9
BAB II LANDASAN TEORI
A. Landasan Teori 1. Pengertian Administrasi Istilah administrasi berasal dari bahasa latin yaitu “Ad” dan “ministrate” yang artinya pemberian jasa atau bantuan, yang dalam bahasa Inggris disebut “Administration” artinya “To Serve”, yaitu melayani dengan sebaik-baiknya. Administrasi pada intinya melingkupi seluruh kegiatan dari pengaturan hingga pengurusan sekelompok orang yang memiliki diferensiasi pekerjaan untuk mencapai suatu tujuan bersama. Administrasi dapat berjalan dengan satu atau banyak orang terlibat di dalamnya. Ilmu administrasi adalah cabang ilmu atau disiplin ilmu sosial yang melakukan studi terhadap “administration”. Administrasi dapat diartikan sebagai kegiatan memberi layanan dalam mengelola informasi, mengelola manusia, mengelola materi ke arah suatu tujuan yang di tetapkan
dalam
organisasi.
Pengertian
ilmu
administrasi
banyak
dikemukakan oleh para ahli. Pengertian administrasi dibagi menjadi dua yaitu pengertian secara luas dan sempit.
10
a.
Pengertian Administrasi Dalam Arti Sempit Menurut Hadawi dan Martina Nawawi (Rohmat Margiati, 2010: 8) : “Pekerjaan tulis menulis, catat–mencatat, mengadakan, menyimpan dan mengirim segala jenis warkat yang berhubungan dengan kegiatan–kegiatan untuk mewujudkan suatu tugas pokok suatu organisasi.”
b. Pengertian Administrasi Dalam Arti Luas Menurut Faried Ali (2011:19) : “Mengurus dan pengurusan diarahkan pada penciptaan keteraturan sebab pengurusan yang teratur menghasilkan pencapaian tujuan yang tepat atau pada tujuan yang diinginkan.” Berdasarkaan pengertian dari ahli administrasi diatas
dapat
dikatakan bahwa administrasi adalah melingkupi seluruh kegiatan dari pengaturan mendukung
hingga
pengurusan
pekerjaan
untuk
sekelompok mencapai
orang
suatu
yang
tujuan
saling
bersama.
Administrasi dapat berjalan dengan satu atau banyak orang terlibat di dalamnya.
2. Pengertian Administrasi Pajak Administrasi perpajakan merupakan salah satu dari tiga unsur perpajakan lainnya, yaitu kebijakan perpajakan dan udang - undang perpajakan. Menurut Safri Nurmantu (2005:7) menyatakan:
11
“ Penatausahaan dan pelayanan terhadap kewajiban - kewajiban dan hak - hak wajib pajak, baik penatausahaan dan pelayanan tersebut dilakukan di kantor fiskus maupun di kantor wajib pajak.”
Administrasi pajak menurut Safri Nurmantu (2005:7) mempunyai dua pengertian, yakni administrasi pajak dalam arti luas dan Administrasi dalam arti sempit.
a. Pengertian administrasi pajak Dalam Arti Sempit Administrasi pajak dalam arti sempit adalah penatausahaan dan pelayanan terhadap kewajiban – kewajiban dan hak – hak wajib pajak, baik penatausahaan dan pelayanan tersebut dilakukan dalam kegiatan penatausahaan adalah : a.
Pencatatan ( Recording )
b.
Penggolongan ( Classifiying )
c.
Penyimpanan ( Filling )
d.
Pelayanan ( Serving )
e.
Menghitung dan Memperkirakan ( Assesing )
f.
Memeriksa ( Auditing )
g.
Menagih ( Collecting )
b. Pengertian Administrasi Pajak dalam Arti Luas Administrasi dalam arti luas dapat dilihat sebagai berikut : a. Fungsi, Meliputi fungsi perencanaan, pengorganisasian, pergerakan, dan pengawasan.
12
b. Sistem Seperangkat unsur yang saling berkaitan yang berfungsi bersama – sama untuk mencapai tujuan menyelesaikan suatu tugas tertentu.
c. Lembaga Sebagai salah satu Direktorat Jendral Pajak pada Departemen Keuangan Republik Indonesia yang terwujud pada adanya kantor - kantor mulai dari kantor pelayanan pajak, dan kantor pemeriksaan dan penyidikan pajak.
3. Teori Pajak a. Pengertian Pajak Definisi Pajak menurut Rochmat Soemitro (Tony Marsyahrul 2005:2) adalah : Pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjuk dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. ”Dapat dipaksakan” mempunyai arti apabila utang pajak tidak terbayar, utang tersebut dapat ditagih dengan kekerasan, seperti surat paksa, sita, lelang dan sandera. Sedangkan pengertian pajak berdasarkan pasal 1 ayat (1) Undang–undang No. 6 Tahun
1983, sebagaimana diubah terakhir
13
dengan
Undang–Undang No.
42
tahun
2009
tentang Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah: “ Pajak adalah kontribusi wajib kepada Negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Definisi tersebut dapat Penulis simpulkan bahwa ada Lima unsur pokok dalam definisi pajak pajak adalah :
1. Iuran/pungutan dari rakyat kepada negara 2. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang 3. Pajak dapat dipaksakan 4. Tanpa jasa timbal atau kontraprestasi 5. Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara (pengeluaran umum pemerintah)
Ciri-ciri Pajak yang terdapat dalam pengertian pajak antara lain sebagai berikut :
1.
Pajak dipungut oleh negara, baik oleh pemerintah pusat maupun oleh pemerintah daerah berdasarkan atas undangundang serta aturan pelaksanaannya.
2.
Pemungutan pajak mengisyaratkan adanya alih dana (sumber daya) dari sektor swasta (wajib pajak membayar pajak) ke sektor negara (pemungut pajak/administrator pajak).
14
3.
Pemungutan pajak diperuntukan bagi keperluan pembiayaan umum
pemerintah
dalam
rangka
menjalankan
fungsi
pemerintahan, baik rutin maupun pembangunan.
4.
Tidak dapat ditunjukan adanya imbalan (kontraprestasi) individual oleh
pemerintah terhadap pembayaran pajak yang
dilakukan oleh para wajib pajak.
