empati sangat erat kaitannya dengan kemampuan individu untuk membaca tanda-tanda kondisi emosional dan psikologis orang lain. Beberapa individu memiliki kemampuan yang cukup mahir dalam menginterpretasikan bahasa-bahasa nonverbal yang ditunjukkan oleh orang lain, seperti ekspresi wajah, intonasi suara, bahasa tubuh dan mampu menangkap apa yang dipikirkan dan dirasakan orang lain. Oleh karena itu, seseorang yang memiliki kemampuan berempati cenderung memiliki hubungan sosial yang positif (Reivich & Shatte, 2002). Reivich & Shatte (2002) menyatakan bahwa ketidakmampuan berempati berpotensi menimbulkan kesulitan dalam hubungan sosial. Individu-individu yang tidak membangun kemampuan untuk peka terhadap tanda-tanda nonverbal tersebut tidak mampu untuk menempatkan dirinya pada posisi orang lain,
merasakan apa yang dirasakan orang lain dan memperkirakan maksud dari orang lain. Ketidakmampuan individu untuk membaca tanda-tanda nonverbal orang lain dapat sangat merugikan, baik dalam konteks hubungan kerja maupun hubungan personal, hal ini dikarenakan kebutuhan dasar manusia untuk dipahami dan dihargai. Individu dengan empati yang rendah cenderung mengulang pola yang dilakukan oleh individu yang tidak resilien, yaitu menyamaratakan semua keinginan dan emosi orang lain. f. Efikasi Diri Efikasi diri (Self-Efficacy) adalah hasil dari pemecahan masalah yang berhasil. Efikasi diri merepresentasikan sebuah keyakinan bahwa kita mampu memecahkan masalah yang kita alami dan mencapai kesuksesan. Efikasi diri adalah perasaan kita bahwa kita efektif dalam dunia. Telah dihabiskan banyak waktu untuk mendiskusikan tentang self-efficacy, karena melihat betapa pentingnya hal tersebut dalam dunia nyata. Dalam pekerjaan, orang yang memiliki keyakinan terhadap kemampuan mereka untuk memecahkan masalah, muncul sebagai pemimpin, sementara yang tidak percaya terhadap kemampuan diri mereka menemukan diri mereka “hilang dalam orang banyak”. Mereka secara tidak sengaja memperlihatkan keraguan mereka, dan teman mereka mendengar, dan belajar untuk mencari nasehat dari yang lainnya (Reivich & Shatte, 2002). g. Pencapaian Resiliensi lebih dari sekedar bagaimana seorang individu memiliki kemampuan untuk mengatasi kemalangan dan bangkit dari keterpurukan, namun lebih dari itu faktor yang terakhir dari resiliensi adalah pencapaian (reaching out). Pencapaian adalah kemampuan individu meraih aspek positif atau mengambil
hikmah dari kehidupan setelah kemalangan yang menimpa. Banyak individu yang tidak mampu melakukan reaching out, hal ini dikarenakan mereka telah diajarkan sejak kecil untuk sedapat mungkin menghindari kegagalan dan situasi yang memalukan. Mereka adalah individu-individu yang lebih memilih memiliki kehidupan standar dibandingkan harus meraih kesuksesan namun harus berhadapan dengan resiko kegagalan hidup dan hinaan masyarakat. Hal ini menunjukkan kecenderungan individu untuk berlebihlebihan (overestimate) dalam memandang kemungkinan hal-hal buruk yang dapat terjadi di masa mendatang. Individu-individu ini memiliki rasa ketakutan untuk mengoptimalkan kemampuan mereka hingga batas akhir. Gaya berpikir ini memberikan batasan bagi diri mereka sendiri, atau dikenal dengan istilah Self-Handicaping (Reivich & Shatte, 2002). Pencapaian menggambarkan kemampuan individu untuk meningkatkan aspek-aspek yang positif dalam kehidupannya yang mencakup pula keberanian seseorang untuk mengatasi segala ketakutan-ketakutan yang mengancam dalam kehidupannya (Reivich & Shatte, 2002). 