13
BAB II LANDASAN TEORI
2.1
Bank Indonesia Bank Indonesia (BI) adalah Bank Sentral Republik Indonesia yang merupakan lembaga negara independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan Pemerintah dan atau pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam undang-undang tentang Bank Indonesia. (Idroes, 2006, p.59)
2.1.1
Tugas Bank Indonesia Tugas pokok Bank Indonesia (Idroes, 2006, p.59-64) adalah sebagai berikut : 1. Menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter 2. Mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran 3. Mengatur dan mengawasi perbankan
2.1.1.1 Menetapkan dan Melaksanakan Kebijakan Moneter Dalam menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, BI melakukan melalui kegiatan : 1. Pelaksanaan Operasi Pasar Terbuka (OPT) dalam upaya mempengaruhi likuiditas di pasar uang; 2. Penetapan giro wajib minimum (GWM) untuk memperketat atau melonggarkan kebijakan moneter;
14
3. Bertindak sebagai pemberi pinjaman terakhir (lender of last resort) untuk membantu kesulitan pendanaan jangka pendek perbankan yang jika tidak dilakukan akan menimbulkan dampak sistemik dan berpotensi mengakibatkan krisis yang membahayakan sistem keuangan; 4. Melaksanakan kebijakan nilai tukar untuk memelihara stabilitas nilai tukar rupiah; 5. Mengelola cadangan devisa untuk memfasilitasi perdagangan internasional. 2.1.1.2
Mengatur dan Menjaga Kelancaran Sistem Pembayaran Bank Indonesia adalah institusi tunggal yang diberi hak mengeluarkan dan mengedarkan mata uang Rupiah serta mencabut, menarik, dan memusnahkan uang yang dimaksud dari peredaran. Bank Indonesia juga bertanggung jawab dalam mengatur system kliring antar bank, menyelenggarakan kegiatan kliring, serta menyelenggarakan penyelesaian akhir transaksi pembayaran antar bank.
2.1.1.3 Mengatur dan Mengawasi Perbankan Pengaturan
dan
pengawasan
bank
diarahkan
untuk
mengoptimalkan fungsi perbankan Indonesia sebagai: 1. Lembaga kepercayaan masyarakat dalam kaitannya sebagai lembaga penghimpun dan penyalur dana; 2. Pelaksana kebijakan moneter;
15
3. Lembaga yang ikut berperan dalam membantu pertumbuhan ekonomi serta pemerataan; agar tercipta sistem perbankan yang sehat, baik sistem perbankan secara menyeluruh maupun individual, dan mampu memelihara kepentingan masyarakat dengan baik, berkembang secara wajar, dan bermanfaat bagi perekonomian nasional. Untuk mencapai tujuan tersebut pendekatan yang dilakukan dengan menerapkan: 1. Kebijakan memberikan keleluasaan berusaha (deregulasi); 2. Kebijakan prinsip kehati-hatian bank (prudential banking); 3. Pengawasan bank yang mendorong bank untuk melaksanakan secara konsisten ketentuan intern yang dibuat sendiri (self regulatory
banking)
dalam
melaksanakan
kegiatan
operasionalnya dengan tetap mengacu kepada prinsip kehatihatian. Pengaturan dan pengawasan bank oleh BI meliputi wewenang sebagai berikut : 1. Kewenangan memberikan izin (right to license), yaitu kewenangan
untuk
menetapkan
tatacara
perizinan
dan
pendirian suatu bank. Cakupan pemberian izin oleh BI meliputi pemberian izin dan pencabutan izin usaha bank, pemberian izin pembukaan,
penutupan,
dan
pemindahan
kantor
bank,
pemberian persetujuan atas kepemilikan dan kepengurusan
16
bank, pemberian izin kepada bank untuk menjalankan kegiatankegiatan usaha tertentu. 2. Kewenangan untuk mengatur (right to regulate), yaitu kewenangan untuk menetapkan ketentuan yang menyangkut aspek
usaha
dan
kegiatan
perbankan
dalam
rangka
menciptakan perbankan yang sehat dan mampu memenuhi jasa perbankan yang diinginkan masyarakat. 3. Kewenangan untuk mengawasi (right to control), yaitu kewenangan melakukan pengawasan bank melalui pengawasan langsung (on-site supervision) dan pengawasan tidak langsung (off-site supervision). Pengawasan langsung dapat berupa pemeriksaan umum dan pemeriksaan khusus, yang bertujuan untuk mendapatkan gambaran tentang keadaan keuangan bank dan untuk memantau tingkat kepatuhan bank terhadap peraturan yang berlaku serta mengetahui apakah terdapat praktik-praktik
yang
tidak
sehat
yang
membahayakan
kelangsungan usaha bank. Pengawasan tidak langsung yaitu pengawasan melalui alat pemantauan seperti laporan berkala yang disampaikan bank (contoh: Laporan Bulanan Bank Umum yang diangkat dalam tesis ini), laporan hasil pemeriksaan, dan informasi lainnya. Dalam pelaksanaannya, apabila diperlukan BI dapat melakukan pemeriksaan terhadap bank termasuk pihak lain yang meliputi perusahaan induk, perusahaan anak, pihak terkait, pihak terafiliasi, dan debitur
17
bank. BI dapat menugaskan pihak lain untuk dan atas nama BI melaksanakan tugas pemeriksaan. 4. Kewenangan untuk mengenakan sanksi (right to impose sanction), yaitu kewenangan untuk menjalankan sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan terhadap bank apabila suatu bank kurang atau tidak memenuhi ketentuan. Tindakan ini mengandung unsur pembinaan agar bank beroperasi sesuai dengan asas perbankan yang sehat. Dalam menjalankan tugas pengawas bank, saat ini BI melaksanakan pengawasannya dengan menggunakan 2 pendekatan yakni pengawasan berdasarkan kepatuhan (compliance based supervision) dan pengawasan berdasarkan resiko (risk based supervision / RBS). 1. Pengawasan Berdasarkan Kepatuhan (Compliance Based Supervision). Pendekatan pengawasan berdasarkan kepatuhan pada dasarnya menekankan pemantauan kepatuhan bank untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan
yang
terkait
dengan
operasi
dan
pengelolaan bank. Pendekatan ini mengacu pada kondisi bank di masa lalu dengan tujuan untuk memastkan bahwa bank telah beroperasi dan dikelola secara baik dan benar menurut prinsip kehati-hatian 2. Pengawasan Berdasarkan Resiko (Risk Based Supervision). Pendekatan
pengawasan
berdasarkan
resiko
merupakan
18
pendekatan pengawasan yang berorientasi ke depan (forward looking).
