BAB II LANDASAN TEORI A. Pendidikan agama Islam pada anak dalam keluarga wanita karier 1. Pendidikan Agama Islam a. Pengertian pendidikan Secara umum pendidikan sering diartikan sebagai bimbingan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.1 Menurut Qodri. A. Azizi, dalam bukunya Pendidikan (Agama) Untuk Membangun Etika Sosial, ia lebih memaknai pendidikan sebagai
(proses
melatih
dan
mengembangkan
pengetahuan,
ketrampilan, pikiran, perilaku, dan lain-lain terutama oleh sekolah formal). 2 Pendidikan dalam pengertian ini, dalam kenyataannya sering dipraktekkan dengan pengajaran yang sifatnya verbalistik. Sedangkan menurut Abu bakar Muhammad dalam bukunya Pedoman Pendidikan dan Pengajaran, pendidikan ialah pemberian pengaruh dengan berbagai macam yang berpengaruh, yang sengaja kita pilih untuk membantu anak, agar berkembang jasmaninya, akalnya, dan akhlaqnya, sehingga sedikit demi sedikit, sampai kepada batas kesempurnaan maksimal yang dapat dia capai, sehingga dia bahagia dalam kehidupannya sebagai individu dan dalam kehidupan kemasyarakatan (sosial) dan setiap tindakan keluar daripadanya, menjadi lebih sempurna, lebih tepat dan lebih baik bagi masyarakat.3
1
19
AD. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung : Al-Ma’arif, 1974), hal.
2
Qodri A. Azizy, Pendidikan (Agama) untuk membangun Etika Sosial, (Semarang Aneka Ilmu, 2003), Hal. 18 3
Abu Bakar Muhammad, Pedoman Pendidikan dan Pengajaran, (Surabaya Nasional, 1981), hal. 9
13
Usaha
14
b. Pengertian Pendidikan Agama Islam Setelah memahami tentang arti pendidikan, maka akan dibahas lebih lanjut tentang pendidikan agama Islam. Anggapan sementara yang masih dijumpai dewasa ini antara pendidikan Islam dan pendidikan agama Islam masih rancu. Agar lebih jelas dalam memahami pendidikan Islam dan pendidikan agama Islam maka secara berurutan akan dikemukakan tentang pengertian pendidikan Islam baru kemudian mengarah pada pengertian pendidikan agama Islam. Menurut Ahmad D. Marimba dalam bukunya Pengantar Filsafat Pendidikan Islam disebutkan bahwa pendidikan Islam adalah: bimbingan jasmani-rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuranukuran Islam.4 Menurut Ahmad Tafsir dalam bukunya Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam disebutkan bahwa pendidikan Islam adalah: bimbingan yang diberikan oleh seseorang kepada seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam.5 Dari pendapat-pendapat tersebut maka dapat di ambil suatu pengertian bahwa pengertian pendidikan Islam, yaitu usaha yang sadar untuk menumbuhkan anak atau individu baik jasmani atau rohani (fitrah) secara terus-menerus sehingga membentuk kepribadian yang utama menurut ukuran-ukuran Islam. Selain itu pendidikan Islam tidak saja menyampaikan “science” tentang Islam kepada anak didik akan tetapi yang lebih penting ialah menyampaikan aspek pendidikannya, yakni: menanamkan dan meningkatkan keimanan anak didik kepada agama Islam, supaya
4 5
AD. Marimba, Op. cit, hal.23
Ahmad Tafsir. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung karya, 1994), hal. 32
PT Remaja Rosda
15
mereka
menjadi
penganut-penganut
Islam
yang
taat
dalam
kehidupannya sehari-hari.6 Selanjutnya pendidikan agama Islam adalah lebih mengarahkan hal yang kongkrit dan operasional, yaitu “usaha yang lebih khusus ditekankan untuk mengembangkan fitrah keberagamaan subjek didik agar lebih mampu memahami, menghayati dan mengamalkan ajaranajaran Islam”.7 Selain itu menurut Zuhairini, dkk dalam bukunya Metode Khusus Pendidikan Agama, pendidikan agama Islam adalah: Usahausaha secara sistematis dan pragmatis dalam membantu anak didik agar supaya mereka hidup sesuai dengan ajaran Islam.8 Dari pengertian di atas jelas sekali bahwa pendidikan agama Islam dalam pelaksanaannya lebih menekankan pada hal-hal yang konkrit
dan
operasional
seperti
memahami,
menghayati
dan
mengamalkan ajaran-ajaran agama (ibadah) dalam kehidupan seharihari bagi anak didik. Dalam pelaksanaan pendidikan agama Islam terdapat tiga bidang yang dapat dijadikan anak untuk menerima pendidikan agama Islam tersebut, yaitu pendidikan dalam keluarga, sekolah dan masyarakat. Di antara ketiga bidang tersebut pendidikan yang paling efektif adalah pendidikan agama yang dilaksanakan dalam keluarga.
6
Mahfudz Shalahuddin, dkk. Metodologi Pendidikan Agama, (Surabaya : PT Bina Ilmu, 1987), hal. 10 7
hal. 20 8
Achmadi, Islam Sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan, (Yogyakarta Aditya Media, 1992),
H. Zuhairini, Abdul Ghofur, Slamet As. Yusuf, Metode Khusus Pendidikan Agama, (Surabaya : Biro Ilmiah Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Malang, 1981), hal. 27
16
c. Pandangan agama Islam tentang anak 1. Anak lahir dengan membawa fitrah Dalam pandangan Islam, anak sejak lahir telah dibekali oleh Allah Swt dengan adanya fitrah keberagamaan, sebagaimana yang terdapat dalam Surat Ar-Rum ayat 30:
!"#$ %'(& )! * )
+
, - #. / 0
5 4!
3
)1 2 0
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (Q.S. Ar-Ruum : 30)9 2. Anak dapat terpengaruh lingkungan Disisi
lain
Islam
memandang
bahwa
anak
dalam
perkembangannya dapat terpengaruh lingkungan. Hal tersebut dilukiskan oleh sebuah Hadits yang berbunyi:
9
1 .& 4. " > : 1
6 ;
7
8 /
< / 7=
Diriwayatkan bukhari oleh Abu Hurairah ia berkata: Rasulullah Saw bersabda : “Tidaklah dari anak yang dilahirkan melainkan dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang akan menjadikan ia Yahudi, Nasrani, dan Majusi…10
9
Soenarjo, Departeman Agama R.I. Al Qur’an dan Terjemahannya, (Semarang : CV. Toha Putra, 1989), hal. 645 10 Imam Abu Husein Bin Hajjah, Shahih Muslim, (Indo, Mahtabah Dalilan, t.th) Juz 4, hal. 204
17
Dari ayat dan hadits tersebut jelas sekali bahwa pada dasarnya anak telah membawa fitrah beragama dan kemudian tergantung pada pendidikan selanjutnya. Dalam konteks pendidikan, Islam menempatkan anak dalam posisi yang sangat penting. Karena tugas suci ini termasuk fardlu ‘ain bagi setiap orang tua, maka dosa besar bagi mereka yang tidak memperhatikan pendidikan agama Islam pada anaknya. Nabi menganjurkan agar setiap orang tua membacakan adzan pada telinga kanan dan iqomah pada telinga kiri pada bayi yang baru lahir. Adzan dan iqomah merupakan ajakan kemenangan dalam arti yang sebenarnya yakni Al-Falah, true victory, kejayaan lahir batin, dunia dan akhirat. Orang tua sebagai first school dianjurkan mampu memotivasi perkembangan anak secara total yang mencakup fisik, emosi, intelektual dan relegius-spiritual. Perkembangan intelektual senantiasa dibarengi dan seirama dengan perkembangan intelektual senantiasa dibarengi dan seirama dengan perkembangan religius ialah satu keniscayaan dalam pendidikan.11 2. Pendidikan Agama Islam pada anak dalam keluarga Sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 29 ayat (!) dan (2) dan Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara Republik Indonesia, maka pendidikan agama merupakan segi pendidikan utama yang mendasari semua segi pendidikan lainnya. Bahkan secara paedagogis, pendidikan agama harus dimulai sedini mungkin sejak anak masih kecil. Tentu saja hal tersebut adalah merupakan tugas orang tua dimana orang tua mempunyai kewajiban untuk memberikan pendidikan agama kepada anaknya. Orang tua yang menyadari pentingnya pendidikan agama bagi 11
Abdurrahman Mas’ud, dkk., Paradigma Pendidikan Islam, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001), Cet I hal. 6-7.
