BAB II LANDASAN TEORI A. Organizational Citizenship Behavior (OCB) 1. Pengertian Organizational Citizenhip Behavior (OCB) Organizational Citizenship Behavior (OCB) merupakan bagian dari ilmu perilaku organisasi, OCB merupakan bentuk perilaku kerja yang biasanya tidak terlihat atau diperhitungkan. Terdapat dua pendekatan terhadap konsep OCB yaitu OCB merupakan kinerja extra role yang terpisah dari kinerja in-role atau kinerja yang sesuai deskripsi kerja. Pendekatan kedua adalah memandang OCB dari prinsip atau filosofi politik. Pendekatan ini mengidentifikasi perilaku anggota organisasi dengan perilaku kewarganegaraan. Keberadaan OCB merupakan dampak dari keyakinan dan persepsi individu dalam organisasi terhadap pemenuhan hubungan perjanjian dan kontrak psikologis. Perilaku ini muncul karena perasaan individu sebagai anggota organisasi yang memiliki rasa puas apabila dapat melakukan sesuatu yang lebih dari organisasi (Wulani, 2005). Sejalan dengan di atas, OCB merupakan istilah yang digunakan untuk mengidentifikasikan perilaku karyawan. OCB ini mengacu pada konstruk dari “extra-role behavior”, di definisikan sebagai perilaku yang menguntungkan organisasi atau berniat untuk menguntungkan organisasi, yang langsung dan mengarah pada peran pengharapan. Dengan demikian OCB merupakan perilaku yang fungsional, extra-role, prososial yang mengarahkan individu, kelompok atau organisasi (Dyne, 1995 dalam Chien, 2004).
Universitas Sumatera Utara
OCB pertama kali di populerkan oleh Organ kemudian dikembangkan oleh tokoh-tokoh lain. OCB dapat didefinisikan sebagai suatu perilaku kerja karyawan di dalam organisasi, yang dilakukan atas suka rela di luar deskripsi kerja yang telah ditetapkan, dengan tujuan untuk meningkatkan kemajuan kinerja organisasi. Podsakoff et al., 2000, mendefenisikan OCB sebagai perilaku individual yang bersifat bebas (discretionary), yang tidak secara langsung dan eksplisit mendapat pengharapan dari sistem imbalan formal, dan yang secara keseluruhan mendorong keefektifan fungsi-fungsi organisasi. Bersifat bebas dan sukarela, karena perilaku tersebut tidak diharuskan oleh persyaratan peran atau deskripsi jabatan yang secara jelas dituntut berdasarkan kontrak dengan organisasi; melainkan sebagai pilihan personal. Tokoh lain seperti Smith (1983) juga menyebutkan OCB adalah kontribusi pekerja “di atas dan lebih dari” deskripsi kerja formal. OCB melibatkan beberapa perilaku, meliputi perilaku menolong orang lain, menjadi volunteer untuk tugastugas ekstra, patuh terhadap aturan-aturan dan prosedur-prosedur di tempat kerja. Perilaku-perilaku ini menggambarkan “nilai tambah karyawan” dan merupakan salah satu bentuk perilaku prososial, yaitu perilaku sosial yang positif, konstruktif dan bermakna membantu (dalam Novliadi, 2007). Organ (1988) mendefinisikan OCB sebagai perilaku yang merupakan pilihan dan inisiatif individual, tidak berkaitan dengan sistem reward formal organisasi tetapi secara agregat meningkatkan efektivitas organisasi. Hal ini berarti perilaku tersebut tidak termasuk ke dalam persyaratan kerja atau deskripsi kerja karyawan sehingga jika tidak ditampilkan pun tidak diberikan hukuman (dalam Novliadi, 2007).
