21
BAB II KEWENANGAN PEMUNGUTAN PAJAK PERMUKAAN DAN PAJAK AIR BAWAH TANAH BERDASARKAN UU NO 28 TAHUN 2009
A. Dasar Hukum Pemungutan Pajak Daerah Pajak adalah gejala masyarakat, artinya bahwa pajak hanya terdapat dalam masyarakat. Jika tidak ada masyarakat tidak ada pajak. Pernyataan seperti sangat tepat sekali, karena pajak digunakan untuk membiayai kepentingan umum yang akhirnya juga mencakup kepentingan pribadi individu seperti kepentingan rakyat, pendidikan, kesejahteraan rakyat, pendidikan, kemakmuran rakyat dan sebagainya.21 Sehingga pajak merupakan salah satu alat untuk mencapai tujuan negara sebagaimana yang diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945 pada alinea keempat yang diantaranya berbunyi: 22 ”…melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia serta untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia…” Selanjutnya untuk mencapai tujuan negara tersebut dilakukan pemungutan pajak yang dilakukan oleh pemerintah. Dalam hukum positif Indonesia yang menjadi landasan hukum pemungutan pajak adalah Pasal 23A UUD 1945 setelah amandemen keempat yang berbunyi: ”Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan Negara
21 22
Rochmat Soemitro, Pengantar Singkat Hukum Pajak, Cet. 2, (Bandung: Eresco, 1992), hal. 1-2 Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
21
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
22
diatur dengan undang-undang.” Dan agar ada kepastian dalam proses pengumpulannya dan berjalannya pembangunan secara berkesinambungan, maka sifat pemaksaannya harus ada dan rakyat itu sendiri telah menyetujuinya dalam bentuk undang-undang.23 Sebaliknya bila ada pungutan yang namanya pajak namun tidak berdasarkan undang-undang, maka pungutan tersebut bukanlah pajak tetapi lebih tepat disebut sebagai perampokan.24 Peraturan mengenai pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa harus diatur dengan Undang-Undang (UU). Berdasarkan hierarki norma hukum yang berlaku di Indonesia, UU menempati posisi nomor dua, yakni setelah UUD 1945. Hierarki norma hukum, menurut penjelasan Kelsen, berjenjang dan berlapislapis dalam suatu hierarki tata susunan, dimana suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, demikian seterusnya sampai kepada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif, yaitu norma dasar. Dengan menggariskan bahwa pajak diatur dengan UU, UUD 1945 hendak memastikan pemungutan pajak dikendalikan juga oleh rakyat melalui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Lebih lanjut, setelah perumusan peraturan pajak disetujui oleh perwakilan rakyat, maka dapat dianggap bahwa tidak ada lagi pemungutan yang bersifat memaksa dalam lingkup nasional. Maka pemungutan uang kepada rakyat di luar yang diatur dalam UU dapat 23
Richard Burton dan Wirawan B. Ilyas, Hukum Pajak, Edisi Pertama, (Jakarta: Salemba Empat, 2001), hal. 5. 24 Chidir Ali, Hukum Pajak Elementer, Cet. 1, (Bandung: PT Eresco, 1993), hal. 60-65.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
23
digolongkan sebagai perampokan sebagaimana pepatah yang sudah lazim kita dengar: tax without law is robbery.25 Dalam rangka meningkatkan kemampuan keuangan daerah agar dapat melaksanakan otonomi khususnya yang berasal dari pajak daerah dan retribusi daerah, Pemerintah menetapkan berbagai kebijakan perpajakan daerah, diantaranya dengan menetapkan UU No.28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang kemandirian daerah. Dalam UU tersebut, pajak daerah dan retribusi daerah menjadi salah satu sumber pendapatan daerah yang penting guna membiayai pelaksanaan pemerintahan daerah sehingga terdapat perluasan objek pajak daerah dan retribusi daerah serta adanya pemberian diskresi (keleluasaan) dalam penerapan tarif. Kebijakan pajak daerah dan retribusi daerah untuk kemudian dilaksanakan berdasarkan prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan, peran serta masyarakat, dan akuntabilitas dengan memperhatikan potensi daerah. Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan semula merupakan jenis pajak daerah Kabupaten/Kota berdasarkan UU No. 18/1997, kemudian ditarik dan dijadikan pajak daerah Provinsi berdasarkan UU No. 34/2000. Namun dalam perkembangan terbaru berdasarkan UU No. 28/2009, Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan dipisahkan menjadi dua jenis pajak daerah yang berbeda, yakni Pajak Air Permukaan sebagai Pajak Daerah Provinsi dan Pajak Air Tanah
25
http://bukabukaanpajak.wordpress.com/2010/02/17/tentang-pasal-23-a-uud-1945/akses tanggal 22 Februari 2011
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
24
sebagai Pajak Daerah Kabupaten/Kota. Jadi, dengan berlakunya UU tersebut, Pajak Air Bawah Tanah (ABT) resmi diserahkan pengelolannya ke kabupaten/kota. Pasca pembaharuan UU No.34 Tahun 2000 menjadi UU No.28 Tahun 2009, Pajak Propinsi kemudian ditetapkan sebanyak 5 (lima) jenis pajak, yaitu:26 1. Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air 2. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air 3. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor 4. Pajak Air Permukaan 5. Pajak Rokok. Sementara itu, jenis pajak Kabupaten/Kota ditetapkan 11 (sebelas) jenis pajak Kabupaten/Kota yang baru, yaitu : 27 1. Pajak Hotel; 2. Pajak Restoran; 3. Pajak Hiburan; 4. Pajak Reklame; 5. Pajak Penerangan Jalan; 6. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan; 7. Pajak Parkir; 8. Pajak Air Tanah; 9. Pajak Sarang Burung Walet;
26 27
Lihat Pasal 2 ayat (1) UU No. 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Lihat Pasal 2 ayat (2) UU No. 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
25
10. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan; dan 11. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Pengertian pemungutan pajak daerah dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah pasal 1 ayat 49 adalah “suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data objek dan subjek pajak, penentuan besarnya pajak yang terutang sampai kegiatan penagihan pajak atau retribusi kepada wajib pajak atau wajib retribusi serta pengawasan penyetorannya”. Ketergantungan Daerah yang sangat besar terhadap dana perimbangan dari pusat dalam banyak hal kurang mencerminkan akuntabilitas Daerah. Pemerintah Daerah tidak terdorong untuk mengalokasikan anggaran secara efisien dan masyarakat setempat tidak ingin mengontrol anggaran Daerah karena merasa tidak dibebani dengan Pajak. Untuk
meningkatkan
akuntabilitas
penyelenggaraan
otonomi
daerah,
Pemerintah Daerah seharusnya diberi kewenangan yang lebih besar dalam perpajakan dan retribusi. Berkaitan dengan pemberian kewenangan tersebut sesuai dengan UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, perluasan kewenangan perpajakan dan retribusi tersebut dilakukan dengan memperluas basis pajak Daerah dan memberikan kewenangan kepada Daerah dalam penetapan tarif.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
26
Pembagian kewenangan dalam pemerintahan yang bersifat desentralistis disadari sangat diperlukan dan tepat untuk diterapkan di Negara yang memiliki sebaran wilayah kepulauan yang luas dengan keanekaragaman budaya seperti Indonesia ini. Di samping memudahkan koordinasi dalam permerintahan, sistem desentralisasi lebih demokratis karena implementasi kekuasaan diselaraskan dengan karakter budaya dan kebiasaan daerah masing-masing.28 Pembagian kewenangan/ fungsi (Power Sharing) antara pusat dan daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan, pelayanan masyarakat dan pembangunan menjadi semakin jelas dengan diberikannya porsi peranan daerah yang lebih besar jika dibandingkan dengan pusat. Sebagai konsekuensi dari hak mengatur dan mengurus rumah tangga atas inisiatif sendiri, maka pemerintah daerah perlu dilengkapi dengan alat perlengkapan daerah yang dapat mengeluarkan peraturan-peraturannya, yaitu Peraturan Daerah (Perda). Kewenangan pemerintah daerah dalam membentuk sebuah peraturan daerah berlandaskan pada Pasal 18 ayat (6) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan, “Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”. Keberadaan peraturan daerah merupakan conditio sine quanon atau syarat absolut/syarat mutlak dalam rangka melaksanakan kewenangan otonomi tersebut. Peraturan daerah harus dijadikan pedoman bagi pemerintah daerah dalam 28
Departemen Keuangan ( Tinjauan Pelaksanaan Hubungan Keuangan Pusat Dan Daerah), Di dalam Buku Tjip Ismail, Pengaturan Pajak Daerah Di Indonesia, Yellow Printing, Jakarta, Edisi Kedua, 2007, Hal 1
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
27