18
perkembangan jiwa anak, mereka akan berusaha menanamkan pendidikan agama pada anak-anaknya sejak kecil sesuai dengan agama yang dianutnya. Anak adalah merupakan bagian dari keluarga, dimana didalamnya anak mendapatkan pendidikan pertama dalam segala fungsi jiwanya. Dalam pembentukan jiwa keagamaan anak diperlukan pengalamanpengalaman keagamaan, yang di dapat sejak lahir dari orang-orang terdekat seperti ibu bapak, saudara dan lain-lain. Pengalaman-pengalaman yang dilalui anak sejak kecil itulah merupakan unsur-unsur yang akan menjadi bagian dari pribadinya dikemudian hari. “Pendidikan anak pada masa kecil merupakan hal yang sangat penting sekali. Rumah tangga atau keluarga adalah taman kanak-kanak yang pertama yang mempunyai pengaruh yang besar sekali bagi perkembangan masa depan anak.”12 Anak merupakan anugerah dan amanah Allah yang diberikan kepada orang tuanya. Oleh karena itu, orang tua bertanggung jawab penuh agar anak dapat tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang berguna bagi dirinya sendiri, bangsa, negara dan agamanya sesuai dengan tujuan dan kehendak Tuhan Penciptanya. Seorang anak itu mempunyai “dwi potensi” yaitu: bisa menjadi baik dan buruk. Baik dan buruknya anak itu sangat berkaitan erat dengan pembinaan dan pendidikan agama Islam dalam keluarga, masyarakat, lembaga pendidikan agama dan sosial. Pendidikan agama Islam pada anak yang baik akan melahirkan seorang anak yang baik dan agamis. Sebaliknya anak yang tanpa mendapatkan pendidikan agama, akan terbina menjadi anak yang hidup tanpa norma-norma agama berarti hidup tanpa aturan-aturan yang diberikan oleh Allah sebagai Penciptanya. Oleh karena itu, orang tua wajib membimbing dan mendidik anaknya berdasarkan petunjuk dari Allah dalam agama-Nya, yaitu agama 12
hal. 106
Dr. Miqdad Yaljan, Potret Rumah Tangga Islami, (Solo : CV. Pustaka Mantiq, 1993),
19
Islam agar anak-anaknya dapat berhubungan dan beribadah kepada Allah dengan baik dan benar. Dapat digaris bawahi di sini bahwa pendidikan agama Islam pada anak
ialah
suatu
usaha
untuk
mempersiapkan
anak/individu,
menumbuhkannya, dan membimbingnya baik dari segi jasmani, akal pikiran dan rohaninya dengan pertumbuhan yang terus-menerus, agar berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam dan dapat hidup dan berpenghidupan sempurna sehingga ia dapat menjadi orang yang berkepribadian muslim dan menjadi anggota masyarakat yang berguna bagi dirinya dan umatnya. Keluarga adalah merupakan suatu lembaga pendidikan di luar sekolah. Pendidikan yang dilaksanakan dalam keluarga adalah merupakan pendidikan yang lebih bersifat informal. Hal ini bukan berarti bahwa kedudukan keluarga sebagai lembaga pendidikan itu kurang penting, bahkan sebaliknya, keluarga adalah merupakan lembaga pendidikan pertama dan utama dalam proses pembentukan perilaku keagamaan anak. Di samping itu keluarga sebagai lembaga pendidikan memberikan pendidikan dasar berkenaan dengan keagamaan dan budaya. Keluarga juga di pandang sebagai peletak dasar pembinaan pribadi anak. Oleh karena itu kedudukan keluarga sebagai lembaga pendidikan sangatlah vital bagi kelangsungan pendidikan anak di masa yang akan datang. Sebagaimana pendapat Arnold Gessel yang di kutip oleh Arifin: Arnold Gessel menganggap bahwa hubungan anak dengan orang tuanya dalam kehidupan keluarga adalah merupakan suatu kepentingan yang dapat menentukan pola pertama pribadi anak. Suatu rumah yang teratur rapi yang terpelihara secara normal dapat menjamin dengan sebaik-baiknya bagi kesehatan mental dalam pertumbuhan anak sedangkan sekolah hanya dapat memperoleh hasil maksimum bila bekerja secara harmonis dengan keluarga.13
13
H.M. Arifin, Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama di Lingkungan Sekolah dan Keluarga, (Jakarta : Bulan Bintang, 1993) hal 92.
20
Titik penting pendidikan dalam keluarga juga dilengkapi oleh pendapat Crow & Crow dan Freud, sebagaimana di kutip oleh Arifin: Crow & Crow berpendapat bahwa pendidikan pertama anak di terima dalam lingkungan rumah”. Sedangkan Freud berpendapat bahwa anak selalu mengadakan identifikasi atau meniru orangorang yang lebih tua tidaklah secara pasif tetapi secara sungguhsungguh dan gairah. Anak ingin menjadi seperti ayahnya atau ibunya.14 Pendidikan agama Islam pada anak dalam keluarga merupakan pendidikan dasar bagi pembentukan jiwa keagamaan, dimana didalamnya orang tua berfungsi sebagai panutan untuk membentuk pribadi anak yang sesuai dengan norma-norma agama Islam. Keluarga adalah tempat pertama dan paling utama yang merupakan awal berlangsungnya pendidikan pada anak. Keluarga bagi anak merupakan wahana yang paling baik dan tepat untuk mengembangkan dirinya. Pertama kali anak mengenal ibu, bapak dan anggota keluarga yang lainnya dalam lingkungan keluarga. Di dalam keluargalah anak akan mendapatkan apa yang seharusnya didapatkan. Dari kasih sayang, materi, pendidikan dan lain sebagainya. Sejak dalam kandungan ibu, pendidikan prenatal telah berlangsung dan kemudian terus berkembang ketika dalam asuhan, sehingga menjelang dewasa tatkala seseorang secara penuh berkembang pribadi dan akal budinya. Akan tetapi patut disadari bahwa pembentukan pribadi seseorang tidak hanya ditentukan oleh pendidikan keluarga saja, karena ada berbagai pendidikan yang juga amat mempengaruhinya. 3. Dasar Pendidikan Agama Islam pada anak dalam keluarga 1. Dasar Yuridis (Hukum) Yaitu dasar pelaksanaan pendidikan agama Islam yang berasal dari peraturan perundang-undangan di Indonesia yang secara langsung dapat
14
Ibid., hal. 93
21
dijadikan sebagai pegangan dalam melaksanakan pendidikan agama Islam. a. Dasar Ideal Yaitu Falsafah Negara Pancasila, yang pada sila pertama berbunyi: ”Ketuhanan Yang Maha Esa”, memberikan pengertian bahwa seluruh bangsa Indonesia harus percaya pada Tuhan Yang Maha Esa, atau
harus
beragama.