Dengan
menggunakan
pendekatan
tersebut,
pengawasan/pemeriksaan suatu bank difokuskan pada resikoresiko yang melekat (nherent risk) pada aktifitas fungsional bank serta sistem pengendalian resiko (risk control system). Melalui pendekatan ini, akan lebih memungkinkan otoritas pengawasan bank untuk proaktif dalam melakukan pencegahan terhadap permasalahan yang potensial timbul di bank. 2.2
Laporan Bulanan Bank Umum Laporan Bulanan Bank Umum (LBU) adalah laporan yang disampaikan Bank Umum baik konvensional maupun syariah ke Bank Indonesia yang dimaksudkan untuk memperoleh keterangan mengenai keadaan keuangan Bank dalam rangka penyusunan dan pelaksanaan kebijakan moneter, sistem pembayaran dan perbankan serta untuk keperluan pemantauan keadaan bank secara benar. Sesuai dengan yang telah dijabarkan di atas, Bank Indonesia selaku bank sentral yang memiliki tugas dan wewenang salah satunya dalam pengaturan dan pengawasan bank memerlukan suatu tool atau alat pemantauan berupa laporan berkala yang harus disampaikan oleh bank kepada BI. Salah satu alat pemantauan yang digunakan oleh BI untuk menjalankan tugasnya sebagai pengawas bank untuk offsite-supervision adalah Laporan Bulanan Bank Umum atau yang lebih dikenal dengan istilah LBU. Jenis laporan yang terdapat dalam LBU (Pedoman Penyusunan Laporan Bulanan Bank Umum) adalah :
19
1. Laporan Per Kantor 2. Laporan Gabungan 3. Laporan Perusahaan Anak 4. Laporan Konsolidasi Sedangkan untuk form laporan yang perlu disampaikan secara berkala oleh bank-bank kepada BI berdasarkan jenis laporan di atas adalah (Pedoman Penyusunan Laporan Bulanan Bank Umum) : FormNumber FormName LB01
Formulir 01 - Neraca Per Kantor
LB02
Formulir 02 - Laporan Laba/Rugi Per Kantor Formulir 2A - Daftar Perincian Pendapatan Bunga Dari Surat
LB2A Berharga Formulir 2B - Daftar Perincian Pendapatan Bunga Dari Kredit LB2B Yang Diberikan LB03
Formulir 03 - Kas Dalam Valuta Asing
LB04
Formulir 04 - Penempatan Pada Bank Indonesia
LB05
Formulir 05 - Penempatan Pada Bank Lain
LB06
Formulir 06 - Tagihan Spot Dan Derivatif
LB07
Formulir 07 - Surat Berharga Formulir 08 - Surat Berharga Yang Dijual Dengan Janji Dibeli
LB08 Kembali (Repo) Formulir 09 - Tagihan Atas Surat Berharga Yang Dibeli LB09 Dengan Janji Dijual Kembali (Reverse Repo)
20
LB10
Formulir 10 - Tagihan Akseptasi
LB11
Formulir 11 - Kredit Yang Diberikan
LB12
Formulir 12 – Penyertaan Formulir 13 - Cadangan Kerugian Penurunan Nilai Aset
LB13 Keuangan LB14
Formulir 14 - Aset Tidak Berwujud
LB15
Formulir 15 - Aset Tetap Dan Inventaris
LB16
Formulir 16 - Properti Terbengkalai
LB17
Formulir 17 - Aset Yang Diambil Alih
LB18
Formulir 18 - Rekening Tunda (Suspense Account) Formulir 19 - Aset Antar Kantor Pada Kantor Yang Melakukan
LB19 Kegiatan Operasional di Indonesia Formulir 20 - Aset Antar Kantor Pada Kantor Yang Melakukan LB20 Kegiatan Operasional di Luar Indonesia Formulir 21 - Cadangan Kerugian Penurunan Nilai Aset LB21 Lainnya dan PPA Non Produktif LB22
Formulir 22 - Rupa-Rupa Aset
LB23
Formulir 23 – Giro
LB24
Formulir 24 – Tabungan
LB25
Formulir 25 - Simpanan Berjangka
LB26
Formulir 26 - Kewajiban Kepada Bank Indonesia
LB27
Formulir 27 - Kewajiban Kepada Bank Lain
LB28
Formulir 28 - Kewajiban Spot Dan Derivatif
21
Formulir 29 - Kewajiban Atas Surat Berharga Yang Dijual LB29 Dengan Janji Dibeli Kembali (Repo) LB30
Formulir 30 - Kewajiban Akseptasi
LB31
Formulir 31 - Surat Berharga Yang Diterbitkan
LB32
Formulir 32 - Pinjaman Yang Diterima
LB33
Formulir 33 - Setoran Jaminan Formulir 34 - Kewajiban Antar Kantor Pada Kantor Yang
LB34 Melakukan Kegiatan Operasional di Indonesia Formulir 35 - Kewajiban Antar Kantor Pada Kantor Yang LB35 Melakukan Kegiatan Operasional di Luar Indonesia LB36
Formulir 36 - Rupa-Rupa Kewajiban
LB37
Formulir 37 - Modal Pinjaman
LB38
Formulir 38 - Modal Disetor
LB39
Formulir 39 - Modal Sumbangan
LB40
Formulir 40 - Pendapatan Komprehensif Lainnya
LB41
Formulir 41 - Dana Setoran Modal
LB42
Formulir 42 - Transaksi Spot Dan Derivatif
LB43
Formulir 43 - Irrevocable L/C Yang Masih Berjalan
LB44
Formulir 44 - Garansi Yang Diberikan
LB45
Formulir 45 - Penerusan Kredit
LB46
Formulir 46 - Kredit Yang Dihapusbuku Formulir 47 - Daftar Persetujuan Dan Realisasi Kredit Baru
LB47 Pada Bulan Laporan
22
LB48
Formulir 48 - Pelimpahan Kredit Pada Bulan Laporan
LB49
Formulir 49 - Rupa-Rupa Aset Lainnya
LB50
Formulir 50 - Rupa-Rupa Kewajiban Lainnya
LB51
Formulir 51 - Pendapatan Non-Operasional Lainnya
LB52
Formulir 52 - Beban Non-Operasional Lainnya
LG01
Formulir 01 - Neraca Gabungan
LG02
Formulir 02 - Laporan Laba/Rugi Gabungan Formulir 03 - Aset Antar Kantor Pada Kantor Yang Melakukan
LG03 Kegiatan Operasional di Indonesia (Gabungan) Formulir 04 - Aset Antar Kantor Pada Kantor Yang Melakukan LG04 Kegiatan Operasional di Luar Indonesia (Gabungan) LG05
Formulir 05 - Rupa-Rupa Aset Gabungan Formulir 06 - Kewajiban Antar Kantor Pada Kantor Yang
LG06 Melakukan Kegiatan Operational di Indonesia Formulir 07 - Kewajiban Antar Kantor Pada Kantor Yang LG07 Melakukan Kegiatan Operational di Luar Indonesia LG08
Formulir 08 - Rupa-Rupa Kewajiban Gabungan
LU01
Formulir 01 - Neraca Gabungan (UUS)
LU02
Formulir 02 - Laporan Laba/Rugi Gabungan (UUS) Formulir 03 - Aset Antar Kantor Pada Kantor Yang Melakukan
LU03 Kegiatan Operasional di Indonesia (Gabungan - UUS) Formulir 04 - Antar Kantor Aktiva Pada Kantor Yang LU04
Melakukan
Kegiatan
(Gabungan - UUS)
Operasional
di
Luar
Indonesia
23
LU05
Formulir 05 - Rupa-Rupa Aset Gabungan (UUS) Formulir 06 - Kewajiban Antar Kantor Pada Kantor Yang
LU06 Melakukan Kegiatan Operational di Indonesia (UUS) Formulir 07 - Kewajiban Antar Kantor Pada Kantor Yang LU07 Melakukan Kegiatan Operational di Luar Indonesia (UUS) LU08
Formulir 08 - Rupa-Rupa Kewajiban Gabungan (UUS)
LK01
Formulir 01 - Neraca Konsolidasi
LK02
Formulir 02 - Laporan Laba/Rugi Konsolidasi
LA01
Formulir 01 - Neraca Perusahaan Anak
LA02
Formulir 02 - Laporan Laba/Rugi Perusahaan Anak
LA03
Formulir 03 - Penempatan Pada Bank
LA04
Formulir 04 - Tagihan Spot Dan Derivatif
LA05
Formulir 05 - Surat Berharga Formulir 06 - Surat Berharga Yang Dijual Dengan Janji Dibeli
LA06 Kembali (Repo) Formulir 07