melaksanakan urusan-urusan di daerah.29 Disamping itu peraturan daerah juga harus memberikan perlindungan hukum bagi rakyat di daerah. Peraturan daerah merupakan bagian integral dari konsep peraturan perundang-undangan. Peraturan perundangundangan tingkat daerah diartikan sebagai peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh pemerintah daerah atau salah satu unsur pemerintahan daerah yang berwenang membuat peraturan perundang-undangan tingkat daerah. Selanjutnya menurut Suko Wiyono, peraturan daerah merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi serta merupakan peraturan yang dibuat untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan yang ada diatasnya dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah. Peraturan daerah dilarang bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi serta Perda daerah lain.30 Dengan diberikannya kewenangan kepada daerah untuk menggali potensi dari daerahnya sendiri dalam meningkatkan PAD, banyak bermunculan Peraturan Daerah (Perda) tentang pungutan pajak, ada yang terealisasi dengan baik sehingga fungsi pajak sebagai fungsi Budgeter dan fungsi reguleren tercapai, namun ada juga Peraturan Daerah yang tidak terealisasi dengan baik dan tidak memberi kontribusi yang besar bagi peningkatan PAD. Langkah pembuatan Perda harus memperhatikan syarat-syarat yang diperlukan sehingga tidak mengabaikan aspek hukumnya. 29 Mahendra Putra Kurnia, dkk, Pedoman Naskah Akademik PERDA Partisipatif, Kreasi Total Media, Yogyakarta, 2007, hal. 55 30 Muhammad Ikhwan, Teori Desentralisasi (Pembagian Urusan Pemerintahan di Indonesia) http://studihukum.blogspot.com/2011/01/urgensi-partisipasi-publik-dalam_10.html akses tanggal 17 Februari 2011
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
28
Oleh sebab itu, diharapkan peran dan perhatian pemerintah dalam pembuatan Peraturan Daerah (PERDA) tentang pungutan pajak, sehingga masyarakat tidak merasa terbebani dan menjadikan pajak sebagai hal yang menakutkan. Pembuatan peraturan perundang-undangan perpajakan adalah suatu perbuatan menentukan peraturan/norma hukum yang mengikat umum, karenanya harus dilakukan dengan cermat, hati-hati dan mempertimbangkan berbagai segi secara komprehensif. Pemungutan pajak akan berjalan secara efektif dan efisien dengan memperhatikan setidaknya 4 (empat) syarat agar tercapai keadilan dan kepastian hukum. Syaratsyarat tersebut adalah syarat yuridis, syarat ekonomis, syarat finansial dan syarat sosiologis.31 Hak terhadap air merupakan asasi setiap manusia. Undang-Undang dasar 1945 Pasal 33 ayat (2) menjamin hak dasar tersebut, Pasal 33 ayat (2) berbunyi “ Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Ini berarti negara harus dapat menjamin dan menyelenggarakan penyediaan air yang menjangkau setiap individu warga negara. Itulah sebabnya negara harus dapat membatasi/mengendalikan pemakaian air bawah tanah tersebut agar kebutuhan setiap individu akan air selalu dapat dipenuhi. Untuk dapat mengendalikannya pemerintah daerah mengenakan pajak atas pengambilan air bawah tanah tersebut.
31
Muqodim, Perpajakan, Buku Satu, Edisi ke 2 (Revisi), UII Press dan EKONISIA, Yogyakarta, 1999, Hal 2.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
29
Berdasarkan Pasal 95 ayat (1) disebutkan bahwa “Pajak ditetapkan dengan Peraturan Daerah”. Peraturan Daerah tentang Pajak paling sedikit mengatur ketentuan mengenai:32 a. Nama, objek, dan Subjek Pajak; b. Dasar pengenaan, tarif, dan cara penghitungan pajak; c. Wilayah pemungutan; d. Masa Pajak; e. Penetapan; f. Tata cara pembayaran dan penagihan; g. Kedaluwarsa; h. Sanksi administratif; dan i. Tanggal mulai berlakunya. Peraturan Daerah tentang Pajak dapat juga mengatur ketentuan mengenai: 33 a. pemberian pengurangan, keringanan, dan pembebasan dalam hal-hal tertentu atas pokok pajak dan/atau sanksinya; b. tata cara penghapusan piutang pajak yang kedaluwarsa; dan/atau c. asas timbal balik, berupa pemberian
pengurangan, keringanan, dan
pembebasan pajak kepada kedutaan, konsulat, dan perwakilan negara asing sesuai dengan kelaziman internasional.
32 33
Lihat Pasal 95 ayat (3) UU No. 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Lihat Pasal 95 ayat (3) UU No. 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
30
Salah satu jenis pajak provinsi dalam undang-undang tersebut adalah Pajak Air Permukaan. Dengan demikian, maka kewenangan untuk memungut pajak air permukaan dimiliki oleh pemerintah daerah tingkat I atau Pemerintah Provinsi. Namun demikian, undang-undang pajak daerah masih memberikan batasan-batasan mengenai hal-hal yang dapat diatur dalam peraturan daerah sehubungan dengan Pajak Air Permukaan. Dalam pasal 21 ayat (2) UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, undang-undang mengecualikan objek pajak air pemukaan, ”pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan untuk keperluan dasar rumah tangga, pengairan pertanian dan perikanan rakyat, dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan dan peraturan perundang-undangan.” Pemerintah daerah juga diberi kewenangan lanjutan dalam butir b. ayat tersebut untuk menambahkan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan dalam Peraturan Daerah. Kewenangan lain yang diberikan oleh undang-undang kepada pemerintah daerah adalah untuk menetapkan Nilai Perolehan Air Permukaan. Nilai Perolehan Air Permukaan adalah dasar pengenaan Pajak Air Permukaan. Hal itu diatur dalam pasal 23 ayat (1) UndangUndang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Besarnya Nilai Perolehan Air Permukaan sebagaimana dimaksud diatas ditetapkan dengan Peraturan Gubernur sesuai pasal 23 ayat 4 Undang-undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Kewenangan terakhir yang cukup penting yang diberikan oleh undang-undang mengenai pajak air permukaan adalah mengenai pengaturan tarif. Dalam Pasal 24 ayat (2) UU PDRD dinyatakan bahwa Tarif Pajak Air Permukaan ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Namun demikian dalam ayat (1) pasal tersebut dibatasi bahwa
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
31
Tarif Pajak Air Permukaan ditetapkan paling tinggi yang ditetapkan pemerintahan daerah adalah sebesar 10% (sepuluh persen). 34 Sebagai landasan hukum pemungutan pemanfaatan dan pengambilan air bawah
tanah
di
satu
sisi,
peranan
tersebut
memudahkan
daerah
untuk
melaksanakan pemungutannya karena tidak diperlukan lagi mencari bentuk untuk menyusun peraturan pelaksanaanya. Daerah mempunyai wewenang yang cukup besar dalam pengaturan pajak air bawah tanah. Apabila ketidakadilan sebagai akibat dari
pelaksanaan
ketentuan-ketentuan
yang
diatur
dalam
produk-produk
sebelumnya, daerah memiliki kewenangan untuk melakukan koreksi atau perbaikanperbaikan. Pajak air bawah tanah memerlukan pengaturan yang lebih luwes, menciptakan
kondisi
yang
memungkinkan
terjadinya
pergerakan
menuju
penyesuaiaan antara fiskus dan wajib pajak, sehingga wajib pajak dapat merasa ditempatkan pada posisi yang sejajar dengan petugas-petugas pajak. Bahwasanya Peraturan Daerah tentang pajak provinsi dan pajak daerah merupakan kebijakan yang dikeluarkan oleh Propinsi atau Daerah masing-masing, oleh sebab itu nominal atau nilainya antar propinsi dan Daerah tidak sama. Saat ini Peraturan Daerah yang baru tentang Pemungutan Pajak Air Permukaan dan Air Bawah Tanah belum diterbitkan oleh Pemerintah Daerah Propinsi Riau dan Pemerintah Daerah Kota/Kabupaten. Dalam artian bahwa saat ini pihak Pemerintah Daerah Propinsi dan Pemerintah Daerah Kota/Kabupaten masih menggunakan
34
Derry Patra Dewa, http://derrypatra.wordpress.com/tag/environment/akses tanggal 17 Februari 2011
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
32
Peraturan Daerah yang lama untuk memungut Pajak Air Bawah Tanah danAir Permukaan. Hal ini disebabkan belum dikeluarkannnya Peraturan Daerah mengenai pemungutan Pajak Air Bawah Tanah danAir Permukaan. Belum dikeluarkannya Peraturan Daerah tersebut dikarenakan masih dalam proses pembahasan oleh pihak pemerintah kabupaten/kota.35 Menjabarkan amanat UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah, pemerintah daerah harus segera melakukan revisi perdaperda yang tidak sejalan dengan UU tersebut. Untuk lebih meningkatkan daya guna dan hasil guna Pemungutan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan di Daerah Propinsi Riau yang diatur dengan Undang-Undang yang kemudian diatur melalui Peraturan Pemerintah selanjutnya melalui Keputusan Menteri dan Peraturan Daerah. Pajak Pengambilan dan
Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan
yang Dasar Hukum