Maka
untuk
realisasinya
diperlukan
pemahaman sejak dini, yaitu melalui pendidikan agama Islam pada anak. b. Dasar Struktural Yaitu UUD 1945 pada BAB XI Pasal 29 ayat I dan 2 disebutkan bahwa: 1. Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa 2.
Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.15
c. Dasar Operasional Yang dimaksud adalah dasar yang secara langsung mengatur pelaksanaan pendidikan agama di sekolah-sekolah.16 Seperti yang disebutkan dalam Tap. MPR no. IV/MPR/1973 yang kemudian dikokohkan pada Tap. MPR No. IV/1978. Selain itu juga ketetapan MPR No. II/MPR/1983 tentang GBHN, yang pada pokoknya dinyatakan bahwa: “Pelaksanaan pendidikan agama secara langsung dimasukkan ke dalam kurikulum di sekolah-sekolah mulai sekolah dasar sampai Perguruan Tinggi. Juga dalam UU Pendidikan Nasional No. 2 tahun 1989 tercantum dasar pendidikan Nasional adalah Pancasila dan UUD1945.”17
15
Zuhairini, Op.Cit, hal. 22 Ibid, hal. 23 17 UU RI No. 2 Thn 1989, Tentang Sistem Pendidikan Nasional,( Semarang : Aneka Ilmu, 1989), hal. 3 16
22
2. Dasar Religius Yang dimaksud adalah dasar yang bersumber dari ajaran Islam. Dasar pendidikan agama Islam pada anak dalam keluarga terdiri dari Al-Qur’an As-sunnah dan Ijtihad, berdasarkan firman Allah dalam AlQur’an Surat An-Nisa’ ayat 59:
1#$
B' #. ): (
!??& C . ): (
)2 #'
)2 #' ?1@ +
9 C )< A) DE F
I J$ ): #' K -
!? G
+ -L !
A#' H !?& 1
/
?1JM?
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan RasulNya, dan ulil amri diantara kamu. Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnah Nya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya.” (Q S. An-Nisa’: 59)18 Uraian dari ketiga hal tersebut adalah: a. Al-Qur’an “Al-Qur’an menurut Zakiah Daradjat adalah firman Allah berupa wahyu yang disampaikan Jibril kepada Nabi Muhammad Saw, yang didalamnya terkandung ajaran pokok yang dapat dikembangkan untuk keperluan seluruh aspek kehidupan melalui ijtihad”.19 Al-Qur’an adalah merupakan landasan pertama dari semua ajaran Islam, sehingga pendidikan agama Islam pada anak dalam keluarga harus berlandaskan pada Al-Qur’an. Untuk itulah, dalam melaksanakan pendidikan agama Islam pada anak dalam keluarga, orang tua harus dapat menerapkan berdasarkan pedoman Al-Qur’an.
18 19
Soenarjo, Departeman Agama R.I. Op. Cit, hal. 128 Zakiah Daradjat dkk, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 2000), hal 19.
23
b. As-sunnah Nabi adalah utusan Allah, dan di dalam diri-Nya terdapat contoh yang baik. Sehingga segala perkataan, perbuatan dan ketetapan beliau dijadikan sebagai landasan kedua dari pendidikan agama Islam. Sebagaimana diungkapkan oleh Allah dalam Al-Qur’an dalam Surat Al-Ahzab ayat 21:
)
& 1 NO : N7 :B' 5 4P G Q 3
%&
. ):
!?&
&+
-L !
& *
“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu….”. ( Q. S. Al-Ahzab :21)20 Untuk itu sebagai landasan kedua dari pendidikan agama Islam, maka dalam pelaksanaan pendidikan agama Islam pada anak dalam keluarga harus berlandaskan pada sendi-sendi yang telah ditetapkan oleh Rasulullah. Sehingga nantinya diharapkan anak dapat mencontoh dari apa yang telah dicontohkan oleh Nabi sebagai suri tauladan yang baik bagi seluruh umat-Nya. c. Ijtihad Manusia dilebihkan Allah dari pada makhluk yang lain karena akalnya. Dengan akal manusia mampu memikirkan alam, memilih mana yang baik dan yang buruk, menciptakan sesuatu untuk mencapai kemudahan dalam kehidupannya dan manfaat lainnya. Dengan akal pula manusia mampu merumuskan dan melaksanakan pendidikan agama Islam dengan baik. Ijtihad di sini dijadikan sebagai landasan ketiga dari pendidikan agama Islam. Menurut Zakiah Daradjat disebutkan bahwa: “Pergantian dan perbedaan zaman terutama karena kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi, yang bermuara pada perubahan kehidupan sosial telah menuntut ijtihad dalam 20
Soenarjo, Departeman Agama R.I. Ibid, hal. 670
24
bentuk penelitian dan pengkajian kembali prinsip-prinsip ajaran Islam, apakah ia boleh ditafsirkan dengan yang lebih serasi dengan lingkungan dan kehidupan sosial sekarang? Kalau ajaran itu memang prinsip yang tidak boleh diubah maka lingkungan dan kehidupan sosialah yang perlu diciptakan dan disesuaikan dengan prinsip itu. Sebaliknya jika dapat ditafsir, maka ajaran-ajaran itulah yang menjadi lapangan ijtihad” 3. Dasar sosial psikologi Setiap manusia memerlukan pasangan hidup yang disebut agama. Manusia merasa bahwa dalam jiwanya ada suatu perasaan
yang
mengakui adanya Dzat Yang Maha Kuasa. Manusia akan merasakan tenang dan tentram hatinya kalau mereka dapat mendekatkan diri kepada-Nya. Hal ini sesuai dengan Surat Ar-Ra’d ayat 28.
AR1
&+/ 0#'
&+/ !))/ ??" A R1 5 4
?1@ + 3 )P ??*
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram”.( Q. S. Ar-Ra’d :28)21 4. Fungsi Pendidikan Agama Islam Pada Anak Dalam Keluarga Fungsi pendidikan Islam secara makro adalah memelihara dan mengembangkan fitrah dan sumberdaya insani yang ada pada anak menuju pada terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil) sesuai dengan norma Islam. Berangkat dari fungsi tersebut maka dalam pelaksanaan pendidikan agama Islam pada anak dalam keluarga haruslah ditanamkan sejak dini, sehingga nantinya diharapkan tercipta anak yang sesuai dengan normanorma dan dapat berguna bagi dirinya, negara, agama dan masyarakat. Untuk itulah maka pendidikan agama Islam pada anak memiliki fungsi 21
Soenarjo, Departeman Agama R.I. Ibid, hal. 373
25
sebagai peletak dasar pembentukan kepribadian anak. Bila pendidikan agama kita ibaratkan sebuah bangunan, maka haruslah dibangun pondasi yang kuat, sehingga nantinya bangunan tersebut tak akan goyah dan runtuh diterjang apapun. Tidak berbeda dengan pendidikan agama pada anak, penanaman nilai-nilai agama sejak dini dapat menjadikan anak dapat memilih dan menyaring arus globalisasi yang tidak semuanya baik untuk anak. Anak akan menjadi tumpuan bagi orang tuanya setelah mereka dewasa nanti. Untuk menjadikannya menjadi manusia yang benar-benar berguna dan berbakti pada orang tua tergantung pada pendidikan yang diberikan kepada mereka, juga pada pembentukan diri dan penggodokan mereka dalam menghadapi kehidupan Kehidupan anak semasa kecil pada umumnya berada pada lingkungan dan pengaruh orang tua, sehingga pendidikan agama berfungsi sebagai benteng dalam kelanjutan hidupnya di masa depan mengingat betapa intensif kesan pendidikan agama yang membekas pada jiwa anak. Intensitas pengaruh dan pendidikan yang di terima anak dalam situasi kehidupan keluarganya ini secara tidak langsung mendasari pendidikan yang diterimanya pada masa berikutnya. 5. Faktor- faktor pendidikan agama Islam pada anak dalam keluarga Mengenai pelaksanaan pendidikan agama Islam pada anak dalam keluarga, terdapat beberapa faktor yang saling mempengaruhi: a. Faktor tujuan b. Faktor materi c. Faktor metode d. Faktor pendidik e. Faktor peserta didik f. Faktor lingkungan Adapun pembahasan mengenai kelima faktor tersebut adalah sebagai berikut :
26
a. Faktor Tujuan Tujuan Pendidikan Islam menurut Mafudz Shalahuddin dalam bukunya Metodologi Pendidikan Agama adalah: untuk mendidik anakanak supaya menjadi orang yang taqwa kepada Allah SWT, yang berarti taat dan patuh menjalankan perintah serta menjauhi laranganlarangan-Nya.22. Tujuan Pendidikan agama Islam menurut Zakiah Darajat dalam bukunya Ilmu Pendidikan Islam ialah membentuk Insan kamil dengan pola takwa. Insan kamil ialah manusia utuh rohani dan jasmani, dapat hidup dan berkembang secara wajar dan normal karena taqwanya kepada Allah.23 Dari tujuan-tujuan di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa tujuan pendidikan Islam dalam keluarga adalah membentuk manusia yang ber-akhlaqul karimah, manusia yang sempurna, yang bahagia di dunia dan akhirat yang meliputi jasmani yang sehat serta kuat dan mempunyai ketrampilan, akalnya cerdas, pandai dan rohani yang sholeh. b. Faktor Materi Pendidikan agama Islam sebagai bagian dari Pendidikan Islam memiliki acuan materi secara khusus untuk sampai pada tujuan yang telah ditetapkan dalam pendidikan tersebut. Sebagaimana materi pendidikan Islam, pendidikan agama Islam materinya juga berangkat dari Al-Qur’an, sehingga anak diharapkan mempunyai akhlaq mulia dan berkepribadian muslim. Sebagaimana firman Allah dalam Surat alKalam :
5 4! * 3 D! S D, ??- 9 2 22
Mahfudh Shalahuddin, dkk., Op.cit., hal. 11
23
Zakiah Daradjat dkk, Ilmu Pendidikan Islam, Op.cit., hal 29
C
27
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung. (Q.S. l-Qalam: 4)24 Sebagaimana yang diterangkan dalam Al-Qur’an surat Luqman yang berisi tentang nasehat Luqman Hakim kepada anaknya yang meliputi beberapa pokok materi pendidikan agama Islam yaitu: 1) Tauhid atau aqidah 2) Akhlaq 3) Shalat 4) Amal ma’ruf nahi mungkar 5) Kesabaran 6) Larangan meremehkan, menghina dan sombong 7) Sederhana 8) Berkata dengan benar secara lunak dan sopan25 Berdasarkan materi-materi tersebut dapat disederhanakan menjadi tiga materi pokok, yaitu: 1) Materi keimanan atau aqidah 2) Materi ihsan atau akhlak 3) Materi keIslaman atau syari’ah Dari tiga materi di atas dapat dijelaskan secara global sebagai berikut: 1) Materi keimanan atau akidah Aqidah merupakan dasar-dasar kepercayaan dalam agama yang mengikat seseorang dengan persoalan-persoalan yang prinsipil dari agama itu. Islam mengikat kepercayaan umatnya dengan tauhid, yaitu keyakinan bahwa Allah itu Esa.26 Sebenarnya dari semua komponen rukun iman adalah saling berhubungan, akan tetapi iman kepada Allah SWT adalah
24 25 26
Soenarjo, Departeman Agama R.I, Ibid, hal. 960 Abu Tauhid dan Mangun Budiyanto, Op.Cit., hal. 79-81 .H.Nurdin, et.al. Moral dan kognisi Islam, (Bandung : Alfa beta, 1993), hal. 78
28
menjadi yang utama, baru kemudian iman kepada yang lainnya secara otomatis harus mengikuti. Penyampaian materi keimanan sebaiknya dilakukan sedini mungkin, dalam arti anak belum memperoleh pengaruh dari luar secara berlebihan. Pada usia 4-5 tahun anak sudah mulai dan mampu menguasai bahasa ibu. Maka akan lebih baik bila orang tua misalnya ibu mulai mengenalkan tentang sang Pencipta jagad raya ini, tentunya dengan bahasa anak-anak. 2) Materi ihsan atau akhlak Materi ihsan atau akhlaq yang di maksud adalah ilmu yang menentukan batas antara yang baik dan buruk, tentang perkataan atau perbuatan manusia lahir dan batin.27 Ahmad Amin dalam bukunya Al-Akhlaq merumuskan pengertian akhlaq sebagai berikut: Akhlaq adalah suatu ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh setengah manusia kepada lainnya menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan jalan yang harus diperbuat.28 Jadi materi akhlak ini disampaikan dengan tujuan untuk mengarahkan tingkah laku manusia agar sesuai dengan akhlak Islam yaitu akhlak Fadhilah (kelebihan).29 Materi akhlak fadhilah tersebut meliputi amanah, kesabaran, menepati janji, keadilan, memelihara kesucian, malu, keberanian kekuatan, kasih sayang dan hemat.30
27
H. Hamzah Ya’qub, Etika Islam, (Bandung : Diponegoro, 1993), hal. 12
28
Ibid.
29
Ibid., hal. 95
30
Ibid., hal. 97-98
29
Materi akhlak ini tidak hanya berlaku antara manusia dengan manusia saja akan tetapi antara manusia dengan mahluk Allah SWT yang lainnya. 3) Materi keislaman atau syari’at Materi keislaman atau materi syariat ini berhubungan erat dengan amal lahir dalam rangka menta’ati semua peraturan dan hukum Tuhan, guna mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan, dan mengatur pergaulan hidup dan kehidupan manusia.31 Materi tentang keislaman ini perlu diberikan kepada anak agar nantinya anak mengetahui tentang hal-hal yang diperintahkan oleh Tuhan, dan juga hal-hal yang dilarang oleh-Nya. Setelah anak mengetahui, diharapkan anak mengamalkan amalan-amalan yang dianjurkan oleh Tuhan dan meninggalkan hal-hal yang dilarang oleh Tuhan. Menurut teori Ibnu Khaldun, ”ajarilah anak-anak itu dengan apa yang ia sanggup mengerti, sesuai dengan daya tangkapnya dan memenuhi pula keinginan pembawaan dan kebutuhannya”.32 c. Faktor Metode Metode adalah suatu cara, jadi metode agama Islam adalah suatu cara untuk mendidik agama Islam. Moh. Abd. Rahim Ghunaimah, mendefinisikan metode mengajar dengan: “cara yang praktis yang menjalankan
tujuan-tujuan
Selanjutnya
Al-Jumbalathy
31
H. Zuhairini, dkk., Op. cit, hal. 61
32
M. Athiyah Al- Abrasy, Op. cit, hal. 192
33
dan dan
maksud-maksud Abu
Al-Fateha
pengajaran”.33 Attawanisy
Omar M. Al-Taumy Al- Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1979), hal. 551
30
mentakrifkan metode mengajar sebagai: “cara-cara yang di ikuti oleh guru untuk menyampaikan maklumat ke otak murid-murid”.34 Dari beberapa pengertian di atas, dapat diambil suatu pemahaman bahwa metode mengajar mempunyai makna segi kegiatan yang terarah yang dikerjakan oleh guru dalam rangka menyampaikan mata pelajaran yang disesuaikan dengan ciri-ciri perkembangan muridmuridnya, lingkungan dan tujuan untuk mencapai proses belajar yang diinginkan dan perubahan yang dikehendaki pada tingkah laku mereka. Dalam pendidikan agama Islam terdapat beberapa macam metode,
penggunaannya
disesuaikan
dengan
tujuan,
materi,
kemampuan pendidik serta peserta didik dan situasi pendidikan. Dalam pelaksanaan pendidikan hendaknya mempergunakan berbagai jenis metode secara bergantian atau saling menunjang. Sebab masing-masing metode mempunyai kelebihan dan kekurangannya. d. Faktor Pendidik Islam mengajarkan bahwa pendidik pertama dan utama yang bertanggung jawab terhadap perkembangan jasmani dan rohani anak adalah orang tua, karena merekalah yang mendapatkan amanah dari Allah yang berupa anak untuk dididik, serta akan dipertanggung jawabkan pada Allah. Dalam Islam, tugas seorang pendidik dipandang sebagai sesuatu yang sangat mulia. Posisi ini menyebabkan mengapa Islam menempatkan orang-orang yang beriman dan berpengetahuan lebih tinggi derajatnya dibandingkan dengan manusia lainnya. Secara umum tugas pendidik adalah mendidik. Dalam prakteknya mendidik merupakan rangkaian proses mengajar, memberi dorongan, memuji, menghukum, memberi contoh, membiasakan, dan lain sebagainya.35 34 35
Ibid hal. 551
H. Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, (Jakarta : Ciputat Pers, 2002), Cet I hal. 43
31
Seorang ibu dalam fitrahnya mereka mengandung, melahirkan dan menyusui anak dan untuk tahap berikutnya anak membutuhkan didikan. Tentunya pendidikan bagi anak tersebut akan lebih mudah dilaksanakan oleh seorang ibu. Allah telah berfirman dalam al-Qur’an Surat al-Ahzab ayat 21:
5 4P G Q 3 NO : N7 : B'
. ):
!?&
& *
Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu…. ( Q. S. al-Ahzab: 21) 36 Jadi Rasulullah dalam mendidik umatnya tidak hanya dengan ucapan, tetapi beliau memberikan contoh terlebih dahulu apa yang beliau katakan. Dalam memberikan pendidikan Islam pada anak, sebagai orang tua harus dapat membentuk, menanamkan sifat-sifat mulia dan akhlakakhlak terpuji kepada anak. Hal ini dilakukan dengan cara-cara yang baik dan tepat serta memberikan suri tauladan yang baik, bergaul dan memberlakukannya dengan baik, penuh cinta kasih, kelembutan, persamaan, keadilan serta memberi nasehat dan bimbingan, lemahlembut tetapi tidak terlalu lemah, tegas tetapi tidak terlalu kasar dan sadis. Selain itu juga senantiasa mengajak mereka untuk selalu berdiskusi dan bertukar fikiran dalam memecahkan suatu masalah dengan cara-cara yang tidak membosankan.37 Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Hafidz Ibrahim dalam syairnya : “seorang ibu adalah madrasah, apabila engkau menyiapkannya, berarti telah menyiapkan generasi muda yang baik dan gagah berani. Seorang ibu adalah guru pertama dari semua guru pertama, yang pengaruhnya menyentuh seluruh jagad raya”.38 36 37 38
Soenarjo, Departeman Agama R.I, Op.cit., hal.670 Ustadz Labib M, Op. Cit, hal. 103 Ibid, hal. 104
32
e. Peserta Didik Pendidikan tidak lepas dari peserta didik, karena peserta didik merupakan faktor yang harus ada dalam setiap kegiatan pendidikan. Peserta didik dalam pendidikan agama Islam dalam keluarga yaitu anak sebagai bagian dari keluarga. Anak yang berusia di bawah dua tahun, mereka sangat membutuhkan pendidikan jasmani dari ibu berupa air susu ibu untuk pertumbuhan jasmani dan pertumbuhan anak. Telah diungkapkan dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 233:
#'
#' 1
1&
()8 0 #' 26 ) ? O 6 ( (! )
Para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan… (Q.S. Al-Baqarah :233)39 Setelah usia dua tahun kebutuhan jasmani anak berupa makanan tidak lagi dari air susu ibu tetapi dari sumber makanan lain. Sehingga anak tidak tergantung sekali pada ibu dalam hal makanan. Anak yang belum sekolah atau usia prasekolah, anak dominan berada dalam lingkungan keluarga sehingga dibutuhkan pendidik yang betul-betul mampu mendidik anak dengan sebaik-baiknya apabila orang tua menginginkan anaknya menjadi manusia yang ia citacitakan. Pada usia pra sekolah anak belum bisa menggunakan akal pikirannya untuk membeda-bedakan baik dan buruk, maka pendidikan harus dilaksanakan dengan cara pembiasaan secara terus-menerus. Anak-anak dalam keluarga dibiasakan untuk mengerjakan sesuatu, sehingga anak akan senantiasa melakukannya dalam 39
Soenarjo, Departemen Agama RI .Op.cit., hal.57
33
kehidupan sehari-hari tanpa harus diperintah. Misalnya shalat, mengaji, membaca do’a, puasa dan lain sebagainya. f. Faktor Lingkungan “Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di sekeliling anak yang meliputi seluruh yang ada, baik manusia maupun benda buatan manusia, alam yang bergerak atau tidak bergerak, serta kejadiankejadian atau hal-hal yang mempunyai hubungan dengan seseorang”.40 Lingkungan memiliki peranan yang sangat besar dalam pendidikan. Karena lingkungan akan mempengaruhi pendidikan yang dilaksanakan. Ramayulis membagi lingkungan menjadi tiga macam yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat. 1) Keluarga Keluarga adalah tempat pertama dan utama bagi anak dibesarkan. Keluarga bagi anak merupakan wahana yang paling baik dan tepat untuk mengembangkan dirinya. Pertama kali anak mengenal ibu, bapak dan anggota keluarga lainnya, dalam lingkungan keluarga. Ciri-ciri keluarga dapat dilihat dari tiga aspek: a) Keluarga adalah persekutuan hidup yang pasti dari orang tua sebagai suami Isteri. b) Keluarga adalah persekutuan kodrati bagi anak-anak dalam pertumbuhan yang bersifat mengurang c) Keluarga adalah persekutuan kodrati yang abadi bagi anak dewasa dan orang tua.41
40 41
Zakiah Darajat, Ilmu Pendidikan Islam, Op.cit,. hal.63-64
H.M. Arifin, Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama Di lingkungan Sekolah dan Keluarga, Op.cit., hal.89
34
Dalam
keluargalah
anak
pertama
kali
memperoleh
pendidikan. Sejak dalam kandungan ibu, pendidikan prenatal telah berlangsung dan kemudian terus berlangsung ketika dalam asuhan sehingga menjelang dewasa tatkala seseorang secara penuh berkembang pribadi dan akal budinya. Akan tetapi patut disadari bahwa pembentukan pribadi seseorang tidak hanya ditentukan oleh pendidikan keluarga saja, karena ada berbagai pendidikan yang juga amat mempengaruhinya. Ditengah-tengah pergaulan kaum sebaya, di sekolah dan dalam kesempatan yang lainnya. Pendidikan dalam keluarga sebagai agen pendidikan yang utama, harus mampu merespon setiap perkembangan yang terjadi di luar keluarga. Memperhatikan konsep Islam bahwa pendidikan itu dimulai dari buaian dan berakhir sampai ke liang lahat, pendidikan sepanjang usia, jelas mengakui adanya pendidikan dalam keluarga yakni terutama di saat anak masih kecil. Bahkan bukan itu saja karena pendidikan anak di lingkungan keluarga adalah yang paling awal, maka ia memiliki posisi yang paling penting dan mendasar atau sebagai penyangga pendidikan anak pada fase selanjutnya. Suasana keluarga yang aman dan bahagia itulah, yang diharapkan akan menjadi wadah yang baik dan subur bagi pertumbuhan jiwa anak yang lahir dan dibesarkan dalam keluarga itu. Semua pengalaman yang dilalui anak sejak lahirnya itu merupakan pendidikan agama, yang diterimanya secara tidak langsung, baik melalui penglihatan, pendengaran, dan perlakuan yang diterimanya. Kalau dia sering menyaksikan orang tuanya sembahyang, berdo’a, berpuasa dan tekun menjalankan ibadah, maka apa yang di lihatnya itu, merupakan pengalaman yang akan menjadi bagian dari pribadinya, serta akan masuklah unsur agama dalam pembinaan pribadinya. Demikian pulalah dengan pengalamannya melalui pendengaran dan perlakuan orang tua yang mencerminkan ajaran agama.42 42
Zakiah Daradjat, Pendidikan Agama dalam Pembinaan Mental, Jakarta : Bulan Bintang, 1975) cet III, hal 113
35
Lingkungan keluarga bagi seorang anak bagaikan sebuah rumah, atap dari rumah adalah kedua orang tuanya. Agar anak teratapi dengan baik, maka dalam hal ini orang tua haruslah hidup rukun, menyayangi dan mendidiknya. Sedang pondasi rumah adalah kehidupan rohani yakni dasar-dasar yang diletakkan melalui pendidikan anak sejak lahir yang akan menjadi landasan bagi perkembangan anak selanjutnya. Dalam keluarga biasanya berlaku peraturan-peraturan yang tidak tertulis, hanya kebiasaankebiasaan dan tingkah laku yang diperankan oleh orang tua dalam keseharian yang membentuk kepribadian anak. Di sini kepaduan antara kata dan perbuatan setiap anggota keluarga sangat penting untuk diperhatikan karena sangat mendukung terhadap suasana kondusif-edukatif. 2) Sekolah Hubungan antara sekolah dan keluarga memang sangat dibutuhkan, di satu sisi untuk memenuhi tuntutan perkembangan budaya dan ilmu pengetahuan yang harus diberikan kepada anak tetapi tidak bisa diberikan dalam lingkungan keluarga. Pada sisi lain keluarga membantu dan mengarahkan agar tetap memiliki kepribadian Islam dan dapat mengisi kekurangan sekolah. Karena saling berhubungan antara lingkungan keluarga dengan sekolah maka diantara keduanya harus berjalan seharmonis mungkin, terhindar dari overlapping dan harus tetap berada pada satu tujuan yaitu pembinaan anak, untuk hal itu dibutuhkan sikap terbuka dan saling mengisi antara keduanya. Menurut Abu Bakar Muhammad dalam bukunya Pedoman Pendidikan dan Pengajaran, disebutkan bahwa: Sekolah merupakan media, tempat anak memahami (mengetahui) arti pemerintahan dan kekuasaannya. Di dalam sekolah itu anak (mulai belajar menempatkan diri
36
diatas landasan undang-undang, bangsa dan adat kebiasaan mereka dan dia dapat menetapkan, bahwa amal seseorang ditimbang (dinilai) dengan adil. Di sekolah itulah anak diajarkan struktur pemerintahan dan sedikit tentang undang-undangnya; Maka sekolah tempat perantara, antara kehidupan rumah tangga dengan kehidupan yang umum (kehidupan bermasyarakat yang luas). Di samping itu di dalam sekolah, murid dapat melihat dirinya dalam tempat yang lebih luas dari pada rumah dan lebih sempit dari pada ruang lingkup kehidupan bermasyarakat pada masa depannya.43 Sesungguhnya fungsi sekolah sebagai lembaga pendidikan kedua setelah keluarga tidak hanya terbatas pada pengisian pikiran murid-murid dengan ilmu pengetahuan, akan tetapi sekolah adalah salah satu sarana yang besar sebagai tempat pembentukan akhlaq yang mulia. Teladan yang baik dan nasehat serta pendidikan yang baik dalam sekolah itu sangat besar pengaruhnya. Oleh karena itu guru yang dalam hal ini sebagai pelaksana pendidik harus dapat mengarahkan anak agar nantinya menjadi anak yang berguna bagi bangsa, negara dan agama. 3) Masyarakat Masyarakat selain sebagai tempat pergaulan sesama manusia juga merupakan lapangan pendidikan yang luas. Sebab dalam pergaulan sehari-hari antara seseorang dengan orang lain adalah mengandung gejala-gejala pendidikan. Sehingga orang tua harus memperhatikan teman bergaul anak, karena teman bergaul akan besar sekali pengaruhnya terhadap kepribadian anak. Sesuai dengan perkembangan jiwa anak yang senang bermain dan cenderung meniru, maka lingkungan masyarakat sangat besar pengaruhnya bagi kepribadian anak. Anak sebagai
43
Abu Bakar Muhammad, Op. cit., hal. 61
37
generasi yang akan terjun dalam masyarakat, sejak kecil tidak boleh terpisah dengan masyarakatnya. Masjid sebagai lembaga yang terdapat dalam masyarakat dapat menunjang pendidikan terhadap anak dengan cara anak dibiasakan untuk sholat berjamaah, mengaji bersama temantemannya dan memperoleh pendidikan keagamaan yang lainnya.
6. Wanita Karier Setelah kita mengetahui tentang pendidikan agama Islam, pendidikan agama Islam dalam keluarga, dasar pendidikan agama Islam pada anak dalam keluarga, fungsi pendidikan agama Islam pada anak dalam keluarga dan faktor-faktor pendidikan agama Islam dalam keluarga selanjutnya akan dibahas tentang wanita karier. a. Pengertian Wanita Karier Menurut kamus besar Indonesia (Depdikbud 2001) wanita berarti seorang perempuan/kaum putri. Sedangkan karier adalah perkembangan dan kemajuan di kehidupan, pekerjaan, jabatan dan lain sebagainya. Menurut Nana Nurliana dalam bukunya Wanita Sebagai Pemimpin; Suatu Tinjauan Historis Wanita karier adalah wanita yang bekerja untuk mengembangkan karier. Pada umumnya “wanita karier” adalah wanita yang berpendidikan cukup tinggi dan mempunyai status yang cukup tinggi dalam pekerjaannya, yang cukup berhasil dalam karyanya.44 Dari pengertian wanita karier tersebut dapat disimpulkan bahwa yang disebut wanita karier adalah wanita yang bekerja dan berkecimpung dalam kegiatan profesi (usaha, perkantoran dan lain 44
Nana Nurliana Soeyono, “ Wanita sebagai pemimpin : suatu tinjauan historis”, dalam H.M. Atho Mudzhar, Wanita dalam Masyarakat Indonesia, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001) cet ke-2, hal. 302
38
sebagainya) dan mempunyai status yang cukup tinggi dalam pekerjaan yang ditekuninya. b. Kriteria Wanita Karier Untuk mengetahui lebih jauh tentang wanita karier penulis akan mencoba membedakan beberapa kategori wanita karier menjadi beberapa kriteria yaitu : 1) Wanita tunggal Yang dimaksud wanita tunggal adalah wanita single yang belum menikah. Wanita tunggal yang bekerja sebagai wanita karier kebanyakan merasa cocok karena mereka tidak mempunyai peran yang lain selain bekerja untuk mengembangkan karier dan mendapatkan materi. Mereka tidak disibukkan oleh aktifitas rumah tangga yang banyak, dari mengurusi suami, anak dan lain sebagainya. 2) Wanita yang menikah tanpa anak Kriteria yang kedua ini adalah wanita karier yang sudah menikah akan tetapi belum mempunyai anak. Keuntungan bagi wanita karier yang menikah tanpa anak adalah bahwa ia mempunyai pasangan yang mendukungnya dan membantunya dengan urusan rumah tangga, ia kurang mempunyai masalah keuangan karena penghasilannya ganda, tidak ada anak yang menyita waktunya dan mengurangi kinerja atau prospek kariernya. 3) Wanita menikah dan mempunyai anak Kriteria yang ketiga ini adalah wanita yang bekerja sebagai wanita karier dan juga berperan sebagai ibu. Wanita karier yang sudah memiliki anak mempunyai tanggung jawab yang besar, karena mereka harus memainkan “peran ganda”. Wanita karier sebagai ibu banyak dihadapkan dengan berbagai permasalahan seperti:
39
a) Peningkatan tanggung jawab yang menyita waktu dan menimbulkan stres fisik dan emosional b) Rasa bersalah karena kurang dapat memberikan perhatian dan waktu pada anak atau pada pekerjaan c) Kesempatan karier yang terbatas karena sikap atasan yang meragukan komitmen penuh dari wanita terhadap pekerjaan atau karena komitmen terhadap keluarga.45 Pada zaman modern seperti sekarang, semakin terbuka peluang bagi
wanita
untuk
mengembangkan
diri,
mengaktualisasikan
kemampuan yang dimiliki dan memanfaatkan ilmu yang telah diperoleh di bangku sekolah. Kaum wanita sekarang tidak hanya mengurusi rumah tangga atau bekerja di dalam rumah, tetapi mereka telah bekerja di luar rumah. Menurut Zakiah Daradjat dalam bukunya, Islam dan Peranan Wanita, disebutkan bahwa: Dalam semua lapangan kerja, yang cocok dengan kodratnya, wanita juga di tuntut untuk aktif bekerja, wanita tidaklah untuk duduk berpangku tangan atau tinggal terkurung dalam rumah, sebagai mahluk Allah yang lemah yang harus di bantu dan di belanjai oleh laki-laki. Banyak sekali lapangan pekerjaan yang cocok dengan wanita, hanya saja wanita harus selalu ingat, bahwa kewanitaannya itu tetap melekat pada dirinya. Artinya kodrat fisik dan ciri kewanitaan itu tetap berbahaya bagi dirinya dan terhadap orang lain, jika ia tidak sadar dan menjaga dirinya.46 Sebagai wanita karier yang sudah mempunyai anak tentunya mempunyai banyak problematika akibat pilihannya untuk bekerja karena mereka harus memainkan peran ganda yang melekat pada kodrat dirinya yang berkaitan dengan keluarga yaitu mendidik anak-
23
45
Ibid, hal.306-308
46
Zakiah Daradjat, Islam Dan Peranan Wanita, Bulan Bintang, Jakarta, cet ke-4,1990, hal.
40
anaknya dan hakekat keibuan serta peran dalam pekerjaannya di luar rumah. Anak menjadi tanggung jawab pembantu, bacaan, dan televisi. Institusi yang menggantikan peran ibu di dalam mendidik anak belum dikembangkan ke arah yang jelas. Sumber pengetahuan tentang nilainilai moral dan praktek kehidupan diperoleh dari berbagai agen lain, seperti televisi, mainan (elektronik), dan bacaan-bacaan. Padahal, tidak jelas siapa yang mengendalikan pesan yang disampaikan media tersebut, sehingga kita tidak bisa menjamin bahwa anak kita di didik dengan cara yang benar. Karena kesibukan orang tua terutama ibu, hubungan antara anak dan orang tua semakin renggang dan rendah intensitasnya, sehingga memicu munculnya kekhawatiran-kekhawatiran apa saja. Ketentuan akan hal-hal buruk yang dialami anak akan merusak kepribadian anak. Akibat kerusakan itu sesungguhnya berpangkal pada perubahan relasi antara orang tua dan anak. Zaman sekarang memang sudah jauh berbeda dengan zaman dahulu, orang menjadi kurang yakin lagi bahwa lembaga keluarga mampu menjadi benteng yang paling kuat dari lembaga pendidikan yang lainnya. Menurut pendapat Salma Huffar yang dikutip oleh Wahbi Sulaiman dan Ghowaji Al Albani dalam bukunya Sosok Wanita Muslim al-Mar`atul Muslimah, disebutkan bahwa: Wanita telah melenyapkan tabiat asli yang paling mulia dan paling tinggi nilainya, yaitu kodrat kewanitaanya, yang berarti ia telah menghilangkan kebahagiaanya. Adapun pekerjaannya di luar rumah akan memperburuk keadaan dan menghilangkan surga kecil tempat bernaungnya wanita dan laki-laki. Hal itu tak mungkin tumbuh berkembang kecuali dengan menjadi ibu rumah tangga dan pendidik di rumahnya. Peran ibu rumah tangga dalam membina anak serta kebahagiaan masyarakat terkait juga dengan kebahagiaan individu dan sumber ilham, kebaikan dan kejadian yang indah.47 47
Wahbi Sulaiman, Ghowaji Al Bani, Sosok Wanita Muslim Al Mar-atul Muslimah, (Trigenda Karya) hal. 177
41
Dengan demikian menjadi wanita karier bukan pekerjaan mudah. Karena wanita karier harus memainkan peran ganda, yakni bekerja di luar rumah untuk meniti karier tetapi begitu tiba di rumah kembali harus mengurusi tugas sebagai ibu rumah tangga. dan juga sebagai pendidik bagi putra-putri mereka. “Taman kanak-kanak dan tempat-tempat penitipan anak-anak tidak akan mampu menjalankan fungsi ibu dalam mendidik anak-anak dan tidak pula dapat memberikan yang dalam kepadanya sebagaimana yang diberikan oleh seorang ibu”.48 Jika seorang ibu memang terpaksa harus bekerja, berarti meninggalkan anak di rumah serta pekerjaan rumah tangga. Sehingga ibu terpaksa menyerahkan pengawasan serta pengasuhan terhadap ibu pengganti, sering tidak dapat dihindari. Kalau memang itu terjadi, maka ibu pengganti harus yang benar-benar bisa mengganti ketidakhadiran atau peran ibu kandung yang bekerja, sehingga betapa besarnya peranan seorang ibu pengganti maka perlu memilih pribadi yang tepat. Seorang wanita dengan kesucian, kebenaran dan pembangunan dirinya akan menjadi pelita yang bercahaya yang tidak hanya menerangi lingkungan keluarganya yang hangat tetapi dengan gagasan-gagasan pendidikannya, serta anak-anak yang baik dan sehat (moralnya), ia juga akan membangun masyarakat, kalau tidak, ia akan menjadi perusak yang tidak hanya mengacaukan keluarga, tetapi juga akan mengakibatkan penderitaan bagi kekuatan kaum muda dan menghancurkan kemampuankemampuan mereka.49 Untuk itulah dalam memberikan pendidikan agama Islam pada anak seharusnya seorang ibu mampu bersikap, berbuat yang sesuai 48
Muhammad Albar, Wanita Karir Dalam Timbangan Islam, (Jakarta : Pustaka Azzam, 2000), hal. 64 49
Hashemi Rafsanjani, Syaikh Husain Fadhillah et, al,. Misteri Kehidupan Fathimah AzZahra (Kajian Atas Fungsi Ganda Peran Wanita), (Bandung : Mizan, T.th) hal. 175
42
dengan tuntunan agama Islam. Dengan hal tersebut diharapkan anak akan menjadi anak yang sempurna kelak kemudian hari sesuai dengan tujuan pendidikan Islam Bagi wanita karier yang tidak bisa menemukan ibu pengganti bagi anak-anaknya maka bisa menyerahkan anaknya untuk sementara waktu kepada tempat penitipan anak (TPA) atau day care center. “Memang lembaga-lembaga pendidikan dapat membentuk anak sebagaimana dapat membentuk makhluk yang lainnya, namun lembaga tersebut tidak akan mampu menjadikan anak kecil tersebut sebagai anak yang sempurna kepribadiannya, sempurna pertumbuhannya, sesuai dengan kemanusiaannya.”50 Peralatan teknologi akan membantu wanita karier untuk berkomunikasi dengan anaknya di manapun ia berada. Kalau mau jujur, masalah yang banyak dihadapi dalam era kemitrasejajaran wanita-pria adalah pembagian tugas domestik yang selama ini terobsesi dalam peran ibu yang dianggap secara kodrati mempunyai tugas mengerjakan segala macam pekerjaan rumah tangga termasuk mengasuh dan mendidik anak. Pada masa janin berada dalam kandungan adalah tugas ibu yang mendidiknya, namun setelah bayi dilahirkan maka ibu dan bapak sebagai orang tua anak tersebut berkewajiban mengasuh dan mendidiknya. Demikian pula dengan pekerjaan rumah tangga yang lain menjadi tanggung jawab bersama. Sehingga perubahan peranan wanita menuntut perubahan peranan pria sedemikian rupa. Harus ada kesadaran berbagi peran dan tanggung jawab sosialisasi yang lebih berimbang antara ayah dan ibu. “Demikian pula halnya dengan pekerjaan rumah tangga, seperti memasak, mencuci pakaian, membersihkan rumah. Hal itu sebetulnya dilakukan oleh berjuta-juta orang secara sendiri-sendiri. Tetapi 50
192
Khoiron Nadhiyyin, Wanita dan Keluarga, (Surabaya : Al Ikhlas, 1996) Cet I, hal. 191-
43
sebenarnya, tugas ini dapat dilakukan dengan lebih efektif secara bersama-sama”.51 Pembagian tugas dalam keluarga atau tugas itu di lakukan secara bersama-sama antara ayah dan ibu akan meringankan tugas ibu, sehingga ibu mampu memerankan peran gandanya. Misalnya pembagian tugas menyapu, mencuci, menyuapi anak, menyetrika, dsb. Pembagian tugas tersebut disesuaikan dengan kemampuan masingmasing anggota keluarga. Tetapi wanita tidak boleh lalai terhadap kodrat yang melekat pada dirinya. Yaitu kodrat sebagai ibu rumah tangga tidak boleh ditinggalkan
sepenuhnya,
sebab
kehadiran
seorang
ibu
amat
dibutuhkan oleh anak-anak. Melalui pendidikan dan pengarahan ibu, maka anak-anak bisa mempersiapkan diri sebagai generasi penerus yang lebih berkualitas, sebab secara psikologis ibu lebih sensitif dalam mendeteksi perkembangan jiwa sang anak Sehingga sesibuk apapun aktifitas ibu sebagai wanita karier namun hendaknya mampu membagi waktu, memberikan perhatian dan mendidik anak-anaknya. Dari uraian di atas dapat kita pahami bahwa tanggung jawab mendidik adalah tanggung jawab orang tua yaitu ayah dan ibu. Tetapi seorang wanita dalam fitrahnya mengandung, melahirkan dan menyusui. Ketiga hal tersebut tidak bisa dilaksanakan oleh orang lain, karena semenjak mengandung anak selalu bersama ibu maka tentunya akan lebih dekat dengan ibunya. Oleh sebab itu untuk pendidikan selanjutnya akan sangat efektif bila di lakukan oleh ibu sebagai pendidik anak.
51
Jane Cary Peck alih bahasa Fransisca Dewi L, Wanita dan Keluarga, (Jakarta : Kanisius, 1991), Cet I, hal. 25