- Tagihan Atas Surat Berharga Yang Dibeli
LA07 Dengan Janji Dijual Kembali (Reverse Repo) LA08
Formulir 08 - Tagihan Akseptasi
LA09
Formulir 09 - Kredit Yang Diberikan
LA10
Formulir 10 – Penyertaan
Sumber : Pedoman Penyusunan Laporan Bulanan Bank Umum Bank Indonesia
Tabel 2.1 Daftar Formulir Laporan Bulanan Bank Umum Laporan Bulanan Bank Umum ini mengimplementasikan Basel II, PSAK 50/55, dan prudential regulation sehingga sudah mengacu pada
24
standar akuntansi nasional dan perbankan internasional. 2.3
Basel
2.3.1
Basel I
2.3.1.1 Latar Belakang Basel I Sebelum periode liberisasi keuangan di tahun 1970-an dan 1980-an regulasi keuangan yang dilakukan terfokus pada : 1. Pemberian izin untuk mendirikan lembaga keuangan; 2. Pembatasan yang tegas mengenai aktivitas yang diperbolehkan dan
tidak
diperbolehkan
pada
masing-masing
institusi
keuangan; 3. Definisi dari rasio-rasio pada neraca dan persyaratan giro wajib minimum atau menjaga tingkat aktiva yang harus disediakan dalam obligasi pemerintah. Jika dibandingkan dengan perkembangan industri keuangan saat ini regulasi pada masa tersebut lebih menekankan pada norma boleh dan tidak boleh kegiatan untuk dilakukan oleh lembaga keuangan dan bersifat kurang dinamis. Regulasi yang berlaku lebih memperlihatkan otoritas Bank Sentral dalam industry keuangan. Pada gilirannya jika terjadi masalah pada individu industry keuangan, maka masalah tersebut akan dikembalikan kepada Bank Sentral selaku lender of last resort. Perkembangan
dalam
pasar
keuangan
dan
liberalisasi
menyebabkan pengendalian yang dilakukan Bank Sentral, harus
25
mempertimbangkan bahwa meskipun jaring pengaman yang disediakan oleh fungsi lender of last resort telah diberikan namun akan membuat peran regulasi keuangan Bank Sentral semakin lemah. Melemahnya fungsi regulasi tersebut akibat Perbankan akan menyandarkan sepenuhnya pada fungsi lender of the last resort Bank Sentral dalam mengatasi setiap terjadi masalah krisis likuiditas serta krisis solvency. Dalam ‘tata dunia baru’ fungsi sebagai lender of last resort saja jelas tidak mencukupi. Analogi sederhana yang dapat diberikan adalah, karena kewajiban untuk menjadi lender of the last resort Bank Sentral suatu Negara akan bangkrut apabila terjadi krisis likuiditas secara bersamaan dan berkesinambungan. Pemecahan masalah dari regulasi di atas mulai dipikirkan sejak pertengahan decade 1970an. Pendekatan “pengawasan dengan prinsip kehati-hatian” (prudential supervisor) mulai dipertimbangkan dalam melakukan regulasi. Dasar pertimbangan untuk menggeser pendekatan regulasi dari hanya lender of last resort menjadi prudential supervisor adalah sebagai berikut: 1. Perbankan
harus
secara
signifikan
mengukur
sendiri
performanya berdasarkan hasil (return) yang ingin dicapai dan resiko yang ditanggung dalam tujuannya mencapai return. Tugas Bank Sentral adalah untuk menciptakan regulasi yang sesuai dengan kebutuhan industry perbankan. Regulasi yang dimaksud adalah penetapan standar tentang resiko yang
26
diambil oleh bank dan persyaratan penyediaan modal atas resiko yang diambil. Regulasi ini akan memberikan ruang gerak bagi Bank untuk lebih kreatif menemukan peluang dalam menjalankan aktivitas. Batasan yang diberlakukan adalah jika Bank menjalankan aktivitas lebih besar / lebih banyak maka modal yang harus disediakan sebagai penyangga aktivitas juga harus lebih banyak. Regulasi tersebut akan menurunkan beban Bank Sentral sebagai lender of the last resort, karena masingmasing Bank harus bertanggung jawab secara proporsional atas setiap resiko dari aktivitas yang diambil. 2. Peningkatan globalisasi dari pasar uang, pasar modal, serta pasar komoditas secara internasional sangat membutuhkan norma prudential yang dapat berlaku secara internasional serta dapat diimplementasikan secara konsisten. Untuk itu perlu diperhatikan dalam menetapkan regulasi untuk suatu Negara, maka harus diperhatikan unsur-unsur: penetapan standar minimum dalam kesepakatan kontrak dan hokum kepailitan; akuntansi dan standar audit; serta persyaratan keterbukaan (disclosure). Jika dalam regulasi terhadap unsur tersebut, maka perselisihan (dispute) dalam transaksi internasional dapat direduksi. Adanya suatu keseragaman regulasi secara internasional untuk dijadikan acuan bagi regulator pada masing-masing Negara telah menjadi kebutuhan. Pemikiran-pemikiran tersebut kemudian
27
menjadi dasar munculnya kesepakatan Basel (Basel Accord). Kesepakatan Basel yang dievaluasi secara terus-menerus sesuai dengan perkembangan industry Perbankan diharapkan menjadi jawaban atas kebutuhan yang mendasari pembuatan regulasi oleh Bank Sentral pada tiap-tiap Negara. Bank Sentral dalam membuat regulasi perlu mempertimbangkan agar regulasi dapat bekerja baik di lingkup local maupun internasional. Agar regulasi dapat bekerja secara local, maka Bank Sentral akan merujuk kepada kebijakan makro pemerintah. Sedangkan, jika regulasi diharapkan dapat bekerja sesuai dengan standar internasional, maka Bank Sentral dapat merujuk kepada kesepakatan Basel.
2.3.1.2 Kesepakatan Basel I Komite Basel (The Basel Committee) untuk pengawasan perbankan dicetuskan pada tahun 1974. Pembentukan Komite Basel telah diprakarsai oleh gubernur Bank Sentral the Group of Ten (G10), dengan fokus pada regulasi dan praktek pengawasan perbankan. Basel yang dalam hal ini adalah nama sebuah kota di Swiss tempat para gubernur Bank Sentral tersebut berkumpul telah menjadi nama dari kelompok dan kemudian menjadi nama bagi produk-produk kesepakatan yang dihasilkannya. Komite Basel terdiri dari perwakilan Bank Sentral dan pengawas Perbankan G10 ditambah Spanyol dan Luxembourg. Nama G10 sendiri sebenarnya cukup unik karena terdiri dari 11 negara. Negara-negara yang termasuk dalam G10 adalah:
28
1. Amerka Serikat
7. Jerman
2. Belanda
8. Kanada
3. Belgia
9. Perancis
4. Inggris
10. Swedia
5. Italia
11. Swiss
6. Jepang Dengan demikian komite Basel terdiri dari 13 negara, dengan komposisi kesebelas anggota G10 ditambah Spanyol dan Luxembourg. Komite Basel untuk pertama kali menetapkan metodologi yang dibakukan dalam penghitungan besarnya “modal berdasarkan resiko” (risk-based capital) dari suatu Bank yang perlu
disediakan.
