BAB II LANDASAN TEORI
2.1
Sistem Pendukung Keputusan (SPK) Sistem pendukung keputusan (SPK) atau dikenal dengan Decision Support
System (DSS), pada tahun 1970-an sebagai pengganti istilah Management Information System (MIS). Tetapi pada dasarnya SPK merupakan pengembangan lebih lanjut dari MIS yang dirancang sedemikian rupa sehingga bersifat interaktif dengan pemakainya. Maksud dan tujuan dari adanya SPK, yaitu untuk mendukung pengambil keputusan memilih alternatif keputusan yang merupakan hasil pengolahan informasi-informasi yang diperoleh/tersedia dengan menggunakan model-model pengambil keputusan serta untuk menyelesaikan masalah-masalah bersifat terstruktur, semi terstruktur dan tidak terstruktur (Mulyono, 1996). Pada dasarnya pengambilan keputusan adalah suatu pendekatan sistematis pada suatu masalah, pengumpulan fakta dan informasi, penentuan yang baik untuk alternatif yang dihadapi, dan pengambilan tindakan yang menurut analisis merupakan tindakan yang paling tepat. Tetapi pada sisi yang berbeda, pembuat keputusan kerap kali dihadapkan pada kerumitan dan lingkup keputusan dengan data yang cukup banyak. Untuk kepentingan itu, sebagian besar pembuat keputusan dengan mempertimbangkan rasio manfaat/biaya, dihadapkan pada suatu keharusan untuk mengandalkan sistem yang mampu memecahkan suatu masalah secara efisien dan efektif, yang kemudian disebut dengan Sistem Pendukung Keputusan (SPK). Dengan memperhatikan tinjauan relatif 10 Universitas Sumatera Utara
11
atas peranan manusia dan komputer untuk mengetahui bidang fungsi masing-masing, keunggulan serta kelemahannya, maka memahami SPK dan pemanfaatannya sebagai sistem yang menunjang dan mendukung pengambilan keputusan dapat dilakukan dengan baik. Tujuan pembentukan SPK yang efektif adalah memanfaatkan keunggulan kedua unsur, yaitu manusia dan perangkat elektronik. Terlalu banyak menggunakan komputer akan menghasilkan pemecahan suatu masalah yang bersifat mekanis, reaksi yang tidak fleksibel, dan keputusan yang dangkal. Sedangkan terlalu banyak manusia akan memunculkan reaksi yang lamban, pemanfaatan data yang serba terbatas, dan kelambanan dalam mengkaji alternatif yang relevan. 2.1.1
Konsep Dasar Sistem Pendukung Keputusan Pada dasarnya manusia adalah bagian dari alam, dan tidak akan pernah
terlepas dari kehidupan di alam. Manusia menjadi unsur alam yang paling mendominasi unsur-unsur lainnya di alam ini, hal ini tidak lain karena ia dibekali kemampuan-kemampuan untuk berkembang. Karena manusia dibekali kemampuan untuk berkembang, maka segala proses yang terjadi di sekelilingnya dan di dalam dirinya dirasakan dan diamatinya dengan menggunakan semua indera yang dimilikinya, dipikirkannya, lalu manusia akan berbuat dan bertindak. Dalam menjalankan kehidupannya maka manusia tidak akan pernah terlepas dari menghadapi suatu masalah, dan hampir dalam setiap permasalahan yang dihadapi maka manusia harus membuat suatu keputusan dalam menyelesaikan setiap permasalahan. Dalam menghadapi segala proses yang terjadi di sekelilingnya dan di dalam dirinya, hampir setiap saat manusia membuat atau mengambil keputusan dan
Universitas Sumatera Utara
12
melaksanakannya. Ini tentu dilandasi asumsi bahwa segala tindakannya secara sadar merupakan pencerminan hasil proses pengambilan keputusan dalam pikirannya, sehingga sebenarnya manusia sudah sangat terbiasa dalam membuat keputusan. Jika keputusan yang diambil tersebut perlu dipertanggungjawabkan kepada orang lain atau prosesnya memerlukan pengertian pihak lain, maka perlu untuk diungkapkan sasaran yang akan dicapai berikut kronologi proses pengambilan keputusannya (Mangkusubroto dan Tresnadi, 1989). Pada awal tahun 1970-an, Scott Morton pertama kali mendefinisikan konsep penting SPK. Ia mendefinisikan SPK sebagai “sistem berbasis komputer interaktif, yang membantu para pengambil keputusan untuk menggunakan data dan berbagai model untuk memecahkan masalahmasalah tidak terstruktur”.
2.2
Definisi Supply chain Management Dengan latar belakang praktek manajemen logistik tradisional dan perubahan
lingkungan bisnis yang semakin cepat tersebut di atas, Supply chain Management (SCM) merupakan salah satu konsep dalam rangka merespon persoalan tersebut. SCM menekankan pada pola terpadu menyangkut proses aliran produk dari supplier, manufaktur, retailer hingga pada konsumen akhir. Dalam konsep SCM ingin diperlihatkan bahwa rangkaian aktivitas antara supplier hingga konsumen akhir adalah dalam satu kesatuan tanpa sekat yang besar. Mekanisme informasi antara berbagai komponen tersebut berlangsung secara transparan.
