BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka 1. Hipertensi Hipertensi adalah kondisi tekanan darah (TD) sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg (Perki, 2015). a. Klasifikasi etiologis Hipertensi dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi yaitu dengan penyebab yang tidak diketahui (hipertensi esensial/primer atau idiopatik) dan diketahui
(hipertensi
sekunder).
Sebagian
besar
kasus
hipertensi
diklasifikasikan sebagai esensial, tetapi kemungkinan penyebab yang melatarbelakanginya harus selalu ditentukan (Depkes, 2006). 1) Hipertensi esensial Hipertensi esensial atau hipertensi primer atau idiopatik adalah hipertensi tanpa kelainan dasar patologi yang jelas. Lebih dari 90% kasus merupakan hipertensi esensial. Penyebabnya multifaktorial meliputi faktor genetik dan lingkungan. Faktor genetik mempengaruhi kepekaan terhadap natrium, kepekaan terhadap stress, reaktivitas pembuluh darah terhadap vasokonstriktor, resistensi insulin dan lainlain. Disisi lain yang termasuk faktor lingkungan antara lain diet, kebiasaan merokok, stress emosi, obesitas dan lain-lain (Yogiantoro, 2009).
6
7
2) Hipertensi sekunder Meliputi 5-10% kasus hipertensi. Termasuk dalam kelompok ini antara lain hipertensi akibat penyakit ginjal (hipertensi renal), hipertensi endokrin, kelainan saraf pusat, obat-obatan dan lain-lain (Nafrialdi, 2007). b. Diagnosis hipertensi 1) Klasifikasi berdasarkan hasil rata-rata pengukuran tekanan darah yang dilakukan minimal 2 kali tiap kunjungan pada 2 kali kunjungan atau lebih dengan menggunakan cuff yang melingkupi minimal 80% lengan atas pada pasien dengan posisi duduk dan telah beristirahat 5 menit. Klasifikasi hipertensi dijabarkan pada tabel 2.1. 2) Pengukuran pertama harus pada kedua sisi lengan untuk menghindarkan kelainan pembuluh darah perifer. 3) Pengukuran tekanan darah pada waktu berdiri diindikasikan pada pasien dengan risiko hipotensi postural (lanjut usia, pasien Diabetes Mellitus), dan lain-lain) (Yogiantoro, 2009).
8
Tabel 2.1 Klasifikasi tekanan darah pada orang dewasa (A Statement by the American Society of Hypertension and the International Society of Hypertension 2013) Tekanan Darah Tekanan sistolik Tekanan diastolik (mmHg) (mmHg) <80 < 120 Optimal Normal
120-129
80-84
Prehipertensi
130-139
84-89
Hipertensi derajat 1
140-159
90-99
Hipertensi derajat 2
160-179
100-109
Hipertensi derajat 3
≥180
≥110
Hipertensi
≥140
<90
sistolik
terisolasi
c. Faktor Risiko Hipertensi 1) Penyakit kardiovaskular. 2) Merokok. 3) Obesitas (IMT>30). 4) Inaktivitas fisik. 5) Dislipidemia. 6) Diabetes mellitus (DM). 7) Mikroalbuminuria atau LFG<60 ml. 8) Usia (laki-laki>55 tahun, perempuan >65 tahun). 9) Riwayat keluarga dengan penyakit kardiovaskular dini (laki laki<55 tahun atau perempuan <65 tahun). 10) Kerusakan organ sasaran: a) Jantung: hipertrofi ventrikel kiri, angina atau riwayat infark miokard, riwayat revaskularisasi koroner, gagal jantung. b) Otak: stroke atau transient ischemic attack (TIA).