Komite
Basel
untuk
pertama
kali
mempublikasikan “Kesepakatan Basel Pertama” (the first Basel Capital Accord) pada 1988. Tiga tujuan utama dalam mengembangkan kesepakatan Basel I: 1. Meningkatkan kekuatan dan stabilitas dari sistem Perbankan internasional. 2. Untuk menciptakan kerangka pengukuran kecukupan modal dari Bank-bank yang aktif secara internasional. 3. Untuk membentuk kerangka yang dapat diaplikasikan secara konsisten
dengan
berpandangan
untuk
mengurangi
“ketidaksetaraan dalam persaingan” (competitive inequalities) antara Bank-bank yang aktif secara internasional.
29
Pada saat pertama kali membuat kesepakatan Basel, kesepakatan Basel I hanya mencakup resiko kredit (credit risk). Modal yang harus disediakan hanya dikaitkan dengan resiko kredit. Modal yang dikaitkan dengan resiko kredit sesuai dengan perkembangan dan pertimbangan pemikiran pada saat kesepakatan pertama dibuat. Dalam mengukur kecukupan modal menurut resiko kredit didasari oleh beberapa kalkulasi yang terdiri dari : 1. Bobot resiko aktiva dan bobot resiko; 2. Penyesuaian dengan resiko kredit; 3. Target rasio modal dan kalkulasi konsumsi modal yang memenuhi syarat; 4. Kecukupan hasil pada modal yang memenuhi syarat; 5. Struktur modal. 2.3.1.3 Kelemahan Kesepakatan Basel I Basel I seringkali dikritik karena kurang sensitif terhadap resiko. Kritik ini muncul setelah melihat kenyataan bahwa telah banyak kasus-kasus kebangkrutan Bank yang diawali dari tidak dikelolanya resiko pasar. Beberapa kritik terhadap Basel I adalah: 1. Pendekatan portfolio belum diakomodasi. Korelasi antara posisi portfolio yang berbeda tidak menambah resiko portfolio aktivitas Bank. Kesepakatan Basel I menuntut adanya peningkatan modal dari strategi lundung nilai (hedging) yang
30
dilakukan Bank melalui transaksi derivatif, offsetting terhadap posisi hedging belum diizinkan. 2. Netting belum diizinkan. Jika Bank diperbolehkan untuk melakukan netting untuk nasabah debitur sekaligus kreditur yang sama persis, maka Bank akan dapat menghemat kebutuhan modalnya. Pertimbangannya adalah, resiko yang mungkin timbul dari nasabah tersebut akan mengecil karena nasabah yang dimaksud default pada fasilitas kreditnya akan ditutupi oleh simpanan. Resiko yang tersisa adalah sebesar selisih antara kredit macet dan simpanan. 3. Eksposur resiko pasar pada Basel I diregulasi secara samarsamar. Sesuai Basel I aktiva dicatat berdasarkan nilai buku. Posisi ini dapat menyimpang secara substansial dari nilai pasar yang berlaku. Kondisi ini akan mengaburkan penilaian terhadap kesehatan neraca jika terjadi resiko pasar. 4. Pendekatan Basel I memberikan pembobotan pada bobot resiko aktiva yang sama terhadap semua pinjaman korporat tanpa mempedulikan peringkat kreditur dan debitur. Masalahnya Bank yang memberi pinjaman kepada perusahaan bereputasi kredit baik harus memiliki jumlah modal yang sesuai dengan persyaratan yang sama dengan Bank yang member pinjaman kepada perusahaan yang bereputasi kredit buruk. Hal ini tentunya
tidak
menjadi
masalah
apabila
Bank
dapat
mengenakan beban yang sama terhadap semua peminjam. Pada
31
prakteknya dalam menghadapi persaingan yang semakin tajam, sulit bagi Bank untuk menetapkan bunga yang sama terhadap debitur yang memiliki reputasi bagus dengan debitur yang telah terkenal memiliki kredit bermasalah. Masalah yang sama muncul pada pinjaman perorangan tanpa agunan seperti pinjaman kartu kredit dan pinjaman kepada pemerintah (sovereign loan). 2.3.2
Basel II
2.3.2.1 Kesepakatan Basel II Pada tahun 1999 komite Basel mulai meningkatkan kerja sama dengan Bank-bank utama dari negara-negara anggota untuk mengembangkan kesepakatan modal (capital accord) yang baru. Tujuan utamanya adalah untuk mengarahkan semua resiko Perbankan ke dalam suatu kerangka pemikiran kecukupan modal secara menyeluruh. Kesepakatan baru yang ditetapkan dikenal dengan nama kesepakatan Basel II. Pada prakteknya, Basel II merupakan sebuah kerangka kerja yang menawarkan sebuah standar baru untuk menetapkan persyaratan modal minimum bagi organisasi perbankan yang aktif secara internasional yang disiapkan oleh Komite Basel.Basel II dikembangkan untuk menggantikan Basel I (1988). (Allen & Overy, 2008, p.2) Pengembangan kesepakatan Basel II bersamaan dengan gerakan uni Eropa dalam harmonisasi pasar keuangan. Dasar
32
pertimbangan komite Basel untuk membuat kesepakatan Basel II adalah peningkatan penggunaan metode kuantitatif oleh Bank untuk mengukur dan melaporkan resiko kredit pada portfolio aktiva. Pemikiran komite Basel untuk mengembangkan kesepakatan Basel
II
adalah
seiring
dengan
semakin
berkembangnya
penggunaan internal model perlu ditetapkan aturan yang jelas tentang: 1. Pengggunaan jenis model perhitungan modal berdasarkan resiko kredit yang diizinkan dalam perhitungan kewajiban penyediaan modal minimum. Terdapat 2 pilihan untuk menentukan model, yaitu: a. Model portofolio penuh (full portfolio models) yang dicirikan dengan penerapan teknik option pricing. Model portfolio penuh merupakan karya Robert Metson pada penetapan harga dan pengukuran resiko pada option portfolio. b. Model pemeringkatan (grading models) dimana kalkulasi resiko dilakukan berdasar individual obligor dan dimana resiko portfolio secara sederhana didapat dari penjumlahan total resiko individual. Model pemeringkatan dilakukan secara luas oleh lembaga pemeringkat kredit seperti Standard and Poor’s dan Moody’s Investors Service Rating. Karena istilah credit grade dan credit rating dapat saling
33
menggantikan, maka Kesepakatan Basel II menggunakan istilah grade untuk definisi ini. 2. Perluasan teknik kuantitatif terhadap resiko operasional. Disamping itu teknik-teknik kuantitatif yang dapat mencakup resiko-resiko lain dimasukkan dalam perhitungan resiko operasional. Terdapat perbedaan pendapat tentang resiko lainlain, apakah dimasukkan ke dalam resiko operasional atau tidak. Atas silang pendapat itu pada akhirnya komite Basel memutuskan: a. Memasukkan resiko operasional sebagai ukuran kuantitatif dalam pendekatan pilar I; b. Resiko operasional didefinisikan secara lebih luas yang mencakup tentang resiko lebih luas dengan mengeluarkan resiko reputasi, bisnis, dan strategik; dan c. Untuk fokus pada pilar I model untuk resiko kredit pada teknik pemeringkatan kredit (credit grading technique). Dalam