Universitas Sumatera Utara
13
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa SCM adalah suatu konsep yang menyangkut pola pendistribusian produk yang mampu menggantikan pola-pola pendistribusian produk secara tradisional. Pola baru ini menyangkut aktivitas pendistribusian, jadwal produksi, dan logistik. Ada pula yang mengatakan bahwa SCM adalah suatu metode penciptaan produk untuk disampaikan pada pengguna akhir, dimana di dalamnya tercakup berbagai komponen, yaitu: the supplier of raw materials, the manufacturing units, warehouses, transporters, retailers, and finally selling. Dari 2 definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa fokus utama dari SCM adalah sinkronisasi proses untuk kepuasan pelanggan. Semua supply chain pada hakekatnya memperebutkan pelanggan dari produk atau jasa yang ditawarkan. Semua pihak yang berada dalam satu rantai supply chain harus bekerja sama satu dengan lainnya semaksimal mungkin untuk meningkatkan pelayanan dengan harga murah, berkualitas, dan tepat pengirimannya. Persaingan dalam konteks SCM adalah persaingan antar rantai, bukan antar individu perusahaan. Kelemahan praktek tradisional yang bersifat adversarial adalah terfokusnya ukuran keberhasilan dan aktivitas pada bagian-bagian kecil dari supply chain yang justru sering berlawanan dengan tujuan akhir untuk meningkatkan pelayanan pada pelanggan atau konsumen akhir. Manajemen supply chain merupakan serangkaian pendekatan yang diterapkan untuk mengintegrasikan pemasok, pengusaha, gudang dan tempat penyimpanan lainnya secara efisien sehingga produk yang dihasilkan dan didistribusikan dengan
Universitas Sumatera Utara
14
kuantitas yang tepat, lokasi tepat dan waktu tepat untuk memperkecil biaya dan memuaskan kebutuhan pelanggan. Merancang dan mengimplementasikan supply chain yang optimal secara global cukup sulit karena kedinamisannya serta terjadinya konflik tujuan antar fasilitas dan partner (Shimchi-Levi et al. 2003). Istilah supply chain agroindustri (agri-food supply chain) sendiri digunakan untuk menggambarkan aktivitas mulai dari proses produksi hingga ke proses distribusi yang membawa produk perkebunan atau produk pertanian dari tanah pertanian ke konsumen (Ahumada & Villalobos 2009). Supply chain agroindustri dibentuk oleh serangkaian organisasi yang melakukan proses produksi (oleh petani), proses distribusi, proses pengolahannya, dan pemasaran produk hasil perkebunan ke konsumen. Perbedaan karakteristik yang jelas antara produk manufaktur dengan produk agroindustri juga menimbulkan perbedaan dalam supply chain keduanya. Menurut Aramyan et al. (2006), yang membuat Supply chain agroindustri berbeda dengan supply chain produk lainnya adalah: 1. Sifat produksinya, yang sebagian berbasis pada proses biologis, sehingga meningkatkan keanekaragaman dan resiko. 2. Sifat produknya, yang memiliki beberapa karakterisitik khusus, seperti mudah rusak/lenyap (perishablelity) dan kamba (bulky), sehingga membutuhkan supply chain tipe tertentu. 3. Perilaku sosial dan konsumen terhadap isu-isu keamanan pangan, keselamatan binatang, dan tekanan lingkungan.
Universitas Sumatera Utara
15
Tujuan dari sebuah supply chain adalah untuk memaksimalkan keseluruhan nilai yang dihasilkan, yang merupakan selisih antara nilai sebuah produk akhir bagi konsumen dengan biaya supply chain yang ditimbulkan dalam memenuhi permintaan konsumen tersebut. Bagi hampir semua supply chain, nilai sangat berkorelasi dengan keuntungan supply chain (supply chain profitability/supply chain surplus), yaitu selisih antara pendapatan yang didapatkan dari konsumen dengan keseluruhan biaya supply chain. Keuntungan supply chain merupakan keuntungan total yang terbagi di seluruh tahap supply chain. Semakin tinggi keuntungan sebuah supply chain, semakin berhasil supply chain tersebut. Keberhasilan sebuah supply chain hendaknya diukur dari segi keuntungan sebuah supply chain secara keseluruhan dan bukan dari keuntungan masing-masing pelaku. Untuk supply chain manapun, terdapat satu sumber pendapatan, yaitu konsumen. Sedangkan seluruh aliran informasi, produk dan dana menghasilkan biaya (cost) bagi supply chain. Karenanya, pengaturan yang baik dari aliran tersebut merupakan kunci dari keberhasilan supply chain. Istilah supply chain atau supply chain mengandung arti bahwa hanya ada satu pemain yang terlibat pada setiap tahap supply chain. Pada kenyataanya, sebuah pabrik dapat menerima bahan baku dari beberapa pemasok dan kemudian memasok produk jadinya ke beberapa distributor. Berdasarkan hal ini, sesungguhnya kebanyakan supply chain merupakan network atau jaringan (Chopra & Meindl 2007). Pada umumnya supply chain melibatkan beberapa pelaku yang diperlihatkan pada Gambar 2.1 meliputi:
Universitas Sumatera Utara
16
1.
Konsumen.
2.
Retailers/pengecer.
3.
Wholesalers/distributor.
4.
Manufacturer/pabrik.
5.
Supplier/pemasok bahan baku/komponen.
