BAB II LANDASAN TEORI DAN PENGAJUAN HIPOTESIS
A. Deskripsi Teori 1. Kecerdasan Spiritual a. Kecerdasan spiritual menurut pendapat para ahli Riset tentang spiritual intelligence (Spiritual Quotient) merupakan temuan yang menggemparkan. Hal ini dikarenakan SQ ini adalah temuan yang disebut-sebut sebagai the ultimate intelligence yaitu puncak kecerdasan.1 SQ muncul di tengah paradigma yang masih didominasi oleh temuan terbaru Daniel Goleman tentang Emotional Intelligence (EQ). Kecerdasan adalah pemahaman, kecepatan dan kesempurnaan perkembangan akal budi (Seperti kepandaian, ketajaman pikiran).2 M. Utsman Najati mengemukakan bahwa dorongan spiritual adalah dorongan yang berhubungan aspek spiritual dalam diri manusia, seperti dorongan untuk beragama, taqwa, cinta kebajikan, kebenaran dan keadilan, benci terhadap kejahatan, kebathilan dan kedzaliman. Sependapat dengan hal tersebut, dikutip dalam bukunya M. Utsman Najati, A. Maslow mengatakan bahwa kebutuhan spiritual manusia merupakan kebutuhan alami, yang integritas perkembangan dan kematangan kepribadian individu sangat tergantung pada pemenuhan kebutuhan tersebut.3
1
Sukidi, Kecerdasan Spiritual; Mengapa SQ Lebih Penting dari IQ dan EQ, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), hlm. 35. 2 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1984), hlm. 201. 3 Usman Najati, Al-Qur’an dan Psikologi, Terj Ade Asnawi S, (Jakarta : Asas Pustaka, 2001), hlm. 15.
6
7
Menurut
Khalil
A.
Khavari
dalam
bukunya
Sukidi,
mendefinisikan kecerdasan spiritual : Spiritual intelligence is the faculty of our nonmaterial dimension the human soul. It is the diamond in the rough that every one of us has. It must be recognized for what it is, polished to high luster with great determination and used to capture lasting personal happiness. Like the other two forms of intelligence, spiritual intelligence is also subject to enhancement as well as deterioration, except that its capacity to increase seems limitless. Kecerdasan spiritual (SQ) adalah fakultas dimensi non material kita jiwa manusia. Inilah intan yang belum terasah, yang dimiliki oleh kita semua. Kita harus mengenalinya seperti apa adanya, menggosoknya sehingga mengkilap dengan tekad yang besar dan menggunakannya untuk memperoleh kebahagiaan abadi. Seperti dua bentuk kecerdasan lainnya (IQ dan EQ), kecerdasan spiritual dapat ditingkatkan dan diturunkan. Kemampuannya untuk diturunkan tampaknya tidak terbatas.4 Lebih jelas John P. Miller mengatakan bahwa kecerdasan spiritual adalah mengenai kemampuan hati nurani atau “kata nabi” yang lebih hebat dari semua jenis kecerdasan. SQ dipandang sebagai unsur pokok yang menjadikan seseorang bisa mencapai kesuksesan hidup sejati. Anak dengan IQ tinggi tidak menjamin mampu mengatasi berbagai masalah yang dihadapi, kecuali dia juga memiliki SQ yang tinggi.5 Yaacov J. Kravitz mengemukakan bahwa : Spiritual Intelligence refers to skills, abilities and behaviors required to develop and maintain a relationship to the ultimate source of All Being, succeed in the search for meaning in life, final a moral and ethical path to help guide us through life, and act out our sense of meaning and values in our personal life and in our interpersonal relationship.6 4
Sukidi, op cit., hlm. 77. John P. Miller, Cerdas di Kelas Sekolah Kepribadian, Terj Abdul Munir Mulkhan, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2002), hlm. 3. 6 Yaacov J. Kravitz, “Spiritual Intelligence”, http: //www.spiritualintelligence.com/ newsletter 1. htm, hlm. 1. 5
8
Kecerdasan spiritual merujuk pada ketrampilan, kepandaian dan tingkah laku yang diinginkan untuk mengembangkan dan memelihara hubungan kepada Tuhan Yang Maha Esa, sukses dalam mencari makna hidup, menemukan bentuk moral dan etika untuk membantu menunjukkan kita dalam menjalani hidup, dan memainkan perasaan kita akan makna dan nilai dalam kehidupan antar pribadi dan dalam hubungan interpribadi kita. Kecerdasan spiritual (SQ) merupakan kecerdasan tertinggi manusia karena akan yang memiliki IQ tinggi, para akademisi dan teknisi, hampir dipastikan memiliki prospek kerja dan masa depan yang cerah. Tetapi itu belum cukup untuk menjadi manusia-manusia sukses. Untuk sukses, disamping perlu memiliki IQ yang tinggi juga harus bertumpu pada EQ (kecerdasan emosional). Ibaratnya, IQ hanyalah
seekor
kuda
tunggang,
sedangkan
EQ
adalah
penunggangnya. Tetapi itu semua belum cukup untuk mencapai kebahagiaan sejati ada pada kecerdasan spiritual (SQ). SQ bersumber dari fitrah manusia itu sendiri. Ia memancar dari kedalaman diri manusia seperti dorongan-dorongan keingintahuan yang dilandasi kesucian, ketulusan hati dan tanpa pretensi egoisme.7 Dalam kecerdasan spiritual, manusia diinterpretasi dan dipandang eksistensinya sampai pada dataran noumenal (fitriyah) dan universal. Jadi orang-orang yang bisa berpikir dan memiliki kecerdasan spiritual (SQ) dan mengetahui sesuatu secara inspiratif, tidak hanya memahami dan memanfaatkan sebagaimana adanya, tetapi mengembalikannya pada asal ontologisnya, yakni Allah SWT.8 Potensi kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual terdapat dalam keseluruhan diri manusia. Kecerdasan intelektual (IQ) berada di wilayah otak (brain), yang karenanya terkait dengan kecerdasan otak, rasio, nalar intelektual. Kecerdasan emosional (EQ) mengambil wilayah di sekitar emosi, yang karenanya lebih 7
Suharsono, Akselerasi Inteligensi Optimalkan IQ, EQ dan SQ Secara Islami, (Jakarta: Inisiasi Press, 2004), hlm. 5. 8 Ibid., hlm. 227.
9
mengembangkan emosi supaya menjadi cerdas, tidak cenderung marah. Sedangkan kecerdasan spiritual (SQ) mengambil tepat di seputar jiwa, hati (yang merupakan wilayah spirit), yang karenanya dikenal sebagai the soul’s intelligence: kecerdasan hati, yang menjadi hakekat sejati kecerdasan spiritual. Kecerdasan spiritual (SQ) dengan sendirinya melampaui segisegi kecerdasan intelektual (IQ) dan kecerdasan emosional (EQ). Secara konseptual kecerdasan spiritual (SQ) mengintegrasikan semua kecerdasan manusia, baik IQ maupun EQ. Dengan kecerdasan spiritual (SQ), kita diharapkan menjadi prototip manusia yang benarbenar utuh dan holistic, baik secara intelektual (IQ), emosional (EQ) dan sekaligus secara spiritual (SQ).9 Sangat
menarik
membandingkannya
mengkaji
terlebih
dahulu
SQ
ini,
dengan
justru peta
dengan
paradigma
kecerdasan yang selama ini sudah jauh lebih popular dan mapan, yakni IQ dan EQ.10 Dengan pemetaan paradigma kecerdasan ini, diharapkan masyarakat tidak saja mengenal arti penting IQ, EQ dan SQ, melainkan untuk memperkaya dan bahkan meningkatkan segi – segi kecerdasan spiritual yang justru merupakan penyerupaan atas kualitas kecerdasan intelektual ( IQ ) dan kecerdasan emosional ( EQ ). Sesuai dengan pemetaan tiga kecerdasan tersebut di atas, di bawah ini adalah pola dari IQ, EQ dan SQ.11
IQ SQ EQ
9
Sukidi,op. cit., hlm. 36. Ibid., hlm. 46. 11 Ary Ginanjar Agustian, ESQ Power…, op. cit., hlm. 46. 10
10
Setelah mengetahui masing-masing pengertian kecerdasan spiritual, maka dapat disimpulkan bahwa kecerdasan spiritual atau spiritual intelligence adalah suatu kecerdasan tertinggi manusia yang mengajarkan nilai-nilai kebenaran, bila difungsikan secara efektif maka akan memberikan pengaruh kuat pada tingkah laku anak didik yang mampu menghadirkan Tuhan dalam setiap aktifitas. Agar anak didik mempunyai perilaku yang baik, sehingga dapat hidup dengan baik dapat diterima oleh keluarga, masyarakat dan agamanya. b. Kecerdasan Spiritual Perspektif Islam Spiritualisasi (Islam) mempunyai pengertian sama dengan tazkiyah al-nafas, yaitu konsep AL-Ghazali dalam Ihya’ Ulum al-Din tentang pembinaan mental spiritual, adalah penjiwaan hidup dengan nilai-nilai agama Islam serta berfungsi sebagai pola pembentukan manusia yang berakhlak baik, beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT. Tujuan dari spiritualisasi secara Islam adalah pembentukan keharmonisan relasi jiwa manusia dengan Allah, dengan seksama manusia dan makhlukNya dan dengan manusia sendiri.12 Dalam spiritual Islam (al-Qur’an), kecerdasan intelektual (IQ) dihubungkan dengan kecerdasan akal pikiran (‘aql), sementara EQ lebih mengandalkan pada emosi diri ( nafs ) dan terakhir, kecerdasan spiritual mengacu pada kecerdasan hati, jiwa, yang menganut terminologi al-Qur’an disebut dengan qalb.13 Kecerdasan spiritual memberikan banyak kesempatan kepada manusia untuk berbuat, hanya saja kebebasannya harus disertai dengan rasa cinta yang melahirkan tanggung jawab. Ajaran Islam memberikan keleluasaan, kemerdekaan bagi pemeluknya untuk mempergunakan kecerdasan spiritualnya. Ary Ginanjar Agustian mengemukakan bahwa kecerdasan spiritual perspektif Islam adalah kemampuan untuk memberi makna 12
Yahya Jaya, Spiritualisasi Islam; Dalam Menumbuhkan Kepribadian dan Kesehatan Mental, (Jakarta : CV. Ruhana, 1994), hlm. 9-10. 13 Subidi, op cit., hlm. 62.
