BAB II LANDASAN TEORETIS
2.1 Sosialisasi Partai Politik 2.1.1
Pengertian Sosialisasi Politik Sosialisasi politik (political socialization) atau yang disebut sebagai proses
memasyarakatkan adalah salah satu fungsi dari partai politik. Dalam usaha yang dilakukan oleh partai politik adalah mendapatkan kemenangan dalam pemilihan umum, partai politik harus memperoleh dukungan seluas mungkin. Maka partai politik harus mampu menanamkan dalam diri anggotanya solidaritas dengan partai dan yang mendidik anggotanya agar memiliki pengetahuan mengenai sistem politik sehingga mampu untuk mengapresiasikan dan menanggapi fenomena politik melalui proses sosialisasi politik. Menurut Michael Rush dan Philip Althoff (2005:25) bahwa yang dimaksud dengan sosialisasi politik adalah suatu proses bagaimana memperkenalkan sistem politik pada seseorang dan bagaimana orang tersebut menentukan tanggapan serta reaksi-reaksinya terhadap gejalagejala politik. Selain itu, sosialisasi politik adalah sarana bagi partai politik untuk mengenalkan nilai-nilai dan norma-norma yang dianut oleh partai politik tersebut secara kesinambungan, agar nilai dan norma tersebut terus dikenal dan dianut oleh setiap generasi. Hal ini ditegaskan oleh Miriam Budiardjo (2000:161) bahwa sosialisasi politik juga mencakup proses melalui mana masyarakat melampaui norma-norma dan nilai-nilai dari satu generasi ke genarasi berikutnya.
11
Kelanjutanya hal yang sama diungkapkan oleh Alfian (1999:233) yang mengemukakan bahwa sosialisasi politik adalah suatu proses dimana anggotaanggota masyarakat mengenal, memahami, menghayati nilai-nilai politik tertentu yang oleh karena itu mempengaruhi sikap dan tingkah laku politik sehari-hari. Sementara itu Laswell (dalam S.P.Varma, 1982:266) menekankan bahwa manusia sebagai binatang pemakan nilai (value grasping animal) selalu mencari nilai yang mereka butuhkan itu dalam kehidupannya. Dalam politik berkaitan bagaimana nilai-nilai ini di alokasikan dalam masyarakat. Hal ini dikemukakan oleh Mac Iver (1987: 250) bahwa nilai-nilai politik dibagi kedalam dua tipe yaitu kesempurnaan (consummatory) dan instrumental. Yang disebut sebagai nilai kesempurnaan adalah:
Nilai yang didasarkan pada sekumpulan moralitas tertentu yang diwujudkan dalam ideologi politik, sekelompok norma budaya terpadu yang secara luas tersebar di populasi atau sekumpulan norma budaya yang bertentangan yang dianut oleh kelompok-kelompok yang saling antagonik.
Sedangkan nilai instrumental lebih berdasarkan efisiensi, kalau pemerintah dianggap tidak efisien atau kurang berkuasa mengatasi persoalan serta tidak dapat mempersiapkan masa depan masyarakat, dukungan ditarik. Proses sosialisasi yang dilakukan untuk membentuk sikap serta orientasi anggota dalam melihat fenomena politik yang ada. Hal senada dijelaskan oleh Ramlan Surbakti (1992:117) bahwa sosialisasi politik ialah:
Proses pembentukkan sikap dan orientasi politik para anggota masyarakat melalui proses sosialisasi politik inilah para masyarakat memperoleh sikap
12
dan orientasi terhadap kebidupan politik yang berlangsung dalam masyarakat.
Definisi tersebut ditegaskan oleh pengertian sosialisasi politik yang dikemukakan oleh David Easton dan Jack Dennis (dalam Michael Rush dan Philip Althoff, 2005:34) yang mengatakan bahwa sosialisasi politik adalah suatu proses perkembangan seseorang untuk mendapatkan orientasi-orientasi politik dan polapola tingkah lakunya. Hal senada ditegaskan oleh Almond dan Verba (1990:16) bahwa orientasi politik dan pola tingkah laku individu diperoleh melalui sosialisasi politik. Ditambahkan lagi bahwa orientasi politik menurutnya mencakup hal-hal:
1. Orientasi kognitif : pengetahuan tentang kepercayaan pada politik, peranan, dan segala kewajibannya, serta input dan output. 2. Orientasi afektif : perasaan terhadap sistem politik, peranannya, para aktor dan penampilannya. 3. Orientasi evaluatif : keputusan dan pendapat tentang obyek-obyek politik yang secara tipikal melibatkan kombinasi standar nilai-nilai dan kriteria dengan informasi dan perasaan.
Dalam mengukur sikap individu maupun dalam kehidupan politik, menggunakan orientasi kognitif, afektif, dan evaluatif seperti yang telah dijelaskan terdahulu. Apabila dilihat dari sudut individu, orientasi afektif yang dimaksud adalah berkaitan dengan aspek perasaan seorang individu dengan kapasitasnya sebagai warga negara. Hal tersebut ditekankan pada perasaan khusus yang dimiliki oleh individu mengenai aspek-aspek sistem politik tertentu yang dapat membuat individu-individu tersebut menerima atau menolak sebuah sistem politik. Sedangkan orientasi kognitif yaitu mengenai tingkat pengetahuan individu
13
tentang segala sistem politik meliputi tokoh-tokoh pemerintahan, kebijaksanaan yang diambil oleh pemerintah atau mengenai simbol-simbol dalam sistem politik secara keseluruhan. Sementara itu orientasi evaluatif yang dimaksud adalah orientasi politik individu yang ditentukan oleh orientasi moral. Norma-norma yang dianut seorang warga negara menjadi dasar sikap dan prilaku yang ditonjolkan olehnya terhadap sebuah sistem politik. Pengertian warga negara terhadap sistem politik itu merupakan suatu kemampuan untuk mengukur kesadaran tentang politik, bagianbagian, simbol-simbol, dan sekaligus norma-norma yang dimiliki masyarakat. Ketiga orientasi tersebut sangat berpengaruh pada individu dalam menyikapi sebuah sistem politik, dan ketiganya sangat berhubungan seperti sebuah contoh dikemukakan oleh syamsudin (dalam Sudijono Sastroamodjo, 1995:39) tentang saling berhubungannya ketiga komponen tersebut adalah sebagai berikut:
Untuk dapat memberikan suatu penilaian tentang seorang pemimpin, seorang warga negara dituntut untuk memiliki pengetahuan tentang pemimpin tersebut secara memadai. Namun demikian, tentulah bahwa pengetahuan tersebut telah dipengaruhi oleh berbagai aspek dan yang paling dominan adalah perasaannya sendiri. Demikian pula sebaliknya bahwa pengetahuan seseorang tentu juga dipengaruhi oleh pengetahuan simbol politik yang sedang berlangsung. Bahkan dikatakan bahwa pengetahuan tentang simbol saling mempengaruhi perasaan seseorang terhadap sistem politik secara keseluruhan.