9
c) Penyakit ginjal kronik. d) Penyakit arteri perifer. e) Retinopati 11) Penyebab hipertensi yang telah diidentifikasi: sleep apnea, akibat obat atau berkaitan dengan obat, penyakit ginjal kronik, aldosteronisme primer, penyakit renovaskular, terapi steroid kronik dan sindroma cushing, feokromasitoma, koarktasi aorta, penyakit tiroid atau paratiroid (Yogiantoro, 2009). d. Tatalaksana Hipertensi 1) Tatalaksana Non Farmakologis Menerapkan gaya hidup sehat bagi setiap orang sangat penting untuk mencegah tekanan darah tinggi dan merupakan bagian yang penting dalam penanganan hipertensi. Semua pasien dengan prehipertensi dan hipertensi sebaiknya melakukan perubahan gaya hidup. Perubahan yang dapat dapat terjadi dalam hal menurunkan tekanan darah dapat dilihat pada tabel 2.2. Disamping menurunkan tekanan darah pada pasien-pasien dengan hipertensi, modifikasi gaya hidup juga dapat mengurangi progresivitas prehipertensi menjadi hipertensi. Modifikasi gaya hidup yang penting untuk menurunkan tekanan darah adalah mengurangi berat badan untuk individu yang mengalami obesitas atau kegemukan, mengadopsi pola makan DASH (Dietary Approach to Stop Hypertension) yang kaya akan kalium dan kalsium, diet rendah natrium, aktifitas fisik, dan mengurangi konsumsi alkohol. Modifikasi gaya hidup dengan menurunkan berat badan dan mengurangi konsumsi garam dalam diet dapat membebaskan pasien dari
10
penggunaan obat antihipertensi. Program diet yang mudah diterima adalah yang didesain untuk menurunkan berat badan secara perlahan-lahan pada pasien yang gemuk dan obes disertai pembatasan pemasukan natrium dan alkohol (Depkes, 2006). Tabel. 2.2
Modifikasi Gaya Hidup Untuk Mengontrol Hipertensi (Berdasarkan Rekomendasi Depkes, 2006) Modifikasi Rekomendasi Penurunan Tekanan Darah Mencapai berat badan 5-20 mmHg/10KgPenurunan Berat Badan (BB)
normal (BMI : 18,5-
penurunan BB
24,9) Adopsi pola
Diet kaya dengan buah,
makan DASH
sayur, dan produk susu
8-14 mmHg
rendah lemak Diet rendah
Mengurangi
natrium
natrium, tidak lebih dari 100
konsumsi
mEq/L
(2,4
2-8 mmHg
g
natrium atau 6 g NaCl) Aktivitas fisik
Regular aktifitas fisik aerobik kaki
seperti 30
4-9 mmHg
jalan
menit/hari,
beberapa hari/minggu Mengurangi
Limit minum alkohol
konsumsi alkohol
tidak lebih dari 30 ml
2-4 mm Hg
etanol per hari untuk laki-laki dan 15 ml untuk perempuan
2) Tatalaksana Farmakologis Dikenal 8 kelompok obat yang lazim digunakan untuk pengobatan hipertensi, yaitu diuretik, penyekat reseptor beta adrenergik (β-blocker), αreceptor
blocker,
obat-obat
SSP,
vasodilator,
penghambat
enzim
11
pengkonversi angiotensin (Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor/ACEInhibitor), penghambat reseptor angiotensin (AT-II-Receptor Blocker/ARB), dan antagonis kalsium (Calcium Channel Blocker/CCB) (Tjay dan Rahardja, 2007). Algoritma
tatalaksana
Hipertensi
berdasarkan
Buku
Pedoman
Tatalaksana Hipertensi Pada Penyakit Kardiovaskular menurut Perki (Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia) pada tahun 2015 diuraikan melalui gambar 2.1 :
12 Tekanan Darah ≥140/90, dewasa >18 tahun (Usia >80 tahun, TD ≥150/90 atau ≥140/90 dengan resiko tinggi (DM, Penyakit ginjal) Perubahan Gaya Hidup (Turunkan berat badan, diet rendah garam dan alkohol, berhenti merokok)
Terapi Medikamentosa (Pertimbangkan untuk tunda pada derajat 1 tanpa risiko penyakit kardiovaskular)
Mulai Terapi Medikamentosa (Pada Semua Pasien)
Derajat 1
Derajat ≥2
(140-159/90-99)
(semua pasien, TD ≥160/≥100)
Usia <60 tahun
Usia ≥60 tahun
ACE-i atau ARB
CCB atau Tiazid
Bila perlu, tambahkan
Bila perlu, tambahkan
CCB atau Tiazid
ACE-i atau ARB
Bila perlu
Bila perlu
CCB + Tiazid + ACE-i (atau ARB)
CCB + Tiazid + ACE-i (atau ARB)
Mulai dengan 2 obat
Kasus Khusus : Penyakit ginjal Diabetes Penyakit Koroner Riwayat stroke Gagal jantung
CCB atau Tiazid + ACE-i atau ARB Bila perlu, CCB + Tiazid + ACE-i (atau ARB)
Bila perlu tambahkan obat lain, misal Spironolakton, atau golongan β-blocker
Bila perlu rujuk ke dokter spesialis
Gambar 2.1 Skema Algoritma Tatalaksana Hipertensi (Perki, 2015)
13
