27
BAB II KRITERIA AKAD YANG MENGANDUNG UNSUR PENIPUAN DALAM KETENTUAN HUKUM PERJANJIAN ISLAM
A. Pengertian Hukum Perjanjian Islam Secara etimologis perjanjian dalam Bahasa Arab diistilahkan dengan Mu’ahadah Ittida, atau Akad. Dalam Bahasa Indonesia dikenal dengan kontrak ataupun perjanjian, perbuatan dimana seseorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap seseorang lain atau lebih”.43 Dalam Hukum Islam khususnya Al-Quran sendiri setidaknya ada dua istilah yang berkaitan dengan perjanjian44 yaitu kata akad ( al-‘aqdu) dan kata ‘ahd (al‘ahdu), Al-Quran memakai kata pertama dalam arti perikatan atau perjanjian45, sedangkan kata yang kedua dalam Al-Quran berarti masa, pesan, penyempurnaan, dan janji atau perjanjian. Akad atau al-‘aqdu dalam bahasa Arab berarti ikatan, atau perjanjian dan kesepakatan. Kata ‘aqdu (atau al’aqd) sendiri mengacu pada terjadinya dua perjanjian atau lebih, yaitu bila seseorang mengadakan janji kemudian ada orang lain yang menyetujui janji tersebut, serta menyatakan suatu janji yang berhubungan dengan janji yang pertama, sehingga terjadilah perikatan dua buah janji dari orang yang mempunyai hubungan antara yang satu dan yang lain, yang kemudian disebut perikatan (‘aqd). 43 Chairuman Pasaribu dan Suhrawadi K, Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, ( Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hal: 1. 44 Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung: PT. Citra Aditya bakti, 2001), hal: 247 45 Al-Qur’an, Surat Al-Maidah ayat 1
27
Universitas Sumatera Utara
28
Rumusan akad di atas mengindikasikan bahwa perjanjian harus merupakan perjanjian kedua belah pihak yang bertujuan untuk saling mengikatkan diri tentang perbuatan yang akan dilakukan dalam suatu hal yang khusus setelah akad secara efektif mulai diberlakukan. Dengan demikian akad diwujudkan dalam ijab dan qabul yang menunjukkan adanya kesukarelaan secara timbal balik terhadap perikatan yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang harus sesuai dengan kehendak syariat. Artinya bahwa seluruh perikatan yang diperjanjikan oleh kedua belah pihak atau lebih baru dianggap sah apabila secara keseluruhan tidak bertentangan dengan syariat Islam. Dengan adanya ijab qabul yang didasarkan pada ketentuan syariat, maka suatu akad akan menimbulkan akibat hukum pada objek perjanjian yaitu terjadinya pemindahan kepemilikan atau pengalihan kemanfaatan dan seterusnya. Sebagaimana Hukum Islam yang berasal dari tiga sumber hukum, yaitu AlQur’an, Hadits (sebagai dua sumber utama), serta ar-ra’yu atau akal pikiran manusia yang terhimpun dalam ijtihad. Hal ini berdasarkan Hadits Nabi Muhammad Saw, yang dikenal dengan Hadits Mu’az46 maka sumber hukum Perjanjian Islam sendiri berasal juga dari Al-Qur’an, al- Hadits, dan Ijtihad.47 46
“Pada suatu ketika Nabi Muhammad mengirimkan seorang sahabatnya ke Yaman ( dari Madinah) untuk menjadi gubernur disana. Sebelum berangkat, Nabi menguji sahabatnya yang bernama Mu’az bin Jabal itu, dengan menanyakan sumber hukum yang akan dipergunkannya kelak untuk memecahkan berbagai masalah dan atau sengketa yang mengatakan bahwa dia akan mempergunakannya kelak untuk memecahkan berbagai masalah dan atau sengketa yang dijumpainya didaerah baru itu. Pertanyaan baru itu dijawab Mu’az dengan mengatakan bahwa dia akan mempergunakan Al-Qur’an. Jawaban tersebut disusul oleh Nabi dengan pertanyaan: Jika tidak terdapat petunjuk khusus (mengenai suatu masalah) dalam Al-Qur’an bagaimana? Mu’az menjawab: saya akan mencarinya dalam Sunnah Nabi. Nabi bertanya lagi: Kalau engkau tidak menemukan petunjuk dalam Sunnah Nabi, bagaimana? Mu’az menjawab” Jika demikian, saya akan berusaha sendiri mencari sumber pemecahannya dengan mempergunakan ra’yu atau akal saya dan akan mengikuti pendapat saya itu. Nabi sangan senang atas jawaban Mu’az tersebut dan berkata: Aku bersyukur kepada Allah
Universitas Sumatera Utara
29
1.
Al-Quran Sebagai salah satu sumber hukum Islam utama yang pertama, dalam Hukum Perjanjian Islam, sebagian besar Al-Qur’an hanya mengatur mengenai kaidahkaidah umum. Hal tersebut antara lain dapat dilihat dari isi ayat-ayat Al-Qur’an dibawah ini: a. Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 188 yang artinya: “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain ddiantara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui”. b. Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 275 yang artinya: “Padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba”. c. Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 282 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis diantara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikit pun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (diantaramu). Jika tidak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhoi, supaya jika seorang lupa, maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu lebih adil disisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu, (Tulislah muamalahmu itu), kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan diantara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabilah kami berjual-beli, dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. d. Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 283 yang artinya:
yang telah menuntun utusan Rasul-Nya” lihat Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islan di Indonesia, cet 8, ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000 hal:68 47
Gemala Dewi, et al., Hukum Periakatan Islam Di Indonesia ( Jakarta: kencana, 2005), hal:38
Universitas Sumatera Utara
30
e.
f. g.
h.
i.
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai)sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barang siapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 29 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 1 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu”. Al-Qur’an surat Al-Maida ayat 2 yang artinya: “Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam perbuatan dosa, dan pelanggaran”. Al-Qur’an surat Al-Jumu’ah ayat 9 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila diserukan untuk menunaikan sembahyang pada hari Jum’at maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkan jual-beli. Yang demikian itu lebih baik bagi mu jika kamu mengetahui”. Al-Qur’an surat Al-Muthaffifiin ayat 1-6 yang artinya: “Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidaklah orang-orang itu menyangka, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam. Masih banyak lagi ayat-ayat lainnya dalam Al-Qur’an yang mengatur
mengenai perbuatan muamalat secara umum. 2.
Al-Hadits Dalam Hadits, ketentuan-ketentuan mengenai muamalat lebih terperinci daripada Al-Qur’an. Namun perincian ini tidak terlalu mengatur hal-hal yang sangat mendetail, tetap dalam jalur kaidah-kaidah umum. Hadist-Hadist tersebut antara lain dapat dilihat dibawah ini: a. HR Abu Dawud dan Hakim Allah Swt.telah berfirman (dalam Hadits Qudsi-Nya), “Aku adalah yang ketiga dari dua orang yang berserikat selama salah seorang di antara
Universitas Sumatera Utara
31
b.
c.
d.
e.
f.
g.
keduanya berkhianat terhadap temannya. Apabila salah seorang di antara keduanya berkhianat, maka Aku keluar dari perserikatan keduanya”. Hadist Nabi Muhammad Saw Dari Jabir bin Abdullah, Rasulullah Saw, berkata, “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya telah mengharamkan menjual arak dan bangkai, begitu juga babi, dan berhala”. Pendengar bertanya, “Bagaimana dengan lemak bangkai, ya Rasulullah? Karena lemak itu berguna buat cat perahu, buat minyak kulit, dan minyak lampu”. Jawab beliau, “Tidak boleh, semua itu haram, celakalah orang Yahudi tatkala Allah mengharamkan lemak bangkai, mereka hancurkan lemak itu sampai menjadi minyak, kemudian mereka jual minyaknya, lalu mereka makan uangnya”. Hadits Nabi Muhammad Saw, dari Abu Hurairah Rasulullah Saw. Telah bersabda, “Janganlah diantara kamu menjual sesuatu yang sudah dibeli oleh orang lain”. HR Muslim dari Abu Hurairah Bahwasanya Rasulullah Saw, pernah melalui suatu onggokan makanan yang bakal dijual, lantas beliau memasukkan tangan beliau kedalam onggokan itu, tiba-tiba didalam jarinya beliau meraba yang basah. Beliau keluarkan jari beliau yang basah itu seraya berkata, “Apakah ini?” Jawab yang punya makanan,”Basah karena hujan, ya Rasulullah”. Beliau bersabda, “Mengapa tidak engkau taruh dibagian atas supaya dapat dilihat orang? Barang siapa yang menipu, maka ia bukan umatku”. HR Ahmad dan Baihaqi Orang yang mampu membayar utang, haram atasnya melalaikan utangnya. Maka apabila salah seorang diantara kamu memindahkan utangnya kepada orang lain, pemindahan itu hendaklah diterima, asal yang lain itu mampu membayarnya”. HR Bukhari dan Muslim Siapa saja yang melakukan jual-beli Salam (salaf), maka lakukanlah dalam ukuran (takaran) tertentu, timbangan tertentu dan waktu tertentu. HR Abu Ya’la, Ibnu Majah, Thabrani, dan Tarmidzi Berilah upah/jasa kepada orang yang kamu pekerjakan sebelum kering keringatnya.
3.
