BAB II LANDASAN TEORI 2. 1 Kepemimpinan 2.1.1 Definisi Kepemimpinan Kepemimpinan berasal dari kata “pemimpin”. Istilah pemimpin digunakan dalam konteks hasil penggunaan peran seseorang berkaitan dengan kemampuannya memengaruhi orang lain dengan berbagai cara. Dalam Bahasa Indonesia, "pemimpin" sering disebut penghulu, pemuka, pelopor, pembina, panutan, pembimbing, pengurus, penggerak, ketua, kepala, penuntun, raja, tua-tua, dan sebagainya. Pemimpin adalah suatu lakon atau peran dalam sistem tertentu, sehingga seorang pemimpin dalam peran formal belum tentu memiliki keterampilan dan kemampuan sebagai seorang pemimpin. Menurut Kartono (2006), kepemimpinan merupakan kekuatan aspirasional, kekuatan semangat, dan kekuatan moral yang kreatif, yang mampu memengaruhi para anggota untuk mengubah sikap, sehingga mereka menyetujui keinginan pemimpin. Sedangkan Robbin (2003) berpendapat bahwa kepemimpinan adalah kemampuan memengaruhi suatu kelompok ke arah pencapaian tujuan. Kepemimpinan merupakan proses memengaruhi dalam menentukan organisasi, memotivasi perilaku pengikut untuk mencapai tujuan, memengaruhi untuk memperbaiki kelompok dan budayanya (Rivai, 2005). Kepemimpinan telah didefinisikan sebagai proses memengaruhi aktivitas seseorang atau kelompok untuk mencapai tujuan dalam situasi tertentu. Dua peran penting yang terkandung dalam kepemimpinan, yaitu :
1. Menyelesaikan tugas, artinya tujuan utama dibentuknya kelompok dibawah pemimpin. Para pemimpin harus memastikan bahwa tujuan kelompok akan tercapai. 2. Menjaga hubungan yang efektif, yaitu hubungan antara pemimpin dengan anggota kelompoknya maupun hubungan antar kelompok. Kemampuan manajerial seorang pemimpin yang tampak dalam merencanakan, menggerakkan, mengkoordinasikan, dan mengawasi serta mengendalikan kegiatan di lingkungan organisasi sangat dipengaruhi oleh perilaku pemimpin sebagai kegiatan nyata pemimpin dalam jabatan yang sedang diemban olehnya. Konsep Yulk (dalam J. Kaloh 2009) tentang perilaku kepemimpinan yaitu menyebarkan informasi (informing); merencanakan (planning); mengorganisir (organizing); memecahkan masalah (problem solving); merumuskan peranan dan tujuan (clarifying); memonitoring (controlling); memotivasi (motivating); mencegah konflik dan mengembangkan kelompok (managing conflict and team building); serta membuat jaringan (networking), telah dijadikan sebagai acuan untuk mengetahui perilaku kepemimpinan yang sering dan jarang digunakan.
2.1.2 Berbagai Pendekatan Studi Kepemimpinan Dalam studi tentang kepemimpinan, berbagai penelitian dan teori kepemimpinan dapat diklasifikasikan menjadi pendekatan kesifatan, perilaku dan situasional (contingency). Pendekatan kesifatan memandang kepemimpinan sebagai suatu kombinasi sifat-sifat yang tampak. Dalam hal ini, seorang pemimpin memiliki ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu yang menyebabkan mereka dapat memimpin para
pengikutnya. Sifat-sifat yang dimiliki tidak hanya mencakup kemampuan berkomunikasi yang baik saja ataupun pergaulan social maupun persahabatan, tetapi juga energi, pandangan, pengetahuan dan kecerdasan, imajinasi, kepercayaan diri, integritas, pengendalian dan keseimbangan mental maupun emosional, bentuk fisik, dorongan, antusiasme, berani dan lain-lain. Pendekatan kedua yaitu pendekatan perilaku bermaksud untuk mengidentifikasikan perilaku-perilaku pribadi yang berhubungan dengan kepemimpinan efektif. Pendekatan ini mencoba menentukan apa yang dilakukan oleh para pemimpin efektif yaitu dengan bagaimana mereka mendelegasikan tugas, bagaimana mereka berkomunikasi dengan bawahan serta memotivasi mereka, bagaimana mereka menjalankan tugas-tugas, dan sebagainya. Kedua pendekatan ini mempunyai pandangan bahwa seorang individu yang memiliki sifat-sifat tertentu atau memeragakan perilaku-perilaku tertentu, akan muncul sebagai pemimpin dalam situasi kelompok apapun di tempatnya berada. Pendekatan situasional sebagai pendekatan yang ketiga memiliki pandangan bahwa kondisi yang menentukan efektifitas kepemimpinan seseorang akan bervariasi sesuai dengan situasi dan kondisi yang sedang berlangsung seperti tugas-tugas yang dilakukan, keterampilan dan pengharapan bawahan, lingkungan organisasi, pengalaman masa lalu pemimpin maupun bawahan, dan sebagainya.
