BAB II KONSEP PINJAM-MEMINJAM UANG, KOPERASI DAN BUNGA
A. Pinjam meminjam uang 1. Pengertian pinjam-meminjam uang Pinjaman menurut etimologi adalah ( yang berarti datang dan pergi , atau (
) diambil dari kata (
)
) saling menukar dan mengganti
dalam tradisi pinjam-meminjam uang.1 Pinjam-meminjam menurut ahli fiqih adalah: transaksi antara dua pihak. Misalnya: orang menyerahkan uang (barang) kepada orang lain secara sukarela, dan uang (barang) itu dikembalikan lagi kepada pihak pertama dalam waktu yang berbeda, dengan hal yang serupa.2 Ariyah menurut bahasa adalah pinjaman 1. Menurut Hanafiyah, pinjaman adalah:
“Memiliki manfaat secara cuma-cuma ” 2. Menurut Malikiyah, pinjaman adalah:
“ Memiliki manfaat dalam waktu tertentu dengan tanpa imbalan ”
1 2
Dr. Rahmat Syafe’i, MA, Fiqh Muamalah, CV Pustaka Setia, Bandung, 2001, hlm. 139. Dr. Abu Sura’i Abdul Hadi MA, Bunga Bank dalam Islam, Al- Ikhlas, Surabaya, 1993, hlm. 125.
21
22
3. Menurut Syafi’iyah , pinjaman adalah:
'(
$
#)
$*+
!" # $
%&
$*+ , -.* “Kebolehan mengambil manfaat dari seseorang yang membebaskannya, mungkin untuk dimanfaatkan, tetapi barang yang di pinjamkan dapat dikembalikan kepada pemiliknya” 4. Menurut Hanabilah, pinjaman adalah:
-*/ * 0 #
*1 #
%&
“Kebolehan memanfaatkan suatu barang tanpa imbalan dari peminjam atau yang lainnya” 5. Ibnu Rif ’ah berpendapat bahwa yang dimaksud dengan pinjaman adalah:
-.*
'(
$
2)
$
%&
“Kebolehan mengambil manfaat suatu barang yang halal, serta zatnya dapat dikembalikan” 6. Menurut al-Mawardi yang dimaksud dengan pinjaman adalah:
+ “Memberikan manfaat-manfaat.3 Pinjam-meminjam bisa juga diartikan dengan, memberikan sesuatu yang halal kepada orang lain untuk diambil manfaatnya dengan tidak merusak barang (uang), agar dapat dikembalikan barang (uang) itu.4
3
Drs.H.Hendi Suhendi, M.Si, Fiqh Muamalah, PT Raja Grafindo Persada, hlm. 91-92. 4 Suwardi K Lubis, Hukum Ekonomi Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 200, hlm.126.
Jakarta, 2002,
23
Dari uraian diatas dapat difahami bahwa pinjam-meminjam merupakan perjanjian timbal balik antara dua pihak. Misalnya: A, memberikan barang (uang) kepada B, dengan ketentuan B, akan mengembalikan barang tersebut, sebagaimana barang yang diterimanya. Sedangkan pinjam-meminjam dalam undang-undang hukum perdata pasal 1740, dalam pasal tersebut dijelaskan, pinjam pakai adalah perjanjian dengan memberikan suatu barang kepada pihak lain untuk dipakai dan dimanfaatkan, dengan cuma-cuma, syaratnya setelah menerima dan memakai barang tersebut, dalam jangka waktu tertentu harus mengembalikannya. Definisi pinjam-meminjam adalah pengalihan kepemilikan barang (uang) dengan pergantian di kemudian hari, tanpa ada tambahan dari barang yang dipinjamkan.5 Dalam Islam pinjam-meminjam tidaklah dilarang bahkan dianjurkan, agar terjadi hubungan yang saling menguntungkan antara yang satu dengan yang lain.6 karena dengan adanya pinjam-meminjam
dapat mempererat
hubungan persaudaraan, dan orang dapat memenuhi kebutuhannya, juga usahanya. Dari pendapat di atas dapat difahami bahwa meskipun menggunakan redaksi yang berbeda, namun materi permasalahannya tentang pinjammeminjam sama. Jadi yang dimaksud dengan pinjaman adalah memberikan 5 6
hlm. 217.
Murtada Mutahari, Asuransi dan Riba, Pustaka Hidayat, Bandung, 1995, hlm. 67 M. Syfi’i Antonio, Bank Syari’ah Suatu Pengenalan Umum, EKONOSIA, Yogyakarta, 1999,
24
manfaat suatu barang dari seorang kepada orang lain secara cuma-cuma, bila digantikan dengan sesuatu maka tidak dapat disebut dengan pinjaman.
2. Hukum pinjam-meminjam Hukum
memberi
pinjam-meminjam
adalah
sunah,
karena
mengandung unsur kebaikan, yaitu menolong orang yang sedang kesusahan. Menolong orang yang sedang kesusahan sangat dianjurkan oleh agama. Seperti yang ada dalam hadist Rasululah SAW:
< # ;7 89 #
( = >*?#
3 ,: 4+ # *?
D80 - C B 6*A
3< @,
3 45 @ >*?#
6** , # *?#
#
3 *0 *0 , *0
Artinya: “Dari Abu Hurairah r.a dari Nabi SAW, beliau bersabda: ‘barang siapa melepaskan orang mukminin suatu kesempitan, yaitu kesempitan dunia, maka Allah akan melepaskannya dari suatu kesempitan pada hari qiyamat. Dan barang siapa yang memberi kemudahan atas kesukaran seseorang, maka Allah akan memudahkannya di dunia dan di akhirat’. (HR. Muslim)7 Pendapat yang sama tentang hukum pinjam-meminjam oleh Sayyid Sabiq, pinjam- meminjam adalah sunah, sebagaimana yang dikutip oleh Taqy al-Din, bahwa pinjam-meminjam hukumnya wajib ketika awal Islam. Adapun landasan hukumnya dalam nash al-Qur’an:
DF ;6@E C
7
hlm. 65.
Drs. H. Ibnu Mas’ud, Drs. H. Zainal Abidin S, Fiqh Madzhab Syafi’i, Pustaka Setia, Bandung,
25
Artinya: Dan tolong-menolonglah kamu untuk berbuat kebaikan dan taqwa dan janganlah kamu tolong-menolong untuk berbuat dosa dan permusuhan. (Q.S. al- Maidah: 2)8 3. Rukun dan syarat pinjam-meminjam Menurut Hanafiyah bahwa rukun pinjam-meminjam adalah , ijab dan qabul, ijab dan qabul tidak wajib diucapkan tetapi cukup dengan menyerahkan pemilik kepada peminjam, ijab qabul dari pinjam-meminjam cukup diucapkan.9 Adapun menurut golongan Syafi’iyah bahwa rukun pinjam-meminjam adalah: a. Kalimat meminjamkan (lafazh), seperti seorang berkata, saya pinjamkan benda ini kepadamu, dan yang menerima berkata, saya mengakku berhutang kepadamu. b. Mu’ir yaitu orang yang meminjamkan, dan Musta’ir yaitu orang yang menerima uang, syarat bagi yang meminjamkan adalah berhak menyerahkannya. Sedangkan syarat bagi pinjam-meminjam adalah: 1) Mu’ir berakal sehat, anak kecil dan orang gila tidak dapat meminjam kan barang (uang).
