BAB I PENDAHULUAN
Keberadaan Tri Dharma di dalam sebuah Perguruan Tinggi laksana “motor” yang menggerakkan mekanisme kerja yang mengarahkan perguruan tersebut kepada tujuan yang dikehendaki sehingga eksistensinya diakui. Terlebih lagi Dharma kedua yang berhubungan dengan penelitian yang merupakan tindak lanjut dari Dharma pembelajaran teoritis yang diperoleh mahasiswa di bangku perkuliahan. Dharma penelitian ini dapat dijadikan medan realisasi teoriteori dan sekaligus menjadi motivator bagi mahasiswa untuk mengadakan terobosan-terobosan baru yang menjadi ciri Insan Universiter. Dengan demikian, peran mahasiswa sebagai agent of change bagi masyarakatnya, baik mikro maupun makro, menjadi nyata. Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung sebagai Lembaga Pendidikan Tinggi terlibat langsung dalam membina intelektual mahasiswanya, baik secara teoritis maupun tindak lanjutnya berupa penelitian lapangan, terutama di Fakultas Ushuluddin dan lebih spesifik lagi Jurusan Tafsir Hadits yang menjadi tulang punggungnya. Upaya realisasi di dalam pembinaan ini adalah berupa program Praktik.
1
BAB II LANDASAN DAN PELAKSANAAN
A. DASAR, TUJUAN, DAN STATUS 1. Dasar a. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional; b. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 1999, tentang Pendidikan Tinggi; c. Peraturan Presiden RI Nomor 57 Tahun 2005, tentang Perubahan IAIN Bandung menjadi UIN SGD Bandung; d. Keputusan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 045/U/2002 tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi; e. Keputusan Menteri Agama RI Nomor 353 Tahun 2004 tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum PTAI; f. Keputusan Rektor UIN SGD Bandung, Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kurikulum Berbasis Kompetensi; g. Peraturan Menteri Agama RI Nomor 6 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja UIN SGD Bandung, Jo.KMA No. 32 Tahun 2007; h. Keputusan Rektor UIN SGD Bandung, Nomor 30 Tahun 2007 tentang Pedoman Akademik UIN SGD Bandung; i. Keputusan Menteri Agama RI, Nomor 39 Tahun 2010 tentan Statuta UIN SGD Bandung; j. Keputusan Rektor UIN SGD Bandung, Nomor: Un.5/II.2/Kp.07.6/046/2011, tentang Pengangkatan Dekan-dekan di lingkungan UIN SGD Bandung; k. Keputusan Rektor UIN SGD Bandung, Nomor: Un.5/I.1/PP.00.9/001/2012, tentang Kalender Akademik UIN SGD Bandung Tahun 2012. 2. Tujuan a. Memberikan Bimbingan Praktik kepada Mahasiswa tentang tata cara beribadah yang baik dan benar, berdasarkan dalil-dalil yang shahih. b. Membina dan mengembangkan akhlaq karimah dan mu'amalah, baik di dalam maupun di luar kampus, dalam
2
rangka memantapkan kehidupan beragama dan bermasyarakat. c. Memberikan bimbingan kepada para mahasiswa agar Mampu melaksanakan dan mengajarkan tata cara Ibadah yang baik dan benar kepada masyarakat. 3. Status a. Praktikum ini merupakan kegiatan ko-kurikuler yang mengikat untuk menjadi persyaratan dalarn mengikuti kegiatan akademik seperti ujian komprehensif dan munaqosyah. b. Praktikum ini diwajibkan bagi mahasiswa aktif Program S-1 yang sudah lunas membayar SPP tahun akademik 2012/2013, Semester I untuk Praktek Ibadah, Semester III untuk Praktek Tilawah, dan Semester V Praktek Profesi. B. JENIS, URUTAN, FREKUENSI, WAKTU, DAN TEMPAT KEGIATAN PRAKTIK IBADAH 1. Jenis Kegiatan a. Thaharah, meliputi 1) Wudlu 2) Tayamum 3) Mandi 4) Istinja b. Shalat Wajib, meliputi: 1) Shalat wajib dilaksanakan secara munfarid 2) Shalat wajib dilaksanakan secara berjama'ah 3) Shalat shafar (Jama' dan Qashar) 4) Shalat Jum'at c. Shalat Sunnah, meliputi 1) Shalat Rawatib 2) Shalat Dhuha 3) Shalat Tahajjud/witir 4) Shalat Istisqa 5) Shalat Istikharah 6) Shalat Idul Fitri/Adha 7) Shalat Khusuf/Kusuf
3
d. Khutbah, meliputi 1) Khutbah Jum'at 2) Khutbah Idul Fitri/Adha 3) Khutbah Nikah 4) Khutbah Gerhana dan Istisqa e. Pengurusan Jenazah, meliputi 1) Memandikan 2) Mengafani 3) Menshalatkan 4) Menguburkan f. Penyembelihan, meliputi 1) Qurban 2) Aqiqah 3) Bacaan yang harus dibaca saat penyembelihan hewan. g. Puasa, meliputi 1) Puasa wajib 2) Puasa Sunnah h. Hajji/Umrah, meliputi 1) Tamattu 2) Ifrad 3) Qiran 2. Urutan/Frekuensi Kegiatan a. Praktek lbadah dilaksanakan sebanyak 12 kali pertemuan (@ 2 jam). b. Praktek Tilawah dilaksanakan sebanyak 12 kali pertemuan (@ 2 jam). 3. Waktu dan Tempat Kegiatan a. Waktu pelaksanaan Praktik dimulai tanggal 1 Oktober 2012 sampai dengan 21 Desember 2012; b. Kegiatan di dalam Kampus atau tempat lain di luar Kampus yang disepakati oleh peserta praktik dan dosen pembimbing.
4
C. PETUNJUK TEKNIS 1. Dosen pembimbing/Instruktur a. Pelaksanaan Praktikum dibimbing oleh Dosen pembimbing. b. Pembimbing bertugas memberikan pengarahan, petunjuk teknis, serta memberikan peniIaian dan mentoring seluruh kegiatan praktikum. c. Diadakan pembagian kelompok seperlunya. d. Bagi Dosen yang tidak melaksanakan bimbingan dengan tepat waktu, maka surat keputusan melaksanakan tugasnya akan digantikan oleh pembimbing yang lain. 2. Mahasiswa Praktikan a. Mengisi daftar hadir yang telah disedlakan. b. Melaporkan/memberitahukan bila berhalangan hadir dengan menunjukkan alasan yang jelas. c. Melaksanakan tugas-tugas sesuai dengan jenis praktikum yang ditentukan. Alat perlengkapan yang tidak tersedia pada panitia penyelenggara hendaknya dipersiapkan oleh para praktikan. D. EVALUASI 1. Dosen Pembimbing/Instruktur a. Praktikum ini dapat diukur keberhasilannya, melalui kegiatan evaluasi dengan mengkaji, menelaah, dan menilai berbagai indikator yang mendukung terhadap rumusan yang telah ditentukan. b. Evaluasi ditujukan kepada para mahasiswa praktikan baik selama berlangsung maupun setelah praktikum itu dilaksanakan. c. Penilaian Praktikum meliputi: 1) Penguasaan Pengetahuan Materi-Materi Praktikum. 2) Kemampuan dan keterampilan dalam memperagakan bentuk-bentuk ubudiyah dan tilawah. 3) Perubahan tingkah laku dan sikap. 4) Kehadiran dalam setiap praktik. 2. Indek Prestasi Untuk memberikan penilaian dalam praktikum ini digunakan standar LULUS atau TIDAK LULUS, dan diberikan kepada jurusan masing-masing, paling lambat tanggal 28 Desember 2012.
5
E. PEMBIAYAAN 1. Biaya praktikum di bebankan pada DIPA UIN Sunan Gunung Djati Bandung tahun anggaran 2012. 2. Biaya tersebut digunakan untuk: a. Biaya persiapan. b. Biaya pelaksanaan c. Biaya Evaluasi. 3. Honor Praktek diberikan kepada pembimbing apabila nilai praktek sudah masuk kepada jurusan F. KETENTUAN UMUM Hal-hal yang belum diatur dalam pedoman ini akan diatur kemudian.
6
LAMPIRAN PEDOMAN MATERI PRAKTEK IBADAH
I. THAHARAH (BERSUCI) A. Landasan Firman Allah dalam surat Al-Baqarah [2]:222,
.ِﺐ اﻟُْﻤﺘَﻄَﻬﱢﺮَِﻳﻦ ﱠاﺑِﲔَ ُوﳛ ﱡ َ ِﺐ اﻟﺘـﱠﻮ إ ِ◌ ﱠن اﻟﻠﱠﻪَُﳛ ﱡ “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertobat dan orang-orang yang mensucikan diri.” Bersuci meliputi: (1) Alat bersuci (air, tanah, dsb); (2) cara bersuci; (3) macam dan jenis najis; (4) benda yang wajib disucikan; (5) keadaan yang menyebabkan wajib bersuci.
B. Macam-Macam Air 1. Yang suci dan menyucikan air yang jatuh dari langit atau muncul dari tanah seperti air hujan, air laut, air sumur, air es, air embun, dan air yang keluar dari mata air. 2. Air suci, tetapi tidak mensucikan zatnya suci, tetapi tidak sah dipakai untuk mensucikan sesuatu. 3. Air yang telah berubah salah satu sifatnya karena bercampur degan suatu benda yang suci seperti air kopi, air teh, dsb. 4. Air sedikit, kurang dari dua kulah, sudah terpakai untuk menghilangkan hadats atau najis. 5. Air pepohonan seperti air kelapa. 6. Air najis C. Benda-Benda Yang Termasuk Najis 1. 2. 3. 4.
Bangkai darat yang berdarah, selain mayat manusia. Darah Nanah Segala benda cair yang keluar dari dua pintu
7
5. Arak 6. Anjing dan babi 7. Bagian badan binatang yang diambil dari tubuhnya selagi hidup D. Macam-Macam Najis 1. Mughallazhah (tebal), yaitu najis anjing dan babi. 2. Mukhaffafah (ringan), seperti kencing anak lelaki yang belum memakan selain asi. 3. Mutawasithah (pertengahan), yakni najis selain yang telah disebutkan di atas. Najis ini terbagi dua: Hukmiyah, yakni zat, warna, rasa, dan baunya tidak ada tetapi diyakini keberadaannya, dan `ainiyah, yang masih ada zat, warna, rasa, dan baunya. E. Istinja’ mensucikan kotoran yang dengan air atau batu.
keluar dari dua pintu
F. Adab Buang Air Kecil Dan Besar 1. Mendahulukan kaki kiri ketika masuk kakus, dan kanan ketika keluar. 2. Tidak berkata-kata. 3. Memakai sandal. 4. Tidak membuang kotoran di air yang tenang. 5. Tidak membuang kotoran di lubang-lubang tanah. 6. Tidak membuang kotoran di tempat orang berkumpul. G. Berwudhu 1. Syarat-Syarat Berwudhu a. b. c. d. e.
Islam Mumayiz Tidak berhadats besar Degan air yang suci Tidak ada yang menghalangi sampainya air kepada kulit
8
2. Rukun Wudhu Yang dimaksud dengan rukun adalah ketentuan yang harus dipenuhi ketika suatu ibadah dilakukan, kecuali niat puasa Ramadhan yang harus dilaksanakan sebelum pelaksanaan puasa itu sendiri dimulai. a. b. c. d. e. f.
Niat Membasuh muka Membasuh dua tangan sampai siku Menyapu sebagian kepala Membasuh dua telapak kaki sampai kedua mata kaki tertib
3. Sunat Wudhu a. Membaca basmalah b. Membasuh kedua telapak tangan sampai pergelangan c. Berkumur d. Memasukkan air ke dalam hidung e. Menyapu seluruh kepala f. Menyapu kedua telinga g. Menyilang-nyilang jari kedua tangan h. Mendahulukan anggota tubuh yang kanan i. Membasuh anggota wudhu tiga kali j. Menggosok anggota wudhu sampai bersih k. Menjaga percikan air agar tidak kembali ke badan l. Tidak bercakap-cakap m. Bersiwak n. Membaca syahadat o. Menghadap kiblat p. Yang membatalkan wudhu q. Keluar sesuatu dari dua pintu atau dari salah satunya r. Hilang akal s. Bersentuhan kulit lelaki dgn perempuan t. Menyentuh kemaluan atau pintu dubur
9
4. Mandi Wajib a. Sebab-Sebab Mandi Wajib 1) Bersetubuh 2) Keluar mani 3) Mati 4) Haid 5) Nifas 6) Melahirkan b. Fardhu Mandi 1) Niat 2) Mengalirkan air ke seluruh badan c. Sunat Mandi 1) Membaca basmalah 2) Berwudhu 3) Menggosok seluruh badan 4) Mendahulukan anggota tubuh yang kanan 5) Berturut-turut d. Mandi sunat 1) Mandi hari Jum`at 2) Mandi hari raya 3) Mandi orang gila ketika sembuh hendak Ihram 4) Sehabis memandikan mayit 5) Mandi orang kafir ketika memeluk Islam 5. Tayamum mengusap tanah ke muka dan kedua tangan sampai siku, karena uzur: a. Sakit b. Dalam perjalanan c. Tidak ada air a. Syarat Tayamum 1) Sudah masuk waktu shalat 2) Sudah diusahakan mencari air 3) Tanah yang suci dan berdebu 4) Menghilangkan najis terlebih dahulu b. Rukun Tayamum 1) Niat 2) Mengusap muka dengan tanah 3) Mengusap kedua tangan sampai siku tartib
10
c. Sunat Tayamum 1) Membaca basmalah 2) Mengembus tanah dari dua telapak tangan 3) Membaca syahadat d. Yang Membatalkan Tayamum 1) Setiap yang membatalkan wudhu 2) Ada air, bagi yang bertayamum karena tidak ada air. 6. Darah-Darah yang Keluar Dari Rahim Wanita a. Darah Haidh, yaitu darah yang keluar dari rahim perempuan yang telah sampai umur (baligh) dengan tidak ada penyebabnya, selain kebiasaan perempuan. b. Darah Nifas, yaitu darah yang keluar dari rahim perempuan sesudah melahirkan. Masa nifas sedikitnya sekelap, kebiasaan (kebanyakan)-nya selama 40 hari, dan selama-lamanya 60 hari. c. Darah Penyakit, yaitu darah yang keluar dari rahim perempuan karena sesuatu penyakit, bukan di waktu haid atau nifas. 7. Yang Dilarang Karena Hadas a. Karena Hadats Kecil 1) Mengerjakan shalat 2) Thawaf 3) Menyentuh, membawa, atau mengangkat mushaf kecuali jika dalam keadaan terpaksa untuk menjaganya agar jangan rusak dan sebagainya. b. Karena Hadas Besar 1) Shalat 2) Thawaf 3) Menyentuh, membawa, atau mengangkat mushaf kecuali jika dalam keadaan terpaksa untuk menjaganya agar jangan rusak dan sebagainya. 4) Membaca Al-Qur'an 5) Berhenti dalam mesjid c. Karena Haid dan Nifas 1) Shalat 2) Thawaf
11
3) Menyentuh, membawa, atau mengangkat mushaf kecuali jika dalam keadaan terpaksa untuk menjaganya agar jangan rusak dan sebagainya. 4) Diam dalam mesjid 5) Puasa 6) Suami haram menalak istrinya yang sedang haid atau nifas. 7) Suami istri haram bersetubuh ketika istri sedang haid atau nifas.
12
II. SHALAT
Shalat merupakan salah satu rukun Islam dan yang paling utama setelah dua syahadat daripada yang lainnya. Bahkan, shalat lebih utama daripada ibadah-ibadah badan, harta, dan hati. Kelima shalat itu hanya diwajibkan kepada Nabi Muhammad dan umatnya, sedangkan nabi-nabi sebelumnya hanya berkewajiban melaksanakan salah satunya. Konon katanya, Nabi Adam a.s. diperintahkan shalat Shubuh; Nabi Dawud a.s. diperintahkan shalat zhuhur; Nabi Sulaiman a.s. diperintahkan shalat Ashar; Nabi Ya`qub a.s. diperintahkan shalat Maghrib; dan Nabi Yunus a.s. diperintahkan shalat `Isya. Di antara ayat yang berbicara tentang kewajiban melaksanakan shalat adalah firman Allah SWT.:
.َﻗِﻢاﻟﺼَﱠﻼةَ إِ ﱠناﻟﺼَﱠﻼةَ َﺗْـَﻨـﻬﻰ َﻋِﻦ اﻟْﻔَْﺤَﺸِﺎء َ واﻟُ ْْﻤﻨﻜَِﺮ ِ َ وأ “Dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar.” (QS. Al-`Ankabut [29]:45) Kelima shalat yang dimaksud adalah: 1. Zhuhur. Dinamakan al-zhuhur karena ia merupakan yang pertama kali muncul dalam Islam. Atau, karena pelaksanaannya pada waktu al-zhahirah (sangat panas). Dinamakan pula dengan shalat al-Ula dan al-hujairah. Waktunya adalah tergelincirnya matahari dari pertengahan langit. Akhir waktunya adalah apabila bayang-bayang sesuatu sama dengan panjangnya senndiri, selain bayang-bayang ketika matahari tepat di atas ubun-ubun (istiwa). Dasarnya adalah sabda Rasulullah SAW.:
.َﺼِﺮ ْﻗْﺖ اﻟْﻌ ُ َﺼﺮ ََوو َُْْﻀﺮ اﻟْﻌ ُْ َ ﻣﺎ ﱂَْ ﳛ... َﺖ اﻟﺸْﱠﻤُﺲ ْ اﻟﻈﱡﻬِﺮإِذَا َزاﻟ ْ ﻗْﺖ ُ َو “Waktu shalat zhuhur adalah apabila matahari tergelincir ke sebelah barat…selama belum tiba waktu shalat `ashar.” (H.R. Muslim) 2. `Ashar. Secara bahasa artinya masa. Dinamakan pula dengan shalat wustha. Ia adalah shalat terbaik setelah shalat Jum`at. Dinamakan demikian karena waktunya berdekatan (mu`asharah) dengan terbenamnya matahari. Waktunya mulai
13
dari habisnya waktu zhuhur, yakni apabila bayang-bayang sesuatu sama dengan panjangnya senndiri, selain bayang-bayang ketika matahari tepat di atas ubun-ubun (istiwa), sampai terbenam matahari. Dasarnya adalah sabda Rasulullah SAW.:
.ﺗَﺼﻔﱠَﺮ اﻟﺸْﱠﻤُﺲ ْ ََْﺼِﺮ َ ﻣﺎ ﱂ ْﻗْﺖ اﻟْﻌ ُ َو "Waktu shalat `ashar adalah selama matahari terbenam.” (H.R. Muslim)
belum
3. Magrib. Dinamakan demikian karena waktunya berbarengan dengan terbenamnya matahari (ghurub). Waktunya mulai dari terbenam matahari sampai terbenam mega merah. Dasarnya adalah sabda Rasulullah SAW.:
.ﻐِﺐ اﻟﺸﱠﻔَُﻖ ْ َِْب َ ﻣﺎ ﻳ َﱂ ِ ﻗْﺖَﺻَﻼةِ اﻟَْﻤﻐْﺮ ُ َو "Waktu shalat maghrib adalah selama mega belum hilang” (H.R. Muslim) 4. `Isya. Waktunya adalah mulai terbenamnya mega merah sampai terbit fajar kedua (shadiq). 5. Subuh. Waktunya sesudah habis waktu isya sampai terbit matahari. Dasarnya adalah sabda Rasulullah SAW.: “Waktu shalat shubuh adalah terbit fajar selama matahari belum terbit.” (H.R. Muslim) Setiap muslim (bukan kafir) yang telah baligh (bukan anak kecil), berakal (bukan orang gila), dan suci dari haid atau nifas wajib melaksanakan shalat fardhu di atas tepat pada waktunya sebagaimana telah ditentukan. Mendahulukan atau memperlambat dari waktunya hukumnya haram, kecuali karena ada halangan, seperti tertidur, menyelamatkan orang yang tenggelam, mengurus jenazah yang dikhawatirkan akan segera membusuk. Orang yang sengaja melalaikan shalat tanpa halangan berarti telah melakukan dosa besar.
14
A. Rukun-Rukun Shalat Rukun shalat itu ada 17, yaitu: 1. Niat mengerjakan shalat di dalam hati, sambil menentukan sebabnya (misalnya istisqa, tahiyatul masjid, dan sebagainya), menentukan waktunya (misalnya zhuhur, asar) dan berniat fardhu dalam shalat fardhu. Ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW.:
.ﱢﻴﱠﺎتو ﱠإِﳕَﺎﻟِ ﻜﱢُﻞ ْاﻣ ﺮٍِئ َ ﻣﺎ ﻧ َـَﻮى َ ِ ﱠإِﳕَﺎ ْاﻷََْﻋﻤ ُﺎلﺑِﺎﻟﻨـ “Sesungguhnya setiap amalan bergantung kepada niat. Sesungguhnya setiap orang akan mendapat sesuatu yang menjadi niatnya.” (H.R. Al-Bukhari dan Muslim). 2. Membaca takbiratul ihram dengan suara yang terdengar oleh dirinya sendiri sebagaimana rukun qauli (ucapan) lainnya, yaitu ungkapan “Allahu Akbar”. Takbiratul ihram harus dibacakan berbarengan dengan niat di dalam hati. 3. Berdiri dalam shalat fardhu bagi orang yang mampu melakukannya. 4. Membaca surat al-Fatihah berikut basmalah. Ada berepara hal yang harus diperhatikan dalam pembacaan al-Fatihah ini, yaitu: (a) Membaca dengan baik semua tasydidnya yang berjumlah 14; (b) Membacanya secara terus-menerus, yakni ketujuh ayat nya tidak boleh diselingi oleh sesuatu; (c) Tertib, yakni membacanya sesuai dengan urutan ayatnya; (d) Memperhatikan makhraj huruf-hurufnya; (f) Tidak salah baca yang dapat mengubah makna, misalnya “an`amta” dibaca “an`amtu” atau “an`amti” dan sebagainya. Salah baca yang tidak meng-ubah makna hukumnya haram; tetapi tidak membatalkan shalat. Seperti kata “Al-hamdu” dibaca “Alhamda”, “Lillaahi” dibaca “Lillaahu”, dan sebagainya. 5. Rukuk, yaitu membungkuk dan kedua telapak tangan diletakkan pada kedua lututnya. Dan disunatkan punggungnya lurus, rata. 6. Tuma’ninah ketika rukuk, yakni diam sebentar sekadar membaca “Subhaanallaah”.
15
7. I`tidal, yaitu berdiri tegak (sebagaimana berdiri ketika membaca al-Fatihah). 8. Tuma`ninah ketika I`tidal. 9. Sujud dua kali, yaitu dengan meletakkan dahinya di atas tempat shalat serta dibuka, diberatkan seberat kepala sambil bersungkur, meletakkan sedikit lututnya, kedua telapak tangannya dan semua ujung jari kakinya. 10. Tuma`ninah ketika sujud. 11. Duduk di antara dua kali sujud. 12. Tumaninah ketika duduk. 13. Duduk untuk membaca tasyahud akhir dan yang sesudahnya. 14. Membaca tasyahud akhir, yang berarti semua penghormatan, keberkahan, rahmat, dan kebaikan bagi Allah. Keselamatan, rahmat Allah dan keberkahan-Nya bagimu wahai Nabi. Keselamatan bagi kami dan hamba-hamba Allah yang saleh. Saya bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan saya bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah. 15. Membaca salawat atas Nabi Muhammad saw. minimal dengan mengucapkan, Allahumma shalli `ala sayyidinaa Muhammad ("Ya Allah! Rah-matilah Nabi Muhammad)". 16. Membaca salam, "Assallaamu'alaikum."
minimal
dengan
mengucapkan
17. Tertib, berurutan beperti tersebut di atas. Kalau seseorang sengaja meninggalkan ketertiban, misalnya bersujud sebelum rukuk, maka batal shalatnya. B. Syarat-Syarat Shalat Di antara syarat-syarat shalat, ialah 1. Menghadap arah kiblat, 2. Masuk waktu shalat, 3. Beragama Islam, 4. Tamyiz, 5. Mengetahui fardhu (rukun) shalat menganggapnya sebagai sunat.