5. Berfungsi sebagai budgeter atau mengisi kas negara/anggaran negara
yang
diperlukan
untuk
menutup
pembiayaan
penyelenggaraan pemerintahan, pajak juga berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan negara dalam lapangan ekonomi dan sosial (fungsi mengatur / regulatif)
Dari definisi pajak tersebut dapat ditarik 4 (empat) kriteria yang membedakan pajak dengan pungutan ataupun kontribusi lainnya, sebagai berikut: 1.
Merupakan Kontribusi wajib kepada Negara Bagi setiap orang atau badan yang telah memenuhi persyaratan dan kondisi tertentu, pembayaran pajak menjadi wajib untuk dilaksanakan. Karena merupakan kewajiban, maka pembayaran pajak pun diatur sedemikian rupa tata cara dan
prosedurnya
sehingga
orang
atau
badan
yang
berkewajiban membayar pajak dapat mengikutinya dengan benar. Penggunaan kata “kontribusi” dimaksud untuk
15
menunjukan besarnya peran serta para pembayar pajak bagi Negara. 2.
Dapat dipaksakan berdasarkan undang-undang Terkait dengan kriteria pertama, maka pajak dapat dipaksakan kepada siapa saja yang memang secara ketentuan perundangan perpajakan telah memenuhi kriteria untuk membayar pajak. Meskipun demikian, perlu ditekankan bahwa pemaksaan dalam hal ini senantiasa didasarkan kepada ketentuan perundangan perpajakan yang berlaku.
3.
Pembayaran tidak mendapatkan imbalan yang langsung Wajib pajak yang telah membayar pajak, berapa pun besarnya, tidak akan mendapatkan imbalan atau kompensasi dari Negara yang secara spesifik dapat ditunjukan langsung. Berbeda dengan retribusi parkir misalnya, pembayar uang parkir
akan
mendapatkan
Space
parkir
yang
telah
dibayarnya. Akan tetapi, pembayar pajak tidak akan mendapatkan kompensasi langsung seperti hal itu. 4.
Digunakan untuk keperluan Negara bagi kemakmuran rakyat Penerimaan Negara yang berasal dari pembayaran pajak akan masuk ke dalam APBN dan digunakan bagi keperluan operasional pemerintah dalam rangka mewujudkan visi dan misi Negara, yang secara umum adalah untuk meningkatkan kemakmuran masyarakat.
16
Pajak dari perspektif ekonomi dipahami sebagai beralihnya sumber daya dari sektor privat kepada sektor publik. Pemahaman ini memberikan gambaran bahwa adanya pajak menyebabkan dua situasi menjadi berubah. Pertama, berkurangnya kemampuan individu dalam menguasai sumber daya untuk kepentingan penguasaan barang dan jasa. Kedua, bertambahnya kemampuan keuangan negara dalam penyediaan barang dan jasa publik yang merupakan kebutuhan masyarakat.
b. Subjek Pajak Penghasilan Subjek pajak adalah orang atau badan yang dituju oleh undang undang untuk dikenakan pajak (Pasal 1 UU PPh). Pajak penghasilan merupakan pajak subjektif, artinya untuk dapat mengenakan pajak penghasilan harus dilihat dahulu kondisi subjeknya pertama kali. Pengetahuan tentang subjek pajak ini menjadi penting karena untuk menentukan status seseorang yang nantinya akan dikenai tarif pajak sesuai tarifnya. Jenis subjek Pajak 1.
Orang pribadi sebagai subjek pajak dapat bertempat tinggal atau berada di Indonesia ataupun di luar Indonesia.
2.
Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan merupakan subjek pajak pengganti, menggantikan yang berhak yaitu ahli waris. Penujukan warisan yang belum terbagi sebagai subjek pajak pengganti dimaksudkan agar pengenaan pajak atas
17
penghasilan
yang
berasal
dari
warisan
tersebut
tetap
dilaksanakan. 3.
Badan adalah sekumpulan orang atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun tidak melakukan usaha meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, BUMN dan BUMD dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan,
perkumpulan,
yayasan,
organisasi
massa,
organisasi sosial politik, atau organisasi yang sejenis, lembaga, dan bentuk badan usaha lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
c. Objek Pajak Penghasilan Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk: a.
Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan,
honorarium,
komisi,
bonus,
gratifikasi,uang
pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.
18
b.
Hadiah dari undian, pekerjaan, atau kegiatan dan penghargaan.
c.
laba usaha.
d. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk: 1.
Keuntungan
karena
perseroan,persekutuan,
pengalihan dan
badan
harta
kepada
lainnya
sebagai
pengganti saham atau penyertaan modal. 2.
Keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya.
3.
Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apa pun.
4.
Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan,
atau sumbangan, kecuali yang diberikan
kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan diantara pihak-pihak yang bersangkutan, dan
19
5.
Keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan,
atau
permodalan
dalam
perusahaan
pertambangan. e. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak. f.
Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang.
g. Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi. h.
Royalti atau imbalan atas penggunaan hak.
i.
Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta.
j.
Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala.
k.
Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
l.
Keuntungan selisih kurs mata uang asing.
m. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva. n.
Premi asuransi.
o.
Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas.
20
p. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenai pajak. q.
Penghasilan dari usaha yang berbasis syariah.
r.
Imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan, dan
s.
Surplus Bank Indonesia.
d. Fungsi Pajak 1. Budgeter (Anggaran) sebagai alat (sumber) untuk memasukan uang sebanyakbanyaknya ke dalam kas Negara dengan tujuan untuk membiayai pengeluaran Negara, yaitu pengeluaran rutin dan pembangunan. 2. Regulerend (Mengatur) Regulerend disebut juga sebagai fungsi mengatur, sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu di luar bidang keuangan, misalnya bidang ekonomi, politik, pertahanan keamanan, seperti
mengadakan
memberikan
perubahan-perubahan
pengecualian-pengecualian,
tarif
dan
keringanan-
keringanan atau sebaliknya, yang ditunjukan kepada masalah tertentu.
21
e. Pengelompokan Pajak 1.
Menurut golongannya a.
Pajak Langsung, yaitu Pajak yang harus dipikul sendiri oleh Wajib Pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh : Pajak Penghasilan
b.
Pajak Tidak Langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai
2.
Menurut Sifatnya a.
Pajak Subjektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subyeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. Contoh : Pajak Penghasilan
b.
Pajak Objektif, yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
3.
Menurut Lembaganya a.
Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga Negara.
22
Contoh : Pajak penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan , dan Bea Materai. b.