Gambar 2.1 Para Pelaku Dalam Supply chain (Chopra & Meindl, 2007) Jaringan supply chain terdiri dari pemasok, gudang, pusat distribusi, dan outlet retail, termasuk bahan baku, persediaan (Work in process inventory), dan produk jadi yang mengalir melalui fasilitas tersebut (Shimchi-Levi et al. 2003). Menurut Aramyan et al. (2006), terdapat dua tipe supply chain agroindustri, yaitu: 1.
Supply chain untuk produk segar, seperti sayuran, bunga dan buahbuahan.
Universitas Sumatera Utara
17
2.
Supply chain untuk produk pertanian hasil pemrosesan termasuk produk perkebunan.
Proses yang terjadi dalam sebuah supply chain dibagi menjadi dua kategori, tergantung dari pertimbangan apakah proses tersebut dilakukan sebagai respon atas pesanan konsumen (pull processes) atau sebagai antisipasi terhadap pesanan konsumen (push processes). Tinjauan push/pull processes dalam sebuah supply chain dapat mempengaruhi pertimbangan keputusan stategis pada saat pembangunan desain supply chain (Chopra & Meindl, 2007). Faktor lain yang mempengaruhi rancangan supply chain adalah sifat dari permintaan terhadap produk (nature of the demand), apakah termasuk produk fungsional atau produk inovatif. Menurut (Lumsden, 1998), supply chain terdiri dari lima aliran yang berbeda, seperti Gambar 2.2 antara lain: 1.
Aliran fisik bahan terdiri dari barang yang diangkut dari produsen ke konsumen. Misalnya teh dan gula tebu.
2.
Aliran moneter biasanya berjalan dari belakang konsumen kepada produsen melalui organisasi di dalam supply chain.
3.
Aliran horizontal informasi dua arah; dari konsumen terhadap produser dan
kembali
lagi.
Informasi
yang
dibutuhkan
misalnya
untuk
menghasilkan produk yang tepat atau mengenai waktu pengiriman. 4.
Arus informasi vertikal terjadi antara empat arus horisontal untuk misalnya sistem track-dan-trace truk.
Universitas Sumatera Utara
18
5.
Aliran fisik lainnya adalah aliran sumber daya misalnya truk yang digunakan untuk mengangkut barang dari satu tujuan yang lain di dalam perusahaan.
Company1
Company 2
Company 3
MATERIAL FLOW
PRODUCER
CONSUMER
MONETARY FLOW HORIZONTAL INFO FLOW
VERTICAL INFO FLOW
RESOURCE FLOW
Gambar 2.2 Aliran Di Dalam Supply Chain (Diadaptasi Dari Lumsden, 1998) Analisis supply chain dapat dievaluasi dalam konteks jaringan supply chain makanan yang kompleks, disebut juga sebagai Food Supply chain Network (FSCN). Dalam FSCN, beberapa perusahaan yang berbeda berkolaborasi secara strategis dalam satu atau lebih area dengan tetap menjaga identitas dan otonominya sendiri (Lazzarini dalam Vorst, 2005). Ketika peneliti atau manajer mendiskusikan pengembangan jaringan dan supply chain yang potensial, dibutuhkan suatu kerangka kerja (framework) untuk mendeskripsikan supply chain, pelakunya, prosesnya, produk-produknya, sumberdaya, dan manajemen, hubungan antara pelaku supply chain dan jenis atribut yang terkait, dalam upaya untuk memungkinkan pelaku supply chain saling mengerti peranannya secara jelas (Vorst, 2005). Empat elemen yang
Universitas Sumatera Utara
19
dapat digunakan untuk menjelaskan, menganalisis dan atau mengembangkan secara spesifik supply chain dalam FSCN antara lain struktur rantai, manajemen rantai, proses bisnis rantai dan sumber daya rantai. Kerangka analisis manajemen supply chain yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2.3. Siapa saja anggota rantai dan apa perannya
Struktur Rantai Pasokan
Konfigurasi peraturannnya
Sasaran Rantai
Apa yang digunakan Bagaimana kontraknya
Siapa pelaku bisnis dan proses apa dalam MRP Bagaimana Integrasinya setiap proses
Manajemen Rantai
Proses Bisnis Rantai
Sumber Daya Rantai
Kinerja Rantai
Sumberdaya apasaja yang digunakan disetiap proses dalam rantai
Struktur Pengelolaannya
Gambar 2.3 Kerangka Analisis Supply chain (Van Der Vorst, 2005) Empat elemen yang digunakan untuk menjelaskan, menganalisis atau mengembangkan secara spesifik supply chain teh botol di PT. Sinar Sosro Tanjung Morawa Medan dengan FSCN ini nantinya akan menghasilkan gambaran mengenai kondisi nyata yang terjadi dalam supply chain tersebut. Untuk menjamin penerapan manajemen pasokan bahan baku teh botol yang optimal, faktor kunci yang harus diperhatikan adalah dengan menciptakan alur informasi yang bergerak secara mudah dan akurat diantara jaringan atau mata rantai tersebut, dan pergerakan barang yang efektif dan efisien yang menghasilkan kepuasan maksimal pada para pelanggan
Universitas Sumatera Utara
20
(Indrajit dan Djokopranoto, 2002). SCM merupakan sesuatu yang sangat kompleks, dimana banyak hambatan yang dihadapi dalam implementasinya, sehingga dalam implementasinya memang membutuhkan tahapan mulai tahap perancangan sampai tahap evaluasi dan perbaikan berkelanjutan. Selain itu implementasi manajemen supply chain membutuhkan dukungan dari berbagai pihak mulai dari internal dalam hal ini seluruh manajemen puncak dan eksternal, dalam hal ini seluruh partner yang ada. 2.2.1
Proses Supply Chain Management Proses supply chain management adalah proses saat produk masih berbahan