11
ibadah terhadap setiap perilaku dan kegiatan melalui langkah-langkah yang bersifat fitrah.14 Sedangkan Toto Tasmara berpendapat bahwa kecerdasan spiritual mempunyai makna yang sama dengan kecerdasan ruhaniah yaitu kemampuan untuk mendengarkan hati nurani atau bisikan kebenaran yang mengillahi dalam cara mengambil keputusan, berempati dan beradaptasi. Rasa ruhiyah merupakan rasa yang paling fitrah yaitu sebuah potensi yang secara hakiki ditiupkan ke dalam tubuh manusia ruh kebenaran, yang selalu mengajak kepada kebenaran.15 John R. Hinnells, mengemukakan bahwa : Islamic spirituality is rooted in the Qur’an and the instructions of the Prophet Muhammad as messenger of God. For the muslim the spiritual life is based on both the fear and the love of God, on obedience to God’s will and on a search for the knowledge of God, the ultimate goal of creation. 16 Spiritualitas Islam berasal dari Al Qur’an and sunnatu Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah SWT. Bagi seorang muslim kehidupan spiritual berdasarkan pada keduanya yaitu takut dan cinta kepada Allah, dengan mentaati perintah Allah SWT dalam sebuah pencarian pengetahuan tentang Allah, yaitu tujuan paling tinggi / utama. Dalam spiritual Islam (al-Qur’an), kecerdasan intelektual (IQ) dapat dihubungkan dengan kecerdasan akal pikiran (‘aql), sementara kecerdasan emosional lebih dihubungkan dengan emosi diri (nafs), dan terakhir, kecerdasan spiritual mengacu pada kecerdasan hati, yang menganut terminologi al-Qur’an disebut dengan qalb.17
14 Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ Emotional Spiritual Quotient, (Jakarta : Arga, 2001), cet. IV, hlm. 56. 15 Toto Tasmara, Kecerdasan Ruhaniah (Transecendental Inteligence) Membentuk Kepribadian yang Bertanggung Jawab, Profesional dan Berakhlak, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hlm. 48. 16 John R. Hinnels, Living Religions, (USA: Penguin Books, 1997), hlm. 674. 17 Sukidi, op cit., hlm. 8.
12
Sedangkan dari sudut pandang model berfikir, cara berfikir model kecerdasan intelektual cenderung seri, sementara kecerdasan emosional ( EQ ) bersifat asosiatif dan kecerdasan spiritual bersifat unitif ( menyatukan ). Paparan atas struktur kecerdasan seperti di atas dapat diringkas dalam model struktur kecerdasan antara IQ, EQ dan SQ sebagai berikut :
STRUKTUR KECERDASAN IQ, EQ dan SQ Perspektif
Jenis kecerdasan IQ
EQ
SQ
Psikologi Modern
Otak ( mind )
Emosi ( body )
Jiwa ( soul )
Model Berfikir
Seri
Asosiatif
Unitif
Al Qur’an
‘Aql
Nafs
Qalb
Produk Kecerdasan
Rasional
Emosional
Spiritual
Spiritualitas dalam pandangan Islam merupakan tujuan hidup utama orang yang bertaqwa dan menjadi penentu bagi keselamatan dan kesengsaraan manusia di dunia dan akhirat.18 Ajaran Islam memberikan keleluasaan, kemerdekaan bagi pemeluknya untuk mempergunakan kecerdasan spiritualnya. SQ mengajarkan nilai-nilai kebenaran dan membawa kepada kebahagiaan dan kebenaran yang hakiki.19 Berdasarkan
beberapa
pendapat di atas,
dapat ditarik
kesimpulan bahwa kecerdasan spiritual dalam pandangan Islam adalah kecerdasan yang berpusatkan pada rasa cinta yang mendalam kepada
18
Yahya Jaya, op cit., hlm. 8. Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangkitkan ESQ Power, (Jakarta: Arga, 2003), hlm. 65. 19
13
Allah dan seluruh ciptaan-Nya. Bentuk cinta kepada Allah SWT dan ciptaan-Nya harus terimplementasi dalam kehidupan sehari-hari dalam bentuk menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya. c. Prinsip-prinsip SQ berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam.20 Islam bukan hanya peraturan dan hukum – hukum, melainkan juga ilmu dan cinta kasih. Ajaran Islam juga memberikan kebebasan berpikir kepada umatnya. Rukun Iman dan Rukun Islam merupakan dasar agama Islam. Kedua Rukun tersebut kaya akan solusi kehidupan bagai menara gading yang mampu diartikan pancaran kilaunya sebagai nuansa estetika seni dan kemashuran sejarahnya yang seharusnya mampu hidup secara lebih berarti dalam jiwa manusia. Kecerdasan spiritual telah mengikuti konsep Rukun Iman dan Rukun Islam, di bawah ini dijelaskan enam prinsip kecerdasan spiritual berdasarkan 6 Rukun Iman, diantaranya : 1. Star principle (Prinsip Bintang) : Iman kepada Allah SWT Prinsip ini merupakan landasan dari segala landasan kecerdasan spiritual, ketenteraman kebijaksanaan, kepercayaan diri, integritas dan motivasi. Dalam prinsip ini pula sumber-sumber suara hati (God Spot) berasal, yang bermula dari 99 sifat Allah SWT dan terekam dalam jiwa manusia. Lawan terberat yang bisa membuat seseorang tergesar dari prinsip satu ini adalah daya tarik dan kemilau dunia. Di sinilah tantangan terberat seorang manusia, memilih yang nyata seperti harta benda, atau Allah SWT yang tidak kasat mata. Tetapi melalui “penalaran” dan “pendalaman” hati, maka itu semua akan tampak nyata sekali, dan bisa dilihat melalui ciptaan-Nya, dan yang terpenting melalui mata hati kita sendiri yaitu “mata keimanan”.
20
Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangun ESQ Berdasarkan ……, op. cit., hlm. 121 – 240,
14
Pemahaman Asmaul Husna secara parsial atau terpisahpisah, juga merupakan ‘nafsu’, (mengabaikan 99 Thinking Hat – Berpikir Melingkar). Contoh keinginan untuk berkuasa sematamata tanpa disadari sifat rahman dan rahim atau sifat suci juga akan mengakibatkan kegagalan. Oleh karena itu, pemahaman bahwa Allah itu Esa, Bijaksana dan Adil juga harus diperhatikan, sehingga pemahaman sifat-sifat Allah itu menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan. 2. Angel Principle (prinsip malaikat) : iman kepada malaikat Prinsip yang kedua ini adalah iman kepada malaikat. Dalam prinsip ini membahas tentang semua pekerjaan yang dilakukan mereka dengan sepenuh hati, hanya mengabdi kepada Allah SWT, disiplin dalam menjalankan tugas dan keteladanan yang bisa diambil dari sifat malaikat secara umum adalah kepercayaan yang dimilikinya, loyalitas dan integritasnya yang sangat mengagumkan. Kepercayaan
bukanlah
pemberian
dari
orang
lain.
Kepercayaan adalah upaya yang merupakan hasil timbal balik bagi seseorang yang telah menunjukkan integritas, komitmen dan loyalitas. Seorang yang bisa menerapkan prinsip malaikat adalah orang yang memiliki tingkat loyalitas tinggi, komitmen yang kuat, memiliki kebiasaan untuk mengawali dan memberi, suka menolong dan memiliki sikap saling percaya. 3. Leadership Principle (prinsip kepemimpinan) : Iman kepada Nabi dan Rasul Kepemimpinan adalah sebuah pengaruh yang berangkat dari sebuah kepercayaan yang terbentuk dari sifat rahman dan rahim-Nya, integritas, bimbingan dan kepribadian. Dalam melatih prinsip kepemimpinan ini juga dengan melakukan shalat secara disiplin setiap hari, kemudian dilatih dan dibentuk integritasnya melalui shalat yang tulus, dimana hal ini akan membangun suatu kepercayaan serta sebuah teladan yang patut diikuti.