Selain itu, agar dapat diperoleh pula yang tepat dan petunjuk yang relevan mengenai orientasi seseorang terhadap kehidupan politik, terlebih dahulu mesti dikumpulkan sebagai informasi, yang meliputi pengetahuan keterlibatan, dan penilaian seseorang terhadap salah satu obyek pokok dari orientasi politik.
14
Kantraprawira (1988:31) yang mengemukakan bahwa objek orientasi politik meliputi keterlibatan seseorang terhadap:
a. Sistem politik secara keseluruhan. Meliputi antara lain intensitas pengetahuan, ungkapan perasaan, yang ditandai oleh apresiasi terhadap sejarah, ukuran lingkup lokasi, persoalan kekuasaan, karakteristik konstitusional negara atau sistem politiknya. b. Proses input. Meliputi antara lain intensitas pengetahuan dan perbuatan tentang proses penyaluran segala tuntutan yang diajukan atau diorganisasi oleh masyarakat, termasuk pralarsa untuk menerjemahkan atau mengkonvensi tuntutan-tuntutan tersebut sehingga menjadi kebijaksanaan yang otoritatif sifatnya. Dengan demikian proses input antara lain meliputi pula pengamatan atas partai politik, kelompok kepentingan dan alat komunikasi massa yang nyata-nyata berpengaruh dalam kehidupan politik sebagai alat (sarana) penampung berbagai tuntutan. c. Proses output. Meliputi antara lain intensitas pengetahuan dan perbuatan tentang proses aktivitas berbagai cabang pemerintahan yang berkenaan dengan penerapan dan pemaksaan keputusan-keputusan otoritatif. Singkatnya berkenaan dengan fungsi pembuatan aturan/perundangundangan oleh badan legislatif, fungsi pelaksanaan aturan oleh eksekutif (termasuk birokrasi) dan fungsi peradilan. d. Diri sendiri. Meliputi antara lain intensitas pengetahuan dan frekuensi perbuatan seseorang dalam mengambil peranan di arena sistem politik. Dipersoalkan apakah yang menjadi hak, kekuasaan, dan kewajibannya. Apakah yang bersangkutan dapat memasuki lingkungan orang atau kelompok yang mempunyai pengaruh atau bahkan bagaimana caranya untuk meningkatkan pengaruhnya sendiri. Kemudian lebih lanjut dipersoalkan kriteria apa yang dipakainya dalam membentuk pendapat dalam masyarakatnya atau dalam sistem politik sebagai keseluruhan.
Berdasarkan pandangan diatas maka dapat diambil garis besar bahwa empat komponen yaitu sistem politik keseluruhan, proses input, proses output, dan diri sendiri akan menjadi komponen yang saling mempengaruhi dalam menciptakan sebuah orientasi politik yang didasari oleh pengetahuan, wawasan, sikap, dan perilaku dalam kehidupan masyarakat, sehingga tercipta sebuah orientasi yang berkesinambungan dan utuh.
15
Dari berbagai jenis orientasi politik yang didapat melalui proses sosialisasi politik, diharapkan masyarakat dapat memiliki pandangan, daya pikir serta daya tanggap tentang kehidupan politik yang sedang berlangsung juga memiliki acuan dan keyakinan yang jelas dalam politik agar dapat diteruskan ke generasi berikutnya. Selain orientasi politik yang telah dikemukakan terdahulu, Almond dan Verba menekankan bahwa sosialisasi politik menunjukkan pada proses sikap dan tingkah laku politik individu diperoleh dan dibentuk sehingga sarana bagi suatu generasi untuk mencapai patokan-patokan politik dan keyakinan-keyakinan politik kepada generasi berikutnya. Nilai-nilai yang didapat melalui sosialisasi politik yang sejalan dengan tradisi, dapat mempengaruhi dan melandasi sikap seseorang atau kelompok terhadap sebuah sistem politik yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan bernegara dan sudah tentu dalam kehidupan politiknya. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Yahya Muhaimin (dalam Sudijono Sastroamodjo, 1995:217) yang mengatakan bahwa:
Kehidupan politik dan negara memerlukan sikap yang menunjukkan dukungan serta kesetiaan warganya kepada sistem politik dan kepada negara yang ada. Sikap ini dilandasi oleh nilai-nilai yang berkembang dalam diri warga masyarakat negara itu, baik sebagai individu maupun kelompok. Tatanan dan proses politik akan memberikan makna pada anggota masyarakat bilamana sejalan dengan nilai dan tradisi yang dipegang oleh anggota masyarakat.