16
dan
tidak
boleh
6. Menutup aurat dengan benda yang dapat menutupi rupa kulit seluruh badan bagi wanita merdeka, kecuali muka dan telapak tangan bagian luar dan dalam; menutup antara pusat dan lutut dari semua sisi bagi laki-laki dan amat (hamba sahaya perempuan) kecuali bagian bawahnya. C. Hal-Hal Yang Membatalkan Shalat Hal-hal yang membatalkan shalat adalah: 1. Ucapan lain selain bacaan shalat walaupun dengan dua huruf yang tidak mengandung arti; atau walaupun satu huruf yang memberi arti, misalnya “qi” (jagalah), “Wa” (dan), “fa” (maka), kecuali karena lupa dan ucapannya sedikit tidak lebih dari enam patah kata. Hal di atas membatalkan shalat jika dilakukan dengan sengaja, tahu akan keharamannya, dan sadar sedang mengerjakan shalat. 2. Gerakan yang sering dan terus-menerus, seperti tiga gerakan yang terus-menerus. (Contoh tiga gerakan yang sering dikerjakan orang adalah menggerakkan kepala dan kedua tangan; mengusap telinga, lalu dahi sambil menggerakkan kepala, penj.). 3. Gerakan yang berlebih-lebihan walaupun tidak terus-menerus, seperti meloncat atau menggerakkan seluruh badan tanpa sebab (udzur) syara'. 4. Menambah rukun fi'ly (berbentuk gerakan) misalnya rukuk dua kali dalam satu raka`at, atau shalat `ashar lima raka`at bukan karena lupa. 5. Sekali gerakan karena bermain-main. 6. Makan atau minum kecuali karena lupa dan yang ditelannya sedikit. 7. Berniat membatalkan shalat, sekalipun pada nyatanya tidak. 8. Menangguhkan membatalkan shalat karena sesuatu, misalnya, “Kalau teman datang, saya akan membatalkan shalat”.
17
9. Keraguan membatalkan shalat, misalnya hati merasa bimbang karena ada orang yang memanggil, lalu timbul kebimbangan antara membatalkannya dan tidak. Singkatnya, selama shalat wajib bertekad tidak akan membatalkannya. Seandainya seseorang shalat di atas batu di tengah sungai lalu tiba-tiba banjir, maka orang itu diperbolehkan menunaikan shalat sambil berlari dan membelakangi kiblat, lalu meneruskannya dengan sempurna di tempat yang aman. Gambarannya adalah seperti shalat syiddatul-khauf, shalat dalam kondisi yang menakutkan. 10. Ragu terhadap niat dalam takbiratul-ihram (apakah sudah atau belum dilakukan), atau masa keragu-raguannya berlangsung lama. D. Shalat Sunnat Salat Sunnat atau salat nawafil (jamak: nafilah) adalah salat yang dianjurkan untuk dilaksanakan namun tidak diwajibkan sehingga tidak berdosa bila ditinggalkan dengan kata lain apabila dilakukan dengan baik dan benar serta penuh ke ikhlasan akan tampak hikmah dan rahmat dari Allah taala yang begitu indah. Salat sunnat menurut hukumnya terdiri atas dua golongan yakni: 1. Muakkad, adalah salat sunnat yang dianjurkan dengan penekanan yang kuat (hampir mendekati wajib), seperti salat dua hari raya, salat sunnat witr dan salat sunnat thawaf. 2. Ghairu Muakkad, adalah salat sunnat yang dianjurkan tanpa penekanan yang kuat, seperti salat sunnat Rawatib dan salat sunnat yang sifatnya insidentil (tergantung waktu dan keadaan, seperti salat kusuf/khusuf hanya dikerjakan ketika terjadi gerhana). Salat sunnat ada yang dilakukan secara sendiri-sendiri (munfarid) diantaranya: 1. Salat Rawatib, adalah salat sunnat yang dilakukan sebelum atau sesudah salat lima waktu. Salat yang dilakukan sebelumnya disebut salat qabliyah, sedangkan yang dilakukan sesudahnya disebut salat ba'diyah.
18
2.
3.
4.
5.
6. 7.
8.
9.
Salat Tahiyatul Wudhu, salat Sunnat Wudhu adalah salat sunnat yang dilakukan seusai berwudhu. Jumlah raka'at salat wudhu adalah dua raka'at. Salat Istikharah, adalah salat sunnat yang dikerjakan untuk meminta petunjuk Allah oleh mereka yang berada diantara beberapa pilihan dan merasa ragu-ragu untuk memilih. Spektrum masalah dalam hal ini tidak dibatasi. Seseorang dapat salat istikharah untuk menentukan dimana ia kuliah, siapa yang lebih cocok menjadi jodohnya atau perusahaan mana yang lebih baik ia pilih. Setelah salat istikharah, maka dengan izin Allah pelaku akan diberi kemantapan hati dalam memilih. Salat Mutlaq, adalah salat sunnat yang dapat dilakukan tanpa memerlukan sebab tertentu dan kapan saja kecuali waktuwaktu yang diharamkan untuk mengerjakan salat (lihat pada salat sunnat). Jumlah rakaatnya tidak terbatas dan dilakukan dengan seri 2 raka'at. Salat Dhuha, adalah salat sunnat yang dilakukan seorang muslim ketika waktu dhuha. Waktu dhuha adalah waktu ketika matahari mulai naik kurang lebih 7 hasta sejak terbitnya (kirakira pukul tujuh pagi) hingga waktu dzuhur. Jumlah raka'at salat dhuha bisa dengan 2,4,8 atau 12 raka'at. Dan dilakukan dalam satuan 2 raka'at sekali salam. Salat Tahiyatul Masjid, adalah salat sunnah dua raka'at yang dilakukan ketika seorang muslim memasuki masjid. Salat Tahajud, dalah salat sunnat yang dikerjakan di malam hari setelah terjaga dari tidur. Salat tahajjud termasuk salat sunnat mu'akad (salat yang dikuatkan oleh syara'). Salat tahajjud dikerjakan sedikitnya dua rakaat dan sebanyakbanyaknya tidak terbatas. Salat Hajat, dalah salat sunnat yang dilakukan seorang muslim saat memiliki hajat tertentu dan ingin dikabulkan Allah. Salat Hajat dilakukan antara 2 hingga 12 raka'at dengan salam di setiap 2 rakaat. Salat ini dapat dilakukan kapan saja kecuali pada waktu-waktu yang dilarang untuk melakukan salat. Salat Awwabin, adalah satu jenis salat sunnat. Awwabin sendiri berasal dari bahasa arab yang berarti (orang yang sering bertaubat). Ada perbedaan pendapat mengenai salat ini dikalangan para ulama. Ada yang mengatakan bahwa salat
19
awwabin dilakukan antara waktu maghrib dan isya, sementara yang lain mengatakan salat awwabin adalah nama lain dari salat dhuha. 10. Salat Tasbih, merupakan salat sunnat yang didalamnya pelaku salat akan membaca kalimat tasbih (kalimat “Subhanallah wal hamdu lillahi walaa ilaaha illallahu wallahu akbar”) sebanyak 300 kali (4 raka'at masing-masing 75 kali tasbih). Salat ini diajarkan Rasulullah SAW kepada pamannya yakni sayyidina Abbas bin Abdul Muthallib. Namun beberapa ulama berbeda pendapat tentang hal ini. 11. Salat Taubat, adalah salat Sunnah yang dilakukan seorang muslim saat ingin bertobat terhadap kesalahan yang pernah ia lakukan. Salat taubat dilaksanakan dua raka'at dengan waktu yang bebas kecuali pada waktu yang diharamkan untuk melakukan salat (lihat pada salat sunnat). Sedangkan yang dapat dilakukan secara berjama'ah antara lain: Salat Tarawih, adalah salat sunnat yang dilakukan khusus hanya pada bulan ramadhan. Tarawih dalam bahasa Arab adalah bentuk jama’ dari ٌ ﺗ ْـَﺮوِﳛَْ ـﺔyang diartikan sebagai "waktu sesaat untuk istirahat". Waktu pelaksanaan salat sunnat ini adalah selepas isya', biasanya dilakukan secara berjama'ah di masjid. Fakta menarik tentang salat ini ialah bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam hanya pernah melakukannya secara berjama'ah dalam 3 kali kesempatan. Disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam kemudian tidak melanjutkan pada malam-malam berikutnya karena takut hal itu akan menjadi diwajibkan kepada ummat muslim (lihat sub seksi hadits tentang tarawih). 2. Salat Ied, adalah ibadah salat sunnat yang dilakukan setiap hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Salat Ied termasuk dalam salat sunnat muakkad, artinya salat ini walaupun bersifat sunnat namun sangat penting sehingga sangat dianjurkan untuk tidak meninggalkannya. 3. Salat Gerhana, atau salat kusufain sesuai dengan namanya dilakukan saat terjadi gerhana baik bulan maupun matahari. 1.
20
Salat yang dilakukan saat gerhana bulan disebut dengan salat khusuf sedangkan saat gerhana matahari disebut dengan salat kusuf. 4. Salat Istisqa', adalah salat Sunnah yang dilakukan untuk meminta diturunkannya hujan. Salat ini dilakukan bila terjadi kemarau yang panjang atau karena dibutuhkannya hujan untuk keperluan/hajat tertentu. Salat istisqa' dilakukan secara berjama'ah dipimpin oleh seorang imam. Beberapa salat sunnat dilakukan terkait dengan waktu tertentu namun bagi salat yang dapat dilakukan pada waktu yang bebas (misal:salat mutlaq) maka harus memperhatikan bahwa terdapat beberapa waktu yang padanya haram dilakukan salat: 1. Matahari terbit hingga ia naik setinggi lembing 2. Matahari tepat dipuncaknya (zenith), hingga ia mulai condong 3. Sesudah ashar sampai matahari terbenam 4. Sesudah shubuh 5. Ketika matahari terbenam hingga sempurna terbenamnya E. Shalat Qashar dan Shalat Jamak 1. Shalat Qashar Salat Qashar adalah melakukan salat dengan meringkas/ mengurangi jumlah raka'at salat yang bersangkutan. Salat Qashar merupakan keringanan yang diberikan kepada mereka yang sedang melakukan perjalanan (safar). Adapun salat yang dapat diqashar adalah salat dzhuhur, ashar dan isya, dimana raka'at yang aslinya berjumlah 4 dikurangi/diringkas menjadi 2 raka'at saja. Dalil Salat Qashar “Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu menqashar salat(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orangorang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS anNisaa’ 101) Dari ‘Aisyah ra berkata : “Awal diwajibkan salat adalah dua rakaat, kemudian ditetapkan bagi salat safar dan disempurnakan ( 4 rakaat) bagi salat hadhar (tidak safar).” (Muttafaqun ‘alaihi)
21
Dari ‘Aisyah ra berkata: “Diwajibkan salat 2 rakaat kemudian Nabi hijrah, maka diwajibkan 4 rakaat dan dibiarkan salat safar seperti semula (2 rakaat).” (HR Bukhari) Dalam riwayat Imam Ahmad menambahkan : “Kecuali Maghrib, karena Maghrib adalah salat witir di siang hari dan salat Subuh agar memanjangkan bacaan di dua rakaat tersebut.”
Siapa Yang Diperbolehkan Sholat Qashar? Salat qashar merupakan salah satu keringanan yang diberikan Allah. Salat qashar hanya boleh dilakukan oleh orang yang sedang bepergian (musafir). Dan diperbolehkan melaksanakannya bersama Salat Jamak Jarak Qashar Seorang musafir dapat mengambil rukhsoh salat dengan mengqashar dan menjama’ jika telah memenuhi jarak tertentu. Beberapa hadits tentang jarak yang diijinkan untuk melakukan salat qashar : Dari Yahya bin Yazid al-Hanafi berkata, saya bertanya pada Anas bin Malik tentang jarak salat Qashar. Anas menjawab: “Adalah Rasulullah SAW jika keluar menempuh jarak 3 mil atau 3 farsakh beliau salat dua rakaat.” (HR Muslim) Dari Ibnu Abbas berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Wahai penduduk Mekkah janganlah kalian mengqashar salat kurang dari 4 burd dari Mekah ke Asfaan.” (HR at-Tabrani, ad-Daruqutni, hadits mauquf) Dari Ibnu Syaibah dari arah yang lain berkata: “Qashar salat dalam jarak perjalanan sehari semalam.” Adalah Ibnu Umar ra dan Ibnu Abbas ra mengqashar salat dan buka puasa pada perjalanan menempuh jarak 4 burd yaitu 16 farsakh. Ibnu Abbas menjelaskan jarak minimal dibolehkannya qashar salat yaitu 4 burd atau 16 farsakh. 1 farsakh = 5541 meter sehingga 16 Farsakh = 88,656 km. Dan begitulah yang dilaksanakan sahabat seperti Ibnu Abbas dan Ibnu Umar. Sedangkan hadits Ibnu Syaibah menunjukkan bahwa qashar salat adalah perjalanan sehari semalam. Dan ini adalah perjalanan kaki normal atau perjalanan
22
unta normal. Dan setelah diukur ternyata jaraknya adalah sekitar 4 burd atau 16 farsakh atau 88,656 km. Dan pendapat inilah yang diyakini mayoritas ulama seperti imam Malik, imam asy-Syafi’i dan imam Ahmad serta pengikut ketiga imam tadi. Lama Waktu Qashar Jika seseorang musafir hendak masuk suatu kota atau daerah dan bertekad tinggal disana maka dia dapat melakukan qashar dan jama’ salat. Menurut pendapat imam Malik dan Asy-Syafi’i adalah 4 hari, selain hari masuk kota dan keluar kota. Sehingga jika sudah melewati 4 hari ia harus melakukan salat yang sempurna. Adapaun musafir yang tidak akan menetap maka ia senantiasa mengqashar salat selagi masih dalam keadaan safar. Berkata Ibnul Qoyyim: “Rasulullah SAW tinggal di Tabuk 20 hari mengqashar salat.” Disebutkan Ibnu Abbas dalam riwayat Bukhari: “Rasulullah SAW melaksanakan salat di sebagian safarnya 19 hari, salat dua rakaat. Dan kami jika safar 19 hari, salat dua rakaat, tetapi jika lebih dari 19 hari, maka kami salat dengan sempurna.” Adab Sholat Qashar Seorang musafir boleh berjamaah dengan Imam yang muqim (tidak musafir). Begitu juga ia boleh menjadi imam bagi makmum yang muqim. Kalau dia menjadi makmum pada imam yang muqim, maka ia harus mengikuti imam dengan melakukan salat Imam (tidak mengqashar). Tetapi kalau dia menjadi Imam maka boleh saja mengqashar salatnya, dan makmum menyempurnakan rakaat salatnya setelah imammya salam. Untuk Musafir Yang Lebih Dari 4 Hari Menurut Jumhur (mayoritas) ulama’ seorang musafir yang sudah menentukan lama musafirnya lebih dari empat hari maka ia tidak boleh mengqashar salatnya. Tetapi kalau waktunya empat hari atau kurang maka ia boleh mengqasharnya. Dan jika Seseorang mengalami ketidakpastian jumlah hari dia musafir boleh saja menjama’ dan mengqashar salatnya.
23
Adab Sholat Sunnah Bagi Musafir Sunah bagi musafir untuk tidak melakukan salat sunah rawatib (salat sunah sesudah dan sebelum salat wajib), Kecuali salat witir dan Tahajjud, karena Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu melakukannya baik dalam keadaan musafir atau muqim. Dan begitu juga salat- salat sunah yang ada penyebabnya seperti salat Tahiyatul Masjid, salat gerhana, dan salat janazah. 2. Shalat Jama’ Salat Jama’ adalah menggabungkan dua buah salat pada satu waktu salat. Adapun pasangan salat yang bisa dijama' adalah salat Dzuhur dengan Ashar atau salat Maghrib dengan Isya. Salat jamak dibedakan menjadi dua tipe yakni: Jama' Taqdim atau pelaksanaan salat pada waktu awal, yaitu melaksanakan salat Ashar setelah salat Dzuhur dan melaksanakan salat Isya setelah salat Maghrib. Jama' Ta'khir atau pelaksanaan salat pada waktu akhir, yaitu melaksanakan salat Dzuhur dan Ashar bersamaan di sore hari dan melaksanakan salat Maghrib dan Isya sedikitnya setelah matahari terbenam. Pendapat dari Empat Mazhab Sunni: 1. Pendapat Mazhab Hanafi o Hanafi meyakini bahwa pelaksanaan men-jama' salat tidaklah memiliki kekuatan hukum, baik dalam perjalanan ataupun tidak, dengan segala macam masalah kecuali dalam dua kasus-Hari Arafah dan pada saat malam Muzdalifah dalam berbagai kondisi tertentu. 2. Pendapat Mazhab Syafi'i o Syafi'i meyakini diperbolehkannya pelaksanaan menjama' salat bagi para musafir perjalanan jauh (safar) dan saat hujan serta salju dalam kondisi tertentu. Bagi mereka, pelaksanaan men-jama' salat seharusnya tidak diperbolehkan dalam keadaan gelap, berangin, takut atau sakit.
24
3. Pendapat Mazhab Maliki o Maliki menganggap alasan untuk melaksanakan menjama' salat sebagai berikut: sakit, hujan, berlumpur, keadaan gelap pada akhir bulan purnama dan pada Hari Arafah serta Malam Muzdalifah untuk yang sedang melaksanakan haji dalam kondisi tertentu. 4. Pendapat Mazhab Hambali o Hambali memperbolehkan pelaksanaan men-jama' salat saat Hari Arafah dan Malam Muzdalifah dan bagi para musafir, pasien-pasien, ibu menyusui, wanita dengan haid berlebihan, orang yang terus-menerus buang air kecil, orang yang tidak dapat membersihkan dirinya sendiri, orang yang tidak dapat membedakan waktu, dan orang yang takut kehilangan barang kepemilikannya, kesehatannya atau reputasinya dan juga dalam kondisi hujan, salju, dingin, berawan dan berlumpur. Mereka juga menyebutkan beberapa kondisi lainnya. Pendapat Perawi Hadits lainnya 1. Pendapat Ibnu Syabramah o Ibnu Syabramah memperbolehkan pelaksanaan menjama' salat karena beberapa alasan dan bahkan tanpa kondisi khusus selama hal tersebut tidak berubah menjadi suatu kebiasaan. 2. Pendapat Ibnu Mundzir dan Ibnu Sirin o Ibnu Mundzir dan Ibnu Sirin, menurut Qaffal, memperbolehkan pelaksanaan men-jama' salat dalam segala kondisi tanpa syarat apapun. Dalil yang memperkuat adalah: Dari Muadz bin Jabal: “Bahwa Rasulullah SAW pada saat perang Tabuk, jika matahari telah condong dan belum berangkat maka menjama’ salat antara Dzuhur dan Asar. Dan jika sudah dalam perjalanan sebelum matahari condong, maka mengakhirkan salat dzuhur sampai berhenti untuk salat Asar. Dan pada waktu salat Maghrib sama juga, jika matahari telah tenggelam sebelum berangkat maka menjama’ antara Maghrib dan ‘Isya. Tetapi jika sudah berangkat sebelum matahari matahari
25
tenggelam maka mengakhirkan waktu salat Maghrib sampai berhenti untuk salat ‘Isya, kemudian menjama’ keduanya.” (HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi). Menurut Syi'ah Mazhab Syi'ah seperti Dua Belas Imam berpendapat bahwa setiap orang walaupun tidak dalam perjalanan jauh, berdiam di rumahnya, tidak berada dalam keadaan sakit, dapat menjama' salat, baik jama' taqdim maupun jama' ta'khir. Dalil yang memperkuat hal tersebut adalah: Dirikanlah salat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula salat) subuh. Sesungguhnya salat subuh itu disaksikan (oleh malaikat). (QS. al-Israa' [17]:78) Dalil-dalil lain yang memperkuat hal ini ada dalam Ringkasan Shahih Muslim, Kitab Salat Musafir, Bab 6: Menjamak Dua Salat ketika Bermukim (Di Rumah, Tidak Bepergian); Ibnu Abbas r.a. berkata, "Rasulullah pernah menjama' salat Dzuhur dan salat Ashar, dan menjama' Maghrib dan Isya di Madinah bukan karena khauf (sedang berperang) dan bukan karena hujan." Menurut hadits Waki', dia berkata, "Aku tanyakan kepada Ibnu Abbas, 'Mengapa beliau melakukan hal itu?" Ibnu Abbas menjawab, 'Agar beliau tidak menyulitkan umatnya.'" Menurut hadits Mu'awiyah, ditanyakan kepada Ibnu Abbas, "Apa maksud Nabi berbuat demikian?" Dia menjawab, "Beliau bermaksud tidak menyulitkan umatnya." (Muslim 2/152) F. Kiat Agar Shalat Diterima Agar shalat diterima Allah swt., disyaratkan hal-hal berikut: 1. Hendaknya shalat dimaksudkan semata-mata mengabdi kepada Allah swt., bukan karena ingin dapat pahala sehingga masuh surga, atau karena takut neraka. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menghadirkan segenap hati ketika
26
mengerjakan shalat, yakni meniadakan setiap pikiran yang dapat mengganggu konsentrasi, sehingga sadar apa yang sedang dilakukan dan diucapkan. Hendaknya makanan, pakaian, dan tempat shalat 2. Berasal dari harta yang halal. Sebab, kehalalan mempunyai pengaruh besar dalam penyinaran hati dan berdampak luas pada gerakan anggota tubuh. Dalam hal ini, Rasulullah SAW. bersabda:
.َىَﻮﺑ ً ﺎ َﺑِﻌَﺸِﺮة َدرَِاﻫَﻢوﻓ ِ ِﻴﻪ ِْدَرٌﻫﻢ ََﺣﺮٌام ﻳـ َﱂَْْﻘﺒ َْﻞ اﻟﻠﱠﻪُﻟَﻪَُﺻَﻼةً َ ﻣَﺎدَ َامﻋﻠَﻴ ِْﻪ ْاﺷﺘـﺮﺛـ َْ َ ْﻣﻦ “Siapa membeli pakaian dengan sepuluh dirham yang di antaranya berupa satu dirham haram, maka Allah tidak akan menerima shalatnya selama pakaian itu dikenakannya.” (H.R. Ah-mad). Jika satu dirham yang haram saja dapat menyebabkan shalat tidak diterima, apalagi jika pakaian, tempat shalat, dan makanan dibeli de-ngan harta haram. Bagaimana pula dengan makanan haram yang mengalir di setiap aliran darahnya. Ibn `Abbas pernah berkata, “Allah tidak akan menerima shalat seseorang yang pada perutnya terdapat satu suapan yang haram.” 3. Hendaknya ketika shalat hatinya hadir (ingat) kepada Allah, sebab shalat seseorang tiada berpahala kecuali selama ia ingat kepada Allah (khusyu`). Menghadirkan hati (konsentrasi/ khusyuk) ketika menghadap Allah semestinya tidak jauh berbeda dengan seorang bawahan ketika berhadapan dengan atasannya, padahal atasannya tidak akan memberi manfaat atau bahaya baginya. Bila hal itu tidak dapat dilaku-kan, maka pangkalnya adalah iman yang lemah. Shalat dapat digambarkan sebagai bentuk hewan. Rohnya adalah niat, ikhlas, dan iman. Badannya adalah gerakan-gerakan shalat. Anggota tubuh-nya yang vital adalah rukun-rukun shalat. Anggota tubuh pelengkapnya adalah dzikir-dzkir dalam shalat. Ikhlas dan niat mengalir pada aliran ruh. Berdiri dan duduk menempati posisi badan. Ruku` dan sujud menempati posisi kepala, tangan, dan kaki. Menyempurnakan ruku` dan sujud dengan tuma’ninah sama dengan memperindah bentuk badan. Dzikir
27
dan tasbih menempati posisi alat-alat pengindera yang terdapat pada kepala, mata, dan telinga. Pengetahuan maknamakna dzikir dan menghadirkan hati sama dengan kekuatan inderawi seperti penciuman, penglihatan, pendengaran, dan perasaan. 4. Tidak ujub dengan shalatnya. Dalam hal ini, Rasulullah SAW. pernah bersabda: “Meskipun kalian tidak melakukan dosa, tetapi saya hawatir kalian melakukan yang lebih besar daripada itu, yakni ujub. Seandainya ujub itu adalah seseorang, pasti ia orang jahat. Sesungguhnya ujub dapat melebur kebaikan selama 70 tahun.”