Universitas Sumatera Utara
Perilaku atau peranan yang dilakukan oleh karyawan sangat penting bagi suatu perusahaan. Berbagai pendapat yang mengemukakan tentang pentingnya perilaku karyawan yang mau bekerja melebihi deskripsi jabatan yang ada antara lain seperti yang dikemukakan oleh Robbins (2001) yang menyatakan bahwa organisasi yang sukses membutuhkan karyawan yang akan melakukan lebih dari sekedar tugas formal mereka dan mau memberikan kinerja yang melebihi harapan. Dalam dunia kerja yang dinamis seperti saat ini, di mana tugas makin sering dikerjakan dalam tim, fleksibilitas sangatlah penting. Organisasi menginginkan karyawan yang bersedia melakukan tugas yang tidak tercantum dalam deskripsi pekerjaan mereka (Robbins, 2001). Menurut Robbins dan Judge (2008), fakta menunjukkan bahwa organisasi yang mempunyai karyawan yang memiliki OCB yang baik, akan memiliki kinerja yang lebih baik dari organisasi lain. Dari beberapa defenisi tokoh di atas dapat menyimpulkan bahwa OCB merupakan perilaku yang bersifat suka rela, bukan merupakan tindakan yang terpaksa terhadap hal- hal yang mengedepankan kepentingan organisasi. Perilaku individu sebagai wujud dari kepuasan berdasarkan performance, tidak diperintahkan secara formal 2. Dimensi Organizational Citizenship Behavior Podsakoff et al. (2000) membagi OCB menjadi tujuh dimensi: 1. Perilaku membantu Yaitu perilaku membantu teman kerja secara sukarela dan mencegah terjadinya masalah yang berhubungan dengan pekerjaan. Dimensi ini
Universitas Sumatera Utara
merupakan komponen utama dari OCB. Organ (1988) menggambarkan dimensi ini sebagai perilaku altruism, pembuat/ penjaga ketenangan dan menyemangati teman kerja. Dimensi ini serupa dengan konsep fasilitas interpersonal, perilaku membantu interpersonal, OCB terhadap individu (OCB-I) dan perilaku membantu orang lain. 2. Kepatuhan terhadap organisasi Yaitu perilaku yang melakukan prosedur dan kebijakan perusahaan melebihi
harapan
menginternalisasikan
minimum peraturan
perusahaan. perusahaan
Karyawan secara
sadar
yang akan
mengikutinya meskipun pada saat sedang diawasi. Dimensi ini serupa dengan konsep kepatuhan umum dan menaati peraturan perusahaan. 3. Sportsmanship Yaitu tidak melakukan complain mengenai ketidaknyamanan bekerja, mempertahankan sikap positif ketika tidak dapat memenuhi keinginan pribadi, mengizinkan seseorang untuk mengambil tindakan demi kebaikan kelompok (Organ, 1990). Dimensi ini serupa dengan konsep mengahargai perusahaan dan tidak mengeluh. 4. Loyalitas terhadap organisasi Didefinisikan
sebagai
loyalitas
terhadap
organisasi,
meletakkan
perusahaan diatas diri sendiri, mencegah dan menjaga perusahaan dari ancaman eksternal, serta mempromosikan reputasi organisasi (Van Dyne, et al., 1994). 5. Inisiatif individual
Universitas Sumatera Utara
Sama dengan apa yang disebut Organ, (1988) sebagai kesadaran (conscientiousness), merupakan derajat antusiasme dan komitmen ekstra pada kinerja melebihi kinerja maksimal dan yang diharapkan. Dimensi ini serupa dengan konsep kerja pribadi dan sukarela mengerjakan tugas. 6. Kualitas sosial Dijelaskan sebagai tindakan keterlibatan yang bertanggung jawab dan konstruktif dalam proses politik organisasi, bukan hanya mengekspresikan pendapat mengenai suatu pemberian, tetapi mengikuti rapat, dan tetap mengetahui isu yang melibatkan organisasi ( Organ, 1988). 7. Perkembangan diri Meliputi keterlibatan dalam aktivitas untuk meningkatkan kemampuan dan pengalaman seseorang sebagai keuntungan bagi organisasi. Dimensi yang paling sering digunakan untuk mengkonseptualisasi OCB adalah dimensi-dimensi yang dikembangkan oleh Organ (dalam Baron & Byrne, 2002). Menurut Organ (1988), OCB dibangun dari lima dimensi yang masingmasing bersifat unik, yaitu: 1. Altruism yaitu membantu orang lain untuk melakukan pekerjaan mereka. 2. Concientiousness yaitu berisi tentang kinerja dari prasyarat peran yang
melebihi standar minimum, misalnya tidak absen di hari kerja. 3. Civic virtue adalah perilaku berpartisipasi dan menunjukkan kepedulian
terhadap kelangsungan hidup organisasi.