2. Fungsi Ginjal a. Fungsi Ginjal Fungsi ginjal yang terpenting adalah membuang bahan-bahan sisa-sisa metabolisme dalam tubuh seperti obat-obatan, hormon, dan metabolit lain. Fungsi kedua adalah mengontrol volume dan komposisi cairan tubuh. Ginjal melakukan fungsinya yang paling penting dengan menyaring plasma dan memindahkan zat filtrat dengan kecepatan yang bervariasi, dan akhirnya ginjal membuang zat yang tidak diinginkan dari filtrat dengan mengekskresikannya dalam urin. Ginjal tidak hanya menjalankan fungsinya dalam pengaturan ekskresi ginjal, tetapi juga menjalankan fungsi multipel, antara lain : 1) Pembentukan renin dan eritropoietin. 2) Metabolisme vitamin D. 3) Degradasi insulin dan pembentukan prostaglandin yang merupakan vasodilator potensial (Guyton dan Hall, 2012). b. Pembentukan Urin Fungsi ginjal adalah memelihara kemurnian darah dengan jalan mengeluarkan semua zat asing dan sisa pertukaran zat dari dalam darah. Fungsi penting lainnya adalah meregulasi kadar garam dan cairan tubuh. Ginjal merupakan organ terpenting pada pengaturan homeostasis, yakni keseimbangan dinamis antara cairan intra dan ekstrasel. Hal ini tergantung dari jumlah ion Na+, yang untuk sebagian besar terdapat di luar sel di cairan antarsel dan di plasma darah (Tjay dan Rahardja, 2007). Pembentukan urin dimulai dengan filtrasi sejumlah besar cairan yang bebas protein dari kapiler glomerulus ke kapsula bowman. Kebanyakan zat dalam plasma difiltrasi secara bebas ketika cairan yang telah difiltrasi ini
14
meninggalkan kapsula bowman dan mengalir melewati tubulus, cairan diubah oleh reabsorbsi air dan zat terlarut yang spesifik yang kembali ke dalam darah atau oleh sekresi zat-zat lain dari kapiler peritubulus ke dalam tubulus (Guyton dan Hall, 2012). Di glomerulus, dinding glomerulus bekerja sebagai saringan halus yang secara pasif dapat dilintasi air, garam-garam, dan glukosa (Tjay dan Rahardja, 2007). Filtrat glomeruler yang masuk kapsula bowman umumnya mempunyai susunan sama dengan plasma darah, kecuali dengan bobot molekul 6700 atau lebih tidak bisa melewati membran penyaring. Ultrafiltrasi yang diperoleh dari hasil filtrasi akan ditampung dalam wadah yang disebut tubulus. Tubulus ini terdiri dari bagian proksimal dan distal. Disini terjadi penarikan air kembali secara aktif air dan komponen yang sangat penting bagi tubuh, seperti glukosa dan garam-garam antara lain ion Na+. Zat-zat ini dikembalikan pada darah melalui kapiler yang mengelilingi tubuli (Tjay dan Rahardja, 2007). Akhirnya, filtrat dari semua tubuli ditampung di suatu saluran pengumpul (duktus koligentes), dimana terutama berlangsung penyerapan air kembali. Filtrat disalurkan ke kandung kemih dan ditimbun di sini sebagai urin (Tjay dan Rahardja, 2007). c. Keseimbangan Cairan dan Elektrolit Keseimbangan cairan tubuh sangat dipengaruhi oleh keseimbangan osmolalitas cairan ekstrasel dan intrasel. Keseimbangan osmolalitas cairan ektrasel dan intrasel hampir sepenuhnya dipengaruhi oleh konsentrasi natrium dan kalium ektrasel. Semakin banyak ion natrium dan sedikit kalium dalam sel, maka semakin sedikit cairan yang akan keluar dalam urin melalui
15
mekanisme umpan balik tubuh. Mekanisme umpan balik tubuh dalam mengatur keseimbangan cairan tubuh, antara lain : 1) Semakin banyak ion natrium maka osmolalitas tubuh meningkat, tubuh menyeimbangkannya dengan cara merangsang osmoreseptor yang terletak dalam nukleus supraoptikus hipotalamus. 2) Eksitasi nukleus supraoptik akan menyebabkan pelepasan hormon antiduretik, dimana hormon antidiuretik akan meningkatkan permeabilitas duktus kolagen sehingga eksresi urin menurun. Selain hormon antidiuretik, aldosteron juga mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit dengan cara meningkatkan reabsorbsi natrium oleh tubulus, selain itu aldosteron juga menyebabkan peningkatan sekresi kalium melalui tubulus. Sehingga ekskresi urin juga meningkat (Guyton dan Hall, 2012). 3. Mekanisme Diuresis a. Proses Miksi Miksi atau urinisasi merupakan proses pengosongan kandung kemih. Setelah dibentuk oleh ginjal, urin disalurkan melalui ureter ke kandung kemih. Aliran ini dipengaruhi oleh gaya tarik bumi, selain itu juga kontraksi peristaltik otot polos dalam dinding ureter. Karena urin secara terus menerus dibentuk oleh ginjal, kandung kemih harus memiliki kapasitas penyimpanan yang cukup (Sherwood, 2012). Selama miksi, proses yang terjadi berupa : 1) Refleks detrusor meregang, mencetuskan refleks kontraksi dari otototot tersebut sehingga timbul keinginan untuk miksi.