Dari metode penyampaian pesan, sosialisasi politik dibagi menjadi pendidikan politik dan indoktrinasi politik. Melalui pendidikan politik yang merupakan proses dialogik antara pemberi dan penerima pesan, masyarakat dapat
16
mengenal dan mempelajari nilai, norma, dan simbol-simbol politik seperti partai politik. Sedangkan indoktrinasi politik ialah proses sepihak yang dilakukan oleh penguasa untuk memobilisasi dan memanipulasi masyarakat untuk menerima nilai, norma, dan simbol politik yang dianggap ideal dan baik. Dalam negara yang demokratis sosialisasi politik yang dilakukan oleh partai politik adalah melalui pendidikan politik, bukan melalui indoktrinasi politik. Pendidikan politik (political education) menurut Rusadi Kantraprawira (1988:54) yaitu untuk meningkatkan pengetahuan politik rakyat dan agar mereka dapat berpartisipasi secara maksimal dalam sistem politiknya. Lebih jauh lagi Alfian (1992:235) memberikan pengertian mengenai pendidikan politik sebagai usaha sadar untuk mengubah proses sosialisasi politik masyarakat sehingga mereka memahami, dan menghayati betul nilai-nilai yang terkandung dalam sistem politik yang ideal yang hendak dibangun. Hal ini relevan dengan pengertian sosialisasi yang dikemukakan sebelumnya yaitu proses untuk menstranformasikan nilai-nilai politik. Sedangkan menurut M. Natsir (Aay Muhammad Furqon, 2004:204) sosialisasi politik lebih ditekankan pada aspek pembinaan warga negara kearah kehidupan dan cara berpikir yang sesuai dengan pola yang ditentukan partai. Dimaksudkan bahwa proses sosialisasi yang dilakukan partai tersebut dapat menanamkan kepada masyarakat tentang cara pandang (pola) yang dianut oleh partai tersebut. Sehingga diharapkan warga negara dapat berpikir dan bertindak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh partai yang tercermin dalam sikap politik seseorang. Tentang sikap politik yang terbentuk dalam proses sosialisasi politik
17
ini, menurut Almond dan Verba (1990:325) ada seperangkat hubungan dengan tiga anggapan mengenai hal ini yaitu:
1. Pengalaman sosialisasi yang akan mempengaruhi tingkah laku politik dikemudian hari yang terjadi sebelumnya dalam kehidupan. 2. Pengalaman ini bukan pengalaman yang bersifat politik, akan tetapi memiliki berbagai konsekuensi politik laten yaitu tidak dimaksudkan melukiskan impak politik dan impak tersebut tidak terorganisir adanya. 3. Proses sosialisasi selalu bersifat undireksional dimana pengalamanpengalaman mendasar dalam keluarga mempunyai pengaruh penting terhadap struktur sekunder politik tetapi sebaiknya tidak dipengaryhi oleh politik.
Sehingga tingkah laku politik seseorang dapat diketahui dari pengalaman awal meskipun hal tersebut sifatnya non politik. Karena sosialisasi politik sangat dipengaruhi oleh pengalaman hidup sehingga sumber dari sikap politik. Sedangkan fungsi dari sosialisasi politik itu sendiri diungkapkan oleh Sudijono Sastroamodjo (1995:120) adalah sebagai berikut:
Fungsi sosialisasi politik itu sangat penting sebab sosialisasi politik dapat meningkatkan pengetahuan, pemahaman masyarakat tentang kehidupan politik yang pada gilirannya dapat mendorong partisipasi maksimal dalam sistem politiknya.
Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa pengertian sosialisasi politik adalah proses berkesinambungan yang dilakukan oleh partai politik untuk memberikan
pengetahuan
mengapresiasikan
dan
mengenai
menanggapai
sistem
politik agar mampu
fenomena
politik
masyarakat
untuk serta
menyampaikan norma-norma dan nilai-nilai dari satu genarasi ke genarasi berikutnya dalam politik sosialisasi ini berkaitan bagaimana nilai-nilai ini
18
dialokasikan dalam masyarkat melalui pendidikan politik agar menjadi warga negara yang sesuai dengan ideologi dan cara berpikir partai.
2.1.2
Sosialisasi Politik Partai Islam Sosialisasi politik merupakan suatu proses bagaimana memperkenalkan
sistem politik pada seseorang dan bagaimana orang tersebut menentukan tanggapan serta reaksi-reaksinya terhadap gejala-gejala politik. Dalam hal ini sosialisasi politik yang dilakukan oleh partai Islam lebih cenderung mengarah pada sebuah sistem politik yang berkeadilan akan nilai-nilai Islam di Indonesia yang akan membentuk wawasan kemodernan Indonesia yang merupakan salah satu ajaran pokok umat Islam. Sesuai dengan pendapat Nurcholish Madjid (2009:xxii) bahwa:
Sistem politik yang sebaiknya diterapkan di Indonesia ini ialah sistem yang tidak hanya baik untuk umat Islam, tetapi yang sekiranya juga akan membawa kebaikan untuk semua anggota masyarakat Indonesia.
Untuk menciptakan sistem politik tersebut diperlukan suatu kekuasaan memerintah sebab kekuasaan memerintah tersebut adalah sesuatu yang tak terhindarkan demi ketertiban tatanan kehidupan manusia sendiri. Oleh karena itu partai Islam berusaha untuk mengenalkan nilai-nilai dan norma-norma yang dianut oleh partai secara berkesinambungan, agar nilai dan norma tersebut terus dikenal dan dianut oleh setiap generasi yang pada akhirnya menciptakan sebuah sistem politik yang berkeadilan dan diterima oleh semua kalangan di Indonesia.