pemungutan pengambilan dan pemanfaatannya adalah Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah, Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintah Daerah, Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2001 Tentang Pajak Daerah, Peraturan Daerah Propinsi Riau No. 16 Tahun 2002 tentang Pajak Pengambilan Dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah Dan Air Permukaan, serta keputusan Gubernur Riau No. 48 Tahun 2002 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Propinsi Riau No. 16 Tahun 2002 tentang Pengambilan Dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan, Keputusan Gubernur Riau No. 3
35
Kutipan wawancara dengan Kepala Kantor Dinas Pendapatan Kota Pekanbaru, Drs. Fauzi Atan M.Si, Gedung Kantor Pendapatan Daerah Kota Pekanbaru (SAMSAT), 8 Januari 2011
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
33
Tahun 2003 tentang Nilai Perolehan Air Sebagai Dasar Penetapan Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan dan Peraturan Daerah Propinsi Riau No. 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Air Tanah dan Air Permukaan. Peraturan Daerah
Kota
Pekanbaru Nomor 4 Tahun 2004
tentang
Pengelolaan Air Bawah Tanah dan Peraturan Daerah Propinsi Riau Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Air Tanah dan Permukaan. Berdasarkan Peraturan Daerah Propinsi Riau Nomor 16 Tahun 2002 tentang Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan, disebutkan beberapa pengertian sehubungan dengan Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan sebagai berikut : 1. Air bawah tanah adalah air yang berada di perut bumi, termasuk mata air yang muncul secara alamiah di atas permukaan tanah. 2. Air permukaan adalah air yang berada di atas Permukaan Bumi, tidak termasuk air laut. Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 2002 tentang Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan dan Peraturan Daerah Nomor
48
Tahun
2002
tentang Petunjuk
Pelaksanaan
Pengambilan
dan
Pemanfaatan Pajak Air Bawah Tanah dan Air Permukaan di Propinsi Riau. Objek Pajak dan Wajib Pajak dalam Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan adalah sebagai berikut : 1. Wajib Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan adalah orang pribadi atau badan yang mengambil, atau
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
34
memanfaatkan,
atau mengambil
dan memanfaatkan
air
bawah
tanah
dan/atau air permukaan.36 2. Objek Pajak adalah : 37 a. Pengambilan air bawah tanah dan/atau air permukaan b. Pemanfaatan air bawah tanah dan/atau air permukaan c.. Pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan/atau air permukaan Dasar Pengenaan Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Pajak Air Bawah Tanah Dasar pengenaan Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Pajak Air Bawah Tanah, dengan ketentuan sebagai berikut : 38 1. Dasar pengenaan Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan adalah Nilai Perolehan Air. 2. Nilai Perolehan Air dinyatakan dalam Rupiah yang dihitung menurut sebahagian atau seluruh Faktor-faktor: a. Jenis Sumber Air b. Tujuan Pengambilan Air c. Volume air yang diambil d. Kualitas Air e. Luas areal tempat pengambilan air f. Musim pengambilan air 36
Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah Propinsi Riau Nomor : 16 Tahun 2002 Tentang Pajak Pengambilan Dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah Dan Air Permukaan. 37 Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Propinsi Riau Nomor : 16 Tahun 2002 Tentang Pajak Pengambilan Dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah Dan Air Permukaan. 38 Pasal 5 Peraturan Pemerintah Propinsi Riau Nomor : 16 Tahun 2002 Tentang Pajak Pengambilan Dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah Dan Air Permukaan.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
35
g. Tingkat kerusakan lingkungan Dikecualikan dari Objek Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan adalah :39 a. Pengambilan, atau pemanfaatan, atau pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan atau air permukaan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah b. Pengambilan, atau pemanfaatan, atau pengambilan dan pemenfaatan air permukaan oleh BUMN dan BUMD yang khusus didirikan untuk penyelenggaraan
usaha
eksploitasi
dan
pemeliharaan
pengairan
serta
mengusahakan air dan sumber-sumber air c. Pengambilan atau pemanfaatan, atau pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan atau air permukaan untuk kepentingan pengairan pertanian rakyat. d. Pengambilan dan pemanfaatan, atau pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dari dan atau air permukaan untuk keperluan dasar rumah tangga dan ibadah. Meskipun pemerintah daerah diberikan kewenangan yang begitu luas, tetapi untuk menghindari hal-hal yang dikhawatirkan tidak sejalan dengan semangat otonomi daerah, maka di dalam Undang-Undang tetap diatur mengenai pengawasan yang diatur oleh pemerintah pusat. Pemerintah sebenarnya telah melakukan antisipasi
39
Pasal 3 ayat (2) Peraturan Pemerintah Propinsi Riau Nomor : 16 Tahun 2002 Tentang Pajak Pengambilan Dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah Dan Air Permukaan.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
36
(dalam bentuk pengawasan) agar daerah tidak terlalu kreatif dalam memungut pajak sehingga otonomi daerah tidak malah menjadi momok bagi rakyat. Pengawasan tersebut berupa kewajiban pemerintah daerah untuk menyampaikan Peraturan Daerah kepada pemerintah pusat yang berwenang pula untuk melakukan pembatalan terhadap peraturan daerah yang tidak sesuai dengan Undang-undang. Sehubungan dengan adanya peraturan kebijakan di bidang perpajakan daerah, tentu diperlukan upaya yang serius bagi pemerintah daerah Kabupaten/Kota untuk melakukan penyesuaian terhadap berbagai macam pajak daerah sesuai dengan kategori jenisnya guna menghindari adanya tumpang tindih yang berakibat dapat dibatalkannya perda tentang pajak daerah. Seyogyanya, Peraturan Daerah Provinsi tentang Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan tetap berlaku paling lama 1 (satu) tahun sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009, sepanjang Peraturan Daerah Kabupaten/Kota tentang Pajak Air Tanah belum diberlakukan berdasarkan Undang-Undang ini.40 Namun demikian, diberlakukannya Perda No. 16 Tahun 2002 untuk pemungutan Pajak Air Bawah Tanah masih dimungkinkan dengan Perda tersebut. Sebagaimana disebut dalam Pasal 180 ayat (1) UU no. 28 Tahun 2009 Tentang pajak dan dan Retribusi Daerah bahwa Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah mengenai jenis Pajak provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan jenis Pajak kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) masih tetap berlaku 40
Lihat Pasal 180 ayat (3) UU No. 22 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
37
untuk jangka waktu 2 (dua) tahun sebelum diberlakukannya Peraturan Daerah yang baru berdasarkan Undang-Undang ini.41 Pada pasal 185 UU no. 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dikatakan bahwa UU tersebut mulai berlaku sejak 1 Januari 2010, oleh sebab itu untuk berlakunya Perda pajak provinsi dan pajak daerah masih mengikuti kebijakan yang lama dan akan disesuaikan dlm jangka 2 tahun setelah UU ini diberlakukan dengan kata lain Peraturan Daerah yang baru tentang Pajak Provinsi dan Pajak Daerah akan mulai berlaku sejak 1 Januari 2012. Saat ini, masih banyak perda pajak dan retribusi yang dimiliki harus segera direvisi, karena tidak sesuai dengan amanat UU No. 28 Tahun 2009. Waktu yang tersisa untuk merevisi perda yang ada sudah sangat sedikit, sehingga harus dilakukan dengan segera. Selanjutnya dalam UU tersebut sudah jelas diatur tentang proses revisi perda yang ada di masing-masing pemerintah daerah. Sebagaimana diatur dalam pasal 180 ayat 1 dan 2 UU No. 28 Tahun 2009 menyebutkan, setelah dua tahun diberlakukannya UU ini, peraturan yang ada di bawahnya harus disesuaikan. Ini artinya, pada Januari 2012 seluruh perda pajak dan retribusi sudah harus direvisi.42 B. Pelaksanaan Pemungutan Pengambilan dan Pemanfaatan Pajak Air Permukaan Dan Air Bawah Tanah. Berdasarkan Peraturan Daerah Propinsi Riau Nomor 16 tahun 2002 tentang Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Pajak Air Bawah tanah dan Air Permukaan,
41
Lihat Pasal 180 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Kutipan wawancara dengan Kepala Kantor Dinas Pendapatan Kota Pekanbaru, Drs. Fauzi Atan M.Si, Gedung Kantor Pendapatan Daerah Kota Pekanbaru (SAMSAT), 8 Januari 2011 42
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
38
yang berwenang melakukan pemungutan pajak ini adalah Dinas Pendapatan Daerah. Pemungutan Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Pajak Air Bawah tanah dan Air Permukaan tidak dapat diborongkan. Artinya, seluruh proses kegiatan pemungutan pajak tidak dapat
diserahkan
kepada
pihak
ketiga.