16
2) Relaksasi otot puborectalis sehingga kandung kemih akan turun sedikit sehingga penghambatan uvula menurun dan segmen bagian pertama uretra melebar. 3) Relaksasi otot sfingter uretra eksterna memungkinkan kandung kemih untuk mengosongkan isinya dan dapat dibantu dengan tindakan valsava. 4) Pada akhir proses miksi, kontraksi kuat dari otot sfingter uretra eksterna dan dasar panggul akan mengeluarkan sisa urin dalam uretra, setelah itu otot detrusor relaksasi kembali untuk pengisian urin selanjutnya (Guyton dan Hall, 2012). Reflek berkemih adalah refleks medulla spinalis yang seluruhya bersifat autonomik, tetapi dapat dihambat atau dirangsang di otak. Pusat yang lebih tinggi dapat mencegah berkemih, bahkan ketika refleks berkemih muncul, yaitu dengan membuat kontraksi tonik terus menerus pada sfingter eksternus kandung kemih sampai mendapat waktu yang baik untuk berkemih. Jika sudah tiba saat berkemih, pusat cortical dapat merangsang pusat berkemih sacral untuk membantu mencetuskan refleks berkemih dan dalam waktu yang bersamaan menghambat sfingter eksternus kandung kemih sehingga peristiwa berkemih dapat terjadi. Jumlah urin yang dikeluarkan tergantung pada usia, intake cairan, dan status kesehatan. Pada orang dewasa sekitar 1200 sampai 1500 ml per hari atau 150-600 ml per sekali berkemih (Guyton dan Hall, 2012). b. Faktor yang Mempengaruhi Diuresis Diuresis dapat terjadi apabila terdapat gangguan pada faktor-faktor berikut :
17
1) Hormon a) ADH (Anti Diuretik Hormon) Hormon ini memiliki peran dalam meningkatkan reabsorpsi air sehingga dapat mengendalikan keseimbangan air dalam tubuh. Hormon ini dibentuk oleh hipotalamus yang ada di hipofisis posterior yang mensekresi ADH dengan meningkatkan osmolaritas dan menurunkan cairan. b) Aldosteron Hormon ini berfungsi pada absorbsi natrium yang disekresi oleh kelenjar adrenal di tubulus ginjal. Proses pengeluaran aldosteron ini diatur oleh adanya perubahan konsentrasi kalium, natrium, dan sistem renin-angiotensin. c) Prostaglandin Prostagladin merupakan asam lemak yang ada pada jaringan yang berfungsi merespons radang, pengendalian tekanan darah, kontraksi uterus, dan pengaturan pergerakan gastrointestinal. Pada ginjal, asam lemak ini berperan dalam mengatur sirkulasi ginjal. d) Glukokortikoid Hormon ini berfungsi mengatur peningkatan reabsorpsi natrium dan air yang menyebabkan volume darah meningkat sehingga terjadi retensi natrium. e) Renin Ginjal menghasilkan renin, yang dihasilkan oleh sel-sel apparatus jukstaglomerularis. Sel aparatus juktaglomerularis merupakan regangan yang apabila regangannya turun akan mengeluarkan renin. Renin
18
mengakibatkan hipertensi ginjal, sebab renin mengakibatkan aktifnya angiotensinogen menjadi angiotensin I, yg oleh enzim lain diubah menjadi angiotensin II, dan ini efeknya menaikkan tekanan darah. f) Insulin Jika hormon insulin jumlahnya sedikit, misalnya pada penderita diabetes melitus, maka kadar gula dalam darah akan dikeluarkan lewat tubulus distal. Hal ini akan mengganggu proses penyerapan kembali air sehingga orang tersebut akan lebih banyak mengeluarkan urin. Proses produksi urin akan terganggu bila seseorang menderita salah satu penyakit akibat kelainan fungsi ginjal. Penyakit kelainan ginjal yang sering terjadi pada manusia antara lain: nefritis, diabetes melitus (kencing manis), diabetes insipidus, albuminuria, dan batu ginjal. 2) Jumlah air yang diminum Semakin banyak volume air yang diminum, maka urin yang dihasilkan juga semakin banyak. Disarankan agar setiap individu minum air putih sebanyak 6 gelas per hari. Konsumsi air putih bisa membersihkan racun-racun tubuh yang masuk ke dalam ginjal dan memberi manfaat menjaga kelembaban pada kulit. 3) Saraf ginjal Rangsangan pada saraf ginjal akan mengakibatkan penyempitan duktus eferen sehingga aliran darah ke glomerulus berkurang dan mengakibatkan
proses
filtrasi
kurang
efektif.
Kondisi
demikian
mengakibatkan volume urin yang dihasilkan jumlahnya sedikit. Begitu juga sebaliknya.
19
4) Zat-Zat Diuretik Banyak terdapat pada kopi, teh, alkohol. Akibatnya jika banyak mengkonsumsi zat diuretik ini maka akan menghambat proses reabsorpsi, sehingga volume urin bertambah. a) Ion kalium Ion kalium berfungsi sebagai diuretik melalui mekanisme penghambatan reabsorbsi ion natrium, sehingga pengeluaran natrium cairan meningkat, hal tersebut dapat membantu menurunkan tekanan darah (Price, 2006; Kwon et al., 2010). b) Flavonoid Flavonoid menyebabkan peningkatan ekskresi elektrolit, seperti ion Na+ dan Cl- bersama urin. Natriuresis yang terjadi akan menimbulkan diuresis yang sebagian besar timbul secara sekunder akibat penghambatan terhadap reabsorbsi ion Na+ tubulus. Ion Na+ yang tersisa di tubulus bekerja secara osmotik menurunkan reabsorbsi air (Chodera et al., 1991; Guyton dan Hall, 2012). 5) Suhu Internal atau Eksternal Jika suhu naik di atas normal, maka kecepatan respirasi meningkat dan mengurangi volume urin. 6) Konsentrasi Darah Jika individu tidak minum air selama satu hari, maka konsentrasi air dalam darah rendah. Reabsorpsi air di ginjal mengingkat, volume urin menurun.
