BAB II KONSEP PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI DALAM HUKUM PIDANA 1. Istilah dan pengertian korporasi Rudy Prasetya menyatakan bahwa istilah korporasi adalah sebutan yang lazim dipergunakan di kalangan pakar hukum pidana untuk menyebut apa yang biasa digunakan dalam bidang hukum lain, khususnya dalam bidang hukum perdata, sebagai badan hukum (rechtpersoon), atau yang dalam bahasa Inggris disebut sebagai legal entities atau corporation” 87 Pengertian korporasi menurut
Utrecht
dan M. Soleh Djindang,
sebagaimana dikutip oleh Chaidir Ali 88 dalam bukunya Badan Hukum, mengungkapkan bahwa ”korporasi adalah suatu gabungan orang yang dalam pergaulan hukum bertindak bersama-sama sebagai suaut subjek hukum tersendiri sebagai personifikasi . Korporasi adalah badan hukum yang beranggota, tetapi mempunyai hak dan kewajiban tersendiri yang terpisah dari hak dan kewajiban anggota masing-masing. 89 Moenaf H. Regar menyatakan dalam bukunya Dewan Komisaris, Peranannya Sebagai Organ Perseroan, yaitu : Korporasi adalah badan usaha yang keberadaannya dan status hukumnya disamakan dengan manusia (orang), tanpa melihat bentuk organisasinya . Korporasi dapat memiliki kekayaan dan utang, mempunyai kewajiban dan hak dan dapat bertindak menurut hukum, melakukan gugatan, dan dituntut di depan pengadilan . Oleh karena suatu korporasi adalah buatan manusia yang tidak sama dengan manusia, maka harus dijalankan oleh manusia, 87
Mahmud Mulyadi, Op.Cit., Hal 62 Chaidir Ali,1987, Badan Hukum, Alumni Bandung, Hal 64 89 Edi Yunara, 2005, Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Berikut Studi Kasus), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, Hal. 10-11 88
Universitas Sumatera Utara
yang disebut pengurus atau pengelola. Suatu korporasi, biasanya mempunyai tiga organ, yaitu RUPS, Dewan Komisaris, dan Dewan Direksi (Misalnya perseroan terbatas). Batas umur dari korporasi itu ditentukan dalam anggaran dasarnya. Pada saat korporasi itu mengakhiri kegiatannya dan bubar. 90
Sementara A.Z Abidin menyatakan bahwa korporasi dipandang sebagai realita sekumpulan manusia yang diberikan hak sebagai unit hukum, yang diberikan pribadi hukum untuk tujuan tertentu . Sedangkan Subekti dan Tjitrosudiro menyatakan bahwa yang dimaksud dengan korporasi (corporatie) adalah suatu perseroan yang merupakan badan hukum. Yan Pramadya Puspa mengartikan korporasi atau badan hukum adalah suatu perseroan yang merupakan badan hukum, yang dimaksudkan sebagai suatu perkumpulan atau organisasi yang oleh hukum diperlakukan seperti seorang manusia (persona), sebagai pengemban atau pemilik dan kewajiban 91 Adapun pengertian korporasi dalam Ensiklopedia Ekonomi Keuangan dan Perdagangan yang dihimpun oleh A. Abdurrachman sebagaimana dikemukakan oleh Muladi dan Dwija Prijatno, yaitu : Corporatio (korporasi; perseroan) adalah suatu kesatuan menurut hukum atau suatu badan susila yang diciptakan menurut undang-undang sesuatu negara untuk menjalankan sauatu usaha atau aktivitas atau kegiatan lainnya yang sah. Badan ini dapat dibentuk untuk selama-lamanya atau untuk sesuatu jangka waktu terbatas, mempunyai nama dan identitas yang dengan nama dan identitas itu dapat dituntut dimuka pengadilan, dan berhak akan mengadakan suatu persetujuan menurut kontrak dan melaksanakannya menurut kontrak dan melaksanakan semua fungsi lainnya yang seseorang dapat melaksanakannya menurut undang-undang suatu negara . Pada umumnya suatu corporation dapat merupakan suatu organisasi pemerintah, setengah pemerintah atau partikelir 92 90
Ibid, hal 11. Muladi dan Dwija Prijatno, Op.cit. hal 14 92 Ibid. 91
Universitas Sumatera Utara
Wirjono Prodjodikoro korporasi mendefenisikan korporasi sebagaimana dikemukakan oleh Chaidir Ali 93, sebagai suatu perkumpulan orang, dalam korporasi biasanya yang mempunyai kepentingan adalah orang-orang manusia yang merupakan anggota dari korporasi itu,anggota-anggota mana juga mempunyai kekuasaan dalam peraturan korporasi berupa rapat anggota sebagai alat kekuasaan yang tertinggi dalam peraturan korporasi Sutan Remi Sjahdeini mengutip defenisi korporasi yang ada dalam Jowitt’s Dictionary of English Law , yang berbunyi sebagai berikut : 94 Corporation, a succession or collection of persons having in the estimation of the law an existence and rights and duties distinc from those of the individual persons who form it to from to time. A corporation is also known as a body politic. It has a fictious personality distinc from that of its members. A corporation soul consist of only one member at a time , the corporate character being kept up by a succession of solitary members. A corporation aggregate consist of several members at the same time. The most frequent examples are in corporated companies. The chief pecularity of a corporation aggregate is that it has perpectual succession (i.e., exsistenc), a name, and a common seal by which its intention may be evidence; that, being merely a creation of the laws, it cannot enter into a personal relation; and that, generally speaking,the majority of the members (whose voting powers may depend on the number of their shares, or the like) have power to bind the minority in matters within the power of the corporation.
Defenisi lain mengenai korporasi , juga dikutip Sutan Remy Sjahdeini dari Black’s Law Dictionary. Black’s Law Dictionary memberikan penjelasan sebagai berikut : 95 93
Chaidir Ali, Loc.Cit, Hal 64 Sutan Remy Sjahdeini , Op.Cit., Hal. 42 95 Ibid. 94
Universitas Sumatera Utara
Corporation , an artificial person or legal entity created by or under the authority of the laws of a state or nation, composed, in some rare instances, of a single person and his successors, being the incumbents of a particular office, but ordinarily consisting of an association of numerous individuals.
2. Kejahatan korporasi J.E Sahetapy dalam bukunya kejahatan korporasi menyatakan bahwa untuk memberikan suatu rumusan mengenai tindak pidana korporasi (corporate crime) sampai saat ini masih suatu dilema, sama dilemanya dengan konsep white collar crime yang diperkenalkan pertama kali oleh Edwin H. Sutherland. Setelah pidato bersejarah Sutherland pada tahun 1939 (dimuat
dalam American
Sociological Review, Vol.5, hal.1-12), menurut Sahetapy muncul setumpuk istilah dengan makna dalam konteks yang berbeda dan dalam ruang lingkup yang tidak sama pula.
96
Setiyono menuangkan pendapat Shutherland mengenai rumusan white collar crime sebagai kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kedudukan social yang tinggi dan terhormat dalam pekerjaannya (crime committed by person of respectability and high social status in the course of their occupation). Melalui rumusan tersebut, Shutherland ingin mengunjukkan bahwa kejahatan merupakan fenomena yang dapat diketemukan juga dalam kelas-kelas masyarakat yang lebih tinggi, yang penyebabnya tidak dapat dijelaskan secara tradisional, seperti kemiskinan (poverty), atau factor-faktor patologik yang bersifat individual. 97
96 97
Sahetapy, Kejahatan Korporasi , Eresco, Bandung, Hal. 25 Setiyono,Op.Cit. Hal. 36
Universitas Sumatera Utara
Ada 3 hal yang menjadi tujuan pengungkapan white collar crime dalam pidato Shutherland. Pertama, ia ingin menegaskan bahwa white collar criminality adalah kejahatan nyata. Kedua, ia mengingatkan bahwa yang melanggar hukum, melakukan kejahatan, bukan saja mereka golongan kecil yang tidak mampu, melainkan juga mereka dari kalangan atas yang terhormat dan berkedudukan social tinggi. Ketiga, ia ingin memberi dasar yang lebih kokoh bertalian dengan teori yang telah dikembangkannya, yaitu : teori asosiasi defensial (differensial association). 98 Yusuf Shofie mengutip pendapat Romli Atmasasmita
dalam bukunya
Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, bahwa dari perkembangan teori asosiasi differesial Sutherland (1947), ia menegaskan bahwa semua tingkah laku itu dipelajari. Bila semula Shutherland menggunakan istilah ”social disorganization” (1934), kemudian ia menggantikannya dengan istilah ”differential social organization” (1947). 99 Menurut Atmasasmita butir-butir terakhir pemikiran Shuterland tentang teori asosiasi differensial setidaknya ada sembilan, sebagai berikut: 100 1) Tingkah laku kriminal dipelajari; 2) Tingkah laku kriminal diperjari dalam hubungan interaksi dengan orang lain melalui suatu proses komunikasi; 3) Bagian penting dari mempelajari tingkah laku kriminal terjadi dalam kelompok intim;
98
Sahetapy,Op.Cit. Hal. 19-20 Yusuf Shofie, Pelaku Usaha, Konsumen, dan Tindak Pidana Korporasi, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002, Hal. 79 100 Ibid 99
Universitas Sumatera Utara
4) Mempelajari tingkah laku kriminal, termasuk di dalamnya teknik melakukan kejahatan dan motivasi / dorongan atau alasan pembenar; 5) Dorongan tertentu ini dipelajari melalui penghayatan atas peraturan perundangan, menyukai atau tidak menyukai; 6) Seseorang menjadi ”delinquent” karena penghayatannya terhadap peraturan perundang-undangan, lebih suka melanggar daripada mentaatinya; 7) Asosiasi differensial ini bervariasi tergantung dari frekuensi, durasi, prioritas dan internsitas; 8) Proses mempelajari tingkah laku kriminal melalui pergaulan dengan pola kriminal dan anti-kriminal melibatkan semua mekanisme yang berlaku dalam setiap proses belajar; 9) Sekalipun tingkah laku kriminal merupakan perncerminan dari kehutuhankebutuhan umum dan nilai-nilai, akan tetapi tingkah laku kriminal tersebut tidak dapat dijelaskan melalui kebutuhan umum dan nilai-nilai tadi, oleh karena tingkah laku non kriminal pun merupakan pencerminan dari kebutuhan umum dan nilai-nilai yang sama. Kembali kepembahasan mengenai apa yang dimaksud dengan kejahatan korporasi, Muladi berpendapat sebagaimana dikemukakan oleh Setiyono dalam bukunya kejahatan korporasi. Dalam literatur sering dikatakan bahwa kejahatan korporasi ini merupakan salah satu bentuk white collar crime. Dalam arti yang luas, kejahatan korporasi ini sering rancu dengan tindak pidana okupasi, sebab kombinasi antara keduanya sering terjadi. 101
101
Setiyono, Op.Cit. Hal. 20
Universitas Sumatera Utara
Marshall B. Clinard dan Peter C. Yeager mendefenisikan kejahatan korporasi sebagai berikut, A corporate crime is any act commited by corporations that is punished by the state, regardless of
whether it is punished under
administrative, civil or criminal law. (Kejahatan korporasi adalah setiap tindakan yang dilakukan oleh korporasi yang bisa diberi hukuman oleh negara, entah dibawah hukum administrasi negara, hukum perdata, maupun hukum pidana). 102 Selain itu,Clinard dan Yeager yang concern melakukan studi terhadap kejahatan korporasi, sebagaimana dikutip oleh Arif Amrullah dakam bukunya kejahatan korporasi, menemukan adanya enam jenis kejahatan korporasi yang berkaitan dengan administratif, lingkungan, tenaga kerja, produk barang, dan praktek-praktek perdagangan tidak jujur. 103 Berikut akan dijelaskan mengenai jenis-jenis kejahatan korporasi menurut Clinard dan Yeager, yaitu: 104 1) Pelanggaran dibidang administrative meliputi tidak memenuhi persyaratan suatu badan pemerintahan atau pengadilan, seperti tidak mematuhi perintah pejabat pemerintah, sebagai contonya membangun fasilitas pengendalian lingkungan. 2) Pelanggaran di bidang lingkungan hidup meliputi pencemaran udara dan air berupa penumpahan minyak dan kimia, yaitu seperti pelanggaran terhadap surat izin yang mensyaratkan kewajiban penyediaan oleh korporasi untuk
102
Marshall B. Clinard dan Peter C. Yeager., 1985, Corporate Ethics And Crime The Role Of Middle Management, Sage Publications. USA. 103 Arif Amrullah, Kejahatan Korporasi, Bayumedia, Malang, 2006, Hal. 82 104 Setiyono, Op.Cit. Hal 82-83.