mentah, produk setengah jadi dan produk jadi diperoleh, diubah dan dijual melalui berbagai fasilitas yang terhubung oleh rantai sepanjang arus produk dan material. Pada suatu supply chain biasanya ada 3 macam aliran yang harus dikelola. Pertama adalah aliran barang yang mengalir dari hulu (upstream) ke hilir (downstream). Contohnya adalah bahan baku (teh) yang dikirim dari supplier ke bagian gudang. Setelah bahan baku selesai diproduksi, mereka dikirim ke distributor, lalu ke pengecer atau ritel, kemudian ke pemakai akhir. Yang kedua adalah aliran uang dan sejenisnya yang mengalir dari hilir ke hulu. Yang ketiga adalah aliran informasi yang bisa terjadi dari hulu ke hilir ataupun sebaliknya. Informasi tentang persediaan produk yang masih ada di masing-masing divisi sering dibutuhkan oleh distributor maupun oleh instansi. Informasi tentang ketersediaan kapasitas produksi yang dimiliki oleh supplier juga sering dibutuhkan oleh instansi. Informasi tentang status pengiriman bahan baku sering dibutuhkan oleh instansi yang mengirim maupun yang
Universitas Sumatera Utara
21
menerima. Instansi pengapalan harus membagi informasi seperti ini supaya pihakpihak berkepentingan bisa memonitor untuk kepentingan perencanaan yang lebih akurat. Gambar 2.4 memberikan ilustrasi konseptual sebuah supply chain.
Gambar 2.4 Simplifikasi Model Supply chain dan 3 Macam Aliran yang Dikelola Chain 1: Suppliers Jaringan bermula dari sini, yang merupakan sumber yang menyediakan bahan pertama, dimana mata rantai penyaluran barang akan dimulai. Bahan pertama ini bisa dalam bentuk bahan baku, bahan mentah, bahan penolong, bahan dagangan, sub assemblies, suku cadang, dan sebagainya. Sumber pertama ini dinamakan suppliers. Dalam artinya yang murni, ini termasuk juga suppliers`supplier atau sub-supplier. Jumlah supplier bisa banyak atau sedikit, tetapi supplier`supplier biasanya berjumlah banyak sekali. Inilah mata ratai yang pertama. Chain 1-2: Suppliers → Manufacturer Rantai pertama dihubungkan dengan rantai kedua, yaitu manufacturer atau plants atau assembler atau fabricator atau bentuk lain yang melakukan pekerjaan membuat,
memfabrikasi,
merakit,
mengolah,
mengkonversikan
atau
pun
Universitas Sumatera Utara
22
menyelesaikan barang (finishing). Untuk keperluan tulisan ini, sebut saja bentuk yang bermacam-macam tadi sebagai manufacturer. Hubungan dengan mata rantai pertama ini sudah mempunyai potensi untuk melakukan penghematan. Misalnya, persediaan bahan baku, bahan setengah jadi, dan bahan jadi yang berada di pihak suppliers, manufacturer, dan tempat transit merupakan target untuk penghematan ini. Tidak jarang penghematan sebesar 40%-60%, bahkan lebih dapat diperoleh dari inventory carrying cost di mata rantai ini. Dengan menggunakan konsep supplier partnering misalnya penghematan ini dapat diperoleh. Chain 1-2-3: Suppliers → Manufacturer → Distributor Barang sudah jadi yang dihasilkan oleh manufacturer sudah mulai harus disalurkan kepada para pelanggan/ konsumen. Walaupun tersedia banyak cara untuk penyaluran barang ke pelanggan, yang umum adalah melalui distributor dan ini biasanya ditempuh oleh sebagian besar supply chain. Barang dari instansi melalui gudangnya disalurkan ke gudang distributor atau wholesaller atau pedagang besar dalam jumlah besar, dan pada waktunya nanti pedagang besar menyalurkan dalam jumlah yang lebih kecil kepada retailers atau pengecer. Chain 1-2-3-4: Suppliers → Manufacturer → Distribution → Retail Outlets Pedagang besar biasanya mempunyai fasilitas gudang sendiri atau dapat juga menyewa dari pihak lain. Gudang ini digunakan untuk menimbun barang sebelum disalurkan ke pihak pengecer dalam hal ini mungkin bisa disebut fakultas. Sekali lagi disini ada kesempatan untuk memperoleh penghematan dalam bentuk jumlah persediaan dan biaya gudang, dengan cara melakukan desain kembali pola-pola
Universitas Sumatera Utara
23
pengiriman barang baik dari gudang manufacturer maupun ke pengecer. Walaupun ada beberapa instansi yang langsung mendistribusikan barang hasil produksinya kepada pelanggan, namun secara relatif jumlahnya tidak banyak dan kebanyakan menggunakan pola seperti di atas. Chain 1-2-3-4-5: Suppliers → Manufacturer → Distribution → Retail Outlets → Customer Dari rak-raknya, para pengecer atau supplier atau retailers ini menawarkan barangnya langsung kepada para pelanggan atau pembeli atau pengguna barang tersebut dalam hal ini mungkin bisa disebut departemen. Yang termasuk outlet adalah toko, warung, toko serba ada, pasar swalayan, toko koperasi, mal, club stores, dan sebagainya, pokoknya dimana pembeli akhir melakukan pembelian. Walaupun secara fisik dapat dikatakan bahwa ini merupakan mata rantai yang terakhir, sebetulnya masih ada satu mata rantai lagi, yaitu dari pembeli (yang mendatangi retail outlets tadi) ke real customers atau real user dalam hal ini mungkin bisa disebut laboratorium, perpustakaan dan lain sebagainya, karena pembeli belum tentu pengguna sesungguhnya. Mata rantai supply baru betul-betul berhenti setelah barang yang bersangkutan tiba di pemakai langsung (pemakai yang sebenarnya) barang atau jasa dimaksud. 2.2.2
Tantangan dalam Mengelola Supply chain Mengelola suatu supply chain bukanlah hal yang mudah. Dari gambaran di
atas bisa dipahami bahwa supply chain melibatkan sangat banyak pihak di dalam maupun di luar sebuah instansi serta menangani cakupan kegiatan yang sangat luas.