19
Selain itu, sosialisasi politik yang dilakukan oleh partai Islam selalu mengarahkan pada suatu proses pengembangan seseorang untuk mendapatkan orientasi-orientasi politik dan pola-pola tingkah lakunya. Dalam mengukur sikap individu maupun dalam kehidupan politik, menggunakan orientasi kognitif, afektif, dan evaluatif. Apabila dilihat dari sudut individu, orientasi afektif yang dimaksud adalah berkaitan dengan aspek perasaan seorang individu dengan kapasitasnya sebagai warga negara. Hal tersebut ditekankan pada perasaan khusus yang dimiliki oleh individu mengenai aspek-aspek sistem politik tertentu yang dapat membuat individu-individu tersebut menerima atau menolak sebuah sistem politik. Sedangkan orientasi kognitif yaitu mengenai tingkat pengetahuan individu tentang segala sistem politik meliputi tokoh-tokoh pemerintahan, kebijaksanaan yang diambil oleh pemerintah atau mengenai simbol-simbol dalam sistem politik secara keseluruhan. Sementara itu orientasi evaluatif yang dimaksud adalah orientasi politik individu yang ditentukan oleh orientasi moral. Norma-norma yang dianut seorang warga negara menjadi dasar sikap dan prilaku yang ditonjolkan olehnya terhadap sebuah sistem politik. Dalam hal sosialisasi politik, terutama dalam menanamkan sikap dan orientasi serta penanaman nilai dan norma yang dilakukan oleh partai Islam selalu mengarah pada Amr ma’ruf nahi Munkar artinya selalu mengarah pada kebaikan dan menjauhkan dari kebatilan. Dalam arti lain penanamannya dilakukan dengan cara-cara yang baik guna tercapainya sistem yang berkeadilan. Sesuai dengan pendapat Amrullah Ahmad (1983:17) yang mengatakan bahwa:
20
Dakwah Islam sebagai agen of change memberikan dasar filosofis “eksistensi diri” dalam dimensi individu, keluarga, dan sosio-kultural sehingga muslim memiliki kesiapan untuk berinteraksi dan menafsirkan kenyataan-kenyataan yang dihadapi secara mendasar dan menyeluruh menurut ajaran Islam.
Banyak cara yang dilakukan oleh partai Islam dalam melakukan sebuah sosialisasi politik diantaranya dengan cara-cara yang ma’ruf (baik) yaitu: kursus kader, latihan kepemimpinan, ceramah - ceramah penerangan, serta diskusi – diskusi yang merupakan bentuk transformasi orientasi dan sikap politik. Sehingga dari hal tersebut partai politik harus mampu menanamkan dalam diri anggotanya solidaritas dengan partai dan yang mendidik anggotanya agar memiliki pengetahuan mengenai sistem politik sehingga mampu untuk mengapresiasikan dan menanggapi fenomena politik melalui proses sosialisasi politik.
2.2 Partai Politik Islam Dalam Kehidupan Politik Di Indonesia 2.2.1
Pengertian Partai Politik Islam Berdasarkan klasifikasi partai politik, timbul partai Islam sebagai partai
yang berdasar atas azas (agama Islam). Islam sebagai agama yang penuh dengan nilai-nilai keruhanian tidak dapat dipisahkan dari kehidupan politik karena Islam mengandung nilai-nilai poilitik seperti ideologi. Hal ini ditegaskan oleh Deliar Noer (1987:460) yang mengatakan bahwa pada umumnya, baik kalangan Islam maupun kalangan diluar Islam mengaku bahwa ajaran Islam mengandung ideologi. Nilai-nilai Islam yang mengandung ideologi, sangat perlu diberi peran dalam soal pemerintahan dan kepemimpinan. Mengenai nilai-nilai Islam yang mengandung ideologi tersebut, tentu mempengaruhi terhadap partai politik Islam
21
yang muncul selain juga simbol-simbol yang identik dengan Islam dan yang pasti adalah massanya yang mayoritas umat Islam. Hal ini dikemukakan oleh Azyumardi Azra (dalam AD.Kusumaningtyas, 2004:36) bahwa sebuah partai dikatakan Islam apabila:
1. Partai menggunakan agama Islam sebagai dasar ideologi mereka. 2. Partai yang menggunakan Pancasila sebagai dasar ideologi mereka. 3. Partai yang pengurus dan basic massanya kebanyakan muslim.
Sudah tentu dalam kehidupan kenegaraan di Indonesia yang mayoritas adalah umat Islam, tidak dapat dijauhkan dari munculnya partai-partai Islam sebagai simbol dari eksistensinya dalam kehidupan politik. Senada dengan kategori partai politik sebelumnya, Al Chaidar (2000:vi) mengintrodusir yang disebut dengan partai Islam dan mengatakan bahwa partai Islam adalah: Partai yang dipimpin oleh tokoh Islam, memakai asas Islam maupun bukan Islam (ghairul Islam) sebagai fundamen partai dan orientasi partai yang terbuka dan tertutup, yang menerima anggota dari berbagai kalangan dan hanya menerima anggota dari golongan Islam saja dan berusaha meraih simpati untuk merebut suara dari kalangan Islam sebagai basis utama dukungan.
Partai politik Islam tidak terbatas pada partai yang menggunakan Islam sebagai azas partai dan yang hanya terdiri dari umat Islam didalam tubuh partainya, namun ditekankan pada basis utamanya yang berasal dari umat Islam. Dan ditegaskan oleh definisi partai politik Islam yang diutarakan oleh AD. Kusumaningtyas (2004:35) bahwa partai politik Islam sendiri sesungguhnya adalah suatu partai politik yang menggunakan identitas agama untuk mengikatkan diri dengan pemiliknya.
22
Dalam Islam, kekuasaan politik didasarkan atas kekuasaan Illahi (Divine Authority) dan Islam menganjurkan bahwa umat Islam sebagai kholifah untuk turut serta dalam politik agar mendapatkan kebaikan dunia akhirat. Dengan prinsip tolong menolong yang kental dalam ajaran Islam yang dapat dilakukan dalam kehidupan politik. Hal ini ditegaskan oleh pemikiran Ibnu Khaldun (dalam Zainuddin, 1999:93) bahwa:
Politik adalah suatu mekanisme yang harus digunakan manusia guna mencapai keselamatan dunia akhirat. Tanpa kehidupan politik, kehidupan manusia dalam masyarakat tidak akan teratur. Tolong menolong untuk kepentingan mencapai tujuan bersama tidak akan dapat direalisasikan.