Universitas Sumatera Utara
pembangunan perlengkapan pengendalian polusi, baik polusi udara maupun air. 3) Pelanggaran di bidang keuangan meliputi pembayaran secara tidak sah atau mengabaikan untuk menyingkap pelanggaran tersebut, seperti penyuapan di bidang bisnis, sumbangan politik secara tidak sah, dan pembayaran (suap) untuk pejabat-pejabat asing, pemberian persenan, dan manfaat atau keuntungan secara ilegal. Contoh pelanggaran yang berkaitan dengan suratsurat berharga yakni memberikan informasi yang salah atas wali utama, mengeluarkan pernyataan salah. Pelanggaran transaksi meliputi syarat-syarat penjualan (penjualan yang terlalu mahal terhadap langganan), penghindaran pajak, dan lain-lain. 4) Pelanggaran perburuhan dapat dibagi menjadi tipe utama, yaitu diskriminasi tenaga kerja (ras, jenis kelamin, atau agama), keselamatan pekerja, praktek perburuhan yang tidak sehat, upah dan pelanggaran jam kerja. 5) Pelanggaran ketentuan pabrik melibatkan tiga badan pemerintah, yaitu: the Consumer Product Safety Commision bertanggung jawab atas pelanggaran terhadap the Poison Prevention Packaging Act, the Flamable Fabrics Act, dan the Consumer Product Safety Act; the National Highway Traffic Safety Administration
mensyaratkan
pembuatan
kendaraan
bermotor
atau
memberitahukan agen dan pemilik, pembeli, dan kecacatan dari pedagang sehingga mempengaruhi keselamatan kendaraan bermotor, disamping itu juga mensyaratkan pembuat (pabrik) untuk memperbaiki kerusakan tersebut. Kecacatan itu meliputi mesin sebagai akibat dari kesalahan pada bagian
Universitas Sumatera Utara
pemasangan, pemasangan bagian yang tidak benar, kerusakan sistem dan desain yang tidak baik. Terkait dengan hal itu , dapat dikemukakan satu contoh kasus di Indonesia, yaitu sebagaiamana yang pernah dikemukakan oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), yang ditayangkan oleh salah satu televisi swasta nasional. YLKI menyatakan bahwa ada seorang konsumen yang baru saja membeli mobil dengan merek Mercedes Benz, namun ketika dipakai oleh pemiliknya bannya pecah, padahal semuanya baru. Setelah diteliti, ternyata mobil impor tersebut bukan untuk daerah tropis; kemudian Food and Drug Administration, antara lain yang berkaitan dengan kesalahan dalam pengepakan, label, merek, dan sebagainya. 6) Praktik perdagangan yang tidak jujur meliputi macam-macam penyalahgunaan persaingan (antara lain monopolisasi, informasi yang tidak benar, diskriminasi harga), iklan yang salah dan menyesatkan merupakan hal penting dalam praktek perdagangan yang tidak jujur. Selain Clinard dan Yeager,defenisi lain mengenai kejahatan korporasi juga dikemukakan oleh Prof. Mardjono Reksodiputro sebagaimana dikutip oleh Mahmud Mulyadi dalam Tesisnya. Beliau mendefenisikan kejahatan korporasi sebagai bagian dari White collar crime (kejahtan kerah putih) yang menurut Shutherland merupakan “…is a violation of criminal law by the person of the upper socioeconomic class in the course of his occupational activities”. (Kejahatan kerah putih adalah suatu kejahatan yang dilakukan oleh seseorang
Universitas Sumatera Utara
yang mempunyai tingkat social ekonomi kelas atas yang berhubungan dengan jabatannya). 105 Dari rumusan ini terlihat bahwa pada awalnya konsepsi white collar crime dibatasi pada perbuatan pidana (yang ada dalam hukum pidana), namun selanjutnya oleh pelaku yang mempunyai kekuatan ekonomi yang kuat dan biasanya berbentuk organisasi atau korporasi serta kejahatan sehubungan dengan kedudukannya di korporasi tersebut, baik sebagai direktur, manajer dan lain sebagainya dalam rangka mencapai keuntungan dan tujuan korporasi tersebut. 106 Mahmud Mulyadi dalam Tesisnya juga mengutip pendapat I.S. Susanto menerangkan hal ini dengan mengutip tulisan Steven Box, sebagaimana yang dikemukakan oleh Hamzah Hetrik, yang menjelaskan ruang lingkup kejahatan korporasi adalah sebagai berikut:
107
1. Crimes for corporation, merupakan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh korporasi dalam usahanya mencapai tujuan korporasi untuk memperoleh keuntungan (profit). 2. Criminal corporation, adalah korporasi yang bertujuan semata-mata untuk melakukan kejahatan. 3. Crimes against corporations, yaitu kejahatan-kejahatan terhadap korporasi, seperti pencurian atau penggelapan milik korporasi, yang dalam hal ini korbannya adalah korporasi.
105
Mahmud Mulyadi, Op.Cit, Hal. 69. Ibid , Hal. 69-70 107 Ibid, Hal. 71. 106
Universitas Sumatera Utara
Mengenai hal ini, Setiyono dalam bukunya Kejahatan Korporasi juga memberikan penjelasan sebagai berikut: 108 a) Crimes for corporation inilah yang merupakan kejahatan korporasi (corporate crimes). Dalam hal ini dapat dikatakan, “corporate crime are clearly committed for the corporate, and not against.” Kejahatan korporasi dilakukan untuk kepentingan korporasi dan bukan sebaliknya. b) Kejahatan terhadap korporasi (Crime against corporation), yang sering dinamakan dengan employee crimes, yaitu kejahatan yang dilakukan oleh para karyawan atau pekerja terhadap korporasi, misalnya penggelapan dana perusahaan oleh pejabat atau karyawan perusahaan tersebut. Pelaku kejahatan ini (crime against corporations) tidak hanya terbatas pada pejabat atau karyawan yang bersangkutan, tetapi masyarakat secara luas bisa menjadi pelaku kejahatan terhadap korporasi. c) Criminal corporations adalah korporasi yang sengaja dibentuk dan dikendalikan untuk melakukan kejahatan. Kedudukan korporasi dalam criminal corporations hanyalah sebagai sarana melakukan kejahatan; sebagai ”topeng” untuk menyembunyikan wajah asli dari suatu kejahatan. Dikatakan masuk akal bahwa badan hukum secara sah dapat ditentukan untuk melibatkan diri dalam kriminalitas, namun hal ini memerlukan adanya penipuan secara besar-besaran Setiyono menambahkan,bahwa hal penting untuk membedakan antara crime for corporation atau corporate crime atau kejahatan korporasi dengan
108
Setiyono, Loc.Cit Hal. 20-21
Universitas Sumatera Utara
criminal corporations adalah berkaitan dengan pelaku dan hasil kejahatan yang diperoleh. Pelaku dalan kejahatan korporasi adalah korporasi itu sendiri. Sedang pelaku dalam criminal corporations, utamanya adalah penjahat di luar korporasi, dan korporasi hanya sebagai sarana untuk melakukan kejahatan. Hasil kejahatan yang diperoleh sesuai dengan peran dari pelakunya. Hasil kejahatan dalam kejahatan korporasi adalah untuk kepentingan korporasi itu sendiri. Keadaan semacam ini tidak terjadi dalam criminal corporation, karena korporasi ini hanyalah sekedar sebagai alat untuk melakukan kejahatan. 109 Berdasarkan pemaparan diatas, maka semakin jelas bahwa dari ketiga bentuk white collar crime, maka yang dapat dikualifikasi sebagai corporate crime (kejahatan korporasi) adalah bentuk yang yang pertama yaitu crimes for corporations. Argumentasi yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi crimes for corporations sebagai kejahatan korporasi dapat dilihat dari tujuan pelaksanaan kejahatan tersebut adalah untuk kepentingan perusahaan itu sendiri. Berkaitan dengan hal ini, Mahmud Mulyadi kembali mengutip pendapat Mardjono Reksodiputro, yang mengemukakan bahwa kejahatan korporasi sebagai bagian white collar crime perlu dibedakan dengan corporate crime yang dilakukan oleh small business dan big business, karena: 110 1) Kejahatan korporasi jangan dikaitkan dengan small business offense, yaitu kejahatan yang dilakukan oleh perusahaan atau usaha dagang yang lingkup kegiatannya kecil;
109 110
Ibid. hal 21-22 Mahmud Mulyadi, Loc. Cit. Hal. 71-72
Universitas Sumatera Utara
2) Konsepsi kejahatan korporasi hanya ditujukan pada kejahatan yang dilakukan oleh bisnis yang besar (big business); 3) Kejahatan korporasi yang merupakan bagian dari WCC, harus dibedakan antara ordinary crimes committed class people dan small business offense. Mahmud Mulyadi, dalam tesisnya juga mengutip pendapat Harkristuti Harkrisnowo dalam makalahnya yang juga disertai pendapat Hazel Croall. Didalam tesis tersebut dikemukakan bahwa kejahatan korporasi ini membawa kerugian yang luas bagi individu, masyarakat dan negara, karena adanya kesulitan dalam penegakan hukum serta sangat sulit dideteksi.
111
Secara garis besar , Kerugian yang ditimbulkan oleh kejahatan korporasi meliputi hal-hal berikut: 112 1. Kerugian di bidang ekonomi / materi Meski sulit untuk mengukur secara tepat jumlah kerugian yang ditimbulkan oleh kejahatan korporasi, terutama karena tidak adanya badan yang secara khusus bertugas mencatat kejahatan korporasi, berbeda dengan kejahatan warungan/konvensional,
yaitu
kepolisian.
Namun
berbagai
peristiwa
menunjukkan bahwa tingkat kerugian ekonomi yang ditimbulkan oleh kejahatan ini luar biasa besarnya, khususnya bila dibandingkan dengan kerugian yang ditimbulkan oleh kejahatan warungan seperti perampokan, pencurian, penipuan. Misalanya perkiraan yang dilakukan oleh Subcommitee on Antitrust and Monoplay of the US Senate Judiciary Commites yang diketuai oleh Senator Philip Hart memperkirakan kerugian yang ditimbulkan 111 112
Ibid,Hal. 72 Setiyono, Op. Cit. Hal.54 - 56
Universitas Sumatera Utara
oleh kejahatan korporasi antara 174-231 miliar dollar per tahun. Ini adalah angka yang sangat jauh bila dibandingkan kejahatan warungan yang berkisar 3-4 miliar (R.C. Kramer, dalam Susanto, 1995:2) 2. Kerugian di bidang kesehatan dan keselamatan jiwa Menurut Geis setiap tahunnya korporasi bertanggungjawab terhadap ribuan kematian dan cacat tubuh yang terjadi di seluruh dunia. Resiko kematian dan cacat yang disebabkan oleh korporasi dapat diakibatkan baik oleh produk yang dihasilkan oleh korporasi maupun dalam proses produksi, sehingga yang menjadi korban kejahatan korporasi adalah masyarakat luas, khususnya konsumen dan mereka yang bekerja pada korporasi. Dengan membandingkan kerugian yang ditimbulkan oleh kejahatan korporasi tersebut terhadap buruh (mereka yang bekerja pada korporasi) dengan kerugian yang ditimbulkan oleh kejahatan warungan melalui data statistik yang dibuat oleh FBI dan data dari The president’s Report On Occupational Safety and Healthy tahun 1973, Reiman menyimpulkan bahwa kematian maupun kerugian fisik yang diakibatkan oleh kejahatan korporasi luarbiasa besarnya, bila dibandingkan dengan kejahatan warungan, yaitu 100.000 dibandingkan 9.235 untuk kematian dan 390.000 berbanding dengan 218.385 untuk kerugian fisik. Sementara dalam hubungannya dengan besarnya ancaman kejahatan yang dibuat oleh FBI melalui gambaran crime of clocks, terjadi pembunuhan setiap 26 menit pada tahun 1974 bila dibangingkan dengan kematian yang terjadi dibidang industri setiap 4,5 menit. Kematian atau cacat yang diakibatkan oleh industri ini bukanlah karena kecelakaan di tempat kerja semata, akan tetapi
Universitas Sumatera Utara
sebagian besar disebabkan oleh penyakit yang pada umumnya karena kondisikondisi di luar kontrol pekerja, seperti kadar coal dust (yang menyebabkan sakit black lung) atau debu tekstil (yang menyebabkan byssinosis atau brown lung) atau serat asbestos (yang dapat menyebabkan kanker) atau ter arang (coal tars) yang menyebabkan kanker paru-paru (Reiman, dalam Susanto, 1995:22)
3. Kerugian di bidang sosial dan moral Disamping kerugian ekonomi, kesehatan dan jiwa, kerugian yang tidak kalah pentingnya yang ditimbulkan oleh kejahatan korporasi adalah kerugian di bidang sosial dan moral. Dampak yang ditimbulkan oleh kejahatan korporasi adalah merusak kepercayaan masyarakat terhadap perilaku bisnis, seperti pernyataan dari The President’s Commision on Law Enforcement and Administration of Justice bahwa kejahatan korporasi merupakan kejahatan yang paling penting mencemaskan bukan saja karena kerugiannya yang sangat besar, akan tetapi akibat yang merusak terhadap ukuran-ukuran moral perilaku bisnis orang Amerika. Kejahatan bisnis (korporasi) merongrong kepercayaan publik terhadap sistem bisnis, sebab kejahatan demikian diintegrasikan ke dalam struktur bisnis yang sah (the structure of legitimate business). Menurut Hazel Croall, sebagaimana yang dikemukakan oleh Harkrisnowo, bahwa kesulitan mendeteksi kejahatan korporasi ini karena hanya karakteristik umum yang melekat pada white collar crime , yaitu:
113
113
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
1) Tidak kasat mata (low visibility) 2) Sangat kompleks (complexity) 3) Ketidakjelasan pertanggungjawaban pidana (diffusion of responsibility) 4) Ketidakjelasan korban (diffusion of victim) 5) Aturan hukum yang samar (ambiguous criminal law) 6) Serta sulit mendeteksi dan dilakukan penuntutan (weak detection and prosecution).