G. Rahasia-Rahasia Shalat Syari`at pertama setelah Islam adalah shalat lalu zakat, puasa, haji, dan jihad. Semuanya itu masuk ke dalam kategori syari`at berupa ibadah. Sedangkan syari`at berupa muamalah adalah nikah, talak, memerdekakan budak, wala’, kitabah, hudud, pencurian, sair, sumpah, penebusan, pinjam-meminjam, titipan, hibbah, sodakah, jual-beli, riba, muzara`ah, perdamaian, syirkah, dan lain-lain. Secara bahasa, shalat berarti memuji Allah. Pujian (al-tsana) bisa berupa sesuatu yang layak dan tidak layak. Tetapi dalam shalat, pujian itu layak dan pantas dilakukan. Komponen shalat yang terdiri dari tindakan berdiri, bacaan, ruku`, dan sujud merupakan perbuatan-perbuatan yang luar biasa (indahnya). Masingmasing bagaikan bata dan kayu dalam sebuah bangunan. Kalau surga digambarkan berupa bangunan dengan bahan bata yang terbuat dari emas dan perak, serta adukannya berupa misik, maka bangunan shalat itu berupa rukun-rukun di atas, sedangkan adukannya adalah tasbih, tahmid, dan tahlil. Yang disebutkan di atas adalah bentuk bangun-an shalat, sedangkan esensinya adalah ikhlas. Gambaran shalat di atas mirip dengan gambaran penciptaan Adam. Allah telah menciptakannya dalam bentuk kejadian yang paling sempurna, lalu ditiupkannya ruh yang menyebabkannya hidup. Adam yang tercipta dari tanah yang panas pada dasarnya
28
tidak berarti apa-apa sebelum ditiupkan ruh ke dalamnya. Begitu pun shalat tidak memiliki nilai apa-apa bila tidak disertai dengan keikhlasan. Ikhlas merupakan essensi bagi setiap ibadah. Maha Suci Allah yang telah menciptakan materi dan ruh. Ia menyuruh hamba-Nya untuk beribadah—yang pada dasarnya merupakan wujud materi—dan menghidupkannya dengan ikhlas. Uraian ini merupakan rahasia shalat yang Pertama. Kedua: Menggunakan seluruh anggota badan yang telah dianugerahkan Allah sesuai dengan kerelaan-Nya. Anggota badan berupa jasmani digunakan untuk mengerjakan bentuk lahir shalat, sedangkan yang batin untuk bentuk batin shalat, yaitu ikhlas, khusu`, tunduk, dan rendah diri di hadapan Allah. Apa yang telah disebutkan di atas merupakan nikmat Allah. Bila menggunakannya untuk mentaati perintah pemberinya, berdasarkan akal sehat, merupakan puncaknya kebaikan. Akal sehat pun tidak akan membenarkan bila seseorang menggunakan anggota badannya untuk menyembah sesuatu yang batil berdasarkan dugaannya bahwa sesuatu itu berhak untuk disembah, padahal dugaannya itu tidak memberikan kebenaran apa pun. Adapun Anda menggunakan anggota badan untuk menyembah Dzat yang telah menciptakan, memberi rizki dan petunjuk, serta memilihmu (menjadi seorang muslim). Seandainya pun tidak ada perintah, ajakan, dan sugesti pahala, tentu hal itu akan didorong akal sehat. Mereka menyembah sesuatu yang telah dibuatnya sendiri, sedangkan Anda menyembah Dzat yang telah menciptakanmu. Mereka menyembah sesuatu yang tidak tidak dapat mengetahui, mendengar, dan melihat sesuatu, sedangkan Anda menyembah Dzat Yang Mengetahui, Mendengar, dan Melihat. Anda mensucikan, memuji, dan mentauhidkan Dzat yang memujimu dan mengerti akan kebutuhan-kebutuhan Anda. Ia telah memberikan segala sesuatunya kepada Anda walaupun tanpa terlebih dahulu memintanya. Ia berfirman,
.َﻈَﻠُﻮمٌ َﻛﻔٌﱠﺎر ُْﺼَﻮﻫﺎ إِ ﱠن اﻹِْ َﻧْﺴﻟ َﺎن ُ اﻟﻠﱠﻪ َﻻ ﲢ ِ َﻧِﻌﻤﺔ َْ إِنﺗـَﻌ ُ ﱡﺪوا ْ ْﺘُﻤﻮﻩَُو ُ اﺗَﺎﻛُﻢ ِ ْﻣﻦ ﻛﱢُﻞ َ ﻣﺎ َﺳﺄَﻟ ْ َ َ وء “Kami berikan kepada kalian segala sesuatu yang kalian minta. Jika bermaksud menghitung nikmat-nikmat Allah, kalian
29
tidak akan mampu melakukannya. Sesungguhnya manusia sangat dzalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah)” (Ibrahim [14]: 34) Sangat jauh perbedaan antara orang yang menyembah sesuatu yang yang tidak dapat mendengar, melihat, dan memberi manfaat serta kerugian dengan orang yang menyembah Dzat Yang Mengetahui apa-apa yang terjadi pada Anda dan apa-apa yang dibutuhkan dalam kehidupan Anda. Apabila mereka bersungguhsungguh menyembah patung, semestinya Anda pun bersunggugsungguh menyem-bah Dzat Yang Mulya dan Agung. Apabila sepanjang hidupnya mereka tidak pernah meninggalkan menyembah Latta dan Uzza, semestinya Anda pun tidak pernah meninggalkan menyembah Dzat Yang Maha Agung. Apabila mereka berdiri demi sesuatu yang tidak dapat melihat, tentunya Anda lebih utama daripada mereka sebab Anda berdiri demi Dzat yang tidak pernah sakit dan Maha Melihat. Shalat mempunyai persyaratan tertentu, di antaranya adalah bersuci (thaharah). Berdasarkan akal sehat, bersuci adalah tindakan makhluk yang baik. Jika perbuatan yang paling baik dilakukan seseorang adalah tunduk di depan Dzat yang telah menciptakannya, maka kondisi seseorang yang paling baik adalah dalam keadaan suci dari segala kotoran yang melekat pada dirinya. Seandainya pun tidak ada nash khusus yang menyuruhnya, akal sehat pun akan mengharuskan mencuci setiap anggota badan ketika hendak beribadah. Namun, Allah Maha pemberi anugerah kepada kita. Ia hanya memerintahkan kita membasuh sebagian anggota badan. Kesucian seluruh anggota badan terwakili oleh basuhan anggota badan yang empat. Ia hanya memerintahkan membasuh anggota badan luar agar mudah dilakukan hamba-Nya. Ia pun hanya memerintahkan membasuh muka, dua tangan sampai siku— tidak sampai pangkalnya, dua kaki sampai matanya—tidak sampai betis sebab tertutup oleh pakaian. Yang diperintahkan-Nya hanyalah mengusap kepala, bukan membasuhnya, agar pakaian orang yang berwudu tidak basah. Tentunya Ia lebih mengasihi dan menghapus dosa-dosanya agar badannya tidak terbakar api neraka.
30
Tidak dapat dibantah lagi bahwa bersuci dengan air menyebabkan kita selalu giat dan sadar. Kita disuruh membasuh muka, kedua tangan, dan kedua kaki sebab dengan mukalah sujud dilakukan, kedua tanganlah yang digunakan sandaran ketika melaku-kannya, sedangkan kedua kaki digunakan ketika berdiri. Dari bagian kepala hanya wajahlah yang harus dibasuh sebab seluruh kebaikan manusia diwakili oleh wajah. Seperti halnya pula bahwa seluruh kebaikan ibadah seseorang diwakili oleh sujudnya. Oleh karena itu, sujud memperoleh keutamaan yang paling baik, yaitu kedekatan dengan Allah sesuai dengan firman-Nya,
.ِب ْ َ وْاﺳُﺠْﺪَ واﻗـَْﱰ “Sujud dan mendekatlah!” (QS. Al-`Alaq [96]: 19). Jika tidak memungkinkan menggunakan air, Anda diperintahkan bertayammum agar tetap dekat dengan Allah di mana pun berada. Anda diperbolehkan menggunakan tanah karena terdesak tidak ada air. Inilah sunnatullah yang berlaku. Ketika seseorang menghadapi kesulitan yang sangat berat, pada saat itu pulalah datang jalan keluar dan keringanan. Allah berfirman,
ُ.ﻄَﺮإِذَا ََدﻋﺎﻩ أَﻣْﱠﻦُﳚِ ُﻴﺐ اﻟُْﻤْﻀ ﱠ “Atau siapakah yang memperkenankan (do’a) orang yang berada dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya” (QS. AlNaml [27]: 62). Bila dengan air ada empat angota badan yang harus dibasuh, dalam tayammum cukup mengusap dua anggota badan dengan dua usapan. Sebab, secara naluri air lebih disenangi daripada tanah sehingga lebih mudah digunakan. Karena tayamum pun disebut ibadah, maka disyaratkan adanya niat di dalamnya. Dalam penggunaan air diwajibkan mengalirkan air kepada anggota wudhu’, sedangkan dalam penggunaan tanah hanya diwajibkan melewatkan tangan setelah membersihkan terlebih dahulu sisa tanah yang berada di kedua telapak tangan agar tidak sampai mengotori wajah. Tentu saja Ia lebih tidak rela bila hamba-Nya terbakar oleh api neraka.
31
Ketiga: Menutup aurat. Seperti halnya bersuci, menutup aurat merupakan kondisi seseorang yang paling baik. Karena anggota badan yang tidak termasuk aurat lebih baik daripada yang termasuk aurat, maka Allah menyuruh menutupi anggota badan yang termasuk aurat. Ia menyuruh hamba-Nya untuk menutupi anggota badan yang dinilai tidak baik oleh hamba-Nya sendiri. Ia berfirman,
.ﺠﺪ ٍ ِﻳ َ ﺎﺑ َِﲏء َ َادم ُﺧ ُﺬوازِﻳﻨَﺘَ ْﻜُﻢ ِﻋﻨَْﺪ ﻛﱢُﻞ َ ْﻣﺴ “Wahai Bani Adam! Pakailah perhiasanmu pada setiap mesjid” (QS. Al-A`raf [7]: 31). Dalam shalat tidak disyaratkan menutupi seluruh anggota badan agar tidak memberatkan orang-orang fakir. Jika Allah mewajibkan hamba-Nya untuk menutupi anggota badannya yang dinilai tidak baik olehnya sendiri, tentu saja Ia lebih mewajibkan lagi menutupi cacatnya sendiri di depan orang lain. Tidak layak bila Ia memerintahkan menutup aurat, sementara Anda sendiri membukanya di depan umum. Keempat: Menghadap kiblat. Sewaktu berdiri atau duduk Anda tidak terlepas dari arah yang dihadapi. Dan menghadap arah yang paling utama adalah perbuatan yang paling baik. Karena shalat secara khusus dipersembahkan kepada Allah, maka menghadap Baitullah ketika shalat merupakan tindakan yang paling utama. Syari`atlah yang telah menyuruh Anda menghadap kiblat. Di akherat Allah akan terlihat tanpa dibatasi oleh dimensi arah. Cukuplah melihat kiblat ketika hendak menghadapnya. Seseorang yang mengenal Tuhan berati melihat-Nya dengan pandangan hati (ma`rifat). Buktinya, ia memuji-Nya dengan sifatsifat yang layak bagi-Nya. Perbuatan mana yang lebih baik daripada melihatnya makhluk terhadap penciptanya; penyembah terhadap yang disembahnya. Kelima: Waktu. Dalam perspektif Islam, waktu—yang di dalamnya Anda memeluk Islam dan berbadan sehat—merupakan salah satu nikmat Allah. Hal yang terbaik Anda lakukan adalah mensukuri nikmat itu dengan cara menggunakannya untuk ber-
32
khidmat dan menyembah-Nya. Anda sebenarnya dapat saja menggunakannya untuk memenuhi segala bentuk syahwat dan maksiat yang dibenci-Nya, tetapi Anda tetap menggunakannya untuk berdzikir siang dan malam. Dalam hal ini Allah berfirman:
اﻟﻠﱠﻪ ﺄْﺗِ ﻴ ْﻜُﻢ َِإِﱃﻳـ َِْﻮماﻟِْﻘﻴ َ َِﺎﻣﺔ َ ْﻣﻦإِ ﻟَﻪٌ َُْﻏﻴـﺮ ﻳ َ اﻟﻠﱠﻪُﻠَﻴ ْ ُﻜُﻢاﻟﻠﱠﻴ َْﻞ ََْﺳﺮًﻣﺪا إِن َََﺟﻌﻞ َﻋ ْ ْﻗُﻞ َأ َْرأَﻳـ ْﺘُﻢ إِﱃﻳـ َِْﻮم َ اﻟﻠﱠﻪُﻠَﻴ ْ ُﻜُﻢ اﻟﻨـَﱠﻬَﺎر ََْﺳﺮًﻣﺪا إِن َََﺟﻌﻞ َﻋ ْ ( ْﻗُﻞ َأ َْرأَﻳـ ْﺘُﻢ71)ﻮن َ ُ ﺗَﺴﻤﻌ َْ َﻓَﻼ َ ﺑِﻀﻴ َ ٍﺎء أ ِ َﲪ ﺘِِﻪَﺟﻌ ََﻞ َْ(َ ِوْﻣﻦر72)ون َ ْﺼﺮ ُِ َﻓَﻼـُﺒ ُﻨُﻮن ﻓِِﻴﻪ أ َ ﺗ َ ﺗَﺴﻜ ْ ْﻞ ٍ ﺑِﻠَﻴ اﻟﻠﱠﻪ ﺄْﺗِ ﻴ ْﻜُﻢ َِاﻟِْﻘﻴ َ َِﺎﻣﺔ َ ْﻣﻦإِ ﻟَﻪٌ َُْﻏﻴـﺮ ﻳ (73)ون َ ﺗَﺸ ُﻜُﺮ ْ ﻓَﻀﻠ ِِﻪ َ وﻟََﻌﻠﱠ ْﻜُﻢ ْ ﺘَﺴﻜُﻨَُﻮﻓاوﻟِِِﻴﻪﺘَ ﺒ َْﺘـﻐُﻮا ِ ْﻣﻦ ْ ﻟَ ُﻜُﻢاﻟﻠﱠﻴ َْﻞ َ واﻟﻨـَﱠﻬَﻟ ِﺎر Katakanlah: Terangkanlah kepadaku seandainya Allah menjadikan malam terus menerus sampai hari kiamat, siapa Tuhan selain Allah yang akan men-datangkan sinar terang kepadamu? Apakah kamu tidak mendengar? Katakanlah seandainya Allah menjadikan untukmu siang terus menerus sampai hari kiamat, siapakah tuhan selain Allah yang mendatangkan malam kepadamu waktu untuk ber-istirahat. Apakah kamu tidak memperhatikannya? Hanya karena rahmatNyalah Ia jadikan siang dan malam agar kamu bersitirahat pada malam harinya dan mencari sebagian dari karunia-karunia-Nya (pada siang hari) dan agar bersyukur kepada-Nya” (QS. AlQashshash [28]: 71—73). Sebagaimana halnya tidak menjadikan malam selamanya, Allah pun tentu saja tidak menurunkan bencana selamanya. Karena Ia telah menjadikan dunia sebagai tempat kepayahan bagi orang-orang mukmin, maka kami berharap agar Ia menjadikan akhirat sebagai tempat perjumpaan dan kesenangan bagi mereka. Keenam: Niat. Dari segi bentuk, niat merupakan persyaratan, tetapi dari segi makna, ia merupakan rukun, sebab hanya dengan niatlah sesuatu terwujud. Niat lebih ketat daripada sekedar persyaratan sebab terkadang boleh melakukan shalat dalam keadaan aurat terbuka, tidak menghadap kiblat, dan mengalir darah.Tidak ada sesuatu pun yang dapat menggantikan niat. Dalam kondisi apa pun niat mutlak harus dilakukan.
33
Pada dasarnya, kebiasaan aktivitas Anda dapat dikategorikan ibadah. Kebiasaan merupakan sesuatu hal yang sudah biasa dilakukan, sedangkan ibadah merupakan sesuatu yang harus diusahakan. Dengan niat, Anda dapat menjadikan sesuatu yang sudah biasa menjadi ibadah. Sebagaimana bahan kimia, niat dapat merubah sesuatu menjadi bernilai. Itu sebabnya, persyaratan niat adalah menghadirkan hati ketika beribadah. Persyaratan itulah yang menjadikan shalat bernilai ibadah. Unsur kimia hanya bertugas memproses, bukan menambah unsur. Unsur kimia yang sedikit mampu melelehkan tembaga yang banyak dan mampu memproses unsur emas menjadi emas murni. Bukankah kimia tauhid satu kali saja cukup untuk memperoleh kebahagian dan keselaman yang abadi? Demikian pula, kimia niat cukup untuk menjadikan sesuatu bernilai ibadah sekaligus memperoleh derajat kemulyaan. Uraian di atas merupakan sebagian rahasia-rahasia persyaratan shalat. Adapun rahasia-rahasia shalat itu sendiri di antaranya terletak pada tindakan berdiri. Di sana terdapat unsur pemulyaan (ta`zhim) terhadap Allah. Di dalam tradisi manusia, berdiri merupakan sarana untuk menghormati atasan. Bila atasannya sedang duduk, ia tidak boleh duduk sebelum diperkenankan atasannya. Bila atasannya sedang berdiri, ia harus terus berdiri dengannya. Bila orang yang disifati dengan berdiri dan duduk saja diberi penghormatan dengan cara berdiri, apalagi Dzat yang hanya disifati dengan berdiri. Allah berfirman:
.َﺖ ْ ْﺲﲟ َﺎ ﻛََﺴﺒ ٍِ ﻗَﺎﺋِﻢ َﻋﻠَﻰ ﻛﱢُﻞ ﻧـَﻔ ٌ َﻓَﻤﻦ َُﻫﻮ َْ أ “Maka apakah Tuhan yang menjaga setiap seseorang atas apa yang diperbuatnya?…” (QS. Al-Ra`d [13]: 33). Ketika berdiri, seorang hamba menghadap-kan diri kepada Allah dengan penuh kekhusuan sambil memperlihatkan kemiskinan dan kelemahan. Ia letakkan tangan kananya di atas tangan kirinya sebagai isyarat menahan diri dari aktivitas. Ia merasa tidak memiliki daya dan kekuatan di hadapan-Nya. Berdiri juga sebagai isyarat bahwa ia tidak akan beranjak dari pintu-Nya ke pintu yang lain, tetapi akan tetap setiap berada di pintu-Nya sambil mengharap pahala dan takut terhadap siksaan-Nya.
34
Bentuk bacaan dalam shalat merupakan isyarat loyalitas dan berpegang teguh terhadap kitab Allah yang mulya, penjelas, pemberi syafa`at, yang kekal, dan yang terpercaya. Saya tidak akan berdialog dengan-Nya kecuali dengan ungkapan yang datang dari-Nya. Setiap sesuatu bermula dari-Nya dan berakhir pula pada-Nya. Ruku` merupakan isyarat bahwa keabadian itu tidak layak bagi hamba yang digadaikan dengan ajal dan tidak mempunyai sifat kesempurnaan. Secara lahiriah ia jongkok ruku`, tetapi secara batiniah tetap teguh beserta-Nya. Secara batiniah pendirian tidak akan berubah dengan sebab ruku` dan sujud, tetapi secara lahiriah gerakan mengikuti bacaan. Semenjak shalat dimulai dengan ungkapan Allahu Akbar la syarika lah, maka ikhlas selalu mewarnai setiap keadaan dan tidak pernah berubah. Sujud merupakan simbol ke-tawadhu`-an dan ke-khudu`-an yang final, atau penggunaan anggota tubuh paling mulya yang dimiliki oleh makhluk yang mempunyai kejadian paling mulya untuk bersujud kepada Allah. Penempelan anggota badan itu di atas makhluk-Nya yang paling rendah, yaitu tanah, merupakan isyarat kerendahdirian yang final. Dengan bersujud saya mengakhiri perbuatan-perbuatanku. Maka, berikanlah kepadaku Ya Allah! Puncak angan-anganku, yaitu kedekatan dengan-Mu. Melalui firman-Nya yang berbunyi “Sujud dan mendekatlah” (al`Alaq [96]: 19). Dalam shalat, sujud memang merupakan rukun yang esensial. Sujud pertama melambangkan kepatuhan, sedangkan sujud kedua melambangkan rasa syukur atas nikmat-nikmat Allah. Sebab, tidak semua orang yang diperintahkan sujud mematuhinya. Lihatlah setan yang dilaknat itu, ia tidak patuh ketika diperintahkan sujud kepada Adam. Menurut sebuah riwayat, ketika diperintahkan sujud, para Malaikat mematuhinya kecuali Iblis. Melihat Iblis tidak bersujud, Malaikat Israfil sujud untuk kedua kalinya sebagai ungkapan syukur dan taufiq yang telah diberikan-Nya. Kita pun kemudian disuruh untuk mengikuti jejak Israfil. Bagi kita, sujud kedua merupakan simbol tidak adanya kesombongan atas ibadah, bahkan kita merasa khudu` dan kurang ibadah. Mengangkat kepala selepas sujud merupakan isyarat kelemahan dan kebutuhan. Bila bukan karena itu, seorang hamba tidak akan mengangkat kepalanya sepanjang umurnya.
35
Duduk adalah keadaan untuk memohon hajat. Dari sini, duduk dalam shalat dapat dipahami secara rasional. Tidakkah Anda melihat bahwa hak pilih seseorang tidak pernah akan hidup sebelum ia berdiri? Uniknya, dalam kafasitas kelemahannya, seorang hamba disuruh duduk dua kali dalam saru raka`at. Seolah-olah Allah berfirman, “Duduklah Wahai Hamba-Ku! Engkau kelelahan setelah ber-khidmat pada-Ku.” Maka, celakalah orang yang berkhidmat kepada makhluk dengan cara berdiri di hadapannya sepanjang hari sementara ia tidak disuruh duduk istirahat. Ketika duduk yang pertama, kita disuruh memuji-Nya dengan penuh keikhlasan, dan dalam duduk yang kedua seolaholah Allah berfirman, “Ajukanlah harapan dan do’amu, Aku akan memenuhinya.” Salam merupakan tahallul (tanda selesai) dari takbiratul ihram (tanda mulai). Selepas membaca takbiratul ihram (Allahu Akbar), Allah mengharamkan hamba untuk mengingat selain-Nya, dan salam merupakan tanda berakhirnya pengharaman itu. Seolah-olah Allah berfirman: ”Wahai hamba-Ku! Aku tidak butuh ibadahmu, sedangkan engkau butuh manusia lain. Kembalilah ke tengah-tengah mereka dan ucapkanlah salam kepadanya. Dalam beberapa saat engkau meninggalkan urusan dunia untuk urusan akhiratmu.” Inilah sebagian rahasia-rahasia shalat (yang mampu saya sajikan). Lisan mana yang mampu menerangkan dengan sempurna rahasia-rahasia shalat yang dijadikan Allah sebagai manifestasi keimanan, tonggak agama, keamanan bagi muslim, dan puncak kenikmatan ahli ibadah. Itu karenanya, Allah menyuruh seluruh hamba-Nya untuk shalat sesuai dengan firman-Nya, "Tegakkanlah shalat untuk mengingat-Ku” (QS. Thaha [20]: 14).
36
III. ZAKAT
Zakat berasal dari bentukan zaka yang berarti ‘suci’, ‘baik’, ‘berkah’, ‘tumbuh’, dan ‘berkembang’. Zakat adalah nama bagi sejumlah harta tertentu yang telah mencapai syarat tertentu yang diwajibkan Allah untuk dikeluarkan dan diberikan kepada yang berhak menerima dengan persyaratan tertentu pula. Kaitan antara makna secara bahasa dan istilah ini berkaitan erat sekali, yaitu bahwa setiap harta yang sudah dikeluarkan zakatnya akan menjadi suci, bersih, baik, berkah, tumbuh, dan berkembang. hal ini sesuai dengan firman Allah pada surat al-taubah ayat 103:
ﺗَﻚ َ ﱢﻴﻬِﻢ ِ ــﺎَ َ َوﺻـ ﱢَـﻞﻋﻠَ ــﻴ ْ ْﻬِﻢ إِ ﱠن َﺻـ َـﻼ ْ ﺗُﻄَﻬـُْـﺮﻫﻢَ وﺗـُ ـَـﺰﻛ ُِِﻢَﺻـَـﺪﻗَﺔً ﱢ ُخ ْذ ِﻣـْـﻦ ْأ ََﻣــﻮ ْاﳍ اﻟﻠﱠﻪُﲰِ ٌﻴﻊَﻋﻠ ِ ٌﻴﻢ َ َﺳﻜٌَﻦ ﳍَُْﻢَ و “Ambilah (sebahagian) harta mereka menjadi zakat, supaya dengannya engkau membersihkan mereka (dari dosa) dan mensucikan mereka (dari akhlak yang buruk); dan doakanlah mereka, karena sesungguhnya doamu menjadi ketenteraman bagi mereka. Dan (ingatlah) Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” A. Persyaratan Harta yang Wajib Dikeluarkan Zakatnya Adapun persyaratan harta yang wajib dizakatkan itu, antara lain sebagai berikut: Pertama, al-milk at-tam yang berarti harta dikua-sai secara penuh dan dimiliki secara sah, yang didapat dari usaha, bekerja, warisan, atau pemberian yang sah, dimungkinkan untuk dipergunakan, diambil manfaatnya, atau kemudian disimpan. Di luar itu, seperti hasil korupsi, kolusi, suap, ataupun perbuatan tercela lainnya, tidak sah dan tak akan diterima zakatnya. Dalam hadits riwayat muslim, Rasulullah saw. bersabda bahwa Allah swt tidak akan menerima zakat/sedekah dari harta yang ghulul (didapat dengan cara batil).