3. Fungsi Fundamental Resiliensi Menurut Reivich & Shatte (2002), resiliensi memiliki empat fungsi fundamental dalam kehidupan manusia yaitu: a. Mengatasi hambatan-hambatan pada masa kecil Melewati masa kecil yang sulit memerlukan usaha keras, membutuhkan kemampuan untuk tetap fokus dan mampu membedakan mana yang dapat dikontrol dan mana yang tidak. b. Melewati tantangan-tantangan dalam kehidupan sehari-hari
Setiap orang membutuhkan resiliensi karena dalam kehidupan ini kita diperhadapkan oleh masalah, tekanan, dan kesibukan-kesibukan. Orang yang resilien dapat melewati tantangan-tantangan tersebut dengan baik. Penelitian menunjukkan hal esensi yang paling penting untuk menghadapi tantangan adalah self-efficacy, yakni suatu kepercayaan bahwa kita dapat menghadapi lingkungan dan menyelesaikan masalah. c. Bangkit kembali setelah mengalami kejadian traumatik atau kesulitan besar Beberapa kesulitan tertentu dapat membuat trauma dan membutuhkan resiliensi yang lebih tinggi dibanding tantangan kehidupan sehari-hari. Kejatuhan yang kita alami sangat ekstrem, yang membuat kita secara emosional hancur, keadaan yang seperti ini membutuhkan pantulan resiliensi untuk pulih. d. Mencapai prestasi terbaik Beberapa orang memiliki kehidupan yang sempit, mempunyai kegiatan yang rutin setiap harinya. Merasa nyaman dan bahagia ketika segala sesuatunya berjalan dengan lancar. Sebaliknya, ada juga orang yang merasa senang ketika bisa menjangkau orang lain dan mencari pengalaman baru. Sebagaimana resiliensi dibutuhkan untuk mengatasi pengalaman negatif, mengatasi stres, pulih dari trauma, resiliensi juga dibutuhkan untuk memperkaya arti kehidupan, hubungan yang dalam, terus belajar dan mencari pengalaman baru.
4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Resiliensi Faktor yang mempengaruhi resiliensi meliputi dukungan eksternal dan sumber-sumbernya yang ada pada diri seseorang (misalnya keluarga, lembagalembaga pemerhati dalam hal ini yang melindungi siswa), kekuatan personal yang
berkembang dalam diri seseorang (seperti self-esteem, a capacity for self monitoring, spritualitas dan altruism), dan kemampuan sosial (seperti mengatasi konflik,
kemampuan-kemampuan
berkomunikasi).
Grotberg
(1995),
mengemukakan faktor-faktor resiliensi yang diidentifikasikan berdasarkan sumber-sumber yang berbeda. Untuk kekuatan individu dalam diri pribadi digunakan istilah „I Am’, untuk dukungan eksternal dan sumber-sumbernya digunakan istilah „I Have’, sedangkan istilah’I Can’ digunakan untuk kemampuan interpersonal. Berikut ini akan dijelaskan mengenai faktor-faktor resiliensi yang dapat menggambarkan resiliensi pada individu. 1. Faktor I Have I Have merupakan dukungan eksternal dan sumber dalam meningkatkan resilience. Sumber-sumbernya adalah adalah sebagai berikut :
a. Trusting relationships (mempercayai hubungan) Anak-anak dari segala usia membutuhkan kasih sayang tanpa syarat dari orang tua mereka dan pemberi perhatian primer (primary care givers), tetapi mereka membutuhkan kasih sayang dan dukungan emosional dari orang dewasa lainnya juga. Kasih sayang dan dukungan dari orang lain kadang-kadang dapat mengimbangi terhadap kurangnya kasih sayang dari orang tua. b. Struktur dan aturan di rumah Aturan dan rutinitas diberikan oleh orangtua dengan harapan anak mengikuti perilaku mereka, dan dapat mengandalkan anak untuk melakukan hal tersebut. Aturan dan rutinitas itu meliputi tugas-tugas yang diharapkan dikerjakan