Universitas Sumatera Utara
24
Ditambah lagi dengan berbagai ketidakpastian yang ada di sepanjang supply chain serta semakin tingginya persaingan, supply chain management membutuhkan pendekatan dan model pengelolaan yang tangguh untuk bisa tetap bertahan dalam dunia bisnis. Tantangan 1: Kompleksitas Struktur Supply Chain Pihak-pihak yang terlibat dalam supply chain sering kali memiliki kepentingan yang berbeda-beda, bahkan tidak jarang bertentangan (confliting) antara yang satu dengan yang lainnya. Sebagai contoh, bagian pemasaran ingin memuaskan pelanggan sehingga sering membuat kesepakatan dengan pelanggan tanpa mengecek secara baik kemampuan bagian produksi. Perubahan jadwal produksi secara tiba-tiba sering harus terjadi karena bagian pemasaran menyepakati perubahan order (pesanan) dari pelanggan. Di sisi lain, bagian produksi biasanya cukup resistan terhadap perubahan-perubahan mendadak seperti itu karena akan berakibat pada rendahnya utilitas mesin dan seringnya pengadaan bahan baku harus dimajukan atau diubah. Konflik antar bagian ini merupakan satu tantangan besar dalam mengelola sebuah supply chain. Kompleksitas suatu supply chain juga dipengaruhi oleh perbedaan bahasa, zona waktu dan budaya antara satu instansi dengan instansi lain. Tentu akan sulit kalau sebuah instansi manufaktur di Indonesia harus membeli bahan baku dari Eropa karena perbedaan kepentingan antara mereka lebih sulit dicari titik temunya akibat perbedaan tiga hal tadi.
Universitas Sumatera Utara
25
Tantangan 2: Ketidakpastian Ketidakpastian merupakan sumber utama kesulitan pengelolaan suatu supply chain. Ketidakpastian menimbulkan ketidakpercayaan diri terhadap rencana yang sudah dibuat. Sebagai akibatnya, instansi sering menciptakan pengaman di sepanjang supply chain. Pengaman ini bisa berupa persediaan (safety stock), waktu (safety time) ataupun kapasitas produksi maupun transportasi. Di sisi lain ketidakpastian sering menyebabkan janji tidak terpenuhi. Dengan kata lain, customer service level akan lebih rendah pada situasi dimana ketidakpastian cukup tinggi. Ada tiga klasifikasi utama ketidakpastian pada supply chain. Pertama adalah ketidakpastian permintaan. Suatu instansi atau perusahaan tidak akan pernah bisa memiliki informasi yang pasti berapa produk akan terjual pada periode tertentu. Instansi tersebut hanya bisa meramalkan dan perlu diketahui bahwa ramalan hamper selalu tidak benar. Peningkatan ketidakpastian atau variasi permintaan dari hilir ke hulu pada suatu supply chain dinamakan bullwhip effect. Ketidakpastian kedua berasal dari arah supplier. Ini bisa berupa ketidakpastian pada lead time pengiriman, harga bahan baku atau komponen, ketidakpastian kualitas, serta kuantitas barang yang dikirim. Sedangkan sumber yang ketiga adalah ketidakpastian internal yang bisa diakibatkan oleh kerusakan mesin, kinerja mesin yang tidak sempurna, ketidakhadiran tenaga kerja, serta ketidakpastian waktu maupun kualitas produksi. Besarnya ketidakpastian yang dihadapi tiap-tiap supply chain berbeda-beda sesaui pada Gambar 2.5 di bawah ini.