37
Kedua, an-namaa adalah harta yang berkembang jika diusahakan atau memiliki potensi untuk berkembang, misalnya harta perdagangan, peternakan, pertanian, deposito mudharabah, usaha bersama, obligasi, dan lain sebagainya. Ketiga, telah mencapai nisab, harta telah mencapai ukuran tertentu. Misalnya, untuk hasil pertanian telah mencapai jumlah 653 kg, emas/perak telah senilai 85 gram, perdagangan telah mencapai nilai 85 gram emas, peternakan sapi telah mencapai 30 ekor, dan sebagainya. Keempat, telah melebihi kebutuhan pokok, yaitu kebutuhan minimal yang diperlukan seseorang dan keluarganya yang menjadi tanggungannya untuk kelangsungan hidupnya. Kelima, telah mencapai satu tahun (haul) untuk harta-harta tertentu, misalnya perdagangan. akan tetapi, untuk tanaman dikeluarkan zakatnya pada saat memanennya, sebagaimana dijelaskan oleh fir-man Allah dalam surat Al-An`am [6] ayat 141:
.ﱠﻪََُْﻮم َﺣَﺼِِﺎدﻩ َْﺮ َ اﺗُﻮا َﺣﻘ ﻳـ ََﺮِﻩإِذَا أَََﲦوء ِ ﻛُﻠُﻮا ِ ْﻣﻦ ﲦ “Makanlah dari buahnya ketika ia berbuah, dan keluarkanlah haknya (zakatnya) pada hari memetik atau menuainya” B. Harta Yang Wajib Dikeluarkan Zakatnya 1. Hasil pertanian (zuruu`), 2. Hasil kebun (tsamar), 3. Ternak (mawasyi), 4. Harta niaga (`uruudh tijarah), 5. Uang (naqd), 6. Hasil tambang (ma`din), 7. Harta temuan (rikaz) C. Aturan Mengeluarkan Zakat 1.
Nisab emas itu adalah 20 mitsqal atau 20 dinar. Ini sama dengan 94 gram emas. Siapa mempunyai emas sejumlah itu dan sudah mencapai satu tahun, maka wajib dikeluarkan zakatnya. Kewajiban zakat emas adalah seperempat dari sepersepuluh, yakni 2 ½ %. Persyaratan lainnya adalah an-
38
nama (berkembang), misalnya emas tersebut diperjualbelikan atau diperdagangkan. Apabila tidak, misalnya hanya disimpan atau dipakai saja, maka tentu saja tahun berikutnya tidak perlu dikeluarkan zakatnya. 2.
Nisab (batas kena wajib zakat) perak adalah sekitar 672 gram. Zakat yang wajib dikeluarkan darinya adalah seperempat dari sepersepuluh (2 ½ %) sebagaimana emas.
3.
Nisab harta perniagaan adalah senilai 94 gram emas, atau sebesar 5.640.000 jika harga tiap gram Rp. 60.000, dan zakat yang harus dikeluarkan adalah sebesar 2,5 %. Diwajibkan zakat pada harta dagangan apabila telah memenuhi tiga syarat: Milik sempurna, berputar dalam setahun, dan diniatkan untuk diperjual-belikan.
4.
Setiap tanaman yang hasilnya mencapai nisab lima autsaq atau kurang lebih 750 kilo gram, setiap panen harus dikeluarkan zakatnya sebanyak 5% (dengan biaya irigasi) atau 10 % (tidak ada biaya irigasi). Sebelum mengeluar-kan zakatnya, seseorang boleh mengeluarkan dulu (boleh juga tidak) biaya-biaya yang diperlukan untuk pertanian tersebut, seperti untuk membeli benih, pupuk, dan sebagainya. misalnya, setiap kali panen menghasilkan 2 ton, biaya yang telah dikeluar-kan 0,5 ton, maka zakatnya 5% dari 1,5 ton.
D. Zakat Fitrah Zakat fitrah adalah zakat yang dikeluarkan oleh seorang muslim sebelum shalat `Id sebagai rasa syukur kepada Allah swt atas nikmat dan taufiq-Nya, sehingga dapat menjalankan puasa Ramadhan dan qiyamul lail (shalat malam) di dalamnya. Seorang muslim mengakhiri tugas-tugas ramadhan dengan zakat fitrah dengan harapan mendapatkan berkah dan pahala darinya. Zakat fitrahlah yang membuat saudara sesama muslim yang fakir tidak minta-minta pada hari raya, yaitu hari kebahagiaan kaum muslimin dengan nikmat islam. Zakat fitrah diwajibkan bagi setiap muslim, baik laki-laki atau perempuan, besar atau kecil, budak atau merdeka. Zakat fitrah diwajibkan bagi setiap muslim dan orang-orang yang menjadi
39
tanggung jawabnya di dalam memberi nafkah, seperti istri, anak, dan pembantu. Ukuran zakat fitrah adalah satu sha’ dari makanan pokok sehari-hari penduduk suatu negeri/daerah, seperti kurma, gandum, beras, sagu, dan sebagainya. Satu sha’ sama dengan 2,5 kg (beras, misalnya). D. Zakat Profesi Zakat profesi adalah salah satu yang wajib dizakati dan dikenakan pada tiap pekerjaan atau keahlian profesional tertentu, baik yang dilakukan sendirian maupun dilakukan bersama dengan orang/lembaga lain, yang mendatangkan penghasilan (uang) yang memenuhi nishab (batas minimum untuk bisa berzakat). Contohnya adalah profesi dokter, komsultan, advokat, dosen, seniman, perancang busana, penjahit, dan sebagainya. Kewajiban zakat ini berdasarkan keumuman kandungan makna al-qur’an pada surat Al-Taubah [9] ayat 103 yang berbunyi:
ُﺗَﻚ َﺳﻜٌَﻦ ﳍَُْﻢَ واﻟﻠﱠﻪ َ ِﻢ َ ﺎ َ َوﺻﱢَﻞﻋﻠَﻴ ْ ْﻬِﻢ إِ ﱠن َﺻَﻼ ِﱢﻴﻬ ْ ﱢﺮﻫﻢَ وﺗ َـُﺰﻛ ُْﺗُﻄَﻬ ُ ًﺻﺪﻗَﺔ َ َِِﻢ ُﺧْﺬ ِ ْﻣﻦ ْأََﻣﻮ ْاﳍ َﲰِ ٌﻴﻊَﻋﻠ ِ ٌﻴﻢ “Ambilah (sebahagian) harta mereka menjadi zakat, supaya dengannya engkau membersihkan mereka (dari dosa) dan mensucikan mereka (dari akhlak yang buruk); dan doakanlah mereka, karena sesungguhnya doamu menjadi keten-teraman bagi mereka. Dan (ingatlah) Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” Persyaratan kewajiban zakat profesi adalah penghasilan tersebut telah melebihi kebutuhan pokok hidupnya dan keluarganya yang berupa sandang, pangan, papan, beserta alatalat rumah tangga, alat-alat kerja/usaha, kendaraan, dan lainlain yang tidak bisa diabaikan; bebas dari beban hutang, baik terhadap Allah seperti nazar haji yang belum ditunaikan maupun sesama manusia; kemudian sisa penghasilannya masih mencapai nishabnya, yaitu seniali 93,6 gram emas dan telah genap setahun kepemilikannya; maka wajib dikeluarkan zakatnya sebanyak 2,5 % dari seluruh penghasilan yang masih ada pada akhir tahun.
40
E. Rahasia-Rahasia Zakat Secara bahasa, zakat mempunyai dua arti yang dipuji dan disenangi. Pertama, suci. Orang yang berzakat berarti mensucikan dirinya. Kedua, berkembang dan bertambah. Kewajiban zakat dapat diterima oleh setiap orang yang memiliki akal sehat dan watak mulia. Allah telah memerintahkan zakat kepada orangorang kaya dan memberikannya kepada orang-orang fakir. Bagi ahli kemuliaan, zakat merupakan sesuatu yang harus dilakukan. Sebab, manusia dipuji karena kebaikannya dan ditaati karena memberikan sebagian hartanya kepada orang-orang yang membutuh-kannya. Orang yang menerima kebaikan pasti akan terikat oleh orang yang memberinya. (Hikayat). Konon ibunda Dzu Al-Qurnain yang bernama Iskandar mengunjungi anaknya setelah berhasil menguasai pelosok-pelosok dunia. Ia berkata, “Wahai anakku! Engkau telah menguasa dunia dengan kudamu, maka kuasailah dirimu dengan kebaikanmu. Sebab, setiap orang akan menyenangi orang yang telah berbuat baik kepadanya dan membenci orang yang telah berbuat jelek kepada-nya.” Sebelum datangnya para Rasul serta diturunkan syari`at pun kebaikan itu baik secara alamiah. Maka, berbuat baiklah sebanyak-banyaknya tanpa harus menyebut-nyebutnya dan menuntut ganti. Lalu, bagaimana dengan orang yang berbuat kebaikan karena ungkapan syukurnya? Dengan syukur, kebaikan akan semakin bertambah. Allah sendiri menjanjikan pahala dan surga kepadanya. Kesemua-nya itu menunjukkan bahwa zakat merupakan perintah yang ditetapkan syari`at dan kebaikan yang diakui oleh setiap watak manusia. Alangkah indahnya dinar, dirham, dan uang yang digunakan untuk menjadikan seseorang hamba sahaya. Zakat berarti menjadikan pengeluarnya sebagai seorang yang merdeka dan memiliki, sedangkan yang menerimanya sebagai hamba yang dimiliki. Rahasia zakat dari sisi makna suci adalah mensucikan diri orang yang beragama ataupun non-agama—seperti orang Zindik yang menyembah orang yang berbuat baik kepadanya—dari sifat kikir yang tercela. Seorang penyair berkata:
41
Bila prestise seseorang tidak tercela dan terkotori, Maka setiap penampilannya selalu indah. Bila Anda tidak menjerumuskan jiwa pada kedzaliman, Maka tidak ada sesuatu pun yang dapat menghalangi kebaikanmu. Seorang dermawan biasanya disukai oleh setiap orang, baik atau jahat; muslim atau kafir. Lihatlah! Bagaimana Hatim alTha’i, seorang Arabi, dicintai dan ditaati oleh para pengikutnya sampai-sampai belum pernah dilaknat dan dijauhi. Padahal, ia adalah seorang kafir yang menentang Islam. Rahasia zakat lain dari makna suci adalah mensucikan hati dari cinta dunia. Dalam hal ini Allah berfirman,
.(37)ُﺤﻔ ْﻜُﻢَﺗـﺒ َْﺨﻠُﻮا َ وُْﳜ ْﺮِجأ َْﺿﻐَﺎﻧَ ْﻜُﻢ ِْ إِن ﻳ َْﺴﺄَﻟْ ُﻜُﻤَﻮﻫﺎ ﻓـَﻴ ْ (36)َ َوﻻﻳ َْﺴﺄَﻟْ ْﻜُﻢ ْأََﻣﻮاﻟَ ْﻜُﻢ “…Dia tidak akan meminta harta-hartamu. Jika dia meminta dan men-desakmu (supaya memberikan semuanya), niscaya kamu akan kikir dan Dia akan menampakkan ke-dengkianmu.” (QS. Muhammad [47]: 36—37) Syari`at telah mewajibkan untuk mengeluarkan sebagian kecil dari harta yang banyak sepanjang mudah dilakukan dan merupakan kelebihan. Seseorang yang telah membiasakan diri mengeluarkan sebagian harta yang secara naluri sangat dicintai, maka dalam hatinya akan tumbuh rasa cinta yang sungguhsungguh kepada penciptanya. Ketika pelataran hatinya dibersihkan dari kecintaan terhadap harta, ia akan mendapatkan nikmat cinta terhadap Allah. Kata hubb (cinta), menurut mayoritas ulama, diambil dari akar kata habb (biji) karena ia “lahir” dari biji yang hitam. Dari sebuah biji tidak akan tumbuh dua cinta: Cinta terhadap dunia dan Allah. Seseorang yang mengeluarkan sebagian harta dari tangannya berarti memasukkan suatu kondisi ke dalam hatinya. Cukuplah cinta kepada Allah sebagai pengganti dari cinta terhadap harta. Muhammad ibn `Ali Al-Tirmidzi berkata, “Apabila hati telah dipenuhi dengan rasa cinta terhadap dunia, maka sedikitlah pancaran cahaya imannya.” Allah memerintahkan
42
hamba-Nya untuk mengeluarkan zakat agar pancaran cahaya imannya semakin bertambah. Adapun rahasia zakat dari sisi makna “berkembang” dan “bertambah” adalah semakin bertambahnya harta dan derajatnya. Sebab, seseorang yang telah diperintahkan mengeluarkan zakat (dan memenuhinya) berarti memperoleh pengganti dan keutamaan. Allah berfirman,
ُُﻪ . ََوﻣﺎ أَﻧَـْﻔْﻘ ْﺘُﻢ ِ ْﻣﻦ َْﺷٍﻲء ُﻓَـَﻬﻮﳜُْﻠ ِ ﻔ “…Barang apa saja yang engkau nafkahkan, niscaya Allah akan menggantinya…” (QS. Saba’ [34]: 39). Bila kita mengeluarkan harta sesuai dengan kadar kehambaan, maka Allah akan menggantinya dengan hak ketuhanan-Nya. Suatu riwayat yang dikenal menyebutkan bahwa setiap saat malaikat yang berada di langi berdoa: “Ya Allah! Berilah penggantian bagi setiap orang yang berinfak dan berikanlah kerusakan bagi setiap orang yang kikir.” Satu hikayat populer menceritakan bahwa seorang zahid tuli yang bernama Hatim tidak henti-hentinya berpuasa. Suatu hari ketika hendak berbuka puasa datanglah seorang pengemis mengetuk pintu rumahnya. Ia pun berikan segala sesuatu yang dimilikinya kepada pengemis itu. Ia sendiri pergi menunaikan shalat. Pada saat itu pula datanglah pinggan berisi makanan yang disukainya. Ketika hendak menyantapnya, seorang pengemis lain datang memintanya. Sekali lagi ia berikan makanan itu kepada pengemis tersebut. Ia sendiri pergi lagi menunaikan shalat. Pada saat itu pula ia melihat harta yang banyak di rumahnya. Seusai shalat ia menangis sambil berkata, “Ah! Pengganti lagi… pengganti lagi. Saya meminta pengganti kelak di akhirat, tetapi selalu diganti di dunia.” Baik di kalangan orang yang taat maupun pemaksiat; yang mukmin atau kafir berlaku ungkapan bahwa setiap orang yang memberi pasti akan memperoleh ganti. Orang yang kikir akan disiksa dengan kerusakan. Seorang mukmin yang dermawan pada dasarnya sedang berniaga dengan Allah. Itu karenanya, ia tidak akan pernah rugi.
43
Diceritakan pula bahwa seorang zahid hendak membelanjakan satu dirhamnya untuk membeli kebutuhannya. Di tengah perjalanan ia melihat dua orang yang sedang bertengkar untuk mendapatkan satu dirham. Lalu ia berikan uangnya kepada salah seorang lelaki yang bertengkar itu. Ia sendiri pergi untuk mencari dirham yang lain. Dirham yang diperolehnya lalu digunakan untuk membeli ikan. Di dalam perut itu ternyata ia dapatkan sebuah wadah yang berisi dua permata. Ia akhirnya memperoleh harta yang banyak sebagai hasil penjualan permata itu. Konon katanya satu permata laku dijual dengan seharga 30 muatan unta yang berisikan emas. Pembeli permata itu berkata, “Bila ada permata lain seperti ini, aku akan membelinya dengan 90 muatan emas yang berissikan emas.” Ia pun kemudian menjual permatanya yang kedua dengan harga tersebut. Si zahid telah berniaga dengan Allah dengan modal satu dirham dan memperoleh keuntungan sebesar 120 muatan unta berisikan emas. Syekh `Ali Manshur al-Maturidi berkata, “Setiap muslim wajib membiasakan anaknya menjadi seorang dermawan, seperti halnya ia wajib mengenal-kan kepada anakanya Dzat yang berhak disembah.” Tidak ada bencana yang paling besar dalam agama selain sifat kikir. Seandainya saja dalam kekikiran hanya terdapat buruk sangka kepada Allah, maka kekikiran merupakan kerusakan yang sempurna. Seandainya pula dalam kedermawanan hanya terdapat baik sangka kepada-Nya, maka kedermawanan merupakan kemulyaan yang sempurna. Dengan kedermawanan, keyakinan dan rasa cinta seseorang kepada Allah akan semakin bertambah. Dalam kondisi seperti itu ia akan dicintai oleh orang lain. Lihatlah ketika kekasih Allah (Ibrahim) memohon kepada Allah agar menjadikan pujian baginya melalui lisan orang-orang mukmin umat Muhammad. Ia berkata,
.َ وَْاﺟْﻌﻞ ِﱄﻟ َِﺴ َﺎن ِﺻْﺪٍق ِﰲ ْاﻵِﺧﺮَِﻳﻦ “Jadikanlah bagi-ku buah tutur yang baik dari orang-orang yang (datang) kemudian” (QS. Al-Syu`ara [26]: 84). Satu pendapat mengatakan bahwa yang diminta oleh Ibrahim adalah pujian yang baik. Allah kemudian mengabulkannya dalam bentuk kalimat Allahumma shalli `ala Muhammad kama shallaita
44
`ala Ibrahîm (Ya Allah! Berikanlah rahmat kepada Muhammad sebagaimana Engkau telah memberi-kannya kepada Ibrahim). Yang diutarakan di atas merupakan sebagian rahasia-rahasia zakat dari sisi pelaksanaannya. Untuk memperinci rahasiarahasianya yang lain diperlukan uraian yang lebih panjang lagi. Adapun rahasia-rahasianya dari sisi kewajibannya adalah kenyataan bahwa Allah tidak mewajibkannya pada setiap bentuk harta, pada setiap keadaan, dan pada setiap orang. Zakat hanya diwajibkan pada harta yang berkembang dan yang dipersiapkan untuk dikembangkan, baik melalui niaga maupun penggembalaan; atau emas dan perak. Hikmahnya adalah agar mudah dilaksanakan dan tidak dirasa sulit. Bila zakat diwajibkan pada harta yang tidak berkembang, maka jumlah harta itu akan terus berkurang. Karenanya, siapa pun akan enggan melaksanakannya. Allah membebani hamba-Nya dengan sesuatu yang mudah dikerjakan agar ia selalu memuji-Nya, memperoleh ganti dan pahala. Zakat merupakan manifestasi rasa syukur atas nikmat harta, sedangkan orang yang bersyukur berhak untuk mendapatkan tambahan nikmat sesuai dengan firman-Nya,
.ِﻳﺪﻧﱠ ْﻜُﻢ ََﺌِﻦ َﺷ ْﻜَﺮُْﰎ ﻷََز ْ ﻟ “Bila kalian bersyukur, Kami akan menambah nikmat bagimu” (QS. Ibrahim [14]: 7). Allah tidak mewajibkan zakat pada pakaian sehari-hari, binatang pembawa barang, tempat tinggal dan kendaraan. Sebab, mengeluarkan sesuatu yang sudah akrab dengan watak manusia sangat berat dilakukan. Sementara itu, mengeluarkan zakat pada dirham, dinar, dan harta perniagaan tidak sesulit di atas. Allah pun tidak mewajibkan zakat setiap hari, setiap minggu, dan setiap bulan, tetapi mewajibkannya pada setiap tahun agar dalam tempo sepanjang itu seseorang mampu mengelola hartanya sehingga semakin bertambah. Penentuan waktu setahun tersebut berdasarkan kenyataan bahwa di dalamnya terdapat empat musim pemisah. Pada umumnya, harta seseorang akan bertambah setelah melalui empat musim pemisah itu. Pada musim-musim itulah kebutuhan seseorang akan bertambah yang karenanya akan
45
semakin menambah keuntungan si pemilik harta. Pada saat-saat seperti inilah zakat sangat mungkin dilakukan. Zakat tidak diwajibkan kepada setiap orang, tetapi hanya diwajibkan kepada orang merdeka, berakal, dan baligh. Dan hanya harta yang kosong dari beban hutanglah yang wajib dizakati. Sebab, orang yang mempunyai hutang harusnya dibantu agar keluar dari bebannya itu. Lantas bagaimana mungkin zakat diwajibkan kepada-nya? Anak kecil juga tidak berkewajiban mengeluarkan zakat karena akalnya belum sempurna. Walinya pun tidak berkewajiban mengeluarkan zakat dari harta mereka. Kewajiban zakat pun gugur bagi orang yang hartanya musnah sebab akan berat dirasakan bila tetap diwajibkan. Allah lebih senang bila hamba-Nya memuji dan bersyukur kepada-Nya. Dalam kewajiban zakat terdapat pula rahasia yang lain. Bila Allah memberi kekayaan secara merata kepada setiap makhlukNya, niscaya tidak ada seorang pun yang akan mendapat pujian dan mensyukuri nikmat dengan cara mengeluarkan sebagian hartanya. Jumlah harta yang dimiliki setiap orang tidak sama. Sebagian orang dikaruniai harta banyak dan sebagian lainnya tidak mendapat karunia itu. Oleh karena itu, Allah mewajibkan orang kaya untuk mengeluarkan sebagian hartanya bagi saudara-nya seagama dan senasab yang miskin. Ia menjadikan hamba-Nya yang miskin untuk menggantikan-Nya mengambil harta itu. Hal ini sesuai dengan firman-Nya,
.ﻗَﺎت ِ َ وﻳ َ ﺄُْﺧُﺬ اﻟﺼَﱠﺪ “Ia mengambil shadaqah” (QS. Al-Taubah [9]: 104). Melalui perantaraan zakat, Allah meninggikan derajat dan meluaskan hati seseorang. Ia telah menjadikan bantuan yang diberikan si kaya kepada si miskin sebagai gudang kebaikan. Seseorang tidak akan memperoleh keutamaan zakat sebelum meno-long orang yang sedang mendapat kemiskinan dan bencana. Kebajikan pertolongan itu tentunya buat si kaya bukan untuk si miskin. Sebab, si miskin masih mempunyai orang lain yang akan membantunya selain si kaya itu, sedangkan bagi si kaya itu sendiri tidak ada yang akan mengambil hartanya selain Allah. Allah berfirman,
46
.ﺻﺪﻗَﺎﺗِ ْﻜُﻢ ﺑِﺎﻟَْﻤﱢﻦَ و ْاﻷَذَى َ َ اﻟﱠﺬَءﻳﻦَ َاﻣﻨُ ﻮا َﺗﻻـُﺒ ِْﻄﻠُﻮا ِ ﻳ َ ﺎأَﻳَـﱡﻬﺎ “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima)” (QS. Al-Baqarah [2]: 264). Makna kata “mann” pada ayat itu secara bahasa adalah memutuskan, yakni memutuskan kebaikan bersodaqah dari Allah.