20
7) Emosi Emosi tertentu dapat merangsang peningkatan dan penurunan volume urin (Frandson, 2003; Sherwood, 2012). 4. Obat Diuretik a. Definisi Diuretika adalah obat yang berfungsi untuk meluruhkan air seni atau obat yang berfungsi meningkatkan pembuangan air seni oleh ginjal terutama melalui penurunan reabsorbsi tubular ion natrium dan air dalam tubulus ginjal yang secara osmotik (Permadi, 2006). Istilah diuresis memiliki dua pengertian, pertama menunjukkan adanya penambahan volume urin yang diproduksi dan yang kedua menunjukkan jumlah pengeluaran zat-zat terlarut dan air (Nafrialdi, 2007). b. Mekanisme Kerja Kebanyakan diuretika bekerja dengan mengurangi reabsorbsi natrium sehingga pengeluarannya lewat kemih dan demikian juga dari air diperbanyak. Obat-obat ini bekerja khusus terhadap tubuli, tetapi juga di tempat lain, yakni di : 1) Tubuli Proksimal Ultrafiltrat mengandung sejumlah besar garam yang di sini direabsorbsi secara aktif untuk lebih kurang 70% antara lain ion Na+ dan air, begitu pula glukosa dan ureum. Karena reabsorbsi berlangsung secara proporsional, maka susunan filtrat tidak berubah dan tetap isotonis terhadap plasma. Diuretika osmotik (manitol, sorbitol) bekerja di sini dengan merintangi reabsorbsi air dan juga natrium (Nafrialdi, 2007). 2) Lengkung Henle Di bagian lengkung henle pars ascenden, lebih kurang 25% dari semua ion dalam filtrat yang telah direabsorbsi secara aktif, kemudian dilanjutkan
21
dengan proses reabsorbsi secara pasif ion Na+ dan ion K+, tanpa air, sehingga filtrat menjadi hipotonis. Diuretika yang mekanisme kerjanya di lengkung henle, seperti furosemide, bumetamide, dan etakrinat, menyebabkan peningkatan pengeluaran K+ dan air (Nafrialdi, 2007). 3) Tubuli Distal Di bagian pertama segmen ini, Na+ direabsorbsi secara aktif pula tanpa air hingga filtrat menjadi lebih cair dan hipotonis. Di bagian kedua segmen ini, ion Na+ ditukarkan dengan ion K+ dan NH4- dan proses ini dikendalikan oleh hormon aldosteron. Diuretik seperti tiazid, antagonis aldosteron, klortaloidon, dan zat penghemat kalium (amilorida, triamteren) di sini bekerja dengan cara menghambat penyerapankembali Na+ dan penambahan K+ dengan jalan antagonisme kompetitif atau secara langsung (Nafrialdi, 2007). 4) Saluran Pengumpul (Tubulus Kolektivus) Hormon antidiuretik ADH (vasopresin) dari hipofise bertitik kerja di sini dengan jalan mempengaruhi permeabilitan bagi air dari sel-sel saluran ini (Tjay dan Rahardja, 2007). c. Indikasi Diuretik sangat berguna untuk mengatasi edema yang disebabkan penyakit jantung, sirosis hati, dan penyakit ginjal tertentu. Tetapi dibalik keuntungan pemberian diuretik, harus diingat bahwa pengeluaran sejumlah besar cairan tubuh yang diikuti oleh keluarnya garam, dapat menimbulkan gangguan keseimbangan pH dan elektrolit. Oleh karena itu perlu dimonitor dengan cermat jumlah makanan atau minuman yang masuk, jumlah air kemih, berat badan setiap hari, tekanan darah, dan pemeriksaan laboratorium. Selain itu, perlu dianjurkan kepada
22
penderita untuk meningkatkan asupan buah-buahan yang kaya ion kalium agar dapat menggantikan ion kalium yang hilang (Nafrialdi, 2007). d. Pengobatan Untuk Hipertensi Penggunaan diuretik untuk hipertensi dilakukan sebagai pengobatan langkah pertama. Dapat digunakan sebagai obat tunggal atau kombinasi dengan anti hipertensi lain. Penambahan diuretik pada obat lain diharapkan dapat menghasilkan efek yang optimal. Mekanisme kerja diuretik menghambat reabsorbsi natrium dan klorida, sehingga volume plasma dan cairan ekstrasel akan berkurang, akibatnya curah jantung akan menurun. Pada pemakaian jangka lama, volume plasma akan kembali menuju normal dan bersamaan dengan ini resistensi perifer akan turun. Penurunan resistensi ini terjadi karena penurunan kadar natrium dan berkurangnya air dari dinding pembuluh darah dan juga disebabkan oleh berkurangnya kalsium intrasel. Diuretik menurunkan tekanan darah terutama dengan cara mendeplesikan simpanan natrium tubuh. Diuretik menurunkan tekanan darah dengan menurunkan volume darah dan curah jantung, serta tahanan vaskuler perifer. Penurunan tekanan darah dapat terlihat dengan terjadinya diuresis. Diuresis menyebabkan penurunan volume plasma dan stroke volume yang akan menurunkan curah jantung dan akhirnya menurunkan tekanan darah. Obat-obat diuretik yang digunakan dalam terapi hipertensi yaitu : diuretik golongan tiazid, diuretik kuat, dan diuretik hemat kalium (Purwanto, 2008). 5. Hidroklorotiazid Hidroklorotiazid adalah senyawa sulfamoyl yang diturunkan dari klortiazid (Tjay dan Rahardja, 2007). Efek farmakodinamik tiazid yang utama ialah meningkatkan ekresi natrium, klorida, dan sejumlah air. Efek natriuresis dan