Pajak Daerah, yaitu pajak yang di pungut oleh Pemerintah Daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Contoh : Pajak Hiburan, Pajak Reklame, dan lain lain.
f. Asas Pemungutan Pajak 1.
Asas domisili (asas tempat tinggal), yaitu Negara berhak mengenakan Pajak atas seluruh penghasilan Wajib Pajak yang bertempat tinggal di wilayahnya, baik penghasilan yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Asas ini berlaku untuk wajib pajak dalam negeri.
2.
Asas Sumber, yaitu Negara berhak mengenakan Pajak atas Penghasilan
yang
bersumber
di
wilayahnya
tanpa
memperhatikan tempat tinggal Wajib Pajak. 3.
Asas Kebangsaan, yaitu pengenaan Pajak dihubungkan dengan kebangsaan suatu Negara. Misalnya Pajak bangsa asing di Indonesia dikenakan pada setiap orang yang bukan berkebangsaan
Indonesia
yang
bertempat
tinggal
Indonesia. Asas ini berlaku untuk Wajib Pajak Luar Negeri.
di
23
g. Sistem Pemungutan Pajak 1.
Official Assessment System, yaitu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak.
2.
Self Assessment System, adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada wajib pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang.
3.
With holding system, adalah sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besar pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.
h. Syarat Pemungutan Pajak Agar pemungutan pajak tidak menimbulkan hambatan atau perlawanan maka pemungutan pajak harus memenuhi syarat sebagai berikut : 1.
Pemungutan pajak harus adil ( Syarat Keadilan ) Yaitu, dikenakan kepada orang – orang pribadi sebanding dengan kemampuannya untuk membayar ( Ability to pay ) pajak
tersebut
dan
sesuai
dengan
manfaat
yang
diterimanya. 2.
Pemungutan pajak harus berdasarkan undang – undang ( Syarat Yuridis ) Peraturan perundang – undangan perpajakan harus dapat memberikan jaminan hukum, baik
24
untuk negara maupun bagi warga negaranya, baik fiskus maupun bagi wajib pajak. Artinya setiap pengenaan dan pemungutan pajak harus berdasarkan undang – undang. 3.
Tidak mengganggu perekonomian ( Syarat ekonomi ) Pajak yang dibayarkan oleh warga negara selaku wajib pajak yang di pungut oleh fiskus harus diusahakan oleh peraturan perpajakan agar tidak menghambat lancarnya proses produksi, distribusi dan perdagangan.
4.
Pemungutan pajak harus efisien ( Syarat Financial ) Sesuai dengan fungsi pajak sebagai sumber penerimaan negara, maka biaya pemungutan pajak tidak boleh terlalu besar. Di samping itu untuk menghindari tertimbunnya tunggakan pajak yang tidak atau belum terbayar untuk menambah penerimaan negara maka haruslah teliti apakah syarat –syarat penting telah dipenuhi untuk dapat memungut pajak dengan efektif dan efisien.
5.
i.
Sistem pemungutan pajak harus sederhana.
Dasar pemotongan pajak penghasilan 1
Penghasilan Bruto adalah pembayaran penghasilan deviden, bunga, royalty, hadiah, dan penghargaan
2
Perkiraan Penghasilan Netto adalah pembayaran penghasilan sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta dan jasa jasa yang di tetapkan Direktur Jenderal Pajak
25
yang diberi menentukan
wewenang untuk jenis
jenis
jasa
menetapkan dan
besarnya
dan untuk perkiraan
penghasilan netto Direktur Jenderal Pajak memanfaatkan data dan informasi intern dan informasi dari pihak pihak lain.
4. Pajak Penghasilan Pasal 23 Menurut Surjoputro, Djoko. (2009) . “Pajak Penghasilan Pasal 23 adalah pajak yang dipotong atas penghasilan yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau hadiah dan penghargaan, selain yang telah dipotong PPh Pasal 21.”
5. Dasar Hukum a.
UU No. 36 Tahun 2008 tentang perubahan keempat atas UU No. 7 tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan
b.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 244/PMK.03/2008 Tentang jenis jasa lain sebagaimana dimaksud dalam pasal 23 ayat (1) huruf C angka 2 UU No.7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan dengan perubahan terakhir UU no.36 Tahun 2008.
c.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007, PPh Pasal 23 yang dipotong oleh Pemotong PPh harus disetor paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
d.
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE – 53/PJ/2009 tentang
Bentuk
Formulir
Surat
Pemberitahuan
Pajak
Penghasilan Final, PPH Pasal 4 ayat (2), Surat pemberitahuan
26
Pajak Penghasilan Pasal 15, Pasal 22, Pasal 23 dan/atau Pasal 26 Serta Bukti Pemotongan/Pemungutan.
6. Kedudukan Dalam UU PPh 1.
Merupakan kewajiban bagi Wajib Pajak dalam negri untuk melakukan pemotongan sebagai Pemotong PPh Pasal 23 sehingga jika kewajiban tersebut tidak dipenuhi dapat dikenakan sanksi perpajakan.
2.
PPh Pasal 23 tersebut merupakan pembayaran pendahuluan atau kredit pajak bagi Wajib Pajak yang menerima penghasilan tersebut.
3.
Kewajiban penyetoran dan pelaporan PPh Pasal 23 bersifat insidental dan hanya dilakukan apabila pada bulan tersebut terdapat pemotongan PPh Pasal 23.