15
Pemimpin sejati adalah seseorang yang selalu mencintai dan memberi perhatian kepada orang lain, sehingga ia dicintai. Memiliki integritas yang kuat, sehingga ia dipercaya oleh pengikutnya. Selalu membimbing dan mengajari pengikutnya. Memiliki kepribadian yang kuat dan konsisten. Dan yang terpenting adalah memimpin berlandaskan suara hati yang fitrah. 4. Learning Principle (prinsip pembelajaran): Iman kepada Al-Qur’an Pada setiap kali shalat, diwajibkan untuk membaca dan menghayati surat Al-Fatihah yang merupakan intisari dari keseluruhan isi Al-Qur’an Al-Karim. Isi Al-Fatihah secara umum adalah sebagai dasar sikap, pujian atas sifat-sifat yang mulia, bekal/ prinsip memberi, visi, integritas, aplikasi, penyempurnaan dan evaluasi, serta prinsip ikhlas. Kandungan dalam surat AlFatihah merupakan bimbingan total dari penyempurnaan (Ihsan). Bacaan ini akan mampu menyelaraskan pikiran, tindakan dan penyempurnaan seseorang untuk belajar serta membandingkan antara idealisme. (Al-Fatihah) itu dengan realisasi. Seorang yang berprinsip pembelajaran adalah orang yang memiliki kebiasaan membaca buku dan membaca situasi dengan cermat, selalu berpikir kritis dan mendalam, selalu mengevaluasi pemikirannya kembali, bersikap terbuka untuk mengadakan penyempurnaan dan memiliki pedoman yang kuat dalam belajar, yaitu berpegang kepada Al-Qur’an. 5. Vision Principle (prinsip masa depan): Iman kepada hari kiamat Memiliki kepastian akan masa depan dan memiliki ketenangan batiniah yang tinggi, yang tercipta karena sebuah keyakinan akan adanya “Hari Pembalasan” Semakin kuat keyakinan seseorang maka semakin tinggi pula energi dan kekuatan seseorang untuk meraih impiannya. Para ahli dan beberapa bukti nyata telah menunjukkan bahwa orangorang besar selalu memiliki visi yang kuat di kepalanya sebelum
16
merealisasikan di alam nyata. Inilah kunci sebuah keberhasilan, kekuatan sebuah visualisasi. Dalam
prinsip
ini
seseorang
diharapkan
mampu
berorientasi pada tujuan akhir terhadap setiap langkah yang dibuat, melakukan setiap langkah secara optimal dan sungguh-sungguh, memiliki kenali diri dan sosial, karena telah memiliki kesadaran akan adanya “Hari Kemudian”, memiliki kepastian akan masa depan dan memiliki ketenangan batiniah yang tinggi, yang tercipta karena sebuah keyakinan akan adanya “Hari Pembalasan”. 6. Well Organized Principle (prinsip keteraturan): Iman kepada ketentuan Allah SWT. Kunci dari prinsip “keteraturan” adalah sebuah disiplin. Disiplin-lah yang akan mampu menjaga serta memelihara alur sistem yang terbentuk. Dan kedisiplinanlah yang akan mampu menciptakan sebuah kepastian. Tanpa sebuah kedisiplinan akan menciptakan tatanan akan hancur. Sebaliknya kedisiplinan akan menciptakan
tatanan
yang
kemudian
akan
menghasilkan
keberhasilan.. Keteraturan adalah dasar dari manajemen. Manajemen yang baik menurut Islam adalah suatu keseimbangan intelektual yang diselaraskan secara bersamaan dengan isi dan suara hati manusia, sehingga menghasilkan pola keteraturan dan manajemen yang berkelanjutan. Ilmu manajemen Islam adalah meniru Allah SWT dalam menata manusia dan alam semesta dalam rangka menciptakan kemakmuran bumi sebagai visinya. Orang yang hidupnya teratur adalah memiliki kesadaran, ketenangan dan keyakinan dalam berusaha, karena pengetahuan akan kepastian hukum alam dan hukum sosial. Sangat memahami akan arti penting sebuah proses yang harus dilalui, selalu berorientasi pada pembentukan sistem (sinergi) dan selalu berupaya menjaga sistem yang telah dibentuk.
17
Selain 6 prinsip kecerdasan spiritual berdasarkan Rukun Iman di atas, dibawah ini juga dikemukakan 5 rukun Islam yang merupakan sebuah langkah fisik yang dilakukan secara berurutan dan sangat sistematis, yaitu : 1. Mission Statement (Penetapan Misi) Mission statement yaitu “Dua Kalimat Syahadat” sebagai tujuan hidup dan komitmen kepada Tuhan. Prinsip ini sangat penting, karena akan menghasilkan kecerdasan spiritual dan Akhlakul Karimah yang sangat tinggi. Bacaan syahadat akan membangun sebuah keyakinan dalam berusaha, menciptakan suatu daya dorong dalam upaya mencapai tujuan, membangkitkan keberanian serta optimisme, sekaligus menciptakan ketenangan batin dalam menjalankan misi hidup. 2. Character Building (Pembangunan Karakter) Pembangunan Karakter tidaklah cukup hanya dimulai dan diakhiri dengan penetapan misi saja. Hal ini perlu proses yang dilakukan secara terus – menerus dan berlangsung sepanjang hidup melalui gerak shalat. Proses ini merupakan langkah penyelarasan antara nilai-nilai dasar dan kenyataan hidup yang harus dihadapi. Shalat adalah suatu metode yang dapat meningkatkan kecerdasan spiritual secara terus menerus. Melalui shalat, seseorang akan dapat memvisualisasikan prinsip hidup yang diperolehnya
melalui
keenam
prinsip
yang
ada
dalam
pembangunan mental berdasarkan Rukun Iman tersebut. Dengan menghabiskan waktu beberapa menit sehari untuk melakukan shalat, ia memiliki waktu untuk membuat pikirannya menjadi lebih rileks dan setelah itu ia dapat berpikir tentang dirinya serta pemecahan – pemecahan masalah dalam lingkungannya secara jernih.
18
3. Self Controlling (Pengendalian diri) Tujuan akhir dari pengendalian diri yang dilatih dan dilambangkan dengan puasa sebenarnya adalah mencapai sebuah keberhasilan, bukan merupakan sebuah pelarian diri dari kenyataan hidup di dunia yang seharusnya dihadapi. Puasa adalah suatu metode pelatihan untuk pengendalian diri. Bertujuan untuk meraih kemerdekaan sejati dan pembebasan dari belenggu yang tak terkendali. Puasa yang baik akan memelihara aset yang paling berharga yaitu suara hati Ilahiah (Spiritual Sosial). 4. Social Strength (Ketangguhan Sosial) Sesuai kehendak dasar nurani manusia, sesungguhnya aktivitas zakat selaras dengan suara hati dirinya dan buka merupakan
paksaan
bathiniah.
Dalam
ketangguhan
sosial
dilambangkan dengan zakat karena zakat adalah langkah nyata untuk mengeluarkan potensi spiritual (fitrah) menjadi sebuah langkah konkret guna membangun sebuah sinergi yang kuat, yaitu berlandaskan
sikap
empat,
kepercayaan,
sikap
kooperatif,
keterbukaan serta kredibilitas. 5. Total Action (Aplikasi Total) Dalam aplikasi total, haji merupakan suatu lambang dari puncak “Ketangguhan Pribadi”. Haji adalah sublimasi dari keseluruhan Rukun Iman; lambang perwujudan akhir dari langkahlangkah Rukun Islam. Haji merupakan langkah penyelarasan nyata antara suara hati dan aplikasi yang berpusat kepada Allah Yang Maha Esa, dimana segala tujuan tak lagi berprinsip kepada yang lain. Pelaksanaan ibadah haji adalah suatu transformasi prinsip dan langkah secara total (thawaf), konsistensi dan persistensi perjuangan (sa’i), evaluasi dan visualisasi dan serta mengenal jati diri spiritual ketika wukuf dan terakhir haji adalah persiapan fisik
19
serta mental dalam menghadapi berbagai tantangan masa depan (Lontar Jumroh). Berdasarkan pemaparan di atas, dapat dipahami bahwa Rukun Iman dan Rukun Islam merupakan pembimbing dan petunjuk bagi umat Islam. Rukun Islam adalah tujuan dasar spiritual atau tauhid yang semua ditransformasikan melalui syahadat, shalat,puasa, zakat dan haji. Rukun Islam juga merupakan langkah nyata dari Rukun Iman yang telah terbentuk pada alam pikiran. Tata urutan dalam Rukun Iman hingga ke Rukun Islam disusun berdasarkan suatu tingkatan anak tangga yang teratur dan sistematis, serta memiliki keterkaitan erat dan kuat dalam satu kesatuan yang Esa. Tingkat kecerdasan spiritual anak didik sngat bergantung pada prinsip – prinsip di atas, yaitu 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam. Dalam hal ini siswa diharapkan bias membangun prinsip hidup dan manusia yang mendasar dengan pancaran Rukun Iman dan Rukun Islam sehingga mampu menciptakan kecerdasan spiritual, sekaligus langkah pelatihan yang sistematis dan jelas. d. Bentuk-bentuk cerdas spiritual Bentuk dari seorang yang cerdas spiritual adalah bentuk sikap kepribadiannya yang melahirkan akhlakul karimah sebagai rujukan dari cara bersikap dan bertindak (code of conduct). Mereka yang cerdas spiritual adalah orang-orang yang memiliki tujuan dan makna hidup, diantaranya adalah : 1. Dzikir dan Do’a. Dzikir pada hakekatnya adalah semacam latihan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan memiliki tujuan untuk mencapai kesadaran langsung akan eksistensi Allah. Dzikir adalah peringkat doa yang paling tinggi. Karena dengan berdzikir Tuhan akan mengingat hamba-Nya yang
20
berdzikir kepada-Nya.21
Hal ini ditegaskan dalam Al-Qur’an
alkarim sebagai berikut :
.(١٥٢ : )ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ.... ﻢ ﺮ ﹸﻛ ﻭﻧِﻲ ﹶﺃ ﹾﺫ ﹸﻛﻓﹶﺎ ﹾﺫ ﹸﻛﺮ “Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu…..”.22 Diantara pengaruh yang ditimbulkan oleh dzikir, adalah ketenangan hati. Dan jika hati seseorang tenang, akan tenang pula jiwanya. Anak yang mengamalkan dzikir berarti menghubungkan dan mengkokohkan rohaninya dengan Allah SWT. Insya Allah, jiwanya akan tumbuh berkembang, fitrahnya terjaga dari penyimpangan. Sedangkan do’a adalah rintihan seorang hamba pertolongan dari Allah. Salah satu fungsi do’a adalah untuk menumbuhkan sikap optimisme.23 Sebagaimana dalam firman Allah:
ﺩﺗِﻲ ﺎﻦ ِﻋﺒ ﻋ ﻭ ﹶﻥﺘ ﹾﻜِﺒﺮﺴ ﻳ ﻦ ﻢ ِﺇﻥﱠ ﺍﱠﻟﺬِﻳ ﺐ ﹶﻟ ﹸﻜ ﺠ ِ ﺘﺳ ﻲ ﺍ ﻮِﻧﺩﻋ ﻢ ﺍ ﹸﻜﺭﺑ ﻭﻗﹶﺎ ﹶﻝ (٦٠ : )ﺍﳌﺆﻣﻦ.ﻦ ﺍ ِﺧﺮِﻳﻢ ﺩ ﻨﻬ ﺟ ﺧﻠﹸﻮ ﹶﻥ ﺪ ﻴﺳ Dan Tuhanmu berfirman : “Berdo’alah kepada Ku, niscaya akan diperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah Ku akan masuk neraka jahanam dalam keadaan hina dina”.24 Ketika kenikmatan hidup di dunia terputus bagi manusia, maka kenikmatan itu akan ditemukan pada Allah SWT. Jika seorang anak mengalami putus harapan dengan sesama hamba Allah SWT, maka dia tidak akan pernah putus dengan Allah. Pada 21
Muhammad Mahmud Abdullah, Do’a sebagai Penyembuh untuk Mengatasi Stres, Frustasi, Krisis, dan lain-lain. Terj Bahruddin Tanani, (Bandung: Al-Bayan, 2001), cet V, hlm. 46. 22 Soenarjo, dkk, Al Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang : Toha Putra, 1989), hlm. 38. 23 Toto Tasmara, op cit., hlm. 19. 24 Soenarjo, op cit., hlm. 767.
