10
BAB II
Landasan Teori
A.
Konflik
1. Konflik pada perkawinan Istilah konflik secara etimologis berasal dari bahasa latincon yang berarti bersama dan fligere yang berarti benturan atau tabrakan. Konflik dalam kehidupan sosial berarti benturan kepentingan, keinginan dan pendapat yang melibatkan dua pihak atau lebih. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial atau dua orang atau lebih, atau kelompok dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya (DeVito, 2004) Menurut Willmot & Hocker (2001), konflik adalah suatu ekspresi pertentangan dari sekurang-kurangnya dua orang yang saling bergantung yang tujuannya saling bertentangan, memliki sedikitnya sumber penghasilan, dan campur tangan dari pihak lain dalam mencapai tujuan mereka. Koentjaraningrat (1981) mengatakan bahwa konflik merupakan suatu proses atau keadaan dimana dua pihak atau lebih berusaha untuk saling menggagalkan tujuan masing-masing karena adanya perbedaan pendapat, nilai-nilai ataupun tuntunan dari masing-masing pihak. Berdasarkan beberapa definisi diatas,dapat diambil kesimpulan bahwa konflik adalah suatu ekspresi pertentangan antar dua belah pihak yang saling
10 Universitas Sumatera Utara
11
bergantung yang memiliki tujuan berbeda dan berusaha untuk menggagalkan tujuan dari masing-masing pihak. Konflik dalam hubungan perkawinan merupakan hal yang wajar dan tidak dapt dihindari. Menurut Donohue & Kolt (1992), konflik dalam perkawinan adalah situsi dimana pasangan yang saling bergantung mengekpresikan perbedaan dintara mereka dalam upaya mencapai kebutuhan kebutuhan dan minat masingmasing. Jika masing-masing individu dalam pasangan merasa ada yang menghalangi keinginan satu sama lain dalam mencapai suatu tujuan maka hal ini cenderung menimbulkan suatu konflik. Selain itu, konflik juga dapat terjadi dikarenakan adanya penyesuaian kecocokan dan keintiman pada pasangan. Duval dan Miller (1985) mengatakan masa awal pernikahan merupakan masa paling berat ketika pasangan yang baru menikah harus menghadapi berbagai proses pernyesuaian diri terhadap perbedaan-perbedaan yang ada. Proses ini pasti melibatkan konflik didalamnya dan melauli proses ini pasangan dapat mempelajari cara resolusi konflik yang efektif, yang dapat bermanfaat bagi mereka yang menjalani kehidupan perkawinan di masa yang akan datang. 2. Resolusi Konflik Konflik yang tidak diselesaikan atau tidak dapat diselesaikan akan berdampak negatif untuk masing-masing individu dalam pasangan. Dampak yang dapat ditimbulkan oleh konflik dapat dirasakan langsung oleh orang yang mengalami konflik. Untuk itu diperlukan adanya penanganan atau resolusi konflik.
Universitas Sumatera Utara
12
Hendricks (1992) menyatakan bahwa resolusi konflik adalah strategi yang dapat digunakan untuk mengatasi konflik. Menurut Mindes (2006) resolusi konflik merupakan kemampuan untuk menyelesaikan perbedaan dengan yang lainnya dan merupakan aspek penting dalam pembangunuan sosial dan moral yang memerlukan keterampilan dan penilaian untuk bernegoisasi, kompromi serta mengembangkan rasa keadilan. Dalam resolusi konflik ada dua pendekatan, yaitu: a. Pendekatan Konstruktif Pada pendekatan ini, fokus pada yang terjadi saat ini dibandingkan masalah yang lalu, membagi perasaan negatif dan positif, mengungkapkan informasi dengan terbuka, menerima kesalahan bersama dan mencari persamaan-persamaan. Konflik konstruktif cenderung untuk kooperatif, prososial, dan menjaga hubungan secara alami (Olson & DeFrain, 2006) b. Pendekatan Destruktif Pada pendekatan ini, pasangan mengungkit masalah-masalah yang lalu, hanya mengekpresikan perasaan-perasaan negatif, fokus pada orang bukan pada masalanya, mengungkapkan selektif informasi dan menekankan pada perbedaan tujuan untuk perubahan yang minim. Konflik destruktif mengarah pada kompetitif, antisosial, dan merusk hubungan. Perilaku destruktif memperlihatkan perilaku negatif, ketidaksetujuan dan kadang kekerasan. Dalam kedua pendekatan tersebut ada beberapa gaya dalam menyelesaikan konflik atau resolusi konflik.