Walaupun
demikian,
dimungkinkan adanya kerjasama dengan pihak ketiga dalam proses pemungutan pajak, antara lain pencetakan formulir perpajakan, pengiriman surat-surat kepada wajib pajak, atau menghimpun data objek dan subjek pajak. Kegiatan yang tidak dapat dikerjasamakan dengan pihak ketiga adalah kegiatan penghitungan besarnya pajak yang terutang, pengawasan penyetoran pajak dan penagihan pajak.43 Secara sederhana tata laksana Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah di Riau dapat digambarkan dalam alur sebagai berikut : 1.
Pendataan dan Penatausahaan Orang pribadi atau badan yang melakukan pengambilan dan pemanfaatan
air bawah tanah wajib mendaftarkan terlebih dulu. Izin pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dikeluarkan oleh Dinas Pertambangan Propinsi Riau setelah dilengkapinya syarat1syarat yang ditentukan. Setelah izin pengambilan dan pemanfaatan diterbitkan maka wajib pajak wajib mendaftarkan kepada Dispenda Riau untuk diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah (NPWPD) dan dikukuhkan sebagai Wajib Pajak Pengambilan dan Pengambilan Air Bawah Tanah. Dalam pelaksanaannya data wajib pajak disampaikan oleh Badan
43
Marihot P. Siahaan, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hal. 230
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
39
Pengendalian Dampak Lingkungan yang
memberikan
izin
pengambilan
dan
pemanfaatan air bawah tanah. Dengan demikian pendataan wajib pajak dilakukan dengan koordinasi antara Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Kota/Kabupaten dengan Dispenda Propinsi Riau. 2.
Penetapan dan Penagihan Penetapan dan Penagihan Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah
Tanah di Provinsi Riau terdiri dari beberapa kegiatan yang berkoordinasi dengan Kantor Pendapatan Daerah Propinsi Riau dan Dinas Pertambangan Riau. Kegiatan penetapan hingga penagihan Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah terdiri dari: a. Kegiatan Pencatatan Meteran Air Dinas
Pertambangan
menyampaikan
data
pelanggan
pengambilan dan
pemanfaatan air bawah tanah kepada Dinas Pendapatan Daerah. Data tersebut kemudian dibukukan dan digunakan sebagai dasar dalam mencatat meteran air. b. Kegiatan Penerbitan Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD) Daftar rekapitulasi yang diterima dari Dipenda, dijadikan dasar untuk membuat/mencetak SKPD rangkap 5 yang terdiri dari lembar ke11 untuk wajib pajak, lembar ke12 untuk BKP yang Bersangkutan, lembar ke13 untuk Dinas Pendapatan Daerah Riau, lembar ke14 untuk kantor/pos
pelayanan
Dispenda yang bersangkutan, lembar ke15 untuk arsip. Perhitungan pajak dalam SKPD harus sesuai dengan ketentuan Peraturan Daerah yang berlaku,
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
40
SKPD dalam 5 rangkap rekapitulasinya diserahkan kepada Dinas Pendapatan Daerah paling lambat tanggal 25 setiap bulannya. c. Kegiatan Pencocokan Meneliti SKPD SKPD yang diterima oleh Dinas Pendapatan Daerah diteliti dan dicocokan dengan daftar rekapitulasi. Dalam hal ini terjadi ketidakcocokan maka SKPD dikembalikan kepada wajib pajak.Sedangkan untuk SKPD yang telah sesuai dengan daftar rekapitulasi diproses pengesahannya sebagai SKPD. d. Perbaikan Penerbitan SKPD Wajib Pajak menerima koreksi SKPD dan Daftar rekapitulasinya paling lambat tanggal 25 tiap bulannya. Berdasarkan data koreksi tersebut dan disampaikan kepada Dinas Pendapatan Daerah paling lambat tanggal 29 setiap bulannya. e. Penyampaian SKPD SKPD diterima Dinas Pendapatan dari Wajib Pajak paling lambat tanggal 29 setiap bulannya. SKPD rangkap 5 ini kemudian disampaikan Dinas Pendapatan daerah kepada Bank atau tempat lain yang ditunjuk berdasarkan Keputusan Gubernur paling lambat akhir bulan berikutnya. f. Pembayaran Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah Setiap tanggal 1 sampai dengan tanggal 15 setiap bulannya Bank yang ditunjuk berdasarkan Keputusan Gubernur atas tempat izin yang ditunjuk berdasarkan
Keputusan
Gubernur melayani
dan
menerima pembayaran
pajaknya. Atas SKPD yang tidak/belum dibayar, dikembalikan kepada Dinas
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
41
Pendapatan Daerah. Pembayaran yang terlambat atau yang dilakukan setelah tanggal 15 setiap bulannya serta yang berdasarkan Surat Tagihan Pajak Daerah (STPD) dilakukan di KPKD. g. Penerbitan Surat Tagihan Pajak Daerah (STPD) Pada tanggal 16 setiap bulannya, Dinas Pendapatan Daerah menerima SKPKD rangkap 5 yang tidak/belum dilunasi dari Bank atau tempat lain yang ditunjuk berdasarkan Keputusan Gubernur. Pelaksanaan pemungutan Pajak Pemanfaatan Air Bawah tanah dan Air Permukaan didasarkan atas Peraturan Daerah Propinsi Riau Nomor 16 tahun 2002 tentang Pemanfaatan Air Bawah tanah dan Air Permukaan yang diimplementasikan melalui Keputusan Gubernur Propinsi Riau Nomor 48 Tahun 2002 tentang Petujuk Pelaksanaan Peraturan daerah Nomor 16 tahun 2002 Tentang Pengambilan dan pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air permukaan. Untuk mewujudkan peraturan tersebut diperlukan adanya administrasi pemungutannya, yang mana administrasi perpajakan merupakan kunci keberhasilan kebijakan perpajakan. Administrasi perpajakan perlu disusun dengan sebaik-baiknya sehingga mampu menjadi instrument yang bekerja secara efisien dan efektif, sebab sebaik apapun kebijakan perpajakan dan Undang-Undang perpajakan jika kegiatan administrasi tidak dilakukan secara efisien dan efektif, maka sasaran yang hendak dicapai menjadi gagal. Secara umum pelaksanaan pemungutan Pajak pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan tidak mengalami perubahan yang signifikan. Dalam implementasi
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
42
pemungutannya,
Dinas
Pendapatan
Daerah
berkoordinasi
dengan
Dinas
Pertambangan dan Kantor Pengelolaan Teknologi Informasi. Dalam penyelenggaraan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan, setiap
aparatur
pemerintah bertugas melaksanakan sebagian tugas umum
pemerintahan dan pembangunan di bidang masing-masing. Dengan demikian tujuan dan sasaran yang harus dicapai oleh Pemerintah selalu menyangkut kegiatankegiatan atau tugas lebih dari satu aparatur pemerintah. Dalam rangka pelaksanaan tugas tersebut, kegiatan aparatur Pemerintah perlu satukan dan diselaraskan untuk mencegah timbulnya tumpang tindih dan kesimpang siuran dalam pelaksanaanya. Dengan demikian koordinasi anatar kegiatan aparatur pemerintah harus dilakukan. Dalam pelaksanaan pemungutan pajak air bawah tanah dari berbagai institusi yang bersinergi dan didukung oleh sumber daya manusia sebagai suatu kesatuan sosial, yang saling berinteraksi menurut suatu pola tertentu, sehingga setiap organisasi memiliki fungsi yang jelas sebagai suatu kesatuan yang mempunyai tertentu dan batasan-batasan yang jelas. Pada pemungutan pajak air bawah tanah, petugas pemungutan pajak air bawah tanah saling berkoordinasi dengan instansi terkait lainnya, di antaranya Dinas Pendapatan Daerah dengan Kantor Pendapatan Propinsi Riau dan Dinas Pertambangan Propinsi Riau. Pemungutan pajak air bawah tanah dan air permukaan dilakukan oleh Dinas Pendapatan Daerah Riau sebagai koordinator pemungutan air bawah tanah, berkoordinasi dengan Dinas Kantor Pendapatan
Daerah
dan
Pos
Pelayanan
Daerah , pelaksanaannya yaitu terdiri dari:
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
43
1. Pendaftaran Dalam masalah pemungutan pajak air bawah tanah, Dinas Pendapatan Daerah dihadapkan bagaimana usaha untuk mengenakan semua subjek pajak yang telah memenuhi ketentuan material peraturan perpajakan dikenakan pajak. Peraturan Daerah Nomor 16 tahun 2002, mengatur mengenai kewajiban pendaftaran atas usaha
pengambilan
air
bawah
tanah
kepada
Dinas
Pendapatan
Daerah.