23
kloruresis ini disebabkan oleh penghambatan mekanisme reabsorbsi elektrolit pada hulu tubuli distal. Tiazid merupakan diuretik terpilih untuk pengobatan edema akibat payah jantung ringan sampai sedang (Nafrialdi, 2007). Daya hipotensifnya lebih kuat (pada jangka panjang), maka banyak digunakan sebagai pilihan pertama untuk hipertensi ringan sampai sedang (Tjay dan Rahardja, 2007). Diuretik tiazid dikenal menghambat transpor NaCl secara bebas terhadap efeknya pada aktivitas karbonik anhidrase dan yang bekerja pada tubulus kontortus distal (Katzung, 2005). a. Farmakodinamik Efek farmakodinamik dari tiazid adalah meningkatkan ekskresi natrium, klorida dan sejumlah air (Anderson et al., 2002). Efek natriuresis dan kloruresis ini disebabkan oleh penghambatan mekanisme reabsobsi natrium dan klorida pada tubulus kontortus distal pars konvulata. Hidroklortiazid juga meningkatkan ekskresi ion K+, ion bikarbonat, Mg2+, phospor, dan iodida., sedangkan ekskresi Ca2+ menurun (Anderson et al., 2002). Karena eksresi ion kalium bertambah maka hal ini bisa menyebabkan hipokalemi, tetapi hal ini dapat dicegah dengan pemberian kalium klorida atau kombinasi dengan diuretika hemat kalium (Nafrialdi, 2007). Pada penderita hipertensi, tiazid menurunkan tekanan darah bukan saja karena efek diuretiknya, tetapi juga karena efek langsung terhadap arteriol sehingga terjadi vasodilatasi. Pada penderita diabetes insipidus tiazid memiliki efek berlawanan sehingga dapat mengurangi diuresis, tetapi mekanisme yang mendasarinya belum diketahui secara pasti (Nafrialdi, 2007). b. Farmakokinetik Tiazid diabsorbsi dengan baik dan cepat dari dalam usus dan diekskresi baik melalui filtrasi glomerulus maupun sekresi aktif dalam tubulus proksimal.
24
Mula kerja hidroklortiazid terjadi dalam 2 jam setelah pemberian secara oral, kadar plasma tertinggi dicapai dalam 4-6 jam, dengan masa kerja 6-12 jam. Hidroklorotiazid hampir tidak dimetabolisme oleh tubuh. Kurang lebih 95% dari hidroklorotiazid yang masuk dalam tubuh manusia diekskresikan dalam bentuk asalnya (Anderson et al., 2002). Hidroklorotiazid didistribusikan ke seluruh ruang ekstrasel dan dapat melewati sawar uri, tetapi obat ini hanya ditimbun dalam jaringan ginjal saja (Nafrialdi, 2007). c. Indikasi Tiazid digunakan untuk hipertensi, gagal jantung kongestif, nefrolithiasis yang disebabkan hiperkalsuria idiopatik, dan diabetes insipidus nefrogen. Pemberian tiazid pada penderita gagal jantung dan hipertensi yang disertai gangguan fungsi ginjal harus hati-hati karena dapat memperberat gangguan fungsi ginjal akibat penurunan kecepatan filtrasi glomerulus dan hilangnya natrium (Katzung, 2005). d. Toksikasi 1) Alkalosis Metabolik Hipokalemia Tiazid dapat meningkatkan ekskresi dari ion kalium, sehingga hal tersebut dapat menyebabkan hipokalemia. 2) Toleransi Gangguan Karbohidrat Dapat terjadi hiperglikemia baik pada pasien diabetes atau bahkan pada uji toleransi glukosa tidak normal ringan. Efek tersebut berkaitan dengan hambatan rilis insulin pankreatik dan penurunan penggunaan glukosa oleh jaringan.
25
3) Hiperlipidemia Tiazid dapat menyebabkan peningkatan 5-15% kolesterol serum dan menurunkan lipoprotein dengan kepadatan rendah Low Density Lipoprotein (LDL). 4) Hiponatremia Disebabkan karena kombinasi peningkatan Anti Diuretik Hormon (ADH) yang menginduksi hipovolemia, penurunan kapasitas pelarutan ginjal dan menyebabkan haus. 5) Reaksi Alergi Tiazid adalah sulfonamid dan mempunyai reaktivitas silang dengan anggota lain dari kelompoknya. 6) Toksisitas Lain Kelemahan, kelelahan, dan parestesia dapat menyerupai penghambat karbon anhidrase lain (Katzung, 2005). e. Kontraindikasi Penggunaan hidroklorotiazid ini tidak dianjurkan bagi orang yang hamil, menyusui (laktasi), gagal ginjal, dan anuria karena dapat menyebabkan gangguan yang tidak diharapkan (Anderson et al., 2002). f. Dosis Hidroklorotiazid tersedia dalam sediaan tablet 25 dan 50 mg. Dosis yang biasa digunakan untuk hipertensi adalah 12,5 – 25 mg per hari dan CHF (Congestive Heart Failure) 25 – 100 mg per hari (Nafrialdi, 2007). Dosis yang dianjurkan untuk diuretik adalah 25 mg per hari (Katzung, 2005).