Universitas Sumatera Utara
26
Gambar 2.5 Ketidakpastian pada supply chain menimbulkan persediaan pengaman dimana-mana
2.3
Fleksibilitas Supply chain Terdapat beberapa definisi yang berbeda terkait supply chain flexibility, Das
and Abdel-Malek (2003) mendefisikan sebagai “elasticity” dari hubungan buyersupplier pada kondisi supply yang berubah-ubah. Ferdows (1997), mendefisikannya sebagai “robust networks” sebuah jaringan yang dapat mengatasi perubahan dalam lingkungan yang kompetitif tanpa menyebabkan perubahan ekstrim. Sedangkan Easton and Rothschild (1987), mendefisikannya sebagai “adaptability”, kemampuan untuk melakukan re-design dan re-configure terhadap chain yang ada. Dari beberapa pengertian tersebut, supply chain flexibility dapat didefisikan sebagai respon dari perubahan permintaan. Beberapa peneliti juga telah menjabarkan komponen dari supply
chain
flexibility,
dimana
hampir
sama
dengan
komponen
dari flexibility pada tingkat manufacture. Lummus et al. (2003) menyatakan bahwa terdapat 6 komponen supply chain flexibility, yaitu operational system, logistics processes, supply network, organisational design flexibility, dan information systems flexibility.
Sedangkan
Gosain
et
al.
(2005)
hanya
mengkategorikankan
Universitas Sumatera Utara
27
kedalam offering flexibility dan partnering flexibility. Vickery et al. (1999) dan Sanchez
and
Perez
(2005)
menjabarkan
komponen
dari supply
chain
flexibility kedalam 7 komponen, yaitu product, volume, launch (or new product), distribution (or delivery), postponement, sourcing, dan responsiveness (to target markets) flexibility. Berikut ini merupakan 5 elemen yang dapat memberikan gambaran menyeluruh mengenai pengertian dari supply chain flexibility: 1. Robust network (or rigid) flexibility, cakupan dari kejadian/keadaan yang masih dapat diatasi oleh kondisi supply chain yang ada tanpa merubah supply chain tersebut. 2. Re-configuration
flexibility,
kemudahan supply
chain dalam
melakukan re-configured (adaptability). 3. Active flexibility, kemampuan dalam menanggapi perubahan dalam supply chain. 4. Dormant (or potential) flexibility, fleksibilitas dari supply chain tidak perlu dibuktikan 5. Network alignment, setiap entitas berfokus dalam menyelaraskan kemampuannya untuk mencapai tujuan dari supply chain. Tabel 2.1 menyajikan komponen fleksibilitas mulai dari fleksibilitas operasional di lantai produksi sampai supply chain flexibility di tingkat jaringan (network).
Universitas Sumatera Utara
28
Tabel 2.1. Komponen Fleksibilitas Hierarchical Level Flexibility Dimension Operational flexibilities (resource andMachine, Material Handling, Operations, shop floor level) Automation, Labour, Process, Program, Output Tactical flexibilities (plant level) Product/modification, Volume, Delivery, Production Strategic flexibilities (firm level) New Design, Expansion, Market Supply chain flexibilities (network level) Robustness, Re-configutation, Relationship, Logistics, Organisational, Interorganisational, Information system (IS)
2.4
Teori Persediaan Menurut Sofyan Assauri dalam buku Marihot Manulang dan Dearli sinaga
(2005), menerangkan bahwa: “Persediaan adalah sebagai suatu aktiva lancar yang meliputi barang-barang milik perusahaan dengan maksud untuk dijual dalam suatu periode usaha normal atau persediaan barang-barang yang masih dalam pekerjaan proses produksi ataupun persediaan bahan baku yang menunggu penggunaanya dalam suatu proses produksi.” Perencanaan dan pengendalian merupakan bagian dari manajemen persediaan. Pengendalian adalah satu tindakan agar aktivitas dilakukan dengan sebaik-baiknya sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Pengendalian tanpa perencanaan adalah sia-sia dan perencanaan tanpa pengendalian merupakan tindakan yang tidak efektif.
Universitas Sumatera Utara
29
2.4.1. Lead Time Pengertian lead time menurut Fien Zulfikarijah (2005) adalah merupakan waktu yang dibutuhkan antara pemesanan dengan barang sampai diperusahaan, sehingga lead time berhubungan dengan reoder point dan saat penerimaan barang. lead time muncul karena setiap pesanan membutuhkan waktu dan tidak semua pesanan bisa dipenuhi seketika, sehingga selalu ada Jeda waktu. Lead time sangat berguna bagi perusahaan yaitu pada saat persediaan mencapai nol, pesanan akan segera tiba diperusahaan. Dalam EOQ, lead time diasumsikan konstan artinya dari waktu ke waktu selalu tetap misal lead time 5 hari, maka akan berulang dalam setiap periode. Akan tetapi dalam prakteknya lead time banyak berubah-ubah, untuk mengantisipasinya perusahaan sering menyediakan safety stock. 2.4.2
Safety Stock Pengertian persediaan pengaman (safety stock) menurut Freddy Rangkuty