Ijtihad Sumber Hukum Islam yang ketiga adalah ijtihad yang dilakukan dengan menggunakan akal atau ar-ra’yu. Posisi akal dalam ajaran Islam memiliki kedudukan yang sangat penting. Allah Swt menciptakan akal untuk manusia agar dipergunakan sesuatu dalam hal ini adalah ketentuan-ketentuan dalam Islam. Namun demikian, akal tidak dapat berjalan dengan baik tanpa ada petunjuk. Petunjuk itu telah diatur oleh Allah Swt yang tercantum dalam Al-Qur’an dan Hadits. Penggunaan akal untuk berijtihad telah dibenarkan oleh Nabi Muhammad Saw seperti yang terdapat pada Hadits Mu’az bin Jabal, bahkan juga terdapat dalam
Universitas Sumatera Utara
32
ketentuan Al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 59., Mohammad Daud Ali memberikan definisi ijtihad adalah: “ijtihad adalah usaha atau ikhtiar yang sungguh-sungguh dengan mempergunakan segenap kemampuan yang ada dilakukan oleh orang (ahli hukum) yang memenuhi syarat untuk merumus-kan garis hukum yang belum jelas atau tidak ada ketentuannya di dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah”. Akad dalam terminologi ahli bahasa mencakup makna ikatan, pengokohan dan penegasan dari satu pihak atau kedua belah pihak. Sedangkan diantara kalangan ulama fiqh menyebutkan akad adalah setiap ucapan yang keluar sebagai penjelas dari dua keinginan yang ada kecocokan, sebagaimana mereka juga menyebutkan arti akad sebagai setiap ucapan yang keluar yang menerangkan keinginan walaupun sendirian.48 Menurut Dictionary of Business Term,49 memberikan definisi akad yaitu “aqd or contract is Transaction involving two or more individuals whereby each becomes obligate to the other, with reciprocal rights to demand performances of what is promised” Bila dialih-bahasakan maka bermakna sebagai berikut: “akad adalah sebuah persetujuan yang mengikat secara umum antara dua pihak atau lebih yang sama, untuk pertimbangan, satu atau lebih pihak setuju untuk melakukan sesuatu”. Sementara itu, Hashim Ma’ruf al- Husaini50, memberikan definisi akad atau kontrak: 48
Abdul Aziz Muhammad Azam, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Amzah, 2010), hal:16 Alexander Hamilton Institute, A Dictionary of Business Terms, 1987 dalam Abdul Manan, Hukum Ekonomi Syariah Dalam Perspektif Kewenangan Peradilan Agama, (Jakarta: Kencana, 2012), hal: 72 49
Universitas Sumatera Utara
33
“a contract is an agreement and the consequence is an obligation and binding upon the contracting parties” Bila dialih-bahasakan maka bermakna sebagai berikut: “akad adalah sebuah kontrak yang merupakan suatu persetujuan dan konsekuensinya adalah suatu kewajiban dan mengikat bagi pihak-pihak yang terlibat”. Pengertian Akad sendiri juga terdapat dalam Kompilasi Hukum ekonomi Syariah Bab I Pasal 20 yang menyebutkan: “akad adalah kesepakatan dalam suatu perjanjian antara dua pihak atau lebih untuk melakukan dan/atau tidak melakukan perbuatan hukum tertentu”. Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, Pasal 1 angka 13 menyebutkan bahwa akad adalah kesepakatan tertulis antara Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah dan pihak lain yang memuat adanya hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak sesuai dengan prinsip Syariah. Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa unsur-unsur yang harus ada dalam suatu akad atau perjanjian ataupun kontrak menurut hukum Islam yaitu adanya pertalian ijab qabul yang dilakukan oleh para pihak yang melakukan akad tersebut dan dengan sedirinya memiliki kewajiban dan hak yang melekat pada akad tersebut yang mengikat para pihak. Akad tersebut juga harus sesuai dengan syariat Islam dan tidak boleh membuat suatu akad terhadap hal-hal yang dilarang oleh Allah SWT. B. Rukun dan Syarat Suatu Akad Akad merupakan ikatan secara hukum yang dilakukan oleh dua atau beberapa pihak yang sama-sama berkeinginan untuk mengikatkan diri demi terwujudnya suatu
50 Hashim Ma’ruf al-Husaini, Nazriyah al-Aqd fi Fiqh al- Zafari(n.d), hal:100 dalam Mohd Ma’sum Billah, Shari’ah Standart of Business Contract, ( Kuala Lumpur: Zafar Sdn. Bhd, 2006), hal: 3
Universitas Sumatera Utara
34
tujuan yang telah disepakati sebelumnya. Kehendak atau keinginan pihak-pihak yang mengikatkan diri itu sifatnya tersembunyi dalam hati. Oleh sebab itu, untuk menyatakan kehendak masing-masing, harus diungkapkan dalam suatu pernyataan yaitu dengan ijab dan qabul. Dalam melaksanakan suatu akad terdapat rukun dan syarat yang harus dipenuhi untuk sahnya akad yang dibuat oleh para pihak. Begitu juga dalam syari’ah, rukun dan syarat sama-sama menentukan sah atau tidaknya suatu transaksi. Secara definisi, rukun adalah “suatu unsur yang merupakan bagian tak terpisahkan dari suatu perbuatan atau lembaga yang menentukan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dan ada atau tidaknya sesuatu itu”.51 Sedangkan syarat adalah ”sesuatu yang tergantung padanya keberadaan hukum syar’i
dan ia berada diluar hukum itu sendiri, yang ketiadaannya
menyebabkan hukum pun tidak ada”.52 Pendapat mengenai rukun akad dalam Hukum Islam sendiri beraneka ragam dikalangan para ahli fiqh. Di kalangan mazhab Hanafi berpendapat, bahwa rukun aqad hanya sighat al-‘aqd, yaitu ijab dan qabul dan syarat akad adalah al-‘aqidain (subjek akad) dan mahallul ‘aqd (objek akad). Alasannya adalah al-‘aqidain dan mahallul ‘aqd bukan merupakan bagian dari tasharruf akad (perbuatan hukum akad). Kedua hal tersebut berada diluar perbuatan akad.
51
Abdul Aziz Dahlan, ed., Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 5, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1996), hal: 1510 selanjutnya lihat juga dalam Gemala Dewi, et.al., Hukum Perikatan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005) hal: 50 52 Ibid
Universitas Sumatera Utara
35
Berbeda halnya dengan pendapat dari kalangan mazhab Syafi’i termasuk Imam Ghazali dan kalangan mazhab Maliki termasuk Syihab al-Kharakhi, bahwa alaqidain dan mahallul ‘aqd termasuk rukun akad karena kedua hal tersebut merupakan salah satu pilar utama dalam tegaknya akad. Sedangkan menurut T.M. Hasbi Ash-Shiddiqy, keempat hal tersebut merupakan komponen-komponen yang harus dipenuhi untuk terbentuknya suatu akad53: 1. Subjek Akad (al-‘aqidain) Subjek Akad disini adalah dua pihak atau lebih yang melakukan akad. Kedua belah pihak dipersyaratkan harus memiliki kelayakan untuk melakukan akad sehingga akad tersebut dianggap sah. Kelayakan tersebut terwujud dengan beberapa hal berikut54: a. Kemampuan membedakan yang baik dan yang buruk. Yakni apabila pihak-pihak tersebut sudah berakal lagi baligh dan tidak dalam keadaan tercekal. Orang yang tercekal karena dianggap idiot atau bangkrut total, tidak sah melakukan perjanjian. b. Bebas memilih. Tidak sah akad yang dilakukan orang dibawah paksaan, kalau paksaan itu terbukti. Misalnya orang yang berhutang dan perlu pengalihan hutangnya, atau orang yang bangkrut, lalu dipaksa untuk menjual barangnya untuk menutupi hutangnya. c. Akad itu dianggap berlaku bila tidak terdapat khiyar (hak pilih). Seperti khiyar syarath (hak pilih menetapkan persyaratan), khiyar ar-ru’yah (hak pilih dalam melihat) dan sejenisnya. 2. Obyek Akad (Mahallul ‘Aqd) Mahallul ‘aqd adalah sesuatu yang dijadikan objek akad dan dikenakan padanya akibat hukum yang ditimbulkan. Bentuk objek akad dapat berupa benda berwujud, seperti mobil dan rumah, maupun benda tak berwujud, seperti manfaat. Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam mahallul ‘aqd adalah sebagai berikut:55 53
Teungku Muhammad Hasb Ash-Shiddieqy, Memahami Syariat Islam. Cet 1, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000), hal:23 54 Shalah ash-Shawi &Abdullah al-Mushlih, Fikih Ekonomi Keuangan Islam (Terjemahan), (Jakarta: Darul Haq, 2008), hal: 27-28 55 Ghufron A Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual. Cet.1 (Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hal: 86-89
Universitas Sumatera Utara
36