8 9
Drs. H. Hendi Suhendi, M.Si, op-cit, hlm93. Drs. H. Hendi Suhendi, M.Si, op-cit, hlm. 94.
26
2) Pemegangan barang oleh peminjam, karena pinjam-meminjam adalah transaksi dalam berbuat kebaikan. 3) Barang (must’ar), yang dapat dimanfaatkan, jika barang
yang
dipinjam tidak dimanfaatkan maka pinjam-meminjam tidak sah.10 B. Pengertian koperasi Koperasi adalah, kerja sama yang beranggotakan orang-orang maupun badan-badan, dimana ia memberikan kebebasan untuk keluar dan masuk sebagai anggota.11Kerja sama dalam koperasi ini dilaksanakan berdasarkan prinsip saling membutuhkan
dan
kesamaan
orang-orang,
yang
secara
bersama-sama
mengupayakan pemenuhan kebutuhan sehari-hari, baik yang dalam keperluan pribadi atau perusahaan. Untuk mencapai tujuan itu dalam koperasi dibutuhkan kerja sama yang dilakukan secara terus-menerus. Sedangkan menurut Undang-Undang Koperasi Nomor 25 pada tahun 1992, koperasi Indonesia adalah organisasi ekonomi rakyat yang berwatak sosial, dan beranggotakan orang-orang atau badan hukum, yang merupakan susunan ekonomi sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan. Sedangkan koperasi dalam prakteknya di bagi menjadi lima golongan yaitu: 1. Koperasi konsumsi 2. Koperasi simpan pinjam uang (koperasi kredit)
10
Dr. Rahmat Syfe’i, op-cit, hlm. 141. Pandji anoraga, SE, MM, H Djoko Sudantoko,S.Sos, MM, koperasi kewirausahaan dan usaha kecil, PT Rineka Cipta, Jakarta, hlm, 1 11
27
3. Koperasi produksi 4. Koperasi jasa 5. Koperasi serba usaha 1. Koperasi konsumsi Koperasi konsumsi adalah, koperasi yang meminjamkan barangbarang
yang di perlukan setiap hari. Misalnya: beras, gula, garam, dan
minyak kelapa.12 2. Koperasi simpan pinjam Koperasi simpan pinjam atau koperasi kredit adalah, usaha yang bergerak pada simpan pinjam uang. koperasi ini didirikan untuk memberi kesempatan kepada anggota-anggotanya memperoleh pinjaman dengan mudah dan murah. 3. Koperasi produksi Koperasi Produksi adalah, koperasi yang bergerak dalam bidang kegiatan ekonomi pembuatan dan penjualan barang-barang, baik yang dilakukan oleh koperasi sebagai organisasi maupun orang-orang (anggota) koperasi. Contohnya: koperasi peternakan sapi perah, koperasi tahu tempe, koperasi batik dan lain-lain.
12
Dra, Nanik Widiyanti, Sunindhia, S.H, Koperasi dan Perekonomiaan Indonesia,PT Rineka Cipta, Jakarta,1992, hlm. 49.
28
4. Koperasi jasa Koperasi jasa adalah, koperasi yang berusaha dibidang penyediaan jasa bagi para anggota dan masyarakat umum. Contohnya: Koperasi angkutan, Koperasi perencanaan, Koperasi Asuransi Indonesia dan lain-lain. 5. Koperasi serba usaha Koperasi serba usaha atau Koperasi Unit Desa (KUD), organisasi yang dibentuk untuk meningkatkan produksi dan kehidupan rakyat di daerah pedesaan. Koperasi Unit Desa bertujuan, mengembangkan ideologi dan kehidupan perkoperasian dan mengembangkan kesejahteraan anggota khususnya, kemampuan daya kreasi, untuk meningkatkan produksi dan penjualan. C. Bunga 1. Pengertian bunga Bunga
merupakan kompensasi yang di bayarkan kepada pemberi
pinjaman oleh peminjam atas keuntungan yang ia peroleh dari penggunaan uang tersebut. Dengan demikian bunga di tentukan oleh besarnya keuntungan yang tidak terkait dengan jumlah atau nilai pinjaman uang. Dan mereka menganggap bila mana banyak hal dapat di lakukan dengan menggunakan uang, banyak pula uang yang dapat di berikan untuk penggunaan tersebut 13.
13
hlm. 17.
Af Zalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam Jilid III, PT Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta, 1996,
29
Selanjutnya semua uang juga merupakan simpanan yang dapat di karyakan dan bertalian erat dengan semua nilai pekerjaan. Sedangkan bunga dalam buku Principles of Economics, adalah harga yang di bayarkan untuk pemakaian modal dalam pasar cenderung ke tingkat keseimbangan, sehingga permintaan akan modal seluruhnya dalam pasar menurut tingkat bunga tertentu, sama dengan pinjaman di peroleh pada tingkat bunga. Bilamana pasar yang di maksud kecil, misalnya: satu kota atau satu kegiatan dalam negara yang maju maka permintaan modal meningkat, di situ akan langsung bertemu dengan penawaran yang meningkat dari daerah atau usaha sekitarnya. Akan tetapi bila kita memandang negara besar sebagai pasar modal, maka kita tidak dapat melihat penawaran yang agregat berubah cepat, dan banyak perubahan dalam tingkat bunga, sebab modal umum adalah, produk dari bekerja dan menunggu, dan pekerjaan tambahan serta menunggu tambahan, yang akan terangsang oleh peningkatan tingkat bunga. Tidak akan segera berjumlah besar bilamana dibandingkan dengan pekerjaan dan menunggu, hasil persediaan modal total ada penambahan, permintaan modal yang luas pada umumnya, karena itu akan bertemu selama waktu tertentu bukan dengan peningkatan permintaan, melainkan dengan peningkatan tingkat bunga14. Tetapi ada juga pendapat yang
mengatakan
bahwa
bunga
adalah
imbalan
untuk
menunggu
sebagaimana adanya, daripada melihat sebagai imbalan karena tidak
14
John Mainerd Keynes, Teori umum mengenai kesempatan kerja, Bunga dan Uang, Gajahmada University Pres, hlm. 173-174.