oleh anak. Batas dan akibat dari perilaku tersebut dipahami dan dinyatakan dengan jelas. Jika aturan itu dilanggar, anak dibantu untuk memahami bahwa apa yang dia lakukan tersebut salah, kemudian didorong untuk memberitahu dia apa yang terjadi, jika perlu dihukum, kemudian dimaafkan dan didamaikan layaknya orang dewasa. Orang tua tidak mencelakakan anak dengan hukuman. c. Role models Orangtua menunjukkan bagaimana cara melakukan sesuatu, seperti berpakaian atau menanyakan informasi dan hal ini akan mendorong anak untuk meniru mereka. Mereka menjadi model moralitas dan dapat mengenalkan anak tersebut dengan aturan-aturan agama. d. Dorongan agar menjadi otonom Orang dewasa, terutama orang tua, mendorong anak untuk melakukan sesuatu tanpa bantuan orang lain dan berusaha mencari bantuan yang mereka perlukan untuk membantu anak menjadi otonom. Mereka memuji anak tersebut ketika dia menunjukkan sikap inisiatif dan otonomi. Orang dewasa sadar akan temperamen anak, sebagaimana temperamen mereka sendiri, jadi mereka dapat menyesuaikan kecepatan dan tingkat tempramen untuk mendorong anak untuk dapat otonom. e. Akses pada kesehatan, pendidikan, kesejahteraan, dan layanan keamanan Anak secara individu maupun keluarga, dapat mengandalkan layanan yang konsisten untuk memenuhi kebutuhan yang tidak bisa dipenuhi oleh keluarganya yaitu rumah sakit dan dokter, sekolah dan guru, layanan sosial, serta polisi dan perlindungan kebakaran atau layanan sejenisnya.
2. Faktor I Am I Am merupakan kekuatan yang berasal dari dalam diri sendiri. Faktor ini meliputi perasaan, sikap, dan keyakinan di dalam diri anak. Ada beberapa bagianbagian dari faktor I Am yaitu : a. Perasaan dicintai dan perilaku yang menarik Jika anak sadar bahwa orang menyukai dan mengasihi dia maka anak akan bersikap baik terhadap orang-orang yang menyukai dan mencintainya. Seseorang dapat mengatur sikap dan perilakunya jika menghadapi respon-respon yang berbeda ketika berbicara dengan orang lain. b. Mencintai, empati, dan altruistik Seorang anak mengasihi orang lain dan menyatakan kasih sayang tersebut dengan banyak cara. Dia peduli akan apa yang terjadi pada orang lain dan menyatakan kepedulian itu melalui tindakan dan kata-kata. Anak merasa tidak nyaman dan menderita karena orang lain dan ingin melakukan sesuatu untuk berhenti. c. Bangga pada diri sendiri Seorang anak mengetahui dia adalah seseorang yang penting dan merasa bangga pada siapakah dirinya dan apa yang bisa dilakukan untuk mengejar keinginannya. Anak tidak akan membiarkan orang lain meremehkan atau merendahkannya. Kepercayaan diri dan self esteem membantu mereka untuk dapat bertahan dan mengatasi masalah. d. Otonomi dan tanggung jawab Individu mengerti batasan kontrol mereka terhadap berbagai kegiatan dan mengetahui saat orang lain bertanggung jawab. Anak dapat melakukan sesuatu
dengan caranya sendiri dan menerima konsekuensi dari perilakunya tersebut. Anak merasa bahwa ia bisa mandiri dan bertanggung jawab atas hal tersebut. e. Harapan, keyakinan, dan kepercayaan Anak merasakan suatu perasaan benar dan salah, percaya yang benar akan menang, dan mereka ingin berperan untuk hal ini. Anak mempunyai rasa percaya diri dan keyakinan dalam moralitas dan kebaikan.