26
6. Belimbing Wuluh a. Morfologi Tanaman Belimbing wuluh dikenal dengan nama yang berbeda di tiap-tiap daerah. Di Aceh belimbing wuluh dikenal sebagai limeng, balimbing, blimbing, blimbing wuluh merupakan sebutan belimbing wuluh di daerah Jawa. Di Sunda, belimbing wuluh dikenal dengan sebutan balingbing, calingcing, caling-cing wulet. Bhalingbing bulu di Madura, blingbing buloh di Bali, calene di Bugis, dan malibi di Halmahera (Yuniarti, 2008). Belimbing wuluh merupakan salah satu spesies dalam keluarga belimbing (Averrhoa). Diperkirakan tanaman ini berasal dari Amerika tropik. Tanaman ini tumbuh baik di daerah asalnya sedangkan di Indonesia banyak dipelihara di pekarangan dan kadang-kadang tumbuh secara liar di ladang atau tepi hutan (Thomas, 2007).
Gambar 2.2 Morfologi tanaman belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L.) Tanaman ini mempunyai bentuk pohon kecil, tingginya mencapai 5-10 meter dengan batang yang tidak begitu besar (Gunawan et al., 2001). Biasanya, tanaman ini hidup pada ketinggian 5 sampai 500 meter di atas permukaan laut (Wijayakesuma, 2006). Belimbing wuluh mempunyai batang kasar berbenjol-
27
benjol, percabangan sedikit yang cenderung mengarah ke atas (Gunawan et al., 2001). Daun tanaman ini berupa daun majemuk menyirip, jumlahnya ganjil dengan 21-45 pasang anak daun. Pucuk daunnya berwarna cokelat muda. Anak daun bertangkai pendek, bentuknya bulat telur sampai lonjong, ujung runcing, pangkal membundar, tepi rata, panjang 2-10 cm, lebar 1-3 cm, warnanya hijau dan permukaan bawah berwarna hijau muda. Perbungaan berupa malai, berkelompok, keluar dari batang atau percabangan yang besar, bunga kecil-kecil berbentuk bintang warnanya ungu kemerahan (Gunawan et al., 2001). Buahnya berbentuk lonjong bersegi hingga seperti torpedo, panjangnya 46,5 cm. Warna buah ketika muda hijau, dengan sisa kelopak bunga menempel pada ujungnya. Apabila buah sudah masak, maka buah berwarnya kuning atau kuning pucat. Daging buahnya berair banyak dan rasanya asam segar. Bijinya berbentuk elips, umumnya 2-3 ruang tanpa selaput biji, ukuran panjang 6-7 mm (Gunawan et al., 2001). Terdapat dua varietas dari tumbuhan belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi Linn.) yaitu yang menghasilkan buah berwarna hijau dan kuning muda atau sering pula dianggap berwarna putih (Thomas, 2007). b. Klasifikasi Tanaman Divisio
: Spermatophyta
Sub-divisio
: Angiospermae
Classis
: Dicotyledoneae
Subkelas
: Rosidae
Ordo
: Graniales
Familia
: Oxalidaceae
28
Genus
: Averrhoa
Spesies
: Averrhoa bilimbi (Roy et al., 2011)
c. Manfaat Belimbing Wuluh Belimbing wuluh telah lama digunakan sebagai tanaman obat tradisional. Buahnya
dapat
digunakan
sebagai
penhilang
rasa
nyeri
(analgetik),
memperbanyak pengeluaran empedu, antiradang, peluruh kencing, dan sebagai penyegar kulit (Wijayakesuma, 2006). Kandungan senyawa yang terdapat pada belimbing wuluh diantaranya adalah saponin, tanin, flavonoid, glukosida, asam formiat, asam sitrat, dan beberapa mineral terutama kalsium dan kalium (Hariana, 2012). Daunnya dapat digunakan sebagai antipiretik, kulit gatal akibat kuman, bengkak karena jerawat, dan dapat menurunkan kadar gula darah. Bunganya menyembuhkan batuk, sedangkan buahnya banyak dikonsumsi masyarakat sebagai manisan atau campuran sayur sekaligus berkhasiat untuk mengobati batuk, dan beri-beri (Wijayakesuma, 2006). Tanaman tersebut memiliki senyawa yang berperan sebagai antibakteri, antidiabetik, antihiperlipidemia, dan dalam pengobatan post-partum (Roy et al., 2011). d. Kandungan Kimia Belimbing wuluh bersifat asam, dengan pH 4,47. Buah belimbing wuluh kaya akan berbagai macam vitamin, terutama vitamin C, protein, serat, mineral, dan air (Roy et al., 2011). Zat-zat yang terkandung dalam 100 gram belimbing wuluh antara lain protein riboflavin (vitamin B2), Thiamin (vitamin B1), Niasin (vitamin B3), asam askorbat (vitamin C), karoten, vitamin A, fosfor, kalsium, zat