pengembangannya
komite
Basel
menggunakan
pendekatan konsultatif untuk memastikan bahwa regulasi yang baru memiliki dampak positif. Dimulai dengan makalah konsultatif yang kemudian diikuti periode konsultasi dan revisi. Periode konsultasi meliputi serangkaian Studi Dampak Kuantitatif (Quantitative Impact Studies), dimana pada sejumlah Bank mengestimasi dampak dari implementasi kesepakatan berdasarkan masalah konsultatif. Pendekatan konsultatif dilakukan
34
agar Bank merasa yakin bahwa kesepakatan yang dibuat adalah benar. Kesepakatan Basel II menghubungkan modal bank secara langsung kepada resiko yang mereka tanggung. Basel II mencoba untuk mencapai tujuan berikut: 1. Menggunakan tiga pilar yang saling menguatkan untuk keseimbangan antara modal yang sesuai persyaratan dengan modal yang ekonomis; 2. Mendorong integrasi pengukuran resiko kedalam proses manajemen; 3. Mencapai sensitivitas resiko kredit yang lebih tinggi; 4. Menciptakan fleksibilitas dalam memilih pendekatan dalam penetapan modal sesuai dengan persyaratan; 5. Membuat metoda pengukuran resiko yang dinamis dalam penetapan modal sesuai dengan persyaratan; 6. Mengadopsi teknik perhitungan resiko yang lebih canggih untuk diterapkan; 7. Menerapkan tambahan modal eksplisit bagi resiko operasional dan resiko lain-lain, dan kemudian mengurangi kebutuhan akan cadangan modal; dan 8. Menjaga agar persaingan kebutuhan ekuitas antara Bank dan lembaga keuangan lain. Kesepakatan Basel II memberikan: varians yang lebih besar dalam pemenuhan modal antar Bank yang berbeda bisnisnya, dari
35
ritel hingga korporat; regulasi yang lebih kompleks, antara Bank dengan Bank Sentral yang menyediakan berbagai peraturan tentang kecukupan modal yang dapat diikuti, serta mempertemukan kebutuhan antara modal yang dipersyaratkan dengan modal ekonomis, serta memperkenalkan banyak konsep canggih sebagai pondasi perubahan regulasi masa depan. Hal-hal dalam kesepatakan Basel II dapat terlaksana karena dalam kesepakatan Basel II akan mengizinkan Bank untuk menggunakan peringkat internal dan konsep modal ekonomis untuk mengukur modal yang sesuai persyaratan bagi resiko kredit; menetapkan tambahan modal spesifik terhadap resiko operasional dan mengizinkan Bank-bank terpilih untuk menggunakan cara canggih atau tidak dalam mengukurnya; dan mewajibkan Bank untuk mempublikasikan informasi resiko sebagai dasar penilaian harga saham dan peringkat kredit. Pada tabel 2.2 berikut dapat dilihat rangkuman perbedaan tegas antara kesepakatan Basel I dan Basel II Kesepakatan Basel I Fokus pada sebuah pengukuran tunggal
Kesepakatan Basel II Fokus pada internal metodologi
Memiliki pendekatan yang sederhana Memiliki tingkat sensitivitas resiko terhadap sensitivitas resiko
yang lebih tinggi
Menggunakan pendekatan ‘one single Fleksibel untuk disesuaikan terhadap size fits all’ resiko dan modal
kebutuhan Bank yang berbeda-beda
Hanya mencakup resiko kredit dan Mencakup resiko kredit, resiko pasar,
36
resiko pasar
resiko operasional, dan resiko lain-lain
Tabel 2.2 Perbandingan Kesepakatan Basel I dengan Kesepakatan Basel II 2.3.2.2 Regulasi Tiga Pilar Kesepakatan Basel II Kesepakatan Basel II menggunakan pendekatan baru untuk penilaian dan pengawasan bank. Kerangka baru Basel II dirancang mencakup tiga konsep yang dikenal sebagai tiga pilar. Ketiga pilar yang dimaksud adalah:
Gambar 2.1 Regulasi Tiga Pilar Kesepakatan Basel II Sumber : Journal The new Basel II rules will challenge the way banks practice Asset & Liability Management, By Heinz Zimmermann, Dean Jovic and Alwin Meyer
2.3.2.2.1 Pilar I – Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Dalam pilar I, Bank diminta untuk mengkalkulasi modal minimum untuk resiko kredit, resiko pasar, dan resiko operasional. Resiko kredit dihitung dengan : 1. Pendekatan standar (the standardized approach),
37
2. Pendekatan berdasarkan pemeringkat internal (the internal rating-based approach) yang terdiri dari dasar (foundation) dan lanjutan (advanced). Resiko pasar dihitung dengan : 1. Pendekatan standar (the standardized approach), 2. Pendekatan
model
internal
(the
internal
model
approach). Resiko operasional dihitung dengan: 1. Pendekatan indikator dasar (the basic standardized approach), 2. Pendekatan standar (the standardized approach), 3. Pendekatan
pengukuran
lanjutan
(the
advanced
measurement approach). 2.3.2.2.2 Pilar II – Tinjauan Berdasarkan Regulasi Pilar II merupakan proses tinjauan berdasarkan regulasi (supervisory review) yang bermaksud diformalkan oleh pembuat kebijakan dengan berdasarkan pada praktek terbaik (best practice) yang berlangsung. Konsep-konsep tinjauan berdasarkan regulasi telah ada secara implisit pada Basel I yang dimaksudkan untuk membentuk standar minimum yang hanya dapat diadaptasi berdasar Bank by bank basis. Pilar II mencakup tinjauan pengawasan yang sangat mirip dengan pengawasan berdasarkan resiko saat ini oleh
38
Federal Reserve Board di US dan Financial Services Authority di UK. Tinjauan pengawasan dirancang untuk fokus terhadap : 1. Berbagai persyaratan modal di atas tingkat minimum yang dihitung pada Pilar I; 2. Tindakan awal yang perlu dilakukan untuk menghadapi emerging risk. Pilar II mengandung tiga area utama yang tidak dicakup pada pilar I. Ketiga area tersebut adalah: 1. Resiko konsentrasi kredit yang tidak dipertimbangkan sepenuhnya pada Pilar I. Resiko ini terkait dengan konsentrasi kredit yang diberikan Bank, apakah terfokus pada satu nasabah besar, satu kelompok besar, atau satu industry tertentu. 2. Resiko suku bunga pada buku Bank (interest rate in the Banking book) Resiko ini terkait dengan pengaruh suku bunga terhadap aktiva produktif serta kewajiban Bank. 3. Resiko-resiko lain seperti resiko reputasi, resiko bisnis, resiko strategis, serta segala resiko yang dapat muncul dalam menjalankan usaha Bank. Aspek penting pada Pilar II adalah menilai kepatuhan dengan
standar
minimum
yang
ditetapkan
dalam
perhitungan kewajiban penyediaan modal minimum pada Pilar I.