3. Faktor I Can I Can adalah kemampuan yang dimiliki individu untuk mengungkapkan perasaan dan pikiran dalam berkomunikasi dengan orang lain, memecahkan masalah dalam berbagai seting kehidupan (akademis, pekerjaan, pribadi dan sosial)
dan
mengatur
tingkah
laku,
serta
mendapatkan
bantuan
saat
membutuhkannya. Ada beberapa aspek yang mempengaruhi faktor I can yaitu : a. Berkomunikasi Anak mampu mengekspresikan pemikiran dan perasaan kepada orang lain dan dapat mendengarkan apa yang dikatakan orang lain serta merasakan perasaan orang lain. b. Pemecahan masalah Anak dapat menilai suatu permasalahan, penyebab munculnya masalah dan mengetahui bagaimana cara memecahkannya. Anak dapat mendiskusikan solusi dengan orang lain untuk menemukan solusi yang diharapkan dengan teliti. Dia mempunyai ketekunan untuk bertahan dengan suatu masalah hingga masalah tersebut dapat terpecahkan. c. Mengelola berbagai perasaan dan rangsangan
Anak dapat mengenali perasaannya, memberikan sebutan emosi, dan menyatakannya dengan kata-kata dan perilaku yang tidak melanggar perasaan dan hak orang lain atau dirinya sendiri. Anak juga dapat mengelola rangsangan untuk memukul, melarikan diri, merusak barang, berbagai tindakan yang tidak menyenangkan. d. Mengukur temperamen diri sendiri dan orang lain Individu memahami temperamen mereka sendiri (bagaimana bertingkah, merangsang, dan mengambil resiko atau diam, reflek dan berhati-hati) dan juga terhadap temperamen orang lain. Hal ini menolong individu untuk mengetahui berapa lama waktu yang diperlukan untuk berkomunikasi, membantu individu untuk mengetahui kecepatan untuk bereaksi, dan berapa banyak individu mampu sukses dalam berbagai situasi. e. Mencari hubungan yang dapat dipercaya Anak dapat menemukan seseorang misalnya orang tua, saudara, teman sebaya untuk meminta pertolongan, berbagi perasaan dan perhatian, guna mencari cara terbaik untuk mendiskusikan dan menyelesaikan masalah personal dan interpersonal. Apabila karakteristik resiliensi telah berkembang, maka siswa tersebut dapat menjadi pribadi yang dapat beradaptasi dengan baik pada saat ia berhadapan dengan masalah sehingga dapat melampaui kemungkinan kegagalan dan akhirnya mampu melanjutkan kehidupannya dengan baik. Mungkin masih ada kekecewaan dan halangan yang ia hadapi, tetapi ia akan menjadi pribadi yang tangguh dan selalu bangkit kembali dari masalah yang dihadapi.
Setiap faktor dari I Am, I Have, I Can memberikan konstribusi pada berbagai macam tindakan yang dapat meningkatkan potensi resiliensi. Individu yang resilien tidak membutuhkan semua sumber-sumber dari setiap faktor, tetapi apabila individu hanya memiliki satu faktor individu tersebut tidak dapat dikatakan sebagai individu yang beresiliensi, misalnya individu yang mampu berkomunikasi dengan baik (I Can) tetapi ia tidak mempunyai hubungan yang dekat dengan orang lain (I Have) dan tidak dapat mencintai orang lain (I Am), ia tidak termasuk orang yang beresiliensi.
B. Bullying 1. Pengertian Bullying Bullying menurut Olweus yaitu suatu perilaku negatif berulang yang bermaksud menyebabkan ketidaksenangan atau menyakitkan oleh orang lain oleh satu atau beberapa orang secara langsung terhadap seseorang yang tidak mampu melawannya (Olweus, 2006). Menurut Coloroso (2006), bullying adalah tindakan bermusuhan yang dilakukan secara sadar dan disengaja yang bertujuan untuk menyakiti, seperti menakuti melalui ancaman agresi dan menimbulkan teror. Termasuk juga tindakan yang direncanakan maupun yang spontan, bersifat nyata atau hampir tidak kentara, di hadapan seseorang atau di belakang seseorang, mudah untuk diidentifikasi atau terselubung dibalik persahabatan, dilakukan oleh seorang anak atau kelompok anak. Sedangkan menurut Sampson (2002), bullying memiliki 2 komponen yaitu perilaku berbahaya yang berulang dan ketidakseimbangan kekuasaan. Bullying terdiri atas serangan psikis, fisik, dan verbal yang berulang atau intimidasi secara
langsung pada korban yang tidak dapat mempertahankan dirinya karena perbedaan ukuran tubuh atau kekuatan, atau karena korban melebihi atau kurang resilien secara psikologis. Dapat disimpulkan bahwa perilaku bullying adalah suatu perilaku negatif yang dilakukan dengan secara sadar untuk menyakiti orang lain, yang bisa menyebabkan ketidaknyamanan bagi orang lain, termasuk juga tindakan yang direncanakan maupun yang spontan, bersifat nyata atau hampir tidak kentara, di hadapan seseorang atau di belakang seseorang, mudah untuk diidentifikasi atau terselubung dibalik persahabatan, dilakukan oleh seorang anak atau kelompok anak.