21
gilirannya kekuatan spiritualnya semakin bertambah dan keimanan nya semakin kuat. Dalam terapi modern, jelas bahwa kekuatan ruh dan spiritual itu sangat diperlukan. Dan kekuatan ini bisa diperoleh melalui doa. Karena doa merupakan tempat kelapangan bagi jiwa dan penyembah kesulitan, duka cita dan gelisah. 25 2. Takwa Takwa adalah pelaksanaan dari iman dan amal saleh dalam bentuk memelihara hubungan dengan Tuhan.26 Dalam artian tinggi rendahnya derajat takwa erat kaitannya dengan kualitas iman dan amal shaleh seseorang bahkan ada yang mengartikan takwa adalah suatu sikap seseorang yang beriman yang melakukan amal-amal saleh dengan ikhlas.27 Sebagaimana Firman Allah SWT:
(٧:ﻳ ِﺔ )ﺍﻟﺒﻴﻨﺔﺒ ِﺮ ﺍﹾﻟﻴﺮﺧ ﻢ ﻫ ﻚ ﺕ ﺃﹸﻭﹶﻟِﺌ ِ ﺎﺎِﻟﺤﻋ ِﻤﻠﹸﻮﺍ ﺍﻟﺼ ﻭ ﻮﺍﻣﻨ ﻦ ﺁ ِﺇﻥﱠ ﺍﱠﻟﺬِﻳ Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh mereka itu adalah sebaik-baik makhluq.28 Arti takwa lebih banyak mengumpul dalam banyak hal, takwa juga diartikan berani, memelihara hubungan dengan tuhan, bukan saja karena takut, tetapi lebih karena ada kesadaran diri sebagai hamba. Sebagai sikap batin, takwa tidak sama bagi setiap orang tetapi ada tingkatan-tingkatan dari yang rendah ke tinggidijelaskan dalam firman Allah SWT;
ﺭﺽ ﺍ َﻷﺕ ﻭ ﻤﻮﺎ ﺍﻟﺴﺿﻬ ﺮ ﻋ ﻨ ٍﺔﺟ ﻭ ﻢ ﹸﻜﺑﻦ ﺭﺮ ٍﺓ ﻣ ﻐ ِﻔ ﻣ ﻮﹾﺍ ِﺍﻟﹶﻰﺎ ِﺭﻋﻭﺳ ﻆ ﻴ ﹶﻐ ﲔ ﺍﹾﻟ ﺍﹾﻟﻜﹶﺎ ِﻇ ِﻤﺮﺁﺀ ﻭ ﻀ ﺍﻟﺮﺁﺀ ﻭ ﺴ ﻨ ِﻔﻘﹸﻮ ﹶﻥ ﻓِﻲ ﺍﻟﻦ ﻳ ﺍﱠﻟﺬِﻳ، ﲔ ﺘ ِﻘﺕ ِﻟ ﹾﻠﻤ ﺪ ﹸﺃ ِﻋ 25
120
26
Ustman Najati, Belajar EQ dan SQ dari Sunnah Nabi, (Jakarta: Hikmah, 2002 ), hlm.
Sulaiman Al- Kumayi, Kearifan Spiritual dari Hamka Ke A.a gym, (Semarang: Pustaka: Nuun, 2004), hlm. 98 27 Kaelany HD, Islam, Iman dan Amal Saleh, (Jakarta: PT. Rieneka Cipta, 2000) hlm. 221 28 Soenarjo, dkk, op.cit., hlm. 1085.
22
{١٣٣-١٣٤ : ﲔ }ﺍﻝ ﻋﻤﺮﻥ ﺴِﻨ ِﺤ ﺍﹾﻟﻤﺤﺐ ِ ﻳ ﻪ ﺍﻟﻠﹼﺱ ﻭ ِ ﺎﻋ ِﻦ ﺍﻟﻨ ﲔ ﺎِﻓﺍﹾﻟﻌﻭ Dan bersegeralah kami kepada ampunan dari tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas selangit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya) baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarah nya dan memaafkan (kesalahan) orang, allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. (QS: Ali Imran: 133-134)29 Orang-orang yang bertakwa harus bisa membuktikan tanggungjawab sosialnya yakni dilaksanakan dengan penuh rasa cinta dan menunjukkan amal prestatif di bawah semangat pengharapan ridha Allah SWT. 3. Merasakan Kehadiran Allah Seorang yang cerdas spiritual akan senantiasa merasakan kehadiran Allah SWT. Munculnya keyakinan tersebut berasal dari keyakinan nya terhadap agama yang melahirkan kecerdasan moral spiritual, sehingga menumbuhkan rasa yang mendalam bahwa dirinya senantiasa dalam pengawasan Allah.30 Nilai-nilai moral akan terpelihara dengan adanya kesadaran akan adanya Allah SWT yang senantiasa mengawasi. Karena seluruh tindakan yang berasal dari pilihan qalbu (hati nurani), akan melahirkan kemampuan untuk memilih dengan jelas dan lugas dan merasakan ketenteraman dan tidak merasa terikat oleh apapun kecuali pengharapan untuk memperoleh ridha Allah SWT. Berada dalam pengawasan Allah adalah wujud dari keimanan yang merasuk ke dalam qalbu dan kekuatannya semakin
29 30
Ibid., hlm. 98 Toto Tasmara, op cit., hlm. 14.
23
bertambah di dalam jiwa sehingga kehidupan yang dijalani seseorang itu penuh keberkahan.31 Anak
didik
diharapkan
bisa
meningkatkan
dan
mengembangkan spiritualitas yang dimiliki dengan cara menerima Tuhan baik dalam suka maupun duka. Mereka yang merasakan dirinya berada dalam limpahan karunia Allah. Dalam suka dan duka atau dalam sempit dan lapang, mereka tetap merasakan kebahagiaan karena kepada Allah mereka bertawakkal yaitu menyandarkan diri sehingga kuat menghadapi apapun dan merasa tentram dalam hati.32 4. Memiliki kualitas sabar Sabar pada hakekatnya adalah kemampuan untuk dapat menyelesaikan kekusutan hati dan menyerah diri kepada Tuhan dengan sepenuh kepercayaan menghilangkan segala keluhan dan berperang dalam hati sanubari dengan segala kegelisahan.33 Sabar merupakan sendi yang harus benar-benar kuat dan kokoh. Dan lebih jauh, sabar itu inheren dalam diri seseorang karena bersifat inheren, maka kegagalan dalam mencapai sesuatu yang dicita-citakan bersumber dari diri sendiri dan bukan dari orang lain.34 Ada beberapa tingkatan dalam sabar, diantaranya : a. Sabar dalam taat Allah menciptakan makhluk di dunia ini untuk beribadah dan mengenal-Nya. Hanya dengan ketaatanlah
31
hlm. 17.
