BAB II KONSEP DASAR
A. Pengertian Benigna Prostat Hiperplasi adalah perbesaran
prostat, kelenjar prostat membesar,
memanjang kearah depan ke dalam kandung kemih dan menyumbat aliran urine, dapat mengakibatkan hidronefrosis dan hidroureter (Brunner & Suddarth, 2000). Benigna Prostat Hiperplasi adalah pembesaran dari beberapa dari kelenjar ini yang mengakibatkan obstruksi urine (Mary Buradero dkk, 2000). BPH adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat (secara umum pada pria lebih tua dari 50 tahun) menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretral dan pembatasan aliran urinarius (Marilynn, E.D, 2000). Hipertropi adalah pembesaran sel, sedangkan hiperplasi adalah pertambahan jumlah sel,sehingga terjadi pembentukan jaringan yang berlebihan. Benigna Prostat Hiperplasi adalah pembesaran kelenjar prostat, memanjang ke arah depan ke dalam kandung kemih, yang mengakibatkan obstruksi urine (Poppy, 1998). Dari pengertian di atas maka penulis menyimpulkan bahwa benigna prostat hyperplasia adalah pembesaran dari prostat yang biasanya terjadi pada orang berusia lebih dari 50 tahun yang mendesak saluran perkemihan.
B. Anatomi dan Fisiologi 1. Anatomi
Kelenjar prostate adalah suatu kelenjar fibro muscular yang melingkar Bledder neck dan bagian proksimal uretra. Berat kelenjar prostat pada orang dewasa kira-kira 20 gram dengan ukuran rata-rata : panjang 3,4 cm, lebar 4,4 cm, tebal 2,6 cm. Secara embriologis terdiri dari 5 lobus yaitu lobus medius 1 buah, lobus anterior 1 buah, lobus posterior 1 buah, lobus lateral 2 buah. Selama perkembangannya lobus medius, lobus anterior dan lobus posterior akan menjadi satu disebut lobus medius. Pada penampang lobus medius kadang-kadang tidak tampak karena terlalu kecil dan lobus ini tampak homogen berwarna abu-abu, dengan kista kecil berisi cairan seperti susu, kista ini disebut kelenjar prostat. Pada potongan melintang uretra pada posterior kelenjar prostat terdiri dari : a. Kapsul anatomis. Jaringan stroma yang terdiri dari jaringan fibrosa dan jaringan muskuler. Jaringan kelenjar yang terbagi atas 3 kelompok bagian : 1) Bagian luar disebut kelenjar sebenarnya. 2) Bagian tengah disebut kelenjar sub mukosal, lapisan ini disebut juga sebagai adenomatus zone. 3) Di sekitar uretra disebut periuretral gland. Saluran keluar dari ketiga kelenjar tersebut bersama dengan saluran dari vesika seminalis bersatu membentuk duktus ejakulatoris komunis yang bermuara ke dalam uretra. Menurut Mc Neal, prostat dibagi atas : zona perifer, zona sentral, zona transisional, segmen anterior dan zona spingter preprostat. Prostat normal terdiri dari 50 lobulus kelenjar. Duktus kelenjar-kelenjar prostat ini lebih kurang 20 buah, secara terpisah bermuara pada uretra prostatika, dibagian lateral verumontanum, kelenjar-kelenjar ini dilapisi oleh selaput epitel torak dan bagian basal terdapat sel-sel kuboid (Anderson, 1999).
GAMBAR ANATOMI
Gambar 1. Sistem Reproduksi Pria
Gambar 2. Pembesaran Prostat
2. Fisiologi Pada laki-laki remaja prostat belum teraba pada colok dubur, sedangkan pada orang dewasa sedikit teraba dan pada orang tua biasanya mudah teraba. Sedangkan pada penampang tonjolan pada proses hiperplasi prostat, jaringan prostat masih baik. Pertambahan unsur kelenjar menghasilkan warna kuning kemerahan, konsisitensi lunak dan berbatas jelas dengan jaringan prostat yang terdesak berwarna putih ke abu-abuan dan padat. Apabila tonjolan itu ditekan, keluar cairan seperti susu. Apabila jaringan fibromuskuler yang bertambah tonjolan berwarna abu-abu padat dan tidak mengeluarkan cairan sehingga batas tidak jelas. Tonjolan ini dapat menekan uretra dari lateral sehingga lumen uretra menyerupai celah. Terkadang juga penonjolan ini dapat menutupi lumen
uretra, tetapi fibrosis jaringan kelenjar yang berangsur-angsur mendesak prostat dan kontraksi dari vesika yang dapat mengakibatkan peradangan.
C. Etiologi/Predisposisi Penyebab terjadinya Benigna Prostat Hipertropi belum diketahui secara pasti. Prostat merupakan alat tubuh yang bergantung kepada endokrin dan dapat pula dianggap undangan (counter part).
Oleh karena itu yang dianggap etiologi adalah karena tidak adanya
keseimbangan endokrin. Namun menurut Syamsu Hidayat dan Wim De Jong tahun1998 etiologi dari Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) adalah : 1. Adanya hiperplasia periuretral yang disebabkan karena perubahan keseimbangan testosteron dan estrogen. Dengan meningkatnya usia pada pria terjadi peningkatan hormon Estrogen dan penurunan testosteron sedangkan estradiol tetap yang dapat menyebabkan terjadinya hyperplasia stroma. 2. Ketidakseimbangan endokrin. 3. Faktor umur/usia lanjut. Biasanya terjadi pada usia diatas 50 tahun. 4. Unknown / tidak diketahui secara pasti. Penyebab BPH tidak diketahui secara pasti (idiopatik), tetapi biasanya disebabkan oleh keadaan testis dan usia lanjut.
D. Patofisiologi
Menurut Syamsu Hidayat dan Wim De Jong tahun 1998, umumnya gangguan ini terjadi setelah usia pertengahan akibat perubahan hormonal. Bagian paling dalam prostat membesar dengan terbentuknya adenoma yang tersebar. Pembesaran adenoma progresif menekan atau mendesak jaringan prostat yang normal ke kapsula sejati yang menghasilkan kapsula bedah. Kapsula bedah ini menahan perluasannya dan adenoma cenderung tumbuh ke dalam menuju lumennya, yang membatasi pengeluaran urin. Akhirnya diperlukan peningkatan penekanan untuk mengosongkan kandung kemih. Serat-serat muskulus destrusor berespon hipertropi, yang menghasilkan trabekulasi di dalam kandung kemih. Pada beberapa kasus jika obsruksi keluar terlalu hebat, terjadi dekompensasi kandung kemih menjadi struktur yang flasid, berdilatasi dan sanggup berkontraksi secara efektif. Karena terdapat sisi urin, maka terdapat peningkatan infeksi dan batu kandung kemih. Peningkatan tekanan balik dapat menyebabkan hidronefrosis. Retensi progresif bagi air, natrium, dan urea dapat menimbulkan edema hebat. Edema ini berespon cepat dengan drainage kateter. Diuresis paska operasi dapat terjadi pada pasien dengan edema hebat dan hidronefrosis setelah dihilangkan obstruksinya. Pada awalnya air, elekrolit, urin dan beban solut lainya meningkatkan diuresis ini, akhirnya kehilangan cairan yang progresif bisa merusakkan kemampuan ginjal untuk mengkonsentrasikan serta menahan air dan natrium akibat kehilangan cairan dan elekrolit yang berlebihan bisa menyebabkan hipovelemia. Menurut Mansjoer Arif tahun 2000 pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan pada traktus urinarius. Pada tahap awal terjadi pembesaran prostat sehingga terjadi perubahan fisiologis yang mengakibatkan resistensi uretra daerah prostat, leher vesika kemudian detrusor mengatasi dengan kontraksi lebih kuat. Akibatnya serat detrusor akan menjadi lebih
tebal dan penonjolan serat detrusor ke dalam mukosa buli-buli akan terlihat sebagai balokbalok yang tampai (trabekulasi). Dilihat dari dalam vesika dengan sitoskopi, mukosa vesika dapat menerobos keluar di antara serat detrusor sehingga terbentuk tonjolan mukosa yang apabila kecil dinamakan sakula dan apabila besar disebut diverkel. Fase penebalan detrusor adalah fase kompensasi yang apabila berlanjut detrusor akan menjadi lelah dan akhirnya akan mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk kontraksi, sehingga terjadi retensi urin total yang berlanjut pada hidronefrosis dan disfungsi saluran kemih atas.
E. Manifestasi Klinis 1. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah : a. Obstruksi : 1). Hesistensi (harus menggunakan waktu lama bila mau miksi) 2). Pancaran waktu miksi lemah 3). Intermitten (miksi terputus) 4). Miksi tidak puas 5). Distensi abdomen 6). Volume urine menurun dan harus mengejan saat berkemih. b. Iritasi : frekuensi sering, nokturia, disuria. 2. Gejala pada saluran kemih bagian atas
Nyeri pinggang, demam (infeksi), hidronefrosis. 3. Gejala di luar saluran kemih : Keluhan pada penyakit hernia/hemoroid sering mengikuti penyakit hipertropi prostat. Timbulnya kedua penyakit ini karena sering mengejan pada saat miksi sehingga mengakibatkan peningkatan tekanan intra abdominal (Sjamsuhidayat, 2004). Benigna Prostat Hipertropi selalu terjadi pada orang tua, tetapi tak selalu disertai gejala-gejala klinik, hal ini terjadi karena dua hal yaitu: a. Penyempitan uretra yang menyebabkan kesulitan berkemih. b. Retensi urin dalam kandung kemih menyebabkan dilatasi kandung kemih, hipertrofi kandung kemih dan cystitis (Hidayat, 2009). Adapun gejala dan tanda yang tampak pada pasien dengan Benigna Prostat Hipertrofi: a. Retensi urin (urine tertahan di kandung kemih, sehingga urin tidak bisa keluar). b. Kurangnya atau lemahnya pancaran kencing. c. Miksi yang tidak puas. d. Frekuensi kencing bertambah terutama malam hari (nocturia). e. Pada malam hari miksi harus mengejan. f. Terasa panas, nyeri atau sekitar waktu miksi (disuria). g. Massa pada abdomen bagian bawah. h. Hematuria (adanya darah dalam urin). i. Urgency (dorongan yang mendesak dan mendadak untuk mengeluarkan urin). j. Kesulitan mengawali dan mengakhiri miksi. k. Kolik renal (kerusakan renal, sehingga renal tidak dapat berfungsi).
l. Berat badan turun. m. Anemia, kadang-kadang tanpa sebab yang diketahui. n. Pasien sama sekali tidak dapat berkemih sehingga harus dikeluarkan dengan kateter. Karena urin selalu terisi dalam kandung kemih, maka mudah sekali terjadi cystitis dan selaputnya merusak ginjal (Arifiyanto, 2008). Gejala generalisata juga mungkin tampak, termasuk keletihan, anoreksia, mual dan muntah, dan rasa tidak nyaman pada epigastrik (Brunner & Suddarth, 2001). Secara klinik derajat berat, dibagi menjadi 4 gradiasi, yaitu: Derajat 1 : Apabila ditemukan keluhan prostatismus, pada DRE (colok dubur) ditemukan penonjolan prostat dan sisa urine kurang dari 50 ml. Derajat 2 : Ditemukan tanda dan gejala seperti pada derajat 1, prostat lebih menonjol, batas atas masih teraba dan sisa urine lebih dari 50 ml tetapi kurang dari 100 ml. Derajat 3 : Seperti derajat 2, hanya batas atas prostat tidak teraba lagi dan sisa urin lebih dari 100 ml. Derajat 4 : Apabila sudah terjadi retensi total. F. Komplikasi Menurut Arifiyanto (2008) komplikasi yang dapat terjadi pada hipertropi prostat adalah : 1.
Retensi kronik dapat menyebabkan refluks vesiko-ureter, hidroureter, hidronefrosis, gagal ginjal.
2.
Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi pada waktu miksi.
3.
Karena selalu terdapat sisa urin sehingga menyebabkan terbentuknya batu.
4.
Hematuria.
5.
Disfungsi seksual. Kebanyakan prostatektomi tidak menyebabkan impotensi (meskipun prostatektomi
perineal dapt menyebabkan impotensi akibat kerusakan saraf pudendal yang tidak dapat dihindari). Pada kebanyakan kasus, aktivitas seksual dapat dilakukan kembali dalam 6 sampai 8 Minggu, karena saat ini fossa prostatik telah sembuh. Setelah ejakulasi, maka cairan seminal mengalir ke dalam kandung kemih dan diekskresikan bersama urin (Brunner & Suddarth, 2001). Komplikasi yang berkaitan dengan prostatektomi yaitu: 1. Hemoragi dan syok 2. Pembentukan bekuan / trobosis 3. Obstruksi kateter 4. Disfungsi seksual (Smeltzer & Bare, 2000)
G. Penatalaksanaan Modalitas terapi BPH adalah : 1. Observasi yaitu pengawasan berkala pada klien setiap 3-6 bulan kemudian setiap tahun tergantung keadaan klien. 2. Medikamentosa : terapi ini diindikasikan pada BPH dengan Keluhan ringan, sedang, sedang dan berat tanpa disertai penyulit. Obat yang digunakan berasal dari phitoterapi (misalnya : Hipoxis rosperi, serenoa repens, dll), gelombang alfa blocker dan golongan supresor androgen.
3. Indikasi pembedahan pada BPH adalah : a. Klien yang mengalami retensi urin akut atau pernah retensi urin akut (100 ml). b. Klien dengan residual urin yaitu urine masih tersisa di kandung kemih setelah klien buang air kecil > 100 Ml. c. Klien dengan penyulit yaitu klien dengan gangguan sistem perkemihan seperti retensi urine atau oliguria. d. Terapi medikamentosa tidak berhasil. e. Flowmetri menunjukkan pola obstruktif. Pembedahan dapat dilakukan dengan : 1. TURP (Trans Uretral Reseksi Prostat). a. Jaringan abnormal diangkat melalui rektroskop yang dimasukan melalui uretra. b. Tidak dibutuhkan balutan setelah operasi. c. Dibutuhkan kateter foley setelah operasi. 2. Prostatektomi Suprapubis a. Penyayatan perut bagian bawah dibuat melalui leher kandung kemih. b. Diperlukan perban luka, drainase, kateter foley, dan kateter suprapubis setelah operasi. 3. Prostatektomi Neuropubis a. Penyayatan dibuat pada perut bagian bawah. b. Tidak ada penyayatan pada kandung kemih. c. Diperlukan balutan luka, kateter foley, dan drainase. 4. Prostatektomi Perineal a. Penyayatan dilakukan diantara skrotum dan anus.
b. Digunakan jika diperlukan prostatektomi radikal. c. Vasektomi biasanya dikakukan sebagai pencegahan epididimistis. d. Persiapan buang hajat diperlukan sebelum operasi (pembersihan perut, enema, diet rendah sisa dan antibiotik). e. Setelah operasi balutan perineal dan pengeringan luka (drainase) diletakan pada tempatnya kemudian dibutuhkan rendam duduk. Pada TURP, prostatektomi suprapubis dan retropubis, efek sampingnya dapat meliputi: 1. Inkotenensi urinarius temporer 2. Pengosongan urine yang keruh setelah hubungan intim dan kemandulan sementara (jumlah sperma sedikit) disebabkan oleh ejakulasi dini kedalam kandung kemih.
H. Pengkajian Fokus Dari data yang telah dikumpulkan pada pasien dengan BPH : Post Prostatektomi dapat penulis kelompokkan menjadi: 1. Data subyektif : a. Pasien mengeluh sakit pada luka insisi, karakteristik luka, luka berwarna merah. b. Pasien mengatakan tidak bisa melakukan hubungan seksual. c. Pasien selalu menanyakan tindakan yang dilakukan. d. Pasien mengatakan buang air kecil tidak terasa. 2. Data Obyektif: a. Terdapat luka insisi, karakteristik luka berwarna merah. b. Takikardia, normalnya 80-100 kali/menit. c. Gelisah.
d. Tekanan darah meningkat, normalnya 120/80 mmHg. e. Ekspresi wajah ketakutan. f. Terpasang kateter. 3. Pemeriksaan Penunjang a. Pemeriksaan laboratorium Analisis urine dan pemeriksaan mikroskopis urin penting untuk melihat adanya sel leukosit, bakteri, dan infeksi. Bila terdapat hematuria, harus diperhitungkan etiologi lain seperti keganasan pada saluran kemih, batu, infeksi saluran kemih, walaupun BPH sendiri dapat menyebabkan hematuria. Elektrolit, kadar ureum dan kreatinin darah merupakan informasi dasar dan fungsi ginjal dan status metabolik. Pemeriksaan Prostat Specific Antigen (PSA) dilakukan sebagai dasar penentuan perlunya biopsi atau sebagai deteksi dini keganasan. Bila nilai SPA < 4mg / ml tidak perlu biopsy. Sedangkan bila nilai SPA 4–10 mg / ml, hitunglah Prostat Spesific Antigen Density (PSAD) yaitu PSA serum dibagi dengan volume prostat. Bila PSAD > 0,15 maka sebaiknya dilakukan biopsi prostat, demikian pula bila nilai PSA > 10 mg/ml. b. Pemeriksaan Radiologis Pemeriksaan yang biasa dilakukan adalah foto polos abdomen, pielografi intravena, USG dan sitoskopi. Dengan tujuan untuk memperkirakan volume BPH, menentukan derajat disfungsi buli–buli dan volume residu urine, mencari kelainan patologi lain, baik yang berhubungan maupun yang tidak berhubungan dengan BPH. Dari semua jenis pemeriksaan dapat dilihat: 1). Dari foto polos dapat dilihat adanya batu pada batu traktus urinarius, pembesaran ginjal atau buli – buli.
2). Dari pielografi intravena dapat dilihat supresi komplit dari fungsi renal, hidronefrosis dan hidroureter, fish hook appearance (gambaran ureter belok – belok di vesika). 3). Dari USG dapat diperkirakan besarnya prostat, memeriksa masa ginjal, mendeteksi residu urine, batu ginjal, divertikulum atau tumor buli – buli (Arif Mansjoer, 2000). c. Pemeriksaan Diagnostik. 1). Urinalisis : warna kuning, coklat gelap, merah gelap / terang, penampilan keruh, Ph : 7 atau lebih besar, bakteria. 2). Kultur Urine : adanya staphylokokus aureus, proteus, klebsiella, pseudomonas, e. coli. 3). BUN / kreatinin : meningkat. 4). IVP : menunjukan perlambatan pengosongan kandung kemih dan adanya pembesaran prostat, penebalan otot abnormal kandung kemih. 5). Sistogram : mengukur tekanan darah dan volume dalam kandung kemih. 6). Sistouretrografi berkemih : sebagai ganti IVP untuk menvisualisasi kandung kemih dan uretra dengan menggunakan bahan kontras lokal. 7). Sistouretroscopy : untuk menggambarkan derajat pembesaran prostat dan kandung kemih. 8). Transrectal ultrasonografi : mengetahui pembesaran prosat, mengukur sisa urine dan keadaan patologi seperti tumor atau batu (R.Sjamsuhidayat, 2004).
I Pathways Keperawatan Perubahan Usia (Usia Lanjut) Ketidakseimbangan Produksi Estrogen dan Testoteron
Kadar Testosteron me
Kadar Estrogen me
Mempengaruhi RNA dalam Inti Sel
Hiperplasia Sel stroma Pada Jaringan
Proliferasi Sel Prostat
Benigna Prostat Hiperplasia Obtruksi Saluran Kemih yang Bermuara ke VU
Akumulasi Urine di VU
Tindakan Trup Insisi
Peregangan VU
Penumpukan Urine
Post Op
Melebihi Kapasitas
yang Lama di VU
Luka Insisi
Refluk Urine
Perkembangan
ke Ginjal
Mikroorganisme
Pemasangan Kateter
Jaringan Terbuka
Saraf Terputus
Selang Tidak Adekuat
Gagal Ginjal Kronik Nyeri
Sistem Irigasi
Resiko Infeksi
Resiko
Resiko
Infeksi
Disfungsi Seksual
Perubahan Pola Eliminasi Resiko Resiko Inkontinensia Urine
Infeksi
Nyeri
J. Fokus Intervensi Dan Rasional 1. Gangguan rasa nyaman: nyeri suprapubik berhubungan dengan spasme otot spincter. a. Tujuan : Nyeri berkurang atau hilang b. Kriteria hasil: Secara verbal pasien mengungkapkan nyeri berkurang atau hilang Pasien dapat beristirahat dengan tenang. c. Intervensi: 1) Monitor dan catat adanya rasa nyeri, lokasi, durasi dan faktor pencetus serta penghilang nyeri. Rasional : Memberikan informasi untuk membantu dalam menentukan pilihan atau keefektifan intervensi. 2) Observasi tanda-tanda non verbal nyeri (gelisah, kening mengkerut, peningkatan tekanan darah dan denyut nadi). Rasional : memberikan informasi untuk membantu dalam menentukan keefektifan dalam menentukan pilihan atau keefektifan intervensi. 3) Beri kompres hangat pada abdomen terutama perut bagian bawah. Rasional : Untuk meningkatkan relaksasi otot. 4) Anjurkan pasien untuk menghindari stimulan (kopi, teh, merokok, abdomen tegang). Rasional : Untuk menurunkan spasme kandung kemih.
5) Atur posisi pasien senyaman mungkin, ajarkan teknik relaksasif.
Rasional : Meningkatkan relaksasi, memfokuskan kembali perhatian dan dapat meningkatkan kemampuan koping. 6) Lakukan perawatan aseptik terapeutik. Rasional : untuk mengurangi resiko infeksi. 7) Laporkan pada dokter jika nyeri meningkat. Rasional : Pembesaran prostat dapat terjadi dengan hilangnya sebagian kelenjar. d. Pengertian Nyeri Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang actual dan potensial. Nyeri adalah alasan utama orang untuk mencari bantuan perawatan kesehatan. Nyeri didefinisikan sebagai apapun yang menyakiti tubuh, yang dikatakan individu yang mengalaminya, kapanpun individu mengatakannya (Smeltzer, 2001). Nyeri dibagi menjadi dua, yaitu nyeri akut dan nyeri kronik. Nyeri akut adalah keadaan dimana individu mengalami rasa ketidak nyamanan yang hebat atau sensasi tidak menyenangkan selama kurang lebih 6 bulan. (Carpenito, 2000). Nyeri kronik yaitu suatu keadaan dimana seorang individu mengalami nyeri yang menetap yang berlangsung lebih dari 6 bulan (Carpenito, 2000) Batasan krakteristik nyeri yang meliputi data mayor dan data minor. Data mayor berupa komunikasi verbal dan non verbal tentang gambaran nyeri, wajah meringis melindungi daerah yang sakit, gelisah, perilaku distraksi (meringis dan menangis). Untuk data minor berupa perubahan pada tonus otot, respon autonomic seperti diaroresis, tekanan darah dan frekuensi nadi berubah, dilatasi pupil, peningkatan atau penurunan frekuensi pernafasan (Trucker, 1998)
Standar skala nyeri menurut Long, 1996 adalah 0–10 dimana 0–3 adalah nyeri ringan, 4–6 adalah nyeri sedang, dan 7-10 adalah nyeri berat. 2. Perubahan pola eliminasi urine: retensi urin berhubungan dengan obstruksi sekunder. a. Tujuan : Tidak terjadinya retensi urine b. Kriteria hasil : Pasien dapat buang air kecil teratur bebas dari distensi kandung kemih. Menunjukan residu pasca berkemih kurang dari 50 ml, dengantak adanya tetesan/kelebihan. c. Intervensi : 1) Lakukan irigasi kateter secara berkala atau terus- menerus dengan teknik steril. Rasional : Menghindari terjadinya gumpalan yang dapat menyumbat kateter, menyebabkan peregangan dan perdarahan kandung kemih. 2) Atur posisi selang kateter dan urin bag sesuai gravitasi dalam keadaan tertutup. Rasional : Untuk mencegah peningkatan tekanan pada kandung kemih. 3) Observasi adanya tanda-tanda shock/hemoragi (hematuria, dingin, kulit lembab, takikardi, dispnea). Rasional : Untuk mencegah komplikasi berlanjut. 4) Mempertahankan kesterilan sistem drainage cuci tangan sebelum dan sesudah menggunakan alat dan observasi aliran urin serta adanya bekuan darah atau jaringan. Rasional : Pemberi perawatan menjadi penyebab terbesar infeksi nosokomial. Kewaspadaan umum melindungi pemberi perawatan dan pasien.
5) Monitor urine setiap jam (hari pertama operasi) dan setiap 2 jam (mulai hari kedua post operasi). Rasional : Cairan membantu mendistribusikan obat-obatan ke seluruh tubuh. Risiko terjadinya ISK dikurangi bila aliran urine encer konstan dipertahankan melalui ginjal. 6) Ukur intake output cairan. Rasional : Menjamin keamanan untuk membantu penyembuhan pascaoperasi.
7) Beri tindakan asupan/pemasukan oral 2000-3000 ml/hari, jika tidak ada kontra indikasi. Rasional : Cairan membantu mendistribusikan obat-obatan ke seluruh tubuh. Risiko terjadinya ISK dikurangi bila aliran urine encer konstan dipertahankan melalui ginjal. 8) Berikan latihan perineal (kegel training) 15-20x/jam selama 2-3 minggu, anjurkan dan motivasi pasien untuk melakukannya. Rasional : Mengajarkan pasien bagaimana melakukannya sendiri. d. Pengertian Perubahan Pola Eliminasi
Perubahan pola eliminasi urine adalah keadaan dimana seseorang individu mengalami atau beresiko mengalami disfungsi eliminasi urine (Carpenito, 2000). Batasan karakteristik pola eliminasi urine yang meliputi data mayor dan data minor. Data mayor meliputi melaporkan atau mengalami masalah eliminasi urine seperti doronngan berkemih, sering berkemih, keragu-raguan, nokturia, enuresis, menetes, distensi kandung kemih, inkontinen,volume urine residu yang banyak (Carpenito, 2000).
e. Pengertian Retensi Urine Retensi
urine
adalah
keadaan
dimana
individu
mengalami
suatu
ketidakmampuan kronik untuk berkemih diikuti oleh berkemih involunter (inkontinen aliran berlebihan). Batasan karakteristik retensi urine meliputi data mayor dan data minor. Data mayor berupa distensi kandung kemih (tidak dihubungkan dengan akut, penyebab dapat pulih), atau distensi kandung kemih dengan seringnya berkemih atau menetes ( inkontinen aliran berlebihan), residu urine 100 cc atau lebih. Untuk data minor berupa individu mengatakan perasaan bahwa kandung kemihnya tidak kosong setelah berkemih ( Carpenito, 2000). 3. Resiko tinggi disfungsi seksual berhubungan dengan sumbatan saluran ejakulasi, hilangnya fungsi tubuh. a. Tujuan : Tidak terjadinya disfungsi seksual b. Kriteria hasil : Pasien menyadari keadaannya dan akan mulai lagi intaraksi seksual dan aktivitas secara optimal. c. Intervensi : 1. Motivasi pasien untuk mengungkapkan perasaannya yang berhubungan dengan perubahannya. Rasional : Memberikan informasi untuk membantu dalam menentukan pilihan atau keefektifan intervensi. 2. Jawablah setiap pertanyaan pasien dengan tepat. Rasional : Untuk menginformasikan kondisi klien.
3. Beri kesempatan pada pasien untuk mendiskusikan perasaannya tentang efek prostatektomi dalam fungsi seksual. Rasional : Memberikan informasi untuk membantu dalam menentukan pilihan atau keefektifan intervensi. 4. Libatkan kelurga/istri dalam perawatan pmecahan masalah fungsi seksual. Rasional : Memberikan informasi untuk membantu dalam menentukan pilihan atau keefektifan intervensi. 5. Beri penjelasan penting tentang: a) Impoten terjadi pada prosedur radikal b) Adanya kemungkinan fungsi seksual kembali normal I. Adanya kemunduran ejakulasi. Rasional : Memberikan informasi untuk membantu dalam menentukan pilihan atau keefektifan intervensi. 6. Anjurkan pasien untuk menghindari hubungan seksual selama 1 bulan (3-4 minggu) setelah operasi. Rasional : Menjamin keamanan untuk membantu penyembuhan pascaoperasi.
d. Pengertian Disfungsi seksual
Disfungsi Seksual adalah keadaan dimana individu mengalami atau beresiko mengalami suatu perubahan dalam fungsi seksual yang dipandang sebagai tidak menguntungkan atau tidak adekuat (Carpenito, 2000). Batasan karakteristik disfungsi seksual meliputi data mayor dan data minor. Data mayor berupa pengungkapan masalah dengan fungsi seksual, melaporkan pembatasan penampilan seksual yang disebabkan oleh penyakit atau terapi. Untuk data minor berupa ketakutan keterbatasan yang akan datang pada penampilan seksual, kesalahan informasi mengenai seksualitas, kurang pengetahuan mengenai seksualitas dan fungsi seksual, konflik nilai nyang melibatkan ekspresi seksual (cultural, agama), perubahan hubungandengan orang terdekat lainnya, ketidakpuasan dengan peran sek (yang dirasakan atau actual) (Carpenito, 2000). 4. Resiko terjadinya infeksi berhubungan dengan port de entrée mikroorganisme melalui kateterisasi, dan jaringan terbuka. a. Tujuan : Tidak terjadinya infeksi b. Kriteria hasil: 1. Tanda-tanda vital dalam batas normal 2. Tidak ada bengkak, aritema, nyeri 3. Luka insisi semakin sembuh dengan baik
c. Intervensi: 1. Lakukan irigasi kandung kemih dengan larutan steril. Rasional : Gumpalan dapat menyumbat kateter, menyebabkan peregangan dan perdarahan kandung kemih.
2. Observasi insisi (adanya indurasi drainage dan kateter), (adanya sumbatan, kebocoran). Rasional : Sumbatan pada selang kateter oleh bekuan dapat menyebabkan distensi kandung kemih, dengan peningkatan spasme. 3. Lakukan perawatan luka insisi secara aseptik, jaga kulit sekitar kateter dan drainage. Rasional : Untuk mengurangi resiko infeksi. 4. Monitor balutan luka, gunakan pengikat bentuk T perineal untuk menjamin dressing. Rasional : Untuk mengurangi resiko infeksi. 5. Monitor tanda-tanda sepsis (nadi lemah, hipotensi, nafas meningkat, dingin). Rasional : Deteksi awal terhadap komplikasi dengan intervensi yang tepat dapat mencegah kerusakan jaringan yang permanen. d. Pengertian Infeksi Infeksi adalah invasi dan pembiakan mikroorganisme pada jaringan tubuh, terutama yang menyebabkan cidera seluler local akibat kompetisi metabolism, toksin, replikasi interna seluler ataupun antigen antibody (Kamus Kedokteran Dorland). Resiko terhadap infeksi adalah keadaan dimana seseorang individu beresiko terserang oleh agen patogenik (virus, jamur, bakteri, protozoa) dari sumber-sumber eksternal, sumber eksogen atau endrogen (Carpenito, 2000). Sedangkan menurut Kim (1995) menyatakan bahwa resiko tinggi infeksi adalah suatu keadaan dimana individu mengalami peningkatan resiko infeksi untuk
terserang oleh bakteri patogen yang dikarenakan rusaknya jaringan dan meningkatkan pemaparan terhadap lingkungan dan prosedur-prosedur invasif. Faktor-faktor yang menyababkan resiko infeksi (Kim, 1995) adalah : 1) Tidak adekuatnya daya tahan tubuh (kulit luka, trauma jaringan, menurunnya aski silia, cairan tubuh statis, perubahan pH, sekresi, perubahan peristaltik). 2) Tidak adekuatnya daya tahan sekunder tubuh (seperti menurunnya tingkat hemoglobin, leukopeni, tertekannya respon imflomatori, immunosupresi). 3) Tidak adekuatnya kekebalan yang didapat. 4) Rusaknya jaringan dan meningkatnya pemaparan terhadap lingkungan. 5) Penyakit kronis. 6) Prosedur-prosedur invasif. 7) Malnutrisi. 8) Bahan-bahan farmasi yang menyebabkan trauma. 9) Ruptur selaput amnion. 10) Kurangnya pengetahuan untuk menghindari dari lingkungan yang pathogen. 5. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi tentang penyakit, perawatannya. a. Tujuan : Pengetahuan pasien dapat meningkat b. Kriteria hasil : Secara verbal pasien mengerti dan mampu mengungkapkan dan mendemonstrasikan perawatan d. Intervensi : 1) Motivasi pasien/keluarga untuk mengungkapkan pernyataannya tentang penyakit.
Rasional : Memberikan informasi sejauh mana pengetahuan klien tentang penyakit yang dialami. 2) Berikan pendidikan pada pasien/keluarga tentang: a) Perawatan lsuka, pemberian nutrisi, cairan irigasi, kateter b) Perawatan di rumah, adanya tanda-tanda hemoragi. Rasional : Memberikan informasi kepada klien/keluarga klien cara perawatan pasca operasi. 6. Anxietas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan, salah interpretasi informasi, tidak mengenal
sumber
informasi,
ditandai
dengan
:
Gelisah, Informasi kurang a. Tujuan : Tidak terjadinya ansietas. b. kriteria hasil : 1) Klien tidak gelisah. 2) Tampak rileks c. Intervensi : 1) Kaji tingkat anxietas. Rasional : Mengetahui tingkat anxietas yang dialami klien, sehingga memudahkan dalam memberikan tindakan selanjutnya. 2) Observasi tanda-tanda vital. Rasional : Indikator dalam mengetahui peningkatan anxietas yang dialami klien. 3) Berikan informasi yang jelas tentang prosedur tindakan yang akan
dilakukan.
Rasional : Mengerti/memahami proses penyakit dan tindakan yang diberikan. 4) Berikan support melalui pendekatan spiritual.
Rasional : Agar klien mempunyai semangat dan tidak putus asa dalam menjalankan pengobatan untuk penyembuhan.