2. Karakteristik Korban Bullying Olweus (1993) merumuskan adanya tiga unsur dasar bullying, yaitu bersifat menyerang dan negatif, dilakukan secara berulang kali, dan adanya ketidakseimbangan kekuatan antara pihak yang terlibat. Coloroso (2006) juga mengatakan bahwa bullying akan selalu mengandung tiga elemen, yaitu: kekuatan yang tidak seimbang, bertujuan untuk menyakiti, ancaman akan dilakukannya agresi. Sehingga seseorang dianggap menjadi korban bullying bila dihadapkan pada tindakan negatif seseorang atau lebih yang dilakukan berulang-ulang dan terjadi dari waktu ke waktu. Selain itu, bullying juga melibatkan kekuatan dan kekuasaan yang tidak seimbang, sehingga korbannya berada dalam keadaan tidak mampu mempertahankan diri secara efektif untuk melawan tindakan negatif yang diterimanya (Olweus, dalam Krahe, 2005).
Korban bullying memilih untuk menyerah dan tidak melaporkan kejadian yang dialaminya karena adanya rasa takut pelaku akan balas dendam, merasa malu karena tidak dapat mempertahankan diri sendiri, takut mereka tidak akan dipercayai, tidak mau meresahkan orangtua, tidak punya kepercayaan bahwa pengaduan itu akan membawa perubahan, adanya pikiran bahwa saran dari orangtua atau guru akan membuat masalah menjadi lebih buruk, rasa takut guru akan memberitahukan korban pada pelaku, takut disebut pegadu (Sampson, 2002).
3. Jenis Perilaku Bullying Ada tiga jenis bullying menurut Coloroso (2006), yaitu: 1. Verbal bullying Kata-kata bisa digunakan sebagai alat yang dapat mematahkan semangat anak yang menerimanya. Verbal abuse adalah bentuk yang paling umum dari bullying yang digunakan baik anak laki-laki maupun perempuan. Hal ini dapat terjadi pada orang dewasa dan teman sebaya tanpa terdeteksi. Verbal bullying dapat berupa teriakan dan keriuhan yang terdengar. Hal ini berlangsung cepat dan tanpa rasa sakit pada pelaku bullying dan dapat sangat menyakitkan pada target. Jika verbal bullying dimaklumi, maka akan menjadi suatu yang normal dan target menjadi dehumanized. Ketika seseorang menjadi dehumanized, maka seseorang tersebut akan lebih mudah lagi untuk diserang tanpa mendapatkan panduan dari orang di sekitar yang mendengarnya. Verbal bullying dapat berbentuk name-calling (memberi nama julukan), taunting (ejekan), belittling (meremehkan), cruel criticsm (kritikan yang kejam), personal defamation (fitnah secara personal), racist slurs (menghina ras), sexually
suggestive (bermaksud/bersifat seksual) atau sexually abusive remark (ucapan yang kasar). Hal ini juga meliputi pemerasan uang atau benda yang dimiliki, panggilan telepon yang kasar, mengintimidasi lewat e-mail, catatan tanpa nama yang berisi ancaman, tuduhan yang tidak benar, rumor yang jahat dan tidak benar. Bentuk verbal bullying dapat berdiri sendiri. 2. Physical bullying Bentuk bullying yang paling dapat terlihat dan yang paling dapat dengan mudah untuk diidentifikasi. Bentuk ini meliputi menampar, memukul, mencekik, mencolek, meninju, menendang, menggigit, menggores, memelintir, meludahi, merusak pakaian atau barang dari korban. 3. Relational bullying Bentuk ini adalah yang paling sulit untuk dideteksi, relational bullying adalah pengurangan perasaan „sense’ diri seseorang yang sistematis melalui pengabaian, pengisolasian, pengeluaran, penghindaran. Penghindaran, sebagai suatu perilaku penghilangan, dilakukan bersama rumor adalah sebuah cara yang paling kuat dalam melakukan bullying. Relational bullying paling sering terjadi pada tahun-tahun pertengahan, dengan onset remaja yang disertai dengan perubahan fisik, mental, emosional, dan seksual. Pada waktu inilah, remaja sering menggambarkan siapa diri mereka dan mencoba menyesuaikan diri dengan teman sebaya.