47
IV. PUASA
A. Definisi Puasa Kata “puasa” merupakan terjemahan dari bahasa Arab kata “ash-shiyam” yang artinya “menahan diri dari segala sesuatu”, seperti menahan makan, minum, nafsu, bicara, dan lain-lain. Sedangkan arti puasa menurut isti-lah fiqih adalah “menahan diri dari sesuatu yang membatalkan puasa mulai dari terbit fajar sampai terbenam matahari dengan disertai niat dan beberapa persyaratan”. Pe-ngertian ini sesuai dengan firman Allah SWT:
.َﺠِﺮ َْﺾ َِﻣﻦاﳋَْﻴ ِْﻂ ْاﻷََْﺳِﻮد َِﻣﻦ اﻟْﻔ ُ اﻷَﺑـﻴ ْ ْ ْﻂ ُ ﲔ ﻟَ ُﻜُﻢاﳋَْﻴ َ َﻛُﻠُ َﻮاو َْاﺷﺮﺑ ُ ﻮا َﻳـﺣﱠَﱴ ﺘََ ﺒـﱠ و "…dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar…” (QS. al-Baqarah [2]:187). Dalam hukum Islam, dikenal empat jenis puasa, yaitu: (1) wajib, yaitu puasa pada bulan Ramadhan, puasa kafarat, dan puasa nazar; (2) Puasa sunat, seperti puasa enam hari dalam bulan Syawal, puasa hari Arafah (tanggal 9 bulan Haji, kecuali orang yang sedang mengerjakan ibadah haji), puasa hari `Asyura’ (tanggal 10 Muharram), puasa setiap hari Senin dan Kamis, serta puasa tengah bulan (tanggal 13,14, dan 15) dari tiap-tiap bulan Qamariah (tahun Hijriah); (3) Puasa makruh; (4) Puasa haram, yaitu puasa pada hari Raya `Idul Fitri, Hari Raya Haji, dan 3 hari sesudah Hari Raya Haji, yaitu tanggal 11,12, dan 13. Puasa pada bulan Ramadhan merupakan salah satu rukun Islam yang lima dan diwajibkan pada tahun ke-2 H., yaitu tahun kedua sesudah Nabi Muhammad SAW. hijrah ke Madinah. Puasa pada bulan Ramadhan diwajibkan atas tiap-tiap mukallaf (baligh dan berakal). Ke-tentuan kewajiban puasa pada bulan Ramadhan ditetapkan oleh al-Qur'an dan hadits. Ayat al-Qur'an yang dimaksud adalah firman Allah SWT. pada surat al-Baqarah [2]:183: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”
48
B. Orang Yang Diwajibkan Berpuasa Puasa Ramadhan diwajibkan kepada setiap mu-kallaf (orang Islam yang sudah berkewajiban melaksanakan ketentuanketentuan agama) apabila memenuhi persyaratan berikut: 1. Islam. 2. Baligh. Dengan demikian, anak-anak tidak diwajibkan berpuasa, sesuai dengan sabda Rasulullah SAW.:
ﱠـﱯﱢ َِﻦﻟُْﻤﺒ َْﺘـﻠَﻰ َﺣﱠﱴﻳـ ََْﺒـﺮأَ َ َوﻋْـﻦاﻟﺼ َﺴﺘـﻴ ِْﻘ َﻆ َ وْﻋ ا َْ ﱴ ﱠﺎﺋِﻢ َﺣﱠ ﻳ ِ ﻗَﺎلرﻓ َِﻊ اﻟَْﻘُﻠَﻢ ْﻋَﻦ ﺛ ََﻼﺛٍَﺔ ْﻋَﻦاﻟﻨ َُ َﺣﱠﱴ ﻳـ ََِْﻌﻘﻞ “Beban hukum terlepas dari tiga orang: (1) Orang yang sedang tidur sebelum bangun; (2) Orang yang terkena musibah (gila) sebelum sembuh; dan (3) Anak kecil sebelum berakal (baligh).” (HR. Ahmad). 3. Kuat berpuasa. Dengan demikian, orang yang tidak kuat, seperti orang sakit dan tua renta, tidak wajib puasa. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT.:
.َﻳﱠﺎم أ َُﺧﺮ ٍ ِﻳﻀﺎ ْأَو َﻋﻠَﻰ َﺳﻔٍَﺮﻓَﻌِ ﺪﱠةٌ ِ ْﻣﻦ أ ً ﻓَﻤﻦ َﻛ َﺎنِﻣﻨْ ْﻜُﻢ َ ﻣﺮ َْ ”Maka jika ada di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan puasa pada hari-hari yang lain” (QS. AlBaqarah [2]: 184).
C. Persyaratan Puasa 1. Islam. Dengan demikian, tidak sah puasanya orang kafir. 2. Suci dari haidh dan nifas. 3. Berakal. Dengan demikian, orang yang gila tidak wajib berpuasa. 4. Dalam waktu yang diperbolehkan puasa padanya. Dengan demikian, tidak sah puasa pada dua hari raya dan hari tasyriq (tanggal 11,12,13 bulan haji).
49
D. Rukun Puasa 1. Niat pada malam hari, yaitu setiap malam selama bulan Ramadhan. Dalam hal ini, Rasulullah SAW. bersabda:
َُﻪ . ﻓَﻼِﺻﻴ َ َﺎم ﻟ َ َﺠِﺮ ُْْﻤﻊاﻟﺼﱢﻴ َ َﺎمﻗـَﺒ َْﻞ اﻟْﻔ ِْﻗَﺎل َ ْﻣﻦ ﱂَْﳚ َ "Siapa tiada berniat puasa (Ramadhan) pada malamnya sebelum fajar terbit, maka tiada puasa baginya.” (HR. Lima Ahli Hadits). Jika seseorang lupa niat puasa pada malam hari, maka puasanya hari itu tidak sah, tetapi ia tetap wajib berpuasa untuk menghomati bulan Ramad-han hari itu. 2. Menahan diri dari segala yang membatalkan puasa sejak terbit fajar sampai terbenam matahari (imsak). E. Yang MemBatalkan Puasa 1. Masuknya benda dunia ke dalam lubang tembus (mulut, hidung, telingan, dubur, qubul) karena unsur kesengajaan, tahu, dan pilihan sendiri. Poin ini didasarkan pada firman Allah SWT.:
.َﺠِﺮ َْﺾ َِﻣﻦاﳋَْﻴ ِْﻂ ْاﻷََْﺳِﻮد َِﻣﻦ اﻟْﻔ ُ اﻷَﺑـﻴ ْ ْ ْﻂ ُ ﲔ ﻟَ ُﻜُﻢاﳋَْﻴ َ َﻛُﻠُ َﻮاو َْاﺷﺮﺑ ُ ﻮا َﻳـﺣﱠَﱴ ﺘََ ﺒـﱠ و “…dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar…” (QS. Al-Baqarah [2]:187). Makan dan minum yang dilakukan tanpa unsur kesengajaan tidak menyebabkan puasa batal. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW.:
ُ.ﺻﻮﻣﻪُﻓَﺈﱠِﳕَﺎ أَﻃََْﻌﻤﻪُاﻟﻠﱠﻪُ َ َوَﺳﻘﺎﻩ ََْ ﺘِﻢ ِبْﻴ ُ ﱠ َﻛَﻞ ْأَو َﺷَﺮﻓَـﻠ َ ﺎﺋِﻢ ﻓَ ﺄ ٌ ﻧَﺴﻲ َ َُوﻫﻮ َﺻ َِ َ ْﻣﻦ “Barangsiapa lupa, sedangkan dirinya dalam keadaan puasa, kemudian ia makan dan minum, maka hendaklah puasanya disempurnakan, karena sesungguhnya Allahlah yang memberinya makan dan minum.” (HR. Muslim, Al-Darimi, dan Ahmad).
50
2. Bersetubuh. Yang dimaksud dengan bersetubuh di sini adalah memasukkan hasyafah ke dalam kubul (liang depan) atau dubur (liang belakang) seorang manusia atau lainnya, baik mengeluarkan sperma (air mani) atau tidak. Bersetubuh dapat membatalkan puasa jika dilakukan dengan sengaja, tidak karena lupa, oleh orang yang tahu akan keharamannya. Mencium atau bercumbu dengan istri tidaklah membatalkan puasa. Ini berdasarkan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari,
ِِرِﺑِﻪ َﻛ َﺎن ْأَﻣﻠَ َﻜ ْﻜُﻢ ْﻹ ﺎﺋِﻢ َو ٌ ﺎن ُ َﻘ ُﺒﱢﻞ َ َُوﻫﻮ َﺻ اﻟﻠﱠﻪُﻠَﻴ ِْﻪ َ َوﺳَﻠﱠﻢ َﻛ َﻳـ اﻟﻠﱠﻪ َﺻﻠﱠﻰ َﻋ ِ ﻮل َ َﺳ أَ ﱠن ُر “Nabi SAW. suatu ketika mencium istrinya padahal sedang berpuasa, Namun, beliau adalah orang yang paling dapat mengendalikan birahinya.” 3. Mengeluarkan air sperma (air mani) dengan sengaja, baik dengan tangan sendiri atau tangan orang lain; baik disertai syahwat atau tidak. Keluar air sperma karena bermimpi dan menghayal tidak membatalkan puasa. 4. Muntah dengan sengaja sekalipun tidak ada yang kembali lagi ke dalam perut. Berkaitan dengan persoalan ini, Rasulullah SAW. pernah bersabda: “Siapa terpaksa muntah, maka tidak wajib mengqada puasa; Dan barangsiapa yang mengusahakan muntah, maka hendaklah ia mengqada puasanya.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibn Hibban). Adapun hukuman yang diberikan kepada orang (lelaki) yang membatalkan puasa Ramadhannya dengan bersetubuh adalah kifarat berupa memerdekakan budak. Kalau tidak sanggup memerdekakan budak), maka berpuasa selama 2 bulan berturut-turut. (Kalau tidak sanggup berpuasa), maka bersedekah dengan makanan yang mengenyangkan kepada 60 fakir miskin, tiap-tiap orang satu mudd beras.
51
F. Sunah-Sunah Puasa Ramadhan Di antara kesunahan-kesunahan berpuasa adalah: 1. Melakukan makan sahur walapun dengan hanya segelas air. Ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW.:“Bersahurlah, karena di dalamnya ada barakah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). 2. Menyegerakan berbuka puasa sebelum melaksanakan shalat maghrib, walaupun sambil berjalan. Ini didasarkan pada hadits Rasulullah SAW. di atas. 3. Berbuka dengan kurma, atau yang manis, atau air. Ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW.: “Jika salah seorang di antara kalian berpuasa, maka berbukalah dengan buah kurma. Jika tidak menemukannya, maka berbukalah dengan air. Sebab, air itu suci.” (HR. Al-Turmudzi dan Ibn Hibban). 4. Berdo’a setelah berbuka dengan do’a yang datang dari Rasulullah SAW. Do’a yang dimaksud adalah: “Ya Allah, karena-Mu saya berpuasa, dan dengan rizki pemberian-Mu saya berbuka; Dahaga telah lenyap dan urat-urat telah minum, serta pahala tetap bila Allah SWT. Meng-hendaki.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). 5. Melaksanakan mandi besar (selepas junub, atau haidh dan nifas) sebelum fajar. Tujuannya adalah menghindari kemungkinan masuknya air ke dalam tubuh ketika mandi. Sebaiknya membasuh bagian-bagian tertentu yang rawan masuk air sebelum fajar, dengan niat menghilangkan hadats besar. Sisanya, jika tidak mau disekaliguskan, meneruskannya setelah fajar. 6. Menjaga mulut dari ucap-an yang tidak baik, seperti berbohong dan gibah. Alasannya, ucapan-ucapan yang seperti itu dapat menghilangkan pahala puasa, sebagaimana diisyaratkan oleh sabda Rasulullah SAW.: Ada lima hal yang dapat merusak pahala puasa: Berdusta, ghibah, mengadu domba, bersumpah palsu, dan meman-dang (lawan jenis) dengan syahwat.” 7. Memperbanyak sedekah. Ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW: Rasulullah SAW. ditanya oleh seseorang, “Wahai
52
Rasulullah, sedekah apa yang paling baik?” Beliau menjawab, “Sedekah pada bulan Ramadhan.” 8. Memperbanyak membaca al-Qur'an, dzikir, dan melakukan kebaikan di setiap tempat, hatta di jalan dan kamar mandi. Termasuk di dalamnya adalah tadarusan selepas shalat `Isya’. Waktu yang paling baik untuk membaca al-Qur'an adalah selepas shalat Subuh, antara shalat Maghrib dan `Isya’, serta waktu sahur. 9. Melaksanakan shalat tarawih pada setiap malam bulan Ramadhan. 10. Memperbanyak i`tikaf, terutama pada 10 terakhir bulan Ramadhan. Ini mengikuti kebiasaan Rasulullah SAW. sebagaimana dijelaskan pada satu hadits:“Rasulullah SAW. melakukan I`tikaf 10 terakhir dalam bulan Ramadhan sampai Allah SWT. mewafatkannya. Kemudian istri-istrinya beri`tikaf setelah itu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim), 11. Menamatkan bacaan al-Qur'an selama bulan Ramadhan.
G. Orang yang Diperkenankan Tidak Berpuasa 1. Orang sakit. Landasannya adalah firman Allah SWT.:
.َﻳﱠﺎم أ َُﺧﺮ ٍ ِﻳﻀﺎ ْأَو َﻋﻠَﻰ َﺳﻔٍَﺮﻓَﻌِ ﺪﱠةٌ ِ ْﻣﻦ أ ً ﻓَﻤﻦ َﻛ َﺎنِﻣﻨْ ْﻜُﻢ َ ﻣﺮ َْ ”Maka jika ada di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan puasa pada hari-hari yang lain” (QS. Al-Baqarah [2]: 184). 2. Orang yang sedang menempuh perjalanan sejauh jarak yang diperbolehkan melakukan shalat dengan qashar (meringkas), yakni 2 marhalah (+ 80,640 k.m.). Landasannya adalah firman Allah SWT. pada QS. al-Baqarah [2]:184. 3. Orang tua lanjut usia yang tidak kuat mengerjakan puasa, atau terganggu kesehatannya. Begitu juga bagi orang yang sakitnya tidak ada harapan untuk sembuh berdasarkan keterangan dari dokter, atau orang ahli dalam pengobatan.
53
Mereka boleh tidak berpuasa dan diwajibkan mengeluarkan fidyah, yakni mem-beri makan kepada orang miskin sebanyak satu mudd (+ ¾ liter beras). Landasannya adalah firman Allah SWT.:
.ِﲔ ٍﻃَﻌُﺎم ِ ْﻣﺴﻜ َ ٌِﺪﻳ َ ﺔ ُُﻮﻧَﻪ ْ اﻟﱠﺬَﻳﻦﻳ ُِﻄﻴﻘ ﻓ ِ َ َوﻋﻠَﻰ “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.” (QS. Al-Baqarah [2]:184). 4. Orang hamil dan orang yang menyusui anak. Jika dengan sebab berpuasa takut membahayakan diri dan anaknya, mereka boleh berbuka dan harus mengqadanya, laksana orang sakit. Namun, jika hawatir terhadap anaknya saja, mereka harus membayar fidyah sebanyak 1 mudd untuk fakir miskin, di samping harus mengqadha’nya. Landasannya adalah sabda Rasulullah SAW.: “Sesungguhnya Allah SWT. memaafkan setengah shalat dari orang musafir, dan memaafkan puala puasanya. Dan Dia memberi (kemurahan) kepada wanita yang sedang hamil dan orang yang sedang menyusui” (HR. Lima Ahli Hadits).
H. Rahasia-Rahasia Puasa Berdasarkan tinjauan bahasa, shaum (puasa) mempunyai arti “menahan”. Secara esensial puasa itu sangat terpuji sebab hakikatnya adalah meninggalkan sesuatu yang tidak layak. Puasa berarti pula menahan diri dari hal-hal yang tidak baik. Seandainya petunjuk tentang puasa hanya diperlihatkan oleh khabar Allah berupa “Puasalah dan Allah akan membalas dengan pahala”, maka cukuplah. Hakikat puasa hanyalah milik Allah sebab Ia tidak disifati dengan makan dan tidak butuh terhadapnya. Ia pun tidak disifati dengan Dzat yang berpuasa sebab belum pernah terdengar predikat itu sebagai salah satu sifat-sifat-Nya. Bagi kita puasa berarti menahan ajakan naluri. Puasa tidak dinisbatkan secara mutlak kepada Allah agar tidak muncul dugaan bahwa Ia memiliki tabi`at, yang berarti kerusakan. Seseorang
54
yang menahan dirinya untuk berbuat sesuatu, berarti tengah berpuasa dari sisi makna bahasanya. Adapun dilihat dari makna syari`at, puasa berarti menahan diri dari dua syahwat: Perut dan kemaluan. Kedua syahwat itu merupakan pangkal dari segala syahwat. Seseorang yang menahan dirinya dari kedua syahwat itu akan mendapat pujian dan pahala. Dalam hal ini Allah berfirman,
.ُﻮن َ اﻟﱠﺬَﻳﻦ ِ ْﻣﻗـَﺒﻦ ْ ﻠِ ْﻜﻟُﻢَﻌ َ ﻠﱠ ْﻜُﻢ َﺗـﺘـﱠﻘ ِ ُﺘِﺐﻋَ ﻠَﻰ َ اﻟﺼﱢﻴ َ ﺎم ُ َﻛَﻤﺎ ﻛ ُﺘِﺐ ﻠَﻴ ْ ُﻜُﻢ َاﻟﱠﺬَءﻳﻦَ َاﻣﻨُ ﻮا ﻛ َﻋ ِ ﻳ َ ﺎأَﻳَـﱡﻬﺎ “Wahai orang-orang yang beriman telah diwajibkan bagimu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan pula kepada orang-orang sebelummu agar kamu menjadi orang yang bertakwa."(QS. aqarah [2]: 183). Di antara rahasia-rahasia puasa adalah: Pertama: Menahan diri untuk melakukan sesuatu yang tidak mempunyai nilai apa-apa. Hal itu dinilai terpuji oleh setiap orang yang berakal. Bila kebugaran tubuh dapat dipertahankan tanpa makan dan minum, setiap orang pasti tidak akan makan dan minum. Sebab, makan dan minum menyebabkan munculnya penyakit, menimbulkan aroma yang tidak sedap, dan harus membuka aurat ketika membuang sisa-sisanya. Namun, seolaholah Allah “memaksa” manusia untuk makan dan minum karena Ia tahu bahwa di antara mereka ada yang mengaku memilik sifat ketuhanan. Bila tidak dipaksakan, setiap orang pasti akan menglaim memiliki sifat ketuhanan. Maka, bijaksanalah untuk tidak memperbanyak sesuatu yang dipaksakan itu. Itu sebabnya, tabi`at dapat menerima kewajiban yang telah ditetapkan syari`at itu. Walaupun perut kita lapar, tetapi badan kita tetap sehat. Dalam hal ini Nabi bersabda, “Obat yang paling baik adalah tindakan preventif.” Tidak ada obat yang paling manjur selain menahan diri untuk mengkonsumsi makanan secara berlebihan. Kedua: Mengosongkan perut, yang berarti menjaga kesehatan seluruh anggota badannya. Bila perut kenyang, maka mata, lidah, tangan, dan kemaluannya akan merasa lapar. Mengenyangkan perut berarti mengosongkan jiwa, sedangkan mengosongkan perut
55
berarti mengenyangkan jiwa. Lapar seperti inilah yang memiliki nilai utama. Ketiga: Dalam keadaan lapar, seseorang ikut merasakan penderitaan orang-orang fakir. Hal itu akan mendorongnya untuk mengasihi dan memberikan sesuatu yang dapat menghilangkan lapar mereka. Bobot sebuah informasi tidak sama dengan menyaksikannya secara langsung. Seorang penunggang kendaraan tidak akan merasakan deritanya pejalan kaki sebelum melakukannya sendiri. Pribumi tidak akan merasakan keresahan pendatang sebelum melakukan perjalanan. Demikian pula, sesorang tidak akan merasakan penderitaan orang yang sedang kelaparan sebelum ia merasakannya sendiri. Allah tidak makan dan minum dan rela terhadap hamba-Nya untuk tidak makan dan minum beberapa saat guna meniru sifatNya itu. Ia adalah Maha Pemberi makanan, Pemberi hujan, Penolong, Maha adil, dan Maha Pemberi kebaikan. Ia senang bila hamba-Nya meniru sifat-sifat-Nya itu. Maha suci Allah sebagai Pencipta Paling Sempurna yang telah mewajibkan hamba-Nya berpuasa pada separoh umurnya untuk diberi balasan oleh-Nya sesuai dengan firman-Nya,
.َْﺎﻟ ِ ﻴ َِﺔ َﻳﱠﺎم ِﻴﺌًﺎﲟ َﺎأَْﺳ ْﻠَﻔ ْﺘُﻢ ِﰲ ْاﻷاﳋ ِ ِﻛُﻠُ َﻮاو َْاﺷﺮﺑ َُﻮﻫاﻨ “Makan dan minumlah dengan sedap disebabkan perbuatan yang telah kamu lakukan sebelumnya” (QS. Al-Haqqah [69]: 24). Keempat: Menyertai orang-orang fakir melawan kelaparan. Terlalu banyak jumlah orang fakir yang karenanya tidak mungkin untuk memberi makanan kepada semuanya. Cukuplah memberi mereka dengan kadar kemampuan seorang hamba. Karena menyertai seluruh orang fakir dalam memerangi kelaparan, orang yang berpuasa akan memperoleh pahala mereka semua, sebab sabar terhadap kefakiran merupakan sesuatu yang agung di sisi Allah. Orang yang tidak memiliki harta akan memperoleh ketenangan (sakinah) dari Allah di saat ia bimbang bila bersabar atas keadaannya. Itu sebabnya, ia dinamai miskin (dari kata
56
sakinah). Kebanyakan manusia bimbang ketika menghadapi kefakiran sebagaimana diutarakan oleh firman Allah,
ٌﺘْﻪُﺘـﻨَ ــﺔ ِْ َﺻــﺎﺑـ َ ﻓ إِن َْ ِنََﺻــﺎﺑ َ ﻪُ َْﺧﻴٌــﺮ اﻃَْﻤـﺄَ ﱠنﺑِ ـِـﻪَ و أ ْف ﻓَ ــﺈْأ ٍاﻟﻠﱠ ــﻪ َ َﻋﻠَ ــﻰ َﺣــﺮ ـﺎسَ ﻳﻣـَْْـﻦﻌﺒ ُ ـُـﺪ ِ َ ِوﻣـَـﻦ اﻟﻨﱠـ .ﻠَﺐ َﻋﻠَﻰ َ ْوﺟِِﻬﻪ َ اﻧَـْﻘ “Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah ketika berada di tepi. Jika memperoleh kebajikan, ia tetap dalam keadaan itu. Tetapi jika ditimpa suatu bencana, ia berbalik ke belakang…” (QS. Al-Hajj [22]: 11). Tidak ada balasan yang diterima oleh orang yang bersabar atas kefakirannya kecuali firman Allah yang menyatakan:
.ﺎب ٍ ﺑِﻐَﲑِ ِ َﺣﺴ ْ ون أََْﺟُْﺮﻫﻢ َ ﱠﺎﺑِﺮ ُ إِﳕَﺎﻳـ َُ ﻮﱠﰱ اﻟﺼ ﱠ “…Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Al-Zumar [39]: 10). Orang yang berpuasa karena menyertai orang-orang fakir berarti punya saham atas pahala mereka. Diceritakan bahwa seorang salih keluar dari rumahnya dalam keadaan cuaca yang sangat dingin dan hanya mengenakan pakaian satu lapis. Ia berkata, “Saya akan meniru orang-orang fakir ketika melawan cuaca dingin sebab saya tidak mampu memberikan pakaian kepada mereka.” Kelima: Ketika perutnya kosong, seorang hamba telah memenuhinya dengan hikmah. Nabi bersabda, “Perut adalah wadah yang paling jelek diisi makanan.” Di dunia ini tidak ada wadah yang paling layak diisi hikmah selain perut. Bukanlah sebuah kebaikan bila seseorang memenuhi perutnya dengan makanan dan mengosongkannya dari hikmah. Seorang mukmin yang mengosongkan perutnya cahaya kebaikannya akan memancar. Keenam: Puasa tidak diwajibkan sepanjang hidup karena mengandung rahasia tersendiri. Puasa hanya diwajibkan selama sebulan dalam jangka waktu satu tahun. Itu pun masih diberi keringan berbuka puasa bagi orang yang sakit. Puasa hanya
57
diwajibkan pada siang harinya sebab bila juga diwajibkan pada malam harinya, hal itu hanya akan mendatangkan kerusakan tubuh. Melalui puasa, Allah memerintahkan sesuatu yang memungkinkan seseorang mendapatkan keutamaan dan wasilah, sesuai dengan firman-Nya,
. َاﻟﱠﺬَءﻳﻦَ َاﻣﻨُ ﻮا اﺗـُﱠﻘﻮااﻟﻠﱠﻪ َ َ ْواَﺑـﺘـﻐُإِﻮاﻟَﻴ ِْﻪاَﻟ ِْﻮﺳﻴﻠَﺔ ِ ﻳ َ ﺎأَﻳَـﱡﻬﺎ “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya” (QS. AlMa`idah [5]: 35). Puasa diwajibkan pada siang hari sebab pada saat itu makan biasanya dilakukan, sedangkan malam hari biasanya digunakan untuk tidur. Bila diwajibkan pada malam hari, maka puasa hanya berarti mengikuti kebiasaan dan bukan untuk mentaati syari`at. Pada siang hari Allah memerintahkan berpuasa, sedangkan pada malam harinya ia membiarkan Muhammad menetapkan hukum shalat tarawih agar orang yang sedang berpuasa tidak saja mengagungkan syari`at-Nya, tetapi juga memulyakan sunnah Nabi. Karena seorang hamba mengikuti perintah Allah, maka Rasul akan meminta syafa`at untuknya; dan karena mengikuti sunnah Rasul, ia akan memperoleh keridha`an Allah. Dengan demikian, ia berada antara keutamaan dari Allah dan syafa`at dari Rasul-Nya. Ketujuh: Membentuk akhlak mulia dengan cara menyedikitkan makan. Terpujilah orang yang menyedikitkan makan, dan tidak terpujilah orang yang memperbanyak makan. Tidak ada riwayat yang menyebutkan bahwa ada seorang nabi yang memperbanyak makan. Umumnya, bencana di dunia dan akhirat berasal dari makanan dan minuman. Dengan demikian, puasa berarti menutup pintu bencana. Kedelapan: Allah mewajibkan berpuasa, tetapi memberi keringanan bagi orang yang udzur, baik karena sakit maupun perjalanan, untuk berbuka. Seolah-olah Allah berfirman, “Wahai hamba-Ku! Jika kalian sakit, berbukalah dan gantilah pada hari lain. Walaupun kalian berbuka, pahalanya akan tetap mengalir.” Ia pun berfirman,
58