2.1.3 Teori Situasional Pada dasarnya di dalam gaya kepemimpinan situasional terdapat 2 unsur utama, yaitu unsur pengarahan (directive behavior) dan unsur bantuan (supporting
behavior). Dari dua unsur tersebut gaya kepemimpinan dapat dikelompokkan menjadi 4 kelompok, yaitu mengarahkan (telling), menjual (selling), partisipasi (participating), dan delegasi (delegating). Berikut merupakan gambar dari respon kepemimpinan dan kesiapan dari kondisi bawahan menurut Hersey Blanchard.
Gambar 2. 1 Situational Leadership Sumber : Leadership Enhancing the Lessons of Experience, Mc Graw Hill (2009)
Gambar 2.1 di atas menunjukkan bahwa terdapat empat respon kepemimpinan dalam mengelola kinerja berdasarkan tingkat kematangan karyawan, yaitu mengarahkan, menjual, menggalang partisipasi dan mendelegasikan dengan memperhatikan dukungan (supportive) dan pengarahan (directive), sebagai berikut : 1. Mengarahkan (telling) Gaya kepemimpinan yang mengarahkan, merupakan respon kepemimpinan yang perlu dilakukan oleh manajer pada kondisi karyawan lemah dalam kemampauan, minat dan komitmennya. Sementara itu, organisasi menghendaki penyelesaian tugas-tugas yang tinggi. Dalam situasi seperti ini Hershey dan Blancard menyarankan agar manajer memainkan peran directive yang tinggi, memberi saran bagaimana menyelesaikan tugas-tugas itu tanpa mengurangi intensitas hubungan sosial dan komunikasi antara pimpinan dan bawahan. Pemimpin harus mencari tahu penyebab orang tersebut tidak termotivasi, kemudian mencari tahu letak keterbatasannya, sehingga pemimpin tahu arahan apa yang akan diberikan kepada bawahannya. 2. Menjual (selling) Pada kondisi karyawan menghadapi kesulitan menyelesaikan tugas-tugas, takut untuk mencoba melakukannya, manajer juga memproporsikan struktur tugas dengan tanggung jawab karyawan. Selain itu, manajer harus menemukan hal-hal yang menyebabkan karyawan tidak termotivasi serta masalah-masalah yang dihadapi karyawan. Pada kondisi ini, karyawan sudah mulai mampu mengerjakan tugas-tugas dengan lebih baik, akan memicu perasaan timbulnya rasa percaya diri
yang lebih baik. Kondisi ini, memungkinkan karyawan menhadapai permasalahan baru yang akan muncul selanjutnya. Oleh karena itu, setelah memberikan pengarahan, manajer harus memerankan gaya menjual dengan mengajukan beberapa alternatif pemecahan masalah. Pada gaya ini, pemimpin dituntut menghabiskan waktu mendengarkan dan menasihati, dan membantu karyawan untuk memperoleh keterampilan yang diperlukan melalui metode pembinaan. 