30
menyimpan, sama halnya dengan tingkat-tingkat hasil pinjaman yang menyangkut derajat resiko yang berbeda-beda. Sewajarnya di pandang bukan sebagai imbalan untuk menunggu. Karena kesemuanya itu adalah imbalan bagi resiko yang di tanggung dalam menghadapi salah satu jenis ketidaktentuan.15 Sedangkan secara leksikal, bunga adalah tanggungan pada pinjaman uang yang dihitung dari prosentase uang yang di pinjamkan. Pendapat lain menyatakan bunga yaitu: sejumlah uang yang di bayarkan atau di kalkulasikan untuk penggunaan modal tersebut, misalnya dinyatakan dengan satu tingkatan prosentase modal yang bersangkut-paut dengan suku bunga modal 16. Sedangkan dalam ilmu ekonomi bunga uang timbul dengan sejumlah uang pokoknya, yang lazim di sebut dengan istilah kapital atau modal berupa uang. Dalam dunia ekonomi bunga uang lazim pula disebut dengan istilah rente. Kebanyakan orang menganggap bahwa bunga itu sebagai harga yang di bayarkan untuk penggunaan modal uang. Sedangkan menurut Goed Hart bunga uang atau rente adalah perbedaan nilai yang tergantung pada perbedaan waktu, berdasarkan atas perhitungan ekonomi. Menurut Tohar Ibrahim bunga uang atau interes adalah harga daripada alat produksi modal. Menurut Hermanes, bunga uang adalah
15
John Mainerd Keynes, Ibid., hlm. 169. Editor Anas Hidayat dan Sabirin Malian, Lembaga-Lembaga Keuangan Umat Kontemporer, UII Press Yogyakarta, 2000, hlm. 146-147. 16
31
pendapatan yang di terima oleh pemilik kapital uang karena ia meminjamkan uangnya kepada orang lain, tentu pemilik kapital uang dapat juga menggunakan uang itu dalam perusahaannya sendiri. Pemilik kapital uang ini sudah tentu tak akan menerima bunga, akan tetapi bunga yang tidak di terima itu diperhitungkan dalam biaya produksi. Perhitungan itu dapat didasarkan pada bunga yang umum berlaku, jadi bunga itu tidak lain daripada harga yang di bayarkan untuk menggunakan kapital uang,
17
karena bunga itu
berdasarkan milik orang atas kapital uang. Maka bunga itulah disebut pendapatan milik. Jika kita lihat modal yang dipinjam kepada perusahaan, maka modalnya akan dihitung dengan barang-barang material (bahan-bahan baku) yang digunakan untuk produksi barang dan jasa. Maka bunga sebagai harga yang di bayarkan untuk biaya produksi, disini timbul ketidakjelasan karena modal digunakannya secara konvensional. Memang bahwa uang membeli barang baik barang-barang produktif maupun barang-barang konsumtif (sebaliknya barang membeli uang), tetapi benar bahwa uang mambeli buruh dan tanah sekaligus, bila kita identifikasikan sewa dengan bunga uang, karena uang membeli mesin-mesin maka dengan analogi yang sama seharusnya kita mengidentifikasikan bunga dengan tingkat upah dan sewa tanah.18 Sedangkan sewa menurut Ricardo adalah bagian hasil yang di bayarkan untuk penggunaan kekayaan dan tak dapat rusak, atau disebut 17
hlm. 18-19.
Drs. A. Sabirin, Bunga Uang dan Riba Dalam Hukum Islam, Pustaka Al Husna, Jakarta, 1984,
32
surplus diferential. Kalau dipandang dari hukum Islam pembayaran sewa tidaklah bertentangan dengan etika ekonomi Islam, tetapi sepintas baik sewa maupun bunga kelihatan satu dan sama, karena sewa adalah harta yang di bayarkan atas peminjaman benda, sedangkan bunga di bayarkan atas modal.19 Modal itu mempunyai potensi untuk dialihkan menjadi harta benda atau kekayaan apa saja. Teori abstinence menganggap bunga adalah sejumlah uang yang diberikan kepada seseorang, karena yang memberi pinjaman telah menahan keinginannya memanfaatkan uangnya sendiri, semata-mata untuk memenuhi keinginan peminjam. Teori produktif konsumtif menganggap setiap uang yang dipinjamkan akan membawa keuntungan bagi orang yang dipinjaminya, jadi setiap uang baik pinjaman produktif maupun konsumtif pasti menambah keuntungan bagi peminjam. Teori opportunity menganggap bahwa dengan meminjamkan uangnya berarti pemberi pinjaman menunggu atau menahan diri untuk tidak menggunakan modalnya sendiri,20 yang dapat menghasilkan keuntungan.
18
Dr. Monzer Kalf, Ekonomi Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1995, hlm. 91-92.
19
Moh. Abdul Manan., Ekonomi Islam Teori dan Praktek, PT Inter Masa, 1992, hlm. 114-115. Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah, CV Adi Putra, Yogyakarta, 2002,
20
hlm. 8-10.
33
Dalam praktek bunga merupakan keuntungan yang diperoleh pihak bank karena jasanya telah meminjamkan uang untuk memperlancar kegiatan usaha perusahaannya.21 2. Hukum bunga Banyak tanggapan dan pandangan dari para ulama dan ahli fiqh baik klasik maupun kontemporer tentang apakah bunga bank sama dengan riba atau tidak. Salah satu madzhab pemikiran percaya bahwa riba bukan bunga, sementara madzhab pemikiran lain merasa bahwa sebenarnya tidak ada perbedaan antara bunga dan riba. Untuk mendapat jawaban mengenai
apakah bunga itu hukumnya
sama dengan riba, kita harus tahu arti riba dalam perspektif sejarahnya yang tepat. Arti bebas riba adalah tambahan atau pertumbuhan, namun arti ini tidak penting dalam penelitian ini karena setiap pertambahan dari pertumbuhan perdagangan dalam industri tidaklah dilarang. Tetapi digunakannya kata al di depan riba dalam al-Qur’an menunjukan kenyataan bahwa al dalam riba mengacu pada perbuatan mengambil sejumlah uang yang berasal dari seorang yang berhutang secara berlebihan,22kadang dengan unsur paksaan dan tekanan. Sedangkan bunga menurut sebagian orang boleh diambil karena nilai kelebihannya tidak terlalu tinggi dan tidak ada unsur paksaan.
21 22
Suhnawardi K. Lubis, Hukum Ekonomi Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 2000, hlm. 27. Moh Abdulmanan, op. cit., hlm. 118-119.
34
Yang menjadi permasalahan adalah, apakah bunga sama dengan riba. Memang masalah ini sangat menarik untuk dibahas. Dalam buku pedoman akuntansi syari’ah terdapat berbagai pendapat mengenai hal ini. Pendapat pertama mengatakan bahwa bunga tidak identik dengan riba sehingga bunga di bolehkan (halal). Pendapat kedua beranggapan bahwa bunga belum jelas kedudukannya sehingga bunga diletakkan sebagai sesuatu yang mutasyabihat (sebaiknya jangan dikerjakan). Dan pendapat ketiga mengatakan bahwa bunga identik dengan riba, sehingga hukumnya haram.23Namun dari pendapat-pendapat ini belum ada satupun yang mendasarkan pada dalil yang jelas dan kuat. Beberapa ahli hukum Islam berpendapat bahwa pungutan bunga nyatalah yang harus diharamkan, sedangkan suku bunga nominal yang mengimbangi laju inflasi tidak diharamkan. Bila suku bunga nominal itu tidak mengimbangi laju inflasi maka hal ini berarti pada hakekatnya pihak penabung memberi subsidi kepada pihak yang berhutang.24Abu Sura’i berpendapat bahwa baik bunga bagi pinjaman konsumtif maupun pinjaman modal produktif adalah riba, jadi hukumnya sama.25 Sebelum lebih jauh berbicara tentang hukum bunga apakah sama dengan riba, bisa dilihat lebih dahulu dampak dari bunga karena penciptaan 23
Hartono Widodo, PAS (Pedoman Akuntansi Syari’ah) Panduan Praktis BMT, Mizan, Bandung, 1999, hlm. 44. 24 J.T. Salim, Alih Bahasa, Bisnis Menurut Islam Teori dan Praktek, PT Inter Masa, Jakarta, 1988, hlm. 42-43. 25 M. Rusli Karim, Berbagai Aspek Ekonomi Islam, PT Tiara Wacana dan P3EI UII, Yogyakarta, 1992, hlm. 121-122.