.َﻳﱠﺎم أ َُﺧﺮ ٍ ِﻳﻀﺎ ْأَو َﻋﻠَﻰ َﺳﻔٍَﺮﻓَﻌِ ﺪﱠةٌ ِ ْﻣﻦ أ ً ﻓَﻤﻦ َﻛ َﺎنِﻣﻨْ ْﻜُﻢ َ ﻣﺮ َْ ”Maka jika ada di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan puasa pada hari-hari yang lain.” (QS. AlBaqarah [2]: 184). Dalam hal mengganti puasa, Allah tidak mensyaratkan adanya kesamaan dengan puasa yang diganti, baik dari sisi panjang waktu siang, cuaca dingin atau panas karena Ia Dzat yang Maha Lembut. Bila seorang hamba berbuka pada hari yang panjang dan menggantinya pada hari yang pendek, maka cukuplah hal itu baginya. Ia tetap memperoleh pahala yang sempurna. Bila ketika menggantikan puasa pun berbuka, ia tidak wajib melakukan kifarat `ada (sangsi yang harus dilakukan pada saat itu pula, pen.). Walapun berbuka puasa karena adanya udzur merupakan satu kekurangan, tetapi Allah sedikit pun tidak mengurangi pahalanya. Seolah-olah Allah berfirman, “Wahai hamba-Ku! Hari ini keutamaan telah berlalu dari hadapanmu dan engkau tidak diwajibkan membayar kifarat, tetapi engkau mempunyai hak penuh untuk memperoleh pahala.” Kesembilan: Sesungguhnya Allah telah men-janjikan surga bagi orang-orang yang bertakwa sebagaimana dalam firman-Nya, “
.ﱠتﻟ ِ ﻠُْﻤﺘِﱠﻘَﲔ ْ ْض أُِﻋﺪ ُ ات َ و ْاﻷَر ُ اﻟﺴَﱠﻤﻮ َ ْﺿﻬﺎ ََُ َوﺟﻨٍﱠﺔ َﻋﺮ … Dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS. Ali `Imran [3]: 133). Ketahuilah! Siapa pun tidak pernah akan bisa menahan melakukan dosa sepanjang hidupnya. Itu sebabnya, Allah mewajibkannya puasa selama satu bulan pada setiap tahunnya agar dapat menahan diri dari hal-hal yang dapat membatalkannya. Dan karenanya pula, ia berhak menyandang predikat orang yang bertakwa dan memperoleh surga. Ketika memerintahkan puasa Allah memakai redaksi, “…Sebagaimana telah diwajibkan kepada orang-orang sebe-
59
lummu.” Mengikuti berarti meniru hal-hal yang serupa, sebagaimana dikatakan oleh penyair: Mereka tidak menangis seperti saudaraku, Tetapi aku membiasakan diriku untuk mengikutinya. Kalau saja tidak karena banyaknya tangisan di sekitarku, Atas teman-temannya, aku pasti membunuh jiwaku Dengan firman-Nya yang berbunyi, “… ayyam ma`dudat“ (hari-hari yang ditentukan),” Allah meyakinkan hamba-Nya bahwa waktu sebulan itu sedikit sekali. Hal itu ditambah dengan keringan berbuka bagi orang yang dikhawatirkan sakitnya semakin bertambah bila tetap berpuasa. Seolah-olah Allah berfirman, “Aku tidak akan membiarkan hamba-Ku menanggung beban sakit dan lapar.” Ia pun memberi keringanan kepada orang yang melakukan perjalanan, baik demi kebaikan atau kemaksiatan, untuk berbuka puasa. Ini menunjukkan tidak adanya pemilahan di alam fana ini. Allah menyamakan antara orang yang maksiat dan orang yang taat dalam persoalan ini. Tidak ada halangan bagi pemaksiat untuk mendapatkan sifat kasih sayang-Nya. Seperti halnya memaafkan orang yang taat, Allah pun memaafkan orang yang maksiat sebab dari sisi perolehan siksaan, ialah yang lebih utama dimaafkan. Firman-Nya yang berbunyi,
.ِﻳﺪ ﺑِ ُﻜاﻟُﻢْﻌ ُ َْﺴﺮ ُُﺴﺮ َ َوﻳﻻ ُ ﺮ َْ ِﻳﺪ اﻟﻠﱠﻪُﺑِ ُﻜُﻢاﻟْﻴ ُﻳ ُ ﺮ “Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesulitan bagimu (QS. Al-Baqarah [2]: 185),” berkaitan dengan jarak perjalanan yang jauh dari negara atau tempat tinggal dan demi tujuan apa saja yang di dalamnya diperbolehkan berbuka puasa. Seolah-olah Allah berfirman, “Aku tidak akan membiarkan hamba-Ku menanggung beratnya perjalan dan lapar.” Maka, tentu saja Allah lebih tidak akan membiarkan hamba-Nya ketika hendak mati untuk menanggung beratnya perpisahan dengan ruh dan perpisahan dengan iman. Kesepuluh: (Dalam persoalan keringan berbuka puasa), Allah tidak membedakan antara perjalanan taat dan perjalanan maksiat. Inilah madzhab yang terpilih. Lagi pula, orang yang berpuasa adalah kepercayaan Allah di dunia sebab puasa baginya merupakan amanat. Berarti ia pun terhindar dari sifat khianat. Itu
60
sebabnya, ia berhak memperoleh kedekatan dengan Allah, sebagaimana terhormatnya kedudukan seseorang yang mengemban amanat dari sultannya. Maka, termasuk kelembutan Tuhan ketika berfirman, “Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesulitan bagimu.” Dengan meniadakan kesulitan bagi hamba-Nya, Allah sebenarnya ingin mempertegas kehendak-Nya mempermudah hamba. Dengan de-mikian, kedua statemen yang terdapat pada ayat di atas saling memperkuat satu dengan yang lainnya dengan menggunakan gaya bahasa yang indah sekali. Pada ayat itu, Allah menetapkan kemudahan dan meniadakan kesulitan. Ini sebagai isyarat penekanan yang lebih tinggi terhadap kemudahan. Allah sengaja tidak mengungkapkan kedua unsur itu (kemudahan dan kesulitan) dalam satu pernyataan. Sebab, bila Ia berfirman, “Allah menghendaki kemudahan bagimu,” sebanyak dua kali, ungkapan itu tidak enak didengar hamba-Nya. Dengan kehendak-Nya itu pulalah saya berharap agar Ia tidak menghendaki hamba-Nya menanggung beratnya perpisahan dengan ruh dan lepasnya keimanan. Kesebelas: Pada malam hari Ramadhan, Allah mengizinkan hamba-Nya secara mutlak untuk melakukan hal-hal yang dilarang pada siang harinya. Ia berfirman,
ْﻂ ُ ـﲔ ﻟَ ُﻜـُـﻢاﳋَْ ــﻴ َ َﻛُﻠُ ـ َﻮاو ْاﺷَــﺮﺑ ُ ﻮا َ ﻳﺣـ َﱠـﱴﺘََ ﺒ ـ ﱠ ﻓَ ـ ْـﺎﻵ َن ﺑ َ ِﺎﺷُــﺮُوﻫﱠﻦَ ْواَﺑـﺘـﻐُ ـﻮاَ ﻣــﺎَﻛﺘَ ـ َـﺐ اﻟﻠﱠ ــﻪُﻟَ ُﻜـْـﻢ و .َﺠِﺮ َْﺾ َِﻣﻦاﳋَْﻴ ِْﻂ ْاﻷََْﺳِﻮد َِﻣﻦ اﻟْﻔ ُ اﻷَﺑـﻴ ْْ “…Maka sekarang campurilah mereka (istri-istrimu) dan carilah apa-apa yang telah ditetapkan Allah untukmu. Makan dan minumlah hingan terang bagimu benang putih dari benang hitam, yakni fajar.” (QS. Al-Baqarah [2]: 187). Allah tidak melarang hamba-Nya pada malam bulan Ramadhan untuk memenuhi kebutuhan biologisnya agar ia selalu mentaatiNya. Ini sekaligus menjadi dalil bahwa berbuka pada malam harinya lebih utama daripada puasa terus menerus (wishal). Riwayat yang mengatakan bahwa Nabi berpuasa tiga atau tujuh hari berturut-turut (tanpa diselingi batal pada malam harinya, penj.), itu terjadi dalam keadaan darurat. (Di luar itu), beliau tetap berbuka pada malam harinya walaupun dengan sesuatu yang
61
tidak mengenyangkan. Beliau sendiri pernah bersabda, “Bila siang hari telah pergi dan malam hari telah tiba, maka makan-lah wahai orang-orang yang sedang berpuasa!”. Menghindari makan pada malam hari tidak akan mendapatkan keutamaan puasa. Yang didapatkan hanyalah rasa lapar. Padahal, Allah tidak butuh terhadap laparnya hamba. Allah menjadikan terbenamnya matahari sebagai batas diperbolehkan-nya berbuka agar si hamba berbuka dengan sesuatu yang halal dan agar memper-oleh pahala yang sempurna. Kedua belas: I`tikaf ditetapkan berbarengan dengan ketetapan puasa. Orang yang berpuasa adalah tamu Allah. Maka, seyogyanya ia selalu berada di rumah-Nya, mesjid. Karena sebagai tamu Allah, ia akan mendapat jamuan berupa tambahan rizki dan perlakuan yang baik. Bila yang dikenakannya pakaian kotor, Allah akan mensucikannya. Kami memohon kepada-Nya agar mensucikan kami dari kotoran dosa dan menggantikannya dengan ketakwaan hati karena Ia-lah Dzat yang meniadakan bencana. Allah berfirman,
.اﻟﱠﺬي أُﻧْﺰَِلﻓ ِ ِ اﻴﻪﻟْْﻘُﺮء َ ُان ِ َْﺷُﻬﺮ ََرﻣَﻀ َﺎن “Bulan Ramadhan yang di dalamnya diturunkan Al-Qur`an….” (Al-Baqarah [2]: 185). Ramadhan dijadikan nama bulan ketika Al-Qur`an yang berbahasa Arab itu diturunkan. Seperti halnya kitab Allah yang telah menggantikan kegelapan hati dengan cahaya sehingga tidak tersisa kegelapan di dalamnya, Ramadhan pun telah membakar dosa-dosa mukmin sehingga tidak tersisa sedikit pun. Siapa yang rela Al-Qur`an sebagai imamnya, ia akan mendapatkan cahaya; Dan barang siapa rela Ramadhan sebagai kewajiban berpuasa, ia akan mendapatkan ampunan dan kebahagiaan. Seolah-olah Allah berfirman, “Wahai hamba-Ku! Aku telah membakar perutmu dengan rasa lapar. Dan dengan tikaman Ramadhan-lah dosadosamu terbakar. Melalui puasalah diharapkan engkau selalu sujud dan ruku` kepada-Ku.” Ketiga belas: Tidak seperti ibadah yang lainnya, pada ibadah puasa niat tidak disyaratkan berbarengan dengan awal pelaksana-
62
annya karena waktu itu merupakan saat-saatnya seseorang ngantuk dan lupa. Sangat jarang orang yang sadar saat-saat itu. Itu sebabnya dipandang berat bila hal itu diisyaratkan. Allah memberi keringanan bagi hamba-Nya berupa disahkannya niat yang diutarakan jauh sebelum pelaksanaan puasa. Jika setelah mengutarakan niat seseorang makan dan minum, maka niatnya itu dipandang sebagai ajam (niat yang diutarakan tidak berbarengan dengan pelaksanaannya, penj.). Bila lupa mengutarakan niat pada malam hari, ia boleh melakukannya pada siang hari tanpa akan mengurangi keutamaan puasanya. Keempat belas: Ketetapan puasa diiringi pula dengan ketetapan pembayaran zakat fitrah yang dipandang sebagai penambal setiap kekurangan yang mungkin terjadi dalam pelaksanaan puasa dan pelebur setiap dosa yang dilakukan di dalam bulan Ramadhan. Nabi bersabda, “Zakat fitrah adalah pembersih jiwa orang yang berpuasa.” Kedudukan zakat dalam puasa mirip dengan kedudukan sujud sahwi dalam shalat sebagaimana diutarakan pula dalam sabda Nabi, “Dua sujud sahwi itu dapat menambal kekurangan shalat akibat godaan setan.” Bila kekurangan shalat ditambal dengan su-jud sahwi, maka kekurangan puasa ditambal dengan zakat fitrah. Dengan demi-kian, kadar kekurangan shalat sebanding dengan kadar sujud sahwi; kadar kekurangan puasa seban-ding dengan kadar zakat fitrah. Untuk mengetahui kadar kekurangan ibadah, kita dapat melihatnya dari kadar penambalnya. Dengan merenungi kadar sujud sahwi, kita dapat menemukan bahwa kadar satu sujud sama dengan pahala ibadah selama 700.000 tahun. Sebab, penolakan Iblis untuk sujud kepada Adam satu kali saja mengakibatkan ibadahnya selama 700.000 tahun terbang bagaikan debu. Dengan demikian, kadar dua sujud senilai dengan pahala ibadah selama 1.400.000 tahun. Maka, dua takaran gandum (ukuran zakat fitrah yang harus dikeluarkan, penj.) pun senilai dengan pahala memberi makanan kepada 1.400.000 orang yang kelaparan. Bila kekurangan yang disebabkan oleh lupa saja nilainya sebegitu besar, maka tidak ada satu orang pun yang dapat menilai ibadah puasa dan zakat selain Allah semata. Betapa banyaknya kerugian yang ditanggung oleh orang yang meninggalkan shalat dan puasa.
63
Kelima belas: Hal-hal terlarang yang dilakukan karena lupa tidak dipandang merusak puasa. Pelakunya pun tidak dianggap sebagai pemaksiat. Pada dasarnya, puasa menghalangi seseorang melakukan kesenangan terlarang yang biasa dilakukannya. Sedangkan berdasarkan tabiatnya, ia terdorong untuk melakukan hal yang terlarang itu. Bila motif tabiat sulit dilupakan, maka motif syari`at bisa saja lupa. Berbeda dengan motif tabiat yang mampu dimotifasi untuk melakukan kejahatan, motif syari`at itu mulya, bersifat menutupi, mengasihi, dan mengampuni. Dengan demikian, motif syari`at itu dapat mengendalikan motif tabiat. Karena motif tabiat dapat merusak puasa, maka jarang sekali orang yang dapat mencapai hakikat puasa yang sebenarnya. Untuk itu, Rasulullah bersabda kepada salah seorang sahabatnya yang bertanya tentang masalah ini, “Puasamu sempurna sebab Allah telah memberimu makan dan minum’. Yakni, uzur itu berasal dari Allah. Seolah-olah Allah berfirman, “Wahai hamba-Ku! Dengan puasamu engkau adalah tamuku (di dunia), seperti halnya engkau pun tamu-Ku di surga dengan imanmu. Bila engkau masuk surga, Aku akan menjamumu. Berbahagialah orang berpuasa yang akan mendapat jamuan dari Tuhan Yang Maha Pengampun.” Rahasia puasa yang ini sekaligus merupakan jawaban Allah terhadap doa dalam firman-Nya: “Wahai Tuhanku! Janganlah Engkau menuntut kalau kami lupa atau keliru.” Keenam belas: Ukuran yang dipakai sebagai batasan berpuasa adalah siang, bukan bilangan jam. Sebab, untuk mengetahui jam diperlukan terlebih dahulu pengetahuan tentang terbitnya matahari dan perbintangan, sedangkan kita dilarang menggunakan ilmu itu. Allah memberikan cara yang lebih mudah daripada itu, yaitu mengetahui terbit dan terbenamnya matahari. Makan, minum, dan bersetubuh diharamkan setelah munculnya tandatanda siang, yaitu terbitnya fajar; dan diperbolehkan kembali setelah munculnya tanda-tanda malam, yaitu munculnya awan merah. Kebolehan berbuka selepas terbenamnya matahari merupakan kemurahan Allah semata. Seandainya puasa berakhir dengan sirnanya awan merah, padahal waktu itu merupakan saatsaat tidur, maka karena kesibukan berbuka, tidur terlupakan bahkan terkadang shalat pun dapat saja ikut terlupakan. Sebaliknya, bila seseorang sibuk tidur, maka makan terlupakan
64
sehingga akan kepayahan berpuasa pada keesokan harinya. Motif berbuka akan selalu muncul tatkala seseorang berpuasa sepanjang hari dengan perjuangan melawan lapar dan haus. Itu sebabnya, Allah tidak memperpanjang waktu berpuasa agar ia tidak berkhianat dengan cara berbuka sebelum waktunya.
65
V. HAJI
Penamaan ibadah ini dengan haji merupakan salah satu dari rahasia-rahasia haji. Berdasarkan tinjauan bahasa, haji berarti maksud. Maksud dan niat merupakan sarana yang dapat menyampaikan seseorang kepada apa yang dimaksudkannya. Niat adalah perbuatan yang paling mulia sebab dilakukan oleh anggota badan yang paling mulia pula, yaitu hati. Hati merupakan gudang kimia niat sebab dengannya segala perbuatan dapat dikategorikan sebagai ibadah. Karena merupakan ibadah yang paling berat dilakukan dan ketaatan yang paling kuat, maka haji dikategorikan sebagai ibadah yang paling mulia. Hanya nama hajilah yang paling layak menggambarkan keagungan ibadah ini. Haji adalah gambaran alam mahsyar (hari perhitungan). Sebagaimana di alam mahsar, orang yang sedang menunaikan ibadah haji dikumpulkan di `Arafah dalam keadaan tidak beralas kaki, “telanjang”, dan bingung. Mereka dilarang mengenakan perhiasan dan bersenangsenang dengan keluarga dan tempat tinggal. Seperti halnya seseorang yang merasa kenyamanan beristirahat di pelataran rumahnya, maka seseorang yang sedang menunaikan ibadah haji merasa nyaman ketika ihram di padang Arafah. Kewajiban pelaksanaan ibadah haji ditetapkan oleh ayat alQur'an dan hadits Nabi. Ayat al-Qur'an yang dimaksud adalah firman Allah SWT.:
.ﺒِﻴﻼ ً ﺘَﻄَﺎعﻟَﻴ ِْﻪ َﺳ ِْﺖ َ ﻣِﻦ ْاﺳ َإ ِ ﱠﺎس ِﺣﱡﺞاَﻟْﺒـﻴ ِ َ وﻟ ِ ِﻠﱠﻪ َﻋﻠَﻰ اﻟﻨ "Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (QS. Ali `Imran [3]:97). Sedangkan sabda Rasulullah SAW. yang berkaitan dengannya adalah:Islam ditegakkan di atas lima perkara yaitu mengesakan Allah, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa pada bulan Ramadan. dan mengerjakan Haji.” (Muttafaq `alaih) (Tambahan dari penerjemah).
66
Ibadah haji dan umrah wajib dikerjakan sekali seumur hidup bagi orang muslim yang merdeka, dewasa, kuasa (mampu mengerjakannya), tersedia persyaratan yang dapat menyampaikannya ke Makkah dan mengembalikan ke rumahnya, melebihi pembayaran utangnya, tempat tinggalnya, pakaiannya yang layak dan biaya untuk nafkah orang-orang yang menjadi bebannya, selama ia pergi dan pulang.
A. Aturan-Aturan Haji Rukun ibadah haji itu ada lima, yaitu 1. Ihram, yaitu meng-enakan pakaian ihram dan berniat melaksanakan ibadah haji, 2. Wukuf di Arafah, 3. Thawaf di Baitullah, 4. Sa'i antara Shafa dan Marwah, dan 5. Mencukur atau menggunting rambut. Kelima rukun tersebut, selain wukuf di Arafah, termasuk juga dalam rukum umrah. Jadi, ibadah haji dan umrah itu sama saja, hanya saja ibadah haji ditambah dengan wukuf di Arafah pada tanggal 9 bulan Haji. Tiap-tiap rukun di atas memiliki rukun dan syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi. Orang yang sedang melaksanakan melakukan hal-hal berikut ini:
ihram
1. 2. 3. 4.
diharamkan
Memakai wangi-wangian, Berminyak rambut atau janggut, Memotong kuku atau rambut, Berjima dan permulaannya, seperti mencium sebagainya, 5. Akad nikah, 6. Memburu buruan tanah haram yang suka dimakan. Demikian pula diharamkan bagi laki-laki: 1. Menutup kepala, 2. Mengenakan pakaian yang dijahit
67
dan
Sedangkan wanita diharamkan menutup mukanya dan mengenakan sarung tangan. Siapa melanggar aturan-aturan itu, ia berdosa dan wajib kifarat (dengan membayar dam). Bila pelanggarannya berbentuk jima, maka ibadah hajinya batal. Ia wajib menqadha saat itu juga dan menyempurnakan ibadah yang batal. Bila memungkinkan, ia dapat mengqadanya tahun itu juga, jika tidak, ia dapat mengerjakannya pada tahun berikutnya. Kewajiban melaksanakan ihram bermula dari miqat, baik miqat mengenai waktunya (zamani) maupun tempatnya (makani). Dalam pelaksanaan ibadah haji diwajibkan pula 1. Bermalam di Muzdalifah dan Mina, 2. Melempar jumrah `aqabah pada hari Raya Adha, 3. Melempar jumrah yang tiga pada tiga hari tasyrik, yaitu tanggal 11, 12 dan 13 bulan Haji, 4. Thawaf wada' (bila akan pulang). Haram memburu buruan di tanah haram Makkah dan Madinah, juga mencabut tanamannya bagi orang ihram atau tidak. Sangsi melanggar ketentuan itu, jika terjadi di Makkah, ditambah dengan kewajiban membayar fidyah. B. Rahasia-Rahasia Haji Penamaan ibadah ini dengan haji merupakan salah satu dari rahasia-rahasia haji. Berdasarkan tinjauan bahasa, haji berarti maksud. Maksud dan niat merupakan sarana yang dapat menyampaikan seseorang kepada apa yang dimaksudkannya. Niat adalah perbuatan yang paling mulia sebab dilakukan oleh anggota badan yang paling mulia pula, yaitu hati. Hati merupakan gudang kimia niat sebab de-ngannya segala perbuatan dapat dikategorikan sebagai ibadah. Karena merupakan ibadah yang paling berat dilakukan dan ketaatan yang paling kuat, maka haji dikategorikan sebagai ibadah yang paling mulia. Hanya nama hajilah yang paling layak menggambarkan keagungan ibadah ini. Haji adalah gambaran alam mahsyar (hari perhitungan). Sebagaimana di alam mahsar, orang yang sedang menunaikan ibadah haji dikumpulkan di `Arafah dalam keadaan tidak beralas kaki, “telanjang”, dan bingung. Mereka dilarang mengenakan
68
perhiasan dan bersenang-senang dengan keluarga dan tempat tinggal. Sepertihalnya seseorang yang merasa kenyamaan beristirahat di pelataran rmahnya, maka seseorang yang sedang menunaikan ibadah haji merasa nyaman ketika ihram di padang Arafah. Di antara rahasia-rahasia haji yang lain adalah: Pertama: Membiasakan diri berpisah dengan keluarga dan anak untuk menghadapi perpisahan sesungguhnya yang pasti terjadi. Sebab, Perpisahan sungguhan yang mendadak dengan keluarga meru-pakan pukulan bagi penderitanya. Allah berfirman,
.َﺣُﺴﻦ َﻋَﻤًﻼ َ َْﻛُﻢ أَﻳﱡ ْﻜُﻢ أ ْتََ ﻴواَ ﻟﺎةَِ ﻴ َْ ﺒـﻠُﻮ اﻟﱠﺬي َﺧ َﻠَﻖ اﻟَْْﻤﻮَْﳊ ِ “Maha Suci Allah yang telah menjadikan mati dan hidup sebagai ujian bagi kamu siapa yang lebih baik perbuatannya” (QS. Al-Mulk [67]: 2). Amalan yang paling baik di sisi-Nya adalah sabar ketika menghadapi musibah. Kedua: Seseorang yang hendak melakukan ibadah pasti membekali dirinya selama perjalanan sampai kembali lagi ke tempat tinggalnya. Maka, seyogyanya ia pun akan membekali dirinya untuk menghadapi perjalanan ke akhirat yang tidak akan pernah kembali lagi ke dunia. Ketika melakukan perjalanan haji, seseorang dapat saja mendapatkan sesuatu yang dibutuhkannya di negara orang lain, sedangkan di akhirat ia tidak dapat mendapatkan sesuatu yang dibutuhkannya kecuali bekal yang dibawanya dari dunia. Allah berfirman,
.َ َوﺗـَﺰُوﱠدوا ِﻓَﺈ ﱠن ََْﺧﻴـﺮ اﻟﺰِﱠاد اﻟﺘـَﱠﻘْﻮى “Persiapkanlah bekal! Dan sebaik-baiknya bekal adalah takwa.” (QS. Al-Baqarah [2]: 197). Untuk melakukan perjalanan haji, seseorang akan mempersiapkan bekal sebaik dan sebanyak mungkin. Maka, seharusnya ia pun mempersiapkan bekal sebaik dan sebanyak mungkin untuk menempuh perjalanan akhirat, yaitu dengan memperbanyak ketaatan sambil dihiasi dengan keikhlasan.