Universitas Sumatera Utara
4. Sportmansip adalah menunjukkan kesediaan untuk mentolerir kondisi tidak menguntungkan tanpa mengeluh. 5. Courtesy yaitu perilaku bersifat sopan dan sesuai aturan sehingga mencegah timbulnya konflik interpersonal. Sedangkan menurut Graham (dalam Ahdiyana, 2009) mengemukakan tiga bentuk OCB yaitu: 1. Obedience; yang menggambarkan kemauan karyawan untuk menerima dan mematuhi peraturan dan prosedur organisasi. 2. Loyalty; yang menggambarkan kemauan karyawan untuk menempatkan kepentingan pribadi mereka untuk keuntungan dan kelangsungan organisasi. 3. Participation; yang menggambarkan kemauan karyawan untuk secara aktif mengembangkan seluruh aspek kehidupan organisasi. Partisipasi terdiri dari: a. Partisipasi sosial yang menggambarkan keterlibatan karyawan dalam urusan-urusan organisasi dan dalam aktivitas sosial organisasi. Misalnya: selalu menaruh perhatian pada isu-isu aktual organisasi atau menghadiri pertemuan-pertemuan tidak resmi. b. Partisipasi advokasi, yang menggambarkan kemauan karyawan untuk mengembangkan organisasi dengan memberikan dukungan dan pemikiran inovatif. Misalnya: memberi masukan pada organisasi dan memberi dorongan pada karyawan lain untuk turut memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan organisasi. c. Partisipasi fungsional, yang menggambarkan kontribusi karyawan yang melebihi standar kerja yang diwajibkan. Misalnya: kesukarelaan untuk
Universitas Sumatera Utara
melaksanakan tugas ekstra, bekerja lembur untuk menyelesaikan proyek penting, atau mengikuti pelatihan tambahan yang berguna bagi pengembangan organisasi. Berdasarkan uraian diatas, dimensi yang digunakan pada penelitian ini adalah dimensi menurut Podsakoff yaitu perilaku menolong, kepatuhan terhadap organisasi, sportsmanship, loyalitas terhadap organisasi, inisiatif individual, kualitas sosial, perkembangan diri. 3. Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi OCB Faktor- faktor yang mempengaruhi timbulnya OCB cukup kompleks dan saling terkait satu sama lain. Diantara faktor-faktor tersebut yang akan dibahas antara lain adalah budaya dan iklim organisasi, kepribadian dan suasana hati (mood), persepsi terhadap dukungan organisasional, persepsi terhadap kualitas interaksi atasan- bawahan, masa kerja dan jenis.
a. Budaya dan iklim organisasi Menurut Organ (2006), terdapat bukti-bukti yang mengemukakan bahwa organisasi merupakan sesuatu kondisi awal yang utama yang memicu terjadinya OCB. Sloat (dalam Novliadi, 2007) berpendapat bahwa karyawan cenderung melakukan tindakan yang melampaui tanggung jawab kerja mereka apabila mereka:
Universitas Sumatera Utara
1. Merasa puas dengan pekerjaannya. 2. Menerima perlakuan yang sportif dan penuh perhatian dari pengawas. 3. Percaya bahwa mereka diperlakukan adil oleh organisasi. Iklim organisasi dan budaya organisasi dapat menjadi penyebab kualitas berkembangnya OCB dalam suau organisasi. Di dalam iklim organisasi yang positif, karyawan merasa lebih ingin melakukan pekerjaannya melebihi apa yang telah disyaratkan dalam uraian pekerjaan, dan akan selalu mendukung tujuan organisasi jika mereka diperlakukan oleh para atasan dengan sportif dan dengan penuh kesadaran sera percaya bahwa mereka diperlakukan secara adil oleh organisasinya. Konovsky dan Pugh (dalam Novliadi, 2007) menggunakan teori pertukaran sosial ( social exchange theory) untuk berpendapat bahwa ketika karyawan telah puas terhadap pekerjaannya, mereka akan membalasnya. Pembalasan dari karyawan tersebut termasuk perasaan memiliki (sense of belonging) yang kuat terhadap organisasi dan perilaku seperti organizational citizhenship. b. Kepribadian dan suasana hati Kepribadian dan suasana hati mempunyai pengaruh terhadap timbulnya OCB secara individual maupun kelompok. George (dalam Novliadi, 2007) berpendapat bahwa kemauan seseorang untuk membantu orang lain juga dipengaruhi suasana hati. Kepribadian merupakan suatu karakteristik yang secara relatif dapat dikatakan tetap, sedangkan suasana hati merupakan karakteristik
Universitas Sumatera Utara
yang dapat berubah-ubah. Sebuah suasana hati yang positif akan meningkatkan peluang seseorang untuk membantu orang lain. Meskipun suasana hati dipengaruhi (sebagian) oleh kepribadian, ia juga dipengaruhi oleh situasi, misalnya iklim kelompok kerja dan faktor-faktor keorganisasian.
Jadi,
jika
organisasi
menghargai
karyawannya
dan
memperlakukan mereka secara adil serta iklim kelompok kerja berjalan positif maka
karyawan
cenderung
bearada
dalam
suasana
hati
yang
bagus.