7. Pihak Pemotong Pajak PPh Pasal 23 Berdasarkan ketentuan Pasal 23 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 (Undang-undang Pajak Penghasilan 1984), pemotong Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 adalah : 1)
Badan Pemerintah Tidak ada penjelasan dalam Undang-undang Pajak Penghasilan tentang arti Badan Pemerintah ini. Namun demikian, tidak sulit untuk mengartikan bahwa yang dimaksud dengan Badan
27
Pemerintah adalah Pemerintah negara Republik Indonesia dan Pemerintah Daerah di Indonesia beserta instansi-instansi di bawahnya. Dalam prakteknya, pemotongan PPh Pasal 23 oleh instansi pemerintah dilakukan oleh bendahara pemerintah. 2)
Subjek Pajak Badan dalam negeri Berdasarkan Pasal 2 ayat (3) huruf b Undang-undang Pajak Penghasilan 1984, subjek pajak badan dalam negeri adalah badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia. Istilah didirikan mengandung arti bahwa badan tersebut didirikan berdasarkan ketentuan hukum di Indonesia. Sementara itu istilah bertempat
kedudukan
menunjukkan
bahwa
badan
tersebut
memiliki efektif manajemen di Indonesia di mana pengambilan keputusan-keputusan penting tentang badan tersebut dilakukan di Indonesia. 3) Penyelenggara kegiatan Penyelenggara kegiatan bisa berbentuk badan, orang pribadi atau kepanitiaan yang melakukan suatu event atau kegiatan. Contoh penyelenggara kegiatan adalah orang pribadi yang menyelenggar akan pembukuan atau badan yang mengorganisir suatu acara seperti pertunjukkan, perlombaan, seminar dan lain-lain. 4) Bentuk Usaha Tetap (BUT) BUT adalah bagian dari Subjek Pajak luar negeri yang melakukan kegiatan di Indonesia sehingga menerima atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia. Walaupun termasuk
28
Wajib Pajak luar negeri, pemenuhan hak dan kewajiban BUT disamakan dengan pemenuhan hak dan kewajiban Wajib Pajak dalam negeri. 5) Perwakilan Perusahaan Luar Negeri Lainnya Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya selain BUT yang ada di Indonesia juga merupakan pemotong PPh Pasal 23. Contohnya adalah Representative Office (RO) dari perusahaan-perusahaan asing. 6) Orang Pribadi yang ditunjuk oleh Direktorat Jenderal Pajak sebagai pemotong, yaitu: a) Akuntan,
arsitek, dokter, notaris, Pejabat Pembuat Akte
Tanah (PPAT) kecuali camat, pengacara dan konsultan. b) Orang Pribadi yang menjalankan usaha dan menyelenggaran pembukuan.
8. Pihak Yang Dipotong PPh Pasal 23
Berdasarkan Pasal 23 ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan, penerima penghasilan yang dapat dipotong PPh Pasal 23 adalah Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap. Dengan demikian, fihak yang dipotong PPh Pasal 23 bisa Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri ataupun Wajib Pajak badan dalam negeri. Ini berarti bahwa jika penerima penghasilan adalah Wajib Pajak luar negeri, kecuali BUT, maka PPh Pasal 23 tidak bisa dikenakan.
29
9. Objek Pemotongan dan Tarif PPh Pasal 23 Penghasilan yang menjadi objek PPh Pasal 23 adalah : 1.
Dividen selain kepada Wajib Pajak Orang Pribadi dalam
negeri.
Dividen adalah pembagian laba kepada pemegang saham suatu perseroan, pemegang polis asuransi dari perusahaan asuransi, ataupun pembagian sisa hasil usaha koperasi kepada anggota koperasi. Dividen merupakan salah satu jenis penghasilan yang dapat menjadi objek pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g Undang-undang PPh.
Selain dalam bentuk tunai, dividen juga bisa diberikan dalam bentuk saham kepada pemegang saham sehingga menambah jumlah kepemilikan sahamnya di sebuah perseroan. Dividen jenis ini biasa disebut dividen saham (stock dividend). Hal tersebut juga dinyatakan secara tegas dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g Undang-undang PPh yang menyatakan bahwa pembagian laba dalam bentuk dividen juga termasuk dalam pengertian dividen. Sebenarnya perlakuan PPh terhadap dividen saham sama saja dengan dividen biasa, yaitu :
a.
Dividen saham bukan objek PPh jika memenuhi ketentuan Pasal 4 ayat (3) huruf f UU PPh, yaitu dividen yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik
30
negara, atau badan usaha milik daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat dividen berasal dari cadangan laba ditahan, dan kepemilikan minimal 25% bagi PT, BUMN dan BUMD yang menerima dividen. b.
Dividen saham selain dalam point di atas merupakan objek Pajak Penghasilan. Pelunasan PPh dilakukan melalui pemotongan PPh Final 10% apabila yang menerimanya adalah Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri. Selain itu, dividen saham dilakukan melalui pemotongan PPh Pasal 23 sebesar 15%, kecuali dividen yang diterima dari luar negeri yang tentunya pemotongannya sesuai dengan ketentuan domestik atau P3B yang berlaku.
Dividen merupakan bagian laba yang diperoleh pemegang saham atau pemegang polis asuransi atau pembagian sisa hasil usaha koperasi yang diperoleh anggota koperasi. Pengertian dividen ini mengacu kepada Pasal 4 ayat (1) huruf g Undangundang Pajak Penghasilan 1984. Perlu ditegaskan bahwa tidak semua dividen yang memenuhi definisi di atas adalah objek PPh Pasal 23. Ada dividen yang juga bukan merupakan objek pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f Undang-
31
undang Pajak Penghasilan 1984. Terdapat juga dividen yang merupakan objek pemotongan lain sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (2c) dan Pasal 26 ayat (1) huruf a Undang-undang Pajak Penghasilan 1984
2.
Bunga.
Pengertian bunga merujuk kepada Pasal 4 ayat (1) huruf f Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 di mana dalam pengertian bunga termasuk juga premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang. Seperti halnya dividen, tidak semua bunga juga menjadi objek pemotongan PPh Pasal 23. Ada jenis bunga yang bukan merupakan objek pajak sehingga tidak boleh dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (3) huruf h Undang-undang Pajak Penghasilan. Jenis bunga yang lain seperti bunga deposito dan tabungan menjadi objek pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) final. Ada juga bunga yang menjadi objek pemotongan PPh Pasal 26 jika penerimanya adalah Wajib Pajak luar negeri sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (1) huruf b Undang-undang Pajak Penghasilan.
3.
Royalty. Berdasarkan penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf h Undangundang Pajak Penghasilan 1984, imbalan berupa royalti terdiri dari tiga kelompok, yaitu imbalan sehubungan dengan penggunaan:
32
a.
hak atas harta tak berwujud, misalnya hak pengarang, paten, merek dagang, formula, atau rahasia perusahaan.
b.
hak atas harta berwujud, misalnya hak atas alat-alat industri, komersial, dan ilmu pengetahuan. Yang dimaksud dengan alat-alat industri, komersial dan ilmu pengetahuan adalah setiap peralatan yang mempunyai nilai intelektual, misalnya peralatan-peralatan yang digunakan di beberapa industri khusus seperti anjungan pengeboran minyak (drilling rig), dan sebagainya.
c.
informasi, yaitu informasi yang belum diungkapkan secara umum, walaupun mungkin belum dipatenkan, misalnya pengalaman di bidang industri, atau bidang usaha lainnya. Ciri dari informasi dimaksud adalah bahwa informasi tersebut telah tersedia sehingga pemiliknya tidak perlu lagi melakukan riset untuk menghasilkan informasi tersebut. Tidak termasuk dalam pengertian informasi di sini adalah informasi yang diberikan oleh misalnya akuntan publik, ahli hukum, atau ahli teknik sesuai dengan bidang keahliannya, yang dapat diberikan oleh setiap orang yang mempunyai latar belakang disiplin ilmu yang sama.