32
Yusuf Qardhawi, Merasakan Kehadiran Tuhan, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1999),
Toto Tasmara, op cit., hlm. 15. Sulaiman Al-Kumayi, Kearifan Spiritual dari Hamka ke Aa Gym, (Semarang : Pustaka Nuun, 2004), hlm. 137. 34 Ibid., hlm. 136-137. 33
24
ibadah kepada Allah SWT dan mengenal-Nya akan terwujud.35 Sabar dalam taat merupakan ibadah kepada Allah SWT. b. Sabar dalam meninggalkan maksiat Sabar dalam meninggalkan maksiat yaitu berusaha menjauhi perbuatan maksiat. Sabar jenis ini tingkatannya lebih rendah dibandingkan sabar dalam ketaatan karena Allah melipat gandakan pahala kebaikan dengan sepuluh kali lipat, sedangkan pahala meninggalkan kemaksiatan hanyalah satu kali lipat.36 Membebaskan diri dari hawa nafsu adalah jenis kecerdasan spiritual yang tidak kalah pentingnya. Karena dengan bebasnya diri dari nafsu dan potensi ego, akan menjadi perpanjangan “kehendak” ilahi dalam menyebarkan rahmat bagi alam.37 Anak diharapkan mampu menjauhi hal-hal yang membawa pada kemaksiatan. Untuk itu, perlu diterapkan dalam kehidupan sehari-hari sikap sabar dalam meninggalkan kemaksiatan. c. Sabar dalam menghadapi ujian Sabar dalam menghadapi berbagai cobaan dapat dilihat dalam kehidupan ini, seperti : cobaan berupa kematian, kemiskinan, kegagalan anak dalam studi, problematika rumah tangga dan lain-lain.38 Mereka yang sabar menerima ujian sebagai tantangan adalah orang yang menetapkan harapan (tujuan, perjumpaan dan berjalan menggapai ridha Allah). Dengan hati yang lapang merasakan penderitaan dengan senyuman. Kepedihan hanyalah
35
Syaikh Amru Muhammad Khalid, Sabar dan Santun Karakter Mukmin Sejati, Terj. Achmad Faozan, (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2003), hlm. 30-31. 36 Ibid. 37 Suharsono, Mencerdaskan Anak, (Jakarta : Insiani Press, 2004), hlm. 56. 38 Syaikh Amru Muhammad Khalid, op cit., hlm. 32.
25
sebuah selingan dari sebuah perjalanan.39 Bukankah tidak selamanya jalan yang ditempuh itu mulus dan indah, terkadang harus mendaki dan penuh tantangan atau ujian. 5. Memiliki empati Empati adalah kemampuan seseorang untuk memahami orang lain, mampu beradaptasi dan mampu merasakan kondisi bathin seseorang.40 Merasakan rintihan dan mendengarkan debar jantungnya adalah merupakan bentuk dari empati. Empati sosial telah dipatrikan kepada jiwa agung Rasulullah SAW, sebagaimana firman :
ﻴﻜﹸﻢﻋﹶﻠ ﺺ ﺣﺮِﻳ ﻢ ﺘﻋِﻨ ﺎﻴ ِﻪ ﻣﻋﹶﻠ ﺰ ﻋﺰِﻳ ﻢ ﺴﻜﹸ ِ ﻦ ﺃﹶﻧﻔﹸ ﻣ ﻮ ﹲﻝﺭﺳ ﻢ ﺎﺀ ﹸﻛﺪ ﺟ ﹶﻟ ﹶﻘ 41
{١٢٨ : ﻢ }ﺍﻟﺘﻮﺑﺔ ﺭﺣِﻴ ﻑ ﻭﺭﺅ ﲔ ﺆ ِﻣِﻨ ﺑِﺎﹾﻟﻤ
Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaum mu sendiri, berat terasa oleh nya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.41 Berdasarkan uraian di atas, jelaslah bahwa anak cerdas spiritual melihat orang lain bukan sebagai ancaman melainkan kehadiran orang lain, bagi mereka yang cerdas spiritual merupakan anugerah, karena hanya bersama orang lain itulah dirinya akan mampu meningkatkan kualitas sebagai makhluk yang memiliki multi potensi dihadapan Allah SWT, perbedaan dan pluralitas dipandangnya sebagai rahmat yang akan memperkaya nuansa bathiniahnya.
39
Toto Tasmara, op. cit., hlm. 30. Ibid., hlm. 34. 41 Soenarjo, dkk, op. cit., hlm. 303.
40
26
Seorang disebut cerdas spiritual, bila hanya peduli dengan akhirat tetapi membutakan dirinya terhadap misinya di dunia. Tujuan hidup yang hakiki adalah menetapkan target yang tinggi terhadap penghargaan ke akhirat dan untuk meraih ketinggian atau keluhuran
hati
nuraninya
hanya
bisa
dibuktikan
dalam
kehidupannya secara nyata dengan dunia.
2. Perilaku Sosial a. Pengertian perilaku sosial Perilaku dari segi bahasa adalah “tanggapan atau reaksi individu yang terwujud pada gerak (sikap) tidak saja badan atau ucapan”.42 Pengertian perilaku sering dibatasi kepada yang dapat dilihat dari luar, yang berkenaan dengan jasmaniyah atau psikomotor. Perilaku atau kegiatan individu seringkali dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu kegiatan kognitif, afektif dan psikomotor. Kegiatan kognitif berkenan dengan penggunaan pikiran atau rasio. Dalam kegiatan afektif berkenaan dengan penghayatan perasaan, sikap moral dan lain-lain. Sedangkan kegiatan psikomotor menyangkut aktivitas. Aktivitas yang mengandung gerakan motorik.43 Dalam psikologi dirumuskan tentang perilaku : “The totality of intra and extra organismic action and interaction of an organism with is physical and social setting”.44 “Perilaku adalah keseluruhan gerak gerik psikis maupun fisik individu dan hubungan timbal balik antara individu dengan lingkungan fisik dan sosialnya”.
42
W.J.S., Poerwadarminta, op. cit., hlm. 961. Nana Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003), cet I, hlm. 40. 44 Wolman Benjamin B, Dictionary of Behavioral Science, (New York : Van Nostrand Remhold Company, 1973), hlm. 41. 43
27
Menurut Zakiah Daradjat, perilaku atau akhlak adalah sikap seseorang yang dimanifestasikan dalam perbuatan.45 Dalam Ilmu Nafs, perilaku terdiri dari dua macam, yakni perilaku fitrah dan perilaku muktassab. Perilaku fitrah adalah perilaku yang terjadi secara fitrah tanpa adanya pembelajaran. Sedangkan perilaku muktassab adalah perilaku yang terjadi atas proses pembelajaran baik dari keluarga, teman, sekolah atau lingkungan sekitarnya.
ﻭﰱ ﻣﻘﺎ ﺑﻞ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺴﻠﻮ ﻙ ﺍﻟﻔﻄﺮﻯ ﻳﻮﺟﺪﺍ ﺳﻠﻮﻙ ﺍﻣﺮﻣﻜﺘﺴﺐ ﻳﺒﺪﻭﰱ ﻛﻞ ﻣﺎ ﻧﺘﻌﻠﻤﻪ ﺳﻮﻯﻣﻦ ﺍﻻﺳﺮﺓ ﺃﻭﺍﻻ ﺻﺪﻗﺎﺀ ﺃﻭﺍﻟﺒﻴﺌﺔ ﺍﻻﲨﺎﻋﻴﻪ ﻋﻤﻮﻣﺎ Dan selain perilaku fitrah ini ditemukan perilaku yang lain yaitu muktassab yang muncul dalam setiap apa yang kita pelajari, baik dari keluarga, teman sekolah atau lingkungan sekitarnya.46 Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan perilaku merupakan satu kesatuan perbuatan dari manusia dimana setiap tingkah laku manusia merupakan manifestasi dari beberapa kebutuhan dan tingkah laku tersebut ditunjukkan untuk memenuhi kebutuhankebutuhan itu. Sedangkan kata sosial dalam kamus bahasa Indonesia diartikan sebagai sifat yang suka memperhatikan kepentingan umum (suka menolong, menderma dan sebagainya).47 Dalam kamus psikologi diartikan bahwa : “The branch of psychology devote to social behaviour in all its forms, including attitudes, social compliance, conformity, obedience to authority, interpersonal attraction, attribution processes, group processes, helping behaviour and non verbal communivation”.48 45
Zakiah Darajat, Dasar-dasar Agama Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1984), hlm. 266. Kamil Muhammad Muhammad ‘Uwaidloh, ‘Ilmu an – Nafs, ( Beirut Libanon : Dar al – Kutub al – Ilmiyah, 1996 ), hlm 55. 47 W. J. S., Poerwadarminta, op cit., hlm. 961. 48 Andrew M. Colman, A Dictionary of psychology, (New York : Oxford University Press, 2003), hlm. 688. 46
28
Cabang dari psikologi mengarah pada perilaku sosial dalam semua bentuk, termasuk sikap, kerelaan sosial, kecocokan, kepatuhan, untuk bertindak, daya tarik antar pribadi, proses menghubungkan cara berkelompok, perlakuan, dan komunikasi dengan tindak lisan”. Dalam penulisan ini perilaku sosial yang dimaksud adalah tingkah laku dan aktivitas siswa dalam bersosialisasi dan memegang norma-norma sosial atau yang didasarkan pada nilai-nilai sosial dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini yang dimaksud siswa adalah remaja yaitu masa yang penuh dengan kegoncangan jiwa, masa berada dalam peralihan atau di atas jembatan goyang yang menghubungkan masa kanak-kanak yang penuh ketergantungan dengan masa dewasa yang matang dan berdiri sendiri.49 Perilaku sosial sangat penting dimiliki oleh seorang siswa karena akan berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari dan bisa melatih siswa terhadap sikap kecenderungan atau reaksi positif maupun negatif karena adanya perangsang dari luar yang diterima. Stimulasi itu dapat berupa perilaku orang-orang, benda-benda dan situasi tertentu. b. Ciri-ciri perilaku sosial Agama Islam memerintahkan berhubungan baik terhadap orang tua, juga mengharuskan berbuat baik kepada teman, terutama sesama muslim, sebab sesama muslim sama-sama mempunyai etika yang harus dilaksanakan. W. A. Gerungan D.P.L Psych, dalam bukunya “Psikologi Sosial” mengatakan bahwa manusia secara hakiki merupakan makhluk sosial sejak dilahirkan ia membutuhkan pergaulan dengan orang lain untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan biologisnya, makan, minum dan lain-lain.50 Perilaku sosial pada hakekatnya mengacu pada tindakan dan tingkah laku manusia dalam suatu lingkungan sosial yang biasa disebut 49 50
Zakiah Darajat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta : Bulan Bintang, 1991), hlm. 89. Gerungan, Psikologi Sosial, (Bandung : Eresco, 1988), hlm. 24.