Konsekuensinya, mereka akan secara sukarela memberikan bantuan kepeada orang lain (Sloat, 1999). Perilaku karyawan tidak terlepas dari atribut kepribadian, seperti yang di jelaskan oleh Robbins & judge (2008) atribut kepribadiannya adalah selfmonitoring. Hasil penelitian dari Blakely, Andrews, dan Fuller, (2003) menunjukkan self-monitoring berhubungan signifikan dengan OCB, yang paling menonjol dalam dimensi OCB salah satunya perilaku menolong dalam lingkungan organisasi. Dan kemudian ditambahkan manajer lebih tertarik pada karyawan yang
mempunyai self-monitoring tinggi karena penting dalam peningkatan karakteristik organisasi. c. Persepsi terhadap dukungan organisasional Studi Shore dan Wayne (dalam Novliadi, 2007) menemukan bahwa persepsi terhadap dukungan organisasional (Perceived Organizaional Support/ POS) dapat menjadi faktor untuk memprediksi OCB. Pekerja yang merasa bahwa mereka didukung oleh organisasi akan memberikan timbal baliknya (feed back) dan
Universitas Sumatera Utara
menurunkan ketidakseimbangan dalam hubungan tersebut dengan terlibat dalam perilaku citizenship. d. Persepsi terhadap kualias interkasi atasan- bawahan Kualitas interaksi atasan-bawahan juga diyakini sebagai faktor unuk memprediksi OCB. Miner (dalam Novliadi, 2007) mengemukakan bahwa ineraksi atasan- bawahan yang berkualias tinggi akan memberikan dampak seperti meningkatkan kepuasan kerja, produktifitas, dan kinerja karyawan. Riggio (1990) menyatakan bahwa apabila interaksi atasan-bawahan berkualias tinggi maka seseorang atasan akan berpandangan positif
terhadap bawahannya sehingga
bawahannya akan merasakan bahwa atasannya banyak memberikan dukungan dan motivasi. Hal ini meningkatkan rasa percaya dan hormat bawahan pada atasannya sehingga mereka termotivasi untuk melakukan “lebih dari” yang diharapkan oleh atasan mereka. e. Masa kerja Greenberg dan Baron (2000) mengemukakan bahwa karakteristik personal seperti masa kerja dan jenis kelamin berpengaruh pada OCB. f. Jenis kelamin Komrad (dalam Novliadi, 2007) mengemukakan bahwa perilaku perilaku kerja seperti menolong orang lain, bersahabat dan bekerja sama dengan orang lain lebih menonjol dilakukan oleh wanita dari pada pria. Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa wanita cenderung lebih mengutamakan pembentukan relasi
Universitas Sumatera Utara
dari pada pria (Gabriel dan Gardner, 1999 dalam Novliandi, 2007) dan lebih menunjukkan perilaku menolong dari pada pria. Temuana-temuan tersebut menunjukkan bahwa ada perbedaan yang cukup mencolok antara pria dan wanita dalam perilaku menolong dan interaksi sosial di tempat mereka bekerja. Morrison (1994) (dalam Novliadi, 2007) juga membuktikan bahwa ada perbedaan persepsi terhadap OCB antara pria dan wanita, dimana wanita mengganggap OCB merupakan bagian dari perilaku in-role mereka dibanding pria.
Bukti-bukti
tersebut
menunjukkan
bahwa
wanita
cenderung
menginternalisasi harapan-harapan kelompok, rasa kebersamaan dan aktivitasaktivias menolong sebagai dari pekerjaan mereka (Diefendorf e al, 2002 dalam Novliadi, 2007). Dari beberpa tokoh penelitian diatas, maka tidak semua faktor-faktor yang mempengaruhi OCB tersebut diatas akan disertakan sebagai variabel-variabel dalam penelitian ini. Berdasarkan pada relevansi dengan permasalahan yang ada dan ketertarikan penulis sendiri untuk mendalami teori kepribadian yang salah satu atributnya self-monitoring. 4. Manfaat-manfaat OCB dalam Perusahaan Dari hasil penelitian- penelitian mengenai pengaruh OCB terhadap kinerja organisasi (diadaptasi dari Podsakoff dalam hardaningtyas, 2004 ) dapat di simpulkan hasil sebagai berikut: 1. OCB meningkatkan produktivitas rekan kerja
Universitas Sumatera Utara
a. Karyawan
yang menolong rekan
kerja lain
akan mempercepat