Pendaftaran sebagai awal dari proses pemajakan sangat mempengaruhi kegiatan administrasi pemungutan lainnya, yang meliputi antara lain: a.
Pembayaran Pajak dan penyampaian SPTPD oleh wajib pajak kepada Dinas Pendapatan Daerah
b.
Kegiatan penetapan pajak yang
terutang yang dilakukan oleh Sub Dinas
Penetapan c.
Kegiatan pengawasan pembayaran pajak dan penagihan pajak oleh Subdinas Penagihan
d.
Kegiatan pemeriksaan oleh subdinas pendataan dan pemeriksaan Kegiatan pendaftaran sampai dengan saat ini belum dapat dilakukan
secara optimal, karena masih kurangnya subjek pajak yang mendaftar pada Dinas Pendapatan Daerah, akibatnya kegiatan administrasi penerbitan NPWP sebagai identitas diri dan usaha wajib pajak dalam memenuhi kewajiban pajak tidak dapat dilaksanakan. Hal tersebut dikarenakan subjek pajak yang mendaftarkan perizinan pengambilan air bawah tanah kepada Badan Pengendalian Dampak Lingkungan di Daerah Kota/Kabupaten sebagai data yang dijadikan sebagai data
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
44
wajib pajak belum diperoleh Dispenda. Seperti dijelaskan yang dijelaskan disini bahwa wajib pajak itu melakukan pendaftaran dan pendataan, mengisi formulir yang ada di kantor pendapatan daerah, kemudian melampirkan syarat-syarat seperti identitas pengusaha dan surat izin usaha. Setelah formulir yang di sampaikan ke kantor dinas pendapatan daerah kemudian diterbitkan NPWP. Baru kemudian wajib pajak yang sudah mendapat NPWP tersebut melakukan kewajibannya yaitu membayar atau menyetorkan
dan melaporkan pemakaian air tiap bulannya.
Dalam pemungutannya, setiap bulannya wajib pajak datang ke kantor Dinas
Pendapatan
untuk melaporkan
dan membayar
pemakaian
air bawah
tanahnya.nah Jika ada wajib pajak yang belum membayar dan melaporkan pajak air bawah tanah petugas yang datang langsung ke tempat wajib pajak. 44 Sebagai kegiatan awal dari proses kegiatan perpajakan, menghimpun data wajib pajak dapat dilakukan melaui cara yang konvensional yakni melalui pendataan oleh fiskus. Meskipun biaya yang diperlukan untuk melakukan pendataan cukup besar dan menyerap sumber daya manusia yang tidak sedikit, maka dalam kondisi dimana kegiatan pendataan mungkin dilakukan. Dengan struktur organisasi yang dimiliki Dinas Pendapatan Daerah yang mencakup kantor pendapatan daerah dan pelayanan
pajak
daerah. Peran kantor pendapatan Propinsi Riau yaitu sebagai
kantor pelaksana teknis yang tugas dan tanggung jawabnya untuk melaksanakan
44
Kutipan wawancara dengan Kepala Kantor Dinas Pendapatan Kota Pekanbaru, H. Said Auzir Aziz, Gedung Kantor Pendapatan Daerah Kota Pekanbaru (SAMSAT), 8 Januari 2011
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
45
sebagian tugas dinas pendapatan provinsi riau, seperti pemungutan, pendataan air bawah tanah. Kantor tersebut sebagai perpanjangan tangan kita.45 2. Pendataan pajak Kegiatan pendataan pajak terkait dengan sistem pemungutan pajak. Dalam sistem self assessment, wajib pajak menghitung, membayar dan melaporkan sendiri jumlah pajak terutangnya. Wajib pajak yang aktif dan harus dapat membuktikan sendiri jumlah pajak yang terutang. Dalam sistem official assessment, pajak terutangnya ditetapkan oleh fiskus dan pembuktiannya ada pada fiskus. Pajak baru terutang apabila terbit surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD) dari Dinas Pendapatan Daerah. Sistem pemungutan yang berjalan pada pemungutan pajak air bawah tanah berdasarkan sistem official assessment. Dalam mekanisme pemungutan pajak air bawah tanah, hasil pencatatan meteran air yang dilakukan oleh Dinas Pertambangan pada alat meter air yang terpasang di wajib pajak dijadikan sebagai dasar penerbitan SKPD. Sampai saat ini masih ada perusahaan yang tidak memakai meteran air walaupun di dalam persyaratan perizinan usaha, wajib memasang meteran air. Seperti yang disebutkan bahwa masih ada wajib pajak yang belum sadar dalam membayar pajak air bawah tanah, sehingga petugas bagian pemungutan air bawah tanah yang proaktif mendatangi ke tempat wajib pajak untuk memungut pajak air bawah tanah. Tetapi dari perusahaan besar sebagian besar sudah sadar akan menbayar pajak air bawah tanah yang digunakannya, mereka membayar sediri ke
45
Kutipan wawancara dengan Kepala Kantor Dinas Pendapatan Kota Pekanbaru, H. Said Auzir Aziz, Gedung Kantor Pendapatan Daerah Kota Pekanbaru (SAMSAT), 8 Januari 2011
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
46
kantor pendapatan daerah kota pekanbaru. Karena petugasnya harus proaktif untuk mendata dan menungut pajaknya, yang kita sebut istilahnya menjemput bola, tim yang kelapangan kurang sehingga banyak dikerjakan oleh pegawai harian lepas. Kemudian sampai saat ini pemakaian air bawah tanah belum semua memakai meteran air.”46 Pemasangan meteran air tidak disediakan oleh pemda, wajib pajak sendiri yang menyediakan meteran air tersebut, tetapi karena kurang sosialisasi dari pihak Pemda sendiri, akibatnya masih ada masyarakat yang tidak memasang meteran air karena tidak di sediakan oleh pemda. Jadi jumlah air yang dipakai sudah ditentukan oleh petugasnya.47 Penerimaan pajak air bawah tanah dari tahun ke tahun mengalami penurunan. Kondisi demikian sebenarnya tidak boleh terjadi, mengingat pertumbuhan yang pesat yang terjadi di Provinsi Riau pada umumnya dan di Kota/Kabupaten khususnya saat ini, ini ditandai oleh peningkatan perusahaan dan industri-industri. 3.