a. Objek perikatan telah ada ketika akad dilangsungkan Suatu perikatan yang objeknya tidak ada adalah batal, seperti menjual anak hewan yang masih didalam perut induknya atau menjual tanaman sebelum tumbuh. Alasannya, bahwa sebab hukum dan akibat akad tidak mungkin bergantung pada sesuatu yang belum ada. Namun demikian pengecualian terhadap bentuk akad-akad tertentu, seperti salam, istishna, dan musyaqah yang objek akadnya diperkirakan akan ada di masa yang akan datang. Pengecualian ini didasarkan pada istihsna untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dalam kegiatan muamalat. b. Objek perikatan dibenarkan oleh syariah Pada dasarnya, benda-benda yang menjadi objek perikatan haruslah memiliki nilai dan manfaat bagi manusia. Benda-benda yang sifatnya idak suci, seperti bangkai, minuman keras, babi, atau darah dianggap tidak memiliki nilai dan tidak memiliki manfaat bagi manusia. Menurut kalangan Hanafiyah, dalam tasharruf akad tidak mensyaratkan adanya kesucian objek akad. Dengan demikian, jual beli kulit bangkai dibolehkan sepanjang memiliki manfaat. Kecuali benda-benda yang secara jelas dinyatakan dalam nash, seperti, khamar, daging babi, bangkai dan darah. Selain itu, jika objek perikatan itu dalam bentuk manfaat yang bertentangan dengan ketentuan syariah, seperti pelacuran, pembunuhan adalah tidak dibenarkan pula, batal. Ahmad Azhar Basyir berpendapat bahwa, benda yang bukan milik seseorang pun tidak boleh dijadikan objek perikatan. Karena hal ini tidak dibenarkan dalam syari’ah.56 c. Objek akad harus jelas dan dikenali Suatu benda yang menjadi objek perikatan harus memiliki kejelasan dan diketahui oleh ‘aqid. Hal ini bertujuan agar tidak terjadi kesalahpahaman di antara para pihak yang dapat menimbulkan sengketa. Jika objek tersebut berupa benda, maka benda tersebut harus jelas bentuk, fungsi, dan keadaannya. Jika terdapat cacat pada benda tersebut pun harus diberitahukan. Jika objek tersebut berupa jasa, harus jelas bahwa pihak yang memilki keahlian sejauh mana kemampuan, keterampilan, dan kepandaiannya dalam bidang tersebut. Jika pihak tersebut belum atau kurang ahli terampil, mampu, maupun pandai, tetap harus diberitahukan agar masing-masing pihak memahaminya. Dalam Hadits riwayat Imam Lima dari Abu Hurairah bahwa Nabi Muhammad Saw melarang jual-beli gharar (penipuan) dan jual-beli hassah (jual beli dengan syarat tertentu, seperti penjual akan menjual bajunya apabila lemparan batu dari penjual mengenai baju itu)57. d. Objek dapat diserahterimakan 56 57
Ahmad Azhar Basyir,Op. Cit., hal: 80 Ghufron A Mas’Adi, Op.Cit.,hal: 88
Universitas Sumatera Utara
37
Benda yang menjadi objek perikatan dapat diserahkan pada saat akad terjadi, atau pada waktu yang telah disepakati. Oleh karena itu disarankan bahwa objek perikatan berada dalam kekuasaan pihak pertama agar mudah untuk menyerahkannya kepada pihak kedua. Burung di udara, ikan di laut, tidaklah dapat diserahkan karena tidak ada dalam kekuasaannya. Untuk objek perikatan yang berupa manfaat, maka pihak pertama harus melaksanakan tindakan (jasa) yang manfaatnya dapat dirasakan oleh pihak kedua, sesuai dengan kesepakatan. 3. Ijab dan Kabul (Sighat al-‘Aqd) Sighat al-‘aqd adalah suatu ungkapan para pihak yang melakukan akad berupa ijab dan qabul. Ijab adalah suatu pernyataan janji atau penawaran dari pihak pertama untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Qabul adalah suatu pernyataan menerima dari pihak kedua atas penawaran yang dilakukan oleh pihak pertama. Para ulama fiqh mensyaratkan tiga hal dalam melakukan ijab dan Kabul agar memiliki akibat hukum yaitu sebagai berikut 58: a. Jala’ul ma’na, yaitu tujuan yang terkandung dalam pernyataan itu jelas, sehingga dapat dipahami jenis akad yang dikehendaki; b. Tawafuq yaitu adanya kesesuaian antara ijab dan qabul; dan c. Jazmul iradataini, yaitu antara ijab dan qabul menunjukkan kehendak para pihak secara pasti, tidak ragu, dan tidak terpaksa. Ijab dan qabul sendiri dapat dilakukan dengan empat cara berikut ini:59 a. Lisan. Para pihak mengungkapkan kehendaknya dalam bentuk perkataan secara jelas. Dalam hal ini akan sangat jelas bentuk ijab dan qabul yang dilakukan oleh para pihak b. Tulisan. Adakalanya, suatu perikatan dilakukan secara tertulis. Hal ini dapat dilakukan oleh para pihak yang tidak dapat bertemu secara langsung dalam melakukan perikatan, atau untuk perikatan-perikatan yang sifatnya lebih sulit, seperti perikatan yang dilakukan oleh suatu badan hukum. Akan ditemui kesulitan apabila suatu badan hukum melakukan perikatan tidak dalam bentuk tertulis, karena diperlukan alat bukti dan tanggung jawab terhadap orang-orang yang bergabung dalam satu badan hukum tersebut. c. Isyarat. Suatu perikatan tidaklah hanya dilakukan oleh orang normal, orang cacat pun dapat melakukan suatu perikatan (akad). Apabila cacatnya adalah berupa tuna wicara, maka dimungkinkan akad dilakukan dengan isyarat, asalkan para pihak yang melakukan perikatan tersebut memiliki pemahaman yang sama. 58
Faturrahman Djamil, Hukum Perjanjian Syariah, selanjutnya dilihat dalam Mariam Darus Badrulzaman et al., Kompilasi Hukum Perikatan , cet. 1, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001). hal: 247-248 59 Ahmad Azhar Basyir, Op.Cit, hal: 68-71
Universitas Sumatera Utara
38
d. Perbuatan. Seiring dengan perkembangan kebutuhan masyarakat, kini perikatan dapat dilakukan dengan cara perbuatan saja, tanpa secara lisan, tertulis, ataupun isyarat. Hal ini dapat disebut dengan ta’ahi atau mu’athah (saling memberi dan menerima). Adanya perbuatan memberi dan menerima dari pihak yang telah saling memahami perbuatan perikatan tersebut dan segala akibat hukumnya. Hal ini sering terjadi pada proses jual-beli di supermarket yang tidak ada proses tawar menawar. Pihak pembeli telah mengetahui harga barang yang secara tertulis dicantumkan pada barang tersebut. Pada saat pembeli datang ke meja kasir, menunjukkan bahwa di antara mereka akan melakukan perikatan jual-beli. 4. Tujuan Akad (Maudhu’ul ‘Aqd) Maudhu’ul ‘Aqd adalah tujuan dan hukum suatu akad disyari’atkan untuk tujuan tersebut. Dalam hukum Islam, tujuan akad ditentukan oleh Allah SWT, dalam Al-Qur’an dan Nabi Muhammad Saw dalam hadits. Menurut ulama fiqh, tujuan akad dapat dilakukan apabila sesuai dengan ketentuan syari’ah tersebut. Apabila tidak sesuai, maka hukumnya tidak sah. Sebagai contoh, A dan B melakukan perikatan kerja sama untuk melakukan pembunuhan atau perampokan, maka perikatan tersebut haram hukumnya. Apabila para pihak melakukan perikatan dengan tujuan yang berbeda, namun salah satu pihak memiliki tujuan yang bertentangan dengan hukum Islam dengan diketahui pihak lainnya, maka perikatan itu pun haram hukumnya. Sebagai contoh lain, A menjual anggur kepada B, A mengetahui, bahwa tujuan B membeli anggur tersebut untuk diolah menjadi minuman keras dan dijual untuk dikonsumsi. Jual beli tersebut tidak boleh dilakukan, karena minuman keras adalah haram untuk dikonsumsi manusia. Apabila A tetap menjual anggur tersebut kepada B berarti A turut andil dalam membuat barang haram tersebut. Dengan demikian, jual beli tersebut haram hukumnya. Sesuai dengan dasar hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an Surat Al-Maidah ayat (2), bahwa: dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”60. Namun, apabila A benar-benar tidak mengetahui tujuan B membeli anggur tersebut, maka perikatan tersebut tidak haram, tetapi dapat dibatalkan.61 Setiap akad yang dibuat oleh para pihak atau subyek hukum, pasti memiliki tujuan tertentu, sebagaimana halnya dalam KUHPerdata yang menyatakan bahwa
60
Lihat Al-Qur’an Surat Al-Maidah ayat 2 Yenti Salma Barlinti, Prinsip-Prinsip Hukum Perdagangan Berdasarkan Ketentuan World Trade Organizatation dalam Perspektif Hukum Islam, Tesis Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia,(Jakarta: Universitas Indonesia, 2001) dalam Gemala Dewi, et.al., Hukum Perikatan Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005), hal: 63 61
Universitas Sumatera Utara
39
suatu perjanjian tanpa disertai suatu klausa dianggap tidak ada, atau batal demi hukum. Hal serupa juga terjadi di dalam Hukum Perjanjian Islam. Bahwa setiap akad (perjanjian/kontrak) yang dibuat harus senantiasa memiliki tujuan yang jelas, dan satu lagi rambu-rambu yang harus diperhatikan yaitu jangan sampai melanggar ketentuan-ketentuan syara’. Mengenai tujuan akad ini, Ahmad Azhar Basyir menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu tujuan akad dipandang sah dan mempunyai akibat hukum, yaitu:62 1. Tujuan akad tidak merupakan kewajiban yang telah ada atas pihak-pihak yang bersangkutan tanpa akad yang diadakan; 2. Tujuan harus berlangsung adanya hingga berakhirnya pelaksanaan akad; 3. Tujuan akad harus dibenarkan syarak. Masing-masing rukun (unsur) yang membentuk akad diatas memerlukan syarat-syarat agar unsur (rukun) itu dapat berfungsi membentuk akad. Tanpa adanya syarat-syarat dimaksud, rukun akad tidak dapat membentuk akad. Sedangkan menurut pendapat Mazhab Hanafi bahwa syarat yang ada dalam akad dapat dikategorikan menjadi syarat sah (shahih), rusak (fasid) dan syarat yang batal (bathil) dengan penjelasan sebagai berikut 63: 1. Syarat shahih adalah syarat yang sesuai dengan substansi akad, mendukung dan memperkuat substansi akad dan dibenarkan oleh syara’, sesuai dengan kebiasaan masyarakat (‘urf). Misalnya harga barang yang diajukan oleh penjual dalam jual beli, adanya hak pilih (khiyar) dan syarat sesuai dengan ‘urf, dan adanya garansi.