penyelesaian tugas rekan kerjanya, dan pada gilirannya meningkatkan produktivitas rekan tersebut. b. Seiring dengan berjalannya waktu, perilaku membantu yang ditunjukkan karyawan akan membantu menyebarkan best practice ke seluruh unit kerja atau kelompok. 2. OCB meningkatkan produkivitas manajer a. Karyawan yang menampilkan perilaku civic virtue akan membantu manajer mendapatkan saran dan atau umpan balik yang berharga dari karyawan tersebut untuk meningkatkan efektivitas unit kerja. b. Karyawan yang sopan, yang menghindari terjadinya konflik dengan rekan kerja, akan menolong manajer terhindar dari krisis manajemen 3. OCB menghemat sumber daya yang dimiliki manajemen dan organisasi secara keseluruhan a. Jika karyawan saling tolong menolong dalam menyelesaikan masalah dalam suatu pekerjaan sehingga tidak perlu melibatkan manajer. Konsekuensinya manajer dapat memakai waktunya untuk melakuakan tugas lain. Seperti membuat perencanaan. b. Karyawan yang menampilkan conscentiousness yang tinggi hanya membutuhkan pengawasan minimal dari manajer sehingga manajer dapat mendelegasikan tanggung jawab yang lebih besar kepada
Universitas Sumatera Utara
mereka, ini berarti lebih banyak waktu yang diperoleh manajer untuk melakukan tugas yang lebih penting. c. Karyawan lama yang membantu karyawan baru dalam pelatihan dan melakukan orientasi kerja akan membantu organisasi mengurangi biaya untuk keperluan tersebut. d. Karyawan yang menampilkan perilaku sportmanship akan sangat menolong manajer tidak menghabiskan waktu terlalu banyak untuk berurusan dengan dengan keluhan-keluhan kecil karyawan 4. OCB membantu menghemat energi sumber daya yang langka untuk memelihara fungsi kelompok a. Keuntungan dari perilaku menolong adalah meningkatkan semangat, moril (morale), dan kerekatan (cohesiveness) kelompok, sehingga anggota kelompok (atau manajer) tidak perlu menghabiskan energi dan waku untuk pemeliharaan fungsional kelompok b. Karyawan yang menampilkan perilaku courtesy terhadap rekan kerja akan mengurangi konflik dalam dalam kelompok, sehingga waktu yang dihabiskan untuk menyelesaikan konflik mangemen berkurang 5. OCB dapat menjadi sarana efektif untuk mengkoordiasi kegiatan- kegiatan kegiatan kerja. Menampilkan perilaku civic vitue ( seperti mengadiri dan berpartisipasi aktif dalam pertemuan di unit kerjanya) akan membantu
Universitas Sumatera Utara
koordinasi diantara anggota kelompok. Yang akhirnya secara potensial meningkatkan efektivitas dan efisiensi kelompok 6. OCB
meningkatkan
kemampuan
organisasi
untuk
menarik
dan
mempertahankan karyawan terbaik a. Perilaku menolong dapat meningkatkan moril dan kerekatan serta perasaan saling memilki diantara anggota kelompok. Sehingga akan meningkatkan kinerja organisasi dan membantu organisasi menarik dan memperahankan karyawan yang baik. b. Memberi contoh pada karyawan lain dengan menampilkan perilaku sportmanship (misalnya tidak mengeluh karena permasalahanpermasalahan kecil) akan menumbuhkan loyalitas dan komitmen pada organisasi. 7. Organisasi meningkatkan stabilitas kinerja organisasi a. Membantu tugas karyawan yang tidak hadir di tempat kerja atau yang mempunyai beban kerja berat akan meningkatkan stabilias (dengan cara mengurangi variabilitas) dari kinerja unit kerja. b. Karyawan yang conscientious cenderung memperhatikan tingkat kinerja yang tinggi secara konsisten, sehingga mengurangi variabelitas pada kinerja unit kerja. 8. OCB meningkatkan kemampuan organisasi untuk beradaptasi dengan perubahan lingkungan
Universitas Sumatera Utara
a. Karyawan yang mempunyai hubungan yang dekat dengan pasar dengan sukarela memberi informasi tentang perubahan yang terjadi di lingkungan dan memberi saran tentang bagaimana merespon perubahan tersebut, sehingga organisasi dapat beradaptasi dengan cepat b. Karyawan yang secara aktif hadir dan beradaptasi pada pertemuanpertemuan di organisasi akan membantu menyebarkan informasi yang penting dan harus diketahui oleh organisasi. c. Karyawan yang menampilkan perilaku conscientiousness (misalnya kesediaan untuk memikul tanggung jawab baru dan mempelajari keahlian baru) akan meningkatkan kemampuan organisasi beradaptasi dengan perubahan yang terjadi di lingkungannya. B. SELF MONITORING 1. Pengertian Self Monitoring Self-monitoring adalah karakteristik kepribadian yang membuat individu tersebut memberikan perhatian penuh pada situasi sosial. Jadi, mereka dapat mengubah perilakunya untuk sesuaikan dengan situasi yang datang/muncul. Koestner, Bernieri, & Zuckerman (dalam sebayang, 2003) menyatakan selfmonitoring sebagai pengaturan perilaku seseorang seseorang berdasarkan situasi eksternal dan reaksi orang lain atau berdasarkan faktor internal seperti keyakinan sikap dan nilai.