Pemeriksaan Perilaku wajib pajak yang berusaha untuk mengecilkan jumlah pajak yang
terutang
atau
melakukan
penghindaran
pajak
perlu
dilakukan
tindakan
pemeriksaan/verifikasi sebagai salah satu proses administrasi perpajakan. Sejauh mana wajib pajak melaksanakan ketentuan undang-undang perpajakan dan menguji
46
Kutipan wawancara dengan Kepala Kantor Dinas Pendapatan Kota Pekanbaru, H. Said Auzir Aziz, Gedung Kantor Pendapatan Daerah Kota Pekanbaru (SAMSAT), 8 Januari 2011 47 Kutipan wawancara dengan Kepala Kantor Dinas Pendapatan Kota Pekanbaru, H. Said Auzir Aziz, Gedung Kantor Pendapatan Daerah Kota Pekanbaru (SAMSAT), 8 Januari 2011
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
47
kepatuhan dapat dilakukan melalui pemerikasaan. Semua sistem perpajakan harus memberikan kemungkinan untuk memverifikasi surat pemberitahuan pajak yang dilaporkan oleh wajib pajak, mengingat surat pemberitahuan yang diisi oleh wajib pajak kemungkinan besar berisi kesalahan-kesalahan baik faktanya maupun yuridisnya. Peraturan Daerah Nomor 16 tahun 2000 telah mengatur kegiatan pemeriksaan terhadap wajib pajak air bawah tanah, namun dalam implementasinya kegiatan tersebut tidak dilakukan oleh Pendapatan Daerah. Hasil pencatatan meteran yang dilakukan oleh petugas dinas pertambangan tanpa disertai oleh petugas dinas pendapatan daerah perlu diuji kebenarannya. Instrumen untuk menguji tersebut melalui kegiatan pemeriksaan. Pemeriksaan terhadap wajib pajak lebih diintensifkan kepada wajib pajak yang belum menggunakan alat ukur meter air. Hal ini bertujuan agar dapat segera diproses penggunaan alat catat meter air pada wajib pajak tersebut
sehingga
dapat
diterbitkan
ketapan
pajaknya
(SKPD).
Hasil
pemeriksaan mempunyai peranan penting dalam upaya meningkatkan penerimaan pajak daerah. 4.
Penagihan pajak Pada hakekatnya penagihan pajak melekat dalam instansi pemungutan pajak
yang mempunyai fungsi pemeriksaan dan fungsi penagihan pajak. Dimana kegiatan penagihan pajak sebagai proses akhir dari kegiatan pemungutan dalam rangka terjaminnya penerimaan pajak oleh wajib pajak yang harus dilaksanakan dengan efektif. Berjalannya kegiatan penagihan pajak merupakan bukti kemampuan Dinas
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
48
Pendapatan Daerah untuk memasukkan pajak ke kas daerah. Penagihan pajak melalui sistem pemungutan yang berbeda dan saling melengkapi, harus dilakukan secara efektif dengan biaya penagihan sekecil mungkin. Penyampaian surat teguran atau surat pemberitahuan kepada wajib pajak untuk melunasi utang pajak merupakan
langkah awal yang harus dilakukan
penagihan dengan surat paksa. Pemungutan Pajak
sebelum Air
dilakukan
tindakan
Bawah Tanah dan Air
Permukaan yang dikelola oleh kantor pendapatan daerah. Namun belum
ada
tindakan tegas yang dilakukan, wajib pajak tidak melaporkan dan memungut Pajak Air Bawah Tanah dan Air Permukaan, karena wajib pajak yang telat atau tidak melaporkan dan membayar pajak air bawah tanah belum memahami pentingnya membayar Pajak Air Bawah Tanah dan Air Permukaan. Jadi jika ada wajib pajak yang belum membayar pajak air bawah tanah maka kita membuat surat teguran jika tidak digubris oleh wajib pajak maka petugas kita yang datang ke wajib pajak tersebut untuk menagih.seperti yang saya bilang tadi istilahnya jemput bola. Karena pemungutan Pajak Air Bawah Tanah dan Air Permukaan ini tidak sama dengan pajak kendaraan bermotor, kalau kendaraan bermotor jika kita adakan razia atau dapat dilihat dari platnya kan bisa di ketahui dan dapat dilihat di jalan, dapat dilihat dari STNK nya apa dia belum membayar atau belum memperpajang izin dan sebagainya. Jadi, disitu kita bisa dengan tegas di kenai sangsinya jika melanggar ketentuan pajak.48
48
Kutipan wawancara dengan Kepala Kantor Dinas Pendapatan Kota Pekanbaru, H. Said Auzir Aziz, Gedung Kantor Pendapatan Daerah Kota Pekanbaru (SAMSAT), 8 Januari 2011
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
49
Dalam peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 2002, diatur bahwa wajib pajak yang tidak membayar pajak setelah jatuh tempo pembayaran dilakukan penagihan dengan menerbitkan Surat Tagihan Pajak Daerah (SPTPD). Kegiatan administrasi penerbitan SPTPD baru dapat dilakukan dalam hal SKPD yang tidak dibayar oleh wajib pajak selambat lambatnya 15 hari setelah berakhirnya masa pajak. Tetapi dari yang terjadi di lapangan banyak wajib pajak yang membayar pajaknya tidak setiap bulan, tetapi ada yang membayar langsung 3 bulan kedepannya. Dengan pembayaran seperti itu pelaksanaan penagihan pajak tidak optimal, karena tidak terpasangnya meteran air maka hanya memakai taksiran saja. Dengan taksiran yang diperkirakan atau yang ditentukan oleh petugas pendapatan daerah. Pajak Pemanfaatan air bawah tanah merupakan salah satu penerimaan pemerintah daerah Riau dari sektor pajak daerah. Penggunaan Pajak Air Bawah Tanah dan Air Permukaan
baru dimulai pada tahun 1998 yang sebelumnya
merupakan retribusi penerimaan Pemerintah Daerah, mengartikan bahwa potensi penerimaan tersebut masih sangat besar dan dapat memberikan kontribusi yang besar bagi penerimaan pajak di masa yang akan datang. Dengan perubahan retribusi tersebut menjadi pajak, maka peranan administrasi perpajakan, terutama koordinasi dalam pemungutan pajak air bawah tanah menjadi prioritas utama. Selain Kantor Pendapatan Daerah Propinsi Riau, Dinas Pendapatan Daerah juga berkoordinasi dengan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah. Koordinasi yang dilakukan yaitu dalam hal data dan informasi wajib pajak pengambilan dan pemanfaatan Air
Bawah
Tanah dan Air Permukaan. Badan
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
50
pengendalian dampak lingkungan sebagai tempat pembuatan izin usaha, Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Riau sebagai pemungut pajak, karena hasil dari penerimaan pajaknya untuk Daerah Kabupaten/kota. Dasarnya setiap pengambilan dan pemanfaatan pajak air bawah tanah harus dapat izin dari pemerintah, tempat air tersebut diambil. Jika pengambilan dan pemanfaatannya di kota pekanbaru maka harus mendapat izin dulu di instansi yang mengelola air bawah tanah yaitu Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda).49 Pemberian izin oleh Badan Pengendalian Dampak Lingkungan mempunyai beberapa syarat yaitu, dengan mendaftarkan izin usaha pengeboran air bawah tanah dan izin pengambilan air, masa berlaku izin tersebut yaitu tiga tahun dan dapat memperpanjang kembali, apabila memenuhi persyaratan. Setelah memperoleh izin, perusahaan tersebut mempunyai kewajiban, yaitu melaporkan jumlah pemakaian air setiap bulannya, membayar retribusi izin dan pajak pengambilan air setelah mendapat izin, menyediakan dan memasang meteran air serta alat pembatas keran, memberikan sebagian air yang diambil untuk kepentingan masyarakat berdasarkan permohonan masyarakat sekitar, melakuan analisis kualitas air pada setiap sumur per tiga bulan dan melaporkan hasilnya. Apa bila salah satu kewajiban tersebut tidak terpenuhi maka tidak dapat memperpanjang izin. Dinas Pendapatan Daerah juga berkoordinasi dengan Dinas Pertambangan sebagai pemantau dan pengendalian air bawah tanah yang dimanfaatkan wajib pajak tiap bulannya. Koordinasi yang
49
Kutipan wawancara dengan Kepala Kantor Dinas Pendapatan Kota Pekanbaru, H. Said Auzir Aziz, Gedung Kantor Pendapatan Daerah Kota Pekanbaru (SAMSAT), 8 Januari 2011
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
51
yang
lakukan yaitu, catatan meteran air yang terkait dengan masalah pajak,