Universitas Sumatera Utara
13
Menurut Dwijanti (2000) gaya resolusi konflik adalah cara atau pendekatan atau metode yang digunakan seseorang untuk mengatasi atau menghadapi suatu konflik tertentu. Meskipun sebagian besar individu memiliki kemampuan untuk memberikan respon terhadap konflik yang bervariasi tergantung pada situasinya, namun setiap individu mempunyai preferensi tertentu yang menjadi dasar bagi tindakannya ketika menghadapi konflik(Robbins & Couller, 1996). Hal ini serupa dengan yang dinyataakan Thomas (1983) bahwa setiap orang memiliki gaya penyelesaianyang berbeda ketika menghadapi konflik. Dalam pandangan tersebut setiap orang memiliki satu macam gaya yang lebih dominan, namu bukan berarti hanya gaya tersebut yang dimiliki. Gaya resolusi konflik dibentuk oleh respon atau kumpulan perilaku yang digunakan individu-individu dalam konflik (Willmot & Hocker, 1995). Rubin, Pruitt, dan Kim (1994) mengusulkan konflik yang didasarkan pada tingkat kepedulian terhadap tujuan pribadi dan tujuan pasangan. Pengkategorian gaya resolusi konflik semakin berkembang di sepanjang sejarahnya, mulai dari yang mengkategorikan hanya dua gaya resolusi konflik sampai mengkategorikan lima gaya resolusi konflik. Ada beberapa model resolusi konflik (Killman dan Thomas dalam Olson & DeFrain, 2006), model ini dikembangkan dengan pemikiran bahwa terdapat aspek yang menjadi fokus perhatian saat individu mengusahakan tujuannya, yaitu: perhatian pada diri sendiri dan orang lain. Perhatian pada diri sendiri diukur dengan sejauh mana tingkat asertivitas atau agresivitas seseorang. Perhatian terhadap orang lain ditekankan kepada tingginya kerjasama.
Universitas Sumatera Utara
14
Model resolusi konflik ini mengidentifikasi 5 gaya resolusi konflik, yaitu: 1. Competitive Style Competitive style merupakan cara menyelesaikan konflik tanpa memikirkan pasangannya. Menurut Thomas (1975) cara ini disebut juga gaya resolusi konflik dominasi. Individu yang menggunakan gaya ini menampilkan perilaku seperti agresi, koersi, manipulasi, intimidasi, dan senang berdebat. Aspek lain dalam gaya ini adalah tidak mempedulikan kebutuhan dari pasangan. Orangorang yang menggunakan gaya ini cenderung agresif dan tidak kooperatif, dan mengikuti apa yang diinginkan dengan mengorbankan orang lain. Mereka mendapatkan kekuatan dengan mengkonfrontasi dan berusaha menang tanpa menyesuaikan tujuan dan hasratnya dengan tujuan dan hasrat orang lain 2. Collaboration Style Collaborative style menggambarkan pendekatan resolusi konflik dimana masing-masing pasangan saling memperhatikan kebutuhan atau kepentingan pasangannya. Gaya ini menekankan pada kepentingan hubungan pernikahan. Gaya ini juga biasa disebut gaya integrasi. Kesadaran terhadap kebutuhan diri sendiri dan pasangan serta kesediaan untuk berusaha berdamai merupakan kesempatan yang paling baik dalam resolusi konflik. Indivdiu yang menggunakan gaya ini memiliki asertif yang tinggi dalam mencapai tujuannya tapi memiliki perhatian terhadap tujuan orang lain. Orang dengan collaborative style bersedia menghabiskan waktu banyak untuk menyelesaikan konflik dengan tuntas. Ia mampu memperhatikan orang lain sekaligus diri sendiri. Ia akan mengungkapkan apa yang ada dipikirannya dan
Universitas Sumatera Utara
15
bersedia mendengarkan pikiran orang lain. Wajar saja jika gaya ini menghabiskan energi yang sangat besar. Biasanya gaya ini sangat diperlukan untuk menyelesaikan konflik yang sangat sulit dan kompleks. 3. Compromise Style Compromise style lebih terbuka dibandingkan dengan avoidance, tetapi masalah yang terungkap tidak sebanyak gaya
collaborative. Yang
membedakan antara compromise style dengan collaborative style adalah waktu. Waktu yang dibutuhkan compromise style untuk menyelesaikan konflik lebih sedikit, namun solusi yang dihasilkan bisa jadi bukan solusi yang terbaik untuk semua pihak Pada gaya ini kedua individu dalam pasangan membuat
kesepakatan
yang
mengarah
pada
persetujuan.