29
masyarakat. Manusia sebagai perilaku atau tindakan sosial seseorang cenderung berhubungan dengan perilaku individu lainnya. Antar manusia satu dengan yang lainnya saling membutuhkan. Dalam berinteraksi akan mempengaruhi sikap dan perilaku sosial tiap-tiap individu karena ada hubungan timbal balik antara lingkungan sosial dengan sikap dan perilaku sosial. Pengaruh interaksi terhadap sikap yaitu akan membentuk sikap berupa menolak atau menerima lingkungan sosial dan bersikap netral terhadap lingkungan sosial. Pada umumnya anak semenjak dilahirkan sampai dewasa menjadi orang yang dapat bertanggung jawab dalam masyarakat, harus mengalami perkembangan anak itu terutama bergantung kepada pendidikan (pengaruh-pengaruh) yang diterima anak itu dari berbagai lingkungan yang dialaminya.51 Dalam hal ini anak didik harus dibimbing sejak dini agar terbiasa kepada peraturan yang baik, sesuai dengan ajaran agama dan nilai-nilai sosial. Adapun ciri-ciri perilaku sosial, diantaranya adalah : 1. Menghubungkan silaturahmi Islam mengajarkan kepada untuk bersilaturrahmi, saling menolong dan mengasihi satu sama lain. Orang yang suka mengulurkan tangannya untuk menolong orang lain karena Allah SWT, niscaya akan menerima upahnya.52 Sebagaimana hadits yang menerangkan tentang silaturahmi :
51
Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritas dan Praktis, (Bandung : PT. Bina Citra Pesona. Remaja Rosdakarya, 2000), hlm. 123. 52 Kahar Masyhur, Membina Moral dan Akhlak, (Jakarta : PT. Bina Citra Pesona. Rineka Cipta, 1994), cet I, hlm. 190.
30
ﺻﻠﹼﻰ ﻮ ﹶﻝ ﺍﷲ ﺭﺳ ﻌﺖ ﺳ ِﻤ : ﻚ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ٍ ﺎِﻟﺑ ِﻦ ﻣ ﺲ ٍ ﻧﻦ ﹶﺃ ﻋ ,ﺎﺏﺑ ِﻦ ِﺷﻬﻦ ﺍ ﻋ ﺴﹶﺄ ﻓِﻲ ﻨﻭﻳ ﹶﺃ,ﺯﻗﹸﻪ ﻴ ِﻪ ِﺭﻋﹶﻠ ﻂ ﺴﹶ ﺒﻩ ﹶﺃ ﹾﻥ ﻳ ﺳﺮ ﻦ ﻣ : ﻮﻝﹸ ﻳﻘﹸ ﺳﻠﱠﻢ ﻭ ﻴ ِﻪﻋﹶﻠ ﺍﷲ 53
.( )ﺭﻭﺍﻩ ﻣﺴﻠﻢ.ﻤﻪ ﺭ ِﺣ ﺼ ﹾﻞ ِ ﻴ ﹶﻓ ﹾﻠ,ﹶﺃﹶﺛ ِﺮ ِﻩ
“Dari Annas bin Malik berkata : saya mendengar Rasulullah bersabda : Siapa yang ingin senang dilapangkan rezekinya atau dipanjangkan umurnya, maka hendaklah dia menghubungkan silaturrahminya”. Dalam ajaran Islam silaturahmi sangat penting diterapkan dalam kehidupan sehari-hari karena nanti, pada waktu manusia sudah menjelang titian shiratul mustaqim, maka ada satu tempat pemeriksaan yang memeriksa bagaimana hubungan kasih sayang seseorang selama hayatnya di dunia dahulu. Bila ternyata bahwa silaturrahminya terputus pada waktu ia meninggalkan dunia, maka orang itu dimasukkan ke dalam neraka (untuk menjalani masa hukumnya). 2. Solidaritas sosial Solidaritas sosial di dalam agama Islam dikenal dengan ukhuwah Islamiyah yang artinya persaudaraan di dalam Islam. Maksudnya, bahwa antara orang Islam satu dengan orang Islam yang lain itu bersaudara. Ukhuwah adalah ikatan kejiwaan yang melahirkan perasaan yang mendalam dengan kelembutan, cinta dan sikap hormat terhadap setiap orang yang sama-sama diikat dengan ikatan akidah Islamiyah, iman dan takwa.54 Islam telah mewajibkan persaudaraan di jalan Allah SWT, sebagai hasil dari ukhuwah (persaudaraan) di jalan Allah SWT ialah bahwa interaksi anggota masyarakat Islam sepanjang sejarah 53
Imam Muslim, Shahih Muslim, (Libanon : Dar al-Kitab al-Ilmiah, t.th), hlm. 505. Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Sosial Anak, (Bandung : PT. Bina Citra Pesona. Remaja Rosdakarya, 1992), hlm. 5. 54
31
dan zaman adalah yang terbaik dalam pergaulan.55 Dengan demikian anak harus di didik dengan dasar-dasar ukhuwah (persaudaraan). 3. Menghormati orang lain Dalam meningkatkan kerukunan hidup umat beragama, maka kehidupan beragama dalam masyarakat perlu ditingkatkan, dikembangkan rasa gotong royong, saling menghormati, saling pengertian, tenggang rasa, dan sopan santun antar umat beragama.56 Hubungan dengan sesama manusia perlu dibina, tidak hanya dengan sesama muslim tetapi juga non muslim tanpa membeda-bedakan suku dan agama. Dengan saling menghormati dan
menghargai
satu
sama
lain
akan
mempercepat
tali
persaudaraan manusia di muka bumi ini. 4. Hiba kasihan pada si lemah Hiba kasihan ialah belas kasihan atau merasa hiba hati.57 Berhiba tidak hanya dengan merasa kasihan tetapi juga bersedia menolongnya. Orang yang tidak punya belas kasihan ialah orang yang sakit perasaan atau hatinya.58 Sedangkan orang yang berhiba kasihan disenangi masyarakat. Berhiba kasihan dapat mempererat tali kasih sayang, menimbulkan hidup gotong royong dan membersihkan jiwa dari kotoran. Bentuk dari hiba kasihan pada si lemah terdapat dalam pasal 34 yang berbunyi : fakir miskin dan anak-anak terlantar diperlihara oleh negara. Dalam hal ini jelas bahwa si lemah dijaga oleh negara. Oleh karena itu sebagai seorang siswa hendaknya merasa hiba dan 55
Ibid., hlm. 8. Kahar Masyhur, op cit., hlm. 126. 57 Ibid., hlm. 229. 58 Ibid., hlm. 230. 56
32
membiasakan
diri
untuk
membantu
kaum
lemah
dengan
menyisihkan uang saku untuk disumbangkan kepada fakir miskin, anak yatim, dan lain-lain. 5. Pemaaf Memaafkan ialah perasaan jiwa yang bersikap toleran meski lawannya orang zalim dan melampaui batas pada saat ia mampu
membalas
dendam
bila
menghendakinya.59
Sikap
bermusuhan bukanlah ajaran agama dan kesucian Islam. Sikap tidak pemaaf merupakan kehinaan dan kerendahan. Maaf mengandung pengertian syarat-syaratnya merupakan moral dasar yang membuktikan kemantapan iman dan tingkah laku Islam yang tinggi. Seorang mukmin yang berhiaskan sifat pemaaf, penyayang dan toleran akan menjadi contoh dalam keluhuran moral, kelembutan dan pergaulan yang baik terhadap yang lain, bahkan kesempurnaan, kesucian dan kebersihannya akan menyerupai malaikat yang berjalan di muka bumi.60 Seorang siswa, harus memiliki sikap pemaaf yang sangat besar seakan lebur dalam cintanya yang sangat mendalam terhadap kebenaran (ash-Shiddiq), dan sekaligus kepeduliannya kepada kemanusiaan. c. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku sosial Adapun
mengenai
faktor-faktor
yang
mampu
untuk
mempengaruhi perilaku sosial secara garis besar dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Kedua faktor inilah yang bisa menciptakan perilaku sosial seseorang. 1. Faktor internal
59 60
Abdullah Nashih Ulwan, op. cit., hlm. 17. Ibid., hlm. 18-19.
33
Faktor internal adalah faktor yang terdapat dalam diri manusia itu sendiri atau segala sesuatu yang telah dibawa oleh anak sejak lahir yaitu fitrah suci yang merupakan bakat bawaan. Keyakinan bahwa manusia itu mempunyai fitrah atau kepercayaan kepada Tuhan didasarkan kepada firman Allah Q.S. Ar-Rum : 30.