29
besi, dan protein yang disajikan dalam tabel 2.3. Unsur pokok kimia yang terdapat pada buah belimbing wuluh antara lain asam amino, asam sitrus, cyanidin-O-h-Dgluconide, gugus fenolik, ion potasium, gula, dan vitamin A (Roy et al., 2011). Tabel 2.3. Kandungan Kimia Belimbing Wuluh (Roy et al., 2011; Hariana, 2012) Zat yang di kandung
Jumlah
Riboflavin (Vitamin B2)
0,026 mg
Thiamin (Vitamin B1)
0,010 mg
Niasin (Vitamin B3)
0,302 mg
Asam askorbat (Vitamin C)
15,6 mg
Karoten
0,035 mg
Vitamin A
0,036 mg
Fosfor
11,1 mg
Kalsium
3,4 mg
Zat Besi
1 mg
Protein
0,61 g
Kalium
Belum diketahui
Flavonoid
Belum diketahui
Tanin
Belum diketahui
Saponin
Belum diketahui
e. Peran Flavonoid dan Kalium Terhadap Diuresis Salah satu kandungan bahan kimia dalam belimbing wuluh adalah flavonoid (Hariana, 2002). Flavonoid terdapat pada tumbuhan tingkat tinggi dan terdapat pada hampir setiap bagian tumbuhan, yaitu akar, batang, daun, bunga, tepung sari, buah, biji, kayu, kulit kayu. Senyawa flavonoid menunjukkan aktivitas yang
30
bermacam-macam diantaranya mempunyai aktivitas sebagai diuretik, antivirus, antihistamin, antihipertensi, dan bakteriostatik (Harborne, 1996). Flavonoid menyebabkan peningkatan ekskresi elektrolit, seperti ion Na+ dan Cl- bersama urin (Chodera et al., 1991). Natriuresis yang terjadi akan menimbulkan diuresis yang sebagian besar timbul secara sekunder akibat penghambatan terhadap reabsorbsi ion Na+ tubulus. Ion Na+ yang tersisa di tubulus bekerja secara osmotik menurunkan reabsorbsi air (Guyton dan Hall, 2012). Flavonoid berguna untuk menghambat ACE (Angiotensin Converting Enzyme), sehingga dari angiotensin I tidak dapat diubah menjadi angiontensin II yang berfungsi untuk menaikan aktivitas sistem saraf simpatis, vasokonstriksi otot polos vaskular dan meningkatkan retensi air dan natrium (Price, 2006; Kwon et al., 2010). Selain flavonoid, ion kalium yang terkandung dalam belimbing wuluh juga berfungsi sebagai diuretik melalui mekanisme penghambatan reabsorbsi ion natrium, sehingga pengeluaran natrium cairan meningkat, hal tersebut dapat membantu menurunkan tekanan darah. Kalium juga berguna untuk menghambat renin,
sehingga
dalam
sistem
RAA
(Renin-Angiotensin-Aldosteron),
angiotensinogen tidak dapat diubah menjadi angiotensin I. Kalium bekerja dengan menurunkan resistensi pembuluh darah perifer yang secara langsung dapat melebarkan arteri, peningkatan pengeluaran air dan natrium dari tubuh, penekanan sekresi renin angiotensin, dan stimulasi dari aktivitas pompa natrium-kalium. Hal tersebut menyebabkan volume intravaskular meningkat sehingga sekresi renin menurun. Dengan demikian, kombinasi antara kalium dan flavonoid dapat menyebabkan penurunan tekanan darah (Price, 2006; Kwon et al., 2010; Guyton dan Hall, 2012).
31
B. Kerangka Pemikiran
Hipertensi Tatalaksana
Non Farmakologi
Alternatif
Farmakologi
Modifikasi Diet dan Gaya Hidup dengan DASH
Ekstrak Etanol Daun Belimbing Wuluh
Salah satu lini pertama : Hidroklorotiazid
Flavonoid dan Kalium
Tikus Putih Model Hipertensi
Faktor lain : keadaan ginjal tikus, stres, tingkat kepekaan terhadap perlakuan
Tikus Putih Model Hipertensi
Peningkatan ekskresi natrium dan klorida
Perbandingan Efek Diuresis
Gambar 2.3. Skema Kerangka Pemikiran
32
Keterangan : : Faktor/Variabel yang diamati : Faktor/Variabel yang tidak diamati :
Faktor/Variabel
yang
diamati
(tahap
selanjutnya,
mengandung,
menyebabkan/mempengaruhi) : Faktor/Variabel yang tidak diamati (tahap selanjutnya, mengandung, menyebabkan/mempengaruhi)
C. Hipotesis Penelitian 1. Ekstrak etanol daun belimbing wuluh mempunyai efek diuresis dan efek antihipertensi pada tikus putih jantan model hipertensi. 2. Efek diuresis dan efek antihipertensi ekstrak tersebut lebih kuat jika dibandingkan dengan hidroklorotiazid dosis terapi pada tikus putih jantan model hipertensi.