Pasangan
memberikan beberapa tujuan penting untuk mendapatkan kesepakatan. Gaya ini merupakan jalan tengah yang dihasilkan dari kombinasi tingginya perhatian terhadap tujuan individu dan tujuan pasangannya 4. Accommodating Style Ditandai dengan perilaku non asertif namun kooperatif. Individu cenderung mengesampingkan keinginan pribadi dan berusaha untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan orang lain. Pasangan yang secara konsisten menggunakan gaya ini seringkali menghindari konflik. Hal ini dikarenakan untuk menghindari kemarahan pasangan dan untuk menjaga keharmonisan hubungan. Orang dengan gaya accommodating style biasanya akan berbicara seperti ini “ya sudah terserah kamu, aku ikut aja”.
Universitas Sumatera Utara
16
5. Avoidance Style Ciri utama gaya ini adalah perilaku yang tidak asertif dan pasif. Biasanya mereka mengalihkan perhatian dari konflik atau justru menghindari konflik. Kelebihan dari gaya ini adalah memberikan waktu untuk berfikir pada masingmasing pihak, apakah ada kemauan dari diri atau pihak lain untuk menangani situasi dengan cara yang lebih baik. Kelemahan dari gaya ini adalah individu menjadi tidak peduli dengan permasalahan dan cederung untuk melihat konflik sebagai sesuatu yang buruk dan harus dihindari dengan cara apa pun. Gaya ini biasanya justru mengarahkan pada konflik yang lebih parah. Pasangan dengan gaya avoidance style biasanya akan mengalihkan pembicaraan ketika mulai membahas konflik yang dihadapi. Apa pun caranya dia akan berusaha untuk terus menghindar. Dia tidak peduli dengan orang lain namun juga tidak mau mengungkapkan keinginannya (nahan uneg-uneg di hati), intinya ia mencoba menghindari konflik dan menganggap konflik itu tidak ada. Berdasarkan uraian diatas terlihat bahwa setiap gaya resolusi konflik memiliki ciri khas masing-masing. Setiap gaya akan efektif jika digunakan pada situasi atau kondisi yang tepat. Penggunaan gaya resolusi konflik yang tidak tepat atau tidak sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi maka tidak akan menghasilkan penyelesaian konflik yang diharapkan. Oleh karena itu penting bagi pasangan untuk memahami semua gaya resolusi konflik sehingga dapat memilih gaya yang tepat dan disesuaikan dengan konflik yang dihadapi
Universitas Sumatera Utara
17
Gaya resolusi konflik dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu kematangan pribadi, usia, jenis kelamin dan karakteristik pribadi. a. Kematangan pribadi meliputi pandangan hidup, sikap netral serta toleran terhadap perbedaan nilai, dan memiliki kesanggupan menyelesaikan masalah.