C. Remaja Istilah Adolescence atau remaja berasal dari kata latin adolescere yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa (dalam Hurlock, 1999). Remaja
(adolescence) diartikan sebagai individu yang sedang pada masa perkembangan transisi antara masa anak-anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosio-emosional (Santrock, 2003). Hurlock (1999) menyatakan bahwa masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanakkanak ke masa dewasa, dimulai saat anak secara seksual matang dan berakhir saat ia mencapai usia matang secara hukum. Banyak remaja mengalami kesulitan dengan diri sendiri dan juga dengan orang lain, orangtua, guru, atau orang dewasa lainnya, sering melakukan perbuatan dengan tidak memikirkan akibatnya sampai pelanggaran yang lebih berat seperti mencuri, membunuh, dan pelanggaran hukum lainnya (Papalia, D. E., Olds, S. W., & Fieldman, R. D., 2001). Monks (1999) berpendapat bahwa remaja adalah individu yang berusia antara 12-21 tahun yang sedang mengalami masa peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa, dengan pembagian 12-15 tahun masa remaja awal, 15-18 tahun masa remaja pertengahan dan 18-21 tahun masa remaja akhir. Pada tahap remaja awal (12-15 tahun), remaja masih merasa bingung dan mulai beradaptasi terhadap perubahan-perubahan yang terjadi pada dirinya dan dorongan-dorongan yang menyertai perubahan-perubahan tersebut. Mereka mulai mengembangkan pikiran-pikiran baru, cepat tertarik pada lawan jenis dan mudah terangsang secara erotis. Kepekaan yang berlebihan ini ditambah dengan berkurangnya pengendalian terhadap emosi dan menyebabkan remaja sulit mengerti dan dimengerti oleh orang dewasa (Monks, 1999). Pada masa remaja awal ditandai dengan perkembangan kemampuan intelektual yang pesat. Namun ketika remaja tidak mendapatkan kesempatan pengembangan kemampuan intelektual, terutama melalui pendidikan di sekolah,
maka potensi intelektualnya tidak akan berkembang secara optimal. Masa remaja awal diawali dengan kecenderungan ambivalensi, keinginan menyendiri, dan keinginan bergaul dengan banyak teman tetapi bersifat temporer. Adanya kebergantungan yang kuat kepada kelompok sebaya disertai semangat konformitas yang tinggi. Reaksi-reaksi dan ekspresi emosional remaja pada tahap ini masih labil dan belum terkendali seperti pernyataan marah, gembira, atau kesedihannya masih dapat berubah-ubah. Pada masa ini, remaja mengalami perubahan jasmani yang sangat pesat dan minat anak pada dunia luar sangat besar dan pada saat ini remaja tidak mau dianggap kanak-kanak lagi namun sebelum bisa meninggalkan pola kekanak-kanakannya (Kartono, 1990). Pola emosi pada masa remaja sama dengan pola emosi pada masa anakanak, yaitu timbulnya amarah, takut, cemburu, ingin tahu, iri hati, gembira, sedih, dan kasih sayang. Perbedaannya adalah pada rangsangan yang membangkitkan emosi dan derajat, dan khususnya pada pengendalian latihan individu terhadap ungkapan emosi mereka. Remaja tidak lagi mengungkapkan amarah dengan cara gerakan amarah yang meledak-ledak, melainkan dengan menggerutu, tidak mau berbicara, atau dengan suara keras mengkritik orang-orang yang menyebabkan marah. Remaja juga iri hati terhadap orang yang memiliki benda lebih banyak. Ia tidak mengeluh dan menyesali diri sendiri, seperti yang dilakukan anak-anak (Hurlock, 1999). Salah satu tugas perkembangan masa remaja yang tersulit adalah yang berhubungan dengan penyesuaian sosial. Remaja harus menyesuaikan diri dengan lawan jenis dalam hubungan yang sebelumnya pernah ada dan harus menyesuaikan dengan orang dewasa di lingkungan keluarga dan sekolah. Untuk
mencapai tujuan pola sosialisasi dewasa, remaja harus membuat banyak penyesuaian baru. Bagian yang terpenting dan tersulit adalah penyesuaian diri dengan meningkatnya pengaruh kelompok sebaya, perubahan dalam perilaku sosial, pengelompokan sosial yang baru, nilai-nilai baru dalam seleksi persahabatan, nilai-nilai baru dalam dukungan dan penolakan sosial, dan nilainilai baru dalam seleksi pemimpin (Hurlock, 1999).