62 63
Ahmad Azhar Basyir, Op.cit., hal: 99-100 Wahbah Az Zuhaili, Fiqih Islam Waa Adillatuhu Jilid 4, (Gema Insani: Jakarta, 2011), hal: 517
Universitas Sumatera Utara
40
2. Syarat fasid adalah syarat yang tidak sesuai dengan salah satu kriteria yang ada dalam syarat sahih. Misalnya, memberi mobil dengan uji coba dulu selama satu tahun. 3. Syarat batil adalah syarat yang tidak mempunyai kriteria syarat sahih dan tidak memberi nilai manfaat bagi salah satu pihak atau lainnya, akan tetapi malah menimbulkan dampak negatif. Misalnya, penjual mobil mensyaratkan pembeli tidak boleh mengendarai mobil yang telah dibelinya. Adapun syarat pembentukan akad yang akan dibahas dalam penelitian ini ada empat macam, yaitu:64 1. Syarat in’iqad (terjadinya akad) Syarat in’iqad adalah sesuatu yang disyaratkan terwujudnya untuk menjadikan suatu akad dalam zatnya sah menurut syara’. Apabila syarat tidak terwujud maka akad menjadi batal. Syarat ini ada dua macam: a. Syarat umum, yaitu syarat yang harus dipenuhi dalam setiap akad. Syarat ini meliputi : 1. Kedua orang yang melakukan akad cakap bertindak; 2. Yang dijadikan objek akad menerima hukumannya; 3. Akad itu diizinkan oleh syari’ah selama dilakukan oleh orang yang mempunyai hak melakukan walaupun dia bukan aqid yang memiliki barang. 4. Tidak boleh melakukan aqad yang dilarang oleh syariah, seperti jual beli, mulasamah; 5. Akad dapat memberikan faedah sehigga tidak sah bila rahn dianggap sebagai imbangan amanah. 6. Ijab tidak boleh dicabut sebelum terjadinya qabul. Maka, bila orang yang ber ijab menarik kembali ijabnya sebelum qabul maka ijabnya batal. 7. Ijab dan qabul harus bersambung sehingga bila orang yang berijab sudah berpisah sebelum adanya qabul, maka ijab tersebut menjadi batal. b. Syarat khusus adalah akad yang harus ada pada sebagian akad dan tidak disyariatkan pada bagian lain. Syarat khusus ini bisa disebut syarat tambahan (idhafi) yang harus ada disamping syarat-syarat umum, seperti adanya saksi dalam pernikahan. 2. Syarat sah, Syarat sah adalah syarat yang ditetapkan oleh syara’ untuk timbulnya akibatakibat hukum dari suatu akad. Apabila syarat tersebut tidak ada maka akadnya menjadi fasid, tetapi tetap sah dan eksis. Contohnya seperti dalam jual beli disyariatkan oleh Hanafiah, terbebas dari salah satu ‘aib (cacat) yang enam, yaitu: 64
Ibid
Universitas Sumatera Utara
41
a. Jahalah (ketidakjelasan) b. Ikhrah (paksaan) c. Tauqit (pembatasan waktu) d. Gharar (tipuan/ketidakpastian) e. Dharar f. Syarat yang fasid65 3. Syarat nafadz(kelangsungan akad) Untuk kelangsungan akad diperlukan dua syarat66: a. Adanya kepemilikan atau kekuasaan. Artinya orang yang melakukan akad harus pemilik barang yang menjual objek akad, atau mempunyai kekuasaan (perwakilan). Apabila tidak ada kepemilikan dan tidak ada kekuasaan (perwakilan), maka akad tidak bisa dilangsungkan, melainkan mauquf (ditangguhkan), bahkan menurut Asy-Syafi’i dan Ahmad, akadnya batal. b. Di dalam objek akad tidak ada hak orang lain. Apabila di dalam barang yang menjadi objek akad terdapat hak orang lain, maka akadnya mauquf, tidak nafidz. Hak orang lain tersebut ada tiga macam, yaitu sebagai berikut: 1. Hak orang lain tersebut berkaitan dengan jenis barang yang menjadi objek akad, seperti menjual barang milik orang lain. 2. Hak orang lain tersebut berkaitan dengan nilai dari harta yang menjadi objek akad, seperti tasharruf orang yang pailit yang belum dinyatakan mahjur ‘alaih terhadap hartanya yang mengakibatkan kerugian kepada para kreditor. 3. Hak tersebut berkaitan dengan kemashlahatan si aqid, bukan dengan barang yang menjadi objek akad. Seperti tasarruf orang yang memiliki ahliyatul ada’ yang tidak sempurna (naqishah) yang telah dinyatakan mahjur ‘alaih. 4. Syarat luzum Pada dasarnya setiap akad itu sifatnya mengikat (lazim). Untuk mengikatnya (lazim-nya) suatu akad, seperti jual beli dan ijarah, disyaratkan tidak adanya kesempatan khiyar (pilihan), yang memungkinkan di-fasakh-nya akad oleh salah satu pihak. Apabila di dalam akad tersebut terdapat khiyar, seperti khiyar syarat, khiyar aib, atau khiyar ru’yat, maka akad tersebut tidak mengikat (lazim) bagi orang yang memiliki hak khiyar tersebut. Dalam kondisi seperti itu ia boleh membatalkan akad atau menerimanya. C. Macam-Macam Akad Perjanjian Akad (Perjanjian/Kontrak) dapat diklasifikasikan sesuai dengan beberapa perspektif. Berkenaan dengan keabsahan atau kesesuaiannya dengan peraturan 65 66
Ibid, hal: 228 Ahmad Wardi muslich, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Amzah, 2010), hal: 152
Universitas Sumatera Utara
42
Syariah, para fuqaha secara umum membagi akad menjadi dua jenis, yaitu akad yang sah (Sahih) dan tidak sah (batil). Akad yang sah adalah yang memenuhi semua persyaratan, sementara akad yang tidak sah ialah
yang di dalamnya salah satu
persyaratan atau lebih untuk keabsahan dilanggar.67 Menurut Sohari Sahrani dan Ru’fah Abdullah68, macam-macam akad terdiri dari: 1. Akad munjiz, ialah akad yang dilaksanakan langsung pada waktu selesainya akad. Pernyataan akad yang diikuti dengan pelaksanaan akad ialah tidak disertai dengan syarat-syarat dan tidak pula ditentukan waktu pelaksanaan setelah adanya akad. 2. Akad mu’alaq, ialah akad yang dalam pelaksanaannya terdapat syarat-syarat yang telah ditentukan dalam akad, misalnya penentuan penyerahan barangbarang yang diakadkan setelah adanya pembayaran. 3. Akad mudhaf, ialah akad yang dalm pelaksanaannya terdapat syarat-syarat mengenai penanggulangan pelaksanaan akad, pernyataan yang pelaksanaannya ditangguhkan hingga waktu yang ditentukan. Perkataan ini sah dilakukan pada waktu akad, tetapi belum mempunyai akibat hukum sebelum tibanya waktu yang telah ditentukan. Selain akad munjiz, mu’alaq, dan mudhaf, macam-macam akad beraneka ragam yang terdapat dalam berbagagi penggolongan dilihat dari beberapa sudut pandang69: 1. Ada tidaknya bagian (qismah) pada akad, terbagi dua bagian: a. Akad musammah, yaitu akad yang telah ditetapkan syarat dan telah ada hukum-hukumnya, seperti jual beli, hibah, dan ijarah; dan b. Akad ghair musammah ialah akad yang belum ditetapkan oleh syariah dan belum ditetapkan hukum-hukumnya. 2. Disyariatkan dan tidaknya akad, dapat ditinjau dari dua segi, yaitu: a. Akad musyara’ah ialah akad-akad yang dibenarkan oleh syara’, seperti gadai dan jual beli; dan 67
Ibnul Qayyim, 1995, hal 3, dalam Muhammad Ayub, Understanding Islamic Finance A-Z Keuangan Syariah, ( Jakarta; PT. Gramedia Pustaka Utama, 2009), hal: 183 68 Sohari Sahrani dan Ru’fah Abdullah, Fikih Muamalah, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), hal: 47 69 Ismail Nawawi, Op. Cit., hal: 27-29
Universitas Sumatera Utara
43
3.
4.
5.
6.
7.