Orang-orang
yang
matang
pribadinya
lebih
mampu
menyelesaikan konflik dengan baik. b. Usia mempengaruhi gaya penyelesaian konflik sesorang. Potensi konflik cenderung terjadi pada seseorang yang usianya lebih muda dan penyelesaiaan konfliknya sering kali menggunakan emosi. c. Jenis kelamin tentanng peran jenis kelamin menimbulkan asumsi bahwa terdapat perbedaan gaya resolusi konflik pada jenis kelamin yang berbeda. Penelitian Brovermann dkk, pada 599 pria dan 383 wanita menunjukkan hasil bahwa pria lebih menggunakan gaya aktif atau kompetitif sementara wanita lebih akomodatif. d. Karakteristik individu, resolusi konflik seorang individu dapat diprediksi dari karakteristik intelektual dan kepribadiannya. Mereka menemukan bahwa
subjek
dengan
skor
intelektual
yang
rendah
cenderung
menggunakan aksi fisik dalam mengatasi konflik. Dari karakteristik kepribadian dapat diprediksi bahwa subjek dengan skor tinggi pada need for deference ( kebutuhan untuk mengikuti dan mendukung seseorang), need for abasement (kebutuhan untuk menyerah atau tunduk) dan need for order (kebutuhan untuk membuat teratur) cenderung untuk memilih gaya-gaya resolusi konflik yang membuat konflik mereda. Sebaliknya
Universitas Sumatera Utara
18
subjek dengan skor tinggi pada need for autotomi (kebutuhan untuk bebas dan lepas dari tekanan ) dan need for change (kebutuhan untuk membuat perubahan) memiliki kecenderungan untuk memilih paling tidak satu gaya resolusi konflik yang membuat konflik semakin intensif
B. Perkawinan Duvall dan Miller (1986) mendefinisikan perkawinan sebagai hubungan antara pria dan wanita yang diakui dalam masyarakat yang melibatkan hubungan seksual, adanya penguasaan dan hak mengasuh anak, dan saling mengetahui tugas masing-masing sebagai suami dan istri. Gardiner & Myers (dalam Papalia, Olds & Feldman, 2004) menambahkan bahwa perkawinan menyediakan keintiman, komitmen, persahabatan, cinta dan kasih sayang, pemenuhan seksual, pertemanan dan kesempatan
untuk
pengembangan emosional seperti sumber baru bagi identitas dan harga diri. Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan perkawinan adalah hubungan antara pria dan wanita yang diakui dalam masyarakat yang melibatkan hubungan seksualdan kesempatan untuk pengembangan emosional seperti sumber baru bagi identitas dan harga diri
C. Perkawinan Campuran 1. Definisi Perkawinan Campuran Menurut Cohen (dalam Hariyono, 1993) perkawinan campur merupakan perkawinan yang terjadi antara individu dari kelompok
etnis yang berbeda.
Universitas Sumatera Utara
19
Menurut Sunarto (2004) dalam hubungan perkawinan berlaku aturan eksogami dan endogami, yaitu:
a. Eksogami Eksogami adalah suatu perkawinan antara etnis, klan, suku, kekerabatan dalam lingkungan yang berbeda. Eksogami dapat dibagi menjadi dua macam, yakni : 1. Eksogami connobium asymetris terjadi bila dua atau lebih lingkungan bertindak sebagai pemberi atau penerima gadis seperti pada perkawinan suku batak dan ambon. 2. Eksogami connobium symetris apabila pada dua atau lebih lingkungan saling tukar-menukar jodoh bagi para pemuda. Eksogami melingkupi heterogami dan homogami. Heterogami adalah perkawinan antar kelas sosial yang berbeda seperti misalnya anak bangsawan menikah dengan anak petani. Homogami adalah perkawinan antara kelas golongan sosial yang sama seperti contoh pada anak saudagar atau pedagang yang kawin dengan anak saudagar atau pedagang. b. Endogami Endogami adalah suatu perkawinan antara etnis, klan, suku, kekerabatan dalam lingkungan yang sama. perkawinan campuran adalah bersatunya jiwa, kepribadian, sifat dan perilaku dua insan berlawanan jenis yang berbeda etnis/latar belakang budaya untuk disyahkan secara resmi sebagai pasangan suami istri. Dalam perkawinan campur ini terjadi proses akulturasi budaya antara pasangan yang mungkin
Universitas Sumatera Utara
20
menimbulkan konflik (stres akulturasi). Melalui adaptasi secara psikologis dan sosiokultural segala hal yang berkaitan dengan pasangannya serta latar belakang yang berbeda dapat diterima untuk menjalani rumah tangga bersama-sama.
2. Alasan Melakukan Perkawinan Campuran Porterfield (dalam Hariyono, 1993) menyebutkan ada enam alasan seseorang melakukan perkawinan campur: a. Seseorang mungkin melakukan perkawinan campur dengan alasan idealisme b. Seseorang bersifat kosmopolitan atau memilih teman secara personal bukan alasan budaya. c. Seseorang melakukan perkawinan campur untuk menentang otoritas orang tua baik secara sadar ataupun tidak sadar. d. Seseorang melakukan perkawinan campur karena tertarik secara psikoseksual
D. Etnis Tionghoa Etnis Tionghoa di Indonesia berperan penting dalam perjalanan sejarah Indonesia jauh sebelum Republik Indonesia dideklarasikan dan terbentuk. Sejak berdirinya Partai Tionghoa Indonesia, beberapa orang Tionghoa seperti Kho Sien Hoo bergabung dengan gerakan kemerdekaan. Setelah Negara Indonesia terbentuk, maka secara otomatis etnis Tonghoa yang berkewarganegaraan Indonesia haruslah digolongkan menjadi salah satu suku dalam lingkup Indonesia dan sejajar dengan suku-suku lain (Liem, 2000). Kebudayaan dan kehidupan suatu masyarakat banyak dipengaruhi oleh sistem kepercayaannya.Kepercayaan yang dianut etnis Tionghoa adalah Budha,
Universitas Sumatera Utara
21
Taoisme, dan Konfusionisme dimana ajaran Konfisionisme lebih dominan dianut oalh Tionghoa dimanamengajarkan tentang moralitas yang harus dimiliki oleh setiap orang.Kunci ini dipakai Konfusius untuk mengatur hubungan antar manusia dalam hidup bermasyarakat (Lubis, 1995).