mengawasi cara pemasangan meteran air . mencatatan meteran air ini di lakuakan sekali saja, nah untuk menghitung pengenaan pajak air bawah tanahnya dari meteran air yang dicatat sebagai DPP nya. Dinas Pertambangan melakukan koordinasi setiap bulan.50 Dinas pertambangan sebagai pengawasan pengendalian air bawah tanah mempunyai tujuan untuk terkendalinya kegiatan pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah, selain itu kegiatan teknis dapat terwujud dengan ketentuan teknis. Tujuannya yaitu untuk terciptanya singkronisasi pengawasan dan pengendalian pemanfaaatan air bawah tanah di Provinsi dan kabupaten/kota, tertibnya administrasi perizinan kegiatan pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah. Terkendalinya kegiatan pengambilan air bawah tanah, terpenuhunya ketentuan teknis berdasarkan kaidah, norma, dan ketentuan yang berlaku terhadap pengambilan pajak air bawah tanah sesuai dengan SIP dan terlaksananya pengelolaan air bawah tanah yang
dilaksanakan
oleh kabupaten/kota sesuai dengan kewenangan serta
kebijaksanaan yang dilaksanakan.51 Dengan demikian terlihat jelas bahwa koordinasi yang baik antara instansi di Provinsi Riau sangatlah penting. Instansi-instansi tersebut memiliki kepentingan masing-masing dalam koridornya, sehingga agar tidak saling tumpang tidih maka
50
Kutipan wawancara dengan Kepala Kantor Dinas Pendapatan Kota Pekanbaru, H. Said Auzir Aziz, Gedung Kantor Pendapatan Daerah Kota Pekanbaru (SAMSAT), 8 Januari 2011 51 Kutipan wawancara dengan Kepala Kantor Dinas Pendapatan Kota Pekanbaru, H. Said Auzir Aziz, Gedung Kantor Pendapatan Daerah Kota Pekanbaru (SAMSAT), 8 Januari 2011
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
52
diperlukan pengkoordinasian. Koordinasi diartikan sebagai upaya penyatu paduan gerak dari suatu potensi dan unit-unit organisasi atau orgenisasi-organisasi yang berbeda fungsi agar secara benar-benar mengarah pada sasaran yang sama guna memudahkan pencapaiannya dengan efektif. Koordinasi yang baik pada prinsipnya tidak akan pernah terlepas dari komunikasi yang efektif, perumusan wewenang, tanggung jawab serta tugas yang jelas. Selanjutnya akan dianalisis sejauh mana pelaksanaan koordinasi dilakukan secara
baik
dengan
melihat
dari
perjalanan
atau
tindakannya
komunikasi yang efektif, perumusan wewenang, tanggung jawab serta tugas yang jelas. C. Sistem Pengenaan Tarif Pajak Daerah dan Pelaksanaannya Sebagaimana diuraikan dalam azas pemungutan pajak, bahwa pemungutan pajak dilakukan secara adil, artinya umum dan merata .Salah satu bentuk operasional penciptaan keadaan pemungutan pajak yang adil yaitu melalui tarif pajak: Namun demikian, penerapan tarif pajak di lapangan bergantung dari tujuan yang ingin dicapai oleh fiskus. Misalnya, untuk masyarakat yang penghasilannya tidak merata dan cenderung rendah, maka penerapan tarif pajak progresif-progresif lebih mencerminkan keadilan dibandingkan dengan tarif pajak lainnya. Tarif pajak, merupakan alat ukur untuk menilai tingkatan besarnya pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak. Suatu pemerintah daerah dapat menetapkan dan memungut beragam jenis pajak daerah sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Hal ini sangat dimungkinkan jika
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
53
pemerintah daerah memiliki kemampuan untuk menetapkan sendiri jenis-jenis pajak daerah yang dapat dipungutnya, tanpa ada intervensi dari tingkatan pemerintahan yang lebih tinggi. Agar pemerintah daerah memiliki kemampuan optimal untuk memungut pajak daerah yang ada di daerahnya, perlu kiranya mempertimbangkan pajak-pajak daerah yang memang sesuai untuk dijadikan sumber pendapatan agar tercipta efisiensi dan efektivitas dalam pemungutan pajak daerah. UU No.28 Tahun 2009 memang memberikan kewenangan yang besar kepada daerah untuk memungut sendiri pajaknya dengan penambahan beberapa jenis pajak daerah baru serta perluasan basis pajak daerah. Bila dilihat dari sisi otonomi fiskal peraturan ini sama sekali tidak mempunyai makna apabila tidak disertai dengan kewenangan dalam penetapan tarifnya. Daerah propinsi yang sebelumnya sama sekali tidak memiliki diskresi (keleluasaan) dalam penetapan tarif, dalam UU ini diberikan kewenangan untuk menetapkan tarif pajak daerah dengan batasan tarif minimum dan maksimum. Pemberian kewenangan dalam penetapan tarif tersebut akan mempermudah daerah mengaitkan pengenaan tarif dengan tingkat pelayanan (the benefit tax-link). Daerah dapat mendesain kebijakan tarif pajak untuk mencapai tujuan tertentu, seperti mengenakan tarif pajak yang tinggi untuk meningkatkan kualitas pelayanan, atau menurunkan tarif pajak untuk menarik investasi ke daerahnya. Melalui penguatan perpajakan daerah sebagaimana diuraikan di atas, struktur penerimaan daerah akan berubah dengan peningkatan peranan PAD dalam APBD secara signifikan.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
54
Pajak daerah yang baik pada prinsipnya harus dapat memenuhi dua kriteria. Pertama pajak daerah harus memberikan pendapatan yang cukup bagi daerah sesuai dengan derajat otonomi fiskal yang dimilikinya. Kedua, pajak daerah harus secara jelas berdampak pada tanggung jawab fiskal yang dimiliki oleh pemerintah daerah yang bersangkutan. Cara yang mudah dan mungkin merupakan cara terbaik untuk mencapai tujuan ini adalah dengan membiarkan daerah untuk menetapkan jenis pajak daerahnya sendiri sekaligus tarifnya dengan tetap memperhatikan peraturan perUndang-Undangan yang berlaku. Di banyak negara berkembang, pemerintahpemerintah daerah maupun unit-unit administratif memiliki kewenangan secara legal untuk membebankan pajak, tetapi basis pengenaan pajak yang dimilikinya terlalu lemah serta mereka masih sangat tergantung terhadap subsidi-subsidi yang diberikan oleh pemerintah pusat, sehingga kewenangan yang dimilikinya untuk membebankan pajak tersebut seringkali tidak dapat dilakukan. Untuk mewujudkan realisasi penerimaan
yang optimal, administrator
pendapatan daerah harus memperhatikan penghindaran yang dimungkinkan oleh wajib pajak, serta tindak penipuan dan kolusi yang mungkin timbul. Penghindaran oleh wajib pajak terjadi ketika seseorang atau badan yang seharusnya membayar pajak daerah memiliki keinginan, atau bahkan sudah melakukannya, untuk menghindari pembayaran yang seharusnya dilakukan atau mereka membayar apa yang seharusnya dibayar tetapi jumlahnya tidak sesuai. Tindak penipuan dan kolusi terjadi ketika ada usaha dari wajib pajak yang bekerja sama dengan petugas
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
55
pemungut untuk meminimalisir jumlah yang harus dibayarkan dengan beragam upaya yang pada akhirnya dapat mengurangi perolehan pendapatan daerah. Secara teoritis terdapat 4 macam tarif pajak, yaitu:52 1.
Tarif Proporsional Tarif pajak yang persentasenya tetap dan tidak bergantung pada besarnya dasar pengenaan pajak. Contoh :
2.
Dasar pengenaan pajak
Tarif
Pajak Terutang
Rp. 1.000.000.000,-
10%
Rp. 100.000,-
Rp. 2.000.000.000,-
10%
Rp. 200.000,-
Rp. 3.000.000.000,-
10%
Rp. 300.000,-
Tarif progresif Tarif pajak yang persentasenya meningkat, sesuai besarnya (meningkatnya) dasar pengenaan pajak. Contoh :
3.
Dasar Pengenaan Pajak
Tarif
Pajak Terutang
Rp. 10.000.000.000,-
15%
Rp. 1.500.000,-
Rp. 40.000.000.000,-
25%
Rp. 10.000.000,-
Rp. 60.000.000.000,-
35%
Rp. 21.000.000,-
Tarif Degresif
52
Kesit Bambang Prakosa, Pajak dan Retribusi Daerah, Yogyakarta, UII Press, 2003, hal. 9-10
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
56
Tarif pajak yang persentasenya menurun, sesuai meningkatnya dasar pengenaan pajaknya. Contoh :
4.