8.
b. Akad mamnu’ah, akad-akad yang dilarang syariah, seperti menjual anak binatang dalam perut ibunya. Sah dan batalnya akad dapat ditinjau dari dua segi menjadi dua, yaitu: a. Akad shahihah, yaitu akad-akad yang mencukupi persyaratannya, baik syarat yang khusus maupun syarat yang umum; dan b. Akad fasidah, yaitu akad-akad yang cacat atau cedera, karena kurang salah satu syarat-syaratnya, baik syarat umum maupun syarat khusus, seperti nikah tanpa wali. Sifat benda akad dapat ditinjau dari dua sifat, yaitu: a. Akad ‘ainiyah, yaitu akad yang disyariatkan dengan penyerahan barangbarang seperti jual beli;dan b. Akad ghair ‘ainiyah yaitu akad yang tidak disertai dengan penyerahan barang-barang karena tanpa penyerahan barang-barang pun akad sudah berhasil, seperti akad amanah. Cara melakukan akad dapat ditinjau dari dua segi, yaitu: a. Akad yang harus dilaksanakan dengan upacara tertentu seperti akad pernikahan dihadiri oleh dua saksi, wali, dan petugas pencatat nikah; dan b. Akad ridha’iyah, yaitu akad-akad yang dilakukan tanpa upacara tertentu dan terjadi karena keridhaan dua belah pihak, seperti akad pada umumnya. Berlaku dan tidaknya akad, dapat ditinjau dari dua segi yaitu: a. Akad nafidzah, yaitu akad yang bebas atau terlepas dari penghalangpenghalang akad; dan b. Akad mauqufah, yaitu akad-akad yang bertalian dengan persetujuanpersetujuan seperti akad fudhuli (akad yang berlaku setelah disetujui pemilik harta). Luzum yang dapat membatalkan akad dapat ditinjau dari empat hal, yaitu: a. Akad lazim yang menjadi hak kedua belah pihak yang tidak dapat dipindahkan seperti akad kawin. Manfaat perkawinan tidak bisa dipindahkan kepada orang lain, seperti bersetubuh, tapi akad nikah dapat diakhiri dengan cara yang dibenarkan syara’, seperti talak dan khulu; b. Akad lazim yang menjadi hak kedua belah pihak yang dapat dipindahkan dan dirusakkan, seperti persetujuan jual beli dan akad-akad lainnya; c. Akad lazim yang menjadi hak dari salah satu pihak, seperti rahn orang yang menggadai suatu benda, ia punya kebebasan kapan saja ia akan melepaskan rahn atau menebus kembali barangnya; dan d. Akad lazima yang menjadi hak dari dua belah pihak tanpa menunggu persetujuan salah satu pihak, seperti titipan boleh diminta oleh yang menitipkan tanpa menunggu persetujuan yang menerima titipan, atau yang menerima boleh mengembalikan barang yang dititipkan kepada yang menitipkan tanpa menunggu persetujuan yang menitipkan. Tukar menukar hak, dari segi ini akad dibagi tiga bagian: a. Akad mu’awadlah, yaitu akad yang berlaku atas dasar timbal balik, seperti jual beli.
Universitas Sumatera Utara
44
b. Akad tabarru’at, yaitu akad-akad yang berlaku atas dasar pemberian dan pertolongan, seperti hibah; dan c. Akad yang tabarru’at, yaitu akad pada awalnya menjadi akad mu’awdhah, namun pada akhirnya seperti qardh dan kafalah. 9. Harus dibayar ganti dan tidaknya akad, dari segi ini akad dibagi menjadi tiga bagian: a. Akad dhaman, yaitu akad yang menjadi tanggung jawab pihak kedua sesudah benda itu diterima, seperti qardh; b. Akad amanah, yaitu tanggung jawab kerusakan oleh pemilik benda, bukan oleh yang memegang barang, seperti titipan (ida’); dan c. Akad yang dipengaruhi oleh beberapa unsur, salah satu segi merupakan amanah, seperti rahn (gadai). 10. Tujuan akad dapat ditinjau dari beberapa aspek, di antaranya: a. Bertujuan tamlik, seperti jual beli; b. Bertujuan untuk mengadakan usaha bersama (perkongsian), seperti syirkah dan mudharabah c. Bertujuan tautsiq (memperkokoh kepercayaan) saja, seperti rahn dan kafalah; d. Bertujuan menyerahkan kekuasaan, seperti wakalah dan washiyah; dan e. Bertujuan mengadakan pemeliharaan, seperti ‘ida atau titipan. 11. Faur dan istimrar, dari segi ini akad dibagi menjadi dua bagian: a. Akad fauriyah, yaitu akad-akad yang dalam pelaksanaannya tidak memerlukan waktu yang lama, pelaksanaan akad hanya sebentar saja, seperti jual beli; dan b. Akad istimrar disebut pula akad zamaniyah, yaitu hukum akad terus berjalan, seperti ‘ariyah. 12. Ashliyah dan thabi’iyah, dari segi ini akad dibagi menjadi dua bagian: a. Akad ashliyah, yaitu akad yang berdiri sendiri tanpa memerlukan adanya sesuatu dari yang lain, seperti jual beli dan I’arah; dan b. Akad, yaitu akad yang membutuhkan adanya yang lain, seperti adanya rahn yang tidak dilakukan bila tidak ada utang. 13. Berdasarkan maksud dan tujuan akad dapat dibedakan oleh beberapa hal, yaitu: a. Kepemilikan; b. Menghilangkan kepemilikan; c. Kemutlakan, yaitu seseorang mewakilkan secara mutlak kepada wakilnya; d. Perikatan, yaitu larangan kepada seseorang untuk beraktivitas secara mutlak kepada wakilnya; e. Penjagaan.
Universitas Sumatera Utara
45
D. Unsur-Unsur Penipuan Dalam Hukum Perjanjian Islam Salah satu dasar mutlak untuk sahnya akad perjanjian adalah keadaan suka sama suka atau saling rela. Oleh karena itu, rusaknya kualifikasi ini akan menyebabkan batalnya suatu akad. Para ulama fiqh juga sudah membahas secara detail tentang sebab-sebab yang dapat merusak keadaan rela sama rela (taradhin). Secara umum, dalam masalah pentingnya rasa rela dan saling memuaskan, Allah SWT telah berfirman dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 29 tentang keharusan pemilikan dan konsumsi dengan cara yang benar: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan hartamu di antara kamu dengan cara yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang terjadi atas dasar saling ridha (suka sama suka) darimu”. Ini adalah sebuah ayat yang sangat umum dan luas dalam penerapan hak-hak konsumen, Atas dasar ayat inilah banyak sekali muncul hukum-hukum ekonomi Islam yang terinci (tafshiliy). Para ahali tafsir mengemukakan bahwa ungkapan “jangan makan harta di antara kamu” mengandung suatu pengertian sangat umum, dimana ia mencakup pelarangan pengkonsumsian harta milik diri sendiri atau harta orang lain dengan cara yang batil. Kata “cara yang batil” bermaksud cara yang haram, atau segala cara yang tidak sesuai dengan ketentun syara’, atau cara yang tidak benar, atau cara-cara yang tidak dihalalkan syara’, seperti riba, judi, paksaan dan penipuan. Penafsiran kata” batil” ini sesuai pula dengan makna yang terdapat dalam bahasa yang berhubungan dengan haqiqah syar’iyah. Kata “perniagaan” secara bahasa berarti perbuatan tukar menukar atau jual beli karena perniagaan adalah cara tukar
Universitas Sumatera Utara
46
menukar yang paling umum. Kata “saling ridha” memberi implikasi bahwa suatu kegiatan tukar menukar itu dilakukan dua pihak yang berakad, yang selanjutnya kedua pihak harus saling rela secara sempurna, tidak ada paksaan atau kekesalan yang terjadi. Wahbah Zuhaili menegaskan bahwa tidak semua bentuk saling rela diakui oleh syara’, namun yang diakui adalah kerelaan yang berada dalam batas-batas ketentuan hukum syara’. Persetujuan kedua belah pihak yang merupakan suatu kesepakatan haruslah diberikan secara bebas atau adanya kerelaan dari masing-masing pihak. Dalam Hukum Perjanjian ada tiga sebab yang membuat persetujuan tadi menjadi tidak bebas yaitu tiga hal: paksaan, kekhilafan dan penipuan.70 Sedangkan dalam ilmu fikih Islam terdapat empat hal perusak keadaan saling rela, yaitu: 1. 2. 3. 4.