Nilai-nilai Sosial Budaya Tionghoa:
1. Sistem Kekerabatan Etnis tionghoa pada masa lalu membuat sebuah pembaharuan yang berdasarkan ideology-nya.Kehidupan etnis tionghoa sejak dulu telah teratur dan teroganisir. Saat suku lain masih berpindah-pindah tempat, etnis ini sudah mulai menetap. Dimana suatu kelompok sudah mulai hidup menetap, kelompok itu akan lebih berkembang karena waktu yang dimilki-nya untuk kebutuhan hidup lebih banyak. Sehingga hal tersebut dapat memacu berkembangnya teknologi guna melengkapi kebutuhan hidup. 2. Pemilihan Jodoh Sama halnya dengan suku bangsa lain yang ada di Indonesia, etnis Tionghoa juga memiliki aturan sendiri dalam hal penentuan jodoh guna meneruskan kehidupannya. Mereka sangat pantang melakukan pernikahan dengan marga yang sama, namun guna menjaga harta keluarga agar kelak tidak jatuh ke tangan orang lain etnis ini mengusahakan adannya pernikahan satu nenek moyang yang berbeda marga. Untuk perkawinan antara pihak laki-laki yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan wanita menjadi sebuah pantangan bilamana pihak laki-laki berasal dari generasi yang lebih muda. Hal
Universitas Sumatera Utara
22
ini memiliki filosofi tersendiri, karna di maksudkan bahwa seorang suami haruslah lebih tua dan tinggi derajatnya dari sang istri. Pada masa lalu, saat kerajaan-kerajaan masih banyak berdiri di Indonesia etnis Tionghoa mengadakan ikatan-ikatan terhadap penguasa lokal serta pihak istana.Hal seperti itu dianggap sebagai syarat yang harus ada pada masa itu, karena hal inimenjadi sangat penting untuk keberhasilan perdagangan mereka di pedalaman. 3. Perkawinan Pada umumnya pernikahan adalah sebuah bagian metamorfosis kehidupan manusia sebagai final kedewasaanya. Dimana seseorang akan memiliki tanggung jawab lain atas kehidupan barunnya. Bagi etnis Tionghoa sendiri pernikahan dianggap sebagai tolak ukur kesuksesan seseorang dalam hidupnnya. Oleh karena itu mereka akan membuat pesta pernikahan ini dengan mahal, mewah, sarat tradisi bahkan rumit. Karena siklus ini merupakan suatu peristiwa penting dalam kehidupan setiap insan.Upacara pernikahan pada etnis ini tidak seragam di semua tempat, melainkan tergantung pada tempat diadakannya, adat lain, adat setempat, agama, pengetahuan dan pengalaman mereka masing-masing. Dapat disimpulkan bahwa sebuah pernikahan dalam etnis tionghoa didasarkan kekerabatan, keleluhuran , kemanusiaan dan sebagai pelindung keluarga.