ﺒﺪِﻳ ﹶﻞﺗ ﺎ ﻻﻴﻬﻋﹶﻠ ﺱ ﺎﺮ ﺍﻟﻨ ﺕ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪ ﺍﱠﻟﺘِﻲ ﹶﻓ ﹶﻄ ﺮ ﺣﻨِﻴﻔﹰﺎ ِﻓ ﹾﻄ ﻳ ِﻦﻚ ﻟِﻠﺪ ﻬ ﺟ ﻭ ﻢ ﹶﻓﹶﺄِﻗ .(٣٠:ﻮ ﹶﻥ )ﺍﻟﺮﻭﻡﻌﹶﻠﻤ ﻳ ﺱ ﻻ ِ ﺎﺮ ﺍﻟﻨ ﻦ ﹶﺃ ﹾﻛﹶﺜ ﻭﹶﻟ ِﻜ ﻢ ﻦ ﺍﹾﻟ ﹶﻘﻴ ﻳﻚ ﺍﻟﺪ ﺨ ﹾﻠ ِﻖ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪ ﹶﺫِﻟ ِﻟ “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”.61 Quraish Shihab dalam tafsir al-Misbah menafsirkan bahwa ayat
ini
merupakan
perintah
untuk
mempertahankan
dan
meningkatkan dalam upaya untuk menghadap kepada Allah secara sempurna, yang mana pada diri manusia telah diberi potensi dasar (fitrah) untuk mengesakan Allah.62 Faktor-faktor yang terdapat dalam diri pribadi manusia adalah : a) Pengalaman pribadi Menurut Zakiah Daradat, sebelum anak masuk sekolah telah banyak pengalaman yang diterima di rumah dari teman sepermainan. Menurut penelitian ahli juga terbukti bahwa semua pengalaman yang dilalui orang sejak lahir maupun unsur dalam pribadinnya.63 b) Ilmu pengetahuan
61
Soenarjo , dkk, op cit., hlm. 645. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan Kesan dan keserasian al-Qur’an, (Jakarta : Lentera Hati, 2000), hlm. 52. 63 Zakiah Darajat, Kepribadian Guru, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), hlm. 17. 62
34
Memiliki
pengetahuan
dan
mencari
pengetahuan
merupakan kewajiban bagi orang yang beriman karena untuk mencapai pemenuhan dan perealisasian diri tidak terlepas dari pengetahuan. Dengan ilmu pengetahuanlah kita dapat mencari kebenaran dalam hidup. Ilmu pengetahuan adalah merupakan faktor esensial dalam pendidikan. Keterbatasan ilmu pengetahuan umat manusia dalam memecahkan berbagai masalah umat manusia sangat mempengaruhi moralitas bangsa. Ilmu pengetahuan dan teknologi sangat diperlukan untuk meningkatkan kualitas manusia. Di sisi lain bila tidak terkendali oleh nilai-nilai luhur akan dapat menimbulkan kerugian sendiri bagi manusia.64 2. Faktor eksternal Faktor eksternal merupakan segala sesuatu yang ada di luar manusia yang dapat mempengaruhi perkembangan kepribadian dan keagamaan seseorang.65 Adapun faktor-faktor tersebut adalah : a) Lingkungan keluarga Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang peranannya besar sekali terhadap perkembangan sosial terlebih pada awal perkembangannya yang menjadi landasan bagi perkembangan kepribadian selanjutnya. Pendidikan keluarga merupakan pendidik dasar bagi pembentukan jiwa pendidikan yang pertama dan pendidiknya adalah kedua orang tua. Pada dasarnya, peranan orang tua sangat dibutuhkan pada perkembangan nilai-nilai moral anak, karena tingkah laku anak
64
Mansyur Isna, Diskursus Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Gobal Pustaka Utama, 2001), hlm. 67-68. 65 Syamsu Yusuf LN, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2001), hlm. 137.
35
dipengaruhi oleh sikap dan cara hidupnya, yang akan mempunyai pengaruh besar dalam pendidikan anak.66 Dalam keluarga, haruslah tercipta hubungan timbal balik dalam pendidikan, mengingat bahwa keluarga dalam hal ini yaitu orang tua berperan penting dalam menentukan keberhasilan anak-anaknya dan dapat juga orang tua dijadikan suri tauladan bagi anak-anaknya. Oleh karena itu, orang tua haruslah bersungguh-sungguh dalam mendidik anak, selain agama juga mendidik bersosialisasi, dan menanamkan nilai-nilai sosial, yang akan berpengaruh pada perilaku sosial anak tersebut. Sebagai orang tua hendaknya juga memperlakukan anaknya dengan baik, memelihara hubungan yang harmonis antar anggota keluarga (ayah dengan ibu, orang tua dengan anak dan anak dengan anak). Hubungan yang harmonis, penuh pengertian dan kasih sayang akan membuahkan perkembangan perilaku anak yang baik.67 b) Lingkungan sekolah Sekolah merupakan lingkungan pendidikan kedua sebagai kelanjutan dari pendidikan keluarga. Sekolah bukanlah sekedar tempat menuangkan ilmu pengetahuan ke dalam otak murid (transfer of knowledge), tetapi sekolah juga harus mendidik dan membina kepribadian anak (transfer of value). Hurlock, dalam bukunya Syamsu Yusuf mengatakan bahwa pengaruh sekolah terhadap perkembangan kepribadian anak sangat besar, karena sekolah merupakan substitusi dari keluarga dan guru-guru substitusi dari orang tua.68
66
Singgih D Gunarso, Psikologi Praktis : Anak Remaja dan Keluarga, (Jakarta: Gunung Mulia, 1995), hlm. 38. 67 Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2000), hlm. 29. 68 Syamsu Yusuf LN, op cit.,hlm. 140.
36
Selain peran penting dari orang tua, di lingkungan sekolah guru juga berperan dalam mempengaruhi perilaku anak. Guru harus memiliki kepribadian dewasa susila dalam menciptakan anak didik sebagai manusia yang susila.69 Lingkungan sekolah mempunyai peranan yang sangat besar terhadap perilaku sosial siswa. Karena faktor ini dapat memberikan pengaruh positif maupun negatif terhadap perilaku siswa. c) Lingkungan masyarakat Lingkungan masyarakat adalah situasi atau kondisi interaksi sosial dan sosio kultural yang secara potensial berpengaruh terhadap perkembangan fitrah anak. Dalam masyarakat, individu akan melakukan interaksi sosial dengan teman sebayanya atau anggota masyarakat lainnya. Apabila teman sepermainannya berperilaku baik, maka anakpun cenderung berperilaku baik pula. Namun jika teman sepermainannya melanggar norma-norma maka anakpun cenderung mengikuti dan mencontoh perilaku tersebut.70 Faktor
masyarakat
membentuk
ini
pribadi
tidak
anak,
kalah karena
pentingnya dalam
dalam
masyarakat
berkembang berbagai organisasi sosial, ekonomi, agama, kebudayaan
dan
sebagainya
yang
mempengaruhi
arah
perkembangan hidup khususnya yang menyangkut sikap dan tingkah laku. Corak perilaku anak atau remaja merupakan cermin dari corak atau perilaku warga masyarakat (orang dewasa) pada umumnya. Oleh karena itu, disini dapat dikemukakan bahwa kualitas perkembangan perilaku atau kesadaran bersosialisasi bagi anak sangat bergantung pada kualitas perilaku pribadi orang dewasa atau warga masyarakat. 69 70
Syaiful Bahri Djamarah, op cit., hlm. 29. Syamsu Yusuf LN, op cit., hlm. 141.
37
Perilaku sosial terbentuk dari adanya interaksi sosial yang dialami oleh individu. Interaksi sosial mengandung arti lebih daripada sekedar adanya kontrak sosial dan hubungan antara individu sebagai anggota kelompok sosial. Dengan demikian ada baiknya cermat dalam memilih lingkungan hidup atau sebagai orang tua maupun guru dan pemimpin masyarakat agar cermat menciptakan lingkungan sosial yang menguntungkan perkembangan individu. 3. Korelasi antara kecerdasan spiritual (SQ) dengan perilaku sosial anak didik kecerdasan spiritual. Kecerdasan spiritual (SQ) merupakan kecerdasan yang melibatkan kemampuan menghidupkan kebenaran yang paling dalam.71 Manusia akan merasa bermakna spiritual ketika ia berdzikir dan do’a, merasakan kehadiran Allah, memiliki empati dan takwa, memiliki kualitas sabar. Kecerdasan spiritual memiliki relevansi dengan pendidikan karena belajar adalah proses dalam perubahan yang meliputi aspek afektif, kognitif dan psikomotorik. Dari sini dapat kita pahami bahwa SQ termasuk dalam pendidikan yang sifatnya non formal karena orang yang belajar SQ dan telah mampu menerapkan berbagai unsur yang ada, maka ia akan mampu mengaplikasikan secara langsung. Pendidikan dapat diartikan usaha sadar atau sengaja dari orang dewasa terhadap perkembangan jasmani dan rohani anak untuk meningkatkan atau menuju kedewasaan.72 Pendidikan berkenaan dengan perkembangan dan perubahan kelakuan anak didik, karena pendidikan bertalian dengan transmisi pengetahuan, sikap kepercayaan, ketrampilan dan aspek – aspek kelakuan lainnya kepada generasi muda. Pendidikan adalah proses mengajar dan belajar pola – pola kelakuan manusia menurut apa yang diharapkan oleh masyarakat.73 Jika 71 72
), hlm. 62.