Paksaan Kekhilafan Penipuan;dan Adanya ketidaksetaraan nilai tukar yang menyolok antara dua barang yang dipertukarkan karena adanya perdayaan atau tipuan (al-Ghubn al-Fahisy ma’a al-Taghrir)71 Penipuan (Tadlis) adalah penyesatan dengan sengaja oleh salah satu pihak
yang tidak diketahui oleh pihak mitra janji (unknown to one party) dengan memberikan keterangan-keterangan palsu disertai dengan tipu muslihat untuk membujuk pihak mitra janjinya agar memberikan perizinannya di mana jelas bahwa
70
Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 1998), hal: 23 Muhammad dan Alimin, Etika dan Perlindungan Konsumen Dalam Ekonomi Islam, (Yogyakarta: BPFE, 2004), hal: 174 71
Universitas Sumatera Utara
47
kalau tidak karena tipu muslihat itu dia tidak telah membuat perikatan bersangkutan atau paling tidak, tidak dengan syarat yang telah disetujuinya.72 Menurut Abdul Halim Mahmud al-Ba’ly, yang dimaksud dengan penipuan (tadlis) adalah suatu upaya untuk menyembunyikan cacat pada objek kontrak dan menjelaskan dengan gambaran yang tidak sesuai dengan kenyataannya untuk menyesatkan pihak yang berakad dan berakibatkan merugikan salah satu pihak yang berakad tersebut. Lebih lanjut Abdul Halim al-Ba’ly menjelaskan bahwa penipuan (tadlis) ada tiga macam yakni73: 1. Penipuan yang bentuk perbuatan yaitu menyebutkan sifat yang tidak nyata pada objek kontrak/akad; 2. Penipuan yang berupa ucapan, seperti berbohong yang dilakukan oleh salah seorang yang berakad untuk mendorong agar pihak lain mau melakukan kontrak. Penipuan juga dapat terjadi pada harga barang yang dijual dengan menipu memberi penjelasan yang menyesatkan; 3. Penipuan dengan menyembunyikan cacat pada objek kontrak, padahal ia sudah mengetahui kecacatan tersebut. Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia juga melarang kontrak yang dilakukan dengan penipuan dan tipu muslihat. Semua akad (kontrak) yang dilakukan dengan penipuan dan tipu muslihat, maka akad (kontrak) tersebut dianggap tidak ada. Penipuan itu harus berupa “muslihat licik” (kunstgrypen), sehingga sesuatu yang tidak benar terkesan merupakan gambaran keadaan yang sesungguhnya pada objek kontrak yang dilakukan. Suatu penipuan dan tipu muslihat apabila hal itu merupakan kebohongan yang diatur rapi dan harus dilihat dari orang yang ditipu. Jadi harus dilihat segala aspek timbulnya penipuan dan tipu muslihat itu.74 72
Syamsul Anwar, Op. cit., hal: 168 Abdul Manan, Op. Cit., hal: 94-95 74 Ibid, hal: 95 73
Universitas Sumatera Utara
48
Sehubungan dengan hal tersebut, Yahya Harahap75 mengatakan bahwa antara salah sangka (dwaling) dengan penipuan (bedrog) hampir bersamaan dalam perwujudannya. Sangat sulit untuk membedakan keduanya. Perbedaan keduanya hanya dapat diketahui pada unsur “kesengajaan”. Pada penipuan, pada diri yang melakukan penipuan terdapat unsur “sengaja” yaitu sengaja mengatur kebohongan yang teratur rapi, sehingga memberi kesan yang benar bagi pihak lain. Adapun pada salah sangka (dwaling) tidak ada unsur kesengajaan untuk memberi tanggapan salah sangka pada pihak lain. Dalam kaitan ini, para hakim harus berhati-hati dalam menentukan tentang penipuan dan tipu muslihat ini, sebab apabila salah dalam menilai tentang wujud dari penipuan ini, maka salah pula dalam menetapkan hukum. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa unsur-unsur penipuan dalam Hukum Perjanjian Islam adalah:76 1. Penyesatan sebagai tindakan mengelabui dengan kesengajaan yang tidak diketahui oleh pihak mitra akad/janji (unknown to one party) dengan perkataan atau perbuatan. 2. Adanya tipu muslihat 3. Adanya kebohongan. 4. Menyembunyikan keterangan. Dasar pelarangan penipuan dalam perjanjian menurut hukum Islam adalah Hadis Nabi yang berbunyi: “Dari Abu Hurairah, ia mengatakan: rasulullah SAW pernah lewat ada seseorang
75 76
yang
sedang
menjual
bahan
makanan,
lalu
Rasulullah
Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, (Bandung: Alumni, 1996), hal: 26 Syamsul Anwar, Op. Cit., hal:169
Universitas Sumatera Utara
49
memasukkan tangannya ke dalam bahan makanan itu. Maka Rasulullah Saw bersabda, :”Tidak termasuk golongan kami orang yang menipu”.77 Dalam Hadis lain dinyatakan: “Dari “Abdullah Ibn Dinar, ia mengatakan: Pernah seorang laki-laki menerangkan kepada Rasulullah Saw bahwa ia ditipu dalam jual-beli lalu Rasulullah Saw mengatakan:”Barangsiapa yang engkau melakukan jual-beli dengannya, maka katakan: “ Tidak ada penipuan.”78 Penipuan yang mengandung tipu muslihat dalam hukum Islam dikenal dengan istilah penipuan dengan perbuatan (at-tagrir al-fi’li), yaitu suatu penipuan melalui perbuatan yang dilakukan oleh salah satu pihak untuk menyesatkan pihak lain dan mendorongnya untuk menutup perjanjian dengan ketidakseimbangan prestasi, sekalipun ketiadaan keseimbangan prestasi itu kecil. Hal ini dapat dilihat dalam Hadist Nabi yang terdapat contoh mengenai kasus perbuatan tipu muslihat ini, yaitu larangan menahan air susu binatang (unta, sapi atau kambing) untuk memperlihatkan bahwa binatang tersebut banyak susunya pada saat dilihat oleh pembeli sehingga ia terdorong untuk membelinya. Menurut Hadis tersebut, apabila seseorang tertipu dengan cara demikian, ia memiliki hak khiyar pengembalian (khiyar a-rad), dengan arti ia dapat membatalkannya, tetapi apabila ia menerimanya dengan rela, maka akad semacam itu sah. E. Kriteria Akad Yang Mengandung Unsur Penipuan Penipuan yang mengandung tipu muslihat dalam hukum Islam dikenal dengan istilah penipuan dengan perbuatan (at-tagrir al-fi’li), yaitu suatu penipuan melalui 77 78
Ibid Ibid, hal: 170
Universitas Sumatera Utara
50
perbuatan yang dilakukan oleh salah satu pihak untuk menyesatkan pihak lain dan mendorongnya untuk menutup perjanjian dengan ketidakseimbangan prestasi, sekalipun ketiadaan keseimbangan prestasi itu kecil. Disamping penipuan dengan perbuatan tipu muslihat yang disebut at-tagrir al-fi’li hukum Islam mengenal pula penipuan dengan bohong tanpa perbuatan tipu muslihat, yang dikenal dengan istilah at-tagrir al-qauli (penipuan dengan perkataan). Hanya saja penipuan dengan perkataan atau dengan bohong (at-tagrir al-qauli) ini berbeda dengan dari penipuan dengan perbuatan (at-tagrir al- fi’li) dimana yang terakhir ini penipuan ada bila terjadi perbuatan tipu muslihat tanpa melihat apakah penipuan itu mengakibatkan pihak tertipu mengalami ketidakseimbangan prestasi yang menyolok (al-gabn al-fahisy) atau tidak. Sedangkan dalam penipuan dengan bohong (at-tagrir al-qauli), penipuan baru ada apabila terjadi ketidak seimbangan yang prestasi yang menyolok. Penipuan dengan bohong ini dalam hukum Islam mempunyai perbedaan pemberlakuannya antara wilayah perjanjian amanah dan wilayah di luar perjanjian amanah. Di luar perjanjian amanah, para ahli hukum Islam tidak memperoleh kesepakatan tentang kedudukan penipuan dengan bohong sebagai suatu cacat kehendak yang dapat menjadi alasan pembatalan perjanjian (akad) 79.
Seperti yang telah disebutkan diatas bahwa wilayah utama berlakunya terhadap adanya kebohongan membatalkan
perjanjian
adalah
tersebut sebagai suatu penipuan yang dapat apa
yang
dinamakan
perjanjian
amanah
(kepercayaan). Akad (perjanjian) kepercayaan (amanah) ini terdapat dalam akad jual beli yang dalam Hukum Islam dikenal dengan nama buyu’ al-amanah (jual beli kepercayaan), yaitu suatu bentuk jual-beli di mana pembeli diberitahu secara jujur oleh penjual mengenai harga pokok barang dan cara ia memperolehnya apakah melalui pembelian utang atau tunai atau sebagai penggantian dalam kasus perdamaian. Dengan demikian, pembeli mengetahui besarnya keuntungan yang diambil oleh penjual. Adanya bentuk jual-beli jenis ini dimaksudkan untuk 79
Ibid, hal: 172
Universitas Sumatera Utara
51