69
Ketiga: Menghilangkan sifat bakhil. Ketika melakukan perjalanan haji, tidak ada orang yang bakhil terhadap dirinya sendiri—walaupun ia seorang pembakhil—karena khawatir akan keselamatan dirinya. Ia akan membiasakan diri mendermakan hartanya untuk kepentingannya sendiri. Kebiasaan itu pada akhirnya akan merembet untuk kepentingan orang lain. Ia akan mendapat pujian karena kederma-wanannya itu. Sebenarnya ini merupakan sebuah konsekuensi yang biasa terjadi. Bagaimana pun bakhilnya seseorang, ia tidak akan bakhil terhadap dirinya ketika melakukan perjalanan. Seorang laki-laki bakhil yang dikenal dengan seorang Rafidhah diceritakan melakukan perjalanan haji. Selepas para jemaah haji melakukan manasik-nya, amir yang ditugasi memimpin jamaah itu mengurungkan niatnya untuk berziarah ke kuburan Nabi karena udzur. Laki-laki tersebut di atas kemudian mengeluarkan uang sebesar 500.000 dan diberikan kepada amir untuk digunakan biaya ziarah. Keempat: Membiasakan diri untuk bertawakkal. Untuk melakukan perjalanan haji, seseorang tidak mungkin membawa segala sesuatu yang dibutuhkan-nya. Ia akan bertawakkal kepada Allah. Sifat tawakkalnya itu akan terbiasa dilakukannya ketika tidak mampu memenuhi segala kebutuhan selepas pulang haji nanti. Diceritakan bahwa seorang laki-laki memasuki sebuah perkampungan tanpa perbekalan dan kendaraan. Seseorang lalu menegornya, “Wahai anak laki-laki! (kenapa engkau tidak membawa perbakalan apa-apa) padahal perjalananmu jauh?” Laki-laki itu menjawab, “Orang yang akan saya tamui adalah kaya dan terpuji. Siapa saja hendak bertamu ke rumah sultan, ia tidak perlu membawa sesuatu yang diperlukan oleh dirinya sebab hal itu tidak akan direstui sultan.” Diceritakan pula bahwa seorang wanita melaku-kan ihram dengan berjalan kaki. Seseorang yang merasa iba melihatnya lalu memberinya uang 20 dirham untuk ongkos perjalanan. “Apa ini?” tanya wanita tersebut. “Ini adalah pertolongan untukmu,” jawab orang itu. Wanita tersebut lalu memberikan sekepal dinar kepada orang itu dan berkata, “Engkau merogok uang itu dari sakumu, sedangkan aku mengambilnya dari alam ghaib.”
70
Dengan sifat tawakkalnya, seseorang akan yakin dapat selamat dari kesengsaraan. Diceritakan bahwa sesorang yang sedang melakukan haji tersesat di tengah-tengah hutan. Ia berlari karena dikejar seekor ular. Ketika sampai di jalan yang benar, ia mende-ngar suara berkata, “Inilah cara Kami menyelamat-kamu dari kesesatan”. Keenam: Mensukuri nikmat air. Sebab, dalam perjalan haji air merupakan barang yang paling mahal dan paling bermanfaat. Sementara di negara-nya, air sangat mudah didapatkan. Dengan air pula, seseorang yang sedang melakukan haji mendapatkan berkah. Satu hikayat menceritakan bahwa di tengah-tengah perjalanan haji, Abu Hanifah membutuhkan air. Ia lalu berniat membeli sekendaraan air yang dijual oleh seorang Arab. Si penjual air itu menolak menjualnya kecuali dengan lima dinar. Tawaran itu disanggupinya. Ia lalu mengajak si penjual itu makan sagon dan madu bersama-sama. Karena makan terlalu banyak, si penjual itu memerlukan air untuk minum. Abu Hanifah menolak memberinya kecuali menjualnya dengan 5 dinar. Si penjual itu akhirnya membeli segelas air dengan lima dinar. Uang Abu Hanifah kembali lagi, sementara sisa airnya masih dimilikinya. Inilah salah satu kecerdasan Abu Hanifah. Ketujuh: Dengan perjalanan hajinya, ketaatan seseorang akan semakin bertambah. Setiap kali tamat membaca Al-Qur`an dalam ibadah haji, ia akan bersedekah. Maka, semakin berlipatlah pahalanya. Pahalanya itu akan semakin berlipat tatkala ia menahan diri untuk menyusahkan orang lain. Abu Hanifah pernah berkata, “Bagiku, perjalanan haji dengan berkendaraan lebih utama daripada dengan jalan kaki sebab akan mengganggu kesehatan badan yang karenanya akan menyusahkan orang lain, sedangkan berkendaraan tidak akan mengganggu kesehatan badan bahkan dapat menolong orang lain”. Kedelapan: Dengan hanya melihat Baitullah, hilanglah segala kelelahan dan kecapaian yang diderita orang yang sedang menunaikan ibadah haji. Hal serupa akan terjadi pada hari kiamat. Walaupun pada saat itu hari-hari dirasakan begitu panjang; berbagai peristiwa yang menakutkan begitu jelas
71
terlihat, semuanya itu sirna ketika melihat Tuhan. Yang tersisa hanyalah perasaan tenang dan tentram. Bila dengan melihat baitullah saja cukup untuk menghilangkan penat dan letih, apalagi bila yang dilihatnya adalah Pencipta Baitullah itu. Orang yang menyaksikan baitullah meyakini bahwa Pemiliknya tidak berada di dalamnya, seba-gaimana ia pun meyakini bahwa Pemilik arasy itu tidak berada di atasnya. Sebab, bila Ia dimungkinkan berada di atas arasy, maka dimungkinkan pula berada di dalam Baitullah. Seandainya Ia berada di dalamnya, maka akan tergambar bahwa Ia mempu-nyai ukuran yang sama, atau lebih kecil, dengan Baitullah. Pemilik arasy tidak butuh terhadap arsynya sendiri. Ia tidak butuh kepada tempat. Tidak ada yang diperoleh arasy dari Pemiliknya kecuali kemulia-an melalui firman-Nya,
.اﺳﺘـَﻮى َ ْ َْﻦ َﻋﻠَﻰ اﻟَْْﻌﺮِش ُاﻟﺮﱠﲪ “Tuhan Yang Maha Pemurah “bersemayam” di atas arasy”. (QS. Thaha [20]: 5). Begitu pula, tidak ada yang diperoleh Baitullah dari Pemiliknya kecuali kemuliaan melalui firman-Nya,
.ﻠﻄﱠﺎﺋِﻔَﲔ ِ ِ أ َْنﺑـ َﻃَﻴَﻬﱢﺮاِْﱵ َ ﻟ “Bersihkanlah Rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf.” (QS. Al-Baqarah [2]: 125). Karena menyadari Pemi-lik Baitullah itu tidak berada di dalamnya, maka orang yang sedang menunaikan ibadah haji itu melakukan thawaf. Thawaf mengisyaratkan bahwa Baitullah bukan tujuan kami yang sebenarnya, tetapi Tuhanlah yang kami maksud. Tidak ada ketenangan berada di sana sebelum bertemu dengan Pemiliknya. Demikian pula, di akherat nanti tidak ada ketenangan hanya dengan melihat “desa”-Nya saja sebelum bertemu dengan Allah Yang Maha Mulya. Jika di dunia Ia memiliki rumah (bait), maka di akherat memliki desa. Namun, pemilik rumah atau desa tidak
72
mesti harus berada di dalamnya. Bukankah maksud hati itu tidak berada di dalam hati? Bukankah orang yang dicintai itu tidak berada di dalam cinta? Bila Dzat yang sedang dicari itu tidak berada di alam, lalu untuk apa mencarinya di sana? Seolah-olah Allah berfirman, “Wahai Hamba-Ku! Bila kalian telah sampai di baitullah, usaplah Hajar Aswad. Lalu katakanlah ‘Wahai Tuhanku! Aku berharap dapat melihat-Mu’ sambil memberi isyarat kepada Hajar Aswad. Untuk melacak sesuatu yang tidak dapat dilihat, seseorang harus melihat bekas-bekasnya. Ketika hamba meminta untuk melihat-Ku, Aku alihkan perhatiannya kepada batu.” Allah berfirman tentang permintaan Musa untuk melihat-Nya,
.ف َﺗـَﺮِاﱐ َ ﻓَﺴﻮ ْ َ ُاﺳﺘـﻘﱠَﺮَ ﻣﻜَﺎﻧَﻪ َْ َﻞ ﻓَﺈِِن ِ اﳉَ ﺒ إِﱃ ْ َ اﻧْﻈُﺮ ْ َ وﻟ َِﻜِﻦ “…Tetapi lihatlah kepada gunung. Bila ia tetap berada di tempatnya, engkau akan bisa melihat-Nya” (QS. Al-A`raf [7]: 143). Ternyata gunung itu hancur. Namun, Musa tidak putus asa untuk dapat melihat-Nya. Ketika Allah berisyarat kepada Hajar Aswad, ternyata batu itu tetap berada pada tempatnya. Oleh karena, kita lebih tidak putus asa lagi untuk dapat melihat-Nya. Kesembilan: Pakaian yang dikenakan oleh orang yang sedang menunaikan ibadah haji, yakni kain yang tidak dijahit, merupakaian pakaian yang juga dikenakan oleh mayat. Ia dilarang mencukur rambut dan godeg; memotong kuku; memenuhi syahwat; dan memburu binatang darat. Itu semua mengisyaratkan bahwa ia mati di jalan Allah. Oleh karena itu, ia akan mendapatkan pahala yang telah dijanjikan Allah melalui firmanNya,
إِﱃ َ ـﺎﺟﺮا ًِ ُج َِ ْﻣﻴﻦْ ﺘِ ِـﻪ َُﻣﻬ َْﺮﺑـ ْاﻏَﻤﺎﺜِﲑ ً اَ َوﺳﻌ َ ﺔً ََ ْوﻣﻦ ﳜ ْض َُﻣﺮ ًَﻛ ِ اﻟﻠﱠﻪ َﳚ ِْﺪ ِﰲ اﻷَْر ِ ﺒِﻴﻞ ِ ﺎﺟﺮ ِﰲ َﺳ ِْ ََوْﻣﻦﻳـ َُﻬ .اﻟﻠﱠﻪ ِ ﻋَ ﻠَﻰ ُ َﺳﻮﻟ ِِﻪ ﰒُﱠﻳ ُْﺪِرﻛْﻪ ُ اﻟَْْﻤﻮُت ﻓـَﻘَْﺪَ و َﻗَﻊ أَُْﺟﺮﻩ اﻟﻠﱠﻪ َ ُور ِ “Barang siapa keluar dari rumahnya dengan maksud hijrah ke jalan Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpa kepadanya (sebelum sampai ke tempat yang dimaksud), maka
73
sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah.” (QS.Al-Nisa’ [4]: 100). Bila ia kembali ke kampungnya selepas menunai-kan ibadah haji, seolah-olah doanya pada hari kiamat telah dikabulkan Allah sebagaimana diutara-kan dalam firman-Nya,
.ﻨِﲔ َ ُﻮن َِﻣﻦ اﻟُ ْْﻤِﺆﻣ َ ﺎترﺑـﱢﻨَﺎَ وﻧَﻜ َِ َ ﱢبﺑِﺂﻳ َ ﻳ َ ﺎﻟَﻴ َْﺘـﻨَﺎ ﻧَـُﺮﱡد َ َوﻻ ﻧُﻜَﺬ “Kiranya kami dikembalikan (ke dunia) dan tidak mendustakan ayat-ayat Tuhan serta menjadi orang-orang yang beriman.” (QS. Al-An`am [6]: 27). Melalui ihram, seseorang dapat mengetahui kualitas keimanan jiwanya dalam memerangi bisikan jiwanya untuk melakukan kejelekan. Ketika ihram, keimanan jiwa mengikutimu untuk menjauhi segala kesenangan dan kenikmatan. Dalam hal ibadah haji ini Nabi bersabda, “…Bila diajak berpuasa, zakat, dan menunaikan haji, ia mentaatimu. Oleh karena itu, ia akan mendapatkan surga yang di dalamnya terdapat kesenangan dan kenikmatan yang diingininya.” Seolah-olah Allah berfir-man, “Wahai jiwa yang mukmin! Engkau telah menjauhi hawa nafsu dan maksiat. Engkau sabar dalam menghadapi kelelahan dan kepayahan. Sekarang, nikmatilah kesenangan dan kelezatan yang merupakan dambaan hatimu. Demi Allah, tidak ada puncak dambaan seseorang selain perjumpaan dengan kekasihnya. Bila ia tidak menemukan-Nya baik di rumah atau desanya, ia merugi di dunia dan di akhirat. Wahai orang yang sedang ihram! Telah diharamkan bagi perburuan di dunia yang hanya menghasilkan keringat agar dengan ihram engkau berburu kesenangan akhirat. Bagimu kemulyaan dalam kehinaan, kemerdekaan dalam perbudakan, serta keutamaankeutamaan lainnya. Ketika engkau ihram, merasa amanlah setiap binatang yang takut kepadamu. Tentunya Aku akan memberi keamanan pula bagi hamba-Ku dari setiap kejadian yang ditakutinya. Binatang buruan takut bertemu denganmu, sedangkan engkau takut berpisah dengan-Ku. Maka, dengan ihram, binatang tidak perlu lagi takut bertemu denganmu dan engkaupun tidak perlu lagi takut berpisah dengan-Ku. Wahai hamba-Ku Aku telah
74
ciptakan binatang buruan dan segala sesuatu untukmu sesuai dengan firman-Ku
.ْض َﲨِ ًﻴﻌﺎ ِ اﻟﱠﺬي َﺧ َﻠَﻖ ﻟَ ْﻜُﻢ َ ﻣﺎ ِﰲ ْاﻷَر ِ ‘Dialah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu….’ (QS. Al-Baqarah [2]: 29). Binatang -mu, karenanya aku tidak membebaninya apa-apa yang tidak mampu dilakukannya. Aku telah menciptakanmu untuk-Ku sesuai dengan firman-Ku
.إِﻻَِْﻴـﻌﺒ ُُﺪ ِون ﻧْﺲ ﱠﻟ َ اﻹ ِْ اﳉ ِﱠَﻦ و ْ ْﺖ ُ ََوﻣﺎ َﺧﻠَﻘ ‘Tidaklah semata-mata Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku’ (QS. Al-Dzariyat [51]: 56). Ketika engkau tidak kuat berpisah dengan-Ku, tentunya lebih utama lagi Aku tidak membebanimu dengan sesuatu yang tidak mampu engkau lakukan sesuai dengan firman-Ku ‘Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya’ (QS. AlBaqarah [2]: 29)”. Kesepuluh: Kewajiban damm dikenakan bagi orang yang melakukan pelanggaran dalam pelaksanaan ihram. Damm dipandang sebagai penambal kekurangan ibadah haji. Ini mengisyaratkan bahwa mengalirkan darah sembelihan, mengerahkan kesungguhan, meninggalkan kampung halaman, berpisah dengan keluarga dan anak, dan menjauhi syahwat merupakan manifestasi kecintaan kepada Allah. Barang siapa mampu mengeluarkan binatang sembelihan. Lakukanlah!. Bila tidak, ia cukup memberi makanan atau berpuasa. Kesebelas: Wukuf tidak dijadikan sebagai salah satu rukun haji, hanya saja dikatakan bahwa haji itu adalah Arafah. Barang siapa wukuf di Arafah, sempurnalah hajinya. Ini adalah sebagian rahmat Allah yang menghendaki kemudahan bagi hamba-Nya. Walaupun pada intinya haji itu bertamu ke Baitullah, seperti difirmankan oleh-Nya,
75
.ﺒِﻴﻼ ً ﺘَﻄَﺎعﻟَﻴ ِْﻪ َﺳ ِْﺖ َ ﻣِﻦ ْاﺳ َإ ِ ﱠﺎس ِﺣﱡﺞاَﻟْﺒـﻴ ِ َ وﻟ ِ ِﻠﱠﻪ َﻋﻠَﻰ اﻟﻨ “Diwajibkan atas manusia berhaji ke baitullah demi Allah” (QS. Ali-`Imran [3]: 97), tetapi pelaksanaan rukun-rukun haji tidak dilaksanakan di sana. Bila hal itu merupakan persyaratan, maka dibutuhkan tempat yang luas dan waktu yang lama, sedangkan hal itu tidak mungkin terjadi di Baitullah. Orang-orang yang telah masuk baitullah jarang yang mau keluar lagi. Orang-orang yan berkunjung ke rumah Dzat yang dijadikan ketergantungan hidupnya, jarang sekali yang ingin cepat-cepat beranjak dari pintu rumah-Nya. Itu sebabnya, pelaksanaan rukun-rukun haji dilaksanakan di tempattempat yang tidak terjadi kerumunan manusia. Di Baitullah, orang yang sedang menunaikan haji diam beberapa jam dengan penuh ketaatan agar tidak terjadi desakan, benturan, dan hardikan orang lain sehingga dapat menyampai hajat-hajatnya kepa-da Allah dengan tenang dan tentram. Bila Allah merasa kasihan terhadap hamba-Nya dari desakan sesama muslim, tentunya Ia lebih utama lagi untuk tidak menyiksanya di tengah-tengah desakan orang-orang kafir di akherat kelak. Kedua belas: Kebolehan untuk mengumpulkan dua shalat dalam satu waktu: Shalat Ashar dilakukan secara berbarengan dengan shalat dzuhur; shalat Maghrib dilakukan secara berbarengan dengan sahal Isya’. Dengan cara itu, orang yang sedang menunai-kan ibadah haji mempunyai waktu luas mengerjakan wukuf untuk mendapatkan rahmat dari Allah Yang Maha Pemurah. Bila di dunia saja ia diberi keluasan waktu, tentutanya di alam kuburnya ia akan memper-oleh keluasan agar memperoleh hakikat keimanan-nya di tempat yang sunyi, tempat tinggal serangga, ular, dan ula. Lebih utama lagi bila ia dibebaskan dari api neraka. Ketiga belas: Lemparan batu merupakan isyarat penyampingan rasio, sebagaimana halnya ihram yang merupakan isyarat mengesampingkan syahwat. Sebab, secara rasio, sulit diterima oleh akal untuk dapat melempar beberapa butir batu tertentu ke tempat tertentu pula. Juga merupakan isyarat bahwa apa yang dilakukan hamba, mulai dari menginjak pekarangan rumah-Nya, berdiri di pintu-Nya, mengharapkan pahala-Nya, takut
76
terhadap siksaan-Nya, taat terhadap perintah-Nya, dan meninggalkan segala larangan-Nya tidak merujuk kepada pertimbangan akal. Seolah-olah Allah berfirman, “Aku lempari musuh-musuh-Ku dengan batu. Aku pun mengangkat derajat umat ini dengan sebab lemparan batu itu yang terus dikerjakan oleh orang-orang terdekat beserta keturunan-Nya. Batu-batu itu ternyata tidak jatuh ke tanah. Ini mengisyaratkan bahwa Aku menerima setiap lemparan hamba-Ku. Bagaimana mungkin Aku menolak kebaikan hamba-Ku itu serta tidak melindungi makhluk-Ku dari batu yang engkau lemparkan. Bagaimana mungkin pula Aku tidak menutupi maksiat yang engkau lakukan.” Keempat belas: Orang yang sedang menunaikan ibadah haji diperkenankan meninggalkan shalat I`d di Mina karena terlalu sibuk dengan amalan-amalan haji sehingga tidak mem-punyai kesempatan untuk menunaikannya. Keboleh-an mereka untuk menunaikan shalat Jum`at, walaupun di dalamnya terdapat perbedaan pendapat, dikarenakan shalat Jum`at tidak mesti terjadi di Mina saja, sedangkan hari I`d pasti terjadi ketika para jamaah sedang berada di Mina. Karena mereka tidak mempunyai kesempatan untuk menunaikannya, Allah memberi keringanan kepada mereka untuk tidak mengerjakan hak-Nya, sebab seluruh muslim berhak mendapat keringanan dari-Nya. Anda dapat membayangkan sendiri seandainya para jema`ah haji yang sedang berkumpul di Mina itu menunaikan shalat dzuhur dan shalat Jum`at. Ketika Allah memberi keringanan hamba-Nya untuk tidak mengerjakan hak-Nya, padahal merupakan ketaatan yang dicintai-Nya, lebih utama lagi bila Ia memberi keringanan kepada hamba berupa memba-talkan hak-Nya untuk menyiksanya atas tindakan pidana yang dibenci-Nya. Kelima belas: Tahallul ditandai dengan mencukur rambut. Dalam ihram, kedudukan tahallul sama dengan kedudukan salam dalam shalat. Dilihat dari sisi lahirnya, bercukur berarti menghilangkan kotoran yang secara naluri tidak disenangi. Seolaholah Allah berfirman, “Wahai hamba-Ku! Secara lahir engkau membersihkan kotoran yang tidak disenangi olehmu, tetapi
77
intinya Aku bersihkan batinmu dari maksiat yang Aku benci dengan pengampunan-Ku.” Keenam belas: Ucapan-ucapan talbiyyah dapat ditafsirkan dengan berdiam diri (mukts) dan bermukim (muqam). Dengan ungkapan labbaik, seo-lah-olah seorang hamba berkata, “Ya Allah! Aku memenuhi panggilan-Mu. Aku berdiri di pintu-Mu dan bersumpah di hadapan-Mu. Aku berpegang teguh kepada kitab-Mu. Maka, selamatkanlah aku dari siksaan-Mu.” Dengan ungkapan labbaika pula, seolah-olah ia berkata, “Aku siapkan jiwaku untuk beribadah kepada-Mu. Badanku aku persiapkan un-tuk memenuhi segala sabda-Mu. Engkaulah Pemilik segala sesuatu. Engkaulah Penguasa tunggal. Tidak ada yang menyertai-Mu dalam pemberian nikmat. Semuanya berasal dari-Mu.” Seolah-olah Allah pun berfirman, “Wahai ham-ba-Ku! Ketika engkau ucapkan labbaika sewaktu Aku mengundangmu, Aku pun akan memenuhi perminta-anmu.” Dengan talbiyyah, seorang hamba memperlihat-kan kegesitan jiwanya ketika berhadapan dengan Maulanya. Ia tidak peduli walaupun harus berpisah dengan keluarga dan anaknya. Sebab, yang menjadi tujuan hidupnya adalah Yang Disembahnya bukan orang tua dan anak-anaknya. Ketika si hamba menghadapkan diri di hadapan-Nya, ia akan terus mengumandangkan talbiyyah di mana pun berada, baik ketika menaiki gunung atau menuruni lembah karena ucapan itu merupakan manifestasi kegembiraannya atas kedatanganya di Baitullah. Kendatipun Nabi mengatakan bahwa doa yang paling baik adalah yang diucapkan dengan pelan-pelan dan bahwa rizki yang paling baik adalah yang mencukupi, tetapi pengumandangan talbiyyah dengan keras dianalogikan dengan kesunnahan memperlihatkan taburan pasir pada tiga putaran pertama dalam thawaf. Nabi pun pernah bersabda, “Allah memberi rahmat seseorang yang menggerak-kan kekuatan dirinya.” Dalam hadits lain, Nabi pun bersabda, ”Haji yang paling utama adalah yang ramai dan bergemuruh”. Berdasarkan satu riwayat, asal-usul talbiyyah adalah pemenuhan umat Nabi Muhammad terhadap ajakan Ibrahim ketika membangun Baitullah. Setelah ia dan Isma`il selesai mengerja-
78
kannya, Allah ber-firman, “Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai onta, yang datang dari segala penjuru yang jauh” (Al-Hajji [22]: 27). Ibrahim kemudian mendaki gunung Abi Qubais dan berseru dengan suara yang keras, “Wahai umat Ahmad! Berhajilah ke rumah Tuhanmu.” Allah lalu mengeluarkan umat Ahmad dari tulang rusuk bapaknya yang kemudian memenuhi ajakan Ibrahim dengan ucapan labbaika Allahumma labbaik. Setiap orang yang hendak memenuhi ajakannya, berarti harus berhaji ke Baitullah. Ketujuh belas: Jemaah haji yang berasal dari luar Mekkah disyari`atkan melakukan haji tamattu`, yaitu melaksanakan umrah dan haji dalam satu perjalanan (bulan-bulan haji), sedangkan yang berasal dari Mekkah sendiri tidak disyari`atkan untuk melakuka-nya agar tidak terjadi desakan. Sebab, jemaah yang berasal dari Mekkah dapat mengerjakan umrah kapan saja ia kehendaki. Kedelapan belas: Jamaah haji yang hendak pulang ke negaranya diharuskan melakukan thawaf wada` (perpisahan) sebagai lambang pamitan. Seorang tamu semestinya berpamitan kepada orang yang ditamuinya. Apatah lagi yang ditamuinya adalah Allah yang Maha Mulya dan Maha Pemberi. Orang yang berhaji telah berkunjung ke rumah Allah, maka tidak mungkin ia meninggalkan rumah-Nya sebelum minta izin kepada Pemiliknya. Bila orang yang bertamu ke rumah sultan akan memperoleh hadiah, maka orang yang bertamu ke rumah Allah akan memperoleh ampunan. Diceritakan bahwa ketika melakukan thawaf wada`, Abu Yazid bermunajat kepada Allah, “Wahai Tuhanku! Setelah berada di tengah-tengah temanku, saya akan bercerita kepada mereka bahwa saya telah meminta sesuatu kepada-Mu. Lalu, apa yang akan Kau perbuat untukku?” “Wahai Abu Yazid! Katakanlah apa yang kau inginkan! Aku tidak ingin mempermalukan engkau di hadapan mereka.” Bila Allah tidak mempermalukan Abu Yazid di depan temantemannya, lalu bagaimana mungkin Ia menghinakan Muhammad di depan saudara-saudara-nya dari kalangan muslim ketika dimintai syafa`at. Allah berfirman,
79
ُﻪ . اﻟﱠﺬَءﻳﻦَ َاﻣﻨُ ﻮا ََﻣﻌ ِ اﻟﻠﱠﻪُﻨِﱠﱯﱠ َ و ﻳـ ََْﻮم َﻻ ﳜُْﺰِي اﻟ “Pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orangorang yang beiman kepadanya…” (QS. Al-Tahrim [66]: 8). Allah pun tidak menghinakan orang-orang mukmin ketika mendoakan sesama muslim lainnya selepas shalat, “Ya Allah! Ampunilah dosaku, dosa kedua orang tuaku, dan dosa seluruh orang mukmin.” Dalam satu hadits dikatakan bahwa seo-rang lakilaki bertengkar dengan saudaranya yang mukmin di padang mahsyar. Ia berkata, “Tuhanku, aku telah didzalimi olehnya.” Allah menjawab, “Aku telah mengampuni dosa orang itu karena doamu yang berbunyi Allahumma ighfir li al-mukminin wa almukminat (Wahai Tuhanku, ampunilah dosa-dosa orang-orang muk-min). Bila berkehendak, Aku akan mencabut doamu itu dan menuntut kedzaliman orang itu, atau Aku akan mengampuni dosamu sebagaimana halnya Aku telah mengampuni dosa rivalmu.” Orang itu akhirnya rela atas perbuatan rivalnya. Keduanya kemudian masuk surga.