(2004) adalah persediaan tambahan yang diadakan untuk melindungi atau menjaga kemungkinan terjadinya kekurangan bahan (Stock Out). Sedangkan pengertian menurut Sofjan Assauri (2004) sama halnya dengan pengertian Freddy Rangkuty yaitu persediaan tambahan yang diadakan untuk melindungi atau menjaga kemungkinan terjadi kekurangan bahan (Stock Out). Sedangkan pengertian menurut Fien Zulfikarijah (2005) Safety stock merupakan persediaan yang digunakan dengan tujuan supaya tidak terjadi stock out (kehabisan stok). Safety stock merupakan dilemma, dimana adanya stock out akan berakibat terganggunya proses produksi adanya stok yang berlebihan akan
Universitas Sumatera Utara
30
meningkatkan biaya penyimpanannya. Oleh karena dalam penentuan safety stock harus memperhatikan keduanya, dengan kata lain dalam safety stock diusahakan terjadinya keseimbangan diatara keduanya. Dalam penentuan safety stock pada level tertentu tergantung pada jenis pemesanan persediaan di masing-masing perusahaan apakah didasarkan pada quantity). Tujuan safety stock adalah untuk meminimalkan terjadinya stock out dan mengurangi penambahan biaya penyimpanan dan biaya stock out total, biaya penyimpanan disini akan bertambah seiring dengan adanya penambahan yang berasal dari reorder point oleh karena adanya safety stock. Keuntungan adanya safety stock adalah pada saat jumlah permintaan mengalami lonjakan, maka persediaan pengaman dapat digunakan untuk menutup permitaan tersebut. a. Faktor Pendorong safety stock Menurut Fien Zulfikarijah (2005) ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan perusahaan melakukan safety stock yaitu: 1. Biaya atau kerugian yang disebabkan oleh stockout tinggi. Apabila bahan yang digunakan untuk proses produksi tidak tersedia, maka aktivitas perusahaan akan terhenti yang menyebakan terjadinya idle tenaga kerja dan fasilitas pabrik yang pada akhirnya perusahaan akan kehilangan penjualannya. 2. Variasi atau ketidakpastian permintaan yang meningkat. Adanya jumlah permintaan yang meningkat atau tidak sesuai dengan peramalan yang ada diperusahaan menyebabkan tingkat kebutuhan persediaan yang meningkat
Universitas Sumatera Utara
31
pula, oleh karena itu perlu dilakukan antisipasi terhadap safety stock agar semua permintaan dapat terpenuhi. 3. Resiko stockout meningkat. Keterbatasan jumlah persediaan yang ada dipasar dan kesulitan yang dihadapi perusahaan mendapatkan persediaan akan berdampak pada sulitnya terpenuhi persediaan yang ada di perusahaan, kesulitan ini akan menyebabkan perusahaan mengalami stock out. 4. Biaya penyimpanan safety stock yang murah. Apabila perusahaan memiliki gudang yang memadai dan memungkinkan, maka biaya penyimpanan tidaklah terlalu besar hal ini dimaksudkan untuk mengantisipasi terjadinya stockout. b.
Metode penentuan safety stock Dalam menentukan safety stock terdapat metode yang dapat digunakan oleh
perusahaan sebagai berikut: 1. Intuisi Persediaan ditentukan berdasarkan jumlah safety stock pengalaman sebelumnya misalnya 1,5 kali; 1,4 kali dan seterusnya selama lead time. 2. Service level tertentu. Metode ini mengukur seberapa efektif perusahaan mensuplai permintaan barang dari stocknya. Dalam perhitungan digunakan probalitas untuk memenuhi permintaan, untuk itu diperlukan informasi yang lengkap tentang probabilitas berbagai tingkatan permintaan selama lead time
Universitas Sumatera Utara
32
karena sering kali terjadi variasi. Variasi ini disebabkan oleh fluktuasi lama lead time dan tingkat permintaan rata-rata. 3. Permitaan dengan distribusi empiris. Metode ini didasarkan pada pengalaman empiris dimana dalam penentuan stok didasarkan pada kondisi nyata yang dihadapi oleh perusahaan. 4. Permintaan distribusi normal Permintaan yang dilakukan oleh beberapa pelanggan memiliki jumlah yang bebeda-beda, walaupun demikian dengan menggunakan asumsi permintaan bersifat total akan dapat dilakukan perhitungan dengan distribusi normal. 5. Permintaan berdistribusi Poisson. Pada saat jumlah permintaan total merupakan permintaan dari beberapa pelanggan dimana setiap pelanggan hanya membutuhkan sedikit barang, maka sedikt sekali kemungkinan produsen akan memenuhi kebutuhan satu pelanggan dalam jumlah yang besar. Dengan adanya rata-rata tingkat pemesanan yang konstan dan interval waktu jumlah pemesanan tidak tergantung pada yang lainnya,maka penentuan safety stock nya dapat menggunakan pendekatan distribusi poisson dengan syarat jumlah permintaan rata-rata selama lead time sama atau kurang dari 20. 6. Lead time tidak pasti. Adanya jumlah permintaan yang tidak pasti pada periode tertentu akan berakibat lead time untuk setiap siklus pemesanan bervariasi. Untuk itu
Universitas Sumatera Utara
33
perusahaan akan berusaha menyediakan safety stock atau buffer stock selama lead time. 7. Biaya stock out Peningkatan biaya penyimpanan akan meningkat service level, sehingga semua usaha yang digunakan untuk menutup semua level yang memungkinkan pada saat terjadi lead time permintaan merupakan tujuan yang sangat sulit dicapai. Untuk semua produk, permintaan maksimum akan
lebih
murah
dibandingkan
dengan
terjadinya
stock
out.
Permasalahannya adalah menentukan tingkat safety stock yang dapat menyeimbangkan biaya penyimpanan dengan biaya safety stock out.