mempertegas penerapan nilai-nilai etika bisnis Islam yang menghendaki adanya kejujuran sedemikian rupa dalam transaksi serta tidak membenarkan adanya penipuan dalam bentuk apa pun, sehingga suatu kebohongan semata dianggap sebagai pengkhianatan dan penipuan yang berakibat dapat dibatalkannya transaksi tersebut. Bentuk jual beli ini bertujuan untuk melindungi orang yang tidak berpengalaman dan kurang informasi dalam transaksi, sehingga dengan demikian ia terlindungi dari penipuan. Disebut jual-beli amanah (kepercayaan), karena pembeli bersandar kepada kejujuran si penjual semata tentang informasi harga barang yang dibelinya.80 Disini penjual dituntut untuk berlaku sejujurnya dalam menjelaskan harga asli barang karena pengetahuan tentang harga pokok (asli) ini menjadi dasar ditutupnya perjanjian. Oleh karena itu, apabila penjual berbohong dengan memberikan informasi yang tidak benar (yang dalam hal ini disebut sebagai suatu pengkhianatan), kemudian diketahui oleh si pembeli, maka semata bohong si penjual dalam kasus ini memberikan khiyar kepada pembeli untuk meneruskan atau membatalkan jual-beli. Begitu juga ketika menyembunyikan keterangan dimana diam dalam arti menyembunyikan keterangan dan tidak menjelaskannya kepada pihak mitra janji dalam hukum Islam juga dianggap sebagai penipuan dalam beberapa hal. Telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya bahwa adanya tipu muslihat, kebohongan dan menyembunyikan keterangan dalam hukum Perjanjian Islam merupakan unsur-unsur
80
Asy-Syirazi, al-Muhazdzab (Mesir:’has al-Babi al- Halabi, t.t.), I:292 dalam Syamsul Anwar, Op. Cit., hal:173
Universitas Sumatera Utara
52
dari penipuan. Hal ini juga yang menjadi kriteria dari akad yang mengandung penipuan itu. Dalam ilmu hukum, penipuan ini dikenal dengan misrepresentation yaitu dimana terjadi ketidaksesuaian diakibatkan terjadinya pemahaman yang keliru dari pihak yang menerima penawaran (representee) akibat penyampaian atau penyajian fakta yang keliru dari pihak yang memberi penawaran perihal informasi melalui representasi yang diminta lawannya bernegoisasi.81 Sedangkan dapat kita lihat bahwa suatu akad (perjanjian) dalam hukum Islam memiliki asas-asas yang terdiri dari 82: 1. Asas Ibahah (Mabda’ al-ibhah) Asas Ibahah adalah asas umum hukum Islam dalam bidang muamalat secara umum. Asas ini dirumuskan dalam adagium “Pada asasnya segala sesuatu itu boleh dilakukan sampai ada dalil yang melarangnya”. Asas ini merupakan kebalikan dari asas yang berlaku dalam masalah ibadah. Dalam hukum Islam, untuk tindakan-tindakan ibadah berlaku asas bahwa bentuk-bentuk ibadah yang sah adalah bentuk-bentuk yang disebutkan dalam dalil-dalil Syariah. Orang tidak dapat membuat-buat bentuk baru ibadah yang tidak pernah ditentukan oleh Nabi Saw. Bentuk-bentuk baru ibadah yang dibuat tanpa pernah diajarkan oleh Nabi Saw itu disebut Bid’ah dan tidak sah hukumnya. Sebaliknya dalam tindakan-tindakan muamalat berlaku asas sebaliknya, yaitu bahwa segala sesuatu itu sah dilakukan sepanjang tidak ada larangan tegas atas tindakan itu. Bila dikaitkan dengan tindakan hukum dan perjanjian apapun dapat dibuat sejauh tidak ada larangan khusus mengenai perjanjian tersebut. 2. Asas Kebebasan Berakad ( Mabda’ Hurriyah at Ta’aqud) Asas ini merupakan prinsip dasar dalam hukum perjanjian Islam, dalam artian para pihak bebas membuat suatu perjanjian atau akad (freedom of making contract). Bebas dalam menentukan objek perjanjian, serta bebas menentukan bagaimana cara menentukan penyelesaian sengketa jika terjadi dikemudian hari. Asas kebebasan berkontrak di dalam hukum Islam dibatasi oleh ketentuan syariah Islam. Dalam membuat perjanjian ini tidak boleh ada unsur 81 82
Syahril Sofyan, Op. Cit., hal:13 Syamsul Anwar, Op. Cit., hal: 83
Universitas Sumatera Utara
53
paksaan, kekhilafan, dan penipuan. Dasar hukum mengenai asas ini tertuang dalam Al-Quran Surat Al-Baqarah ayat 256, yang artinya seagai berikut:83 “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari pada jalan yang sesat,,,” Adanya kata-kata tidak ada paksaan ini, berarti Islam menghendaki dalam hal perbuatan apapun harus didasari oleh kebebasan untuk bertindak, sepanjang itu benar dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai syari’ah. 3. Asas Konsensualisme ( Mabda’ar-Radha’iyyah) Asas Konsensualisme menyatakan bahwa untuk terciptanya suatu perjanjian cukup dengan tercapainya kata sepakat antara para pihak tanpa perlu dipenuhinya formalitas-formalitas tertentu. Dalam hukum Islam pada umumnya perjanjian-perjanjian itu bersifat konsensual. Para ahli hukum Islam biasanya menyimpulkan asas konsensualisme dari dalil-dalil hukum berikut: a. Firman Allah:” Wahai orang-orang beriman, janganlah kamu makan harta sesamamu dengan jalan batil,¸kecuali (jika makan harta sesama itu dilakukan) dengan cara tukar–tukar berdasarkan perizinan timbal balik (kata sepakat) di antara kamu “.84 b. Firman Allah, “Kemudian jika mereka menyerahkan kepadamu sebagian dari mas kawin itu atas dasar senang hati (perizinan, consent), maka makanlah (ambillah) pemberian itu sebagai suatu yang sedap lagi baik akibatnya”85 c. Sabda Nabi Saw,” Sesungguhnya jual beli itu berdasarkan kata sepakat”[Hadis riwayat Ibn Hibban dan Ibn Majah]. d. Kaidah hukum Islam, pada asas perjanjian (akad) itu adalah kesepakatan para pihak dan akibat hukumnya adalah apa yang mereka tetapkan melalui janji. 4. Asas Janji itu Mengikat Dalam Al-Quran dan Hadis terdapat banyak perintah agar memenuhi janji. Dalam kaidah usul fiqh, “perintah itu pada asasnya menunjukkan wajib”. Ini berarti bahwa janji itu mengikat dan wajib dipenuhi. Diantara ayat dan hadis dimaksud86 adalah: a. Firman Allah Swt, “…dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu akan dimintakan pertanggungjawabannya”87 b. Dasar dari Ibn Mas’ud, janji itu adalah hutang. 5. Asas Keseimbangan (Mabda’ at-Tawazun fi al – Mu’awadhah) Meskipun secara faktual jarang terjadi keseimbangan antara para pihak dalam bertransaksi, namun hukum perjanjian Islam tetap menekankan perlunya 83
Al-Quran, Surat Al-Baqarah ayat 256 Al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 29 85 Ibid, ayat 4 86 Syamsul Anwar., Op.Cit., hal: 89 87 Al-Qur’an Surat Al-Isra ayat 34 84
Universitas Sumatera Utara
54
keseimbangan itu, baik keseimbangan antara apa yang diberikan dan apa yang diterima maupun keseimbangan dalam memikul resiko. Asas keseimbangan dalam transaksi (antara apa yang diberikan dengan apa yang diterima) tercermin pada dibatalkannya suatu akad yang mengalami ketidakseimbangan prestasi yang mencolok. Asas keseimbangan dalam memikul resiko tercermin dalam larangan terhadap transaksi riba, dimana dalam konsep riba hanya debitur yang memikul segala resiko atas kerugian usaha, sementara kreditor bebas sama sekali dan harus mendapat prosentase tertentu sekalipun pada saat dananya mengalami kembalian negatif. 6. Asas Kemaslahatan (Tidak Memberatkan) Dengan adanya kemaslahatan dimaksudkan bahwa akad yang dibuat oleh para pihak bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi mereka dan tidak boleh menimbulkan kerugian (mudharat) atau keadaan memberatkan (masyaqqah). Apabila dalam pelaksanaan akad terjadi suatu perubahan keadaan yang tidak dapat diketahui sebelumnya serta membawa kerugian yang fatal bagi pihak bersangkutan sehingga memberatkkannya, maka kewajibannya dapat diubah dan disesuaikan kepada batas yang masuk akal. 7. Asas Amanah Dengan asas amanah dimaksudkan bahwa masing-masing pihak haruslah beritikad baik dalam bertransaksi dengan pihak lainnya dan tidak dibenarkan salah satu pihak mengeksploitasi ketidaktahuan mitranya. Dalam kehidupan masa kini banyak sekali objek transaksi yang dihasilkan oleh satu pihak melalui suatu keahlian yang amat spesialis dan profesionalisme yang tinggi sehingga ketika ditransaksikan, pihak lain yang menjadi mitra transaksi tidak banyak mengetahui seluk beluknya. Oleh karena itu, ia sangat bergantung kepada pihak yang menguasainya. Begitupun dalam hukum Islam, terdapat suatu bentuk perjanjian yang disebutkan perjanjian amanah, salah satu pihak hanya bergantung kepada informasi jujur dari pihak lainnya untuk mengambil keputusan untuk menutup perjanjian bersangkutan. Diantara ketentuannya, adalah bahwa bohong atau penyembunyian informasi yng semestinya disampaikan dapat menjadi alasan pembatalan akad bila dikemudian hari ternyata informasi itu tidak benar yang telah mendorong pihak lain untuk menutup perjanjian. Contoh paling sederhana dalam hukum Islam adalah akad murabahah, yang merupakan salah satu bentuk akad amanah. Pada zaman sekarang wilayah akad amanah tidak hanya dibatasi pada akad seperti murabahahh, tetapi juga meluas ke dalam akad takaful (asuransi) bahkan juga banyak akad yang pengetahuan mengenai objeknya hanya dikuasai oleh salah satu pihak saja. 8. Asas keadilan. Keadilan adalah tujuan yang hendak diwujudkan oleh semua hukum. Dalam hukum Islam, keadilan langsung merupakan perintah Al-Quran yang menegaskan, “berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa”[QS. 5:8]. Keadilan merupakan sendi setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak.
Universitas Sumatera Utara
55
Sering kali di zaman modern akad ditutup oleh satu pihak dengan pihak lain tanpa memilki kesempatan untuk melakukan negoisasi mengenai klausul akad tersebut, karena klausul akad itu telah dibakukan oleh pihak lain. Sehingga tidak mustahil bahwa dalam pelaksanaannya akan timbul kerugian kepada pihak yang menerima syarat baku itu karena didorong kebutuhan. Dalam hukum Islam kontemporer telah diterima suatu asas bahwa demi keadilan syarat baku itu dapat diubah oleh pengadilan apabila memang ada alasan untuk itu. Asasnya adalah bahwa akad, seperti dikemukakan terdahulu, wajib dilaksanakan dalam semua kandungannya. Dan juga harus memuat asas-asas yang tersebut diatas. Namun terdapat perjanjian di mana salah satu pihak tidak dapat membuat penawaran karena klausul perjanjian itu telah dibakukan sedemikian rupa, dan pihak tersebut tidak punya pilihan kecuali menerimanya. Inilah yang terjadi dengan apa yang disebut dengan akad baku (‘aqd al-is’an) atau pun kontrak baku. Tidak mustahil terjadi kemungkinan bahwa klausul akad tersebut kemudian ternyata sangat memberatkan pihak yang menerimanya, tanpa dapat menawar. Bagaimana pihak tersebut harus melaksanakannya? Perjanjian baku adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh dua pihak di mana salah satu pihak menstandarkan klausul-klausulnya kepada pihak lain yang tidak mempunyai kebebasan untuk melakukan tawar menawar dan tidak mempunyai pilihan kecuali menerimanya. Dan mengenai penanda-tanganannya, meskipun si penanda-tangan tak membacanya, ia dianggap telah menyetujui isinya.88 Ciri yang menandai akad baku ini adalah adanya keterkaitan dengan penguasaan hajat orang banyak, adanya penguasaan yang luas oleh suatu pihak karena melibatkan ekonomi usaha besar yang tidak dapat dilakukan oleh semua 88
G. H. Treitel , Law of Contract, Eight Edition, Sweet & Maxwell, International Syudent Editions, London, 1991, dalam Syahril Sofyan, Op. Cit., hal: 244
Universitas Sumatera Utara
56
orang, dan penawarannya biasanya ditujukan kepada umum dengan klausul yang sama dan bersifat terus menerus dan biasanya tercetak serta detail dan tidak dapat ditawar-tawar.89 Secara praktikal kontrak baku ini sangat praktis dan ekonomis bagi para pelaku bisnis karena dapat disiapkan dengan waktu yang singkat bila kapan saja dibutuhkan ketika harus menghadapi kastemernya, akan tetapi patut juga dicermati dan diwaspadai bahwa dengan penanda-tanganan suatu akad baku ini telah menempatkan kedudukan sang kastemer dalam posisi yang lemah dan tidak seimbang dengan pelaku bisnis itu sendiri, padahal dari sudut pandang ekonomi pelaku bisnis itu berada dalam posisi sebagai pihak yang kuat dan yang menurut ajaran atau teori fidusia maupun filosofi bangsa kita tidak patut diperlakukan sewenang-wenang, karena hukum kontrak menentukan bahwa setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak dan perjanjian
itu harus
dilaksanakan dengan itikad baik90. Dilaksanakan dengan itikad baik bermakna bahwa itikad baik itu secara normatif harus ada sesudah sampai pada tahap kontrak baku tersebut telah ditandatangani oleh kedua belah pihak, padahal kalau kita perhatikan alam terkembang ini adalah sangat sulit diterima logika akal sehat suatu perjanjian akan dilaksanakan dengan itikad baik kalau ternyata didahului dengan hal-hal yang sukar dilihat itikadbaik dari pelaku bisnis yang menghindari tanggung jawab atau konsekwensi serta
89 90
Syamsul Anwar, Op. Cit., hal: 318-319 Syahril Sofyan, Op. Cit., hal: 242
Universitas Sumatera Utara
57
resiko kontrak yang sudah ada dalam kontrak baku yang telah ditandatangani. Pada titik ini terlihat upaya dari pelaku usaha itu untuk senantiasa mengelak atau menghindar dari kewajiban untuk tetap memenuhi tanggung-jawabnya sebagai pelaku bisnis menurut hukum, dan ini terlihat dengan dicantumkannya klausula-klausula dalam perjanjian atau kontrak baku itu yang memberikan posisi hukum yang lebih kuat kepada pelaku usaha daripada kastemernya dan sebagai konsekwensinya para kastemer senantiasa tak mendapatkan pelayanan dan perlindungan hukum yang mereka harapkan dari pelaku usaha itu.91 Tapi tidak dapat dipungkiri, keadaan dimana posisi kastemer yang lemah ketika dihadapi dengan akad baku memberi kesempatan kepada pembuat akad tersebut untuk melakukan penipuan dimana dengan sengaja dengan kehendak dan pengetahuan memunculkan kesesatan pada kastemer tersebut. Penipuan tersebut dikatakan terjadi
tidak saja bilamana suatu fakta tertentu dengan sengaja tidak
diungkapkan atau disembunyikan, tetapi juga suatu informasi keliru dengan sengaja diberikan ataupun terjadi dengan tipu daya lain demi tercapainya tertutupnya akad tersebut.92 Apabila dalam suatu perjanjian, kedudukan para pihak tidak seimbang, maka pihak lemah biasanya tidak berada dalam keadaan yang betul-betul bebas untuk menentukan apa yang diinginkan dalam perjanjian. Dalam hal demikian, pihak yang memiliki posisi lebih kuat biasanya menggunakan kesempatan tersebut untuk 91
Ibid, hal: 242-243. Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotarian, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2008), hal: 373 92
Universitas Sumatera Utara
58
menentukan klausula-klausula tertentu dalam kontrak baku, sehingga perjanjian yang seharusnya dibuat/dirancang oleh para pihak yang terlibat dalam perjanjian, tidak ditemukan lagi dalam perjanjian baku, karena format dan isi perjanjian dirancang oleh pihak yang kedudukannya lebih kuat. Oleh karena yang merancang format dan isi perjanjian adalah pihak yang memiliki kedudukan lebih kuat, maka dapat dipastikan bahwa perjanjian tersebut memuat klausula-klausula yang menguntungkan baginya atau meringankan/menghapuskan beban-beban/kewajiban-kewajiban tertentu yang seharusnya menjadi bebannya.93 Keadaan akad yang seperti ini dapat kita lihat pada Kasus antara PT. Bank Syariah Mandiri melawan PT. Atriumasta Sakti. Dimana kedua belah pihak telah sepakat dalam membuat akad pembiayaan murabahah No 53 tanggal 23 Februari 2005 dihadapan Efran Yuniarto, SH., Notaris di Jakarta. Permasalahan muncul disaat PT. Atriumasta Sakti merasa bahwa PT. Bank Syariah Mandiri telah cidera janji dengan tidak mengeluarkan pencairan dana tahap kedua seperti yang dijanjikan, selain itu ternyata pada akad murabahahnya, bentuk perjanjiannya ternyata mengambil konstruksi kredit modal kerja yang biasa digunakan pada bank kovensional,yang sudah pasti bertentangan dengan prinsip pembiayaan murabahah yang merupakan akad jual beli. Selain itu margin yang ditetapkan dalam perjanjian murabahah berupa ceiling price yang berubah-ubah secara tidak pasti (uncertain) tidak ditentukan secara lump sum pertahun tetapi ditetapkan dalam prosentase
93
Ahmadi Miru, Hukum Kontrak Bernuansa Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2012), hal: 58
Universitas Sumatera Utara
59
pertahun seperti halnya bunga pada perbankan konvensional yang menurut prinsip syariah adalah riba yang haram hukumnya. Tak hanya itu saja, tentang pembebanan bunga dalam surat sanggup/ promes yang sama artinya dengan riba, dan karenanya juga melanggar prinsip syariah. Dan terakhir akad pembiayaan No. 53 tersebut sekaligus merupakan akad transaksi jual beli antara pemasok dan bank, dan juga jual beli antara bank dengan nasabah yang hanya dibuat dalam satu akad saja, hal ini sudah tentu bertentangan dengan fatwa Dewan Syariah Nasional No.04/DSNMUI/IV/2000 tentang Murabahah. Dari kasus diatas jelas terlihat adanya unsur penipuan dalam akad murabahah yang jelas sekali dilarang oleh syariat Islam. Dimana pada akad murabahah yang dipakai adalah menggunakan standar pada perjanjian diperbankan konvensional, tetapi justru tidak berdasarkan prinsip perjanjian perbankan syariah seharusmya. Tidak hanya itu saja, terdapat ketidak pastian terhadap ceiling price yang diselalu berubah-ubah seperti halnya penerapan bunga pada bank konvensional dan menurut prinsip syariah ini dinamakan riba yang haram hukumnya. Selain itu dalam hal terdapatnya 2 (dua) akad dalam satu transaksi bersamaan, dimana hal ini juga sudah bertentangan dengan syariah Islam.94 Keadaan peristiwa diatas jelas terlihat sangat memberatkan pihak nasabah bahkan menimbulkan kerugian bagi dirinya. Maksud dari keadaan memberatkan disini dan dalam hukum perjanjian Syariah adalah suatu peristiwa luar biasa yang di
94
Adiwarman A. Karim, Bank Islam Analisi Fiqih dan Keuangan, ( Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006), hal: 94
Universitas Sumatera Utara
60
luar kemampuan para pihak dan yang terjadi secara tidak terduga sebelumnya, serta menyebabkan pelaksanaan isi perjanjian yang sangat memberatkan salah satu pihak dan menimbulkan kerugian yang fatal. Dalam hal ini bagi pihak yang dirugikan tersebut dapat melaksanakan opsi khiyar yang dimilikinya apakah akan membatalkan akad tersebut atau tetap meneruskannya Jika ia memilih untuk membatalkan kontrak itu haruslah mengajukan kepada pihak yang berwenang atau pengadilan. Oleh karena sebagai pihak yang ditipu, ia berhak melakukan pembatalkan akad tersebut Dengan demikian, akad (kontrak) yang dibuatnya tidak terlaksanakan sebagaimana mestinya, sebab ia sebagai pihak yang ditipu sudah menderita rugi dengan adanya kontrak tersebut. Penipuan tidak dipersangkakan, melainkan harus dibuktikan. Dengan kata lain, pihak tertipu, agar dapat meminta pembatalan perjanjian, harus membuktikan di depan hakim bahwa ia tidak telah menutup perjanjian bersangkutan, setidaknya tidak dengan syarat tersebut kalau tidak karena adanya penipuan yang dilakukan oleh pihak lawan janji.95
95
J. Satrio, Hukum Kontrak: Teori dan Tekhnik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), hal: 359
Universitas Sumatera Utara