35
kredit oleh bank-bank. Kemampuan bank menciptakan kredit tidak tergantung pada syarat-syarat untuk memperluas kemampuannya, karena kemampuan ini tergantung
pada
kebiasaan
masyarakat
yang
menyimpan
sebagian
pendapatannya dalam bentuk uang tunai, dan menyimpan kelebihannya di bank. Bagaimanapun juga bunga itu sangat menentukan untuk tujuan-tujuan kredit serta penawaran dan permintaan. Jika bunga tidak ada, dengan asumsi bahwa dengan pemenuhan pinjaman bebas bunga tidak dapat menjadi suatu usaha bank yang utama sebagai perusahaan pencari laba pinjaman. Pinjaman bank hanya dapat dilakukan untuk kegiatan perusahaan produktif. Kredit hanya
diciptakan
sepanjang
ada
kemungkinan
untuk
menciptakan
kesejahteraan masyarakat melalui perusahaan produktif.26 Beberapa pendapat atau fatwa juga dikeluarkan oleh para tokoh Islam. Imam Akbar Syekh Mahmud Syahut, berpendapat bahwa pinjaman berbunga dibolehkan bila sangat dibutuhkan. Fatwa ini muncul tatkala beliau ditanya tentang kredit yang berbunga dan kredit suatu negara dari negara lain atau perorangan serta tentang saham dan surat-surat berharga. Beliau menjawab ketika al-Qur’an melarang orang-orang mukminin melakukan transaksi dengan riba, yang pengertiannya telah dibatasi oleh kebiasaan masa turunnya al-Qur’an yaitu seorang berhutang kepada orang lain kemudian setelah jatuh tempo debitur mengatakan kepada kreditur, berikanlah perpanjangan waktu kredit kepadaku maka aku akan tambah bunganya, lalu kedua orang itu
26
Moh. Najetulah Sidiqi, Isues In Islamic Banking, The Islamic Faundation London, London, 1403H/1983M, hlm. 66.
36
melakukannya. Inilah yang dinamakan riba berganda. Kemudian Allah melarang hal semacam ini dalam Islam. Biasanya terjadinya riba semacam ini antara sifakir dengan sikaya yang memanfaatkan kesempitan orang dengan tidak
meperdulikan
sendi-sendi
kasih
sayang
yang
menjadi
dasar
pembangunan masyarakat dalam Islam. Pendapat yang kedua yaitu pendapat Syekh Rasyid Ridla. Beliau membenarkan kaum muslimin mengambil bunga dari penduduk negeri kafir. Menurut ketentuan asal syari’at, harta penduduk negeri kafir Harbi boleh diambil oleh pihak yang menguasainya. Sebabnya adalah kezaliman sikafir Harbi membahayakan orang muslim. Pendapat lain yang dikemukakan oleh Rasid Ridla berkenan dengan pinjaman uang untuk investasi sehubungan dengan itu setelah mengadakan analisis terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara tentang riba (bunga) menyebutkan bahwa tidak termasuk dalam pengertian riba jika seseorang memberikan kepada orang lain harta (uang) untuk di investasikan sambil menetapkan kadar tertentu (prosentase) baginya dari hasil usaha tersebut. Karena transaksi ini menguntungkan bagi pengelola dan bagi pemilik harta, sedangkan riba yang diharamkan merugikan salah seorang tanpa sebab kecuali keterpaksaannya. Pendapat yang ketiga dikemukakan oleh Az-Zarka, seorang guru besar hukum Islam di Universitas Aman Yordania. Beliau pendapat sama dengan Abdul Hamid Hakim yaitu riba fadl dibolehkan tetapi bersifat sementara, artinya umat Islam harus berupaya untuk mencari jalan keluar dari sistem bank konvensional, dengan mendirikan bank Islam, sehingga keraguan atau
37
sikap tidak setuju dengan bank konvensional bisa dihilangkan.27 Berbicara mengenai masalah bunga sebagai riba atau bukan, masuk dalam urusan keyakinan. Hal ini menjadikan justifikasi bagi beberapa orang untuk menerima atau menolak bunga sebagai riba. Oleh karena membicarakan bunga sebagai riba atau bukan oleh sementara pihak akan menyinggung pihak lain, yang menganggap bunga sebagai riba dan yang menganggap bunga bukan riba. Karena dalam al-Qur' an atau Hadis tidak ada aturan yang pasti mengenai hal ini apakah bunga itu riba. Tapi tidak salah kalau kita mengacu pada pendapat Imam Ghozalli mengenai hukum darurat untuk menentukan hukum bunga apakah sama dengan riba.
28
Menurut pendapat Imam Ghozali,
setiap perkara yang melampaui batas akan menimbulkan sesuatu yang sebaliknya, dan ulama fiqih telah membuat kaidah bahwa darurat atau kesukaran akan memberikan kemudahan. Hukum Islam mempunyai ruang yang luas untuk menyelesaikan perkara-perkara khusus dengan memberikan kelonggaran dengan sebagian hukum tertentu. Hujah-hujah diatas mendorong Fitzgerald membuat kesimpulan bahwa darurat merupakan salah satu sumber hukum. Tidak ada suatu hukum dalam keadaan darurat adalah merupakan suatu peraturan biasa yang dapat dilaksanakan dalam kasus-kasus yang mendesak. Ketika dalam peperangan tentara berkuda diperbolehkan sholat diatas pelana kudanya tanpa harus turun. Puasa itu wajib, tapi ibadah itu dapat ditangguhkan untuk orang-orang
27
Anas Hidayat dan Sabirin Malian, Lembaga-Lembaga Keuangan Umat Kontemporer, UII PRES Yogyakarta, 2000, hlm. 151-152. 28 Heri Sudarsono SE., op. cit., hlm. 13-14.