3. Partisipasi (participating) Perilaku kepemimpinan partisipasi, adalah respon manajer yang harus diperankan ketika tingkat kemampuan karyawan berapa pada level yang baik akan tetapi tidak memiliki kemauan untuk melakukan tanggung jawab, karena ketidakmauan atau ketidakyakinan mereka untuk melakukan tugas/tanggung jawab seringkali disebabkan karena kurang keyakinan. Hal ini bisa dikarenakan rendahnya etos kerja atau ketidakyakinan mereka untuk melakukan tugas/tangung jawab. Dalam kasus seperti ini pemimpin perlu membuka komunikasi dua arah dan secara aktif mendengarkan mendukung usaha – usaha yang dilakukan para bawahan. 3. Delegasikan (delegating) Selanjutnya, untuk tingkat karyawan dengan kemampuan dan kemauan yang tinggi, maka gaya kepemimpinan yang sesuai adalah gaya delegasi. Dengan gaya delegasi ini pimpinan sedikit memberi pengarahan maupun dukungan, karena dianggap sudah mampu dan mau melaksanakan tugas/tanggungjawabnya. Mereka diperkenankan untuk melaksanakan sendiri dan memutuskan tentang bagaimana,
kapan dan dimana pekerjaan mereka harus diselesaikan. Pada gaya delegasi ini tidak terlalu diperlukan komunikasi dua arah. Hersey dan Blanchard (dalam A. F. Stoner dan Charles Winkel, 1986) berpendapat bahwa perilaku atau gaya kepemimpinan yang paling efektif berbedabeda, sesuai dengan kematangan atau kedewasaan bawahan. Kematangan bukan dalam arti usia atau stabilitas emosional, melainkan keinginan (willingness) dan kemampuan (ability) serta pengalaman yang berhubungan dengan tugas. Kematangan (maturity) adalah bukan kematangan secara psikologis melainkan menggambarkan kemauan dan kemampuan anggota dalam melaksanakan tugas masing-masing termasuk tanggung jawab dalam menyelesaikan tugas tersebut juga kemauan dan kemampuan mengarahkan diri sendiri. Kemampuan menurut Hersey, Blanchard, dan Johnson (1996) adalah pengalaman pengetahuan dan keterampilan bahwa seorang individu atau kelompok membawa ke suatu tugas tertentu atau kegiatan. Sedangkan keinginan adalah sejauh mana seorang individu atau kelompok memiliki komitmen, kepercayaan diri, dan motivasi untuk menyelesaikan tugas tertentu. Kepemimpinan situasional menurut Hersey dan Blanchard (dalam Thoha, 2007) adalah didasarkan pada saling berhubungannya di antara hal-hal berikut ini: 1. Jumlah petunjuk dan pengarahan yang diberikan oleh pimpinan Perilaku pengarahan dapat dirumuskan sebagai sejauh mana seorang pemimpin melibatkan dalam komunikasi satu arah. Bentuk pengarahan dalam komunikasi satu arah ini antara lain, menetapkan peranan yang seharusnya
dilakukan pengikut, memberitahukan pengikut tentang apa yang seharusnya bisa dikerjakan, di mana melakukan hal tersebut, bagaimana melakukannya, dan melakukan pengawasan secara ketat kepada pengikutnya. 2. Jumlah dukungan sosioemosional yang diberikan oleh pimpinan Perilaku mendukung adalah sejauh mana seorang pemimpin melibatkan diri dalam komunikasi dua arah, misalnya mendengar, menyediakan dukungan dan dorongan, memudahkan interaksi, dan melibatkan para pengikut dalam mengambil keputusan.
2.2 Kinerja Karyawan 2.2.1 Definisi Kinerja Karyawan Definisi mengenai kinerja datang dari beberapa pakar. Pandangan yang pertama datang dari Hariandja. Menurutnya kinerja karyawan merupakan prestasi kerja atau hasil kerja yang dihasilkan pegawai atau perilaku nyata yang ditampilkan sesuai dengan peranannya dalam organisasi (Hariandja, 2002). Pandangan Hariandja terhadap kinerja karyawan tersebut diperkuat oleh pakar lain yang mengatakan bahwa kinerja adalah hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing dalam rangka mencapai tujuan organisasi secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral dan etika (Prawirosentono, 1999). Rivai (2004) mengemukakan bahwa kinerja karyawan merupakan cara perilaku nyata yang ditampilkan setiap orang sebagai prestasi kerja yang dihasilkan oleh karyawan sesuai dengan perannya dalam perusahaan . Dalam berbagai literature, pengertian kinerja sangat beragam seperti yang dikemukakan di atas. Namun, Sudarmanto (2009) mengategorikan dalam dua garis besar, yaitu :
1. Kinerja merujuk pengertian sebagai hasil. Dalam konteks hasil (Bernardin, 2001) menyatakan bahwa kinerja merupakan catatan hasil yang diproduksi (dihasilkan) atas fungsi pekerjaan tertentu atau aktivitas-aktivitas selama periode waktu tertentu. Dari definisi tersebut Bernardin menekankan pengertian kinerja sebagai hasil, bukan karakter sifat (trait) dan perilaku. Pengertian kinerja sebagai hasil juga terkait dengan produktivitas dan efektivitas (Richard, 2003). Produktivitas merupakan hubungan antara jumlah barang dan jasa yang dihasilkan dengan jumlah tenaga kerja, modal, dan sumber daya yang digunakan dalam produksi itu (Miner, 1988). 2. Kinerja merujuk pengertian sebagai perilaku. Terkait dengan kinerja sebagai perilaku (Murphy, 1990 dalam Richard, 2002) menyatakan bahwa kinerja merupakan seperangkat perilaku yang relevan dengan tujuan organisasi atau unit organisasi tempat orang bekerja. Pengertian kinerja sebagai perilaku juga dikemukan oleh Mohrman (1989), Campbell (1993), Cardy dan Dobbins (1994), Waldman (1994) (dalam Rischard, 2002). Kinerja merupakan sinonim dengan perilaku. Kinerja adalah sesuatu yang secara actual orang kerjakan dan dapat diobservasi. Kinerja bukan konsekuensi atau hasil tindakan, tetapi tindakan itu sendiri (Campbell, 1993 dalam Richard 2003). Dari berbagai pengertian yang telah disebutkan di atas, pada dasarnya kinerja karyawan merupakan perbuatan seseorang dalam melaksanakan pekerjaan untuk mencapai hasil tertentu yang telah ditetapkan oleh organisasi. Kinerja karyawan juga menekankan pada apa yang dihasilkan dari fungsi-fungsi suatu pekerjaan atau apa yang keluar. Namun sebenarnya kinerja itu sendiri mempunyai makna yang lebih luas, bukan hanya hasil kerja, tetapi termasuk bagaimana proses pekerjaan berlangsung (Wibowo, 2010). Dengan demikian, kinerja karyawan
mencakup tentang pekerjaan yang dilakukan karyawan dan hasil yang dicapainya dari pekerjaan tersebut, apa yang dikerjakannya, serta bagaimana cara karyawan tersebut mengerjakannya. Dalam menilai kinerja karyawan, tidak hanya semata-mata menilai hasil fisik, tetapi pelaksanaan pekerjaan secara keseluruhan yang berkaitan dengan berbagai bidang seperti kemampuan yang dimiliki karyawan, kerajinan dan kedisiplinan yang ditunjukkannya, bahkan hubungan kerja yang dimiliki karyawan tersebut dengan karyawan ataupun pihak lainnya dalam organisasi. Oleh karena itu, diperlukan indikator kinerja karyawan yang dijadikan sebagai ukuran dalam menilai kinerja karyawan tersebut. Armstrong (dalam Sudarmanto, 2009) menyatakan bahwa pengukuran kinerja merupakan hal yang sangat penting untuk dapat memperbaiki pelaksanaan kerja yang dapat dicapai. Armstrong mengemukakan empat jenis ukuran kinerja, yaitu : •
Ukuran uang, yang mencakup pendapatan, pengeluaran, dan pengembalian (rate of return).
•
Ukuran upaya atau dampak, yang mencakup pencapaian sasaran, penyelesaian proyek, tingkat pelayanan, serta kemampuan memengaruhi perilaku rekan kerja dan pelanggan.
•
Ukuran reaksi, yang menunjukkan penilaian rekan kerja, pelanggan atau pemegang pekerjaan lainnya.
•
Ukuran waktu, yang menunjukkan pelaksanaan kinerja dibandingkan jadwal, batas akhir, kecepatan respon, atau jumlah pekerjaan sasaran.
2.2.2 Indikator Kinerja Terdapat beberapa pandangan ahli terhadap indikator yang digunakan dalam mengukur kinerja karyawan. Pandangan pertama berasal dari Bernadin yang mengatakan bahwa untuk
mengukur kinerja seorang karyawan, diperlukan enam indikator yaitu quality, quantity, timeliness, cost effectiveness, need for supervision, dan interpersonal impact (Sudarmanto, 2009). Quality merujuk pada tingkat sejauh mana proses atau hasil pelaksanaan pekerjaan mendekati kesempurnaan atau ideal dalam memenuhi tujuan yang diharapkan. Quantity terkait dengan satuan jumlah yang dihasilkan oleh karyawan, misalnya dalam jumlah rupiah, jumlah unit ataupun jumlah siklus kegiatan yang diselesaikan. Timeliness merupakan hal yang terkait dengan waktu yang diperlukan untuk penyelesaian suatu kegiatan atau produk, dengan memperhatikan jumlah output lain serta waktu yang tersedia untuk kegiatan lain. Cost effectiveness terkait dengan tingkat atau besarnya penggunaan sumber-sumber daya yang dimiliki organisasi untuk mencapai hasil yang maksimal. Need for supervision berhubungan dengan kemampuan karyawan untuk dapat menyelesaikan pekerjaan tanpa memerlukan pengawasan dari seorang pengawas maupun atasan guna mencegah tindakan yang tidak diinginkan. Sedangkan yang dimaksud dengan interpersonal impact adalah kemampuan individu dalam memelihara harga diri dan kemampuan bekerja sama dengan rekan kerja. Pandangan kedua tentang indikator kinerja karyawan merupakan pandangan John Minner yang mengemukakan bahwa empat indikator dalam mengukur kinerja karyawan adalah kualitas, kuantitas, penggunaan waktu dalam bekerja, dan kerjasama dengan orang lain (Sudarmanto, 2009). Kualitas dalam hal ini yaitu tingkat kesalahan karyawan dalam melaksanakan tugasnya, kerusakan yang diakibatkan oleh karyawan saat bekerja, dan kecermatan karyawan dalam menyelesaikan pekerjaan. Kuantitas merupakan jumlah pekerjaan yang dihasilkan. Penggunaan waktu dalam bekerja merujuk pada tingkat ketidakhadiran seorang karyawan, keterlambatan, waktu kerja efektif atau jam kerja yang hilang. Indikator yang terakhir adalah kerjasama dengan orang lain dalam bekerja baik atasan, rekan sekerja, maupun pihak-pihak terkait lainnya.
Harbour juga memiliki pandangannya sendiri terhadap indikator kinerja karyawan. Menurutnya kinerja seorang karyawan dapat dilihat dari produktivitas, kualitas, ketepatan waktu, putaran waktu, penggunaan sumber daya, dan biaya (Sudarmanto, 2009). Produktivitas yang dimaksud Harbour terkait dengan kemampuan dalam menghasilkan produk barang dan jasa. Kualitas berhubungan dengan proses produksi barang dan jasa yang dihasilkan memenuhi standar kualitas. Ketepatan waktu merupakan waktu yang diperlukan dalam menghasilkan produk barang dan jasa tersebut. Putaran waktu yaitu waktu yang dibutuhkan dalam setiap proses perubahan barang dan jasa tersebut kemudian sampai kepada pengguna. Penggunaan sumber daya berarti sumber daya yang diperlukan dalam menghasilkan produk barang dan jasa tersebut. Sedangkan biaya terkait dengan biaya yang diperlukan selama memproduksi barang dan jasa sampai ke tangan pengguna. Selain pendapat para pakar mengenai indikator kinerja karyawan yang telah dikemukakan di atas, ada pula seorang pakar yang memberikan sejumlah ruang lingkup aspek-aspek yang digunakan dalam menilai kinerja seorang karyawan yaitu Mitchell (dalam Sedarmayanti, 2001). Mitchell mengatakan bahwa kinerja memiliki lima aspek yang dapat dijadikan dasar untuk menilai kinerja seseorang di setiap organisasi, yaitu sebagai berikut : 1. Kualitas pekerjaan (quality of work). Kualitas pekerjaan seorang karyawan akan menggambarkan kinerja yang dimilikinya. Bila kualitas kerja yang dihasilkannya baik, maka hal itu menunjukkan bahwa karyawan tersebut memiliki kinerja yang baik pula. Sedangkan apabila seorang karyawan menghasilkan kualitas kerja yang buruk, maka dapat dilihat bahwa kinerja yang dimilikinya juga buruk. 2. Ketetapan waktu (promptness). Seorang karyawan yang mampu bekerja dengan tepat sesuai dengan standard operating procedurs (SOP) yang telah ada, didukung dengan
kecepatannya dalam menyelesaikan pekerjaan yang diberikan kepadanya, menandakan bahwa karyawan tersebut memiliki kinerja yang baik. 3. Inisiatif (initiative). Karyawan yang memiliki inisiatif yang tinggi akan melaksanakan setiap tugas dan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Ia juga senantiasa aktif dalam menemukan pengetahuan, kreativitas, maupun informasi baru yang dapat menunjang pekerjaannya. Hal ini tentu saja akan menghasilkan kinerja yang baik dari karyawan yang memiliki inisiatif tinggi tersebut. 4. Kemampuan (capability). Kinerja yang baik dapat diamati dari kemampuan yang dimiliki seorang karyawan. Karyawan dengan kemampuan yang baik akan mampu menyelesaikan pekerjaan yang diberikan termasuk segala permasalahan yang ada dalam pekerjaan tersebut. 5. Komunikasi (communication). Komunikasi dapat memengaruhi kinerja yang dihasilkan seorang karyawan. Komunikasi yang baik dari seorang karyawan membuatnya mampu berinteraksi dan berkomunikasi baik secara horizontal yaitu dengan rekan sekerja maupun secara vertikal yaitu dengan atasannya. Ini dapat dijadikan sebagai alat bagi karyawan tersebut untuk meningkatkan kualitas pekerjaan yang dimiliki karyawan tersebut. Segala sesuatu yang dikomunikasikan dengan baik akan menghasilkan kondisi yang baik.
2.3
Persepsi
2.3.1
Definisi Persepsi Atkinson (2000) menyebutkan persepsi sebagai proses pengorganisasian dan penafsiran stimulus dalam lingkungan dan menyangkut penilaian yang dilakukan individu baik positif maupun negatif terhadap suatu benda, manusia, atau situasi. Sunarto (2003) mendefinisikan persepsi sebagai suatu proses dimana individu mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indera agar memberi makna kepada lingkungan, apa yang dipersepsikan seseorang dapat berbeda dari kenyataan objektif. Menurut psikologi temporer, persepsi secara umum dikatakan sebagai suatu variabel intervening, bergantung pada faktor-faktor peransang, cara belajar, perangkat, keadaan jiwa dan suasana hati. Robbins (2005) juga menambahkan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi persepsi yaitu pelaku persepsi, target, dan situasi. Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa persepsi adalah suatu proses pengorganisasian, penafsiran serta penilaian yang dilakukan individu baik positif maupun negatif terhadap stimulus yang ada dalam lingkungan. Proses terjadinya persepsi adalah karena adanya obyek/stimulus yang merangsang untuk ditangkap oleh panca indera (obyek tersebut menjadi perhatian panca indera), kemudian stimulus tadi di bawa ke otak. Dari otak terjadi adanya ”kesan” atau jawaban (response) adanya stimulus berupa kesan dibalikkan ke indera kembali berupa tanggapan atau hasil kerja indera berupa pengalaman hasil pengolahan otak (Widayatun, 2005). Menurut Myers (1992), proses terjadinya persepsi bisa dijelaskan sebagai berikut. Stimulus (rangsangan) masuk ke individu melalui pancaindera, kemudian masuk ke tahap
perception (persepsi). Di tahap persepsi, stimulus itu masuk ke tiga bagian persepsi, yaitu : 1. Selection (seleksi), bagian dimana individu memperhatikan, siaga, dan menyadari adanya stimulus tersebut. Ketika individu memperhatikan suatu objek, maka individu itu tidak memperhatikan objek lainnya. Seleksi dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan (seperti intensitas, ukuran, kontras, repetisi, gerakan, familiarity and novelty) dan faktor-faktor internal (seperti faktor fisiologis dan faktor psikologis). 2. Organization (organisasi), bagian dimana individu memberikan prioritas perhatian pada stimulus yang menonjol di antara yang lainnya. 3. Interpretation (interpretasi), bagian dimana individu memberikan makna dari stimulus yang diterimanya. Faktor lainnya yang mempengaruhi bagaimana kita mempersepsikan sesuai konteks adalah umur (age) atau kematangan (maturity). Pengalaman disebut sebagai penentu, dimana kebiasaan mempersepsikan sesuatu di dalam lingkungan, seperti kemampuan spasial dan kemampuan berbahasa bisa mempengaruhi kemampuan mempersepsikan suatu objek. Lalu kemudian, hasil persepsi itu bisa mengarahkan kita kepada sebuah perilaku. 2.3.2
Faktor yang Mempengaruhi Persepsi Menurut Widayatun (2005) faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi adalah faktor instrinsik dan ekstrinsik seseorang (cara hidup, cara berpikir, kesiapan mental, kebutuhan dan wawasan); faktor ideologi, politik, ekonomi, sosial-budaya, pertahanan dan keamanan (ipoleksosbudhankam); faktor usia; faktor kematangan; faktor lingkungan;
faktor pembawaaan; faktor psikis dan kesehatan; faktor proses mental. Sedangkan menurut Wade & Tavris (2007) bahwa seseorang mempersepsikan sesuatu dengan cara yang berbeda dengan orang lain. Faktor-faktor yang mempengaruhi seseorang dalam mempersepsikan sesuatu adalah: 1. Kebutuhan, yaitu ketika seseorang membutuhkan sesuatu, atau memiliki ketertarikan akan suatu hal, atau menginginkannya, maka orang tersebut akan dengan mudah mempersepsikan sesuatu berdasarkan kebutuhan ini. 2. Kepercayaan, yaitu apa yang dianggap seseorang sebagai yang benar dapat mempengaruhi interpretasi orang tersebut terhadap sinyal sensorik. 3. Emosi, yaitu emosi dapat mempengaruhi interpretasi seseorang mengenai suatu informasi sensorik. Emosi yang negatif, seperti marah, takut, atau sedih dapat menghasilkan penilaian yang negatif terhadap suatu stimulus. 4. Ekspektansi, yaitu pengalaman masa lalu sering mempengaruhi cara seseorang mempersepsikan sesuatu. Seseorang cenderung untuk mempersepsikan suatu hal sesuai dengan harapannya.
2.4
Kerangka Berpikir Kerangka berpikir yang dikembangkan dalam penelitian ini, mengacu pada latar belakang yang telah diuraikan pada bab sebelumnya. Berikut adalah gambar dari konsep penelitian:
GAYA KEPEMIMPINAN SITUASIONAL
KINERJA KARYAWAN
Gambar 2. 2 Hubungan Gaya Kepemimpinan Situasional Terhadap Kinerja Karyawan
Dari gambar diatas dapat dilihat bahwa gaya kepemimpinan dapat mempengaruhi kinerja karyawan disebuah perusahaan.