Sukidi, op. cit., hlm. 49. Mansur Isna, Diskursus Pendidikan Islam, ( Yogyakarta: Global Pustaka Utama, 2001
38
pendidikan yang ada selama ini lebih menekankan
segi – segi
pengetahuan kognitif intelektual, pendidikan spiritual justru ingin menumbuhkan segi – segi kualitas psikomotorik dan kesadaran spiritual yang reflektif dalam kehidupan sehari – hari.74 Kecerdasan spiritual mendidik hati kita ke dalam budi pekerti yang baik dan moral yang beradab.75 Pendidikan moral dan budi pekerti yang baik, seharusnya sudah sejak awal menjadi bagian intrinsic dalam kurikulum pendidikan kita, sehingga sikap – sikap terpuji dapat ditanamkan dalam diri siswa sejak usia dini, yang memberikan bekas dan pengaruh kuat dalam perilaku siswa di sekolah dalam kehidupan sehari – harinya. Seorang siswa yang memiliki kecerdasan intelektual ( IQ ) tinggi diharapkan memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi pula sehingga dapat menyesuaikan diri dengan setiap persoalan yang dihadapi dalam kehidupan ini. Tujuan utama dari pendidikan hati dan pendidikan moral budi pekerti adalah mempersiapkan generasi baru yang nantinya dapat menginternalisasikan moral dan budi pekerti yang baik dan sekaligus mampu mengeksternalisasikannya ke dalam perilaku hidup sehari – hari.76 Orang yang beriman dan bertakwa, memiliki tingkat pertanggung jawaban besar. Hal ini dikarenakan adanya kesadaran dalam diri masing – masing, bahwa mereka adalah hamba dan khalifah Allah. Atas dasar kesadaran seperti itu, segala bentuk aktivitas dan kegiatan yang mereka lakukan senantiasa disesuaikan dengan tuntunan Allah. Siswa diharapkan memiliki kesadaran diri sebagai hamba dan khalifah Allah karena hal ini akan menanamkan rasa tanggung jawab yang besar dan akan berpengaruh dalam membentuk sikap serta perilaku
73
S. Nasution, Sosiologi Pendidikan, ( Jakarta: Bumi Aksara, 1999 ), hlm. 10. Sukidi, op. cit., hlm 28. 75 Ibid., hlm. 29. 76 Ibid., hlm. 30. 74
39
siswa selaku hamba Allah.77 Oleh karena itu anak yang memiliki kecerdasan spiritual baik yang segala aktivitasnya diarahkan pada pengabdiannya kepada sang Pencipta maka dia akan berperilaku baik dengan bertanggung jawab. Perilaku sosial pada hakikatnya mengacu pada tindakan dan tingkah laku manusia sebagai makhluk sosial. Dalam perkembangannya manusia dipengaruhi oleh pembawaan dan lingkungan. Kepribadian anak sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan sosial dan budaya setempat, tradisi, nilai – nilai, perilaku kedua orang tuanya, cara orang tua mendidik dan memperlakukannya Siswa adalah remaja dengan penuh kegoncangan jiwa dan berada dalam masa peralihan yang mudah sekali untuk dipengaruhi ke hal – hal yang bersifat negatif. Oleh karena itu, diharapkan orang tua memiliki sebuah peluang yang luar biasa untuk mempengaruhi SQ anak-anak mereka dengan menolong mereka mempelajari tingkah laku. Anak-anak yang dilatih spiritual cenderung bergaul lebih baik dengan temantemannya tidak banyak mengalami masalah tingkah laku dan tidak begitu gampang melakukan kekerasan. Di tengah arus demoralisasi perilaku manusia akhir – akhir ini, kecerdasan spiritual tidak saja efektif untuk mengobati perilaku manusia yang semakin buruk tetapi juga menjadi guidance manusia untuk menapaki hidup secara sopan dan beradab.78 Fungsi dari SQ adalah sebagai materi pendidikan yang harus ditanamkan pada jiwa anak melalui bentuk sikap dan suri tauladan yang baik. Hal di atas menunjukkan bahwa seseorang yang mempunyai SQ tinggi maka ia akan berperilaku sosial yang baik sehingga terbentuk sikap hidup yang dinamis, harmonis dan sikap solidaritas yang tinggi dalam masyarakat. Anak yang memiliki kemampuan intelektual ( IQ ) tinggi tidak menjamin memiliki perilaku baik. 77 78
Jalaluddin Rakhmat, op. cit., hlm. 204. Sukidi, op. cit., hlm. 29.
40
Anak yang mempunyai spiritual baik adalah anak yang tumbuh dari benih yang tidak diragukan keunggulan spiritualnya dan berkembang dalam keluarga yang hidup dengan nafas spiritual yang tinggi. Kecerdasan spiritual mempunyai hubungan dengan perilaku sosial siswa. Namun demikian, hubungan yang dimaksud sangat tergantung berbagai faktor yang dapat memotivasi anak untuk memahami nilai-nilai spiritual. Sebab kecerdasan spiritual pada hakikatnya merupakan pendidikan hati yang membentuk budi pekerti yang baik dan moral yang beradab. Anak yang memiliki hati tenang akan berimplikasi langsung pada ketenangan, kematangan dan sinar kearifan yang memancar dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, jelaslah bahwa kecerdasan spiritual merupakan potensi fitrah manusia, bila difungsikan secara efektif, maka akan memiliki pengaruh besar terhadap tingkah laku manusia dalam menentukan sikap dan tujuannya dengan mencerminkan kepribadiannya sebagai seorang manusia yang berperilaku sosial baik tanpa harus menghilangkan konsep agama sebagai landasan hidup manusia.
B. KAJIAN PENELITIAN YANG RELEVAN Pada dasarnya urgensi kajian penelitian adalah sebagai bahan auto kritik terhadap penelitian yang ada, baik mengenai kelebihan maupun kekurangannya, sekaligus sebagai bahan perbandingan terhadap kajian yang terdahulu. Dan untuk menghindari terjadinya pengulangan hasil temuan yang membahas permasalahan yang sama dan hampir sama dari seseorang, baik dalam bentuk skripsi, buku dan dalam bentuk tulisan lainnya, maka penulis akan memaparkan beberapa bentuk tulisan lainnya. Dalam tinjauan pustaka ini peneliti akan menguraikan beberapa artikel maupun penelitian-penelitian yang membahas mengenai kecerdasan spiritual. Penelitian dalam bentuk artikel yang ditulis Kiki Firdiansyah Wijaya yang berjudul “menghantarkan anak ke puncak kecerdasan”. Artikel ini berisi
41
tentang kualitas spiritual orang tua yang berpengaruh terhadap kepribadian anak.79 Karya lainnya dalam bentuk skripsi yang ditulis oleh Afif Erma Fitriani tentang “Peran orang tua dalam menumbuhkan kecerdasan spiritual anak dalam perspektif pendidikan Islam (studi analisis pemikiran suharsono). Penelitian ini membahas mengenai peran penting orang tua dalam menumbuhkan kecerdasan spiritual pada diri anak. Kesimpulan dalam penelitian ini adalah kecerdasan spiritual berfungsi sebagai metode untuk membentuk akhlaqul karimah pada jiwa anak.80 Skripsi yang ditulis oleh Erni Naili Muna Kurniawati tentang “Aplikasi
Metode
Spiritual
Parenting
sebagai
Upaya
Pembentukan
Kepribadian Anak di TK Al Azhar 14 Semarang”. Kesimpulan dari penelitian ini adalah anak yang mempunyai spiritual yang baik adalah anak yang tumbuh dari benih yang tidak diragukan keunggulan spiritualnya dan berkembang dalam keluarga yang hidup dengan nafas spiritual yang tinggi.80 Skripsi lainnya adalah “Pemikiran Utsman Najati tentang Kecerdasan Spiritual” yang ditulis oleh Marfu’ah. Kesimpulan dari penelitian ini adalah kecerdasan spiritual sebagai kecerdasan yang melahirkan individu yang berkepribadian dan bertanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai Al-Qur’an dan As-Sunnah.81 Dari penelitian yang penulis lakukan berbeda dengan penelitian yang tidak dilakukan sebelumnya. Karena penelitian ini membahas tentang “Korelasi antara Kecerdasan Spiritual dengan Perilaku Sosial Anak Didik di SMK Negeri 1 Kecamatan Cepu Kabupaten Blora”.
79 Kiki Firdiansyah Wijaya, Menghantarkan Anak ke Puncak Kecerdasan; Artikel tidak diterbitkan, 2001. (www.geogle.com). 80 Afif Erma Fitriani, Peran Orang Tua dalam Menumbuhkan Kecerdasan Spiritual Anak dalam Perspektif Pendidikan Islam, Skripsi 2004. 80 Erni Naili Muna Kurniawati, Aplikasi Metode Spiritual Parenting sebagai Upaya Pembentukan Kepribadian Anak, Skripsi 2003. 81 Marfu’ah, Pemikiran Utsman Najati tentang Kecerdasan Spiritual, Skripsi 2006.
42
C. HIPOTESIS PENELTIIAN Hipotesis merupakan jawaban sementara atau permasalahan yang dipahami, jawaban ini dapat benar, atau salah tergantung pembuktian nanti di lapangan. Sebagaimana diungkapkan oleh Sutrisno Hadi : “Hipotesis adalah dugaan yang mungkin benar, mungkin salah atau palsu, dan akan diterima jika faktor-faktor yang membenarkannya”. Jadi hipotesis penelitian adalah “Jawaban sementara terhadap masalah penelitian, yang kebenarannya masih harus diuji secara empiris.82 Dalam penelitian ini penulis mendeskripsikan hipotesis sebagai berikut : bahwa ada hubungan positif antara kecerdasan spiritual dengan perilaku sosial anak didik kelas I SMK Negeri 1 Kecamatan Cepu Kabupaten Blora. Mengingat hipotesis adalah jawaban atau dugaan sementara yang mungkin benar atau mungkin salah, maka dilakukan pengkajian pada bagian analisis data untuk mendapat bukti apakah hipotesis yang diajukan itu dapat diterima atau tidak.
82
Sutrisno Hadi, Metodologi Research I, (Yogyakarta : Andi Offset, 2000), hlm. 63.