38
yang berpergian jauh. Begitu juga orang-orang Islam yang kelaparan diperbolehkan memakan benda-benda yang diharamkan.29 Dari berbagai pendapat tersebut diatas dapat diklarifikasikan tentang haram halalnya atau boleh tidaknya bunga. a. Dalam keadaan darurat bunga dibolehkan hukumnya b. Hanya bunga yang berlipat ganda yang dilarang, adapun suku bunga yang wajar dan tidak menzalimi diperbolehkan c. Bunga diberikan sebagai ganti rugi atas hilangnya kesempatan untuk memperoleh keuntungan dari pengolahan dana tersebut d. Uang dapat di anggap komoditi sebagai mana barang-barang lain, sehingga dapat disewakan atau di ambil upah atas penggunaannya. e. Bunga diberikan untuk mengimbangi laju inflasi f. Bunga di berikan sebagai imbalan atas pengorbanan tidak berpatung menggunakan pendapatan yang diperoleh. D. Riba 1. Pengertian riba Riba menurut bahasa berarti tambahan, bertambah, meningkat, membesar, dengan kata lain riba adalah penambahan, pembesaran, peningkatan, perkembangan pemberi pinjaman dari peminjam dari jumlah pinjaman pokok sebagai imbalan karena meningalkan atau berpisah dari sebagian modalnya selama periode waktu tertentu. 29
Dr. M. Muslehudin, Asuransi Dalam Islam, Bumi Aksara, Jakarta,1995, hlm. 84-85.
39
Definisi riba menurut syara’ masih menjadi perselisihan para ahli fiqih sesuai dengan pengertian masing-masing menurut sebab penerapan haramnya. Golongan Hanafi misalnya mendefinisikan, bahwa setiap kelebihan tanpa adanya imbalan pada takaran dan timbangan yang dilakukan antara pembeli dan penjual di dalam tukar menukar misalnya, dirham dengan berat yang sama, dibolehkan. Menurut golongan Syafi’i riba ialah transaksi dengan imbalan tertentu yang tidak diketahui kesamaan takarannya, maupun ukurannya, waktu dilakukan transaksi atau dengan penundaan waktu penyerahan kedua barang yang ditukar salah satunya. Kesamaan takaran atau ukuran yang dimaksud disini adalah pada barang sejenis, seperti emas dengan emas, perak dengan perak. Penundaan waktu penyerahan boleh jadi harga dari salah satu barang itu telah berubah harganya. Menurut golongan Syafi’i sebab larangan ini berlakunya pada barang makanan, meskipun barang tersebut pengukuranya menggunakan takaran atau timbangan yang dilakukan tidak secara tunai. Alasan larangan tersebut pada barang yang sama, adalah hadist Ubadah bin Shamid, dari Nabi SAW yang artinya : “( emas dengan emas, perak dengan perak, kurma dengan kurma, gandum dengan gandum, dan beras dengan beras, garam dengan garam (haruslah sebanding serta tunai )”. Golongan Maliki dalam definisinya mereka ini hampir sama dengan golongan Syafi’i, hanya berbeda ilatnya. menurut mereka ilatnya ialah pada transaksi tidak kontan pada bahan makanan yang tahan lama. Sedangkan yang
40
di maksud dengan ilat tidak kontan yaitu barang yang bernilai seperti pendapat golongan Syafi’i, termasuk dalam kategori bahan makanan yang dapat di simpan adalah buah-buahan. Menurut golongan Hambali riba menurut syara’ adalah tambahan yang diberikan pada barang tertentu. Yang dimaksud dengan barang tertentu adalah yang dapat ditukar atau di timbang dengan jumlah yang berbeda.30 Tindakan semacam inilah yang dinamakan riba. Dalam Islam riba secara khusus merujuk pada kelebihan yang diminta dengan cara-cara tertentu seperti yang dikemukakan oleh Ibnu Hajar Asqalani mengatakan bahwa inti dari pada riba adalah kelebihan, baik itu dalam bentuk barang maupun uang. Seperti dua rupiah sebagai penukaran satu rupiah. Sedangkan menurut Syah Waliullah dari Delhi, unsur riba terdapat dalam hutang yang diberikan dengan persyaratan bahwa peminjaman akan membayar lebih dari pada apa yang telah diterima dari pemberi pinjaman.31 Walaupun sipeminjam rela memberi tambahan menurut Syeh Waliullah tetap diharamkan karena dianggap sebagai tambahan. Persoalan riba ini bukan hanya dibicarakan dalam agama Islam saja tetapi juga dalam agama Samawi, bahkan sejak zaman kejayaan raja Athena Salon telah membuat undang-undang yang melarang riba, mereka menganggap bunga uang bukan keuntungan yang wajar karena pemilik uang
30 31
. Dr Muslehuddin. op. cit., hlm. 24-25. Afzalurahman, op. cit., hlm. 83-84.
41
tersebut tidak turut serta menanggung resiko. Oleh karena itu Aristoteles berpendapat bahwa wajib bagi kita menolak penabungan uang (riba) karena ia adalah suatu jalan keuntungan yang lahir dari uang sendiri.32 Karena uang tidak
dipergunakan kecuali untuk tukar menukar dan mendapatkan
keuntungan darinya. Mohamad Ibnu Abduelah Ibnu al-Arubi al-Maliki dalam kitab Ahkam al-Qur’an mengatakan pengertian riba secara bahasa adalah tambahan, sedangkan menurut al-Yani dalam kitabnya Umdatul qari mengatakan bahwa prinsip utama riba adalah penambahan seperti halnya pendapat yang lain. Riba menurut syari’ah adalah penambahan atas harta pokok tanpa adanya transaksi bisnis riil. Sedangkan menurut pendapat Sayid Sabiq dalam kitab fiqih sunah tentang riba lebih diperluas lagi bukan hanya pada tambahan saja, tetapi juga pada tambahan itu sedikit atau banyak, itu dinamakan riba.33 Sedangkan pengertian riba secara etimologis, mengandung arti sebagai tambahan atau lebihan yang digunakan untuk modal usaha. Dalam istilah orang jahiliyah ia berarti sebagai lebihan yang dikenakan atas modal, karena memberi perpanjangan waktu untuk membayar utang, ini disebut riba nasiah atau tambahan yang dikenakan karena terlambat membayar utang. Permasalahan ini di larang keras dalam Islam karena di anggap sebagai
32
Editor M. Rusli Karim., Berbagai Aspek Ekonomi Islam, PT Tiara Wacana, Yogyakarta, 1992, hlm. 120-121. 33 Heri Sudarsono SE., Ibid., hlm. 1
42
menimbun kekayaan tidak wajar dan mendapatkan keuntungan tanpa melakukan tindakan kebajikan.34 Islam membenarkan untuk melakukan perdagangan tapi melarang riba. pengertian etimologis di atas memberi gambaran, bahwa riba bisa dibedakan dengan pengertian yang lain. Dalam kamus, kata etimologis riba berarti tambahan misalnya “ Al. Artinya : Si Fulan melebihi Fulan lainya Contoh lain Artinya : Besar dan tumbuh Contoh lain Artinya : Aku mengambil lebih banyak dari yang kuberikan Contoh lain : Firman Allah Surat Al- Haqoh 10 Artinya : “ …lalu ia mengambil lebih banyak…” Dengan memperhatikan riba secara
etimologis tersebut, bisa
diketahui pengertian yang kurang dari maksud yang sebenarnya, yaitu bahwa batas tambahan bukanlah semata-mata yang dikehendaki oleh ahli fiqih. Karena tambahan dalam pengertian secara umum
tidaklah dengan
sendirinya berarti riba. Tetapi yang dimaksud adalah tambahan yang berasal dari usaha halal yang merugikan salah satu pihak dalam suatu transaksi.35 Sekiranya semua bentuk tambahan haram, tentu perdagangan juga haram.