Universitas Sumatera Utara
Konsep self-monitoring pertama kali dikemukakan oleh Synder pada tahun 1972 dalam disertasinya di Universitas Stanford. Teori ini merupakan bagian dari teori peran dan masih berhubungan erat dengan Imppression Management Theory dan Integration Theory. Synder (dalam Shaw & Costanzo, 1988), menyatakan salah satu fakor individual yang mampu mengendalikan perilaku seseorang pada situasi sosial ataupun interaksi sosial adalah self-monitoring yang ada pada dirinya. Menurutnya, self- monitoring yang ada pada diri seseorang, individu akan memberi respon yang berbeda terhadap situasi sosial yang dihadapi (Snyder, dalam Shaw & Constanzo, 1988). Self-monitoring pertama kali di nyatakan oleh Synder. Self-monitoring adalah kemampuan seseorang untuk memantau dirinya untuk berperilaku sesuai dengan situasi (Synder, 1979 dalam Sebayang 2003). Synder juga menyatakan bahwa self-monitoring merupakan suatu kemampuan atau kesadaran diri menampilkan dirinya baik perilaku, ekspresi non verbal serta mengendalikan penampilan emosi sesuai dengan situasi yang dihadapinya. Dimana selfmonitoring bukanlah suatu usulan, tetapi merupakan suatu tingkatan yaitu suatu hal yang secara relatif tinggi dan rendah kaitannya dengan pola ekspresi diri. Synder (dalam Friedman & Schunstack, 2006) mengemukakan selfmonitoring berhubungan dengan observasi diri dan kontrol diri yang di terima secara sosial. Seseorang yang tinggi dalam monitoring diri akan mau dan mampu tampil ke depan dan dapat melakukan apa yang diharapkan oleh lingkungan sosial. Mantan Presiden Amerika Serikat (yang juga seorang aktor), Renold Reagan, sangat mau dan mampu mempersentasikan dirinya sendiri; dan pada
Universitas Sumatera Utara
kenyataannya ia dikenal sebagai komunikator handal, sebaliknya orang yang rendah dalam self-monitoring sering tidak sadar akan ekspektasi sosial, atau tidak mau dan tidak mampu bertindak sesuai ekspektasi sosial dan mereka mungkin lebih melihat kedalam diri dan cenderung reflektif; ada kecenderungan untuk memilki orientasi disposisional pada individu dengan monitoring diri yang rendah di sisi lain, ada kecenderungan untuk memiliki orientasi situasional pada individu dengan monitoring diri yang tinggi. Oleh karena itu, Synder (1987) dan ahli teori modern lainnnya beralih ke pendekatan fungsionalis dalam menjelaskan kepribadian, mempertanyakan “Apa yang orang-orang inginkan, 2) mengapa mereka menginginkan hal tersebut, dan 3) bagaimana cara mereka meraih atau mencapainya, karena hal tersebut, penting untuk menjelaskan siapa orang itu. (dalam Friedman & Schunstack, 2006). Self-monitoring tinggi sensitif terhadap persyaratan situasi tertentu dan mudah dapat menyesuaikan perilaku mereka sendiri untuk memenuhi situasi (Snyder, 1987). Self-monitoring tinggi cenderung bergantung lebih banyak di situasional verbal dan non-verbal isyarat dari perasaan internal dan sikap untuk menentukan kelayakan perilaku mereka sendiri. Self-monitoring tinggi aktif memantau dan mengatur perilaku mereka sendiri di hadapan para orang lain. sebaliknya, Self-monitoring rendah kurang sensitif terhadap dan kurang peduli dengan dampaknya pada orang lain dan lebih dipandu oleh perasaan internal mereka dan sikap dari oleh situasional. Self-monitoring rendah berperilaku sesuai dengan negara internal mereka sendiri daripada menurut isyarat eksternal (dalam Blakely, et al., 2003).
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan berbagai pendapat yang telah dikemukakan oleh para ahli di atas maka dapat disimpulkan bahwa self-monitoring merupakan kemampuan individu dalam menampilkan dirinya terhadap orang lain dengan menggunakan petunjuk-petunjuk yang ada pada dirinya maupun petunjuk-petunjuk yang ada di sekitarnya, guna mendapatkan informasi yang diperlukan untuk bertingkah laku yang sesuai dengan kondisi dan situasi yang dihadapi dalam lingkungan sosialnya. 2. Komponen- komponen Self-Monitoring Baron & Greenberg (2000) menyatakan bahwa self-monitoring mempunyai tiga komponen, yaitu: a. Kesediaan untuk menjadi pusat perhatian. Hal ini berhubungan dengan kemampuan sosial dalam mengekspresikan emosional individu. b. Kecenderungan yang menggambarkan kepekaan individu dalam reaksinya terhadap orang lain. c. Kemampuan dan kesediaan individu untuk menyesuaikan perilaku sehingga menimbulkan reaksi yang positif terhadap orang lain. Synder (dalam Shaw & Constanzo, 1982) menyatakan bahwa self-monitoring mempunyai lima komponen yang terdapat dalam diri individu: a. Peduli terhadap apa yang secara sosial dibutuhkan untuk penampilan diri seseorang. b. Perhatian pada perbandingan informasi sosial sebagai isyarat yang secara sosial dibutuhkan untuk mengekspresikan penampilan dirinya (self presentation).