Islam adalah agama mayoritas yang dipeluk oleh masyarakat Indonesia saat ini dan realitas politik telah menunjukkan bahwa di Indonesia sangat sulit untuk memisahkan isu agama dari dunia politik. Sehingga agama juga berpengaruh terhadap cara hidup politik masyarakat. Hal ini berdasarkan pada pernyataan Deliar Noer (1983:29) bahwa agama itu berpengaruh dalam menentukan sikap seseorang walaupun dalam hal-hal yang mengenai negara. Oleh karena itu partai politik berbasis keagamaan merupakan fakta, yang dalam peta politik Indonesia yang memiliki warga muslim terbesar diantara agama-agama lainnya yang hidup dan berkembang. Karena Islam juga hidup dalam kegiatan politik maka Islam pun memiliki sistem politik seperti yang dikemukakan oleh Muhammad Abdul Qadir abu Fariz (1984:24) bahwa pilar-pilar politik Islam terdiri atas Kedaulatan Milik Allah, Keadilan dan Persamaan, Taat, Syura (musyawarah). Hal ini semakin menegaskan
23
bahwa dalam kehidupan umat Islam terdapat pula kehidupan politik didalamnya yang didasari oleh pilar-pilar tersebut. Berdasarkan paparan diatas dapat disimpulkan bahwa partai politik Islam adalah partai yang menggunakan ajaran Islam yang mengandung ideologi sebagai azas partai maupun tidak menggunakan Islam sebagai azasnya, dan terdiri dari anggota yang seluruhnya umat Islam maupun hanya sebagian saja namun tetap mengandalkan umat Islam sebagai basis utamanya dan tetap dipimpin oleh tokohtokoh Islam.
2.2.2
Perkembangan Partai Politik Islam Di Indonesia
2.2.2.1 Periode Proklamasi (1945 – 1959) Pada saat kolonialisme Jepang masih berkuasa di Indonesia, pada tanggal 22 Juni disepakati “Piagam Jakarta” dengan terdapatnya kata “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”. Hal ini sangat membesarkan hati umat Islam walaupun tidak lama. Setelah diproklamirkan kemerdekaan Indonesia, ketujuh kata dalam Piagam Jakarta tersebut dihilangkan. Dalam masa ini persepsi politik yang berdasar pada paham dan ajaran Islam menjadi tertinggal. Elit politik musyawarah sebagian besar berhimpun dalam lingkungan keluarga besar Bulan Bintang dan sebagian kecil berhimpun dalam keluarga besar Nahdatul Ulama (NU) dan pada saat ini belum terbentuk partai politik. 2.2.2.2 Periode Demokrasi Terpimpin (1959 – 1965) Adanya dua keluarga kekuatan politik umat Islam pada saat itu yakni Bulan Bintang dan Nahdatul Ulama (NU), telah dimanfaatkan oleh kaum elit non
24
muslim untuk memasukkan kaum komunis kedalam birokrasi pemerintahan. Namun dengan terbukanya kesempatan bagi masyarakat menengah untuk memperoleh pendidikan yang mayoritas terdiri dari keluarga muslim, maka terbentuklah kelas menengah baru yang berpersepsi dan bersikap lebih Islami. Pada periode ini terjadi Pemilu pada tahun 1955 yang diikuti oleh 90 partai dan partai politik Islam yaitu Masyumi mendapat jumlah kursi terbesar setelah PNI dan disusul NU. Hal ini menunjukkan bahwa partai politik Islam telah mendapatkan tempat tersendiri dalam kehidupan politik masyarakat Indonesia yang memang mayoritas beragama Islam. 2.2.2.3 Periode Pemerintahan Orde Baru (1966 – 1998) Pemilihan umum pertama pada periode Orde Baru setelah runtuhnya Orde Lama dilaksanakan pada tahun 1971 namun berlangsung tidak demokratis. Ribuan warga negara tidak diperkenankan untuk menjadi calon dan berkampanye, hal ini berlaku pula bagi keluarga besar Bulan Bintang. Pemilu ini dimenangkan oleh Golongan Karya yang didukung ABRI dan birokrasi. Namun, untuk mewakili umat Islam sebagai mayoritas penduduk Indonesia maka dibentuklah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada tanggal 5 Januari 1973 dan hingga runtuhnya orde baru pada 21 Mei 1998 partai politik peserta pemilu pada periode ini adalah Golkar, PDI, dan PPP. 2.2.2.4 Partai Politik Islam Dalam Era Reformasi Partai politik islam dalam era reformasi yang terbuka ini seakan membuka belenggu politik rakyat Indonesia yang telah begitu lama terkekang dalam keterbatasan. Harapan rakyat untuk menciptakan negara yang berasas dan
25
demokratis semakin luas dengan tuntutan perbaikan dalam berbagai aspek kehidupan seperti hukum dan keadilan, politik dan segala hal yang berhubungan dengan negara dan kebebasan masyarakat agar segera terlaksana. Hal tersebut dapat dilihat dari dua hal yaitu pengertian partai politik dan Islam sebagai ideologi politik. a. Teori Partai Politik Indonesia adalah sebuah negara demokratis. Dalam negara demokratis menerapkan sebuah mekanisme pemilihan yang lazim disebut pemilihan umum (pemilu) untuk memilih para politisi yang tergabung dalam sebuah partai politik. Partai politik dibentuk selain sebagai tempat para politisi, namun berfungsi juga sebagai sarana bagi keikutsertaan rakyat dan sebagai wadah aspirasi dan partisipasinya serta merupakan penghubung antara rakyat dengan pemimpin yang menguasai pemerintahan yang terpilih dalam pemilihan umum. Dengan posisi tersebut, partai politik kini dianggap sebagai barometer demokrasi dan juga dianggap sebagai ciri dari negara modern. Partai politik menurut Undang-Undang No.31 tahun 2002 tentang partai politik adalah:
Organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga negara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa, dan negara melalui pemilihan umum.
Partai politik terdiri dari rakyat yang diorganisir dan memiliki tujuan untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan pemerintahan agar dapat memberikan kegunaaan bagi masyarakat pada umumnya dan anggota partai politik pada
26
khususnya, hal ini dijelaskan dalam definisi partai politik yang dikemukakan oleh Carl. J. Freidrich (dalam Miriam Budiardjo, 2000 : 161) sebagai berikut:
Partai politik adalah sekelompok manusia yang terorganisasi secara stabil dengan tujuan merekat atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi pimpinan partainya dan berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat idil dan materiil.