34 35
hlm. 21-22.
Dr. Muh. Muslihuddin, Sistem Perbangkan Dalam Islam, Rineka Cipta, Jakarta, 1974, hlm. 76. Dr. Abu Sura’i Abdul Hadi MA., Bunga Bank Dalam Isalm, Al Ikhlas, Surabaya, 1994,
43
Padahal Islam menghalalkan perdagangan seperti kita ketahui bersama, sebab menyangkut kepentingan manusia dan diketahui sebagai hak yang di benarkan oleh agama, karena bersifat dharuri (esensial). Dalam formula Imam Baihaqi, riba baru dikenakan pada saat peminjam tidak mampu melunasi utangnya dan minta perpanjangan waktu.36 Dan sipemberi pinjaman memaksa kepada sipeminjam untuk mengembalikan lebih dari hutang yang dipinjamkan. Dr Muhammad Yusuf Musa guru besar pada Universitas Kairo Mesir berpendapat bahwa arti riba adalah mereka yang berjual beli dengan harga yang ditempokan apabila sudah datang temponya maka berkata orang yang menghutangkan kepada orang yang berhutang: “Apakah kau akan bayar sekarang atau akan engkau tambah pembayaranmu nanti.37 Artinya apabila akan engkau tambah pembayaranmu nanti maka akan saya tambah temponya. Pendapat tentang riba ini juga dikeluarkan oleh MA Manan dalam bukunya Teori dan Praktek Ekonomi Islam. Menurut MA Manan seperti pendapat-pendapat yang lain, riba yaitu pertambahan dan pertumbuhan dari modal awal.
38
Tetapi kata al didepan dalam al-Qur’an menunjukan bahwa
al-Riba mengacu pada perbuatan mengambil sejumlah uang yang berasal dari seorang yang berhutang sacara berlebihan .
36
Ir. H. Adi Warna Aswar Karim, MA. EP., Ekonomi Islam Sutu Kajian Kontemporer, Gema Insani Pres, Jakarta, 2001, hlm. 70. 37 Drs Sabirin Harahap, op. cit., hlm. 45. 38 MA. Manan, Teori Dan Praktek Ekonomi Islam, PT Diana Bakti Wakaf, Yogyakarta, 1995, hlm. 118.
44
Sedangkan menurut pendapat Nazwar Syamsu dalam buku manusia dan ekonomi, riba meliputi semua keuntungan yang tidak wajar,baik dari pinjam-meminjam maupun jual-beli atau sewa-menyewa.39 Riba dapat disamakan dengan “ Ekploitation de I’home Par I’home” pemerasan manusia oleh sesama manusia. 2. Macam-macam riba Menurut pendapat para ulama, riba itu ada empat macam: a. Riba fadhli (menukar dua barang yang sejenis dengan tidak sama). b. Riba qardhi (meminjamkan dengan cara ada keuntungan bagi yang mempiutangi). c. Riba yadh ( bercerai dari tempat aqad sebelum timbang terima). d. Riba nasa ( penukaran yang disyaratkan terlambat salah satu dua barang ) Pada umumnya ulama membedakan riba itu atas tiga macam , yaitu Riba fadhl, Riba yadh, Riba nasa ( adapun riba qardhi termasuk Riba nasa) Ulama Fiqih membagi riba ada dua macam yaitu riba nasiah dan riba fadhl.40 Riba nasiah adalah riba jahiliyah, riba bertempo, Yaitu tambahan pembayaran kembali sebagai ganti penundaan waktu membayarkannya. Riba fadhl ialah tambahan yang di peroleh seseorang sebagai hasil penukaran dua barang yang sejenis.
39 40
Nazwar Syamsu, Manusia dan Ekonomi.Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983, hlm. 201. Drs Sabirin Harahap. op. cit., hlm. 57-58.
45
Riba nasiah bisa juga diartikan sebagai pembayaran lebih yang di syaratkan oleh orang yang meminjamkan, sedangkan riba fadhl penukaran lebih dari satu barang sejenis yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. seperti emas, perak, gandum, beras dan lain-lain.41 Ada juga ulama atau tokoh yang mengartikan riba sama dengan bunga dan menyaratkan tiga unsur, yaitu: a. Kelebihan atau tambahan surplus yang melebihi dari modal yang di pinjamkan. b. Ketentuan besarnya surplus tergantung periode waktu. c. Persetujuan terhadap syarat-syarat pembayaran kelebihan ditentukan. Ketiga syarat tersebut membentuk riba,42 dan semua bentuk tawar menawar dan transaksi kredit dalam bentuk uang dan transaksi sejenisnya, unsur-unsur tersebut dianggap sebagai transaksi riba oleh para ahli fiqih dan ahli ekonomi. Dengan demikian yang dinamakan riba adalah tambahan yang di berikan oleh peminjam kepada yang meminjamkan atas pinjaman pokoknya. Setiap transaksi yang mengandung unsur lebihan dari pokok pinjaman, dan jumlah tambahan yang disyaratkan, ini dinamakan riba.43
41
Karnaen Perwatatmadja., Apa dan Bagaimana Bank Islam, PT Dana Bakti Wakaf, Yogyakarta, 1992, hlm. 9. 42 Afzalur Rahman, loc. Cit., hlm. 86. 43 Dr. Abu Surai Abdul Hadi MA, op. cit., hlm. 22-23.
46
3. Hukum riba Para ulama fiqih mulai membicarakan tentang riba ketika mereka membahas berbagai macam persoalan muamalah. Banyak ayat-ayat al-Qur’an yang membicarakan riba sesuai dengan periode larangan, sampai akhirnya datang larangan yang tegas pada akhir priode penetapan hukum riba. Riba pada agama-agama langit (samawi) telah dinyatakan haram. Tersebut didalam perjanjian lama kitab Keluaran ayat 25 pasal 22: ’Bila kamu menghutangi seseorang diantara warga bangsamu uang, maka janganlah kamu berlaku laksana seorang pemberi hutang. Janganlah kamu meminta keuntungan padanya untuk pemilik uang’. Tetapi orang Yahudi beranggapan bahwa riba itu hanyalah terlarang kalau dilakukan di kalangan sesama Yahudi. Tetapi Islam menganggap ketetapan-ketetapan yang mengharamkan riba yang berlaku pada golongan tertentu, sebagai mana yang tercantum dalam perjanjian hanya merupakan ketetapan yang telah di palsukan. Sebab riba ini diharamkan bagi siapa saja dan terhadap siapa saja, sebab tindakan ini adalah zalim dan kezaliman diharamkan pada semua orang tanpa pandang bulu. Dalam hadits qudsi disebutkan: Wahai hambaku ! aku mengharamkan kepada diriku dan aku telah tetapkan sebagai perbuatan haram ditegah kamu, karena itu janganlah kamu saling berbuat zalim!. Islam tidak membedakan manusia karena bangsanya atau warna kulitnya atau keturunanya, karena semua manusia adalah hamba Allah. Tetapi umat Yahudi menganggap ada perbedaan besar antara umat Yahudi dengan umat yang lain, sebagaimana mereka katakan dalam al-Qur’an “kami adalah
47
putra-putra Allah dan kekasihnya”44 Orang Yahudi mengharamkan riba sesama mereka tetapi menghalalkanya kalau dilakukan pada pihak lain. Hal inilah yang mendorong umat Yahudi memakan riba dari pihak lain dan menurut al-Qur’an, perbuatan semacam ini dikatakan sebagai hal memakan riba. Al-Qur’an melarang praktek riba karena riba sama saja dengan mengajari orang berlaku tidak pernah merasa puas dengan uang. Kekayaan ditumpuk untuk kepentingan sendiri bukan untuk kemaslahatan bersama. Orang akhirnya berorientasi pada komersil semata dan keuntungan menjadi segala-galanya,45 tanpa memikirkan kepentingan orang lain, terutama orang yang sangat membutuhkan. Dalam ayat-ayat sebelumnya telah dijelaskan oleh Allah S.W.T, hukum sedekah dan bagaimana sikap dan prilaku orang yang selalu bersedekah, menginfaqan harta bendanya semata-mata mengharapkan ridla Allah. Wajah yang selalu senyum, hati yang ikhlas, jiwa yang suci penuh kasih sayang, adalah ciri khas orang yang selalu bersedekah, yang dinyatakan dalam ayat-ayat tersebut. Sebaliknya lawan dari sedekah,
ayat-ayat
berikutnya membeberkan secara langsung praktek riba dan pelaku-pelakunya dengan wajah yang sangat buruk dan hati yang gersang yang menimbulkan
44
Editor Anas Hidayat dan Sabirin Malian, op.cit., hlm. 144-145. M. Umar Capra, Et al., Etika Ekonomi Politik Elemen-Element Pembangunan Masyarakat Islam, Risalah Gusti, Surabaya, 1997, hlm. 93. 45
48
kejahatan didalam masyarakat, kerusakan dimuka bumi dan kebinasaan terhadap hamba-hamba Allah. Perkara yang paling buruk dan paling jelek diantara perkara Jahiliyah yang telah di berantas oleh Islam adalah perkara riba, dan tidak ada ancaman yang paling keras yang terkandung dalam berbagai ayat al-Qur’an, baik dari segi lafads atau makna, yang tersurat maupun tersirat, melainkan terhadap riba. Riba di zaman jahiliyah telah menimbulkan mafsadat dan kejahatan, akan tetapi ia tidak nampak dalam bentuk wajah-wajah buruk secara merata didalam masyarakat jahiliyah seperti yang terjadi hari ini di dunia yang sedang kita huni. Dan tidak pula nampak secara umum dengan wajah penuh noda dan darah sebagaimana yang kita saksikan didalam masyarakat sekarang ini.46 Gambaran seram yang terkandung dalam ayat ini tentang sistem riba yang dibenci, sesungguhnya telah nampak hikmahnya hari ini dari kenyataan yang terjadi, yaitu kecemasan dan kegoncangan hidup yang di alami manusia. Disamping itu, semakin besar riba, semakin kecil infaq seseorang, semakin kecil riba, semakin besar infaq seseorang. Dalam suatu masyarakat dimana riba telah begitu merajalela tingkat infaqnya akan kecil. Bahkan kadangkala orang berusaha untuk menghindar membayar zakat yang memang merupakan kewajibanya. Sebaliknya bila praktek riba dihapuskan dari praktek perekonomian, infaq akan tumbuh subur. Allah menjanjikan dalam
46
Ahmad Syaefudin, Ekonomi Dan Masyarakat Dalam Perspektif Islam, CV Rajawali, Jakarta, 1987, hlm. 227-229.
49
al-Qur’an “Allah menghapuskan riba dan menyuburkan sedekah (Q.S 2: 276). Disini riba sangat terlihat jelas mempengaruhi akal dan pikiran seseorang untuk berbuat kepada simiskin untuk lebih miskin lagi. Didalam Al-Wasa’il jilid II halaman 597: Dari Hisam Bilal Hakam, bahwa ia bertanya kepada Abu Ubaedilah AS tentang alasan diharamkannya riba, beliau menjawab “Kalau riba dihalalkan, maka manusia akan meninggalkan perdagangan dan apa-apa yang mereka butuhkan”. Maka Allah mengharamkan riba agar manusia keluar dari yang haram menuju yang halal, menuju perdagangan dan jual beli, sehingga hal itu tetap berlaku diantara mereka dalam bentuk pinjaman.47 Dari Muhammad Bin Sinan: Ali Bin Musa Ar-Ridha menulis surat kepadanya, diantara jawaban atas masalah-masalah yang dinyatakan tentang: ”Alasan diharamkannya riba yang dilarang Allah
yang menyebabkan
kerusakan harta”. Karena mengambil dan memberikan riba adalah kerugian bagi pembeli dan bagi penjual. Maka Allah S.W.T mengharamkan riba terhadap
hamba-hambanya,
Sebagaimana
karena
menyebabkan
kerusakan
harta.48
Allah mengharamkan seseorang untuk menyerahkan pada
orang bodoh hartanya karena dikhawatirkan hartanya itu akan musnah, hingga ia mengerti. Karena alasan ini Allah mengharamkan riba dan penjualan satu dirham dengan dua dirham.
47
Adiwarman Azwar Karim MA., Ekonomi Mikro Islam, III T Indonesia Bekerjasama Karim Binis Konsultan, Jakarta, 2002, hlm. 70. 48 Murtadha Muthahari, Pandangan Islam Tentang Asurasi Dan Riba, Pustaka Hidayah, Bandung, 1995, hlm. 245-246.
50
Sementara itu Majlis Tarjih juga telah mengambil keputusan masalah keuangan secara umum, (1976.) “Riba hukumnya haram dengan nas sharih al-Qur’an”,49 karena mengeluarkan tambahan pada peminjam uang sangat menjerat leher peminjam. Dalam al-Qur’an perbuatan menerima atau membayar riba dengan tegas diharamkan, dan tidak perlu disangsikan lagi, mengenai pandangan Nabi Muhammad S.A.W tentang orang-orang yang hidup dari bunga yang konvensional, di anggap sebagai riba.50 Sedangkan riba menurut Dr. Abu Surai Abdul Hadi M.A dalam bukunya Bunga Bank dalam Islam ada dua macam riba yaitu: jelas dan samar. Yang jelas diharamkan karena bahayanya besar, sedangkan yang samar diharamkan karena menjadi jalan menuju yang jelas, yang pertama haram karena dzatnya sedangkan yang kedua haram karena menjadi jalan antara.51 E. Hubungan antara pinjam-meminjam uang, bunga dan riba Evaluasi konsep pinjam-meminjam dan bunga
tidak lepas dari
perkembangan lembaga simpan pinjam uang. Lembaga keuangan timbul karena kebutuhan modal untuk membiayai industri dan perdagangan. Dalam menjalankan bisnis para pedagang atau pengusaha selalu membutuhkan modal. Dalam usaha kecil-kecilan biasanya pedagang dapat 49
M. Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah Dari Teori dan Praktek, Gema Insani Pres, Jakarta, 2001,
hlm. 61-62.
50
Alih Bahasa JT Salim, loc, cit, hlm. 39.
51
mengatasi modalnya sendiri, tetapi apabila usaha
sudah menunjukan pada
perkembangan yang besar, maka untuk mengembangkan usahanya biasanya membutuhkan modal yang cukup besar. Tetapi siapa yang mau meminjamkan uangnya dengan cuma-cuma, apalagi dalam jumlah yang besar. Dari sinilah timbul
keperluan
pinjam-meminjam
sebagai
perantara
mereka
yang
membutuhkan modal usaha. kebanyakan pinjam-meminjam ini memakai bunga. Pinjam-meminjam dalam lembaga simpan pinjam uang (bank), tidak memandang uang itu untuk keperluan konsumsi, perdagangan atau jasa, tetapi umumnya pinjaman di berikan untuk kegiatan usaha. Walaupun ada yang memerlukan untuk keperluan konsumsi, lembaga simpan pinjam hanya bersedia memberikan jika ada jaminan bahwa hutang itu bisa di bayar. Lembaga simpan pinjam dalam operasinya
harus membayar ongkos
para pegawai untuk memberikan pelayanan, disini dikenal modal murni yaitu tingkat bunga nominal, di kurangi beberapa ongkos seperti biaya-biaya administrasi, jaminan terhadap keamanan hutang pokok maupun bunganya.52 Ongkos itu termasuk nilai tukarnya terhadap mata uang asing, dan juga yang diperlukan untuk menjaga keuntungan uang karena pembayaran dengan cara angsuran. Dalam dunia perekonomian pinjam-meminjam uang itu telah menjadi suatu kebiasaan, tidak jarang diantara para pedagang-pedagang banyak yang
51 52
Dr. Abu Sura’i Abdul Hadi MA., loc, cit, hlm. 28. Anas Hidayat dan Sabirin Malian, op. cit., hlm. 150.
52
mendasarkan modal usahanya pada uang pinjaman, pedagang besar maupun kecil, mereka meminjam modal pada siapa saja yang mau meminjamkan. Agaknya kegiatan pinjam-meminjam uang adalah suatu cara yang efektif dalam dunia perdagangan dewasa ini, hal ini dapat dilihat pada kenyataan, bahwa bank misalnya, mendasarkan usahanya pada pekerjaan pinjam meminjam modal tersebut. Lembaga simpan pinjam uang
dipandang orang
sebagai suatu yang menyokong dan menunjang pertumbuhan dan perkembangan ekonomi nasional. Dari uraian diatas dapat difahami bahwa uang yang dipinjamkan, dapat memperoleh keuntungan dari uang yang dipinjamkan untuk usaha perdagangan, oleh karena itu pinjaman itu dikenakan bunga. Berarti bahwa keuntungan yang diperoleh sipeminjam sebagian diberikan kepada pemilik uang. Pekerjaan pinjam-meminjam uang dalam Islam bukanlah sesuatu yang tidak diperkenankan, malah syari’at Islam memberi aturan yang sangat simpatik soal pinjam-meminjam uang atau utang-piutang. Bunga dan riba sama-sama dapat timbul dari pinjam-meminjam uang, oleh karena, pinjam-meminjam uang dapat dipandang sebagai permulaan bagi timbulnya bunga dan riba. Hubungan antara bunga uang dan riba dari segi lahiriyah ada pada pinjam-meminjam uang atau berhutang. Hal ini sekaligus membawakan persamaan lahiriyah bunga dan riba itu.
53
Persamaan lahiriyah adalah bahwa baik bunga maupun riba sama-sama merupakan keuntungan bagi pemilik uang pokok yang diperoleh tanpa jerih payah, kecuali hanya lantaran meminjamkan uang. Bahwa selain yang tersebut diatas, persamaan antara bunga dan riba, adalah bunga itu pada umumnya ditetapkan dengan prosentase dari uang pokok, bukan dari keuntungan yang diperoleh selanjutnya (untuk kegiatan produksi). Hubungan antara bunga dan riba terdapat pada suatu keadaan, yaitu apabila suatu kegiatan pinjam-meminjam uang dengan bunga yang pada mulanya bersih dari cara-cara atau unsur-unsur riba, dalam perkembangan selanjutnya dapat berubah atau beralih menjadi riba. Perlu diketahui bahwa bunga tidak hanya dapat timbul dari pinjammeminjam, tetapi dapat timbul dari beberapa hal tersebut di bawah ini: 1. Meminjam ke-bank atau pasar-pasar kredit. 2. Menabung ke-bank, koperasi dan sebagainya. 3. Deposito bank pasar-pasar kredit dan sebagainya. 4. Dengan jalan membeli saham atau audit ataupun obligasi suatu perusahaan dan lain-lain. Bunga yang timbul dari sumber-sumber tersebut di atas dapat dibedakan dalam dua jenis. 1. Bunga konsumtif 2. Bunga produktif
54
Adapun bunga sama dengan riba, karena bunga itu bersifat konsumtif seperti tersebut diatas tadi dan sama dengan riba, tetapi bunga yang diperoleh dari usaha-usaha produksi dan distribusi diperbolehkan. Adapun riba selamanya bersifat konsumtif, dan di pungut dari orangorang yang meminjamkan uang buat orang yang
serba kekurangan dalam
nafkah hidupnya.53 Dengan tanpa perhitungan terlebih dulu akan akibatakibatnya. Karena pekerjaan
simpan pinjam selalu menghadap persoalan tukar
menukar uang dan senantiasa berada di pinggir dosa,
maka Al-Ghozali
berulangkali memperingatkan supaya segala bankkir dan semua orang yang berhubungan dengan pekerjaan simpan pinjam uang, yang sangat dekat hubungannya dengan riba supaya berhati-hati karena merupakan dosa besar.54 Kalau kita hidup dalam dunia simpan pinjam uang, supaya kita berniat jujur dan memandang usahanya sebagai fardu kifayah, untuk kemaslahatan umat dan kemajuan hidupnya, jihad, untuk memenuhi kebutuhan keluarganya dan dirinya.
53
Drs.Sybirin Harahap, op. cit, hlm. 75-82. H. Zaenal Abidin Ahmad, Dasar-Dasar Ekonomi Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1990, hlm. 294-295. 54