Universitas Sumatera Utara
c. Kemampuan untuk mengontrol dan memodifikasi penampilan dirinya (self -presentation) dan ekspresi perilakunya. d. Mampu menggunakan kemampuan tersebut sesuai dengan situasi. e. Peka terhadap kegunaan atau memfaat kemampuan ini dalam situasi-situasi tertentu. Kemudian ada pengembangan self-monitoring dengan 3 komponen. Ketiga komponen tersebut dikemukakan Briggs & Cheek (Synder & Gangestad, 1986) sebagai berikut: 1. Expressive self control. Berhubungan dengan kemampuan untuk secara aktif mengontrol tingkah lakunya. Individu yang mempunyai selfmonitoring tinggi suka mengontol tingkah laku nya agar mendapatkan terlihat baik. Adapun ciri-cirinya adalah: Acting, termasuk didalamnya kemampuan untuk bersandiwara, berpura-pura, dan melakukan kontrol ekspresi baik secara verbal maupun non verbal serta kontrol emosi. Entertaining, yaitu menjadi penyegar suasana. Berbicara didepan umum secara spontan. 2. Social stage presence, kemampuan untuk bertingkah laku yang sesuai dengan situasi yang dihadapi, kemampuan untuk mengubah-ubah tingkah laku dan kemampuan untuk menarik perhatian sosial. Ciri-ciri nya adalah Ingin tampil menonjol atau menjadi pusat perhatian.
Universitas Sumatera Utara
Suka melucu. 3. Other directed of self-representation, kemampuan untuk memainkan peran seperti apa yang diharapkan orang lain dalam situasi sosial, kemampuan untuk menyenangkan orang lain dan kemampuan untuk tanggap terhadap situasi yang dihadapi. Adapun ciri-cirinya adalah: Berusaha menyenangkan orang lain. Bersikap sama dengan situasi sosial. Suka menggunkan “topeng” untuk menutupi perasaannya. Kemampuan individu dalam menampilkan dirinya sesuai dengan tuntutan dari lingkungan sosialnya dan sejauhmana individu mementingkan faktor-faktor eksternal maupun internal dalam berperilaku dapat dilihat melalui self-monitoring. Komponen- komponen yang dikemukakan oleh Synder yang digunakan dalam penelitian ini adalah expressive self control, social stage presence, dan other directed self present. 6. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Self-Monitoring a) Pendidikan Synder (dalam Panjaitan, 2006) menyatakan dalam tugas yang melibatkan proses kognitif orang yang mempunyai self-monitoring yang tinggi lebih baik daripada orang yang memilki self-monitoring yang rendah. Individu yang memiliki self-monitoring yang rendah kurang efisien dalam proses kognitiff karena kurang dalam kemampuan mengobservasi diri (self-observational). Proses
Universitas Sumatera Utara
kognitif akan berjalan dengan baik sesuai dengan pendidikan yang diperoleh oleh individu. Dari pendidikan akan terbentuk kepribadian yang mempengaruhi baik secara formal maupun non formal. Secara formal oleh guru dan non formal dari lingkungan keluarga dan sosialnya secara langsung akan mempengaruhi pemebentukan kepribadian seseorang. Self monitoring adalah salah satu aspek kepribadian,dan ini berarti pendidikan ikut mempengaruhi self monitoring (synder dalam Panjaitan, 2006). b) Latihan Kapasitas untuk mengobservasi serta mengimitasi mempengaruhi self monitoring seseorang. Kemampuan mengobservasi serta mengimitasi ini akan berkembang lebih baik bila dilatih secara baik (Ferrari, 1996 dalam Panjaitan, 2006). Oleh sebab itu faktor latihan akan membantu perkembangan atau self monitoring seseorang (Ferrari. Dkk, 1991 dalam Panjaitan, 2006) Kepekaan seseorang terhadap situasi yang dihadapi dan apa yang secara sosial dibutuhkan untuk menghadapi situasi dapat berkembang lebik baik bila individu melatih dirinya. Selain hal ditas, ada beberapa faktor lain yang mempengaruhi selfmonitoring. Koestner, Bernieri, & Zuckerman (dalam Panjaitan, 2006), mengatakan bahwa self- monitoring terjadi karena adanya faktor internal dan faktor external. a. Faktor Internal Faktor internal dalam self-monitoring yaitu:
Universitas Sumatera Utara
1. Keyakinan sikap individu Dalam suatu situasi seseorang individu melihat apakah sesuatu hal yang dilakukannya akan dapat berpengaruh ataupun tidak dalam merespon sesuatu hal yang datang terhadap dirinya. 2. Nilai Seberapa besar suatu hal tingkah laku yang akan ditampilkan akan memilki sesuatu yang bernilai dalam merespon terhadap lingkungan situasi yang dihadapi. b. Faktor External 1. Kehadiran orang lain Dalam menghadapi suatu situasi seseorang individu akan berusaha menampilkan sesuatu yang dapat diterima orang lain dalam berkomunikasi baik dengan secara verbal maupun dengan non verbal. 2.