Dasar Pengenaan Pajak
Tarif
Pajak Terutang
Rp. 20.000.000.000,-
10%
Rp. 2.000.000,-
Rp. 30.000.000.000,-
9%
Rp. 2.700.000,-
Rp. 50.000.000.000,-
8%
Rp. 4.000.000.,-
Rp. 70.000.000.000,-
7%
Rp. 4.900.000,-
Tarif Tetap Jumlah atau angkanya tetap, tidak bergantung besarnya dasar pengenaan pajak. Contoh : Dasar Pengenaan Pajak
Tarif
Pajak Terutang
Rp. 10.000.000.000,-
-
Rp. 1.000.000,-
Rp. 20.000.000.000,-
-
Rp. 1.000.000,-
Rp. 40.000.000.000,-
-
Rp. 1.000.000,-
Rp. 50.000.000.000,-
-
Rp. 1.000.000,-
Dasar pengenaan pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah adalah nilai perolehan air. Dan tarif pajak ditetapkan 20% untuk air bawah tanah dan 10% untuk air permukaan dari pokok pajak (tarif proporsional). Nilai perolehan air dinyatakan dalam rupiah yang dihitung menurut sebagian atau seluruh faktor-faktor yaitu : jenis sumber air, lokasi sumber air, tujuan pengambilan dan/atau pemanfaatan air, kualitas air, luas areal tempat pengambilan
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
57
dan/atau pemanfaatan air, tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan atau pemanfaatan air dikalikan dengan volume air yang diambil lalu dikalikan lagi dengan harga dasar air. Besarnya nilai perolehan air sepanjang digunakan untuk kegiatan Badan usaha Milik Negara, Badan usaha Milik Daerah yang memberikan pelayanan publik, pertambangan minyak bumi dan gas alam ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri dengan pertimbangan Menteri Keuangan. Nilai perolehan air yang digunakan Badan Usaha Milik Negara seperti PT. Pertamina dan PT. PLN, Badan Usaha Milik Daerah seperti PDAM yang memberikan pelayanan publik, pertambangan minyak bumi dan gas alam yang diatur dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 12 tahun 2002 Pasal 3 ayat (2), yang isinya sebagai berikut : Yang digunakan oleh Pertamina dan para kontraktornya untuk kegiatan Industri Pertambangan Minyak dan gas Bumi ditetapkan sebesar Rp. 125,- untuk Air bawah tanah dan Rp. 100,- untuk Air permukaan setiap m3, sedangkan yang digunakan oleh PT. PLN (persero) untuk prmbangkit tenaga listrik ditetapkan sebesar Rp. 50,- untuk Air Permukaan setiap Kwh, dan yang digunakan oleh PDAM ditetapkan paling tinggi sebesar Rp. 125,- untuk Air Bawah tanah dan Rp. 100,- untuk Air Permukaan setiap m3. Besarnya pokok Pajak Pengambilan dan Pengambilan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan dasar pengenaan pajak (debit air yang diambil per bulan x harga dasar air x faktor-faktor nilai air).
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
58
Sebagai contoh perhitungan besarnya pajak PABT adalah sebagai berikut: a. Air bawah tanah Peruntukan
: Industri Pertambangan Minyak dan Gas Bumi
Volume pemakaian
: 1500 m3
Harga Dasar Air
: Rp. 125,-
Pajak yang harus dibayar Untuk 1 (satu) bulan takwim
: Tarif x HDA x Volume Pemakaian Air : (20% x Rp. 125,- x 1500 m3 : Rp. 37.500,-
b. Air Permukaan Peruntukan
: Industri Pertambangan Minyak dan Gas Bumi
Volume pemakaian
: 2000 m3
Harga Dasar Air
: Rp. 100,-
Pajak yang harus dibayar Untuk 1 (satu) bulan takwim
: Tarif x HDA x Volume Pemakaian Air : (10% x Rp. 100,- x 2000 m3 : Rp. 20.000,-
Besarnya pajak PPABT yang dikenakan kepada wajib pajak didasarkan atas banyaknya manfaat yang diterima oleh wajib pajak (benefit principle), dalam hak ini manfaat dari banyaknya air yang diambilnya. Semakin banyak air yang diambil maka pajak yang dikenakan semakin tinggi, karena pasti manfaat yang didapat semakin besar.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
59
Besarnya pajak yang dikenakan kepada wajib pajak juga didasarkan kepada kemampuan membayarnya (ability to pay), ini cukup adil secara horizontal, karena pada golongan yang sama harga dasar air ditetapkan sama, hanya saja semakin banyak air yang diambil, Harga Dasar Air (HDA) semnakin tinggi, ini sesuai dengan manfaat yang diterima si wajib pajak. HDA menentukan besarnya pajak yang harus dibayar. Untuk golongan rumah tangga biasa pemakaiannya sedikit, ini tidak dikenai pajak. Ini cukup adil karena sebagian besar rumah tangga berpenghasilan menengah dan rendah. Tapi pemungutan pajak ini kurang adil secara vertikal. Untuk golongan industri besar, kecil, niaga besar, niaga kecil, HDA yang ditetapkan sudah memenuhi kriteria adil, dimana golongan industry besar dikenakan HDA yang tertinggi. Tapi kriteria ini tidak dapat dipenuhi untuk golongan pemerintah pusat.
Kode Tarif
Tabel 1 Pemakaian air bawah tanah rata-rata perbulan Golongan Tarif Pemakaian ratarata (m3/per bulan) NON NIAGA
1a
Badan sosial/pemerintah pusat dan daerah
179.417
1b
Kedutaan/konsul/kantor perwakilan asing
12.656
1c
Institut/perguruan/kursus
84.768
1d
Lembaga swasta non komersil
21.978
1e
Rumah tangga mewah dengan sumur bor
20.008
2a
NIAGA KECIL
13.156
2b
Usaha kecil yang berada dalam rumah tangga
6.587
2c
Usaha kecil/losmen
11.015
2d
Rumah makan/restoran kecil
55.467
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
60
2e
RS swasta/poliklinik/lab/praktek dokter
339
2f
Kantor pengacara
11.085
2g
Hotel melati/non bintang
5.491
Perdagangan niaga kecil lainnya 3a 3b
INDUSTRI KECIL Industri kecil
6.545 0
Perikanan/peternakan 4a
NIAGA BESAR
43.096
4b
Hotel bintang 1,2,3
37.533
4c
Apartemen
1.976
4d
Steambath dan salon
47.858
4e
Bank
10.805
4f
Night club/café/rest. Besar
29.740
4g
Bengkel besar/service St.
586.981
4h
PT/BUMN/BUMD
129.484
4i
Perdagangan niaga besar lainnya
25.119
4j
Real estate
70.075
Hotel bintang 4,5 5a
INDUSTRI BESAR
682
5b
Pabrik es
78.220
5c
Pabrik makanan/minuman
55.287
5d
Pabrik kimia/obat-obatan/kosmetik
1.573
5e
Gudang pendingin
20.171
5f
Pabrik textile
18.824
5g
Pabrik baja
192.090
Industri besar lainnya
Pengambilan air bawah tanah rata-rata perbulan tertinggi adalah oleh golongan tarif 4.g. PT/BUMN/BUMD yaitu sebesar 587.223 m3 /bulan, diikuti oleh golongan
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
61
tarif 5.g Industri besar lainnya yaitu sebesar 192.090 m3 /bulan, lalu diikuti oleh golongan tarif 1.a. badan sosial, pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah sebesar 179.417 m3/bulan. Sedangkan salah satu yang dikecualikan dari objek pajak PPABT adalah pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah oleh badan sosial, pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah, ini tidak adil padahal golongan ini adalah pengambil air bawah tanah ketiga terbesar setiap bulannya, pemerintah pusat harusnya dikenai pajak seperti golongan lainnya. Jika golongan ini dikenai pajak, ini akan dapat meningkatkan penerimaan pajak ini, yang sekaligus juga dapat mengurangi pengambilan air bawah tanah. Karena golongan
ini
dikenai
pajak,
pastinya
akan
membatasi
atau
mengurangi
pemakaian/pengambilan air bawah tanah atau mengurangi debit air yang keluar untuk penghematan karena dapat mengurangi pengeluaran mereka.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA