19
BAB II KONSEP EFIKASI DIRI DAN KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA
A. Efikasi Diri 1. Sejarah dan Pengertian Efikasi diri Dasar teori efikasi diri (self efficacy) dikembangkan dari teori kognitif sosial oleh presiden APA (1974) dan profesor dari Universitas Stanford, Albert Bandura (1977). Teori kognitif sosial berasumsi, setiap orang mampu menjadi agensi manusia, atau pekerjaan yang disengaja dari berbagai tindakan, dan beberapa agensi beroperasi dalam satu proses yang disebut hubungan segitiga timbal balik. Penyebab timbalbalik adalah model multi arah yang memberi kesan hasil agensi di masa mendatang sebagai fungsi tiga gaya yang saling berhubungan : pengaruh kondisi lingkungan, tingkah laku manusia dan faktor pribadi seperti kognitif, afektif, dan proses biologi. Bandura (1997) mengatakan, efikasi diri secara eksplisit berhubungan dengan diri dalam arah hubungan kemampuan yang dicapai dalam menyelesaikan tugas khusus, sebagai prediktor kuat tentang perilaku. Dalam Kamus besar bahasa Indonesia kata efikasi (efficacy) diartikan sebagai kemujaraban atau kemanjuran. Maka secara harfiah, Efikasi diri dapat diartikan sebagai kemujaraban diri. Secara kontekstual, Bandura dan Wood (1989: 806) menyatakan efikasi diri (self-efficacy) sebagai : “beliefs in one’s capabilities to mobilize the motivation, cognitive resources, and courses of action needed to meet given situational demands”. Efikasi diri
adalah keyakinan terhadap kemampuan seseorang untuk 19
20
menggerakkan motivasi, sumber-sumber kognitif, dan serangkaian tindakan yang diperlukan untuk memenuhi tuntutan-tuntutan dari situasi yang dihadapi. Dalam kehidupan manusia memiliki keyakinan diri itu merupakan hal yang sangat penting. Keyakinan diri mendorong seseorang untuk memahami secara mendalam atas situasi yang dapat menerangkan tentang mengapa seseorang ada yang mengalami kegagalan dan atau yang berhasil. Dari pengalaman itu, ia akan mampu untuk mengungkapkan keyakinan diri, yang menurut Kurniawan (Maryati, 2008: 47) keyakinan diri merupakan panduan untuk tindakan yang telah dikonstruksikan dalam perjalanan pengalaman interaksi sepanjang hidup individu. Efikasi diri yang berasal dari pengalaman tersebut yang akan digunakan untuk memprediksi perilaku orang lain dan memandu perilakunya sendiri. Lebih lanjut lagi Crick & Dodge (Maryati, 2008: 48) menjelaskan efikasi diri merupakan representasi mental individu atas realitas, terbentuk oleh pengalaman-pengalaman masa lalu dan masa kini, dan disimpan dalam memori jangka panjang. Dimana skema-skema spesifik, keyakinan-keyakinan, ekspektasi-ekspektasi yang terintregrasi dalam sistem keyakinan akan mempengaruhi intrepertasi individu terhadap situasi spesifik. Proses intrepretasi individu terhadap situasi spesifik ini pada gilirannya diprediksi akan mempengaruhi perilaku seseorang. Definisi efikasi diri pun terus berkembang, Bandura (1997: 3) mengartikan efikasi diri sebagai keyakinan akan kemampuan individu untuk dapat mengorganisasi dan melaksanakan serangkaian tindakan yang dianggap perlu untuk mencapai suatu hasil yang diinginkan.
21
Secara Kontekstual, Bandura memberikan definisi bahwa efikasi diri adalah keyakinan seseorang mengenai kemampuan yang dimilikinya untuk menghasilkan tingkatan performa yang terrencana, dimana kemampuan tersebut dilatih, digerakkan oleh kejadian-kejadian yang berpengaruh dalam hidup seseorang. Bagaimana individu itu bersikap, bertingkah laku, dan memotivasi diri dapat menjadi salah satu sumber kekuatan individu dalam memunculkan efikasi diri, sehingga dijelaskan pula oleh Wicaksono (2008) efikasi diri adalah sebuah unsur yang bisa mengubah getaran pemikiran biasa; dari pikiran yang terbatas, menjadi suatu bentuk padanan yang masuk ke dalam koridor spiritual; dan merupakan dasar dari semua "mukjizat", serta misteri yang tidak bisa dianalisis dengan cara-cara ilmu pengetahuan. Keyakinan itu merupakan sebuah media tunggal dan satu-satunya, yang memungkinkan untuk membangkitkan suatu kekuatan dari sumber energi tanpa batas di dalam diri dan mengendalikannya untuk dimanfaatkan demi kebaikan manusia itu sendiri, serta merupakan suatu keadaan pikiran, yang bisa dirangsang atau diciptakan oleh perintah peneguhan secara terus menerus lewat pikiran dan perkataan positif, sampai akhirnya meresap ke dalam pikiran bawah sadar. Berangkat dari asumsi-asumsi di atas bahwa efikasi diri seseorang dapat mengarahkan tindakan-tindakan seseorang bukan hanya dengan orang lain tetapi juga dengan lingkungan yang lebih luas. Efikasi diri memiliki fungsi adaptif yang memungkinkan individu memenuhi persyaratan-persyaratan sosiokultural dan tuntutan kognitif. Efikasi diri juga memungkinkan Individu untuk dapat mengorganisasikan dunianya dalam cara-cara yang konsisten secara psikologis,
22
melakukan prediksi, menemukan kesamaan, dan menghubungkan pengalamanpengalaman baru dengan pengalaman-pengalaman masa lalu, bahkan memunculkan kekuatan pikiran yang dapat dibawa hingga kedalam alam bawah sadarnya. Dari halhal tersebut McGillicuddy-DeLisi (Maryati, 2008: 49) mendefinisikan efikasi diri sebagai alat dalam menetapkan prioritas, mengevaluasi kesuksesan, maupun alat untuk memelihara efikasi diri . Tidak jauh berbeda Nuron, dkk (Maryati, 2008: 49) menyatakan bahwa efikasi diri mencakup kontrol diri, dimana efikasi diri merupakan keyakinan diri bahwa mereka memilki keterampilan-keterampilan yang dituntut dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan spesifik. Efikasi diri sendiri menurut Robbin (Hambawany, 2007) adalah keyakinan atau kemampuan yang dimiliki seseorang untuk meraih sukses dalam tugas. Efikasi diri yang telah dijelaskan adalah merupakan keyakinan diri seperti dijelaskan dan diperkuat pula oleh Spears dan Jordon (Maryati, 2008: 50) yang mengistilahkan keyakinan sebagai efikasi diri yaitu kenyakinan seseorang bahwa dirinya akan mampu melaksanakan tingkah laku yang dibutuhkan dalam suatu tugas. Pikiran individu terhadap efikasi diri menentukan seberapa besar usaha yang akan dicurahkan dan seberapa lama individu akan tetap bertahan dalam menghadapi hambatan atau pengalaman yang tidak menyenangkan. Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa inti dari efikasi diri adalah keyakinan atas kemampuan diri. Efikasi diri merupakan keyakinan seseorang
23
untuk mengkoordinir kemampuan dirinya sendiri yang dimanifestasikan dengan serangkaian tindakan dalam memenuhi tuntutan-tuntutan dalam hidupnya.
2. Proses Terjadinya Efikasi diri Menurut Bandura (1997) efikasi diri berakibat pada suatu tindakan manusia melalui beberapa jenis proses, antara lain yaitu: a. Proses Motivasional Individu yang memiliki efikasi diri tinggi akan meningkatkan usahanya untuk mengatasi tantangan dengan menunjukkan usaha dan keberadaan diri yang positif. Hal tersebut memerlukan perasaan keunggulan pribadi (sense of personal-efficacy). b. Proses Kognitif Efikasi diri yang dimiliki individu akan berpengaruh terhadap pola pikir yang bersifat membantu atau menghambat. Bentuk-bentuk pengaruhnya, yaitu: 1) Jika efikasi diri semakin tinggi maka semakin tinggi pula penetapan suatu tujuan dan akan semakin kuat pula komitmen terhadap tujuan yang ingin dicapai. 2) Ketika menghadapi situasi-situasi yang kompleks, individu mempunyai keyakinan diri yang kuat dalam memecahkan masalah yang dihadapi dan mampu mempertahankan efisiensi berpikir analitis. Sebaliknya, jika individu bersifat raguragu dalam memecahkan masalah yang dihadapinya maka biasanya tidak efisien dalam berpikir analitis. 3) Efikasi diri berpengaruh terhadap antisipasi tipe-tipe gambaran konstruktif dan gambaran yang diulang kembali. Individu yang memiliki efikasi diri tinggi akan
24
memiliki gambaran keberhasilan yang diwujudkan dalam penampilan dan perilaku yang positif dan efektif. Sebaliknya individu yang merasa tidak mampu cenderung merasa mempunyai gambaran kegagalan. 4) Efikasi diri berpengaruh terhadap fungsi kognitif melalui pengaruh yang sama dengan proses motivasional dan pengolahan informasi. Semakin kuat keyakinan individu akan kapasitas memori, maka semakin kuat pula usaha yang dikerahkan untuk memproses memori secara kognitif dan meningkatkan kemampuan memori individu tersebut. c. Proses Afektif Efikasi diri berpengaruh terhadap seberapa banyak tekanan yang dialami oleh individu dalam situasi-situasi yang mengancam. Individu yang percaya bahwa dirinya dapat mengatasi situasi-situasi yang mengancam yang dirasakannya, tidak akan merasa cemas dan terganggu dengan ancaman tersebut.
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Efikasi diri Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi efikasi diri. Menurut Greenberg dan Baron (Hambawany, 2007) mengatakan ada dua faktor yang mempengaruhi efikasi diri , yaitu: a. Pengalaman langsung, sebagai hasil dari pengalaman mengerjakan suatu tugas dimasa lalu (sudah pernah melakukan tugas yang sama dimasa lalu). b. Pengalaman tidak langsung, sebagai hasil observasi pengalaman orang lain dalam melakukan tugas yang sama (pada waktu individu mengerjakan sesuatu dan
25
bagaimana individu tersebut menerjemahkan pengalamannya tersebut dalam mengerjakan suatu tugas). Hal yang tidak jauh berbeda diungkapkan pula oleh Bandura (2007) bahwa efikasi diri seseorang dipengaruhi pula oleh: a. Pencapaian prestasi. Faktor ini didasarkan oleh pengalaman-pengalaman yang dialami individu secara langsung. Apabila seseorang pernah mengalami keberhasilan dimasa lalu maka dapat meningkatkan efikasi diri nya. b. Pengalaman orang lain. Individu yang melihat orang lain berhasil dalam melakukan aktivitas yang sama dan memiliki kemampuan yang sebanding dapat meningkatkan efikasi diri nya. Individu yang pada awalnya memiliki efikasi diri yang rendah akan sedikit berusaha untuk dapat mencapai keberhasilan seperti yang diperoleh orang lain. c. Bujukan lisan. Individu diarahkan dengan saran, nasehat, bimbingan sehingga dapat meningkatkan keyakinan bahwa kemampuan-kemampuan yang dimiliki dapat membantu untuk mencapai apa yang diinginkan. d. Kondisi emosional. Seseorang akan lebih mungkin mencapai keberhasilan jika tidak terlalu sering mengalami keadaan yang menekan karena dapat menurunkan prestasinya dan menurunkan keyakinan akan kemampuan dirinya. Keempat faktor diatas didukung oleh pendapat Ivancevich dan Matteson (Maryati, 2008) yang menyatakan bahwa pencapaian prestasi, pengalaman orang lain, bujukan
lisan,
kondisi
emosional
memegang
peranan
penting
didalam
mengembangkan efikasi diri, faktor tersebut dianggap penting sebab ketika seseorang
26
melihat orang lain berhasil maka akan berusaha mengikuti jejak keberhasilan orang tersebut. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi keyakinan diri yang diungkap dalam efikasi diri yaitu Pengalaman langsung, pengalaman tidak langsung, pencapaian prestasi, pengalaman orang lain, bujukan lisan, kondisi emosional.
4. Aspek-aspek Efikasi Diri Selain faktor-faktor yang dapat mempengaruhi efikasi diri, adapula aspekaspek yang terdapat dalam efikasi diri. Menurut Bandura (2007) ada tiga aspek efikasi diri : a. Magnitude. Aspek ini berkaitan dengan kesulitan tugas. Apabila tugas-tugas yang dibebankan pada individu disusun menurut tingkat kesulitannya, maka perbedaan efikasi diri secara individual mungkin terbatas pada tugas-tugas yang sederhana, menengah atau tinggi. Individu akan melakukan tindakan yang dirasakan mampu untuk dilaksanakannya dan akan tugas-tugas yang diperkirakan diluar batas kemampuan yang dimilikinya. b. Generality. Aspek ini berhubungan dengan luas bidang tugas atau tingkah laku. Beberapa
pengalaman
berangsur-angsur
menimbulkan
penguasaan
terhadap
pengharapan pada bidang tugas atau tingkah laku yang khusus sedangkan pengalaman yang lain membangkitkan keyakinan yang meliputi berbagai tugas.
27
c. Strength. Aspek ini berkaitan dengan tingkat kekuatan atau kemantapan seseorang terhadap keyakinannya. Tingkat efikasi diri yang lebih rendah mudah digoyangkan oleh pengalaman-pengalaman yang memperlemahnya, sedangkan orang yang memilki efikasi diri yang kuat akan tekun dalam meningkatkan usahanya meskipun dijumpai pengalaman yang memperlemahnya. Berdasarkan uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa aspek-aspek dalam efikasi diri
yaitu magnitude, generality, strength, keyakinan terhadap
kemampuan mengahadapi situasi yang tidak menentu yang mengandung unsur kekaburan, tidak dapat diprediksikan, dan penuh tekanan, keyakinan terhadap kemampuan menggerakkan motivasi, kemampuan kognitif dan melakukan tindakan yang diperlukan untuk mencapai suatu hasil, keyakinan mencapai target yang telah ditetapkan. Individu menetapkan target untuk keberhasilannya dalam melakukan setiap tugas, keyakinan terhadap kemampuan mengatasi masalah yang muncul, kognitif, motivasi, afeksi, seleksi.
5. Pengaruh Efikasi Diri pada Tingkah Laku Menurut Bandura, efikasi diri akan mempengaruhi bagaimana individu merasakan, berpikir, memotivasi diri sendiri, dan bertingkah laku. Efikasi diri atau kapabilitas yang dimiliki individu akan mempengaruhi tingkah lakunya dalam beberapa hal, seperti: a.
Tindakan
Individu,
efikasi
diri
menentukan
kesiapan
individu
dalam
merencanakan apa yang harus dilakukannya. Individu dengan keyakinan diri
28
tinggi tidak mengalami keragu-raguan dan mengetahui apa yang harus dilakukannya. b.
Usaha, efikasi diri mencerminkan seberapa besar upaya yang dikeluarkan individu untuk mencapai tujuannya. Individu dengan keyakinan terhadap kemampuan diri tinggi akan berusaha maksimal untuk mengetahui cara-cara belajar serta kegiatan-kegiatan yang sesuai dengan minatnya. Individu dengan keyakinannya terhadap kemampuan diri tinggi akan berusaha mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
c.
Daya tahan individu dalam menghadapi hambatan atau rintangan dan kegagalan, individu dengan efikasi diri tinggi mempunyai daya tahan yang kuat dalam menghadapi rintangan atau kegagalan, serta dengan mudah mengembalikan rasa percaya diri setelah mengalami kegagalan. Individu juga beranggapan bahwa kegagalan dalam mencapai tujuan adalah akibat dari kurangnya pengetahuan, bukan karena kurangnya keahlian yang dimilikinya. Hal ini membuat individu berkomitmen terhadap tujuan yang ingin dicapainya. Individu akan menganggap kegagalan sebagai bagian dari proses, dan tidak menghentikan usahanya.
d.
Ketahanan individu terhadap keadaan tidak nyaman, dalam situasi tidak nyaman, individu dengan efikasi diri diri tinggi menganggap sebagai suatu tantangan, bukan merupakan sesuatu yang harus dihindari. Ketika individu mengalami keadaan tidak nyaman dalam usaha untuk mencapai tujuan yang diminati, ia akan tetap berusaha bertahan dengan mengabaikan ketidaknyamanan tersebut dan berkonsentrasi penuh.
29
e.
Pola pikir, situasi tertentu akan mempengaruhi pola pikir individu. Individu dengan efikasi diri tinggi, pola pikirnya tidak mudah terpengaruh oleh situasi lingkungan dan tetap memiliki cara pandang yang luas dari beberapa sisi. Cara pandang individu yang luas memungkinkan individu memiliki alternatif pilihan kegiatan belajar yang banyak dari bidang yang diminati.
f.
Stress dan depresi, bagi individu yang memiliki efikasi diri rendah, kecemasan yang terbangkitkan oleh stimulus tertentu akan membuatnya mudah merasa tertekan.
Jika
perasaan
tertekan
tersebut
berkelanjutan,
maka
dapat
mengakibatkan depresi. Dalam upaya memilih karir yang sesuai dengan minatnya, jika individu menganggap realitas sulitnya jalur yang harus ditempuh, prospek dunia kerja di masa depan dan sebagainya sebagai sumber kecemasan, dan individu meragukan kemampuannya, maka individu akan menjadi lebih mudah tertekan. g.
Tingkat pencapaian yang akan terealisasikan, Individu dengan efikasi diri tinggi dapat membuat tujuan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki serta mampu menentukan bidang pendidikan sesuai dengan minat dan kemampuannya tersebut.
30
B. Kemandirian Belajar 1.
Konsep Belajar Belajar adalah suatu kegiatan yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan
manusia pada umumnya dan pendidikan pada khususnya baik sengaja maupun tidak sengaja. Hal ini sesuai dengan kodrati manusia ingin selalu maju ke arah optimalisasi menurut tuntutan perkembangan zaman. Untuk mencapai semua itu, maka belajar sangat mutlak diperlukan. Belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku individu melalui interaksi dengan lingkungan (Hamalik, 2001: 28). Menurut W.S. Winkel (1997) bahwa belajar adalah suatu aktivitas mental/psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, keterampilan, dan nilai-sikap. Belajar adalah suatu tahapan perubahan tingkah laku individu yang relatif menetap sebagai hasil pengalaman dan interaksi dengan lingkungan yang melibatkan proses kognitif (Syah, 2003:68). Cronbach (Djamarah, 2002:12) berpendapat bahwa learning is shown by change in behavior as a result of experience. Belajar diartikan sebagi suatu aktivitas yang ditunjukan oleh perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman. Whiterington (Sukmadinata, 2003:155) mengungkapkan bahwa belajar merupakan perubahan dalam kepribadian, yang dimanifestasikan sebagai pola-pola respons yang baru yang berbentuk keterampilan sikap, kebiasaan, pengetahuan, dan kecakapan.
31
Piaget (Dimyati&Mudjiono, 2002:13) berpendapat bahwa pengetahuan dibentuk oleh individu. Sebab individu melakukan interaksi terus-menerus dengan lingkungan. Dengan adanya interaksi dengan lingkungan maka fungsi intelek semakin berkembang. Perkembangan intelektual menurut Piaget melalui empat tahapan sebagai berikut ; sensori motor (0;0-2;0), pra-operasional (2;0-7;0), operasinal konkret (7;0-11;0), operasional formal (11;0- ke atas). Carl Rogers (Dimyati&Mudjiono, 2002:116) bahwa proses pendidikan (belajar) bukan terfokus pada pengajaran saja, akan tetapi pada siswa yang belajar. Rogers berpendapat bahwa manusia tidak harus mempelajari hal-hal yang tak ada artinya, akan tetapi mempelajari apa yang bermakna pada dirinya Dari pendapat-pendapat di atas dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan belajar merupakan sebuah proses panjang yang dilakukan oleh individu yang di dalamnya terdapat perubahan tingkah laku, sikap, keterampilan, dan pengetahuan. Proses perubahan ini terjadi karena adanya interaksi individu dengan lingkungan di sekitarnya serta dari pengalaman yang didapatkan melalui proses tersebut. Selain itu individu
juga
mendapatkan
sebuah
kebermaknaan
dalam
proses
belajar,
kebermaknaan itulah yang mendorong perubahan dalam diri individu.
2.
Ciri-ciri Belajar Dari definisi belajar di atas, terdapat tiga kata kunci yang merupakan ciri
belajar, yaitu proses, perubahan perilaku dan pengalaman.
32
a. Proses Belajar adalah proses mental dan emosional atau proses berpikir dan merasakan. Seseorang dikatakan belajar bila pikiran dan perasaannya aktif. Aktivitas pikiran dan perasaan itu sendiri tidak dapat diamati orang lain, akan tetapi terasa oleh yang bersangkutan. b. Perubahan Perilaku Hasil belajar berupa perubahan perilaku atau tingkah laku. Seseorang yang belajar akan berubah atau bertambah perilakunya, baik yang berupa pengetahuan, keterampilan motorik atau penguasaan nilai-nilai (sikap). Terkait dengan perubahan perilaku dalam belajar, Syamsudin (2003: 158) menjelaskan bahwa ciri perubahan yang merupakan perilaku belajar diantaranya: 1) Intensional, yaitu pengalaman atau praktik tersebut dengan sengaja dan disadari dilakukan dan bukan secara kebetulan. Dengan demikian perubahan yang disebabkan oleh kemantapan dan kematangan atau keletihan atau karena penyakit tidak dipandang sebagai hasil belajar. 2) Positif, yaitu sesuai seperti yang diharapkan (normatif) atau kriteria keberhasilan (criteria of success) baik dipandang dari segi siswa (tingkat kemampuan, bakat khusus, tugas perkembangan dan sebagainya) maupun dari segi guru (tuntutan masyarakat orang dewasa sesuai dengan tingkat standar kulturalnya). 3) Efektif, yaitu membawa pengaruh dan makna tertentu bagi pelajar itu (sampai batas waktu tertetu perubahan tersebut relatif menetap dan setiap saat diperlukan dapat direproduksi dan dipergunakan seperti dalam pemecahan masalah (problem
33
solving), baik dalam ujian, ulangan dan sebagainya maupun dalam penyesuaian diri dalam kehidupan sehari-hari dalam rangka mempertahankan kelangsungan hidupnya. c. Pengalaman Belajar adalah mengalami, bahwa dalam belajar terjadi interaksi antar individu dengan lingkungan, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial.
3.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Belajar Meskipun para guru telah berusaha melancarkan segala kompetensinya,
namun tat kala sampai pada suatu saat harus melakukan evaluasi berdasarkan data dan informasi hasil pengukuran proses dan hasil belajar, maka para guru dihadapkan kepada beberapa kenyataan adanya perbedaan pencapaian hasil belajar siswanya. Djamarah (2002: 141) memandang bahwa belajar bukanlah aktivitas yang berdiri sendiri. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi hasil belajar siswa, yaitu: 1.
Faktor internal, yaitu faktor yang berasal dari dalam diri siswa. Faktor internal terdiri dari 1) Faktor fisiologis, berupa penglihatan, pendengaran, penciuman, struktur tubuh, cacat tubuh, dan lain-lain; 2) Faktor psikologis, terdiri dari faktor intelektual (inteligensi, bakat khusus, dan lain-lain) dan faktor non-intelektual (konsep diri, sikap, motivasi, penyesuaian diri, kemandirian, dan lain-lain).
b) Faktor eksternal, yaitu faktor yang berasal dari luar diri siswa. Faktor eksternal terdiri dari 1) Faktor lingkungan sosial, terdiri dari: keluarga, sekolah,
34
masyarakat dan kelompok; 2) Faktor lingkungan budaya, terdiri dari: adat istiadat, IPTEK dan kesenian; 3) Faktor lingkungan fisik, terdiri dari: fasilitas rumah, fasilitas belajar, dan lain-lain; 4) Faktor lingkungan spiritual yaitu faktor keagamaan.
4.
Teori-teori Belajar
a.
Teori Belajar Sosial (Albert Bandura) Teori belajar sosial Bandura dikembangkan dari tiga asumsi yaitu : 1) individu
melakukan pembelajaran dengan meniru apa yang ada di lingkungannya terutama tingkah laku- tingkah laku orang lain; 2) terdapat hubungan yang kuat antara pelajar dengan lingkungannya; 3) hasil pembelajaran adalah berupa kode tingkah laku visual dan verbal yang diwujudkan dalam tingkah laku sehari-hari. Bandura (Ratna Wilis Dahar, 1996: 27) mengemukakan bahwa dalam pandangan belajar sosial “ manusia itu tidak didorong oleh kekuatan-kekutan dari dalam, dan juga tidak “dipukul” oleh stimulus-stimulus lingkungan. Tetapi, fungsi psikologi diterangkan sebagai interaksi yang kontinu dan timbal balik dari determinan-determinan pribadi dan determinan-determinan lingkungan”. Terdapat empat konsep dasar dalam teori belajar sosial, yaitu seperti dipaparkan oleh Ratna Wilis Dahar (1996: 28-30) berikut ini. 1) Pemodelan (modelling) : Bandura memperhatikan bahwa penganut-penganut Skinner memberi penekanan pada efek-efek dari konsekuensi-konsekuensi pada perilaku dan tidak mengindahkan fenomena pemodelan, yaitu meniru perilaku
35
orang lain dan pengalamaan vicarious, yaitu belajar dari keberhasilan dan kegagalan orang lain. Bandura berpendapat bahwa sebagian besar belajar yang dialami manusia tidak dibentuk dari konsekuensi-konsekuensi, melainkan manusia itu belajar dari suatu model. 2) Fase belajar, menurut Bandura terdapat empat fase belajar dari model yaitu (a) fase perhatian (attentional phase) yaitu memberikan perhatian pada model. Untuk dapat menarik perhatian siswa model belajar harus menarik, menimbulkan minat dan populer; fase retensi (retention phase) yaitu fase penyajian simbolik dari penampilan model dalam memori jangka panjang. Dalam hal ini peranan katakata, nama-nama, atau bayangan kuat yang dikaikan dengan kegiatan-kegiatan yang dimodelkan dalam mempelajari dan mengingat perilaku menjadi sangat penting; fase reproduksi (reproduction phase) dalam fase ini bayangan (imagery) atau kode-kode simbolik verbal dalam memori membimbing penampilan yang sebenarnya dari perilaku yang baru diperoleh; fase motivasi (motivational phase) yaitu fase terakhir dalam belajar observasional, dimana siswa akan meniru suatu model, karena siswa berasumsi dengan meniru suatu model akan meningkatkan kemungkinan untuk mendapatkan penguatan (reinforcement). 3) Belajar vicarious, yaitu proses belajar dengan memperlihatkan penguatan (baik positif atau negatif) terhadap perilaku tertentu, dengan tujuan memberikan proses pembelajaran bagi siswa yang tidak mau melihat model secara langsung. 4) Pengaturan – sendiri, pengaturan sendiri ( self regulation) menurut Bandura didasarkan pada hipotesis bahwa manusia mengamati perilakunya sendiri,
36
mempertimbangkan perilaku itu terhadap kriteria yang disusunnya sendiri, dan kemudian memberi penguatan pada dirinya sendiri.
b. Teori Belajar Menurut Ilmu Jiwa Gestalt Gestalt adalah sebuah teori belajar yang dikemukakan oleh Koffka dan Kohler dari Jerman. Teori ini berpandangan bahwa keseluruhan lebih penting dari bagianbagian. Sebab keberadaan bagian-bagian itu didahului oleh keseluruhan. Misalnya seorang pengamat yang mengamati aeaeorang dari kejauhan. Orang yang jauh itu pada mulanya hanyalah satu titik hitam yang terlihat semakin dekat dengan si pengamat. Semakin dekat orang itu dengan si pengamat maka semakin jelas terlihat bagian-bagian atau unsur-unsur anggota tubuh orang tersebut. Si pengamat dapat berkata bahwa orang itu mempunyai kepala, tangan , kaki, dahi, mata, hidung, mulut, telinga, baju, celana, kaca mata, jam tangan, ikat pinggang, dan sebagainya. Dalam belajar menurut teori gestalt, yang terpenting adalah penyesuaian pertama, yaitu mendapatkan respon atau tanggapan yang tepat. Belajar yang terpenting bukan mengulangi hal-hal yang harus dipelajari, tetapi mengerti atau memperoleh insight. Belajar dengan pengertian lebih dipentingkan daripada hanya memasukkan sejumlah kesan. Prinsip-prinsip belajar menurut teori gestalt : 1) belajar berdasarkan keseluruhan; 2) belajar adalah suatu proses perkembangan; 3) anak didik sebagai organisme keseluruhan; 4) terjadi transfer;
37
5) belajar adalah reorganisasi pengalaman; 6) belajar harus dengan insight; 7) belajar lebih berhasil bila berhubungan dengan minat, keinginan, dan tujuan; dan 8) belajar berlangsung terus menerus.
c.
Teori Systematic Behavior ( Clark C Hull) Prinsip-prinsip yang digunakan oleh Hull pada dasarnya sama dengan yang
digunakan oleh para Behaviorist
yaitu dasar stimulu-respon dan adanya
reinforcement. Hull (Purwanto, 2000:97) mengemukakan bahwa suatu kebutuhan atau “keadaan terdorong” (oleh motif, tujuan, maksud, aspirasi dan ambisi) harus ada dalam diri seseorang yang belajar, sebelum suatu respon dapat diperkuat atas dasar pengurangan kebutuhan itu. Menurut teori ini efisiensi belajar akan tergantung pada besarnya tingkat pengurangan dan kepuasan motif yang menyebabkan timbulnya usaha belajar berupa respon-respon yang dibuat oleh individu yang belajar. Dua hal yang sangat penting dalam proses belajar dari Hull ialah adanya incentive motivation ( motivasi insentif) dan drive stimulus reduction (pengurangan stimulus pendorong) (Purwanto, 2000:98)
38
d. Teori Belajar Gagne Menurut Gagne (Willis, 1996: 134) belajar adalah suatu proses untuk memperoleh motivasi dalam pengetahuan, keterampilan, kebiasaan dan tingkah laku serta pengetahuan atau keterampilan yang diperoleh dari instruksi Menurut Gagne segala sesuatu yang dipelajari oleh manusia dapat dibagi menjadi lima kategori yang disebut the domainds of learning, yaitu sebagai berikut: 1) keterampilan motoris (motor skill) 2) informasi verbal 3) kemampuan intelektual 4) strategi kognitif 5) sikap
5.
Definisi Kemandirian Belajar Para ahli psikologi menggunakan dua istilah yang berkaitan dengan
kemandirian yaitu independence dan autonomy (Steinberg, 1993: 286). Seiring dengan pertambahan usia seseorang maka terjadilah perubahan pada tugas perkembangannya. Begitu pula perubahan dalam penggunaan istilah-istilah yang menunjukan kemandirian. Dalam kamus psikologi kata autonomy (otonomy) diartikan sebagai keadaan pengaturan diri, atau kebebasan individu manusia untuk memilih, menguasai dan menentukan dirinya sendiri (Chaplin, 2001).
39
Istilah independence dan autonomy sering dipertukarkan secara bergantian (interchangeable). Secara umum kedua istilah tersebut memiliki arti yang sama yaitu kemandirian tetapi secara konseptual kedua istilah tersebut berbeda dengan perbedaan yang sangat tipis. Lebih lanjut Steinberg menegaskan bahwa independence menunjukan pada kapasitas seseorang memperlakukan dirinya sendiri, sehingga anak yang sudah memiliki independence akan mampu melakukan sendiri aktivitas dalam kehidupan tanpa adanya pengaruh pengawasan orang lain. Kemandirian yang mengarah pada konsep independence merupakan bagian dari perkembangan autonomy selama masa remaja, namun autonomy mencakup aspek yang lebih luas lagi, yaitu aspek emosional, behavioral dan nilai. Steinberg (1993: 265) membagi kemandirian menjadi 3 bagian yaitu kemandirian emosional yang berhubungan dengan interaksi remaja dengan orang tua, kemandirian perilaku yaitu kemandirian dalam mengambil keputusan dan melaksanakannya, dan kemandirian nilai yaitu kemandirian yang berhubungan dengan seperangkat prinsip dan nilai tentang benar dan salah, penting dan tidak penting. Chaplin (2004) kemandirian berasal dari kata mandiri yang berarti keadaan pengaturan diri. Sejalan dengan pengertian diatas Ryan & Lynch (Ara, 1998: 17) mengemukakan bahwa “Kemandirian adalah kemampuan untuk mengatur tingkah laku menseleksi dan membimbing keputusan serta tindakan seseorang tanpa pengawasan dari orang tua”.
40
Conell (Ara 1998: 17) menyatakan bahwa “ Autonomy is experience of choice in the intuition maintenance and regulation of behavior and the experience of connectedness between one’s action and personal goals and values”. Kemandirian adalah pengalaman melalui pengaturan dan pemeliharaan intuisi serta perilaku yang menghubungkan antara tujuan, tindakan seseorang dan nilai-nilai. Artinya bahwa dengan adanya kesempatan untuk mengawali, menseleksi, menjaga dan mengatur tingkah laku, menunjukan adanya suatu kebebasan pada setiap individu yang mandiri untuk menentukan sendiri perilaku yang hendak ia tampilkan, menentukan langkah hidupnya, tujuan hidupnya dan nilai-nilai yang akan dianut serta diyakininya. Wrightsman dan Deaux (Ara, 1998: 18) memberikan pengertian kemandirian sebagai suatu tingkah laku yang tidak conformity maupun anti conformity yang menunjukan bahwa orang yang mandiri mampu mempertahankan hak dan kepentingannya sebagai individu tanpa menginjak hak dan kepentingan orang lain. Berkaitan dengan definisi kemandirian, Kartadinata (1988: 78) menyatakan kemandirian sebagai kekuatan motivasional dalam diri individu untuk mengambil keputusan dan menerima tanggung jawab atas konsekuensi keputusan itu. Lebih lanjut Barnadib (Sukoco, 2009) mengemukakan bahwa kemandirian meliputi perilaku mampu berinisiatif, mampu mengatasi hambatan atau masalah, mempunyai rasa percaya diri dan dapat melakukan sesuatu sendiri tanpa bantuan orang lain. Kemandirian sebagai kerpribadian atau sikap mental harus dimiliki oleh setiap orang yang didalamnya terkandung unsur-unsur dengan watak-watak yang ada dan
41
perlu dikembangkan agar tumbuh menyatu dalam menentukan sikap dan perilaku seseorang menuju karah kewiraswastaan artinya kemampuan yang tumbuh dan berkembang seiring dengan pemahaman dan konsep hidup yang mengarah pada kemampuan, kemauan, keuletan, ketekunan dalam bidangnya. Penjelasan di atas menjelaskan mengenai kemandirian lalu bagaimana kaitannya kemandirian dalam hal belajar? Belajar sebenarnya merupakan kegiatan individual dan berlanjutan, yang mana dalam prosesnya memerlukan totalitas dari kepribadian individu yang menjalaninya. Kemandirian adalah aspek esensial dari perkembangan kepribadian individu. Kecakapan mengambil keputusan dan keberanian menerima tanggung jawab adalah esensi kemandirian, sehingga agar proses belajar ini membuahkan kesuksesan dalam memperoleh hasil belajar yang baik maka kemandirian dalam belajar ini perlu dimiliki. Berkaitan dengan definisi dari kemandirian belajar, lebih lanjut Burtiham (1999: 12) mengemukakan bahwa kemandirian belajar adalah perilaku siswa yang bebas (otonom) dan bertanggung jawab dalam menentukan tujuan belajar, merencanakan dan melaksanakan, memelihara serta menilai hasil aktivitas belajarnya tanpa ada ketergantungan pada orang lain. Menurut Setiawan (2004) kemandirian belajar adalah aktivitas yang berlangsung lebih didorong oleh kemauan sendiri, pilihan sendiri dan tanggung jawab sendiri dari belajar. Karnita (2007) berpendapat bahwa kemandirian belajar merupakan suatu keadaan atau kondisi aktivitas belajar dengan kemampuan sendiri, tanpa bergantung
42
kepada orang lain. Ia selalu konsisten dan bersemangat belajar dimanapun dan kapanpun. Dalam dirinya sudah melembaga kesadaran dan kebutuhan belajar melampaui tugas, kewajiban dan target jangka pendek; nilai dan prestasi. Dengan kata lain merupakan kondisi sadar pada belajar sepanjang hayat (long life education). Kemandirian belajar merupakan salah satu ciri kepribadian yang penting yang dapat membantu individu untuk mencapai tujuan belajar, serta untuk menyelesaikan tugas-tugas belajarnya. Jika disimpulkan dari keseluruhan pengertian diatas maka kemandirian belajar dapat dipahami sebagai rangkaian aktivitas dalam belajar yang dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu, atas dasar tanggung jawab, kesadaran serta kemampuan sendiri tanpa ketergantungan dengan orang lain.
6.
Aspek-aspek Kemandirian Belajar Konsep kemandirian belajar pada penelitian ini mengambil konsep
kemandirian steinberg. Steinberg (1993: 265) menyatakan bahwa kemandirian terdiri dari tiga aspek yaitu kemandirian emosional, kemandirian perilaku dan kemandirian nilai yang dipaparkan sebagai berikut: a) Kemandirian emosional, yaitu aspek kemandirian yang terkait dengan perubahan dalam hubungan dekat dari seorang individu, terutama dengan orang tua. Kemandirian dalam hal emosional ini ditandai dengan: (1) De-idealize yaitu tidak menganggap orang tuanya sebagai sosok yang ideal dan sempurna dalam artian bahwa orang tuanya tidak selamanya benar dalam menentukan sikap dan
43
kebijakan, (2) Parent as people yaitu mampu melihat orang tuanya seperti orang lain pada umumnya, (3) Non-dependency yaitu kemampuan untuk tidak bergantung pada orang tua maupun orang dewasa pada umumnya dalam mengambil keputusan, menentukan sikap dan bertanggung jawab dengan keputusan yang diambil dan (4) Individuation yaitu kemampuan untuk menjadi pribadi yang utuh terlepas dari pengaruh orang lain. (Steinberg, 1993: 290). a) Kemandirian perilaku diartikan sebagai kemampuan dalam mengambil keputusan dan melaksanakannya. Kemandirian perilaku ini ditandai dengan (1) kemampuan seseorang dalam mengambil keputusan yaitu dengan mengidentifikasi alternatif pemecahan masalah untuk jangka panjang, mampu menemukan akar masalah, sadar akan resiko yang akan diterima, merubah tindakan yang akan diambil berdasarkan informasi baru, mengenal dan memperhatikan kepentingan orangorang yang memberikan nasihat dan mampu mengevaluasi kemungkinan dalam mengatasi masalah; (2) tidak rentan terhadap pengaruh orang lain yaitu memiliki inisiatif dalam mengambil keputusan serta memiliki ketegasan diri terhadap keputusan yang diambil; dan (3) memiliki kepercayaan diri yang ditandai dengan memiliki kebebasan dalam menentukan pilihan dan yakin terhadap potensi dimiliki. (Steinberg, 1993: 295). b) Kemandirian nilai, yaitu kemandirian yang memiliki seperangkat prinsip tentang benar-salah, penting dan tidak penting. Kemandirian nilai ini ditandai dengan: (1) abstrack belief yaitu memiliki keyakinan moral, isologi dan keyakinan agama
44
yang abstrak yang hanya didasarkan pada kognitif saja, benar dan salah, baik dan buruk; (2) principal belief yaitu memiliki keyakinan yang prinsipil bahwa nilai yang dimiliki diyakini secara ilmiah dan kontekstual yang memiliki kejelasan dasar hukum sehingga jika nilai yang dianut dipertanyakan oleh orang lain, maka ia akan memiliki argumentasi yang jelas sesuai dengan dasar hukum yang ada; (3) independent belief yaitu yakin dan percaya pada nilai yang dianut sehingga menjadi jati dirinya sendiri dan tidak ada seorang pun yang mampu merubah keyakinan yang ia miliki. (Steinberg, 1993: 303)
7.
Karakteristik Individu Yang Memiliki Kemandirian Belajar Untuk memberikan gambaran mengenai individu yang memiliki kemandirian
belajar, maka kita perlu memahami karakteristik atau ciri dari individu yang memiliki kemandirian berdasarkan aspek-aspek kemandirian yang telah diuraikan diatas. Adapun karakteristik individu yang mandiri menurut Ara (1998: 28), yaitu: a. Memiliki kebebasan untuk bertingkah laku, membuat keputusan dan tidak merasa cemas, takut atau malu bila keputusan yang diambil tidak sesuai dengan pilihan atau keyakinan orang lain. b. Mempunyai kemampuan untuk menemukan akar masalah, mencari alternatif pemecahan masalah, mengatasi masalah dan berbagai tantangan serta kesulitan lainnya, tanpa harus mendapat bimbingan dari orang tua atau orang dewasa lainnya dan juga dapat membuat keputusan dan mampu melaksanakan yang diambil.
45
c. Mampu mengontrol dirinya atau perasaannya sehingga tidak memiliki rasa takut, ragu, cemas, tergantung dan marah yang berlebihan dalam berhubungan dengan orang lain. d. Mengandalkan diri sendiri untuk menjadi penilai mengenai apa yang terbaik bagi dirinya serta berani mengambil resiko atas perbedaan kebutuhan dan nilai-nilai yang diyakininya serta perselisihan dengan orang lain. e. Menunjukan tanggung jawab terhadap diri sendiri dan orang lain, yang diperlihatkan dalam kemampuannya membedakan kehidupan dirinya dengan kehidupan orang lain, namun tetap menunjukan loyalitas. f. Memperlihatkan
inisitif
yang
tinggi
melalui
ide-idenya
dan
sekaligus
mewujudkan idenya tersebut. Juga ditunjukan dengan kemauannya untuk mencoba hal yang baru. g. Memiliki kepercayaan diri yang kuat dengan menunjukan keyakinan atas segala tingkah yang ia lakukan dan menunjukan sikap yang tidak takut menghadapi suatu kegagalan. Sedangkan karakteristik orang yang mandiri menurut Surya (2008), yaitu: a. Mengenal diri sendiri dan lingkungannya sebagaimana adanya. Individu yang mandiri
memiliki
kemampuan
pengenalan
terhadap
keadaan,
potensi,
kecenderungan, kekuatan dan kelemahan diri sendiri seperti apa adanya, mengenal kondisi objektif yang ada diluar diri sendiri. b. Menerima diri sendiri dan lingkungannya secara positif dan dinamik.
46
c. Mampu menetapkan satu pilihan dari berbagai kemungkinan yang ada berdasarkan pertimbangan yang matang terutama dalam mengambil keputusan. d. Mengarahkan diri sendiri, menuntut kemampuan individu untuk mencari dan menempuh berbagai jalan raya agar apa yang menjadi kepentingan dirinya dapat terselenggara secara positif dan dinamik. e. Mewujudkan diri sendiri, mampu merencanakan dan menyelenggarakan kehidupan diri sendiri baik sehari-hari maupun dalam jangka panjang sehingga segenap potensi dan kemampuan yang dimiliki dapat berkembang secara optimal. Burtiham (1999: 42) anak yang telah memiliki kemandirian belajar menunjukan sikap dan kebiasaan dalam belajarnya baik itu menyangkut aspek emosi, perilaku maupun nilai. Kemandirian belajar dalam aspek emosi ditandai dengan dimilikinya motivasi intrinsik dalam belajar. Kemandirian belajar pada aspek perilaku ditandai dengan munculnya penampilan belajar yang mampu mendisiplinkan dirinya tentang belajar yang baik. Sedangkan dalam aspek nilai ditandai dengan adanya orientasi belajar yang jelas.
8.
Perkembangan Kemandirian Belajar Siswa SMP Ditilik dari segi usia, siswa Sekolah Menegah Pertama (SMP) termasuk
kedalam fase remaja awal (13-14 tahun). Konopka dalam Pikunas (1976) mengemukakan bahwa masa remaja merupakan segmen kehidupan yang penting dalam siklus perkembangan siswa dan merupakan masa transisi (dari masa anak ke
47
masa dewasa) yang diarahkan kepada perkembangan masa dewasa yang sehat. (Yusuf, 2006: 7). Sementara Salzman (Yusuf, 2006: 184) mengemukakan bahwa remaja merupakan masa perkembangan sikap tergantung (dependence) terhadap orang tua kearah kemandirian (independence), minat-minat seksual, perenungan diri dan perhatian terhadap nilai-nilai estetika dan isu-isu moral. Secara psikologis, menurut Piaget (Hurlock, 1996: 206) masa remaja adalah masa dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia dimana anak tidak lagi merasa di bawah tingkatan-tingkatan orang dewasa yang lebih tua melainkan dalam tingkatan yang sama sekurang-kurangnya dalam masalah hak. Salah satu isu yang menarik untuk dikaji pada masa remaja adalah mengenai masalah kemandirian (autonomy). Hal ini didasarkan atas pertimbangan bahwa bagi remaja, pencapaian kemandirian merupakan dasar untuk menjadi orang dewasa yang sempurna. Kedewasaan yang ingin dicapai oleh remaja dapat mendasari dalam menentukan sikap, mengambil keputusan secara tepat, serta keajegan dalam menentukan dan melakukan prinsip-prinsip kebenaran dan kebaikan (Budiman, 2008). Perkembangan
kemandirian
remaja
diawali
dengan
perkembangan
kemandirian emosional. Hal tersebut ditandai dengan pemutusan ikatan infantile anak kepada orangtua. Kesulitan remaja dalam meutuskan keterikatan emosional dengan orangtua seringkali ditunjukkan dengan sikap menentang keinginan atau aturan orangtua yang pada akhirnya disebut sebagai pemberontakkan terhadap orangtua.
48
Sementara itu, budaya keterikatan antara anak dan orangtua masih banyak dibiasakan pada keluarga-keluarga di Indonesia, tidak seperti budaya barat yang telah memberikan kebebasan (dari segi tempat tinggal) kepada anak remajanya. Lepasnya ikatan-ikatan emosional remaja akan menentukan pengambilan keputusan bagi remaja tanpa harus mendapat dukungan dari orangtua merupakan kemandirian yang bersifat independence. Setelah siswa mandiri secara emosional, maka siswa akan mandiri secara perilaku. Sebagai konsekuensi dari lepasnya ikatan emosional dari orang lain. Begitu pula dalam hal belajar, perkembangan kemandirian belajar siswa diawali dengan lepasnya keterikatan emosional antara siswa dengan orang lain, terutama dengan orangtua. Siswa dapat melakukan kegiatan belajarnya tanpa harus tergantung kepada orang lain, siswa dapat memilih aktivitas ekstrakurikuler sesuai dengan minatnya, serta dapat menentukkan strategi belajarnya sendiri. Perkembangan kemandirian belajar siswa yang terakhir adalah kemandirian yang berkaitan dengan nilai atau prinsip yang diyakininya. Kemandirian perilaku ditandai dengan kemampuan siswa untuk memaknai seperangkat prinsip atau aturan tentang benar dan salah, penting dan tidak penting, misalnya siswa akan memiliki keyakinan untuk tidak mencontek pada saat ulangan, memilih hadir ke sekolah tepat waktu daripada membolos dengan teman-teman yang lain. Tindakan tersebut didasari oleh prinsip atau nilai yang tertanam dalam keyakinan diri siswa. Kemandirian merupakan suatu sikap individu yang diperoleh secara kumulatif selama perkembangan. Dalam hal ini, remaja akan terus belajar untuk bersikap
49
mandiri dalam menghadapi berbagai tuntutan peran di lingkungan belajarnya sehingga akhirnya mampu berpikir dan bertindak sendiri. Bernadib (Mu’tadin, 2002) mengemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan kemandirian belajar remaja yaitu: Faktor dalam diri siswa, diantaranya: 1) memiliki hasrat bersaing untuk maju demi kebaikannya sendiri; 2) mampu mengambil keputusan dan inisiatif untuk mengatasi masalah yang dihadapi; 3) memiliki kepercayaan diri dalam mengerjakan tugas-tugasnya; dan 4) bertanggungjawab terhadap apa yang dilakukannya. Faktor dari luar diri siswa, diantaranya: 1) lingkungan keluarga yang meliputi pola pengasuhan, serta hubungan harmonis dalam keluarga; 2) lingkungan sekolah meliputi kebijakan sekolah dalam sistem pembelajaran yang mendukung keberhasilan siswa mencapai prestasi belajar, ketersediaan sarana dan prasarana sebagai media dan sumber belajar, serta hubungan harmonis antar anggota sekolah; dan 3) lingkungan teman sebaya yang biasanya ditandai dengan adanya sikap konformitas terhadap teman sebaya.
C. Peran Bimbingan dan Konseling dalam meningkatkan Efikasi Diri dan Mengembangkan Kemandirian Belajar Siswa Pendidikan di sekolah dilaksanakan sebagai upaya untuk memberikan perubahan-perubahan positif terhadap tingkah laku dan sikap diri siwa yang sedang berkembang menuju kedewasaannya dimana proses ini dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pembawaan, kematangan, dan lingkungan. Sekolah sebagai salah satu
50
faktor lingkungan yang mempengaruhinya ikut memberikan pengaruh dalam membimbing siswa agar pribadinya berkembang secara optimal sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Namun dalam proses perkembangannya itu siswa tidak dapat lepas dari berbagai tuntutan lingkungan, salah satunya adalah tugas-tugas belajar yang harus dicapainya. Bimbingan dan konseling merupakan salah satu bantuan yang diberikan kepada individu sebagai upaya untuk membantu individu dalam mengatasi permasalahan yang timbul di dalam hidupnya agar pertumbuhan serta perkembangan fisik dan psikis individu dapat berjalan secara maksimal dan optimal. Bimbingan itu sendiri seperti yang dikemukakan oleh Abin Syamsudin (1996: 188) adalah proses pemberian bantuan yang diberikan kepada agar yang bersangkutan dapat mencapai taraf perkembangan dan kebahagiaan secara optimal, dengan melalui proses pengenalan, pemahaman, penerimaan, pengarahan, perwujudan, serta penyesuaian diri, baik dirinya sendiri maupun terhadap lingkungannya. . Adapun selain dari istilah bimbingan yang telah dipaparkan sebelumnya, ada satu istilah lagi yang sangat erat kaitannya dengan bimbingan yakni konseling. Keduanya baik bimbingan maupun konseling merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan karena konseling merupakan bagian integral dari bimbingan bahkan menjadi inti dari keseluruhan layanan bimbingan. Winkel (1997: 64) menyatakan bahwa konseling adalah suatu proses yang berorientasikan belajar, yang dilaksanakan dalam suatu lingkungan sosial antara seorang konselor yang memiliki kemampuan professional dalam keterampilan psikologis berusaha membantu seorang konseli
51
dengan metode yang tepat untuk kebutuhan konseli tersebut dalam hubungannya dengan keseluruhan program ketenagakerjaan supaya dapat mempelajari lebih baik tentang dirinya sendiri, belajar bagaimana memanfaatkan pemahaman tentang dirinya untuk realistis sehingga konseli dapat menjadi individu yang lebih produktif. Setiap individu, mulai dari kanak-kanak, remaja sampai dewasa termasuk siswa sekolah menengah atas tidak akan terlepas dari suatu masalah, baik itu masalah yang berhubungan dengan pribadi, sosial, pendidikan, karier dan nilai. Dalam hubungannya belajar, siswa yang memiliki efikasi diri yang rendah akan menampilkan aktivitas belajar yang tidak maksimal. Diantaranya, tidak memiliki keyakinan dalam menjawab soal-soal sehingga lebih memilih untuk mencontek, mudah putus asa saat menemui tugas yang sulit serta selalu bergantung pada kemampuan orang lain karena tidak yakin akan kemampuan yang dimilikinya sendiri. Perilaku-perilaku tersebut akan menjadi penghambat proses perkembangan siswa, sementara itu proses perkembangan yang paling sering menjadi isu adalah perkembangan kemandirian. Jika perilaku siswa tersebut tidak tertangani maka akan mempengaruhi siswa dalam mengembangkan dirinya menjadi individu yang mandiri. Pada akhirnya, hambatan tersebut nantinya akan berpengaruh pada keberhasilan siswa di sekolah. Secara khusus, layanan bimbingan dan konseling di sekolah bertujuan untuk membantu siswa agar mereka dapat mencapai tujuan-tujuan perkembangan yang meliputi aspek pribadi sosial, belajar dan karir. Berdasarkan uraian di atas, maka
52
remaja memerlukan bimbingan yang lebih fokus pada pribadi dan hubungannya dengan belajar. Oleh karena itu disinilah bimbingan dan konseling berperan. Bimbingan belajar di sekolah ditujukan supaya siswa dapat mencapai prestasi belajar dan menjadi pribadi yang mandiri dan bertanggung jawab. Melalui layanan bimbingan dan konseling, diharapkan siswa dapat memahami potensi yang dimilikinya, mampu meyakini akan kemampuan dirinya, mampu mengambil keputusan dan inisiatif, serta mampu melakukan serangkaian aktivitas yang sesuai dengan tujuan pribadinya sendiri tanpa pengaruh dari orang lain. Dengan demikian, siswa mampu menampilkan perannya baik di lingkungan sosial maupun di lingkungan belajarnya. Bantuan yang diberikan oleh pihak bimbingan dan konseling jika dihubungkan dengan efikasi diri dan kemandirian belajar siswa, menitikberatkan pada penjelasan dan pemahaman tentang bagaimana menanamkan keyakinan diri siswa agar siswa mampu melihat potensi yang dimilikinya dapat mendukung proses belajarnya di sekolah yang pada akhirnya, siswa mampu melakukan aktivitas belajar sendiri atas keyakinan sendiri sehingga mengembangkan kemandirian siswa dalam belajar. Permasalahan yang telah diuraikan di atas, dapat difasilitasi oleh konselor sesuai dengan fungsi bimbingan dan konseling itu sendiri. Bimbingan dan konseling tidak hanya berfungsi sebagai pemahaman dan pencegahan maka fungsi lainnya pun harus dilakukan. Fungsi dari bimbingan dan konseling itu sendiri harus bersifat
53
melengkapi satu sama lain agar tujuan dari bimbingan akan tercapai dengan baik. Adapun fungsi bimbingan konseling secara keseluruhan adalah: 1) Fungsi pemahaman, yaitu fungsi bimbingan dan konseling yang bertujuan memberikan pemahaman pada siswa tentang diri dan lingkungannya sesuai dengan kebutuhan perkembangan siswa. 2) Fungsi pencegahan, yaitu fungsi bimbingan dan konseling yang bertujuan membantu siswa terhindar dari berbagai permasalahan yang dapat mengganggu, menghambat maupun menimbulkan kesulitan bagi proses penyesuaian diri siswa. 3) Fungsi perbaikan, yaitu fungsi bimbingan dan konseling yang bertujuan mengatasi berbagai permasalahan yang dialami siswa. 4) Fungsi pemeliharaan dan pengembangan, yaitu fungsi bimbingan dan konseling yang bertujuan memelihara dan mengembangkan berbagai potensi dan kondisi positif siswa dalam rangka pengembangan diri secara mantap dan berkelanjutan. Masalah keyakinan diri siswa akan kemampuannya merupakan hambatan besar bagi siswa untuk mengembangkan diri. Keterikatan dengan sebaya dapat menjadi media untuk mengembangkan efikasi diri siswa. Salah satu upaya bimbingan dan konseling dalam meningkatkan efikasi diri ialah dengan konseling teman sebaya. Penelitian Fathiyah dan Farida Harahap (2008) menunjukkan efektivitas konseling sebaya untuk meningkatkan efikasi diri remaja terhadap perilaku berisiko. Secara kuantitatif hasil penelitian tersebut menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan efikasi diri siswa yang diberi konseling sebaya. Secara kualitatif hasil penelitian menunjukkan peningkatan efikasi diri subjek penelitian ditinjau dari
54
kognitif, motivasi, afektif, dan kecenderungan perilakunya. Dengan demikian, adanya teman sebaya sebagai media konseling diharapkan siswa dapat meningkatkan efikasi dirinya, sehingga berdampak pada perilaku-perilaku yang dapat mendukung perkembangan kemandirian belajarnya di sekolah. Burtiham (1999: 14) menyatakan bahwa kemandirian belajar merupakan salah satu bentuk perilaku yang dapat dikembangkan konselor sebagai fasilitator bagi siswa untuk mengembangkan diri. Adapun disini peran konselor untuk menjalankan fungsinya yaitu melalui kegiatan bimbingan dan konseling. Berkaitan dengan upaya bimbingan dan konseling, Lowry (Euis, 2007) mengemukakan
upaya-upaya
yang
dapat
dilakukan
untuk
memfasilitasi
perkembangan kemandirian belajar pada siswa, yaitu: 1.
Membantu
siswa
mengidentifikasi
langkah
awal
untuk belajar dan mengembangkan bentuk ujian dan laporan yang relevan. 2.
Mendorong siswa untuk memandang pengetahuan dan kebenaran secara kontekstual, memandang nilai kerangka kerja sebagai konstruk sosial, dan memahami bahwa mereka dapat bekerja secara perorangan atau dalam kelompok.
3.
Menciptakan suasana kemitraan dengan siswa melalui negosiasi tujuan, strategi, dan kriteria evaluasi.
4.
Jadilah seorang manajer belajar daripada sebagai penyampai informasi.
5.
Membantu siswa menyusun kebutuhannya untuk merumuskan tujuan belajarnya.
55
6.
Mendorong siswa menyusun tujuan yang dapat dicapai melalui berbagai cara dan menawarkan beberapa contoh performan yang berhasil.
7.
Menyiapkan contoh-contoh pekerjaan yang sudah berhasil.
8.
Meyakinkan siswa agar menyadari tujuan, strategi, sumber, dan kriteria evaluasi belajar yang telah ditetapkan.
9.
Melatih
siswa
berinkuiri,
mengambil
keputusan, mengembangkan dan
mengevaluasi diri. 10.
Bertindak sebagai pembimbing dalam mencari sumber-sumber belajar.
11.
Membantu menyesuaikan sumber belajar dengan kebutuhan siswa.
12.
Membantu siswa mengembangkan sikap dan perasaan positif.
13.
Memahami tipe personality dan jenis belajar siswa.
14.
Menggunakan teknik pengalaman lapangan dan pemecahan masalah sebagai dasar pengalaman belajarorang dewasa.
15.
Mengembangkan pedoman belajar yang
berkualitas
tinggi
termasuk
kiat belajar terprogram. Oleh karena itu, diharapkan melalui layanan bimbingan dan konseling dapat meningkatkan efikasi diri siswa sehingga siswa dapat mengembangkan sikap-sikap yang mendukung perkembangan kemandirian belajarnya. Hal tersebut dapat mendorong siswa dalam menghadapi tantangan dan hambatan dalam kehidupan sekarang dan di masa yang akan datang.
56
Sebagaimana uraian di atas, jelaslah kiranya bahwa melalui pemberian layanan bimbingan dan konseling, individu diharapkan dapat memecahkan masalahnya sendiri, memahami dan menyesuaiakan diri dengan lingkunagnnya sebagai upaya tetap dapat hidup serasi dan harmonis bersama lingkungan dimanapun individu itu berada.
D. Kerangka Berpikir Mengenai Hubungan Antara Efikasi Diri dengan Kemandirian Belajar Keyakinan akan kemampuan yang dimiliki (efikasi diri) memegang peran penting dalam menggerakkan aktivitas remaja dalam perkembangan kemandiriannya, efikasi diri yang kuat akan menjadi dasar bagi remaja untuk melepaskan diri dari ketergantungan terhadap orang lain terutama terhadap orangtua. Remaja mulai memiliki keyakinan bahwa dirinya dapat mencapai keberhasilan dengan segenap kemampuan yang dimilikinya. Keyakinan yang kuat akan mendorong remaja untuk lebih mandiri dengan mengandalkan kemampuannya sendiri. Demikian pula sebaliknya, kemandirian yang terbentuk pada remaja akan memicu dirinya untuk melakukan aktivitas-aktivitas yang dapat meningkatkan kemampuan diri yang berujung pada meningkatnya efikasi diri. Efikasi diri merupakan perantara bagi proses perkembangan dari masa kanakkanak menuju kedewasaan. Remaja akan mengarahkan dirinya berdasarkan kemampuan-kemampuan yang ia yakini mampu untuk ditampilkan dalam rangka
57
mencapai tujuan-tujuan hidup yang telah ia rencanakan (Zimmerman dan Cleary, 2006: 45). Berhubungan dengan aktivitas belajar, siswa dengan efikasi diri yang baik akan melakukan perencanaan yang matang serta memiliki ketekunan untuk menyelesaikan tugas-tugas belajarnya. Siswa yang memiliki keyakinan bahwa dirinya dapat menyelesaikan tugas dengan kemampuannya sendiri cenderung lebih matang dalam merencanakan waktu-waktu belajarnya, memiliki inisiatif untuk mencari sumber-sumber belajar tanpa instruksi orang lain, serta lebih percaya diri ketika ujian. Sehingga pengalaman dalam melakukan aktivitas-aktivitas tersebut akan mendorong remaja untuk mengerahkan kemampuan dirinya dalam rangka mencapai tujuan dalam hidupnya. Adapun menurut (Mustaqim, 2009: 41), “dengan efikasi diri seseorang akan terdorong untuk menjalani pilihan-pilihan hidup yang telah ia tentukan sendiri, menjadi seorang individu yang mandiri”. Siswa yang memiliki efikasi diri yang tinggi akan terdorong untuk tidak tergantung pada orang lain, seperti mengerjakan tugas rumah ketika diingatkan oleh orangtua, mencari sumber belajar ketika diperintah oleh guru, dan sebagainya. Sehingga pada akhirnya cenderung menjadi individu yang mandiri dalam belajar, yaitu remaja yang selalu penuh inisiatif untuk menyelesaikan tugas-tugas belajar atas dorongan kesadaran dan kemampuan sendiri tanpa ketergantungan dengan orang lain. Apabila seseorang memiliki efikasi diri yang tinggi, maka cenderung akan memiliki perencanaan yang matang, memiliki ketekunan, berinisiatif dalam mencari sumber-sumber belajar, percaya diri dan tidak mudah merasa tertekan, mampu
58
menetapkan target prestasinya, dapat berpikir positif serta keinginan untuk tidak tergantung dengan orang lain. Dengan perilaku-perilaku yang ditampilkan oleh individu yang memiliki efikasi diri yang tinggi tersebut, maka segenap keyakinan tersebut menjadi dasar bagi siswa untuk tidak selalu mengandalkan orang lain yang pada akhirnya mendorong siswa untuk lebih mandiri dalam belajarnya dan tidak menggantungkan diri pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugasnya. Sebaliknya, apabila seseorang mempunyai efikasi diri yang rendah maka kecenderungan senantiasa selalu memandang diri tidak mampu akan berpengaruh pada tingkah laku yang ditampilkan dengan tidak baik, begitu pula dalam mengembangkan kemandiriannya dalam belajar. Untuk menguji hubungan antara kemandirian belajar dengan efikasi diri, maka dalam penelitian ini peneliti merumuskan efikasi diri sebagai variabel independen atau variabel bebas (X) sedangkan kemandirian belajar sebagai variabel dependen atau variabel terikat (Y). Variabel X yaitu efikasi diri merupakan variabel bebas, yang di dalamnya terdapat aspek-aspek magnitude, generality, dan strength. Variabel Y yaitu kemandirian belajar merupakan variabel, yang didalamnya terdapat aspek-aspek kemandirian emosional, kemandirian perilaku dan kemandirian nilai. Maka berdasarkan uraian di atas, peneliti ingin mengetahui bagaimana hubungan antara kemandirian belajar dengan efikasi diri yang selanjutnya alur kerangka berpikir tersebut dituangkan dalam grafik berikut ini :
59
Variabel X (efikasi diri)
Variabel Y (Kemandirian Belajar)
Skema 2.1 Kerangka Berpikir
E. Kajian Temuan Terdahulu Adapun kajian temuan terdahulu yang menyajikan data dan berhubungan dengan penelitian yang berjudul “Hubungan Antara Kemandirian Belajar dengan Efikasi diri Siswa” adalah sebagai berikut : 1. Berg, Silbereisen, dan Vondracek (1997) menunjukkan ada hubungan yang positif antara separasi (kemandirian emosional) dengan Self-Efficacy (efikasi diri ) vokasional. Keyakinan atas kemampuannya untuk mengeksplorasi lingkungan di luar keluarga dan membuat pilihan-pilihan yang sesuai dirinya akan memberi dasar untuk merasa nyaman saat memisahkan diri secara emosional dengan orangtuanya. 2. Penelitian Maryati (2008) diperoleh rerata empiric tentang aspek Efikasi diri pada subjek penelitian yang tergolong tinggi ditunjukkan oleh rerata empirik (RE) = 88,260 dan rerata hipotetik (RH) = 186. Rerata empiric (RE) kreativitas = 104,000. Kondisi ini dapat diartikan aspek-aspek yang ada pada variabel keyakinan diri yaitu: a) aspek keyakinan terhadap kemampuan mengahadapi situasi yang tidak menentu yang mengandung unsur kekaburan, tidak dapat diprediksikan, dan penuh tekanan, b) keyakinan terhadap kemampuan menggerakkan motivasi, kemampuan kognitif dan melakukan tindakan yang diperlukan untuk mencapai suatu hasil, c) keyakinan
60
mencapai target yang telah ditetapkan. Pada dasarnya sudah menjadi bagian dari karakter subjek dalam berperilaku. 3. Penelitian Hadi Warsito (2004) yang menyimpulkan bahwa terdapat hubungan kausal yang positif dan signifikan antara self-efficacy (efikasi diri ) dengan penyesuaian akademik mahasiswa. Artinya bahwa seseorang yang memiliki efikasi diri yang tinggi akan memiliki penyesuaian akademik yang tinggi juga, sedangkan seseorang yang memiliki efikasi diri rendah akan memiliki penyesuaian akademik rendah. 4. Hasil penelitian Indriani (2006) diketahui bahwa skor maksimal (ideal) untuk mata pelajaran Akuntansi siswa kelas XI-IPS adalah 6,5. Dari nilai hasil ulangan diketahui ada sebanyak 35 siswa (39,33%) yang mendapat nilai diatas skor ideal, sedangkan 54 siswa (60,67%) masih mendapatkan nilai dibawah 6,5 atau dibawah skor ideal. Dari 54 siswa yang mendapat nilai dibawah skor ideal tersebut dimungkinkan siswa tersebut memiliki kemandirian belajar yang relatif rendah. Hal ini disebabkan kebanyakan siswa menganggap bahwa setiap mata pelajaran relatif sulit, sehingga setiap tugas yang diberikan oleh guru tidak dikerjakan sendiri terlebih dahulu, tetapi kebanyakan dari mereka hanya mencontek pekerjaan dari temannya. 5. Data lain yang tentang kemandirian belajar remaja adalah hasil penelitian Nurrani (2009) yang menunjukkan bahwa secara umum siswa SMK memiliki tingkat kemandirian belajar yang tersebar pada setiap kategori pencapaian yaitu tinggi sekali 1.39 %, tinggi 38,2 %, sedang 41 %, rendah 17,4 % dan rendah sekali 2.08 %; dari data penelitian diketahui bahwa siswa SMK belum mencapai kemandirian belajar
61
yang optimal yakni 60.5 % sedangkan siswa yang telah mencapai kemandirian belajar secara optimal sebesar 39.6 %. Hal tersebut menunjukkan bahwa tingkat kemandirian belajar siswa secara umum belum mencapai taraf optimal. Hasil temuan di atas merupakan salah satu bukti bahwa betapa pentingnya mengembangkan kemandirian belajar di sekolah dengan meningkatkan Efikasi diri siswa. Sehingga dalam melaksanakan proses kegiatan belajar mengajar siswa dapat mencapai prestasi dan memenuhi standar keberhasilan belajar yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Pendidikan.