Kondisi situasi Suatu situasi yang menekan membuat seseorang individu akan berusaha
menampilkan dirinya yang terbaik dalam situasi kondisi. Krauss, Geller. & Olson (dalam Panjaitan, 2006), mengatakan seorang akan menggunakan kemampuan self-presentation dalam praktek wawancara tatap muka. Jadi faktor- faktor yang mempengaruhi self-monitoring adalah faktor internal dan external yang ada pada karyawan. Peneliti juga memakai faktor-
Universitas Sumatera Utara
faktor yang mempengaruhi self-monitoring sebagai penguat penelitian tentang pengaruh self -monitoring dengan OCB. C. Pengaruh Self-monitoring terhadap OCB Menurut Robbins dan Judge (2008), fakta menunjukkan bahwa organisasi yang mempunyai karyawan yang memiliki OCB yang baik, akan memiliki kinerja yang lebih baik dari organisasi lain. Podsakoff et al., (2000), OCB yaitu perilaku yang dimunculkan bersifat bebas dan suka rela yang dilakukan di luar dekskripsi kerja dengan tujuan untuk efektifitas organisasi. Menurut Podsakoff et al. (2000), OCB terdiri dari tujuh dimensi, yaitu perilaku menolong, kepatuhan terhadap organisasi, sportmanship, loyalitas
terhadap
organisasi,
inisiatif
individual,
kualitas
sosial,
dan
perkembangan diri. Perilaku menolong merupakan perilaku membantu teman kerja secara suka rela. Kepatuhan terhadap organisasi merupakan perilaku yang melakukan prosedur dan kebijakan perusahaan. Sportmanship yaitu tidak melakukan komplain mengenai ketidaknyamanan bekerja. Loyalitas terhadap organisasi sebagai loyalitas terhadap organisasi, mencegah dan menjaga perusahaan dari ancaman eksternal, serta mempromosikan reputasi organisasi. Inisiatif individual merupakan derajat antusiasme dan komitmen ekstra pada kinerja melebihi kinerja maksimal dan yang diharapkan. Kualitas sosial merupakan sebagai tindakan keterlibatan yang bertanggung jawab dan konstruktif dalam proses politik organisasi. Perkembangan diri meliputi keterlibatan dalam aktivitas untuk
Universitas Sumatera Utara
meningkatkan kemampuan dan pengalaman seseorang sebagai keuntungan bagi organisasi. Dengan rujukan hasil penelitian dari Blakely, Andrews, dan Fuller (2003) menunjukkan self monitoring berhubungan signifikan dengan OCB, yang paling menonjol dalam dimensi OCB salah satunya perilaku menolong dalam lingkungan organisasi.
Selanjutnya Niehoff & Noorman, (1993) menyatakan dalam penelitiannya bahwa ada hubungan positif antara metode monitoring pimpinan terhadap OCB. Yang pertama, dilihat hubungan positif yang ditemukan antara manager memulai diskusi dan altruisme. Yang kedua, metode pemimpin pengawasan dan keadilan terbaik tercermin pada hubungan positif antara pengamatan keadilan dari semua tiga dimensi (seperti observasi, informal discussion, formal meeting). Menurut Snyder & Gangestad (1986) self-monitoring ini merupakan kecakapan individu dalam membaca situasi diri dan lingkungannya serta kemampuannya untuk mengontrol diri dan mengelola faktor-faktor perilaku sesuai dengan situasi dan kondisi untuk menampilkan diri dalam situasi sosial.
Briggs & Cheek (Synder & Gangestad, 1986) menyebutkan 3 komponen self-monitoring : Expressive self control, berhubungan dengan kemampuan untuk secara aktif mengontrol tingkah lakunya, agar mendapatkan terlihat baik. Social stage presence, kemampuan untuk memainkan peran seperti apa yang diharapkan orang lain dalam situasi sosial. Other directed of self-representation, kemampuan untuk memainkan peran seperti apa yang diharapkan orang lain dalam situasi
Universitas Sumatera Utara
sosial, kemampuan untuk menyenangkan orang lain dan kemampuan untuk tanggap terhadap situasi yang dihadapi. Self-monitoring berhubungan positif dengan melayani diri sendiri dalam pengelolaan
kesan.
Pengelolaan
emosi
melibatkan
pengaturan
perilaku
diungkapkan sehingga sosial yang sesuai. Self-monitoring merupakan dasar dari dorongan internal untuk seorang pemimpin untuk menunjukkan OCB. Perhatian untuk citra umum seseorang kemungkinan untuk meningkatkan frekuensi orang menunjukkan OCB ( Krishnan & Arora, 2008). D.
Hipotesa Penelitian Berdasarkan uraian teoritis di atas maka hipotesa yang diajukan dalam
penelitian ini adalah “ada pengaruh self-monitoring terhadap OCB pada Karyawan di PT. X.
Universitas Sumatera Utara