33
Perlu diperhatikan bahwa untuk imbalan royalti ini ada kemungkinan juga merupakan objek pemotongan PPh Pasal 26 jika penerima penghasilannya adalah Wajib Pajak luar negeri.
4.
Hadiah, penghargaan, bonus dan sejenisnya selain yang telah dipotong PPh Pasal 21.
Hadiah, penghargaan dan bonus sebenarnya merupakan objek pemotongan PPh Pasal 21 juga. Namun harus diperhatikan bahwa ruang lingkup pemotongan PPh Pasal 21 adalah bahwa penerima penghasilannya Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri. Apabila penerimanya adalah Wajib Pajak badan dalam negeri atau BUT, maka PPh Pasal 21 tidak bisa diterapkan. Nah, untuk jenis Wajib Pajak tersebut maka PPh Pasal 23 lah yang bisa diterapkan.
Contoh untuk kasus PPh Pasal 23 ini misalnya sebuah yayasan lingkungan hidup memberikan penghargaan kepada perusahaan yang memiliki kepedulian kepada lingkungan sekitarnya. Apabila bentuk penghargaan ini diberikan dalam bentuk uang atau barang yang memiliki nilai naka penghargaan ini
menjadi
objek
pemotongan
PPh
Pasal
23
karena
penerimanya adalah Wajib Pajak badan dalam negeri. Besarnya PPh Pasal 23 adalah 15% dikalikan jumlah bruto nilai penghargaan.
34
Catatan penulis : Dipotong PPh Pasal 21 apabila diterima Wajib Pajak Orang Pribadi, dan dipotong PPh Pasal 23 apabila diterima Wajib Pajak Badan. 5.
Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-undang PPh Sewa (rent expense) atau imbalan lainnya sehubungan dengan penggunaan harta, juga merupakan objek pemotongan
PPh Pasal
23. Dalam artikel ini, kita akan membahas mengenai pengertian sewa, tarif PPh Pasal 23 dan DPP atau dasar pengenaan pajaknya. Sewa (atau imbalan dengan nama apapun) adalah penghasilan sehubungan dengan penggunaan harta gerak atau harta tak gerak, misalnya sewa mobil, sewa mesin fotokopi, sewa lukisan dan harta lainnya.
Dalam Surat Edaran (SE) Nomor SE-35/PJ/2010 tanggal 9 Maret 2010, Dirjen Pajak menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kata “sewa” adalah penghasilan atau imbalan sehubungan dengan kesepakatan untuk memberikan hak menggunakan harta selama jangka waktu tertentu, baik dengan perjanjian tertulis maupun lisan, sehingga harta tersebut hanya digunakan oleh penerima hak (penyewa) selama jangka waktu yang telah disepakati. Penjelasan ini diharapkan dapat menghilangkan perdebatan yang selama ini sering
35
terjadi,
misalnya
dalam
soal
sewa
gudang
dengan
jasa
penitipan/penyimpanan, jasa angkutan umum kendaraan dengan sewa (charter) kendaraan, dan beberapa transaksi sejenis.
Sewa harta (rent expenses) yang menjadi objek pemotongan PPh Pasal 23 adalah imbalan sewa yang terutang atau kita bayarkan kepada Subjek Pajak dalam negeri, baik orang pribadi maupun badan, dan kepada BUT (bentuk usaha tetap atau permanent establishment). Tarif PPh Pasal 23 atas sewa harta ditetapkan sebesar 2% dengan ketentuan jika si penerima imbalan sewa tidak memiliki NPWP, maka tarifnya dinaikkan menjadi 4% [Pasal 23 ayat (1a) UU PPh]. Sedangkan yang menjadi DPP adalah jumlah bruto sewa, dalam bentuk apapun (barang atau uang). Dengan demikian, PPh Pasal 23 atas sewa harta dihitung = 2% (atau 4%) dikalikan dengan jumlah bruto imbalan sewa.
Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta merupakan penghasilan yang diterima atau diperoleh sehubungan
dengan
kesepakatan
untuk
memberikan
hak
menggunakan harta selama jangka waktu tertentu baik dengan perjanjian tertulis maupun tidak tertulis sehingga harta tersebut hanya dapat digunakan oleh penerima hak selama jangka waktu yang telah disepakati. Definisi ini ditegaskan dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-35/PJ/2010 tentang Pengertian Sewa Dan Penghasilan Lain Sehubungan Dengan Penggunaan Harta, Jasa
36
Teknik, Jasa Manajemen, Dan Jasa Konsultan Sebagaimana Dimaksud Dalam Pasal 23 Ayat (1) Huruf c Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang
Perubahan Keempat Atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan. Perlu digaris bawahi bahwa tidak termasuk dalam objek pemotongan PPh Pasal 23 adalah sewa tanah dan/atau bangunan yang telah dikenakan PPh final berdasarkan Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan 1984.
Tidak semua imbalan sewa (rent expenses) harus dipotong PPh Pasal 23. Berikut ini jenis sewa yang tidak dipotong PPh Pasal 23, yaitu:
a.
Imbalan sewa yang dibayarkan atau terutang kepada perbankan yang berstatus Subjek Pajak dalam negeri Pasal 23 ayat (4) UU PPh.
b.
Imbalan sewa tanah maupun bangunan, karena khusus untuk imbalan sewa ini ditetapkan sebagai objek pemotongan PPh Final Pasal 4 ayat (2) oleh Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996 stdd Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2002.
c.
Imbalan sewa kapal laut, yang dibayarkan atau terutang kepada pihak yang mempunyai surat izin usaha di bidang pelayaran atau pengangkutan di laut. Sebab khusus untuk sewa ini ditetapkan sebagai objek PPh Pasal 15 sesuai
37
Keputusan
Menteri
Keuangan
(KMK)
Nomor
416/KMK.04/1996 dan KMK Nomor 417/KMK.04/1996. d.
Imbalan
sewa
kapal
terbang (pesawat
udara),
yang
dibayarkan atau terutang kepada pihak yang mempunyai izin usaha di bidang penerbangan atau pengangkutan di udara. Sebab sewa ini ditetapkan sebagai objek PPh Pasal 15 sesuai KMK Nomor 475/KMK.04/1996.
Ketentuan-ketentuan
tersebut diatas berlaku efektif sejak 1 Januari 2009
6.
Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 Undang-undang PPh.
Jasa konstruksi telah dikenakan PPh final Pasal 4 ayat (2) sehingga tidak lagi menjadi objek pemotongan PPh Pasal 23. Dengan demikian, dalam kelompok ini pada umumnya adalah imbalan jasa selain dari imbalan jasa konstruksi. Pengertian jasa teknik, jasa manajemen, dan jasa konsultan dapat kita temui di Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-35/PJ/2010 tentang Pengertian Sewa Dan Penghasilan Lain Sehubungan Dengan Penggunaan Harta, Jasa Teknik, Jasa Manajemen, Dan Jasa Konsultan Sebagaimana Dimaksud Dalam Pasal 23 Ayat (1) Huruf c Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang
Perubahan
38
Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan.
Jasa teknik merupakan pemberian jasa dalam bentuk pemberian informasi yang berkenaan dengan pengalaman dalam bidang industri, perdagangan dan ilmu pengetahuan yang dapat meliputi :
1.
pemberian informasi dalam pelaksanaan suatu proyek tertentu, seperti pemetaan dan/atau pencarian dengan bantuan gelombang seismik;
2.
pemberian informasi dalam pembuatan suatu jenis produk tertentu, seperti pemberian informasi dalam bentuk gambar-gambar, petunjuk produksi, perhitunganperhitungan dan sebagainya; atau
3.
pemberian informasi yang berkaitan dengan pengalaman di bidang manajemen, seperti pemberian informasi melalui pelatihan atau seminar dengan peserta dan materi yang telah ditentukan oleh pengguna jasa.
Jasa manajemen merupakan pemberian jasa dengan ikut serta secara langsung dalam pelaksanaan atau pengelolaan manajemen. Sementara itu Jasa konsultan merupakan pemberian advice (petunjuk, pertimbangan, atau nasihat) profesional dalam suatu bidang usaha, kegiatan, atau pekerjaan yang dilakukan oleh tenaga ahli atau perkumpulan tenaga ahli, yang tidak disertai dengan
39
keterlibatan
langsung
para
tenaga
ahli
tersebut
dalam
pelaksanaannya.
Untuk jasa lain, Undang-undang Pajak Penghasilan, melalui Pasal 23 ayat (2), memberikan wewenang kepada Menteri Keuangan untuk mengatur lebih lanjut tentang jenis jasa lain ini dengan Peraturan Menteri Keuangan. Untuk itu Menteri Keuangan telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 244/PMK.03/2008 Tentang Jenis Jasa Lain Sebagaimana Dimaksud Dalam Pasal 23 Ayat (1) Huruf c Angka 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir Dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
Jumlah PPh Pasal 23 tersebut menjadi dua kali lebih besar (100% lebih tinggi) apabila pihak yang dipotong tidak mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak. Catatan penulis : a)
PPh Pasal 23 pada mulanya hanya terbatas pada capital income berupa bunga, dividen dan royalty karena tidak ada risiko usaha sehingga dikenakan tarif 15% dari jumlah bruto.
b)
Objek PPh Pasal 23 berkembang dengan mengenakan juga terhadap : 1) Hadiah, penghargaan, bonus dan sejenisnya selain yang telah dipotong PPh Pasal 21.
40
2) Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta selain yang terutang PPh Pasal 4 ayat2. 3) Jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain. a. Hadiah, penghargaan dan bonus tidak ada risiko kerugian sehingga dikenakan tarif 15% dari jumlah bruto. b. Sewa dan jasa termasuk kategori active income dan terdapat risiko usaha sehingga dikenakan tarif 2% dari jumlah bruto yang sudah memperhitungkan tingkat keuntungan.
10.
Tarif Pajak Penghasilan Pasal 23
Peraturan Menteri Keuangan No. 244/PMK.03/2008 telah mengatur tarif Pajak Penghasilan Pasal 23. Objek pajak yang terkena PPh Pasal 23 dan Lebih jauh tentang jenis jasa lain yang dikenakan tarif PPh Pasal 23 sebesar 2% dari penghasilan bruto adalah sebagai berikut :
41
Tabel 1 Tarif Objek Pajak Penghasilan Pasal 23 Tarif berNPWP
Tarif nonNPWP
No
Objek Pajak
1
Deviden
15%
30%
2
Bunga
15%
30%
3
Royalti
15%
30%
4
Hadiah dan penghargaan selain yang telah dipotong PPh pasal 21
15%
30%
5
Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai pajak penghasilan
2%
4%
2%
4%
6
Imbalan sehubungan dengan jasa yang telah dipotong pajak penghasilan sebagaimana yang telah dimaksud pasal 21, yaitu : Jasa penilai Jasa Aktuaris Jasa akuntansi, pembukuan, dan atestasi laporan keuangan Jasa perancang Jasa pengeboran di bidang migas kecuali yang dilakukan oleh BUT Jasa penunjang di bidang penambangan migas Jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang penambangan selain migas; Jasa penunjang di bidang penerbangan dan bandar udara; Jasa penebangan hutan Jasa pengolahan limbah Jasa penyedia tenaga kerja Jasa perantara dan/atau keagenan Jasa di bidang perdagangan surat-surat berharga, kecuali yang dilakukan KSEI dan KPEI Jasa kustodian/penyimpanan-/penitipan, kecuali yang dilakukan oleh KSEI Jasa pengisian suara (dubbing) dan/atau sulih suara
42
Jasa mixing film Jasa sehubungan dengan software komputer, termasuk perawatan, pemeliharaan dan perbaikan Jasa instalasi/pemasangan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC, dan/atau TV kabel, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi Jasa perawatan / pemeliharaan / pemeliharaan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC, dan/atau TV kabel, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi Jasa maklon Jasa penyelidikan dan keamanan Jasa penyelenggara kegiatan atau event organizer Jasa pengepakan Jasa penyediaan tempat dan/atau waktu dalam media massa, media luar ruang atau media lain untuk penyampaian informasi Jasa pembasmian hama Jasa kebersihan atau cleaning service Jasa katering atau tata boga Sumber: PMK 244/PMK.03/2008 *) Bagi Wajib Pajak yang dalam hal penerimaan imbalan sehubungan dengan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, besarnya tarif pemotongan adalah lebih tinggi 100% (seratus persen) daripada sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Untuk jasa lain, Undang-undang Pajak Penghasilan, melalui Pasal 23 ayat (2), memberikan wewenang kepada Menteri Keuangan untuk mengatur lebih lanjut tentang jenis jasa lain ini dengan Peraturan Menteri Keuangan. Untuk itu Menteri Keuangan telah
menerbitkan
Peraturan
Menteri
Keuangan
Nomor
43
244/PMK.03/2008 Tentang Jenis Jasa Lain Sebagaimana Dimaksud Dalam Pasal 23 Ayat (1) Huruf c Angka 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir Dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
Pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 23 di hitung dari jumlah bruto dari setiap objek pajak penghasilan pasal 23, Yang dimaksud dengan jumlah bruto adalah seluruh jumlah penghasilan yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, tidak termasuk:
a. Pembayaran gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang diabayarkan oleh WP penyedia tenaga kerja kepada tenaga kerja yang melakukan pekerjaan, berdasarkan kontrak dengan pengguna jasa b. Pembayaran atas pengadaan/pembelian barang atau material (dibuktikan dengan faktur pembelian) atau material Jasa maklon. c. Pembayaran kepada pihak kedua (sebagai perantara) untuk selanjutnya dibayarkan kepada pihak ketiga(dibuktikan dengan faktur tagihan pihak ketiga disertai dengan perjanjian tertulis) Jasa periklanan, event organizer.
44
d. Pembayaran penggantian biaya (reimbursement) yaitu penggantian pembayaran sebesar jumlah yang nyata-nyata telah dibayarkan oleh pihak kedua kepada pihak ketiga (dibuktikan dengan faktur tagihan atau bukti pembayaran yang telah dibayarkan kepada pihak ketiga). Jasa forwarder.
Jumlah bruto tersebut tidak berlaku:
e. Atas penghasilan yang dibayarkan sehubungan dengan jasa katering; f. Dalam hal penghasilan yang dibayarkan sehubungan dengan jasa, telah dikenakan pajak yang bersifat final.
11. Penghitungan PPh Pasal 23 terutang menggunakan jumlah bruto tidak termasuk PPN menurut SE-53/PJ/2009
Terkait dengan penghasilan yang menjadi objek pemotongan PPh Pasal 23 ini, tidak boleh dilupakan bahwa terdapat pengecualian penghasilan yang dipotong PPh Pasal 23. Penghasilan-penghasilan yang tidak dipotong PPh Pasal 23 ini dicantumkan dalam Pasal 23 ayat (4) Undang-undang
Pajak
Penghasilan
1984.
Berikut
ini
adalah
penghasilan-penghasilan yang dikecualikan dari pemotongan PPh Pasal 23. 1. Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank.
45
Pembayaran bunga ke bank misalnya tidak dapat dipotong PPh Pasal 23. Bank akan melunasi Pajak Penghasilannya melalui pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 25. 2. Sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi. Sama halnya dengan bank, pelunasan Pajak Penghasilan perusahaan sewa guna usaha dengan hak opsi akan dilakukan dengan pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 25. 3. Dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f dan dividen yang diterima oleh orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2c) Undang-undang Pajak Penghasilan 1984. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat tertentu, bukan merupakan objek Pajak Penghasilan sehingga sewajarnya juga tidak dipotong PPh Pasal 23. Berdasarkan Pasal 17 ayat (2c) dividen yang diterima oleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri dikenakan pemotongan PPh final sebesar 10% sehingga PPh Pasal 23 tidak melakukan pemotongan lagi terhadap jenis dividen ini. 4. Bagian laba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf i Undang-undang Pajak Penghasilan.
46
Tidak termasuk obje Pajak Penghasilan adalah bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif. Oleh karena itu atas bagian laba seperti ini tidak seharusnya dipotong Pajak Penghasilan Pasal 23. 5. Sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya. 6. penghasilan yang dibayar atau terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan yang berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan Ketentuan lebih lanjut tentang hal ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 251/PMK.03/2008 tentang Penghasilan Atas Jasa Keuangan Yang Dilakukan Oleh Badan Usaha Yang Berfungsi Sebagai Penyalur Pinjaman Dan/Atau Pembiayaan Yang Tidak Dilakukan Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23. Berdasarkan ketentuan ini, penghasilan sehubungan dengan jasa keuangan yang tidak dilakukan pemotongan PPh Pasal 23 adalah berupa bunga atau imbalan lain yang diberikan atas penyaluran pinjaman
dan
atau
pemberian
pembiayaan,
termasuk
yang
menggunakan pembiayaan berbasis syariah. Badan usaha jasa keuangan yang atas penghasilannya tidak dipotong PPh Pasal 23 ini terdiri dari :
47
a.
perusahaan pembiayaan yang merupakan badan usaha di luar bank dan lembaga keuangan bukan bank yang khusus didirikan untuk melakukan kegiatan yang termasuk dalam bidang usaha lembaga pembiayaan dan telah memperoleh ijin usaha dari Menteri Keuangan;
b.
badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah yang khusus didirikan untuk memberikan sarana pembiayaan bagi usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi, termasuk PT (Persero) Permodalan Nasional Madani.
12. Saat Terutang, Penyetoran, dan Pelaporan PPh Pasal 23 a. Saat Terutang Pajak Penghasilan Pasal 23 PPh Pasal 23 terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran, disediakan untuk dibayar, atau telah jatuh tempo pembayarannya, tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu. 1.
Saat yang dibayarkan,
2.
Saat disediakan untuk dibayarkan, atau
3.
Saat telah jatuh tempo pembayarannya. Berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 94 tahun 2010 Pasal 15 ayat (3), Pemotongan PPh Pasal 23 dilakukan pada akhir bulan dibayarkannya penghasilan, akhir bulan disediakan untuk dibayarkannya penghasilan, atau akhir bulan jatuh temponya pembayaran penghasilan, tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.
48
Saat terutangnya PPh Pasal 23 adalah pada saat pembayaran, saat disediakan untuk dibayarkan (seperti: dividen) dan jatuh tempo (seperti: bunga dan sewa), saat yang ditentukan dalam kontrak atau perjanjian atau faktur (seperti: royalti, imbalan jasa teknik atau jasa manajemen atau jasa lainnya).
Yang dimaksud dengan Saat disediakan untuk dibayarkan :
1.
untuk perusahaan yang tidak go public, adalah saat dibukukan sebagai utang dividen yang akan dibayarkan, yaitu pada saat pembagian dividen diumumkan atau ditentukan dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Tahunan. Demikian pula apabila perusahaan yang bersangkutan dalam tahun berjalan membagikan dividen sementara (dividen interim), maka Pajak Penghasilan Pasal 23 Undang-Undang Pajak Penghasilan terutang pada saat diumumkan atau ditentukan dalam Rapat Direksi atau pemegang saham sesuai dengan Anggaran Dasar perseroan yang bersangkutan.
2.
untuk perusahaan yang go public, adalah pada tanggal penentuan kepemilikan pemegang saham yang berhak atas dividen (recording date). Dengan perkataan lain pemotongan Pajak Penghasilan atas dividen sebagaimana diatur dalam Pasal 23 Undang-Undang Pajak Penghasilan baru dapat dilakukan setelah para pemegang saham yang berhak
49
“menerima atau memperoleh” dividen tersebut diketahui, meskipun dividen tersebut belum diterima secara tunai. Sementara itu, yang dimaksud dengan “saat jatuh tempo pembayaran” adalah saat kewajiban untuk melakukan pembayaran yang didasarkan atas kesepakatan, baik yang tertulis maupun tidak tertulis dalam kontrak atau perjanjian atau faktur
Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23 memiliki kewajiban melakukan penyetoran PPh Pasal 23 ke kas negara atas PPh Pasal 23 yang dipotong dari penerima penghasilan. Terhadap penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 23 kepadanya diberikan bukti pemotongan PPh Pasal 23. Atas pemotongan yang telah dilakukan salam suatu masa pajak, Wajib Pajak sebagai pemotong pajak wajib melakukan pelaporan pemotongan PPh Pasal 23 yang telah dilakukan. Pelaporan
dilakukan
dengan
menyampaikan
Surat
Pemberitahuan (SPT) Masa PPh Pasal 23. b.
Saat Penyetoran PPh Pasal 23 Berdasarkan ketentuan Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.03/2010 tanggal 1 April 2010 yang merupakan perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007, PPh Pasal 23 yang dipotong oleh Pemotong PPh harus disetor paling
50
lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. Dalam hal tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, pembayaran atau penyetoran pajak dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Dalam pengertian hari libur nasional termasuk hari yang diliburkan untuk penyelenggaraan Pemilihan Umum yang ditetapkan oleh Pemerintah dan cuti bersama secara nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah. Pembayaran dan penyetoran pajak harus dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak. SSP ini berfungsi sebagai bukti pembayaran pajak apabila telah disahkan oleh pejabat kantor penerima pembayaran yang berwenang atau apabila telah mendapatkan validasi. SSP dianggap sah jika telah divalidasi dengan Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN). Adapun tempat pembayaran adalah Kantor Pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan sebagai tempat pembayaran pajak.
c.
Saat Pelaporan PPh Pasal 23 Pemotong PPh Pasal 23 wajib memberikan tanda bukti pemotongan PPh Pasal 23 kepada orang pribadi atau badan yang dipotong setiap melakukan pemotongan atau pemungutan. Bagi penerima penghasilan,
51
bukti pemotongan PPh Pasal 23 ini adalah bukti pelunasan PPh terutang dalam tahun tersebut yang nantinya akan dikreditkan dalam SPT Tahunannya. Apabila masa pajak telah berakhir, pemotong PPh Pasal 23 wajib melaporkan pemotongan yang telah dilakukan dalam masa pajak tersebut. Pelaporan ini dilakukan dengan menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 23/26 ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak pemotong PPh Pasal 23 terdaftar. Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPh Pasal 23/26 harus disampaikan paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir. Contoh, untuk pemotongan PPh Pasal 23 bulan Oktober 2011, SPT Masa PPh Pasal 23 harus disampaikan paling lambat tanggal 20 Nopember 2011. Dalam hal batas akhir pelaporan di atas bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Pengertian hari libur nasional termasuk hari yang diliburkan untuk penyelenggaraan Pemilihan Umum yang ditetapkan oleh Pemerintah dan cuti bersama secara nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah. B.
Kerangka Pemikiran PT. Asno Horie Indonesia merupakan pihak yang memberikan penghasilan kepada pihak yang menerima penghasilan yang terdiri atas Wajib Pajak dalam negeri dan Beentuk Usaha Tetap dimana penghasilan
52
tersebut merupakan objek Pajak Penghasilan Pasal 23. Oleh karena itu PT. Asno Horie Indonesia harus melaksanakan kewajiban pajak yaitu menghitung, memotong, menyetor, dan melapor Pajak Penghasilan Pasal 23. Atas pelaksanaan kewajiban Pajak Penghasilan Pasal 23 oleh PT. Asno Horie Indonesia tersebut akan dilihat apakah pelaksanaan kewajiban tersebut telah sesuai dengan ketentuan Undang – undang perpajakan yang berlaku atau tidak. Hasil kajian pustaka yang penulis telah kemukakan di atas memberikan
gambaran
atas
analisis
penghitungan,
pemotongan,
penyetoran, dan pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 23 (Withholding Tax) pada PT. Asno Horie Indonesia yang meliputi Pajak Penghasilan Pasal 23 yang dapat digambarkan sebagai berikut :
53
WITHHOLDING TAX PT. ASNO HORIE INDONESIA
OBJEK PENGHASILAN
WAJIB PAJAK DALAM NEGERI
PPh PASAL 23
DAN BUT
KEWAJIBAN MENGHITUNG, MEMOTONG, MENYETOR, dan MELAPOR PPh PASAL 23
APAKAH KEWAJIBAN TERSEBUT TELAH DILAKSANAKAN SESUAI KETENTUAN PERPAJAKAN YANG BERLAKU