Hal yang sama diungkapkan pula oleh R.H.Soltau (dalam Cecep Darmawan, 2003 : 299) yang mengatakan bahwa partai politik adalah:
Sekelompok warga negara yang sedikit banyak terorganisir, bertindak sebagai suatu kesatuan publik dan yang dengan memanfaatkan kekuasaannya untuk memilih, bertujuan menguasai pemerintahan dan melaksanakan kebijaksanaan umum mereka.
Selain partai politik merupakan gabungan dari rakyat yang terorganisir partai politik berusaha pula untuk mengendalikan pemerintahan sebagai tujuannya. Hal tersebut senada dengan yang diungkapkan oleh Huszar dan Stevenson (dalam Sukarna, 1967 : 89) yang menyatakan bahwa:
Partai politik adalah sekelompok orang yang terorgaisir serta berusaha untuk mengendalikan pemerintahan agar supaya dapat melaksanakan program-programnya dan menempatkan/mendudukkan anggotaanggotanya dalam jabatan pemerintahan.
Definisi yang hampir sama dijelaskan oleh Sait (dalam Sukarna, 1978 : 89) yang mengatakan bahwa partai politik dapat dirumuskan sebagai suatu kelompok orang yang terorganisir serta berusaha untuk mengendalikan baik kebijaksanaan
27
pemerintahan maupun pegawai negeri. Sementara itu ada perbedaan pendapat dalam menyatakan partai politik, ada yang berpendapat bahwa partai politik hanya terdiri dari orang-orang yang berkumpul untuk mewujudkan kepentingan bersama seperti definisi yang diungkapkan oleh Edmund Burke (dalam Rusadi Kartaprawira, 1988 : 63) bahwa partai politik adalah suatu kumpulan manusia untuk memajukan keinginan-keinginan bersamanya, yaitu kepentingan nasional melalui prinsip khusus yang sudah disepakati. Sementara itu Mark N. Hagopian (dalam Ichlasul Amal, 1988 : xi) mengungkapkan hal yang sama mengenai kepentingan yang ada dalam sebuah partai politik, namun lebih ditekankan dalam kepentingan ideologis hal ini semakin jelas dalam pandangannya tentang partai politik bahwa partai politik adalah:
Suatu organisasi yang dibentuk untuk mempengaruhi bentuk dan karakter kebijaksanaan publik dalam kerangka prinsip-prinsip dan kepentingan ideologis tertentu melalui praktek kekuasaan secara langsung atau partisipasi rakyat dalam pemilihan.
Namun ada pendapat lain yang mengatakan bahwa bahwa dalam partai politik merupakan tempat berkumpulnya aktivis dan tedapat persaingan antar golongan untuk menguasai pemerintahan, seperti yang dijelaskan oleh Sigmund Neumann (Miriam Budiardjo, 2000 : 162) bahwa:
Partai politik adalah organisasi dari aktivis-aktivis politik yang berusaha untuk menguasai kekuasaan pemerintahan serta merebut dukungan rakyat atas dasar persaingan dengan suatu golongan atau golongan-golongan lain yang mempunyai pandangan yang berbeda.
28
Dari pengertian-pengertian dari para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa partai politik adalah kumpulan dari orang-orang yang terorganisir yang memiliki kepentingan tertentu untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan serta menguasai pemerintahan agar tercapai tujuan bersama yaitu memberikan kemanfaatan bagi anggotanya. b. Islam Sebagai Ideologi Politik Islam sebagai agama yang penuh dengan nilai-nilai keruhanian tidak dapat dipisahkan dari kehidupan politik karena Islam mengandung nilai-nilai poilitik seperti ideologi. Bahkan Deliar Noer (2000:460) mengatakan bahwa pada umumnya, baik kalangan Islam maupun kalangan di luar Islam mengakui bahwa ajaran Islam mengandung Ideologi. Nilai-nilai Islam yang mengandung ideologi, sangat perlu diberi peran dalam soal pemerintahan dan kepemimpinan terlebih menyangkut kekuasaan politik. Dalam Islam, kekuasaan politik didasarkan atas kekuasaan Illahi (Divine Authority) dan Islam menganjurkan bahwa umat Islam sebagai kholifah untuk turut serta dalam politik agar mendapatkan kebaikan dunia akhirat. Dengan prinsip tolong menolong yang kental dalam ajaran Islam yang dapat dilakukan dalam kehidupan politik. Hal ini ditegaskan oleh pemikiran Ibnu Khaldun (dalam Zainuddin, 1999 : 93) bahwa:
Politik adalah juga suatu mekanisme yang harus digunakan manusia guna mencapai keselamatan dunia akhirat. Tanpa kehidupan politik, kehidupan manusia dalam masyarakat tidak akan teratur. Tolong menolong untuk kepentingan mencapai tujuan bersama tidak akan dapat direalisasikan.
29
Dalam Islam prinsip yang dipegang adalah musyawarah, hukum, dan keadilan. Seperti yang dikemukakan oleh Muhammad Abdul Qadir abu Fariz (1984:24) bahwa pilar-pilar/prinsip-prinsip politik Islam terdiri atas Kedaulatan Milik Allah, Keadilan dan Persamaan, Taat, Syura (musyawarah). Salah satu prinsip politik yang merupakan pedoman kalangan Islam untuk ditegakkan sehubungan dengan ideologi ialah prinsip syura atau yang lebih dikenal dengan kata musyawarah. Dalam pandangan Islam syura itu merupakan bagian dari syariah yang harus ditegakkan. Jika dihubungkan dengan kehidupan dan pemikiran modern, maka prinsip syura itu bagi kalangan Islam yang berhimpun pada partai Islam dihubungkan dengan demokrasi. Hal ini sudah merupakan persamaan pendapat dari semenjak Sarekat Islam. Dari syura tersebut maka diharapkan akan tercipta sebuah aturan-aturan atau hukum yang sifatnya berkeadilan sehingga akan mengarah pada sebuah sistem politik yang berkeadilan akan nilai-nilai Islam di Indonesia yang akan membentuk wawasan kemodernan Indonesia yang merupakan salah satu ajaran pokok umat Islam. Terlebih di era reformasi ini partai politik Islam harus pandai untuk menciptakan negara yang berasas dan demokratis sehingga tuntutan perbaikan dalam berbagai aspek kehidupan seperti hukum, keadilan, politik dan segala hal yang
berhubungan dengan negara dan kebebasan masyarakat agar segera
terlaksana. Mengingat bahwa Islam memiliki ideologi politik yang mengarah pada al-Qur’an dan al-Hadist.