39
2.3.2.2.3 Pilar III - Keterbukaan Pilar III merupakan pilar disiplin pasar. The Bank for International Settlement (BIS) mendeskripsikan disiplin pasar
sebagai
mekanisme
pengelolaan
(governance)
eksternal dan internal di ekonomi pasar bebas yang meniadakan intervensi langsung Pemerintah. Pilar III mencakup tentang apa yang diperlukan dalam keterbukaan terhadap public oleh Bank. Ini dirancang untuk membantu pemegang saham Bank dan analis pasar, dan membawa transparansi pada hal-hal: 1. Portfolio aktiva Bank, dan 2. Profil resikonya. 2.4 2.4.1
Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan 50/55 PSAK 50 Instrumen Keuangan: Penyajian dan Pengungkapan (Revisi 2006) Tujuan pernyataan ini adalah unuk menetapkan prinsip untuk penyajian dan pengungkapan instrumen keuangan sebagai kewajiban atau ekuitas dan untuk saling hapus aset keuangan dan kewajiban keuangan. Pernyataan ini berlaku terhadap klasifikasi instrumen keuangan, dari perspektif penerbit, dalam aset keuangan, kewajiban keuangan dan instrumen ekuitas; pengklasifikasian yang terkait dengan suku bunga, dividen, kerugian dan keuntungan; dan keadaan dimana aset keuangan dan kewajiban keuangan akan saling hapus. Prinsip-prinsip dalam Pernyataan ini melengkapi prinsip untuk
40
pengakuan dan pengukuran aset keuangan dan kewajiban keuangan dalam PSAK 55 (revisi 2006): Instrumen Keuangan: Pengakuan dan Pengukuran, dan pengungkapan informasi tentang hal tersebut. Entitas menerapkan Pernyataan ini untuk periode yang dimulai pada atau setelah 1 januari 2009. Penerapan lebih dini diperbolehkan. Entitas tidak diperkenankan menerapkan Pernyataan ini untuk periode tahunan yang dimulai sebelum Januari 2009, kecuali jika entitas tersebut juga menerapkan PSAK 55 (Revisi 2006). Jika entitas menerapkan Pernyayataan ini untuk periode tahunan yang dimulai sebelum 1 Januari 2009, kecuali jika entitas tersebut juga menerapkan PSAK 55 (revisi 2006). Jika entitas menerapkan Pernyataan ini pada periode sebelum 1 Januari 2009, maka fakta ini harus diungkapkan. Pernyataan ini diterapkan secara prospektif. Pernyataan ini menggantikan PSAK 50: Akuntansi Investasi Efek Tertentu yang disahkan pada tahun 1998. 2.4.2
PSAK 55 (Revisi 2006) Instrumen Keuangan: Pengakuan dan Pengukuran Tujuan Pernyataan dalam PSAK 55 (Revisi 2006) adalah untuk mengatur prinsip-prinsip dasar pengakuan dan pengukuran aset keuangan, kewajiban keuangan, dan kontrak pembelian atau penjualan item non keuangan. Persyaratan penyajian dan pengungkapan informasi instrumen keuangan diatur dalam PSAK 50 (revisi 2006) Instrumen Keuangan: Penyajian dan Pengungkapan. Istilah yang didefinisikan dalam PSAK 50 (revisi 2006) Instrumen
41
Keuangan: Penyajian dan Pengungkapan juga digunakan dalam pernyataan ini dengan pengertian sebagaimana dijabarkan dalam pernyataan ini dengan pengertian sebagaimana dijabarkan dalam paragraf 7 PSAK 50 (Revisi 2006) Instumen Keuangan: Penyajian dan Pengungkapan. PSAK tersebut mendefinisikan istilah berikut ini: •
Instrumen Keuangan
•
Aset Keuangan
•
Kewajiban Keuangan
•
Instrumen Ekuitas
dan menyediakan pedoman untuk menerapkan definisi-definisi tersebut. PSAK 55 (Revisi 2006) terdiri dari paragraf 1-108 dan Panduan Aplikasi. Maka hal ini akan memudahkan penerapan PSAK 55 oleh pengguna. Entitas harus menerapkan Pernyataan ini secara prospektif untuk laporan keuangan yang mencakup periode yang dimulai pada atau setelah tanggal 1 Januari 2009. Jika entitas menerapkan Pernyataan ini sebelum 1 Januari 2009, maka fakta ini harus diungkapkan. Pernyataan ini menggantikan: (a) PSAK No. 10 tentang Transaksi dalam Mata Uang Asing, untuk pengaturan yang terkait dengan transaksi valuta berjangka; (b) PSAK No. 28 (Revisi 1996) tentang Akuntansi Asuransi Kerugian, untuk pengaturan yang terkait dengan perlakuan
42
akuntansi surat berharga (marketable securities); (c) PSAK No. 31 (Revisi 2000) tentang Akuntansi Perbankan, untuk pengaturan yang terkait dengan perlakuan akuntansi transaksi efek; (d) PSAK No. 36 (Revisi 1996) tentang Akuntansi Asuransi Kerugian, untuk pengaturan yang terkait dengan perlakuan akuntansi surat berharga (marketable securities); (e) PSAK No. 42 (1998) tentang Akuntansi Perusahaan Efek, untuk pengaturan yang terkait dengan: (i) transaksi jual efek dengan janji beli kembali (repo)/beli efek dengan janji jual kembali (reverse repo); dan (ii) transaksi manajer investasi untuk pengakuan perolehan, pengklasifikasian, dan penilaian pada tanggal neraca untuk efek dan unit penyertaan reksa dana yang dibeli untuk investasi sendiri; (f) PSAK No. 43 (Revisi 1997) tentang Akuntansi Anjak Piutang, untuk pengaturan yang terkait dengan pengakuan dan pengukuran; (g) PSAK No. 50 (Revisi 1998) tentang Akuntansi Investasi Efek Tertentu, untuk pengaturan yang terkait dengan pengakuan dan pengukuran invetasi efek tertentu; dan (h) PSAK No. 55 (Revisi 1999) tentang Akuntansi Instrumen Derivatif dan Aktivitas Lindung Nilai, untuk pengaturan yang terkait dengan pengakuan dan pengukuran instrumen derivatif
43
dan aktivitas lindung nilai. 2.5
Prudential Regulation Prudential Regulation (peraturan kehati-hatian) adalah sebuah kerangka hukum yang tepat untuk operasi keuangan yang diterapkan untuk mencegah atau meminimalkan masalah sektor keuangan. Tujuan dari Prudential Regulation adalah untuk melindungi stabilitas sistem keuangan dan melindungi deposito sehingga focus utama adalah pada keselamatan dan kesehatan sistem perbankan dan lembaga keuangan non-bank (LKNB) yang mengambil deposit. Prudential Regulation pada negara-negara berkembang biasanya didasarkan pada perbaikan undang-undang perbankan sesuai dengan “best practice” internasional, seperti menerapkan persyaratan modal minimum yang sejalan dengan Kesepakatan Basel dan memperkuat kapasitas pengawasan lembaga pengawas.
2.6
Software Engineering (Rekayasa Perangkat Lunak) Definisi rekayasa perangkat lunak menurut Pressman (2001, p20) adalah pembuatan dan penggunaan prinsip-prinsip keahlian teknik untuk mendapatkan perangkat lunak yang ekonomis yang handal dan bekerja secara efisien pada mesin yang sesungguhnya. Menurut Sommerville (2006, p7), rekayasa perangkat lunak adalah sebuah prinsip tentang perekayasaan yang berhubungan dengan semua aspek dari pembuatan perangkat lunak dari tahap awal spesifikasi sistem sampai perawatan sistem setelah memasuki tahap penggunaan.
44
2.6.1
Software Process (Proses Perangkat Lunak) Menurut Sommerville (2006, p64), Software Process (proses perangkat lunak) adalah serangkaian kegiatan yang mengarah pada produksi (pembuatan) produk software (perangkat lunak). Ada 4 kegiatan mendasar (fundamental) yang umum terjadi pada Software Process, antara lain: a. Software Specification – Fungsionalitas perangkat lunak dan batasan penggunaannya harus didefinisikan. b. Software Design and Implementation – Perangkat lunak yang memenuhi spesifikasi harus dibuat. c. Software Validation – Perangkat lunak harus divalidasi untuk memastikan bahwa perangkat lunak yang dihasilkan dapat melakukan apa yang diinginkan oleh customer. d. Software Evolution – Perangkat lunak harus berevolusi untuk memenuhi kebutuhan customer yang berubah-ubah.