D. Sekolah Menengah Pertama Methodist 1 Medan Yayasan Methodistische Zending di Medan didirikan pada tanggal 7 Oktober 1922 oleh Leonard Oechsli, Newton Tennis Gottcshall dan Clyde Jesse Hall sebagaimana yang dijelaskan dalam Akte Stichting ”Methodistische Zending” gevestigdte Medan tanggal 7 Oktober 1922 yang dibuat oleh Tj. Dijkstra, Notaris di Medan. Yayasan ini didirikan dengan tujuan untuk menyanggupkan Gereja Methodist Episcopal membantu memberitakan Injil (evengelisatie) di Indonesia dengan mendirikan dan memelihara Gereja-gereja Kristen, sekolah-sekolah, rumah sakit-rumah sakit, asrama-asrama, rumah-rumah yatim piatu dan usaha-usaha Kristen lainnya. Pendirian Yayasan Pendidikan Gereja Methodist Indonesia (YP.GMI) atau disebut juga Badan/Yayasan Pendidikan Gereja Methodist Indonesia berawal dari Konfrensi Agung ke V Gereja Methodist Indonesia yang berlangsung pada tanggal 10-20 Oktober 1985 di Parapat. Keinginan untuk membentuk yayasan pendidikan dicantumkan dalam Keputusan Konfrensi No.12-KA/GMI/85 yang kemudian ditindaklanjuti dengan Keputusan Pimpinan Pusat Gereja Methodist Indonesia
No.0446/A.1.3/GMI/1986
tanggal
1
September
1986.
Untuk
merealisasikan maksud tersebut para anggota Departemen Pendidikan Gereja Methodist Indonesia ditugaskan untuk menyusun Anggaran Dasar yayasan yang akan didirikan tersebut. Yayasan didirikan pada tanggal 22 Maret 1998 dan diberi nama Yayasan Pendidikan Gereja Methodist Indonesia, bertempat kedudukan di Jl. Hang Tuah No.8 Medan. Adapun YP. GMI didirikan dengan tujuan : a. Mengembangkan pendidikan Iman Kristen Protestan Methodist; b. Membantu pemerintah dalam usaha membentuk manusia Indonesia seutuhnya yang tinggi budi pekerti, tinggi ilmu dan teguh iman; c. Membantu pemerintah dalam usaha membentuk warga negara RI yang demokratis serta mampu membaktikan dirinya kepada Bangsa dan Negara. Untuk mencapai maksud tersebut YP. GMI berusaha untuk : a. Mendirikan dan membina lembaga pendidikan Taman Kanak-Kanak, SD, SMP, Sekolah Menengah Tingkat Atas, Kejuruan, kursus-kursus, dan perguruan tinggi baik bersifat Akademi maupun Universitas; b. Mempersiapkan
dan
mendirikan
prasarana
dan
sarana-sarana
pendidikan umum, kejuruan sesuai dengan peraturan yang berlaku; c. Mendirikan asrama para siswa/siswi dan mahasiswa/mahasiswi; d. Usaha-usaha lain yang sah dan tidak bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945 dan Konstitusi Gereja Methodit Indonesia. Tabel 1. Keadaan Siswa SMP Methodist 1 Medan Kelas I II III Jumlah
Jumlah Kelas 4 4 4 12
LK 85 71 61 217
P 67 73 65 205
Jumlah Siswa 152 144 126 422