30
2.3 Kesadaran Politik 2.3.1
Pengertian Kesadaran Politik Salah satu fungsi partai politik adalah sebagai sarana sosialisasi politik.
Partai politik dalam hal ini memiliki tugas untuk menyadarkan masyarakat tentang kehidupan politik, agar seluruh warga negara sadar akan kepentingan negara dan menempatkannya diatas kepentingan pribadi maupun golongan. Hal ini sangat relevan dengan pengertian kesadaran politik yang dikemukakan oleh Sukarna (1978:102) yang mengatakan bahwa:
Kesadaran politik adalah apabila seluruh warga negara menyadari kepentingan negara (kepentingan negara tidak identik dengan kepentingan pemerintah, karena negara tidak hanya dibentuk oleh pemerintah tetapi oleh seluruh warga negara), diatas kepentingan sendiri atau golongan.
Sementara itu Gabriel Almond dan Sydney Verba (1990:67) mengukur dimensi dari kesadaan politik didasarkan atas dua kriteria. Kedua kriteria yang dimaksud yaitu: pertama adalah mengikuti seluruh kegiatan pemerintahan dan yang kedua adalah mengikuti laporan mengenai aktivitas pemerintah melalui berbagai media. Keikutsertaan dalam pemerintah dapat disamakan dengan partisipasi politik dan selain itu aktif mengikuti segala kegiatan pemerintahan dan mampu memberikan operasi dan masukan bagi masalah-masalah politik dengan menggunakan saluran yang resmi. Apabila kesadaran politik diartikan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1996:521) bahwa kesadaran politik berasal dari kata dasar sadar yang artinya adalah insyaf, merasa, tahu, dan mengerti. Atau dengan kata lain
31
kesadaran adalah hal yang dirasakan atau dialami oleh seseorang. Kesadaran politik ini lebih ditekankan pada pengetahuan mengenai politik dan kekuatankekuatan didalamnya. Hal ini agak berbeda diungkapkan oleh Ramlan Surbakti (1999:144) yang mengatakan bahwa kesadaran politik adalah:
Kesadaran akan hak dan kewajiban warga negara. Hal ini menyangkut pengetahuan seseorang tentang lingkungan masyarakat dan politik dan menyangkut minat dan perhatian seseorang terhadap lingkungan masyarakat dan politik tempat ia hidup.
Ditambahkan pula bahwa aspek kesadaran politik seseorang meliputi kesadaran terhadap hak dan kewajibannya sebagai warga negara baik hak-hak politik, hak ekonomi, maupun hak-hak mendapat jaminan sosial dan hukum. Selain itu kesadaran warga negara terhadap kewajibannya dalam sistem politik, kehidupan sosial dan kewajiaban lain ikut memberikan pengaruh terhadap tinggi rendahnya seseorang dalam politik.
2.3.2
Ciri-Ciri Tingkat Kesadaran Politik Tingkat kesadaran politik seseorang memang tidak dapat diukur, namun
dari berbagai teori tentang kesadaran politik kita dapat mengetahui bahwa telah banyak standar yang dapat menjadi tolok ukur tingkat kesadaran politik seseorang. Salah satunya dikemukakan oleh Idrus Affandi (1999:27) bahwa kesadaran politik seseorang dapat disamakan dengan keadaan melek politik apabila sekurangkurangnya ia mengetahui pengetahuan tentang:
32
a. informasi tentang siapa pemegang kekuasaan, dari mana uang berasal, bagaimana sebuah institusi bekerja; b. bagaimana melibatkan diri secara aktif dalam memanfaatkan pengetahuan; c. kemampuan memprediksi secara efektif bagaimana memutuskan sebuah issu; d. kemampuan mengenali tujuan kebijakan secara baik yang dapat dicapai ketika isu (masalah) terpecahkan; e. kemampuan memahami pandangan orang lain dan pembenaran mereka tentang tidakannya dan pembenaran tindakannya secara dini.
Menurut Ramlan Surbakti (1999:144), terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kesadaran politik seseorang. Tinggi rendahnya kesadaran politik seseorang dipengaruhi banyak faktor diantaranya status sosial dan status ekonomi. Status sosial dalam hal ini adalah kedudukan seseorang dalam masyarakat karena keturunan, pendidikan, dan pekerjaan. Arti dari status ekonomi adalah kedudukan seseorang dalam pelapisan (stratifikasi) masyarakat berdasarkan kepemilikan kekayaan. Hal ini diketahui dari pendapatan, pengeluaran, ataupun kepemilikan benda-benda berharga. Seseorang yang memiliki status sosial dan status ekonomi yang tinggi diperkirakan tidak hanya mempunyai pengetahuan politik tetapi juga mempunyai minat dan perhatian pada politik serta sikap dan kepercayaan terhadap pemerintah yang tercermin melalui kesadaran politiknya berupa tindakan untuk ikut serta dalam berbagai proses politik. Pada dasarnya sangat sulit untuk dapat mengetahui tingkat kesadaran politik seseorang secara kuantitatif. Oleh karena itu cara yang dapat ditempuh untuk dapat mengetahui tingkat kesadaran politik seseorang adalah dengan
33
melihat dan menggali berbagai aspek yang dapat menunjukkan kecenderungan kesadaran politik orang tersebut.