80
VI MENGURUS JENAZAH
Seorang muslim yang sudah meninggal harus diurus jenazahnya secara terhormat. Ada beberapa hal yang perlu dilakukan bagi orang yang telah meninggal dunia, yaitu : 1. Hendaklah segera dipejamkan matanya, ditutup mulutnya, kemudian dilipatkan kedua tangannya di atas badanya dan kedua kakinya diluruskan. 2. Hendaknya ditutup seluruh tubuhnya dengan kain dan jangan sampai terbuka auratnya. 3. Memberitakan kepada zanak famili jenazah dan bagi orang yang mengetahuinya hendaknya segera berta'ziah di rumah duka. Kewajiban Terhadap Jenazah Kewajiban pengurusan jenazah bagi orang yang masih hidup adalah memandikan, menggafankan, menyolatkan dan menguburkan. Kewajiban-kewajiban ini termasuk fardhu kifayah, yaitu kewajiban yang dibebankan kepada umat Islam yang jika telah dilaksanakan oleh sebagian mereka dianggap mencukupi. Tetapi jika diantara umat Islam tidak ada yang melaksanakan maka umat Islam seluruh daerah itu berdosa semua. a. Memandikan Jenazah Syarat-syarat jenazah yang harus dimandikan : 1. Jenazah itu mulim atau muslimah 2. Badan atau anggota badannya masih ada walaupun hanya sebagain yang tinggal 3. Jenazah itu bukan mati syahid (mati dalam perang membela Islam)
81
Rasulullah SAW bersabda : Dari Jabir ra, sesungguhnya Nabi SAW telah memerintahkan sehubungan orang-orang yang gugur dalam perang uhud supaya mereka dikuburkan dengan darah mereka, tidak dimandikan dan tidak pula dishalatkan. (HR. Al-Bukhari). Cara Memandikan Jenazah 1. Jenazah ditempatkan di tempat yang terlindung dari panas matahari, hujan atau pandangan orang banyak. Jenazah diletakkan pada tempat yang lebih tinggi seperti dipan/balai. 2. Jenazah diberi pakaian basahan misalnya sarung supaya auratnya tertutup. Yang memandika hendaknya memakai sarung tangan. 3. Air untuk memandikan jenazah disunnahkan diberi daun bidara atau sesuatu yang dapat menghilangkan daki seperti sabun atau yang lain. Sebagian dari air ada yang dicampur dengan kapur barus untuk digunakan sebagai siraman terakhir. 4. Jenazah yang akan dimandikan dibersihkan terlebih dahulu dari najis yang melekat pada anggota badannya. 5. Kotoran yang mungkin ada di dalam perut jenazah dikeluarkan dengan cara menekan perutnya secara berhati-hati kemudian disucikan dengan air. Kotoran yang ada pada kuku jari-jari tangan dan kai termasuk kotoran yang ada di mulut atau gigi dibersihkan. 6. Menyiramkan air ke seluruh tubuh jenazah sampai merata dari kepala hingga ke ujung kaki dengan cara membaringkan jenazah ke kiri ketika membasuh anggota yang kanan dan membaringkan badannya ke kanan ketika membasuh anggota badannya yang kiri. Serangkaian kegiatan ini dihitung satu kali basuhan dalam memandikan jenazah. Sedangkan untuk memandikan jenazah disunnahkan 3 kali atau 5 kali. Basuhan terakhir dengan menggunakan air yang dicampur dengan kapur barus.
82
Dalam memandikan jenazah disunnahkan mendahulukan anggota wudhu dan anggota badan sebelah kanan. Rasulullah SAW bersabda : Dari Ummi Athiyah ra, Nabi SAW telah masuk kepada kami ketika kami memandikan putri beliau kemudian bersabda : "Mandikanlah ia tiga kali atau lima kali atau lebih jika kamu pandang baik lebih dari itu dengan air dan daun bidara, dan basuhlah yang terakhir dicampur dengan kapur barus". (HR. AlBbukhari dan Muslim) Pada riwayat lain : "Mulailah dengan bagian badannya yang kanan dan anggota wudhu dari jenazah tersebut". Dari Ibnu Abbas, sesungguhnya Nabi SAW telah bersabda mengenai orang yang mati terjatuh dari kendaraannya yaitu : "Mandikanlah ia dengan air dan daun bidara". (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Orang yang Berhak Memandikan Jenazah Jika jenazah itu laki-laki, maka yang memandikannya harus orang laki-laki, kecuali istri dan mahramnya. Demikian juga jika jenazah itu wanita, maka yang memandikannya harus wanita, kecuali suami dan mahramnya. Jika suami dan mahramnya semuanya ada, maka suami lebih berhak memandikan istrinya, demikian juga jika istri dan mahramnya semuanya ada, maka istri lebih berhak memandikan suaminya. Jika yang meninggal seorang laki-laki dab di tempat itu tidak ada orang lak-laki, istri maupun mahramnya, maka jenazah itu cukup ditayamumkan saja, tidak dimakndikan oleh wanita lain. Demikian juga bila yang meninggal seorang wanita dan di tempat itu tidak ada suami atau mahramnya, maka jenazah cukup ditayamumkan saja. Jika jenazah itu masih anak-anak, baik lakilaki atau wanita, maka yang memandikannya boleh dari kaum laki-laki atau wanita.
83
b. Mengafani Jenazah Yang dimaksud mengafani jenazah adalah membungkus jenazah dengan kain. Kain kafan diberli dari harta peninggalan mayat. Jika mayat tidak meninggalkan harta, maka kain kafan menjadi tanggungan orang yang menanggung nafkahnya ketika ia masih hidup. Jika yang menanggung nafkahnya juga tidak ada, maka kain kafan menjadi tanggungan kaum muslimin yang mampu. Kain untuk mengafani jenazah paling sedikit satu lembar yang dapat menutupi seluruh tubuh mayat baik laki-laki maupun perempuan. Bagi yang mampu disunnahkan untu mayat laki-laki dikafani dengan tiga lapis kain tanpa baju dan sorban, sedangkan untuk mayat wanita disunnahkan lima lapis kain masing-masing untuk kain panjang (kain bawah), baju, tutup kepala, kerudung atau semacam cadar dan sehelai kain yang menutupi seluruh tubuhnya. Kain kafan diutamakan yang berwarna putih, tetapi jika tidak ada, warna apapun diperbolehkan dan diberi kapur barus dan harum-haruman. Dari Aisyah ra, Rasulullah SAW telah dikafani dengan tiga lapis kain yang putih bersih yang terbuat dari kapas, tidak ada di dalamnya baju maupun sorban. (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Dari Laila binti Qanif ra, ia berkata : "Saya adalah seorang yang ikut memandikan Ummu Kultsum binti Rasulullah SAW ketika wafatnya. Yang mula-mula diberikan oleh Rasulullah pada kamu adalah kain basahan, kemudian baju, kemudian tutup kepala, kemudian kerudung (semacam cadar) dan sesudah itu dimasukkan dalam kain yang lain (yang menutupi sekalian tubuhnya)." (HR. Ahmad dan Abu Dawud) Rasulullah SAW bersabda : "Pakailah kain kamu yang putih, karena sesungguhnya sebaik-baik kain adalah kain yang putih dan kafanilah oleh kamu dengan kain yang putih itu." (HR. Ahmad dan Al-Baihaqi).
84
c. Menyolatkan jenazah Salat Jenazah adalah jenis salat yang dilakukan untuk jenazah muslim. Setiap muslim yang meninggal baik laki-laki maupun perempuan wajib disalati oleh muslim yang masih hidup dengan status hukum fardhu kifayah. Syarat penyelenggaraan Adapun syarat yang harus dipenuhi dalam penyelenggaraan salat ini adalah: Yang melakukan salat harus memenuhi syarat sah salat secara umum (menutup aurat, suci dari hadas, menghadap kiblat dst) Jenazah/Mayit harus sudah dimandikan dan dikafani. Jenazah diletakkan disebelah mereka yang menyalati, kecuali dilakukan di atas kubur atau salat ghaib Rukun Salat Jenazah Salat jenazah tidak dilakukan dengan ruku', sujud maupun iqamah, melainkan dalam posisi berdiri sejak takbiratul ihram hingga salam. Berikut adalah urutannya: 1. Berniat, niat salat ini, sebagaimana juga salat-salat yang lain cukup diucapkan didalam hati dan tidak perlu dilafalkan, tidak terdapat riwayat yang menyatakan keharusan untuk melafalkan niat. Untuk jenazah laki-laki " Ushalli 'alaa haadzal mayyiti arba 'a takbiiraatin fardhal kifaayati ma'muumam/ imaaman lillahi ta'aalaa, Allahu akbar " Untuk jenazah perempuan: "Ushalli 'alaa haadzihil mayyiti arba 'a takbiiraatiin fardhal kifaayati ma'muuman/imaaman lillahi ta 'aalaa, Allaahu akbar " 2. Takbiratul Ihram pertama kemudian membaca surat Al Fatihah 3. Takbiratul Ihram kedua kemudian membaca shalawat atas Rasulullah SAW minimal: "Allahumma Shalli 'alaa Muhammadin" artinya : "Yaa Allah berilah salawat atas nabi Muhammad"
85
4. Takbiratul Ihram ketiga kemudian membaca do'a untuk jenazah minimal: "Allahhummaghfir lahu warhamhu wa'aafihi wa'fu anhu" yang artinya : "Yaa Allah ampunilah dia, berilah rahmat, kesejahteraan dan ma'afkanlah dia".Apabila jenazah yang disalati itu perempuan, maka bacaan Lahuu diganti dengan Lahaa. Jadi untuk jenazah wanita bacaannya menjadi: "Allahhummaghfir laha warhamha wa'aafiha wa'fu anha". Jika mayatnya banyak maka bacaan Lahuu diganti dengan Lahum. Jadi untuk jenazah banyak bacaannya menjadi: "Allahhummaghfir lahum warhamhum wa'aafihim wa'fu anhum" 5. Takbir keempat kemudian membaca do'a minimal: "Allahumma laa tahrimnaa ajrahu walaa taftinna ba'dahu waghfirlanaa walahu," yang artinya : "Yaa Allah, janganlah kiranya pahalanya tidak sampai kepadanya atau janganlah Engkau meluputkan kami akan pahalanya, dan janganlah Engkau memberi kami fitnah sepeninggalnya, serta ampunilah kami dan dia." Jika jenazahnya adalah wanita, bacaannya menjadi: "Allahumma laa tahrimnaa ajraha walaa taftinna ba'daha waghfirlanaa walaha." 6. Mengucapkan salam Salat Ghaib Bila terdapat keluarga atau muslim lain yang meninggal di tempat yang jauh sehingga jenazahnya tidak bisa dihadirkan maka dapat dilakukan salat ghaib atas jenazah tersebut. Pelaksanaannya serupa dengan salat jenazah, perbedaan hanya pada niat salatnya. Niat salat ghaib : "Ushalli 'alaa mayyiti (Fulanin) al ghaaibi arba'a takbiraatin fardlal kifaayati lillahi ta'alaa". Artinya : "aku niat salat gaib atas mayat (fulanin) empat takbir fardu kifayah sebagai (makmum/imam) karena Allah." kata fulanin diganti dengan nama mayat yang disalati. d. Menguburkan Jenazah Jenzah dikuburkan setelah dishalatkan. Menguburkan jenazah ini hendaknya disegerakan karena sesuai dengan sabda Nabi SAW :
86
Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda : "Segeralah membawa jenazah, karena jika ia orang yang shaleh maka kamu menyegerakannya kepada kebaikan, dan jika ia bukan orang shaleh maka suapay kejahatan itu terbuang dari tanggunganmu." (HR. Jama'ah). Jenazah hendaknya dipikul oleh empat orang dan diantarkan oleh keluarga dan teman-temannya sampai ke pemakaman. Dari Ibnu Mas'ud ra, ia berkata : "Siapa yang menghantarkan jenazah maka hendaklah memikul pada keempat penjuru keranda, karena sesungguhnya yang demikian itu merupakan sunnah (peraturan Nabi SAW)." (HR. Ibnu Majah). Langkah-langkah Penguburan Jenazah Mula-mula digali liang kubur sepanjang badan jenazah dengan lebar satu meter dan dalam lebih kurang dua meter. Di dasar lubang dibuat liang lahat miring ke kiblat kira-kira muat mayat, atau jika tanahnya mudah runtuh dapat digali liang tengah. Dengan demikian binatang buas tidak dapat membongkarnya atau jika maya membusuk tidak tercium baunya. Dari Amir bin Sa'ad ia berkata : "Buatkanlah untuk saya lubang lahat dan pasanglah di atasku batu bata sebagaimana dibuat untuk kubur Rasulullah SAW". (HR. Ahmad dan Muslim) Jenazah yang telah sampai di kubur dimasukkan ke dalam liang lahat itu dengan miring ke kanan dan menghadap kiblat. Pada saat meletakkan jenazah hendaklah dibacakan lafazh : "Bismillah wa 'alaa millati rasulillaah" (Dengan nama Allah dan atas agama Rasulullah SAW). (HR. At-Turmudzi dan Abu Dawud). Semua tali pengikat kain kafan dilepas, pipi kanan dan ujung kaki diletakkan pada tanah. Setelah itu liang lahat atau liang tengah ditutup dengan papan atau kayu atau bambu, kemudian di atasnya ditimbun dengan tanah sampai galian lubang rata, dan ditinggikan dari tanah biasa. Di atas arah kepala diberi tanda batu nisan. "Sesungguhnya Nabi SAW telah meninggikan kubur putra beliau Ibrahim kira-kira sejengkal." (HR. Al-Baihaqi).
87
Meletakkan pelepah yang masih basah sesuai dengan hadits dari Ibnu Abbas atau meletakkan kerikil di atas kubur dan menyiramnya dengan air. Dari Ja'far bin Muhammad, dari bapaknya, sesungguhnya Nabu SAW telah menaruh batu-batu kecil di atas kubur putra beliau Ibrahim. (HR. Asy-Syafii). Dari Ja'far bin Muhammad dari ayahnya, sesungguhnya Nabi SAW telah menyiram kubur putra beliau Ibrahim. (HR. Asy-Syafii). Mendoakan dan memohonkan ampunan untuk si mayat. Dari Utsman ra, adalah Nabi SAW apabila telah selesai menguburkan mayat, beliau berdiri di atasnya dan bersabda : "Mohonkanlah ampnan untuk saudaramu dan mintalah untuknya supaya diberi ketabahan karena sesungguhnya ia sekarang sedang ditanya." (HR. Abu Dawud dan disahkan oleh Al-Hakim). Hal-hal yang Bersangkutan Dengan Harta Mayat Harta peninggalan orang yang meninggal haruslah ditasharufkan sesuai dengan urutan prioritas berikut ini : a. Pembiayaan penyelenggaraan jenazah b. Penyelesain hutang-hutang c. Pelaksanaan wasiat d. Pembagian harta waris kepada ahli waris Pembiayaan Penyelenggaraan Jenazah Bagi jenazah yang meninggalan harta peninggalan, maka prioritas utama penggunaannya adalah untuk keperluan pembiayaan jenazah berupa : - pembelian kain kafan, sabun, minyak wangi, kapur barus, dam lain-lain - pembelian papan, penggalian kubur dan biaya penguburan lainnya. Rasulullah SAW mengajarkan kepada para sahabatnya, jika terjadi musibah kematian, hendaknya di rumah itu tidak menyelenggarakan makan-makan, atau mengambil harta peninggalan untuk menjamu orang-orang yang datang berta'ziah. Bahkan Nabi
88
SAW menganjurkan kepada orang-orang yang datang berta'ziah membawa makanan untuk keluarga yang terkena musibah. Rasulullah SAW bersabda : Dari Ubadillah bin Ja'far ra, ia berkata : Ketika databng berita meninggalnya Ja'far karena terbunuh, Nabi SAW bersabda : "Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja'far karena sesungguhnya mereka sedang menderita kesusahan (kekalutan fikiran)". (HR. Lima ahli hadits kecuali An-Nasai). Penyelesaian Hutang-hutang Setelah harta peninggalan diambil untuk biaya pengurusan jenazah, maka harta peninggalan lainnya untuk melunasi hutanghutang, yaitu: hutang kepada Allah berupa kemungkinan ada nadzar yang belum dilaksanakan, zakat baik zakat firah maupun zakat harta, ibadah haji yang belum ditunaikan padahal ia telah mampu dan lain-lain. Rasulullah SAW bersabda : "Hutang kepada Allah itu lebih berhak untuk dibayar." (HR. Ibnu Abbas). Hutang kepada sesama manusia harus segera diselesaikan supaya mayat segera terbebas dari hutang yang belum dibayar. Dalam hal ini ahli waris si mayat harus berusaha menanyakan kepada sanak fmili dan teman-temannya jika di antara mereka ada yang dihutangi oleh almarhum/almarhumah semasa masih hidup. Rasulullah SAW bersabda : Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW telah bersabda : "Diri seorang mu'min itu bergantung (tidak sampai ke hadirat Allah SWT) karena hutangnya, sehiungga dibayar terlebih dahuku hutangnya itu (oleh sanak familinya yang masih hidup)." (HR. Ahmad dan At-Turmudzi). Apabila mayat tidak mempunyai harta untuk melunasi hutangnya atau harta penninggalannya tidak mencukupinya, maka hutang mayat menjadi tanggungan ahli warisnya. Jika ahlki waris tidak mampu juga, maka hal ini diserahkan kepada Allah SWT.
89
Rasulullah SAW bersabda : Dari Ibnu Umar ra, Rasulullah SAW bersabda : "Hutang itu ada dua macam, maka siapa yang meninggal dunia dan ia berniat untuk melunasinya maka saya walinya (yang akan mengurusnya), dan siapa yang meninggal dan tidak ada niat untuk melunasinya maka yang demikian itu pembayarannya akan diambil dari kebaikannya, karena pada hari ini tidak ada emas dan tidak ada perak". (HR. At-Thabrani). Pelaksanaan Wasiat Jika mayat meninggalkan wasiat dan harta peninggalan masih ada maka harus dipenuhi. Wasiat yang harus dipenuhi ialah yang tidak melebihi sepertiga harta peninggalannya. Firman Allah SWT : "Sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya." (QS. An-Nisaa : 11). Dalam hadits disebutkan : Dari Ibnu Abbas ra, ia berkata : Alangkah baiknya jika manusia mengurangi wasiatnya dari sepertiga menjadi seperempat, karena Rasulullah SAW bersabda : "Wasiat itu sepertiga, sedang sepertiga itu sudah banyak." (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Pembagian Harta Waris Kepada Ahli Waris Pembagian harta waris dilakukan setelah dikeluarkan biaya pengurusan jenazah, penyelesaian hutang dan wasiat. Pembagian harta waris haruslah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan ilmu faraidh. Rasulullah SAW bersabda : Dari Ibnu Abbas ra, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda : "Berikanlah bagian-bagian warisan itu kepada ahlinya, maka kelebihannya diberikan kepada orang yang lebih utama (dekat), yaitu orang laki-laki yang paling dekat dengan yang meninggal." (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Anak-anak yang ditinggal mati orang tuanya harus dipelihara oleh keluarga yang dekat, dicukupi kebutuhannya, diperhatikan
90
pendidikannya dan jangan sampai terlantar. Mereka yang tidak mempunyai saudara maka yang berkewajiban mengurusnya adalah kamu muslimin yang mampu. Mengurus anak yatim ini hukumnya fardhu kifayah. Allah SWT berfirman : "Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakanlah: "Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik." (QS. Al-Baqarah : 220). "Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin." (QS. Al-Maa'un : 1-3).
91
DAFTAR RUJUKAN
Abu Dawud, Sunan Abu Dawud. Ahmad ibn Hanbal, Musnad. Bukhari , al-, Mahasin Al-Islam. Bukhari , al-, Shahih Al-Bukhari . Hasbi ash-Shiddieqy, Al-Islam Ibn Hajar al-`Atsqalani, Fath Al-Bari. Jalaluddin Rahmat, Renungan-Renungan Sufistik. Khubawi, al-, Durrah al-Nashihin. M. Thalib, 60 Pedoman Amaliah Ramadlan. Masbuq Zuhdi, Masa'il Fiqhiyah Muhaimin dan Abd. Mujib, Dimensi-Dimensi Studi Islam Muhammad Syatha al-Dimyathi, I`anah al-Thalibin. Muslim, Shahih Muslim. Nawawi, al-, Al-Adzkar. Nawawi, al-, Nihayah al-Zain fi Irsyad al-Mubtadi’in. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an. ----------, Membumikan al-Qur’an. Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam. Turmudzi, al-, Sunan al-Turmudzi. Yusuf Al-Qardhawi, Fatawa Qardhawi: Pemecahan dan Hikmah. Zainuddin dan Muhammad Jamhari, Al-Islam wikipedia.org/wiki/Salat_Sunnah+shalat+sunnat, diunduh tanggal 06 Oktober 2010, pukul 19.20 WIB http://tarbiyatulmujahidin.comze.com., diunduh tanggal 07 Oktober 2010, pukul 04.34 WIB
92
93
94