2.5
Blanket Order System Blanket Order System meupakan salah satu cara pemesanan untuk item-item
yang digunakan secara berulang ulang (repetitive). Dan membantu mengatasi masalah untuk sejumlah item yang tidak termasuk dalam persediaan. Menurut Higgine dan Stidger, Blanket Order System merupakan pemesanan yang dilakukan untuk kebutuhan satu tahun atas item yang di beli dalam jumlah besar. Open end order memperkenankan penambahan item-item yang diminta atau perpanjangan kontrak. Harga pokok dan penanganan order pembelian dikurangi, jika kondisi memungkinkan penggunaan Blanket Order persedian atau “ open-end orders. Blanket Order selalu menutupi variasi item. Open-end orders digunakan sebagai item
Universitas Sumatera Utara
34
tambahan atau perpanjangan waktu. Item MRO dan syarat jalur produksi digunakan dalam volume dan pembelian yang berulang selama lebih dari satu periode pembelian. Semua hal yang berhubungan dan kondisi yang terlibat dalam pembelian dalam jumlah yang terbatas selama satu periode waktu digabungkan dalam order yang asli. Sesudah itu, pengeluaran barang dalam jumlah tertentu dibuat sebagai anti order. Sebagai contoh, mungkin untuk meningkatkan persiapan pengeluaran barang didalam prosedur jadwal produksi dan memasukkannya kedalam departemen pembelian untuk transmisi kepada penjual (vendor). Itu hal yang tidak biasa bagi open-end orders untuk menyisakan barang dalam setahun atau sampai mengganti desain, material, spesifikasi atau kondisi yang berpengaruh pada harga atau jasa antar sebagai negoisasi baru yang dianggap pantas atau perlu. Adapun manfaat yang diperoleh dengan penerapan Blanket Order System adalah: a. Hanya sedikit memerlukan pemesanan dan mereduksi pekerjaan juru tulis Bagian
Pembelian
(Purchasing),
Pembukuan
(Accounting),
dan
Penerimaan (Receiving). b. Membebaskan pembelian dari pekerjaan rutin, memberikan kesempatan pembelian untuk memusatkan perhatiannya pada hal-hal yang utama. c. Pembayaran sesuai dengan jumlah material yang diminta. d. Memproteksi kenaikan harga selama periode kontrak. e. Memusatkan pengendalian pembelian atas material sejenis.
Universitas Sumatera Utara
35
f. Memperbaiki arus umpan balik informasi, karena pengelompokan material dan pemasok (supplier). g. Sistem ini membantu menguragi waktu tenggang (lead time) dan tingkat persediaan pembelian, karena pemasok mengadakan persediaan. Elemen-elemen dasar kontrol yang efektif untuk pemesanan Blanket Order System adalah: a. Jumlah surat pemesanan (PO), termasuk pencatatan biaya internal akuntansi. b. Catatan kewenangan pengiriman yang dikeluarkan. c. Bukti penerimaan material yang dapat dipercaya
2.6
Review Penelitian Terdahulu Penelitian tentang pengukuran kinerja supply chain oleh Safirin, Mahasiswa
Jurusan Teknik Industri UPN “Veteran” Jawa Timur. Salah satu aspek penting yang akhir-akhir banyak diteliti dan didiskusikan oleh para peneliti dan praktisi sehingga perlu mendapat perhatian dalam pengelolaannya adalah manajemen Supply Chain. Konsep Supply chain yang sering pula disebut sebagai Logistics Network sebenarnya telah banyak terlibat dalan kehidupan sehari-hari, baik dalam kegiatan individu, pabrik/perusahaan maupun organisasi secara umum. Salah satu industri dalam negeri yang akhir-akhir banyak terkena dampak pasar bebas dan sulit bersaing dengan produk sejenis dari negara-negara Asia adalah industri gula. Penelitian ini dilakukan di salah satu Pabrik Gula milik pemerintah
Universitas Sumatera Utara
36
yang berlokasi di Kabupaten Magetan. Masalah yang dihadapi pabrik gula ini adalah rendahnya efisiensi yang disebabkan salah satunya oleh kurang baiknya supply chain pabrik gula. Akibatnya produktifitas sebagian besar industri gula dalam negeri masih kalah bersaing dengan produktifitas industri-industri gula dari negara-negara Asia. Dalam penelitian supply chain ini digunakan 4 dimensi fleksibilitas supply chain: delivery, produksi, produk dan supplier. Kempat dimensi fleksibilitas supply chain tersebut selanjutnya dibobot dengan metode Analitical Hierarchy Process (AHP). Data diperoleh melalui 2 metode, yaitu: observasi ke pabrik (untuk memperoleh data-data sekunder) dan melalui survey dengan kuisioner (untuk memperoleh data-data primer).
Hasil penelitian menunjukkan Dimensi delivery
mempunyai bobot tertinggi (0,488), diikuti sistem produksi, supplier dan terakhir desain produk. Sedangkan sub faktor keragaman alat transportasi menunjukkan bobot tertinggi (0,312), kemudian diikuti pengiriman dengan kuantitas yang flexible, penggunaan berbagai alat untuk pengiriman permintaan, pengiriman informasi permintaan dengan mudah dan Pemenuhan permintaan kepada lebih dari 1 distributor. Sementara semua skor kemampuan menunjukkan nilai feksibilitas sedang dan lebih kecil dibanding skor kebutuhan, hal ini menunjukkan masih rendahnya fksibilitas supply chain di pabrik gula.
Universitas Sumatera Utara