2.6.2
Software Process Model (Model Proses Perangkat Lunak) Menurut Sommerville (2006, p65), software process model adalah
gambaran abstrak dari software process. Ada beberapa process model (terkadang process model disebut juga dengan istilah process paradigm), di antaranya adalah : 1. The Waterfall Model – Model ini mengambil kegiatan fundamental software process (specification, development, validation, dan evolution) dan menggambarkan mereka sebagai fase proses yang terpisah seperti requirements specification, software design,
45
implementation, testing, dan seterusnya. 2. Evolutionary Development – Pendekatan ini menggabungkan
kegiatan specification, development, dan validation. Sebuah sistem awal dengan cepat dikembangkan dari spesifikasi abstrak. Kemudian, sistem awal ini diperbaiki dan ditingkatkan berdasarkan masukan dari customer yang memenuhi kebutuhan customer. 3. Component-based
Software
Engineering
–
Pendekatan
ini
berdasarkan keberadaan signifikan jumlah komponen yang reusable.
Proses
pengembangan
sistem
fokus
pada
mengintegrasikan komponen ini ke dalam sistem daripada mengembangkan mereka dari awal. 2.6.3
Software Development Life Cycle (The Waterfall Model)
Sumber :Software Engineering Fifth Edition p37
Gambar 2.2 Software Development Life Cycle Spiral Model
46
Sebagai bagian dari Evolutionary Software Process Model, Model Spiral awalnya diusulkan oleh Boehm [BOE88], dimana model ini menggunakan sifat iteratif dari prototipe yang terkontrol dan aspek sistematik dari model Sequential Model. Dengan menggunakan Spiral Model, maka dapat berpotensi pengembangan yang cepat dengan versi piranti lunak yang incremental. Model Spiral dibagi ke dalam beberapa kerangka aktifitas, biasa disebut juga tugas wilayah (task regions), seperti berikut : 1. Customer Communication – bertugas untuk menciptakan komunikasi
yang
efektif
antara
pengembang
dengan
pelanggan. 2. Planning – bertugas untuk mendefinisikan sumber daya, penjadwalan,
dan
informasi
–
informasi
lain
yang
berhubungan dengan proyek. 3. Risk Analysis – bertugas untuk menilai resiko teknis dan manajemen. 4. Engineering – bertugas untuk membangun satu atau lebih perwakilan aplikasi. 5. Construction and release – bertugas untuk membangun, menguji, menginstal dan memberikan dukungan kepada pengguna (seperti; dokumentasi dan pelatihan). 6. Customer Evaluation – bertugas untuk mendapatkan masukan dari
pengguna
berdasarkan
evaluasi
dari
representasi
perangkat lunak yang dibuat selama tahap engineering serta
47
implementasi selama tahap instalasi. Setiap daerah dihuni oleh satu set tugas pekerjaan, yang disesuaikan dengan karakteristik proyek yang akan dilakukan. Untuk proyek kecil, jumlah tugas pekerjaan dan formalitas mereka rendah. Untuk yang lebih besar, proyek lebih kritis, setiap daerah tugas ini berisi tugas-tugas pekerjaan lebih yang ditetapkan untuk mencapai tingkat formalitas yang lebih tinggi. Ketika proses evolusi berjalan, tim software engineering mulai dari pusat model spiral. Rangkaian spiral yang pertama di sekitar model spiral mungkin dapat menghasilkan spesifikasi produk; setelah itu dilanjutkan dengan pengembangan prototipe secara progresif dan lebih canggih setiap versinya. Setiap melewati tahap perencanaan maka akan menghasilkan rencana proyek. Biaya dan jadwal akan disesuaikan berdasarkan masukan dari hasil evaluasi pelanggan. Selain itu, manajer proyek akan menyesuaikan jumlah iterasi yang direncanakan yang diperlukan untuk menyelesaikan perangkat lunak. Model spiral adalah pendekatan yang sangat realistis untuk pengembangan sistem dengan skala yang besar. Dengan terus berkembangnya perangkat lunak selama proses berlangsung, maka pengembang dan pelanggan dapat memahami dan bertindak terhadap setiap resiko yang muncul pada tiap tingkat evolusi. Model spiral menggunakan prototipe sebagai mekanisme untuk mengurangi resiko, dengan demikian dapat menuntut pertimbangan langsung dari resiko teknis pada semua tahapan proyek.
48
2.7
UML (Unified Modelling Language) UML adalah alat untuk menggambarkan gambaran dari sistem yang akan dibuat melalui diagram dan simbol. UML menggunakan konsep Pemrograman Berorientasi Objek (Object Oriented Programming). Melalui
seperangkat
diagram,
UML
menyediakan
standar
yang
memungkinkan sistem analisis untuk merancang berbagai sudut pandang dari sistem analisis untuk merancang berbagai sudut pandang dari sistem, yang dinamakan model, yang dimengerti oleh client, programmer, dan siapapun yang terlibat dalam proses pengembangannya (Schmuller, 1999, p16-17). Selain pengertian UML di atas ada pula pengertian dari Jacobson (1999, p13), yaitu UML adalah sebuah bahasa standar untuk menulis rancangan suatu perangkat lunak. UML dapat digunakan untuk memvisualisasikan,
menspesifikasikan,
membangun,
dan
mendokumentasikan alat dari sebuah sistem perangkat lunak. UML hanya sebuah bahasa, dengan demikian hanya merupakan suatu bagian dari sebuah metode pengembangan perangkat lunak. 2.7.1
Class Diagram Class Diagram menggambarkan suatu kumpulan dari kelas-kelas dan merupakan hubungan relasi terstruktur. UML mempunyai class diagram, mereka adalah gambaran pusat dalam OOAD (Object Oriented Analysis and Design). Notasi yang digunakan dalam class diagram antara lain :
49
a.
Asosiasi (Associatiation), yaitu hubungan antar kelas. Dalam class diagram, kelas yang satu memerlukan asosiasi dengan kelas lainnya. Agregasi (Aggregation), dilakukan dengan memerlukan setiap pasangan kelas untuk : 1) Whole
part,
container-content
atau
association
member relationship antar kelas. 2) Common whole, yang menghubungkan mereka. b.
Generalisasi (Generalization) Dilakukan dengan memeriksa pasangan kelas untuk struktur generalisasi antar kelas atau mencari kelas yang umum, kemudian memeriksa masing-masing kelas untuk disesuaikan dengan kelas yang relevan. Contoh Class Diagram dapat dilihat pada gambar 2.3.
Gambar 2.3 Contoh Class Diagram 2.7.2
Use Case Diagram Use Case menggambarkan interaksi antara sistem dengan pelaku yang ada. Diagram ini mendeskripsikan siapa saja yang menggunakan sistem dan bagaimana cara mereka berinteraksi dengan sistem. Use
50
case digunakan untuk menggambarkan bagaimana sistem terlibat pada pengguna (Mathiassen et. al, 2000, p120). Pelaku dan use case adalah dua elemen-elemen yang ada. Pelaku adalah orang-orang atau sistem lain yang berinteraksi dengan sistem. Use case adalah suatu bentuk interaksi antara sistem dan pelaku. Pelaku dan use case dapat dihubungkan satu sama lain, dengan cara mengindikasikan sebuah pelaku pada sebuah use case. Use case dapat dikelompokkan dalam hubungannya dengan sistem. Semua use case yang didukung oleh sebuah sistem dapat diorganisasikan dalam sebuah kelompok dengan nama dari sistem. Dari pengelompokkan tersebut juga dapat dibuat grup yang lebih kecil, yang mungkin menggambarkan subsistem. Setiap use case menentukan beberapa urutan interaksi yang mungkin antara pelaku dan sistem. Elemen-elemen yang digunakan dalam use case diagram antara lain (Mathiassen et. al, 2000, p343) : a. Sistem, yang digambarkan menggunakan persegi yang di dalamnya terdapat sekumpulan use case. Actor diletakkan di luar sistem; b. Use case, yang digunakan untuk menggambarkan fungsi-fungsi pada sistem digambarkan dengan elips; c. Actor, pengguna sistem; d. Penghubung, untuk menghubungkan antara actor dengan use case.
51
System UseCase
System
Actor
*
Use Case
*
Penghubung
g Gambar 2.4 Komponen-komponen Use Case Diagram 2.7.3
Sequence Diagram Sequence Diagram menunjukkan dinamika interaksi berbasis waktu yang interaktif antar objek dalam sistem (Schmuller, 1999, p11). Tidak seperti class diagram yang statis, sequence diagram bersifat dinamis.
Object1
Message
Object lifetime
Message call
Message return
Activati on
Gambar 2.5 Komponen-komponen Sequence Diagram 2.8
Hypertext Markup Language (HTML) Menurut Ellsworth dan Ellsworth (1997, p37) HTML (Hypertext Markup Language) merupakan sistem yang digunakan untuk menciptakan halaman dan dokumen yang disajikan pada web. HTML dapat juga dikatakan sebagai sebuah dokumen yang memuat
52
kalimat-kalimat yang diproses oleh browser, sehingga ditayangkan ketika dipanggil dari internet. HTML sendiri merupakan sebuah dokumen dalam format ASCII dan dapat dibuat dengan sembarang perangkat lunak pengedit naskah (Bustani, 1999, p13-14) Dokumentasi HTML terdiri dari kumpulan perintah yang ditulis dalam bentuk teks standar ASCII dan teks yang dipakai untuk memberi perintah pada dokumen tersebut, lalu browser secara otomatis akan mencari URL yang diwakili dan menampilkannya. 2.9
Cascading Style Sheets (CSS) CSS adalah sebuah standar yang didesain untuk memisahkan gambaran isi secara visual dari penjelasan struktural yang sebenarnya (Evans et. al., 2003, p585).
2.10
ASP.Net Menurut Richard et al. (2002, p1), ASP.Net adalah satu bagian dari keseluruhan .NET framework, fleksibel dan kaya akan arsitektur, didesain tidak hanya untuk kebutuhan pengembang web sekarang, tetapi juga untuk masa yang akan datang. Tidak seperti update yang sebelumnya dari ASP, ASP.NET jauh lebih bagus dari pengupgradean teknologi yang ada, seperti pintu gerbang menuju era baru pengembangan web. Keunggulan ASP.NET : a. Membuat coding lebih gampang dibaca. b. Meningkatkan kegunaan dan keamanan. c. Menyediakan support yang lebih baik untuk browser yang berbeda.
53
d. Memungkinkan jenis pengembangan web application yang baru (Web 2.0). 2.11
Database Menurut Connolly dan Begg (2002, p14), database adalah kumpulan data, yang terhubung secara logis yang dapat digunakan secara bersama, dan deskripsi dari data ini dirancang untuk memenuhi kebutuhan informasi dari suatu organisasi. Menurut O’Brien (2003, p145), database adalah sebuah kumpulan terintegrasi dari elemen data yang terhubung secara logis. Database juga dapat diartikan sebagai kumpulan data yang berfungsi sebagai penyedia informasi bagi pengguna. Objek-objek yang ada dalam sebuah basis data : a. Tabel, yaitu objek yang berisi tipe-tipe data. b. Kolom, yaitu sebuah tabel berisi kolom untuk menampung data. Kolom mempunyai tipe dan nama yang unik. c. Tipe data, yaitu sebuah kolom mempunyai sebuah tipe data. Tipe data yang dapat dipilih misalnya character, numeric, dan sebagainya. d. Primary key, yaitu kata kunci utama yang menjamin data agar unik, hingga dapat dibedakan dari data yang lain. e. Foreign key, merupakan kolom-kolom yang mengacu pada primary key dari tabel yang lain. Dengan kata lain, primary key dan foreign key digunakan untuk menghubungkan sebuah tabel dengan tabel lain Dalam database dikenal pula istilah database relational, yaitu basis data yang menghubungkan antara satu tabel dengan tabel lain dalam satu
54
basis data. Database relational selalu menggunakan field kunci untuk mendefinisikan relasi antar tabel. Semakin banyak tabel yang ada, semakin banyak relasi yang diperlukan untuk menghubungkan semua tabel. Sebuah tabel tidak harus langsung berhubungan dengan setiap tabel lain, tetapi setiap tabel dalam basis data terhubung satu sama lain (tidak ada tabel yang berdiri sendiri). Jadi tabel dapat berhubungan dengan setiap tabel lain dengan hubungan langsung atau tidak langsung (Martina, 2003, p2). 2.11.1
Database Management System (DBMS) Menurut Connolly dan Begg (2002, p16), DBMS adalah suatu sistem perangkat lunak yang memungkinkan pengguna untuk menentukan, menciptakan, memelihara dan mengontrol akses ke database. Menurut O’Brien (2003, p147), DBMS adalah sekumpulan program komputer yang mengontrol pembuatan, pemeliharaan dan penggunaan database pada suatu organisasi dan penggunanya. Secara khusus, DBMS menyediakan fasilitas berikut : a.
Memungkinkan pengguna untuk menentukan database, biasanya melalui Data Definition Language (DDL). DDL memungkinkan user untuk menentukan tipe user dan struktur data mendorong data untuk disimpan ke database;
b.
Memungkinkan pengguna untuk melakukan insert, update, delete dan retrieve dari database, biasanya melalui Data Manipulation Language (DML);
c.
Menyediakan akses terkontrol ke database.
55
2.11.2
Structured Query Language (SQL) Menurut Connolly dan Begg (2002, p111), SQL merupakan bahasa yang dirancang untuk menggunakan relasi untuk mengubah masukan menjadi keluaran yang diharapkan. Menurut O’Brien (2003, p148), SQL adalah bahasa query yang ditemukan di berbagai paket manajemen database. SQL dimaksudkan untuk memenuhi keputusan berikut : a.
Membuat database dan struktur relasi;
b.
Melakukan tugas dasar manajemen data, seperti pemasukan, modfikasi dan penghapusan data dari relasi; Melakukan query sederhana dan kompleks.
c.
Standar SQL memiliki dua komponen : a. Data Definition Language (DDL) untuk menetapkan struktur database dan mengontrol akses ke data; b. Data Manipulation Language (DML) untuk mendapatkan kembali (retrieve) dan memperbahurui data. 2.12
SQL Server 2005 SQL Server 2005 (Joseph Sack, 1997) dibuat untuk mengolah informasi dengan cepat. SQL Server 2005 adalah bahasa yang sangat index friendly, mudah dimengerti oleh user. SQL Server 2005 memerlukan .NET Framework 2.0 dalam proses instalasinya
untuk
memudahkan
pengguna
dan
developer
untuk
menentukan tipe data terbaik untuk kolom. SQL Server 2005 di kembangkan oleh Joseph Sack, dia adalah
56
seorang konsultan yang bertempat di Minneapolis Minnesota. Sejak 1997 dia telah mengembangkan SQL Server untuk multimedia distribution, konsultasi IT, manufacturing, dan industri real estate. SQL Server 2005 merupakan bahasa yang memiliki kemampuan cukup baik untuk menunjang kinerja user. SQL digunakan untuk mencari informasi (query), memanipulasi data (DML), mendefinisikan data (DDL), dan bahasa pengendali dokumentasi.