Universitas Sumatera Utara
23
4. Adat menetap sesudah menikah Dalam adat Tionghoa, ahli waris akan di teruskan oleh anak laki-laki tertua dalam suatu keluarga dan akan meneruskan pemujaan leluhur yang dilakukan oleh ayahnnya. Oleh karena itu pihak wanita yang telah menikah di wajibkan hidup dan tinggal bersama keluarga pihak suami.Karena pada prinsipnya setiap anak di wajibkan untuk tetap berbakti pada orang tua-nya sebelum maupun setelah mereka menikah. Hal ini akan menjadi gambaran bagi generasi seterusnnya dalam berbakti pada orang tuannya. Namun untuk anak laki-laki selanjutnnya diberi kebebasan dalam menentukan tempat tinggalnya sesudah menikah. 5. Kedudukan Wanita Pada masa lalu para wanita etnis tionghoa mengalami diskriminasi gender yang sangat kuat. Adannya perbedaan perlakuan yang diterimanya sangat berbeda dengan pria. Saat para wanita etnis Tionghoa mulai beranjak dewasa, ia mulai mengalami larangan untuk keluar rumah (di pingit). Dan saat sudah menikah para wanita juga tidak di perkenankan untuk memilih tempat tinggal, melainkan harus tinggal bersama suaminnya serta mereka wajib untuk patuh dan tunduk pada mertuanya.Para wanita juga mendapat larangan untuk mendapat bagian kehidupannya diluar rumah. Pada masa kini hal tersebut sudah mulai di tinggalkan, para wanita sudah mulai bergabung dengan perkumpulan-perkumpulan di luar. Selain itu para wanita juga berhak mnedapatkan harta yang sama. Bahkan dalam memuja para leluhur terdahulu telah di warisakan kepadannya, hal ini membuat para
Universitas Sumatera Utara
24
suami terkadung harus tinggal bersama dengan istrinnya.Dengan adanya pembaharuan kedudukan wanita saat ini, sehingga kecenderungan untuk memilki anak laki-laki tidak lagi sekuat seperti pada masa lalu.
E. Indonesia Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang mempunyai 17.508 pulau. Indonesia terbentang antara 6 derajat garis lintang utara sampai 11 derajat garis lintang selatan, dan dari 97 derajat sampai 141 derajat garis bujur timur serta terletak antara dua benua yaitu benua Asia dan Australia/Oceania. Posisi strategis ini mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap kebudayaan, sosial, politik, dan ekonomi. Penduduk Indonesia dapat dibagi secara garis besar dalam dua kelompok.Di bagian barat Indonesia penduduknya kebanyakan adalah suku Melayu sementara di
timur
adalah
suku
Papua,
yang
mempunyai
akar
di
kepulauan
Melanesia.Banyak penduduk Indonesia yang menyatakan dirinya sebagai bagian dari kelompok suku yang lebih spesifik, yang dibagi menurut bahasa dan asal daerah, misalnya Jawa, Sunda atau Batak. Selain itu juga ada penduduk pendatang yang jumlahnya minoritas diantaranya adalah Etnis Tionghoa, India, dan Arab.Mereka sudah lama datang ke nusantara dengan jalur perdagangan sejak abad ke 8 SM dan menetap menjadi bagian dari Nusantara.Di Indonesia terdapat sekitar 3% populasi etnis Tionghoa. Angka ini berbeda-beda karena hanya pada tahun 1930-an terakhir kalinya
Universitas Sumatera Utara
25
pemerintah melakukan sensus dengan menggolong-golongkan masyarakat Indonesia ke dalam suku bangsa dan keturunannya. Karakter orang di Indonesia berbeda-beda berdasarkan etnisnya. Berikut beberapa streotype karakter orang Indonesia berdasarkan etnisnya 1.
Orang Batak adalah dua kata yang banyak difahami oleh orang diluar suku Batak sebagai gambaran orang yang tidak mau kalah, bersuara keras, terbuka, spontan, agresif, pemberani, tetap orang batak juga dikenal sebagai pekerja keras, gigih dan selalu berorientasi kedepan, solidaritasnya tinggi, kekeluargaan, dan keakrabannya erat.
2.
Orang Jawa, suku Jawa diidentikkan dengan berbagai sikap sopan, segan, menyembunyikan perasaan alias tidak suka langsung-langsung, menjaga etika berbicara baik secara konten isi dan bahasa perkataan maupun objek yang diajak berbicara, selain itu orang Jawa dikenal dengan keegoisannya yang tinggi dan kurang mau bergaul dengan suku lain yang ada di Indonesia.
3.
Orang Aceh, lembut dan penuh kasih sayang adalah sifat masyarakat Aceh sesungguhnya, orang Aceh juga dikenal dengan watak militan yang artinya memiliki semangat juang yang tinggi, reaktif atas keberadaanya, optimis, dan loyal, selain itu ada anggapan bahwa orang Aceh itu orang yang pendendam.
4.
Orang Sunda terkenal dengan karakter yang lemah lembut, halus perkataan, ramah, selain itu orang-orang Sunda dikatakan boros dan malas karena tidak mau merantau ke tempat yang di luar daerahnya.
Universitas Sumatera Utara