2.4 Implementasi Partai Politik Dalam Kesadaran Kewarganegaraan 2.4.1
Konsep Implementasi Partai Politik Implementasi politik merupakan sebuah pola bagaimana menerapkan hal-
hal yang berhubungan dengan politik kepada masyarakat sehingga mengasilkan sebuah sistem politik demokratis yang benar-benar partisipatoris. Karena Salah satu pilar yang sangat penting dalam konteks membangun demokrasi yang sejati adalah tumbuhnya masyarakat madani (civil society) yang kuat dan mandiri di luar negara. Menurut Nurcholish Madjid mengatakan bahwa: Demokrasi yang substansial itu membutuhkan “rumah” yang kokoh dan “rumah” tersebut adalah masyarakat madani, dimana berbagai macam perserikatan, klub, asosiasi, kelompok-kelompok masyarakat bergabung menjadi perisai dan perantara antara negara dan warga negara.
Civil society juga akan memperkaya peranan partai-partai politik dalam hal partisipasi politik, meningkatkan efektifitas politik dan meningkatkan kesadaran kewarganegaraan. Dalam hal ini implementasi politik yang dilakukan oleh partai politik sangat erat hubungannya dengan fungsi partai politik itu sendiri, karena kesadaran kewarganegaran merupakan sebuah hasil yang diharapkan dari adanya sebuah demokrasi. Demokrasi dan kewarganegaraan adalah dua hal yang saling terikat satu sama lain dan tidak dapat dipisahkan. Bila salah satu di antara keduanya tidak ada, maka yang lain akan tidak berfungsi. Dengan perkataan lain tidak ada
34
demokrasi tanpa kewarganegaraan dan tidak ada kewarganegaraan tanpa demokrasi. Jika demokrasi merupakan distribusi kekuasaan politik dan penyelenggaraan negara dan masyarakatnya berdasarkan hasil pemilihan umum, maka kewarganegaraan merupakan keanggotaan masyarakat tersebut yang sah dan yang secara sadar menerima berbagai hak dan tanggungjawab inherennya. Konstruksi demokrasi memerlukan proses yang dikenal sebagai proses transformasi kewarganegaraan, yakni mengubah individu yang tidak menaruh perhatian, acuh tak acuh atau tidak peduli menjadi warga negara yang peduli dan yang mengetahui hak serta tanggungjawabnya. Maka ditentukanlah partai politik sebagai wadah aspirasi dan partisipasi dari rakyat serta merupakan penghubung antara rakyat dengan pemimpin yang menguasai pemerintahan. Sebagaimana hal tersebut dapat dilihat dari fungsi partai politik. Dimana menurut Undang-Undang No 31 tahun 2002 fungsi partai politik adalah sebagai sarana:
a. Pendidikan politik bagi anggotanya dan masyarakat luas agar menjadi warga negara Republik Indonesia agar sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; b. Penciptaan iklim yang kondusif dan program konkret serta sebagai perekat persatuan dan kesatuan bangsa untuk mensejahterakan masyarakat; c. Penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat secara konstitusional dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara; d. Partisipasi politik warga negara; dan e. Rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan gender.
35
2.4.2
Implementasi Partai Politik Dalam Kesadaran Kewarganegaraan Dalam hal mengimplementasikan kesadaran politik yang dilakukan oleh
partai politik bisa sebagai indikator untuk pemahaman implentasinya dalam multikultural yang salah satunya yaitu kesadaran kewarganegaraan (civic virtue). Dimana kesadaran kewarganegaraan (civic virtue) memiliki suatu gagasan tentang warga negara memilki hak dan kewajiban yang sama. Hal ini dapat membentuk pengembangan warganegara multikultural lebih lanjut dengan
adanya
kompetensi kewarganegaraan yang bercirikan multikultural. Seperti yang dikemukakan oleh Branson (1998:16) yang mana kompetensi kewarganegaraan terdiri atas tiga komponen penting, yaitu: 1) Civic knowledge (pengetahuan kewarganegaraan), berkaitan dengan kandungan atau apa yang seharusnya diketahui oleh warganegara; 2) Civic skill (keterampilan kewarganegaraan), adalah kecakapan intelektual dan partisipatoris warganegara yang relevan; dan 3) Civic disposition (watak kewarganegaraan) yang mengisyaratkan pada karakter publik maupun privat yang penting bagi pemeliharaan dan pengembangan demokrasi konstitusional. Maka dalam hal ini sebagai warga negara tidak hanya sebagai warga negara yang pasif tetapi harus bisa sebagai warga negara yang aktif dalam statusnya sebagai warga negara yang bisa di arahkan pada kesadaran kewarganegaraan. Dalam hal kesadaran kewarganegaraan setiap warga negara diharapkan mampu mengantisipasi hari depan yang senantiasa berubah dan selalu terkait dengan konteks dinamika budaya, bangsa, negara, dan hubungan internasional serta memiliki wawasan kesadaran bernegara untuk bela negara dan memiliki pola pikir, pola sikap dan perilaku sebagai pola tindak yang cinta tanah air berdasarkan Pancasila. Semua itu dilakukan demi tetap utuh dan tegaknya
36
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selain itu kesadaran warga negara terhadap kewajibannya dalam sistem politik, kehidupan sosial dan kewajiaban lain ikut memberikan pengaruh terhadap tinggi rendahnya seseorang dalam politik. Termasuk dalam tingkat kesadaran politik seperti yang dikemukakan oleh Sukarna (1978:102) yang mengatakan bahwa: Kesadaran politik adalah apabila seluruh warga negara menyadari kepentingan negara (kepentingan negara tidak identik dengan kepentingan pemerintah, karena negara tidak hanya dibentuk oleh pemerintah tetapi oleh seluruh warga negara), diatas kepentingan sendiri atau golongan.
Dengan demikian, kesadaran kewarganegaraan adalah kesadaran untuk ikut memiliki atau tergabung dalam kelompok orang tertentu yang menghuni lokasi geografik tertentu dan yang diperintah oleh pemerintah tertentu yang didukung oleh rakyatnya dan partai politik yang berkuasa. Kesadaran inilah yang akan mengubah diri seseorang dari lingkungan individu menjadi kesadaran untuk ikut memiliki dan kesediaan untuk menerima berbagai tanggungjawab dan hak dirinya terhadap warga negara lainnya. Hal itulah yang menjadi implementasi partai politik dalam kesadaran kewarganegaraan.
37