3. Pertanggungjawaban pidana korporasi c. Ajaran pertanggungjawaban pidana korporasi Hukum
pidana
telah
mengalami
pergeseran
mainstream.
Pertanggungjawaban pidana yang pada awalnya selalu dikonsepsikan hanya dapat dijatuhkan pada manusia dengan adanya guilty mind, kini telah dapat pula dijatuhkan pada korporasi, kendatipun secara hakiki korporasi hanyalah institusi yang tidak mungkin memiliki guilty mind tadi. Pergeseran ini terjadi bukannya tanpa sebuah argumentasi, melainkan ada beberapa teori yang mendasari mengapa pembebanan pertanggungjawaban kepada korporasi dapat dibenarkan. Setidaknya ada dua mainstream yang menjadi landasan pokok pembenaran pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi, yaitu Doctrine of strict liability dan doctrine of vicarious liability. Walaupun secara faktual, masih ada beberapa ajaran lain yang dapat dijadikan landasan teoretis bagi pembenaran pembebanan pertanggungjawaban pidana pada korporasi. Berikut
Universitas Sumatera Utara
akan dijelaskan satu persatu mengenai ajaran-ajaran pertanggungjawaban pidana korporasi, yaitu: 1) Doctrine of Strict Liability Salah
satu
pemecahan
praktis
bagi
masalah
pembebanan
pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang berkerja di lingkungan suatu korporasi kepada korporasi tempat ia bekerja adalah dengan menerapkan doctrine of strict liability. Menurut doktrin atas ajaran strict liability ini, pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan kepada pelaku tindak pidana yang bersangkutan dengan tidak perlu dibuktikan adanya kesalahan (kesengajaan atau kelalaian) pada pelakunya. Oleh karena menurut ajaran strict liability pertanggungjawaban pidana bagi pelakunya tidak dipermasalahkan, maka strict liability disebut juga absolute liability. Jika diistilahkan dengan istilah bahasa Indonesia disebut pertanggungjawaban mutlak. 114 Hamzah
Hatrik
mendefenisikan
bahwa
strict
liability
adalah
pertanggungjawaban tanpa kesalahan (liability without fault), yang dalam hal ini si pembuat sudah dapat dipidana jika ia telah melakukan perbuatan yang dilarang sebagaimana yang telah dirumuskan dalam undang-undang, tanpa melihat lebih jauh sikap batin si pembuat. 115 Siswanto Sunarso dalam bukunya Hukum Pidana Lingkungan Hidup dan Strategi Penyelesaian Sengketa juga menerangkan bahwa menurut doktrin ”strict 114 115
liability”
(pertanggungjawaban
ketat)
seseorang
sudah
dapat
Sutan Remy Sjahdeini,Op.Cit. Hal. 78 Hamzah Hatrik, Loc Cit.Hal. 110
Universitas Sumatera Utara
dipertanggungjawabkan untuk tindak pidana tertentu walaupun pada diri orang itu tidak ada kesalahan (mens rea) . Secara singkat, strict liability diartikan sebagai
”liability
without
fault”
(pertanggungjawaban
pidana
tanpa
kesalahan). 116 Pendapat senada juga diutarakan oleh Muladi sebagaimana dikutip oleh M. Hamdan dalam bukunya Tindak Pidana Pencemar Lingkungan.
117
Arief memberikan defenisi mengenai strict liability, sebagaimana dikemukakan Hamzah Hatrik dalam bukunya Asas Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia, yaitu bahwa strict liability adalah adalah pertanggungjawaban tanpa kesalahan (liability without fault). Ini berarti bahwa si pembuat sudah dapat dipidana, jika telah melakukan perbuatan sebagaimana yang dirumuskan dalam undang-undang tanpa melihat bagaimana sikap batinnya. 118 Hukum pidana menganut asas ”actus non facit reum, nisi mens sit rea” atau ”tiada pidana tanpa kesalahan”, yaitu yang dikenal sebagai doctrine of mens rea. Namun kini, dalam perkembangan hukum pidana yang terjadi belakangan
diperkenalkan
pula
tindak-tindak
pidana
yang
pertanggungjawaban pidananya dapat dibebankan kepada pelakunya sekalipun pelakunya tidak memiliki mens rea yang disyaratkan. Cukuplah apabila dapat dibuktikan bahwa pelaku tindak pidana telah melakukan actus reus, yaitu melakukan perbuatan yang dilarang oleh ketentuan pidana atau tidak 116
Siswanto Sunarso, Hukum Pidana Lingkungan Hidup dan Strategi Penyelesaian Sengketa, Rineka Cipta, Jakarta, 2005, Hal. 141 117 M. Hamdan, Tindak Pidana Pencemaran Lingkungan Hidup, Mandar Maju, Bandung, 2000, Hal. 89-90. 118 Hamzah Hatrik, Op.Cit. Hal. 13
Universitas Sumatera Utara
melakukan perbuatan yang diwajibkan oleh ketentuan pidana. Tindak-tindak pidana yang demikian itu disebut offences of strict liability atau yang sering dikenal juga sebagai offences of absolute prohibition. 119 Berkaitan dengan mens rea ini, Siswanto Sunarso mengutip pendapat Roeslan Saleh sebagaimana dikemukakan oleh Muladi dalam bukunnya, bahwa kata ini diambil orang dari suatu maxim yang berbunyi: Actus non est reus nisi mens sit rea, yang maksudnya adalah suatu perbuatan tidak menjadikan seseorang bersalah kecuali pikirannya salah.120 Menurut LB.Curzon, sebagaimana dikutip oleh M.Hamdan dalam bukunya Tindak Pidana Pencemaran Lingkungan Hidup, menyatakan bahwa doktrin Strict Liability ini didasarkan pada alasan-alasan sebagai berikut: 121 a) Adalah sangat esensisal untuk menjamin dipatuhinya peraturan-peratuan penting tertentu yang diperlukan untuk kesejahteraan masyarakat. b) Pembuktian adanya mens rea akan menjadi sangat sulit untuk pelanggaran-pelanggaran
yang
berhubungan
dengan
kesejahteraan
masyarakat. c) Tingginya tingkat ”bahaya sosial” yang ditimbulkan oleh perbuatan yang bersangkutan. Sutan Remy mengutip pendapat Loeby Loeqman yang menyatakan bahwa dalam praktiknya di Indonesia, ajaran strict liability sudah diterapkan antara lain untuk pelanggaran lalu lintas. Para pengemudi kendaraan bermotor yang melanggar lampu lalu lintas, misalnya tidak berhenti pada waktu lampu lalu 119
Sutan Remy, Loc.Cit. Hal. 78 Siswanto Soenarso, Op.Cit. Hal, 141-142 121 M.Hamdan, Loc.Cit. Hal. 90 120
Universitas Sumatera Utara
lintas menunjukkan lampu yang berwarna merah menyala, akan ditilang oleh polisi dan selanjutnya akan disidang dimuka pengadilan. Hakim dalam memutuskan hukuman atas pelanggaran tersebut tidak akan mempersoalkan ada tidaknya kesalahan pada pengemudi yang melanggar peraturan lalu lintas tersebut. 122 Namun, menurut common law, sebagaimana dikutip oleh Barda Nawawi Arief dalam bukunya Perbandingan Hukum Pidana, Strict Liability berlaku untuk tiga macam delik, yaitu:
123
1) Public nuisance (ganguan terhadap ketertiban umum,menghalangi jalan raya, mengeluarkan bau tidak enak yang mengganggu lingkungan.) 2) Criminal libel (fitnah, pencemaran nama); 3) Contempt of court (pelanggaran tata tertib pengadilan).
Ajaran strict liability ini telah diakomodir oleh RUU KUHP Tahun 2005 , dimana pada pasal 38 ayat (1) mengemukakan sebagai berikut: Bagi tindak pidana tertentu, undang-undang dapat menentukan bahwa seseorang dapat dipidana semata-mata karena telah dipenuhinya unsusrunsur tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan adanya kesalahan Selanjutnya, penjelasan pasal 37 ayat (2) juga dikemukakan bahwa: Ketentuan dalam ayat ini juga merupakan suatu perkecualian seperti halnya ayat (2). Oleh karena itu, tidak berlaku juga bagi semua tindak pidana, melainkan hanya untuk tindak pidana tetentu yang ditetapkan oelh undang-undang. Untuk tindak pidana tetentu tersebut, pembuat tindak pidananya telah dapat dipidana hanya karena telah dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana oleh perbuatannya. Di sini kesalahan pembuat tindak pidana
122 123
Sutan Remy, Op.Cit. Hal. 80 Barda Nawawi, Perbandingan Hukum Pidana, Rajawali Press, Jakarta, 2003, Hal. 28.
Universitas Sumatera Utara
dalam melakukan perbuatan tersebut tidak lagi diperhatikan. Asas ini dikenal sebagai asas ”strict liability”
Kondisi
demikian
menunjukkan
bahwa
RUU
KUHP
telah
menkonsepsikan bahwa apabila terhadap suatu tindak pidana perlakunya akan dipertanggungjawabkan tanpa keharusan melakukan pembuktian terhadap adanya kesalahan (mens rea) pada pihak pelaku ketika perilaku (actus reus), baik perilaku yang berupa ”melakukan perbuatan tertentu yang dilarang oleh undang-undang” (commision) maupun ”tidak melakukan perbuatan yang diwajibkan oleh undang-undang” (ommision), dilakukan oleh pelaku, haruslah hal itu dengan tegas ditentukan dalam undang-undang itu sendiri. Apabila tidak ditentukan secara tegas di dalam undang-undang itu bahwa ”seseorang dapt dipidana semata-mata karena telah dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan adanya kesalahan” (perlu diingat bahwa ”kesalahan” bukan merupakan unsur tindak pidana tetapi merupakan unsur pertanggungjawaban pidana). Berkaitan
dengan
124
korporasi,
maka
korporasi
dapat
dibebani
pertanggungjawaban pidana untuk tindak pidana yang tindak pidana yang tidak dipersyaratkan adanya mens rea bagi pertanggungjawaban tindak pidana itu berdasarkan doktrin strict liability. Ternyata tidak banyak tindak pidana yang dapat dipertanggungjawabkan kepada pelakunya tanpa adanya unsur mens rea. Sementari banyak sekali tindak pidana yang idlakukan oleh pengurus korporasi untuk kepentingan korporasi yang dipimpinnya, yang
124
Sutan Remy,Op.Cit. Hal. 82
Universitas Sumatera Utara
sangat merugikan masyarakat. Misalnya, tindak pidana yang menyangkut pencemaran lingkungan, perlindungan konsumen, dan keuangan perusahaan. Oleh karena itu
mulai timbul pemikiran di kalangan hukum tentang
bagaimana dapat membebankan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi atas dilakukannya tindak-tindak pidana yang mensyaratkan adanya unsur mens rea bagi pertanggungjawabannya. Ketika asas pertanggungjawaban mutlak diterapkan secara luas, yaitu bagi semua tindak pidana, ternyata banyak kritik atau tantangan yang diperoleh. Oleh karena itu, perlu ada alasan pembenar agar korporasi dapat dibebani pertanggungjawaban pidana bagi tindak pidana-tindak pidana yang mengharuskan adanya mens rea untuk pertanggungjawabannya. Alasannya, korporasi tidak mungkin memiliki mens rea karena tidak memiliki kalbu, tetapi juga korporasi tidak mungkin dapat melakukan sendiri tindak pidana tersebut. Dengan demikian, tindak pidana pastilah hanya dapat dilakukan oleh manusia untuk dan atas nama korporasi. Sebagai suatu fuksi hukum, yaitu bahwa korporasi adalah suatu legal entity. Korporasi hanya dapat melakukan perbuatan hukum yang mengikat dirinya, apabila perbuatan hukum itu dilakukan oleh perngurusnya atau oleh pegawai yang memperoleh wewenang dari pengurus untuk melakukan perbuatan hukum itu. 125
125
Ibid. Hal. 83
Universitas Sumatera Utara
o Doctrine of Vicarious Liability Vicarious liability adalah suatu pertanggungjawaban pidana yang dibebankan kepada seseorang atas perbuatan orang lain. 126 Barda Nawawi Arief, mengistilahkan konsep pertanggungjawaban ini dengan istilah ”pertanggungjawaban pengganti”. 127 Sutan Remy mengutarakan hal yang senada bahwa ajaran ”vicarious liability”, atau yang dalam bahasa Indonesia disebut dengan istilah ”pertanggungjawaban vikarius / pertanggungjawaban pengganti”, adalah pertanggungjawaban pidana dari tindak pidana yang dilakukan, misalnya oleh A kepada B.” 128 Terori Atau doktrin atau ajaran ini diambil dari hukum perdata yang diterapkan pada hukum pidana. Vicarious liability biasanya berlaku dalam hukum perdata tentang perbuatan melawan hukum (the law of torts) berdasarkan doctrine of respondeat superior (Low,1990:251). Menurut asas repondeat superior, di mana ada hubungan antara master dan servant atau antara principal dan agent, berlaku maxim yang berbunyi qui facit per alium facit per se (Jowitt dan Walsh),1977:1564). Menurut maxim tersebut seorang yang berbuat melalui orang lain dianggap di sendiri yang melakukan perbuatan itu. Contohnya adalah seorang principal (pemberi kuasa) bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan oleh agent (penerima kuasa) sepanjang perbuatan itu dilakukan dalam lingkup kewenangannya
126
Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidang, Mandar Maju, Bandung, 2000,
127
Barda Nawawi Arief, Op.Cit. Hal. 33 Sutan Remy, Op.Cit.Hal 84
Hal. 79 128
Universitas Sumatera Utara
(Jowitt dan Walsh,1977:1485). Oleh karena itu ajaran vicarious liability juga disebut sebagai ajaran respondent superior.
129
Hamzah Hatrik mengutip pendapat Black mengenai vicarious liability ini, yaitu indirect legal responsibility, for example, the liability of an employer for the acts of an employes, or principal for torts an contracts of an agent.130 Hatrik juga mengutip pendapat Roeslan Saleh bahwa pada umumnya seseorang bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri. Tetapi ada yang disebut vicarious liability, maka orang yang bertanggung jawab atas perbuatan orang lain dalam hal ini aturan undang-undanglah yang menetapkan siapasiapakah yang dipandang bertanggung jawab sebagai pembuat. 131 Pertanggungjawaban pidana yang demikian ini misalnya terjadi dalam hal perbuatan –perbuatan yang dilakukan oleh orang lain itu ada dalam ruang lingkup pekerjaan atau jabatannya. Jadi pada umumnya terbatas pada kasuskasus yang menyangkut hubungan antara majikan dengan buruh, pembantu, atau bawahannya. Dengan demikian dalam pengertian ”vicarious liability” ini, walaupun seseorang tidak melakukan sendiri suatu tindak pidana dan tidak mempunyai
kesalahan
dalam
arti
yang
biasa,
ia
masih
tetap
dipertanggungjawabkan. 132 Sistem pertanggungjawaban seperti ini tidak dikenal dalam sistem hukum civil law. Vicarious liability ini berlaku hanya pada jenis tindak pidana
129
Ibid. Hamzah Hatrik, Op.Cit. Hal. 115. 131 Ibid. Hal. 116 132 M. Hamdan, Op.Cit. Hal. 90 130
Universitas Sumatera Utara
tertentu menurut hukum pidana Inggris. Vicarious liability hanya berlaku terhadap: 133 1. Delik-delik yang mensyaratkan kualitas. 2. Delik-delik yang mensyaratkan adanya hubungan antara buruh dan majikan. Apabila
teori
ini
diterapkan
pada
korporasi,
berarti
korporasi
dimungkinkan harus bertanggungjawab atas perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh para pegawainya, kuasanya, atau mandatarisnya, atau siapa pun yang bertanggung jawab kepada korporasi tersebut. Doktrin ini, yang semula dikembangkan berkaitan dengan konteks pertanggungjawaban perbuatan melawan hukum (tortius liability) dalam hukum perdata, dengan ragu-ragu telah diambil kedalam hukum pidana, terutama apabila tindak pidana tersebut adalah jenis tindak pidana yang merupakan absolute liability offences / strict liability offences (Boisvert,1999), yaitu tindak pidana yang tidak mensyaratkan adanya mens rea bagi pemidanaannya. 134 Doktrin pertanggungjawaban pengganti seringkali dikritik oleh mereka yang berpendirian bahwa doktrin ini bertentangan dengan ketentuan moral yang berlaku dala sistem keadilan (justice system)
yang didasarkan pada
pemidanaan (punishment) atas kesalahan manusia (individual fault) untuk mempertanggungjawabkan seseorang karena telah melakukan perbuatan tertentu (yang diwajibkan oleh hukum). Teori ini secara serius dianggap menyimpang dari doktrin mens rea karena teori ini berpendapat bahwa 133 134
Romli Atmasasmita, Ibid. Hal. 79. Sutan Remy, Op.Cit. Hal. 85-86
Universitas Sumatera Utara
kesalahan manusia secara otomatis begitu saja diatributkan kepada pihak lain yang tidak melakukan kesalahan apa pun (Boisvert,1999). 135 Penerapan doktrin ini hanya dapat dilakukan setelah dapt dibuktikan bahwa memang terdapat hubunan subordinasi antara pemberi kerja (employer) dan orang yang melakukan tindak pidana tersebut. Luasnya otonomi dari seorang pegawai profesional, perwakilan, atau kuasa dari korporasi tersebut, dapat menimbulkan keragu-raguan mengenai hubungan subordinasi tersebut, yaitu apakah hubungan itu merupakan hubungan yang cukup memadai untuk dapat mempertanggungjawabkan tindak pidana yang dilakukan oleh bawahannya itu kepada pemberi kerjanya. Lebih lanjut, harus dipastikan apakah seorang pegawai atau kuasa dari korporasi yang bukan merupakan pegawai dalam arti yang sebenarnya, dalam melakukan tindak pidana itu telah bertindak dalam rangka tugasnya apabila korporasi itu memang harus memikul tanggung jawab atas perbuatannya. Sementara itu, tidak dapat diketahui dengan jelas apakah perbuatan pelaku tindak pidana itu memang telah dilakukan dalam rangka tugasnya (Boisvert:1999).136 Saat ini, KUHP tidak menganut asas pertanggungjawaban pengganti (vicarious liability). Akan tetapi asas ini diadopsi dan dimasukkan kedalam RUU KUHP 2005 sebagaimana ternyata dari bunyi pasal 38 ayat (2) sebagai berikut :
135 136
Ibid. Ibid. Hal 87.
Universitas Sumatera Utara
Dalam hal tertentu, setiap orang dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain, jika ditentukan dalam suatu undang-undang. Dalam penjelasannya juga dikemukakan sebagai berikut: Ketentuan ayat ini merupakan pengecualian dari asas tiada pidana tanpa kesalahan. Lahirnya pengecualian ini merupakan penghalusan
dan
pendalaman asas regulatif dari yuridis moral yaitu dalam hal-hal tertentu tanggung jawab seseorang dipandang patut diperluas sampai kepada tindakan bawahannya yang melakukan pekerjaan atau perbuatan untuknya atau dalam batas-batas perintahnya. Oleh karena itu, meskipun seseorang dalam kenyataannya tidak melakukan tindak piana namun dalam rangka pertanggungjawaban pidana ia dipandang mempunyai kesalahan jika perbuatan orang lain yang berada dalam kedudukan sedemikian itu merupakan tindak pidana. Sebagai suatu pengecualian, maka ketentuan ini penggunaannya harus dibatasi untuk kejadian-kejadian tertentu yang ditentukan secara tegas oleh undang-undang agar tidak digunakan secara sewenang-wenang. Asas pertanggungjawaban yang bersifat pengecualian ini dikenal sebagai asas tanggung jawab mutlak atau ”vicarious liability”. Sebagaimana penerapan asas pertanggungjawaban mutlak (doctrine of strict liability atau absolute liability) berdasarkan ketentuan pasal 38 ayat (2) RUU KUHP 2005 yang hanya dapat dilakukan apabila secara tegas suatu undang-undang menentukan demikian, bagitu juga halnya dengan penerapan asas pertanggungjawaban pengganti, bahwa asas tersebut hanya diterapkan
Universitas Sumatera Utara
apabila undang-undang yang bersangkutan menentukan demikian. Dengan kata lain, penuntut umum dan hakim tidak boleh mempertanggungjawabkan perbuatan seseorang kepada pihak lain, baik pihak lain itu adalah orang lain (misalnya pegawainya) maupun korporasi (misalnya yang dikelolanya) apabila undang-undang tidak menentukan secara tegas bahwa tindak pidana yang bersangkutan boleh dipertanggungjawabkan kepada pihak lain melalui cara penggantian.
d. Korporasi sebagai subjek tindak pidana Konsep hukum pidana yang sangat dipengaruhi asas universitas delinquere non potest atau societas delinquere non potest yang berarti bahwa badan-badan hukum tidak dapat melakukan tindak pidana, kini telah mengalami pergeseran. Perkembangan tatanan kehidupan yang menunjukkan bahwa peranan korporasi saat ini semakin dominan dan berpengaruh dalam segala aspek kehidupan masyarakat, melahirkan sebuah kondisi dimana sangat dimungkinkan munculnya pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan korporasi sebagai sebuah konsekuensi logis dari eksistensinya dalam kancah kehidupan. Kondisi seperti inilah yang akhirnya mendorong reformasi konsepsi dalam hukum pidana, yang awalnya tidak menerima korporasi sebagai pelaku tindak pidana, namun karena realitas menunjukkan sebaliknya, pun akhirnya menerima keberadaan korporasi sebagai pelaku tindak pidana. Rudi Prasetya mengungkapkan, sebagaimana dikutip oleh Hamzah Hatrik dalam bukunya Asas Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana
Universitas Sumatera Utara
Indonesia, bahwa perkemangan mengenai konsep korporasi sebagai subjek tindak pidana, sebenarnya merupakan akibat perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat ketika menjalankan aktivitas usaha. Masyarakat yang masih sederhana,
menjalankan
usahanya
secara
perorangan.
Namun,
dalam
perkembangan selanjutnya, timbul kebutuhan untuk mengadakan kerja sama dengan pihak lain dalam menjalankan kegiatan usaha. Beberpa faktor pertimbangan untuk mengadakan kerjasama antara lain adalah terhimpunnya modal yang lebih banyak, tergabungnya keterampilan dalam suatu usaha jauh lebih baik dibanding suatu usaha dijalankan seorang diri, dan mungin pula pertimbangan dapat membagi resiko kerugian. 137 Hamzah Hatrik juga mengutip pendapat dari I.S Soesanto, yang mengungkapkan
mengenai
perbedaan
dan
perubahan
dalam
perekonomian masyarakat tersebut dilatarbelakangi beberapa hal, yaitu:
kegiatan 138
1) Kebutuhan modal dalam jumlah besar, sehingga menghasilkan usaha-usaha untuk mengumpulkan dana masyarakat secara intensif; 2) Perubahan dalam pemikiran yang dapat dilihat ke dalam kekuasaan dan hakhak yang tidak tampak seprti, deposito, saham dan surat berharga; 3) Kegiatan ekonomi yang berorientasi ke pasar internasional; 4) Terjadinya perpindahan kepemilikan, yakni dari milik pribadi ke pemilikan korporasi; 5) Korporasi semakin meluas dalam kehidupan ekonomi dan kemasyarakatan.
137 138
Hamzah Hatrik, Op.Cit. Hal. 27-28. Ibid. Hal. 28
Universitas Sumatera Utara
Paradigma mengenai peranan korporasi yang semakin penting, turut dibahas pada Kongres PBB VII dalam tahun 1985 dengan tema ”Dimensi Baru Kejahatan dalam Konteks Pembangunan”. Pertemuan tesebut menyoroti gejala kriminalitas sebagai kelanjutan dari kegiatan dan pertumbuhan ekonomi dimana korporasi banyak berperan di dalamnya, seperti terjadinya manipulasi pajak, kerusakan lingkungan hidup, penipuan ansuransi, dan sebagainya yang dampaknya dapat merusak sendi-sendi perekonomian suatu negara. Karena menimbulkan efek negatif, maka kedudukan korporasi mulai bergeser dari subjek hukum biasa menjadi subjek hukum pidana. 139 Berkaitan dengan pembahasan mengenai perkembangan konsep korporasi sebagai subjek hukum pidana, Rudy Prasetya sebagaimana dikutip oleh Mahmud Mulyadi dalam Tesisnya, mengatakan bahwa timbulnya konsep badan hukum adalah sekedar konsep dalam hukum perdata sebagai kebutuhan untuk menjalankan kegiatan usaha yang diharapkan lebih berhasil. Korporasi (badan hukum) merupakan ciptaan hukum, yaitu pemberian status sebagai subjek hukum kepada suatu badan, disamping subjek hukum yang berwujud manusia alamiah. Dengan demikian, badan hukum dianggap dapat menjalankan atau melukan suatu tindakan hukum. 140 Rudy Prasetya menambahkan, sebagaimana yang dimuat Mahmud Mulyadi dalam tesisnya, bahwa dalam pemberian status hukum khusus yang berupa badan tersebut, dalam perkembangannya dapat terjadi karena macam alasan dan/atau motivasi. Salah satu alasannya adalah untuk memudahkan 139 140
Muladi & Dwija Prijatno, Op.Cit, Hal. 27. Mahmud Mulyadi, Tesis, Op.Cit. Hal. 73
Universitas Sumatera Utara
menentukan siapa yang harus bertanggungjawab di antara mereka yang terhimpun dalam badan hukum tersebut, yakni secara yuridis dikonstruksikan dengan menunjuk badan hukum sebagai subjek yang bertanggungjawab. 141 Oleh karena itu, dalam sejarah perkembangan eksistensi korporasi sebagai subjek hukum, diakui pula oleh bidang hukum di luar hukum perdata, misalnya hukum pajak dan hukum administrasi negara serta hukum pidana. 142 Pengakuan hukum pajak terhadap korporasi tercantum dalam UndangUndang ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Undang-Undang No. 6 Tahun 1983). Pada Bab I ketentuan Umum, Pasal 1 butir (a) menyebutkan bahwa wajib pajak adalah orang atau badan perundang-undangan
perpajakan
yang menurut ketentuan peraturan
ditentukan
untuk
melakukan
kewajiban
perpajakan. 143 Hamzah Hatrik memuat pendapat Rudy Prasetya yang mengatakan bahwa korporasi dalam hukum administrasi negara, tampak dalam pemberian izin usaha, yang dalam beberapa hal mensyaratkan bahwa izin usahanya hanya dapat diberikan jika pemohon izin mengambil bentuk badan hukum atau Perseoran Terbatas. Ketentuan demikian, tidak hanya berlaku di Indonesia, tetapi berlaku universal di berbagai negara. Sedangkan, ketentuan yang mensyaratkan bentuk badan hukum didasarkan atas berbagai pertimbangan, yang paling dominan ialah atas dasar alasan agar lebih mudah menunjuk siapa penanggungjawabnya dan atau terjaminnya kontinuitasnya. 144
141
Ibid. Hamzah Hatrik, Op.Cit. Hal. 29 143 Ibid. 144 Ibid. Hal. 29-30. 142
Universitas Sumatera Utara
Senada dengan hukum pajak dan hukum administrasi negara, hukum pidana pun mengakui keberadaan korporasi sebagai subjek hukum pidana yang dapat pula dimintai pertanggungjawabannya. Walaupun KUHP masih menganut konsepsi bahwa yang dapat menjadi pelaku tindak pidana hanya manusia alamiah (Pasal 59 KUHP), namun dalam rumusan RUU KUHP Tahun 2004 pasal 44 dinyatakan bahwa ”Korporasi merupakan subjek tindak pidana”. Dalam pasal 165 RUU tersebut juga dirumuskan bahwa yang dimaksud dengan ”setiap orang” adalah orang perseorangan, termasuk korporasi. 145 Berkaitan dengan keberadaan korporasi sebagai subjek hukum pidana, masih ditemui adanya pro dan kontra mengenai konsepsi ini. Berkaitan dengan hal ini, A.Z. Abidin, yang mendukung korporasi sebagai subjek tindak pidana menyatakan bahwa: 146 ”Pembuat delik yang merupakan korporasi itu oleh Rolling dimasukkan kedalam fuctioneel daderschaap (pelaku fungsional), oleh karena korporasi dalam dunia modern mempunyai peranan penting dalam kehidupan ekonomi yang mempunyai banyak fungsi, pemberi kerja, produsen, penentu harga, pemakai devisa dan lainlain.
Pihak yang pro menjadikan korporasi sebagai subjek tindak pidana beralasan sebagai berikut: 147 •
Roeslan Saleh mengemukakan bahwa dipidananya pengurus tidak cukup untuk mengadakan represi terhadap delik-delik yang dilakukan oleh atau 145
Sutan Remy, Op.Cit. Hal. 39-40 Muladi & Dwija Prijatno, Op.Cit. Hal. 29 147 Ibid. Hal. 31-32 146
Universitas Sumatera Utara
dengan suatu korporasi. Karenanya diperlukan pula untuk dimungkinkan mempidana korporasi, korporasi dan perngurus atau pengurus saja. •
Roeslan Saleh juga mengingatkan bahwa dalam kehidupan sosial dan ekonomi ternyata korporasi semakin memainkan peranan yang penting. Sehingga menjadi hal yang penting pula untuk memasukkan korporasi kedalam subjek hukum pidana untuk mengantisipasi access negatif yang mungkin muncul.
•
Schaffmeister menuturkan bahwa hukum pidana harus mempunyai fungsi dalam masyarakat yaitu melindungi masyarakat dan menegakkan normanorma dan ketentuan-ketentuan yang ada dalam masyarakat. Kalau hukum pidana hanya ditekankan pada segi perorangan, yang hanya berlaku pada manusia, maka tujuan itu tidak efektif, oleh karena itu tidak ada alasan untuk selalu menekan dan menentang dapat dipidananya korporasi.
•
George E. mengatakan bahwa dipidananya korporasi dengan ancaman pidana adalah salah satu upaya untuk menghindarkan tindakan pemidanaan terhadap para pegawai korporasi itu sendiri. Sutan Remy mengutip pendapat Boisvert yang menyatakan bahwa pihak
yang setuju bahwa korporasi dapat dibebani dengan pertanggungjawaban pidana berpendapat bahwa korporasi bukanlah suatu fiksi. Korporasi benar-benar eksis dan menduduki posisi penting di dalam masyarakat dan berkemampuan untuk menimbulkan kerugian bagi pihak lain dalam masyarakat seperti halnya manusia. Memperlakukan korporasi seperti manusia (natural person) dan membebani pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dibuat oleh korporasi, sejalan
Universitas Sumatera Utara
dengan asas hukum bahwa siapa pun sama di hadapan hukum (principle of equality before the law). Korporasi-korporasi yang memberikan dampak yang besar bagi kehidupan sosial, seharusnya diwajibkan juga untuk menghormati nilai-nilai fundamental dari masyarakat kita yang ditentukan oleh hukum pidana. 148 Sementara itu, Elliot dan Quinn yang pendapatnya dikutip oleh Sutan Remy, menyatakan bahwa ada beberapa alasan mengenai perlunya pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi. Alasan-alasan tersebut adalah: 149 a) Tanpa pertanggungjawaban pidana korporasi, perusahaan-perusahaan bukan mustahil dapat menghindarkan diri dari peraturan pidana dan hanya para pegawainya yang dituntut karena telah melakukan tindak pidana yang sebenarnya merupakan kesalahan dari kegiatan usaha yang dilakukan oleh perusahaan. b) Dalam beberapa kasus, demi tujuan prosedural, lebih mudah untuk menuntut suatu perusahaan daripada para pegawainya. c) Dalam hal suatu tindak pidana yang serius, sebuah perusahaan lebih memiliki kemampuan untuk membayar denda yang dijatuhkan daripada pegawai perusahaan tersebut. d) Ancaman penuntutan pidana terhadap perusahaan dapat mendorong para pemegang saham untuk melakukan pengawasan terhadap kegiatan-kegiatan prusahaan di mana mereka telah menanamkan investasinya.
148 149
Sutan Remy, Op.Cit. Hal. 55. Ibid. Hal. 55-56
Universitas Sumatera Utara
e) Apabila sebuah perusahaan telah mengeruk keuntungan dari kegiatan usaha yang ilegal, maka seharusnya perusahaan itu pula yang memikul sanksi atas tindak pidana yang dilakukan, bukannya pegawai perusahaan itu. f) Pertanggungjawaban korporasi dapat
mencegah perusahaan-perusahaan
menekan pegawainya, baik secara langsung atau tidak langsung, agar para pegawai itu mengusahakan perolehan laba tidak dari melakukan usaha yang ilegal. g) Publisitas yang merugikan dan pengenaan pidana denda terhadap perusahaan itu dapat berfungsi sebagai pencegah bagi perusahaan untuk melakukan kegiatan yang ilegal, dimana hal ini tidak mungkin terjadi bila yang dituntut itu adalah para pegawainya. Secara pribadi, Sutan Remy mencoba memberikan suatu rumusan mengenai
alasan-alasan
mengapa
suatu
korporasi
dapat
dibebani
pertanggungjwaban pidana,sekalipun korporasi tidak dapat melakukan perbuatan sendiri, melainkan melalui orang-orang yang menjalankan kepengurusan atau kegiatan korporasi. Alasan-alasan tersebut antara lain: 150 1) Sekalipun korporasi dalam melaksanakan kegiatannya tidak melakukannya sendiri tetapi melalui orang-orang yang merupakan pengurus dan para pegawainya, namun apabila perbuatan itu dilakukan dengan maksud memberikan keuntungan
finansial ataupun
menghindarkan/mengurangi
kerugian finansial bagi korporasi yang bersangkutan, maka tidak adil bagi masyarakat
150
yang dirugikan baik berupa kerugian nyawa, badaniah
Ibid. Hal. 57-58
Universitas Sumatera Utara
(menimbulkan cacat jasmani) maupun materiil apabila korporasi tidak harus ikut bertanggungjawab atas perbuatan pengurus atau para pegawainya. 2) Tidak cukup pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada pengurus korporasi atas tindak pidana yang dilakukannya karena pengurus jarang memiliki harta kekayaan yang cukup untuk membayar pidana denda yang dijatuhkan kepadanya untuk biaya sosial yang harus dipikul sebagai akibat perbuatannya itu. 3) Membebankan pertanggungjawaban pidana hanya kepada pengurus korporasi, tidak cukup menjadi pendorong untuk dilakukannya tindakan-tindakan pencegahan
(precautionary
measures)
sehingga
mengurangi
tujuan
pencegahan (detterence) dari pemidanaan. 4) Pembebanan
pertanggungjawaban
pidana
kepada
korporasi
akan
menempatkan aset perusahaan ke dalam resiko berkenaan dengan perbuatanperbuatan tidak terpuji dari para pengurus korporasi (harus memikul beban pidana denda yang berat, kemungkinan dirampas oleh negara, dan lain-lain) sehingga
akan
mendorong
para
pemegang
saham
dan
para
komisaris/pengawas korporasi untuk melakukan pemantauan/pengawasan yang lebih ketat terhadap kebijakan dan kegiatan yang dilakukan oleh pengurus korporasi. Menurut Muladi, sebagaimana diutarakan oleh Dwija Prijatno dan dikutip oleh Edi Yunara dalam bukunya Korupsi dan Pertanggungjawaban Korporasi,
Universitas Sumatera Utara
pembenaran pertanggungjawaban korporasi sebagai pelaku tindak pidana dapat didasarkan atas hal-hal sebagai berikut: 151 1. Atas dasar falsafah integralistik, yakni segala sesuatu hendaknya diukur atas dasar keseimbangan, keselarasan, dan keserasian antara kepentingan individu dan kepentingan sosial. 2. Atas dasar asas kekeluargaan dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. 3. Untuk memberantas anomie of success (sukses tanpa aturan). 4. Untuk perlindungan konsumen. 5. Untuk kemajuan teknologi. Sedangkan pihak yang kontra mengemukakan alasan-alasan
sebagai
berikut: 152 a. Menyangkut masalah kejahatan sebenarnya kesengajaan dan kesalahan hanya terdapat pada para persona alamiah; b. Bahwa tingkah laku materiil yang merupakan syarat dapat dipidananya beberapa macam delik, hanya dapat dilaksanakan oleh persona alamiah (mencuri barang, menganiaya, orang dsb.); c. Bahwa pidana dan tindakan yang berupa merampas kebebasan orang, tidak dapat dikenakan terhadap korporasi. d. Bahwa tuntutan dan pemidanaan terhadap korporasi dengan sendirinya mungkin menimpa orang yang tidak bersalah;
151 152
Edi Yunara, Op.Cit. Hal. 31 Muladi dan Dwija Prijatna.Op.Cit. Hal. 31
Universitas Sumatera Utara
e. Dalam prakteknya tidak mudah menentukan norma-norma atas dasar apa yang dapat diputuskan, apakah pengurus saja atau korporasi itu sendiri atau kedua-duanya harus dituntut dan dipidana. Van
Bemmelen,
sebagaimana
dikutip
oleh
Hamzah
Hatrik
mengungkapkan bahwa cukup banyak yang tidak menyetujui rumusan pertanggungjawaban korporasi sebagai pembuat tindak pidana dalam buku I KUHP Belanda. Alasan-alasan yang dikemukakan berkisar pada hal berikut: 153 1) Kesengajaan dan kesalahan hanya ada pada personal alamiah. 2) Tingkah laku material sebagai syarat dapat dipidananya beberapa macam delik, hanya dapat dilakukan oleh persona alamiah; 3) Pidana dan tindakan perampasan kemerdekaan tidak dapat dikarenakan terhadap korporasi; 4) Tuntutan dan pemidanaan terhadap korporasi dapat merugikan orang-orang yang tidak bersalah; 5) Dalam praktek akan sulit menentukan apakah hanya pengurus atau korporasi yang dituntut dan dipidana, atau kedua-duanya hasur dituntut dan dipidana. Frank dan Lynch mengemukakan bahwa keberatan-keberatan prinsipil dari corporate criminal responsibility adalah bahwa orang yang tidak bersalah dapat terkena hukuman. Derita dari pemidanaan terhadap korporasi dapat terbebankan kepada pihak-pihak lain. Akibatnya , para konsumen akhirnya harus membayar harga yang lebih tinggi untuk barang-barang yang dibuat atau jasa-jasa korporasi yang
diberikan oleh korporasi yang terpidana itu. Para pemegang saham
153
Hamzah Hatrik, Op.Cit. Hal. 32
Universitas Sumatera Utara
korporasi yang pada kenyataannya tidak mengetahui mengenai keputusankeputusan yang dibuat, yaitu keputusan-keputusan yang telah menimbulkan kerugian, akan terpaksa harus menerima deviden yang jauh lebih kecil atau menderita kerugian karena nilai sahamnya mengalami penurunan. Sementara para pegawai korporasi tersebut kemungkinan terpaksa harus di PHK, atau diturunkan upahnya.
154
Clarkson dan Keating mengemukakan pendapat yang sejalan dengan pendapat Frank dan Lynch, yaitu bahwa hukuman yang dijatuhkan kepada suatu perusahaan berupa pidana denda sama saja artinya dengan menjatuhkan hukuman kepada pihak-pihak yang tidak bersalah, yaitu para pemegang saham, para kreditor, para pegawai, dan masyarakat yang harus memikul denda tersebut. Dengan kata lain, yang menderita justru mereka yang justru ingin dilindungi oleh hukum. 155 Terlepas dari pro dan kontra terhadap dapat dipertanggungjawabkannya korporasi dengan menempatkannya sebagai subjek hukum pidana, menurut Oemar Seno Adji, yang pernyataannya dikutip oleh Muladi & Dwija Prijatna, ...kemungkinan
adanya
pemidanaan
terhadap
persekutuan-persekutuan,
didasarkan tidak saja atas pertimbangan-pertimbangan utilitis melainkan pula atas dasar-dasar teoritis dibenarkan. 156
154
Sutan Remy, Op.Cit. Hal. 53 Ibid. Hal. 54 156 Muladi & Dwija Prijatna, Op.Cit. Hal. 32 155
Universitas Sumatera Utara
Sehubungan dengan masalah dapat dipidananya korporasi, Sudarto, sebagaimana dikutip oleh Muladi & Dwija Prijatno dalam bukunya yang berjudul Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana, menyatakan: 157 ”Saya tidak akan menyangkal kemungkinan peranan korporasi dikemudian hari, akan tetapi saya ingin mengetahui lam berlakunya undang-undang Tindak Pidana Ekonomi yang hampir 20 tahun itu ( Sekarang hampir 55 Tahun-pen.) berapakah korporasi yang telah dijatuhi pidana. Sayang sekali tidak dapat dijumpai angkaangka yang bisa dijadikan dasar untuk mengadakan perkiraan untuk masa depan. Angka-angka in dapat memberikan petunjuk sampai dimana kebutuhan akan perluasan pertanggungjawaban dari korporasi. Kalau pada delik-delik yang termasuk hukum pidana khusus itu kenyataannya tidak banyak pemidanaan yang dikenakan kepada korporasi, apakah perluasan itu memang diperlukan? Kalau aturan itu nanti betul-betul diterima, maka Indonesia akan tergolong sangat maju di seluruh dunia di bidang ini.
Berbicara
mengenai
masalah
pertanggungjawaban
pidana
yang
dibebankan kepada korporasi, maka perlu pula dikaji beberapa aspek yang terkait dengan pertanggungjawaban pidana korporasi, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan masalah kemampuan bertanggung jawab korporasi, masalah kulpabilitas dan alasan-alasan pemaaf pada korporasi. Private Member’s Bill C-284 158 telah menetapkan bahwa penjatuhan pertanggungjawaban pidana terhadap direksi dan pejabat-pejabat korporasi
157
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
lainnya dimana mereka bertindak sendiri-sendiri atau bersama-sama dengan orang lain, dan mensahkan (authorize) tindakan atau kelalaian yang menjadi tindak kejahatan. Jika direksi atau pejabat korporasi lainnya: i) mengetahui atau seharusnya mengetahui bahwa tindakan atau kelalaian itu merupakan tindak pidana, ii) mengetahui bahwa tindakan itu dilakukan atau akan dilakukan, dan iii) tidak atau gagal mengambil langkah yang memungkinkan untuk mencegah dilakukannya tindakan itu, maka mereka dapat dipidana atau dibenbankan tanggung jawab. •
Korporasi dan masalah kemampuan bertanggung jawab. Kemampuan bertanggung jawab dalam ilmu hukum pidana merupakan
masalah yang menyangkut keadaan batin orang yang melakukan tindak pidana. Van Hamel, sebagaimana dikutip oleh Hamzah Hatrik, menyatakan bahwa kemampuan bertanggung jawab adalah suatu keadaan normalitas psikis dan kematangan atau kedewasaan, sehingga seseorang mempunyai tiga macam kemampuan yaitu:
159
a) Mampu mengerti maksud perbuatannya; b) Mampu menyadari perbuatannya tidak dapat dibenarkan oleh masyarakat; c) Mampu menentukan kehendak dalam melakukan peruatannnya. Pendapat lain mengatakan bahwa mampu bertanggung jawab adalah mampu menginsyafi sifat melawan hukum (wederechtelijke) perbuatan dan mampu menentukan kehendak. 160 158
Undang-undang ini adalah peraturan yang ditetapkan untuk mengamandemen atau menambah ketentuan isi Penal Code Kanada, menyangkut kejahatan Korporasi beserta para pengurusnya. 159 Hamzah Hatrik, Op.Cit. Hal. 84 160 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Apabila rumusan kemampuan bertanggung jawab dihubungkan dengan korporasi sebagai subjek hukum pidana, maka muncul pertanyaan, apakah kriteria kemampuan bertanggung jawab seperti tersebut diatas, berlaku juga untuk korporasi? 161 Menurut Wolter, sebagaimana dikutip oleh Setiyono, kepelakuan fungsional (functional daderschaap) adalah karya interpretasi kehakiman. Hakim menginterpretasikan tindak pidana itu sedemikian rupa sehingga pemidanaannya memenuhi presyaratan dari masyarakat. Ciri khas dari kepelakuan fungsional, yaitu perbuatan fisik dari yang satu (yang sebenarnya melakukan atau membuatnya) menghasilkan perbuatan fungsional terhadap yang lain. Sedangkan untuk meyakini adanya interpretasi fungsional dari hakim harus melalui 3 tahap, yaitu: 162 1. Kepentingan yang manakah yang ingin dilindungi oleh pembentuk undangundang. 2. Pribadi yang manakah dalam suatu kasus pidana ini yang dapat menjalankan atau melakukan tindak pidana. Siapa yang berada dalam posisi yang sangat menentukan untuk jadi atau tidaknya dilakukan atau dijalankan tindak pidana itu. Hal ini perlu bilamana hakim telah menetapkan bahwa dengan penjelasan yang wajar secara harfiah, ternyata tidak memberikan hasil yang memuaskan. Berkaitan dengan ini, Sahetapy mengemukakan, dalam proses interpretasi fungsional akan ditemukan pelaku fisik, namun diputuskan bahwa undangundang pidana tidak memaksudkan mereka.
161 162
Ibid , Hal. 86 Setiyono. Hal. 105-106
Universitas Sumatera Utara
3. Diajukan pertanyaan pembuktian, apakah ada cukup pembuktian secara sahih ternyata tidak memberikan hasil yang memuaskan. Jika kita menerima konsep functioneel daderschap maka kemampuan bertanggung jawab dalam hukum pidana berlaku juga terhadap korporasi. Sebab, keberadaan korporasi tidaklah dibentuk tanpa suatu tujuan dan aktivitas pencapaian tujuan korporasi selalu diwujudkan melalui perbuatan manusia. Dengan demikian, kemampuan bertanggung jawab dari korporasi sebagai subjek tindak pidana yang dapat melakukan tindak pidana dan memiliki kemampuan bertanggung jawab. 163 •
Korporasi dan masalah kulpabilitas (Kesengajaan dan Kealpaan) Rumusan mengenai kesengajaan dan kealpaan secara umum telah
dijelaskan dalam tinjauan pustaka pada Bab I. Selanjutnya, jika masalah kulpabilitas (kesengajaan dan kealpaan) ini dinisbatkan pada korporasi, apa kondisi demikian dibenarkan oleh hukum pidana? Bagaimana pula menentukan kesengajaan
atau
kealpaan
pada
korporasi
yang
akan
dibebani
pertanggungjawaban berdasarkan pidana? Sedangkan, secara konseptual, hukum pidana Indonesia masih mengadopsi pemikiran bahwa yang dapat melakukan kesalahan
hanyalah
persona
alamiah,
sehingga
yang
dapat
dibebani
pertanggungjawaban pidana adalah persona alamiah. Berkaitan dengan hal ini , Van Bemmelen, sebagaimana dikutip oleh Hatrik menyatakan bahwa kesulitan yang kita dapati dalam hukum perdata dalam hal pertanggungjawabkan tindakan secara melawan hukum pada korporasi, yaitu
163
Hamzah Hatrik, Op.Cit. Hal. 86
Universitas Sumatera Utara
selalu disyaratkan jiwa dari persona alamiah (kesengajaan atau kealpaan), sehingga lebih sulit untuk menjawab pertanyaan ; apakah korporasi juga dapat bertanggung jawab menurut hukum pidana.
164
Untuk menjawab pertanyaan diatas, Muladi & Dwija Prijanto, dalam bukunya Pertanggungjawaban korporasi dalam hukum pidana, mengutip pendapat beberapa sarjana, antara lain: 165 D. Schaffmeister, menyatakan bahwa sangat sulit untuk menentukan kapan suatu badan hukum terdapat apa yang disebut dengan kesengajaan. Selanjutnya beliau mengatakan ”kesengajaan pada badan hukum pertama-tama berada, apabila kesengajaan itu pada kenyataannya terletak pada politik perusahaan, atau berada dalam keadaan yang nyata dari suatu perusahaan tertentu”. Torrings dalam hubungan ini mengatakan adanya suatu macam ”suasana kejiwaan” (psychisch klimaat) yang dapat berlaku dalam suatu badan hukum. Hal ini mengingatkan kepda suatu perseroan tertutup dengan pimpinan kembar, yang didirikan untuk melakukan kekacauan. Juga terjadi pada perusahaan pengangkutan di mana berlaku pemikiran bahwa perusahaan tidak dapat berjalan tanpa melanggar undang-undang ”waktu penggunaan kendaraan”. Oleh karena itu dengan melihat kenyataan tersebut, maka perusahaan tidak dapat menjalankan perusahaan. Kejadian-kejadian
tersebut
harus
diselesaikan
dengan
konstruksi
pertanggungjawaban, kesengajaan dari perorangan, yang bertindak atas nama perserikatan/badan usaha di mana dapat menimbulkan kesengajaan dari badan hukum tersebut. 164 165
Ibid, Hal. 92 Muladi & Dwija Prijanto, Op.Cit. Hal. 102
Universitas Sumatera Utara
Menurut Arrest Bijenkorf menyatakan bahwa kesengajaan dari suatu organ dari badan hukum, dapat dipertanggungjawabkan kepada badan hukum. Sedangkan Remmelink berpendapat bahwa pengetahuan bersama dari sebagian besar anggota direksi dapat dianggap sebagai kesengajaan badan hukum itu, jika mungkin sebagai kesengajaan bersyarat dan bahwa kesalahan ringan dari setiap orang yang bertindak untuk korporasi itu, jika dikumpulkan akan dapat kesalahan besar dari korporasi itu sendiri. Suprapto juga mengungkapkan hal yang senada, bahwa jika hukum memperkenankan badan-badan melakukan perbuatan-perbuatan sebagai orangorang, dengan melalui alat-alatnya, maka dapatlah dimengerti, bahwa pada badanbadan bisa didapatkan kesalahan bila kesengajaan atau kelalaian terdapat pada orang-orang yang menjadi alat-alatnya. Kesalahan itu tidak bersifat individuil, karena hal itu mengenai badan sebagai suatu kolektiviet, dapatlah kiranya kesalahan itu disebut kesalahan kolektif, yang dibebankan kepada pengurusnya. Hamzah Hatrik menambahkan, dari apa yang diutarakan oleh Soeprapto, bahwa ada cukup alasan untuk menganggap badan hukum (korporasi) mempunyai kesalahan dan karena itu, harus pula menanggungnya dengan kekayaannya, karena ia yang menerima keuntungan yang terlarang. 166 Terlepas
dari
pendapat-pendapat
diatas,
Muladi
sendiri
menegaskan,sebagaimana dikutip oleh Hamzah Hatrik, bahwa masalah yang mungkin timbul adalah mengenai ukuran-ukuran apakah yang dapat dijadikan pedoman untuk mempertanggungjawabkan badan hukum. Masalah lain yang
166
Hamzah Hatrik, Op.Cit. Hal. 95
Universitas Sumatera Utara
mungkin muncul adalah bagaimana menentukan kesengajaan dan kealpaan badan hukum. Sebagai bahan pemecahan persoalan pertanggungjawaban korporasi serta untuk menentukan kesengajaan dan kealpaan korporasi, Muladi mengajukan pedoman sebagai berikut: 167 a) Untuk mempertanggungjawabkan korporasi dapat dipecahkan dengan cara melihat; apakah tindakan para pengurus korporasi dalam kerangka tujuan statutair korporasi dan atau sesuai dengan kebijakan perusahaan. Bahkan, sebenarnya cukup untuk melihat apakah tindakan korporasi sesuai dengan ruang lingkup pekerjaan korporasi. Kepelakuan korporasi tidak mudah diterima, jika tindakan korporasi dalam pergaulan masyarakat, tidak dianggap sebagai perilaku korporasi; b) Untuk menentukan kesengajaan dan kealpaan korporasi, dapat dilakukan dengan cara melihat; Apakah kesengajaan bertindak pengurus korporasi pada kenyataannya tercakup dalam politik perusahaan, atau berada dalam kegiatan yang nyata dari suatu perusahaan, atau berada dalam kegiatan yang nyata dari suatu perusahaan. Jadi harus dideteksi melalui suasana kejiwaan yang berlaku pada
korporasi.
Dengan
konstruksi
pertanggungjawaban
kesengajaan
perorangan ang bertindak atas nama koporasi dapat menjadi kesengajaan korporasi. •
Korporasi dan masalah alasan pemaaf. Dalam hukum pidana berlaku asas bahwa tidak selalu kepada pelakunya
dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana sekalipun secara nyata dapat di
167
Ibid. Hal. 93
Universitas Sumatera Utara
buktikan tanpa keraguan sedikit pun bahwa perilaku, baik yang berupa commission maupun omission, telah dilakukan oleh pelakunya. Tidak dapat dibebankannya, pertanggungjawaban pidana tersebut bukan karena tidak terbukti adanya perilaku (actus reus) oleh pelakunya , tetapi karena pada waktu perilaku itu dilakukan terdapat alasan tertentu yang diakui oleh hukum sebagai alasan untuk tidak dapat membebankan pertanggungjawaban pidana kepada pelakunya. Dalam hukum pidana alasan tersebut dibagi dalam dua jenis, yaitu alasan pembenar (justification) dan alasan pemaaf (excuse). 168 Dengan berlakunya asas tersebut diatas, maka sehubungan dengan pertanggungjawaban pidana korporasi timbul pertanyaan: Apakah adanya alasan peniadaan pertanggungjawaban pidana, baik berupa alasan pembenar maupun alasan
pemaaf,
yang
terdapat
pada
orang
yang
perbuatannya
dapat
dipertanggungjawabkan kepada korporasi, misalnya anggota direksi dari suatu perseroan, dapat meniadakan pertanggungjawaban pidana korporasi? 169 Untuk menjawab pertanyaan ini, Muladi dan Dwija Prijatna mengutarakan pendapatnya bahwa sebagaimana halnya orang, badan hukum atau korporasi dapat mempunyai dasar untuk menghapuskan pidana, sebagai konsekuensi diterimanya asas kesalahan pada korporasi. 170 Remmelink juga memberikan rumusan mengenai hal ini, sebagaimana dikutip oleh Sutan Remy. Remmelink mengemukakan bahwa seberapa jauh alasan-alasan peniadaan kesalahan yang berlaku bagi perseorangan juga memiliki daya menghilangkan kesalahan itu dalam hal korporasi. Sebagai penegasan, Remmelink juga mengatakan bahwa 168
Sutan Remy,Op.Cit.Hal. 194-195 Ibid. Hal. 195 170 Muladi & Dwija Prijatna, Op.Cit. Hal. 106 169
Universitas Sumatera Utara
dalam hal demikian sering muncul situasi rumit. Dan ketiadaan kesalahan, misalnya pada direktur, tidak selamanya akan membebaskan korporasi dari kesalahan. 171 Korporasi sebagai subjek hukum pidana, pada dasarnya harus diakui korporasi dapat menunjuk pada alasan-alasan pengapus pidana, yang berkaitan dengan gejala kejiwaan tertentu. Seperti keadaan sakit jiwa (pasal 44 KUHP) maupun pembelaan yang melampaui batas (pasal 49 ayat (2) KUHP). Kedua alasan ini mensyaratkan adanya suatu keadaan kejiwaan tertentu, yang mutlak hanya dapat terjadi pada diri manusia.
172
Berkaitan dengan hal ini, Sutan Remy berpendapat bahwa alasan peniadaan pertanggungjawaban pidana, baik yang berupa alasan pembenar maupun alasan pemaaf, yang terdapat pada orang yang merupakan directing mind korporasi ketika perbuatan itu dilakukan oleh orang itu bukan saja akan meniadakan pertanggungjawaban pidana dari orang itu, juga meniadakan pertanggungjawaban korporasi perbuatan orang yang menjadi directing mind korporasi perbuatan orang yang menjadi directing mind korporasi diatributkan kepada korporasi (dianggap sebagai perbuatan korporasi itu sendiri), maka logikanya adalah bahwa alasan peniadaan pertanggungjawaban yang dimiliki oleh orang tersebut harus juga diatributkan kepada korporasi. Artinya, bila orang itu dibebaskan dari pertanggungjawaban pidana, maka dengan sendirinya (demi
171 172
Sutan Remy,Op.Cit.Hal. 195 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
hukum
atau
secara
otomatis)
korporasi
juga
harus
dibebaskan
dari
pertanggungjawaban pidana. 173 Berkenaan dengan hal ini, RUU KUHP 2004 berpendapat telah memberikan rumusan sebagaimana dimuat didalam pasal 50 yang berbunyi sebagai berikut: Alasan pemaaf atau alasan pembenar yang dapat diajukan oleh pembuat yang bertindak untuk dan/atau atas nama korporasi, dapat diajukan oleh korporasi sepanjang alasan tersebut langsung berhubungan dengan perbuatan yang didakwakan kepada korporasi.
Berkaitan dengan bunyi pasal diatas, Sutan Remy memberikan pandangan, bahwa bunyi pasal tersebut mengandung pengertian sebagai berikut: 174 •
Adanya alasan pemaaf atau alasan pembenar yang terdapat pada manusia pelaku tindak pidana yang bertindak untuk dan/atau atas nama korporasi yang pertanggungjawabannya dapat dibebankan kepada korporasi, bukan saja dapat meniadakan pertanggungjawaban pidana bagi manusia pelakunya, tetapi juga dapat
meniadakan
pertanggungjawaban
pidana
bagi
korporasi
yang
bersangkutan. •
Peniadaan pertanggungjawaban pidana kepada manusia pelaku tindak pidana yang bertindak untuk dan/atau atas nama korporasi tersebut karena adanya alasan pemaaf atau alasan pembenar, tidak demi hukum (berlaku secara otomatis) meniadakan pertanggungjawaban pidana bagi korporasi yang 173 174
Sutan Remy,Op.Cit.Hal. 196-197 Sutan Remy,Op.Cit.Hal. 197
Universitas Sumatera Utara
bersangkutan. Peniadaan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi tersebut harus terlebih dahulu diajukan oleh korporasi. Sutan
Remy
menambahkan
bahwa
sebaiknya
peniadaan
pertanggungjawaban pidana kepada korporasi terjadi demi hukum (berlaku secara otomatis) apabila manusia yang menjadi pelaku tindak pidana itu dibebaskan dari pertanggungjawaban pidana karena adanya alasan pemaaf atau
alasan
pembenar. 175 Berkaitan dengan penerapan dasar-dasar peniadaan pidana (alasan pemaaf) dalam pertanggungjawaban pidana korporasi, masih terdapat perbedaan pendapat. Hal tersebut dapat dipahami melalui pendapat-pendapat yang dikutip Hamzah Hatrik, anrara lain sebagai berikut: 176 a) Muladi menegaskan bahwa alasan-alasan penghapus pidana, tentu saja juga berlaku untuk tindak pidana yang dilakukan korporasi. Hal ini, tidak hanya terbatas pada afwezigheid van alle schuld (avas) saja, melainkan dapat mencakup yang lain, misalnya daya paksa (overmacht). b) Pohan mengatakan bahwa sesuai dengan sifat kemandirian alasan-alasan peniadaan pidana, harus dicari pada korporasi itu sendiri. Dalam hal ini, mungkin sekali terjadi pada diri seseorang terdapat alasan peniadaan pidana, tetapi tidak demikian halnya pada korporasi, meskipun orang tersebut dianggap sebagai perbuatan korporasi. Dalam kaitan ini diajukan contoh sebagai berikut:
175 176
Ibid. Hal. 198 Hamzah Hatrik, Op.Cit. Hal. 102 - 103
Universitas Sumatera Utara
Seorang sopir truk, terpaksa bersedia mengangkut narkotik, karena jiwa keluarganya terancam. Sementara itu, perusahaan pengangkutan tempat si sopir
bekerja,
membiarkan
atas
atau
dasar
pertimbangan
mengizinkan
mendapatkan
pengangkutan
keuntungan
narkotik itu.
Padahal
perusahaan itu mampu mencegah perbuatan mengangkut narkotik tanpa perlu mengorbankan kepentingan pihak si sopir sebagai karyawan perusahaan.
Berdasarkan contoh diatas ada pendapat yang menyatakan bahwa pada diri si sopir terdapat situasi daya paksa (overmacht), sedangkan korporasi dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan si sopir. Namun, dalam hal perusahaan membiarkan pengangkutan narkotik atas dasar pertimbangan untuk melindungi kepentingan sopir sebagai karyawan dan perusahaan tidak mampu mencegah pengangkutan narkotik itu, maka keadaaan daya paksa (overmacht) pada diri sopir sebagai karyawan, sesungguhnya telah diambil alih oleh perusahaan. Jadi, keadaan daya paksa pada karyawan dalam keadaan tertentu, merupakan daya paksa bagi korporasi. 177 Dengan demikian, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa dalam menentukan ada tidaknya alasan penghapus pidana pada korporasi tidak selalu dapat dicari secara terpisah antara perorangan dan korporasi. Dalam beberapa hal mungkin terjadi suatu ternyata telah mengambil alih keadaan dalam diri perorangan.
177 178
178
Ibid. Hal. 103 Muladi & Dwija Prijatna, Op.Cit. Hal. 107
Universitas Sumatera Utara
Berkaitan dengan pembahasan mengenai Badan Hukum dan Dasar-dasar Peniadaan Hukuman, Schaffmeister menulis, sebagaimana dikutip oleh Hamzah Hatrik, bahwa sebagaimana halnya perorangan, badan hukum juga dapat menunjuk kepada dasar peniadaan hukuman. Namun tidak selalu ada tempat untuk menunjuk dasar peniadaan hukuman badan hukum. Jika makin subjektif kriteria kepelakuan pidana, maka makin sedikit ruang untuk menerima ketiadaan semua kesalahan (afwezigheid van alle schuld). Dengan mengutip tulisan Toringa, Schaffmeister menegaskan, bahwa: Berdasarkan dasar-dasar peniadaan kesalahan (schulduitsluitingsgronden) sebenarnya hanya ”avas” yang dapat diterima sebagai akibat kesesatan yang dapat dimaafkan (veronschuldigbaredwaling). Dasar-dasar peniadaan hukuman lainnya, adalah sangat bersifat pribadi (manusiawi) kalau digunakan untuk tindakan badan hukum, kecuali menyangkut suatu badan hukum dengan hanya seorang direktur, beberapa pemegang saham yang juga merangkap pelaksana. 179 Pendapat-pendapat diatas, cenderung berpendirian bahwa alasan pemaaf berlaku juga bagi korporasi. Sedangkan J.M. van Bemmelen, sebagaimana dikutip oleh Hamzah Hatrik mengatakan bahwa dasar penghapusan pidana yang pasti bagi para pengurus dan sebagainya tidka diperlukan lagi, karena manusia alamiah terhadap tingkah laku yang dilaksanakan oleh korporasi, hanya dapat dituntut dan dipertanggungjawabkan secara hukum pidana, apabila ia memerintahkan
179
Hamzah Hatrik Op.Cit. Hal.103
Universitas Sumatera Utara
melakukan perbuatan itu, atau merupakan pemimpin dalam melaksanakan perbuatan itu. 180 Jika kembali kepada konsepsi bahwa korporasi dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana, lalu sistem pertanggungjawaban seperti apa yang dapat dijatuhkan kepada korporasi? Untuk menjawab hal ini, dibawah ini akan diuraikan beberapa konsepsi mengenai sistem pertanggungjawban pidana korporasi. Menurut Mardjono Reksodiputro sebagaimana dikutip oleh Muladi dan Dwija Prijatno, mengenai kedudukan korporasi sebagai pembuat dan sifat pertanggungjawaban pidana korporasi, terdapat sistem-sistem sebagai berikut: 181 1) Pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggung jawab; 2) Korporasi sebagai pembuat, dan penguruslah yang bertanggung jawab. 3) Korporasi sebagai pembuat dan yang bertanggung jawab. RUU KUHP 2004 juga mengadopsi konsepsi yang sama dengan yang diutarakan oleh Mardjono Reksodiputro sebagaimana dimuat didalam pasal 47 RUU KUHP, yang berbunyi sebagai berikut: Mengenai
kedudukan
sebagai
pembuat
tindak
pidana
dan
sifat
pertanggungjawaban pidana dari korporasi terdapat kemungkinan sebagai berikut: a. Pengurus korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan oleh karena itu penguruslah yang bertanggung jawab; 180 181
Ibid Hal. 103-104. Muladi & Dwija Prijatno, Op.Cit. Hal. 67 - 68
Universitas Sumatera Utara
b. Korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan pengurus yang bertanggung jawab; atau c. Korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan juga sebagai yang bertanggung jawab.
Konsepsi yang sedikit berbeda disampaikan oleh Sutan Remy dalam bukunya Pertanggungjawaban Pidana Korporasi. Remy mengkonsepsikan adanya empat kemungkinan sistem pertanggungjawaban korporasi, yaitu: 182 1) Pengurus korporasi sebagai pelaku tindak pidana, sehingga oleh karenanya penguruslah yang harus memikul pertanggungjawaban pidana. 2) Korporasi sebagai pelaku tindak pidana, tetapi pengurus yang harus memikul pertanggungjawaban pidana. 3) Korporasi sebagai pelaku tindak pidana dan korporasi itu sendiri yang harus memikul pertanggungjawaban pidana. 4) Pengurus dan korporasi keduanya sebagai pelaku tindak pidana dan keduanya pula yang harus memikul pertanggungjawaban pidana. Dalam hal pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggung jawab, kepada pengurus korporasi dibebankan kewajiban-kewajiban tertentu. Kewajiban yang dibebankan itu sebenarnya adalah kewajiban dari korporasi. Pengurus yang tidak memenuhi kewajiban itu diancam dengan pidana. Sehingga dalam sistem ini terdapat alasan yang menghapuskan pidana. Sedangkan dasar
pemikirannya
182
adalah
korporasi
itu
sendiri
tidak
dapat
Sutan Remy, Op.Cit. Hal. 59.
Universitas Sumatera Utara
dipertanggungjawabkan
terhadap
suatu
pelanggaran,
melainkan
selalu
penguruslah yang melakukan delik itu. Dan karenanya penguruslah yang diancam pidana dan dipidana. 183 Sistem pertanggungjawaban ini ditandai dengan usaha-usaha agar sifat tindak pidana yang dilakukan korporasi dibatasi pada perorangan (natuurlijk persoon). Sehingga apabila suatu tindak pidana terjadi dalam lingkungan korporasi, maka tindak pidana itu dianggap dilakukan pengurus korporasi itu. Sistem ini membedakan ”tugas mengurus” dari pengurus. 184 KUHP menganut sistem yang pertama. KUHP menganut pendirian bahwa oleh karena korporasi tidak dapat melakukan sendiri suatu perbuatan yang merupakan tindak pidana dan tidak dapat memiliki kalbu yang salah (guilty mind), tetapi yang melakukan perbuatan tersebut adalah pengurus korporasi yang didalam melakukan perbuatan itu dilandasi oleh sikap kalbu tertentu baik yang berupa kealpaan atau kesengajaan, maka pengurus dari korporasi itulah yang harus memikul pertanggungjawaban pidana atas perbuatan yang dilakukannya sekalipun perbuatannya itu dlakukan untuk dan atas nama korporasi yang dipimpinnya.
185
Dengan kata lain, KUHP tidak menganut pendirian bahwa korporasi dapat dibebani pertanggungjawaban pidana. Pendirian KUHP yang menganut sistem yang pertama sejalan atau sebagai konsekuensi dari pendirian KUHP bahwa hanya manusia yang merupakan subjek tindak pidana. Hal tersebut tampak pada pasal 59 KUHP (Dalam hal dimana karena pelanggaran ditentukan pidana 183
Muladi & Dwija Prijatno, Op.Cit. Hal. 68 Setiyono, Op.Cit. Hal. 12 185 Sutan Remy, Op.Cit. Hal. 59 184
Universitas Sumatera Utara
terhadap pengurus, anggota-anggota badan pengurus, atau komisaris-komisaris, maka pengurus, anggota badan pengurus, atau komisaris, yang ternyata tidak ikut campur melakukan pelanggaran, tidak dipidana). Tidak demikian halnya dengan berbagai undang-undang diluar KUHP selain manusia, korporasi juga dapat dibebani pertanggungjawaban pidana. Atau dengan kata lain, korporasi dapat dipidana. 186 Bila
dihubungkan
dengan
tahap-tahap
perkembangan
korporasi,
merupakan tahap pertama, yaitu pertanggungjawaban korporasi belum dikenal, karena pengaruh yang sangat kuat dari asas ”societas delinquere non potest” yaitu bahwa badan-badan hukum tidak dapat melakukan tindak pidana atau asas ”universitas delinquere non potest” yang artinya badan hukum (korporasi) tidak dapat dipidana. 187 Sedangkan fiksi badan hukum (rechtpersoon) yang dipengaruhi pemikiran von Savigny yang terkenal dengan teori fiksi (fiction theory) tidak diakui dalam hukum pidana. Sebab, pemerintah Belanda pada waktu itu tidak bersedia mengadopsi ajaran hukum perdata ke dalam hukum pidana. 188 Sistem pertanggungjawaban korporasi yang kedua ditandai dengan pengakuan yang timbul dalam perumusan undang-undang bahwa suatu tindak pidana dapat dilakukan oleh perserikatan atau badan usaha (korporasi), akan tetapi tanggung jawab untuk itu menjadi beban dari pengurus badan hukum (korporasi) tersebut. Secara perlahan-lahan tanggung jawab pidana beralih dari anggota pengurus kepada mereka yang memerintahkan, atau dengan larangan melakukan apabila melalaikan memimpin korporasi secara sesungguhnya. Dalam sistem 186
Ibid. Hal. 59 Muladi & Dwija Prijatno, Op.Cit.Hal. 70 188 Hamzah Hatrik, Op.Cit. Hal. 30 187
Universitas Sumatera Utara
pertanggungjawaban ini, korporasi dapat menjadi pembuat tindak pidana, akan tetapi yang bertanggung jawab adalah para anggota pengurus, asal saja dinyatakan dalam peraturan itu. 189 Dalam hal korporasi sebagai pembuat dan pengurus bertanggung jawab, maka ditegaskan bahwa korporasi mungkin sebagai pembuat. Pengurus ditunjuk sebagai yang bertanggung jawab; yang dipandang dilakukan oleh korporasi adalah apa yang dilakukan oleh alat perlengkapan korporasi menurut wewenang berdasarkan anggaran dasarnya. Tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi adalah tindak pidana yang dilakukan seseorang tertentu sebagai pengurus dari badan hukum tesebut. Sifat dari perbuatan yang menjadikan tindak pidana itu adalah ”onpersoonlijk”. Orang yang memimpin korporasi bertanggung jawab pidana, terlepas dari apakah ia tahu atau tidak tentang dilakukannya perbuatan itu. Roeslan Saleh, sebagaimana dikutip oleh Muladi dan Dwija Prijatno, menyatakan setuju bahwa prinsip ini hanya berlaku untuk pelanggaran saja. Contoh dari peraturan yang mengadopsi konsepsi seperti ini adalah Undang-Undang No. 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, pasal 27 ayat 1 berbunyi ”Jika sesuatu hal yang diancam dengan hukuman dalam undangundang ini dilakukan oleh badan hukum atau perserikatan, maka tuntutan ditujukan atau hukuman dijatuhkan terhadap pengurus atau pemimpin badan hukum atau perserikatan itu. 190 Sistem pertanggungjawaban yang ketiga ini merupakan permulaan adanya tanggung jawab yang langsung dari korporasi. Dalam sistem ini dibuka 189 190
Setiyono, Op.Cit. Hal. 13-14 Muladi & Dwija Prijatno, Loc.Cit Hal. 70
Universitas Sumatera Utara
kemungkinan menuntut korporasi dan meminta pertanggungjawabannya menurut hukum pidana. Hal-hal yang dapat dipakai sebagai dasar pembenar atau alasanalasan bahwa korporasi sebagai pembuat dan sekaligus yang bertanggung jawab dalah sebagai berikut: pertama, karena dalam berbagai tindak pidana ekonomi dan fiskal,
keuntungan yang diperoleh korporasi atau kerugian yang diderita
masyarakat dapat sedemikian besar sehingga tidak akan mungkin seimbang bilamana pidana hanya dijatuhkan pada pengurus saja. Kedua, dengan hanya memidana pengurus saja, tidak atau belum ada jaminan bahwa korporasi tidak akan mengulangi tindak pidana lagi. Dengan memidana korporasi dengan jenis dan berat sesuai dengan sifat korporasi itu, diharapkan korporasi dapat menaati peraturan yang bersangkutan. 191 Peraturan perundang-undangan yang mengadopsi konsepsi ini salah satunya adalah UU No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal 46 UU tersebut berbunyi sebagai berikut: 1) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini dilakukan oleh atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana serta tindakan tata tertib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dijatuhkan baik terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain tersebut maupun terhadap mereka yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan itu atau terhadap kedua-duanya.
191
Setiyono, Op.Cit. Hal. 14-15
Universitas Sumatera Utara
2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini, dilakukan oleh atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, dan dilakukan oleh orang-orang, baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, yang bertindak dalam lingkungan badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana dijatuhkan terhadap mereka yang memberi perintah atau yang bertindak sebagai pemimpin tanpa mengingat apakah orang-orang tersebut, baik berdasar hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, melakukan tindak pidana secara sendiri atau bersama-sama. 3) Jika tuntutan dilakukan terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat-surat panggilan itu ditujukan kepada pengurus di tempat tinggal mereka, atau di tempat pengurus melakukan pekerjaan yang tetap. 4) Jika tuntutan dilakukan terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, yang pada saat penuntutan diwakili oleh bukan pengurus, hakim dapat memerintahkan supaya pengurus menghadap sendiri di pengadilan.
Berkaitan dengan sistem keempat sebagaimana yang disampaikan oleh Sutan Remy, dimana yang bertanggung jawab ketika dilakukannya suatu tindak pidana
yang dilakukan oleh korporasi adalah korporasi beserta pengurus
Universitas Sumatera Utara
korporasinya. Ada beberapa alasan yang digunakan Remy berkaitan dengan konsepsinya tersebut, antara lain: 192 1. Apabila hanya pengurus yang dibebani pertanggungjawaban pidana, maka menjadi tidak adil bagi masyarakat yang telah menderita kerugian karena pengurus dalam melakukan perbuatannya itu adalah untuk dan atas nama korporasi
serta
dimaksudkan
untuk
memberikan
keuntungan
atau
menghindarkan mengurangi kerugian finansial bagi korporasi. 2. Apabila yang dibebani pertanggungjawaban pidana hanya korporasi sedangkan pengurus tidak harus memikul tanggung jawab, maka sistem ini akan dapat memungkinkan pengurus bersikap ”lempar batu sembunyi tangan”. Dengan kata lain, pengurus akan selalu dapat berlindung di balik punggung korporasi untuk melepaskan dirinya dari tanggung jawab dengan dalih bahwa perbuatannya itu bukan merupakan perbuatan pribadi dan bukan untuk kepentingan pribadi, tetapi merupakan perbuatan yang dilakukannya untuk dan atas nama korporasi dan untuk kepentingan korporasi. 3. Pembebebanan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi hanya mungkin secara vikarius, atau bukan langsung (Doctrine of vicrious liability), pertanggungjawaban atas tidak pidana yang dilakukan oleh seseorang dibebankan kepada pihak lain. Dalam hal pertanggungjawaban pidana, korporasi dialihkan pertanggungjawaban pidananya kepada korporasi. Pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi hanya mungkin dilakukan secara vikarius karena korporasi tidak mungkin dapat melakukan
192
Sutan Remy, Op.Cit. Hal. 162-163
Universitas Sumatera Utara
sendiri suatu perbuatan hukum. Artinya, segala perbuatan hukum yang benar atau yang salah, baik dalam lapangan keperdataan maupun yang diatur oleh ketentuan pidana, dilakukan oleh manusia yang menjalankan kepengurusan korporasi. Dalam hal perbuatan hukum itu merupakan tindak pidana, actus reus tindak pidana itu dilakukan oleh manusia pelaku tindak pidana itu (pengurus) . Dengan mendasarkan pada pemahaman atas kenyataan yang demikian itu, maka tidak seyogianya sistem pertanggungjawaban pidana yang dianut adalah bahwa hanya korporasi yang harus memikul pertanggungjawaban pidana sedangkan manusia pelakunya dibebaskan. Untuk dapat membebankan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi,harus terlebih dahulu dapat dibuktikan bahwa tindak pidana tersebut benar telah dilakukan oleh pengurus korporasi dan sikap kalbu pengurus dalam melakukan tindak pidana itu adalah benar bersalah dan karena itu pengurus yang bersangkutan harus bertanggung jawab atas tindak pidana itu. Baru setelah dapat dibuktikan bahwa pengurus telah melakukan tindak pidana dan harus bertanggung jawab atas tindak pidana itu. Baru setelah dapat dibuktikan bahwa pengurus telah melakukan tindak pidana
dan
harus
bertanggung
jawab
secara
pidana,
maka
pertanggungjawaban pidana itu dapat dibebankan secara vikarius kepada korporasi. Tanpa terlebih dahulu dapat dibuktikan bahwa pengurus memang benar telah melakukan tindak pidana dan memang benar pengurus tersebut memiliki sikap kalbu yang bersalah dalam melakukan tindak pidan itu, tidak
Universitas Sumatera Utara
mungkin dapat dilakukan pembebanan pertanggungjawaban pidana secara vikarius kepada korporasi yang dipimpin oleh pengurus tersebut. Remy menambahkan bahwa apabila sistem yang diberlakukan bukan sistem yang ke empat, yaitu membebankan pertanggungjawaban pidana baik kepada korporasi yang melakukan tindak pidana maupun membebankan pertanggungjawaban pidana secara vikarius kepada korporasi, maka kemungkinan lain yang dapat terjadi adalah manusia pelakunya (pengurus korporasi) yang harus memikul pertanggungjawaban pidana sedangkan korporasinya bebas. Ini adalah sistem yang dianut oleh KUHP yang berlaku sekarang, yang justru ingin ditinggalkan. Namun tidak mungkin memberlakukan yang sebaliknya, yaitu membebankan pertanggungjawaban pidana hanya kepada korporasi sedangkan manusia pelakunya bebas. Hal ini bertentangan dengan sifat pembebanan pertanggungjawaban pidana secara vikarius. Kondisi seperti ini jelas bertentangan pula dengan asas bahwa korporsi tidak dapat bertindak sendiri tetapi harus melalui pengurusnya
193
193
Ibid.
Universitas Sumatera Utara