BAB II KETENTUAN HUKUM TERHADAP TINDAKAN INSAN PERS DALAM MERAHASIAKAN IDENTITAS NARASUMBER SEBAGAI PELAKU KEJAHATAN A. Perkembangan Pers Di Indonesia 1. Sejarah Pers Disamping Indonesia sebagai negara hukum juga merupakan negara dengan
sistem
pemerintahan
demokrasi
yang
berkeadilan
sosial
dan
berperikemanusiaan. Kehidupan pers sebagai manifestasi kebebasan untuk memperoleh informasi bagi warga negara memperoleh tempat yang layak dalam sistem kemasyarakatan. Perkembangan pers di Indonesia pada umumnya tidak terlepas dari kerangka politik di tanah air.37 Maka perkembangan pers di Indonesia dapat dilihat dari masa perjuangan hingga era reformasi saat ini. 1. 1
Masa Perjuangan Pers di Indonesia mulai berkembang jauh dari sebelum negara Indonesia
diproklamasikan. Pada masa penjajahan Belanda pertengahan abad ke 18, orangorang Belanda mulai memperkenalkan penerbitan surat kabar di Indonesia meskipun penerbitnya terdiri dari orang-orang Belanda sendiri. Pers nasional pada waktu itu jelas membedakan dirinya dengan pers Belanda, dimana pers penjajah yang dipergunakan oleh Belanda saat itu adalah sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan.38 Sedangkan cikal bakal pers nasional yaitu sebagai satu media informasi dan komunikasi yang menjadi satu kesatuan dengan pergerakan nasional. Pers dipergunakan oleh pendiri bangsa sebagai alat 37 38
Samsul Wahidin, op.cit, hlm. 88 Ibid, hlm. 89
37 Universitas Sumatera Utara
perjuangan untuk memperoleh kemerdekaan. Surat kabar pertama di Indonesia adalah Bataviase Nouvelles (Agustus 1744 -Juni 1746), disusul kemudian Bataviasche Courant (1817), Bataviasche Advertentieblad (1827). Pada tahun 1855 di Surakarta terbit surat kabar pertama dalam bahasa Jawa, bernama Bromartani. Surat kabar berbahasa Melayu yang pertama adalah Soerat Kabar Bahasa Melajoe, terbit di Surabaya pada tahun 1956. kemudian lahir surat kabar Soerat Chabar Betawie (1958), Selompret Melajoe (Semarang, 1860), Bintang Timoer (Surabaya, 1862), Djoeroe Martani (Surakarta 1864), dan Biang Lala (Jakarta, 1867). Perkembangan pers di masa penjajahan sejak pertengahan abad ke 19 ternyata telah dapat menggugah cendekiawan Indonesia untuk menyerap budaya pers dan memanfaatkan media cetak sebagai sarana membangkitkan dan menggerakkan kesadaran bangsa.39 Dalam proses selanjutnya, terjadilah pembauran antara pengasuh pers dan masyarakat yang mulai terorganisasi dalam klub-klub studi, lembaga-lembaga sosial, badan-badan kebudayaan, bahkan gerakan-gerakan politik. Wartawan menjadi tokoh pergerakan, atau sebaliknya tokoh pergerakan menerbitkan pers. Sejak lahirnya Budi Utomo pada bulan Mei 1908, pers merupakan sarana komunikasi yang utama untuk menumbuhkan kesadaran nasional dan meluaskan kebangkitan bangsa Indonesia. Pada gilirannya proses tersebut mengukuhkan gerakan mencapai kemerdekaan. Lahirlah surat-surat kabar dan majalah seperti Benih Merdeka, Sora Ra’jat Merdika, Fikiran Ra’jat, Daulat Ra’jat, Soeara Oemoem, dan sebagainya, 39
Abdurachman Surjomihardjo, Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers Di Indonesia, Penerbit Buku Kompas, Jakarta , 2002, hlm. 25-33
38 Universitas Sumatera Utara
serta organisasi Persatoean Djoernalis Indonesia (1933) adalah tanda-tanda meningkatnya perjuangan kemerdekaan di lingkungan wartawan dan pers nasional sebagai bagian dari perjuangan nasional secara keseluruhan.40 1. 2
Masa Kemerdekaan Hal
ini
terus
berlangsung
sampai
dengan
diproklamasikannya
kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 yang menandai revolusi di berbagai sisi kehidupan masyarakat Indonesia. Termasuk dalam hal ini tentunya revolusi dalam bidang pers dalam arti pers menemukan kebebasannya setelah sekian lama dibelenggu dan dibatasi oleh pemerintah Belanda. Sampai dengan kemerdekaan Indonesia, ada 4 (empat) hal yang digarisbawahi sebagai fenomena umum kehidupan pers pada masa itu. Disadari bahwa semua institusi sosial memang mempunyai masa tersendiri pada jamannya. Yakni yang dapat dipelajari dari perkembangan tersebut adalah : a. Dari awal masa penjajahan Hindia Belanda Nampak bahwa peran pemerintah jajahan begitu dominan dalam bidang pers b. Pers dijadikan sebagai alat untuk kepentingan penguasa dengan tidak memberikan keleluasaan bergerak baik karena keterbatasan fasilitas maupun
keterbatasan
kemampuan
pengelola.
Pers
cenderung
berhadapan dengan penguasa. c. Tingkat intelektualitas masyarakat berpengaruh besar terhadap hidup dan berkembangnya penerbitan sehingga pada akhirnya hanya penerbitan yang sejalan dengan pemerintah saja yang memungkinkan
40
Ibid, hlm. 76-102
39 Universitas Sumatera Utara
bisa hidup. d. Pergesekan kepentingan yang tampat pada saat itu adalah antara kepentingan penguasa dan pengelola pers dan belum muncul ke permukaan adanya konflik akibat sajian pers yang merugikan masyarakat. Paling tidak hal ini menjadi indicator bahwa pada masa itu pers berpihak kepada masyarakat dan antikolaborasi kepada penjajah dan memilih untuk mengambil jalan berseberangan dengan penguasa. 41 1. 3
Masa Orde Baru Orde Baru bangkit sebagai puncak kemenangan atas rezim Demokrasi
Terpimpin yang pada hakikatnya telah dimulai sejak tahun 1964 tatkala kekuatan Pancasila, termasuk pers, mengadakan perlawanan terbuka terhadap ofensif golongan PKI. Kehancuran G30S/ PKI merupakan awal “pembenahan” kehidupan nasional, pembinaan di bidang pers dilakukan secara sistematis dan terarah. Pada masa ini produk perundangan pertama tentang pers adalah UndangUndang No. 11 Tahun 1966. Pengembangan pers nasional lebih lanjut diwujudkan dengan men-gundangkan Undang-Undang No. 21 Tahun 1982 sebagai penyempurnaan Undang-Undang No. 11 tahun 1966. Penciptaan lembaga Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) mencerminkan usaha nyata ke arah pelaksanaan kebebasan pers yang dikendalikan oleh pemerintah atau kebebasan pers yang bertanggung jawab pada pemerintah, suatu bentuk pengadopsian terhadap teori pers otoriter.42 Pada era Soeharto, pers dinyatakan sebagai salah satu media pendukung 41 42
Samsul Wahidin, op.cit, hlm. 92-93 Ibnu Hamad, Konstruksi Realitas Politik Dalam Media Massa, Granit, Jakarta, 2004,
hlm. 63
40 Universitas Sumatera Utara
keberhasilan pembangunan. Kepentingan pers nasional perlu mencerminkan kepentingan pembangunan nasional. Dari kenyataan ini terlihat bahwa pers Indonesia tidak mempunyai kebebasan karena pers harus mendukung program pemerintah Orde Baru . Pers sangat tidak diharapkan memuat pemberitaan yang dapat ditafsirkan bertentangan dengan program pemerintah Orde baru. Tanggung jawab pers bukan pada masyarakat melainkan pada penguasa Orde Baru. Tidak adanya kebebasan berpendapat dan kebebesan pers membuat media di Indonesia pada rezim Orde Baru tidak pernah berhasil mengangkat dirinya sebagai pilar keempat demokrasi. Satu hal lainnya adalah struktur organisasi media itu sendiri sebagai corong bagi kepentingan pemilik modal dan kelompok usahanya mau tidak mau membuat media harus tunduk kepada aturan main di dalam perusahaan yang kerap mencerminkan ketergantungan antara pemiliknya dan pemerintah. Pemerintah Orde Baru menganggap pers yang bebas akan dapat mengganggu stabilitas negara, keamanan dan kepentingan umum, sehingga laju kebebasannya harus dikontrol dengan ketat. Maka lahirlah perlakuan represif negara terhadap pers sepanjang sejarah Orde Baru. 1. 4
Era Reformasi Pada tahun 1998, lahir gerakan reformasi terhadap rezim Orde Baru.
Keberhasilan gerakan ini, melahirkan peraturan perundangan-perundangan sebagai pengganti peraturan perundangan yang menyimpang dari nilai-nilai Pancasila, Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 merupakan salah satu contoh. Sejak sistem politik Indonesia mengundangkan Undang-Undang No. 40 Tahun
41 Universitas Sumatera Utara
1999, secara normatif, pers filosofi adalah kebebasan pers yang professional (kebebasan pers yang bertanggung jawab pada masyarakat/kepentingan umum) sebagaimana
yang
disebut
dalam
konsideran.
Filosofi
yang
demikian
menggantikan sebelumnya yaitu pers yang bebas dan bertanggungjawab. 43 Berbeda dengan Undang-Undang No. 11 Tahun 1966 juncto UndangUndang No. 21 Tahun 1982 yang memberi kewenangan pada pemerintah untuk mengontrol sistem pers, sedangkan Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 memberi kewenangan kontrol kepada masyarakat. Penanda itu antara lain terletak pada Pasal 15 dan Pasal 17 Undang-Undang No.40 Tahun 1999.44 Kebebasan pers yang professional memahami kebebasan pers sebagai satu konsekuensi logis dari Hak Asasi Manusia yang tidak boleh dibatasi. Sementara pers yang bebas dan bertanggungjawab memandang kebebasan sebagai sesuatu yang harus diatur (dibatasi) dengan asumsi untuk kesatuan dan persatuan bangsa. Pada dalam hal Hak Asasi Manusia siapa pun termasuk negara tidak mempunyai kewenangan untuk membatasinya. 45 Jika dihubungkan dengan teori media normatif maka keadaan pers Indonesia dimasa era reformasi saat ini adalah gambaran dari a liberal-pluralis or marked model, dimana isu-isu yang diliput oleh pers semakin beragam.46 Banyak bermunculan penerbitan baru baik dalam bentuk tabloid, majalah, surat kabar. Dari politik, ekonomi sampai yang berbau pornografi. Kualitas penerbitannyapun
43
Samsul Wahidin, op.cit, hlm. 98 Ibnu Hamad, op.cit hlm. 66 45 Samsul Wahidin, op.cit, hlm. 98-99 46 Inge Hutagalung dalam JURNAL INTERAKSI, Vol II No.2, Dinamika Sistem Pers Di Indonesia, diakses: http://ejournal.undip.ac.id/index.php/interaksi/article/download6588/5421 tanggal 02 Maret 2016, hlm: 57 44
42 Universitas Sumatera Utara
beragam. Peningkatan kuantitas media belum disertai dengan perbaikan kualitas jurnalismenya. Banyak media yang hanya menjual gosip alias desas desus dengan warna pemberitaan yang kental keberpihakan atau penyudutan kepada suatu golongan/partai tertentu maupun individu. Pemberitaan sering dilakukan tanpa didukung fakta yang kuat, selain hanya potongan-potongan komentar yang tidak seimbang dari hasil wawancara yang kurang mendalam. Tampaknya media di Indonesia masih terbius dengan eforia kebebasannya, dan lebih memilih kepentingan komersial yang cenderung mengutamakan keuntungan, dimana aspek kriminalitas, gosip, dan seks lebih mengandung nilai pasar dibandingkan menjalankan tanggung jawab sosial dalam penyampaian informasi dan pencerahan publik sebagai konsekuensi hubungan media dengan masyarakat.47 Yin Jiafei pun mengulas dalam artikelnya Beyond The Four Theories Of The Press: A New Model For The Asian & The World Press (2008), bahwa sistem pers di Indonesia pada era reformasi termasuk sistem pers bebas dan tidak bertanggungjawab, yaitu bahwa sistem pers di Indonesia benar-benar telah begitu bebas, sehingga gagal untuk mengedepankan prinsip-prinsip dasar jurnalistik, dan tidak punya peran positif dalam masyarakat. Banyak media yang melanggar prinsip-prinsip dasar jurnalistik, yaitu dalam menyampaikan kebenaran.48 Sistem pers di dikte oleh kekuatan pasar, isinya cenderung sensasional, kurang penghargaan pada etika, banyak kekerasan, pornografi, berita bohong dan 47 48
Ibid., Loc.cit
43 Universitas Sumatera Utara
provokatf, wartawan amplop bahkan iklan yang menyesatkan. Pers kerap dipakai sebagai kepentingan politik pribadi ataupun kelompok tertentu. Hal ini sebagai dampak pemusatan kepemilikan media pada segelintir orang. 2.
Kebebasan Pers di Indonesia Di negara demokrasi, pers mempunyai pengaruh cukup signifikan di
tengah masyarakat. Informasi yang disampaikannya dapat mempengaruhi individu atau kelompok, secara langsung ataupun tidak langsung. Selain sebagai media untuk memberi informasi bagi publik dan menjadi wahana pendidikan bagi masyarakat, pers juga berfungsi melakukan kontrol sosial. Tidak hanya terhadap perilaku aparat negara, tapi juga masyarakat. Peran besar ini memang membutuhkan ruang kebebasan yang memadai sehingga pers bisa menjalankan fungsinya secara maksimal tentu saja selain kode etik yang membuatnya harus tetap profesional. Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers menyebutkan: "Kemerdekaan pers adalah suatu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum". Ini artinya, kemerdekaan pers dijalankan di dalam bingkai moral, etika dan hukum, sehingga kemerdekaan pers adalah kemerdekaan yang disertai dengan kesadaran akan pentingnya penegakan supremasi hukum yang dilaksanakan oleh pengadilan, dan tanggung jawab profesi yang dijabarkan dan Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI), sesuai dengan hati nurani insan pers. Istilah "Kebebasan Pers" sebenarnya dikonsepkan melalui suatu konklusi dari ketentuan Pasal 4 Ayat (2) dan (3) UU No 40/1999 beserta penjelasannya,
44 Universitas Sumatera Utara
yang pada intinya menyatakan pers bebas dari tindakan pencegahan, pelarangan dan atau penekanan dalam upaya mencari, memperoleh dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. Dengan demikian, makna kemerdekaan pers lebih luas dari makna kebebasan pers yang dipersepsikan oleh insan pers.49 Mengenai kebebasan pun dijamin dalam konstitusi di Indonesia yang terdapat pada Pasal 28 Undang-undang Dasar 1945 yang berbunyi, Pasal 28 Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan linsan dan tulinsan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang. Jaminan terhadap kemerdekaan tersebut juga terdapat dalam setiap naskah hak-hak asasi manusia yang dikeluarkan setelah Perang Dunia II, misalnya Deklarasi Umum PBB tentang Hak-Hak Asasi manusia tahun 1948 dalam Pasal 19 menyatakan: Pasal 19 Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk meliputi kebebasan mempunyai pendapat-pendapat dengan tidak mendapat gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapatpendapat dengan cara apapun juga dan dengan tidak memandang batasbatas.50 Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik: Pasal 19 1. Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat dengan tidak mendapatkan gangguan; 2. Setiap orang berhak untuk menyatakan pendapat atau mengungkapkan 49
Pasal 4 UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, dalam Samsul Wahidin, Hukum Pers, Pustaka Pelajar, 2005, hlm.233 50 Peter Baerhr, Pieter Van Dijk et.al (ed). Instrumen Internasional Pokok Hak-Hak Asasi Manusia, Yayasan Obor, Jakarta, 1997, hlm. 231
45 Universitas Sumatera Utara
diri, dalam hal ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan memberi informasi/keterangan dan segala macam gagasan tanpa memperhatikan pembatas-pembatasan, baik secara linsan maupun tulinsan atau tercetak, dalam bentuk seni, atau sarana lain menurut pilihannya sendiri; 3. Pelaksanaan hak-hak yang diberikan dengan ayat 2 pasal ini membawa berbagai kewajiban dan tanggungjawabnya sendiri. Maka dari itu dapat dikenakan pembatasan-pembatasan tertentu, tetapi hal demikian hanya boleh ditetapkan dengan undang-undang dan sepanjang keperluan untuk: a. Menghormati hak-hak dan nama baik orang lain; b. Menjaga keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan atau kesusilaan umum.51 Pasal 10 Konvensi Eropa tentang Hak-Hak Asasi Manusia tahun 1950 yang menyatakan: Pasal 10 (1) Setiap orang berhak atas kebebasan untuk mengutarakan pendapat. Hak ini harus mencakup kebebasan berpendapat dan kebebasan untuk menerima dan memberikan keterangan tanpa campur tangan suatu instansi (badan) umum dan tanpa mengindahkan perbatasanperbatasan. Pasal ini tidak akan menghalangi suatu negara untuk memberikan syarat ijin usaha untuk penyiaran, televisi dan bioskop. (2) Pelaksanaan segala kebebasan ini, karena membawa berbagai kewajiban dan tanggungjawab masing-masing, harus mengikuti formalitas, persyaratan atau pidana, yang diatur dengan undangundang dan diperlukan dalam suatu masyarakat demokrasi demi kepentingan keamanan, integritas/kedaulatan wilayah atau keselamatan umum; untuk mencegah kekacauan atau kejahatan, menjaga kesehatan atau kesusilaan umum, melindungi nama baik atau hak orang lain, menghalangi pengungkapan keterangan yang telah diterima sebagai rahasia, atau guna mempertahankan kekuasaan dan kenetralan peradilan.52 Konstitusi dan ketentuan-ketentuan internasional tersebut mengisyaratkan bahwa kebebasan itu bernilai universal. Kebebasan itu ada tidak hanya sepanjang hasil pikiran dan perasaan itu ada di dalam pikiran atau perasaan seseorang (atau
51 52
Ibid., hlm. 303 Ibid, hlm. 481
46 Universitas Sumatera Utara
paling jauh dituangkan untuk disimpan dalam bentuk tulinsan atau kalau itu berupa suara dilakukan perekaman), tetapi juga saat pendapat tersebut disiarkan atau disebarluaskan. Walaupun pendapat itu sangat membahayakan atau berupa perasaan yang sangat jahat sekalipun, kemerdekaan itu masih harus ada pada diri orang yang akan menyiarkan atau menyebarluaskannya. Karena itu, tidak ada tindakan yang sifatnya preventif yaitu mengekang atau menjadikan orang tidak bebas untuk menyiarkan atau menyebarluaskan pendapatnya. Selain bernilai universal yang maknanya setiap orang mempunyai hak tersebut, pengertian universal juga berarti bahwa hak itu harus dilindungi dengan adanya jaminan oleh undang-undang. Semangat kebebasan pers juga terlihat dalam ketentuan Undang-Undang Pers ini mengenai wartawan, perusahaan pers, Dewan Pers, pers asing, dan peranan serta masyarakat dalam kehidupan pers. Mengenai wartawan Pasal 7 ayat (1) menyatakan bahwa wartawan bebas memilih organisasi wartawan. Karena organisasi wartawan di era reformasi banyak bermunculan, organisasi wartawan yang diakui tidak lagi bersifat tunggal, yaitu Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), seperti di masa Orde Baru. Mengenai perusahaan pers Pasal 9 ayat (1) undang-undang ini menyatakan bahwa setiap warga negara Indonesia dan negara berhak mendirikan perusahaan pers. Dalam penjelasannya dikatakan bahwa setiap warga Negara Indonesia berhak atas kesempatan yang sama untuk bekerja sesuai dengan hak asasi manusia, termasuk mendirikan perusahaan pers sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
47 Universitas Sumatera Utara
Ditambahkan bahwa pers nasional mempunyai fungsi dan peranan yang penting dan strategis dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Karena itu, negara dapat mendirikan perusahaan pers dengan membentuk lembaga atau badan usaha untuk menyelenggarakan usaha pers. Tentang Dewan Pers Pasal 15 undang-undang ini menyatakan: (1) Dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional, dibentuk Dewan Pers yang independent. (2) Dewan Pers melaksanakan fungsi-fungsi sebagai berikut : a. Melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain. b. Melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers. c. Menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik. d. Memberikan
pertimbangan
dan
mengupayakan
penyelesaian
pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers. e. Mengembangkan
komunikasi
antara
pers,
masyarakat
dan
pemerintah. f. Menfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturanperaturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan. g. Mendata perusahaan pers. (3) Anggota Dewan Pers terdiri dari : a. Wartawan yang dipilih oleh organisasi wartawan. b. Pimpinan perusahaan pers yang dipilih oleh organisasi perusahaan
48 Universitas Sumatera Utara
pers. c. Tokoh masyarakat, ahli di bidang pers dan atau komunkasi, dan bidang-bidang lainnya yang dipilih oleh organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers. d. Ketua dan Wakil Ketua Dewan Pers dipilih dari dan oleh anggota. (4) Keanggotaan Dewan Pers sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) pasal ini ditetapkan dengan keputusan presiden. Keanggotaan Dewan Pers berlaku untuk masa tiga tahun dan sesudah itu hanya dipilih kembali untuk satu periode berikutnya. (5) Sumber pembiayaan Dewan Pers berasal dari : a. Organisasi pers. b. Perusahaan pers. c. Bantuan dari negara dan bantuan lain yang tidak mengikat. Dalam penjelasan Pasal 15 ayat (1) di atas dikatakan bahwa tujuan dibentuknya Dewan Pers adalah untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kualitas serta kuantitas pers nasional. Selanjutnya mengenai peran serta masyarakat Pasal 17 Undang-Undang ini menyatakan: 1. Masyarakat
dapat
melakukan
kegiatan
untuk
mengembangkan
kemerdekaan pers dan menjamin hak memperoleh informasi yang diperlukan. 2. Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa : a. Memantau dan melaporkan analisis mengenai pelanggaran hukum,
49 Universitas Sumatera Utara
etika dan kekeliruan teknis pemberitaan yang dilakukan pers. b. Menyampaikan usulan dan saran kepada Dewan Pers dalam rangka menjaga dan meningkatkan kualitas pers nasional. Tetapi dengan kebebasan pers tidak berarti bahwa pers itu boleh berkembang tanpa kendali, karena undang-undang ini juga mengatur fungsi, kewajiban, peranan dan ketentuan lainnya yang harus ditaati oleh pers. 3.
Fungsi dan Peranan Pers Dalam menjalankan profesinya sebagai pers, wartawan atau jurnalis
memiliki aturan yang menjadi pegangan dalam setiap langkahnya yaitu UU No 40 Tahun 1999 Tentang Pers yang berfokus pada Bab II pasal 3, 5 dan 6 UU No 40 tahun 1999 yang berisi mengenai kewajiban dan peranan Pers yang dijabarkan dalam 8 ayat secara keseluruhan. Mengenai fungsi pers terdapat dalam Pasal 3 dalam Undang-Undang Republik Indonesia No 40 Tahun 1999 tentang Pers yang menyatakan: (1) Pers
nasional
mempunyai
fungsi
sebagai
media
informasi,
pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial. (2) Di samping fungsi-fungsi tersebut ayat (1), pers nasional dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi. Pers mempunyai 5 (lima) fungsi dalam menjalankan tugas jurnalistiknya yaitu 53: a. Pers sebagai Informasi (to Inform) Fungsi pertama dari lima fungsi utama pers ialah menyampaikan informasi secepat-cepatnya kepada masyarakat yang seluas-luasnya.
53
Effendy, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, hlm. 17.
50 Universitas Sumatera Utara
Setiap informasi yang disampaikan harus memenuhi kriteria dasar yaitu aktual, akurat, faktual, menarik atau penting, benar, lengkap, utuh, jelas dan jernih, jujur adil, berimbang, relevan, bermanfaat dan etis. b. Pers sebagai Edukasi (to Educate) Setiap informasi yang disebarluaskan pers hendaklah dalam kerangka mendidik (to educate). Pers sebagai lembaga ekonomi memang dituntut berorientasi komersil untuk memperoleh keuntungan finansial namun orientasi dan misi komersil itu, sama sekali tidak boleh mengurangi, apalagi meniadakan fungsi dan tanggung jawab sosial. c. Pers sebagai Koreksi ( to Influence) Pers adalah pilar demokrasi keempat setelah legislatif, eksekutif, dan yudikatif, dalam kerangka ini kehadiran pers dimaksudkan untuk mengawasi atau mengontrol kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif agar kekuasaan mereka tidak menjadi korup dan absolut. d. Pers sebagai Rekreasi (to Entertain) Fungsi keempat pers adalah menghibur. Pers harus mampu menempatkan dirinya sebagai wahana rekreasi yang menghibur bagi semua lapinsan masyarakat. Pesan rekreatif yang disajikan mulai dari cerita pendek sampai kepada teka-teki silang dan anekdot, tidak boleh bersifat negatif apalagi destruktif. e. Pers sebagai Mediasi (to Mediate) Mediasi artinya penghubung atau sebagai fasilitator atau mediator. Pers harus mampu menghubungkan tempat yang satu dengan tempat yang
51 Universitas Sumatera Utara
lain, peristiwa yang satu dengan peristiwa yang lain, orang yang satu dengan peristiwa yang lain, atau orang yang satu dengan orang yang lain pada saat yang sama. Sedangkan, Kusman Hidayat dalam tulinsannya berjudul “Dasar-Dasar Jurnalistik/Pers” menyatakan bahwa Pers mempunyai 4 (empat) fungsi sebagai berikut54: a. Fungsi pendidik, yaitu melalui karya-karya tercetaknya dengan segala isi, baik langsung ataupun tidak langsung dengan sifat keterbukaannya, membantu masyarakat meningkatkan budayanya. Segala peristiwa yang dimuat pers, masyarakat bisa menilai sendiri hal ikhwal sebagai teladan bagi
kehidupannya.
Melalui
rubrik-rubrik
khusus,
seperti
ruang
kebudayaan atau ruang ilmu pengetahuan, pers dapat menambah pengetahuan masyarakat. b. Fungsi penghubung, dengan ciri universalitasnya, pers merupakan sarana lalu-lintas hubungan antar manusia. Melalui pers akan tumbuh saling pengertian, atau dapat digunakan oleh lembaga-lembaga kemasyarakatan untuk menumbuhkan kontak antar manusia agar tercipta saling pengertian dan saling tukar pandangan bagi perkembangan dan kemajuan hidup manusia. c. Fungsi pembentuk pendapat umum, rublik-rublik dan kolom-kolom tertentu seperti tajuk rencana, pikiran pembaca, pojok, dan lain-lain merupakan suatu ruang untuk memberikan pandangan atau pikiran kepada 54
http://www.artikelsiana.com/2015/03/fungsi-pers-peranan-pers-fungsi-pers.html, diakses 12 Maret 2016
52 Universitas Sumatera Utara
khalayak pembaca. d. Fungsi kontrol, dengan fungsi ini pers berusaha melakukan bimbingan dan pengawasan kepada masyarakat tentang tingkah laku yang benar atau tingkah laku yang tidak dikehendaki oleh khalayak. Kewajiban pers yang tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia No 40 Tahun 1999 tentang Pers Pasal 5. (1) Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah. (2) Pers wajib melayani Hak Jawab. (3) Pers wajib melayani Hak Tolak. Pers dalam menjalankan kegiatan jurnalistiknya memiliki 3 (tiga) hak seperti yang tercantum dalam Pasal 1 angka 10-12 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers, yaitu: a. Hak Tolak Hak wartawan karena profesinya, untuk menolak mengungkapkan nama dan atau identitas lainnya dari sumber berita yang harus dirahasiakannya. b. Hak jawab Hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya. c. Hak Koreksi Hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan
53 Universitas Sumatera Utara
informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain. Tujuan dari hak tolak tercantum dalam Penjelasan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers yang menerangkan tiga hal yaitu : a. Tujuan Utama Hak Tolak Tujuan utama hak tolak adalah agar wartawan dapat melindungi sumber informasi, dengan cara menolak menyebutkan identitas sumber informasi. Hak tersebut dapat digunakan jika wartawan dimintai keterangan oleh pejabat penyidik dan atau diminta menjadi saksi di pengadilan. b. Kegunaan Hak Tolak Hak tolak dapat digunakan jika wartawan dimintai keterangan oleh pejabat penyidik dan atau diminta menjadi saksi di pengadilan. c. Pembatalan Hak Tolak Hak Tolak dapat dibatalkan demi kepentingan dan keselamatan negara atau ketertiban umum yang dinyatakan oleh pengadilan. Sedangkan Peranan Pers dalam UU Republik Indonesia No 40 Tahun 1999 tentang Pers Pasal 6: Pers Nasional melaksanakan peranan sebagai berikut : (1) Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui. Penjelasan : Masyarakat sebagai konsumen media memiliki hak untuk mengetahui segala informasi. Baik informasi tentang peristiwa, gagasan,
54 Universitas Sumatera Utara
maupun pikiran orang.55 (2) Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi
hukum, dan Hak Asasi
Manusia, serta menghormat
kebhinekaan. Penjelasan : Pers memiliki peran untuk ikut menegakkan 7 nilai-nilai dasar demokrasi, yaitu56 : 1. Keterlibatan warga negara dalam pengambilan keputusan politik; 2. Perlakuan dan kedudukan yang sama; 3. Kebebasan dan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia; 4. Sistem Perwakilan; 5. Pemerintahan berdasarkan hukum; 6. Sistem pemilihan yang menjamin pemerintahan oleh mayoritas; 7. Pendidikan rakyat yang memadai. (3) Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar; Penjelasan : Pers harus memberikan informasi yang benar terhadap masyarakat yang mengaksesnya. Kebenaran ini tentunya berlandaskan kepada asas cover both side (keseimbangan pemberitaan), khususnya dengan bersikap netral dan tidak bergantung kepada golongan tertentu.57 (4) Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang 55
Ryan Sugiarto, Mengenal Pers Indonesia, Pustaka Insan Madani, Yogyakarta, 2008,
hlm. 18 56
A.T.Sugeng Priyanto, Pendidikan Kewarganegaraan kelas VII Edisi 4, PT. Gramedia, Jakarta, 2008, hlm. 41 57
Ryan Sugiarto, op.cit, hlm. 21
55 Universitas Sumatera Utara
berkaitan dengan kepentingan umum. Penjelasan : Dalam konteks ini, pers melakukan kritik dan penilaian terhadap peristiwa yang terjadi di masyarakat dan penguasa. Pengawasan ini tidak saja kepada pihak-pihak seperti penguasa, pemerintah, parlemen, pengadilan atau militer, tetapi juga terhadap berbagai hal di dalam masyarakat yang berkaitan dengan kepentingan umum.58 (5) Memperjuangkan keadilan dan kebenaran. Penjelasan : Pers memiliki peranan untuk memperjuangkan keadilan dan kebenaran melalui pemberitaan, bagi kepentingan masyarakat umum. Memperjuangkan keadilan dan kebenaran ini bisa dilakukan melalui berbagai cara. Tentunya
dalam
hal
ini,
pers
tidak
boleh
mendapatkan intervensi dari pihak manapun, agar pemberitaannya berimbang dan sesuai dengan kebenaran yang sesungguhnya. Pers memainkan berbagai perananan dalam masyarakat. Bernard C. Cohen dalam Advanced Newsgathering karangan Bryce T. Mclntyre menyebutkan bahwa beberapa peran umum yang dijalankan pers diantaranya sebagai pelapor (informer). Disini pers bertindak sebagai mata dan telinga publik, melaporkan peristiwa-peristiwa yang di luar pengetahuan masyarakat dengan netral dan tanpa prasangka.59 Tugas pelapor ini juga diwujudkan ketika pers kadangkala berperan sebagai alat pemerintah (an instrument), misalnya ketika ada siaran langsung pidato atau komentar seorang presiden di televisi. Tentu saja dalam peran tersebut 58 59
Ibid Luwi Ishwara, op.cit, hlm. 18
56 Universitas Sumatera Utara
pers harus tetap netral. Memang, dalam perkembangan sejarah, media kerap dijadikan saluran untuk penyebaran pernyataan-pernyataan pemerintah yang sering dieksploitasi oleh tokoh-tokoh politik yang berkuasa. Pers juga berperan sebagai pengkritik terhadap pemerintah. Konsep tersebut disebut dengan peran jaga-watchdog.60
B.
Ketentuan KUHP Terhadap Tindakan Insan Pers Dalam Merahasiakan Identitas Narasumber Sebagai Pelaku Kejahatan Undang-Undang No 40 Tahun 1999 (untuk selanjutnya disebut sebagai
UU Pers) yang menjadi pedoman bagi insan pers dalam melaksanakan tugas, pada kenyataannya belum dapat memberikan suatu kepastian hukum bagi insan pers sendiri serta bagi masyarakat di sekitar insan pers. Kurangnya kepastian hukum dari UU Pers tersebut disebabkan karena dalam praktiknya di persidangan, pertimbangan yang diambil terhadap suatu putusan sebagian besar didasarkan pada KUHP bukan pada UU Pers. Seperti salah satu diantaranya yang masih jelas diingatan adalah mengenai perkara tindak pidana pencemaran nama baik Tommy Winata oleh Bambang Harymurti cs (Tempo) tanggal 16 September 2004 (Putusan Perkara No. 1426/Pid.B/2003/PN.Jkt.Pst) dimana jaksa penuntut umum mengajukan dakwaan dengan ketentuan KUHP dan tidak melihat perkara tersebut dari sisi pers dengan menggunakan Undang-Undang Pers.61 Merujuk pada putusan Mahkamah Agung Nomor 1608K/PID/2005 tanggal 9 Februari 2006 telah ditegaskan bahwa UU Pers sebagai lex specialis. Para praktisi hukum termasuk hakim, penyidik, dan polisi cenderung 60
Ibid., http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol12350/eksaminasi-putusan-pidanaitempoipertimbangan-hakim-tidak-mendalam-, diakses 12 April 2016 pukul 12.15 61
57 Universitas Sumatera Utara
mengganggap bahwa UU Pers terlalu luas sehingga menimbulkan celah yang dapat digunakan oleh insan pers untuk melakukan hal-hal yang sebenarnya bertentangan dengan KUHP sebagai lex generalis. Adagium lex specialis derogat legi generalis yang diatur dalam Pasal 63 ayat (2) KUHP menyatakan bahwa: “Jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan “. UU Pers merupakan lex specialis terhadap KUHP, namun karena tindakan merahasiakan identitas narasumber, dimana identitas narasumber yang merupakan pelaku kejahatan tidak diatur dalam UU Pers dan insan pers tidak termasuk sebagai pengecualian orang dalam Pasal 166 KUHP, maka KUHP tetap dapat dijadikan acuan sehingga insan pers tetap dapat dikategorikan melanggar Pasal 165 KUHP. Melindungi pelaku kejahatan adalah suatu perbuatan yang bertentangan atau melanggar Pasal 165 KUHP, di mana pasal 165 KUHP menyatakan bahwa: “(1) Barang siapa mengetahui ada niat untuk melakukan salah satu kejahatan berdasarkan pasal-pasal 104, 106, 107, dan 108, 110-113, dan 115-129 dan 131 atau niat untuk lari dari tentara dalam masa perang, untuk desersi, untuk membunuh dengan rencana, untuk menculik atau memperkosa atau mengetahui adanya niat untuk melakukan kejahatan tersebut dalam bab 8 dalam kitab undang- undang ini, sepanjang kejahatan itu membahayakan nyawa orang atau untuk melakukan salah satu kejahatan berdasarkan pasal-pasal 224 228, 250 atau salah satu kejahatan berdasarkan pasal-pasal 264 dan 275 sepanjang mengenai surat kredit yang diperuntukkan bagi peredaran, sedang masih ada waktu untuk mencegah kejahatan itu, dan dengan sengaja tidak segera memberitahukan hal itu kepada pejabat kehakiman atau kepolisian atau kepada orang yang terancam oleh kejahatan itu, dipidana jika kejahatan itu jadi dilakukan, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. (2) Pidana tersebut diterapkan terhadap orang yang mengetahui bahwa sesuatu kejahatan berdasarkan ayat (1) telah dilakukan, dan telah membahayakan nyawa orang pada saat akibat masih dapat dicegah, 58 Universitas Sumatera Utara
dengan sengaja tidak memheritahukannya kepada pihak- pihak tersebut dalam ayat (1)”. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 165 KUHP, maka bagi setiap warga negara Indonesia yang mengetahui adanya suatu niat kejahatan ataupun mengetahui suatu kejahatan yang telah dilakukan di mana kejahatan tersebut membahayakan nyawa orang mempunyai kewajiban untuk melaporkannya kepada pejabat kehakiman atau kepolisian atau kepada yang terancam. Pengecualian terhadap Pasal 165 KUHP tersebut hanya berlaku bagi orang yang dengan memberitahukan kejahatan mungkin mendatangkan bahaya penuntutan pidana bagi diri sendiri, bagi seorang keluarganya sedarah atau semenda dalam garis lurus atau garis menyimpang derajat kedua atau ketiga, bagi suami/isterinya atau bekas suami/isterinya, atau bagi orang lain yang jika dituntut, berhubung dengan jabatan atau pencariannya. Dimungkinkan pembebasan menjadi saksi terhadap orang tersebut sebagaimana tercantum dalam Pasal 166 KUHP, yaitu : “Ketentuan dalam pasal 164 dan 165 tidak berlaku bagi orang yang dengan memberitahukan itu mungkin mendatangkan bahaya penuntutan pidana bagi diri sendiri, bagi seorang keluarganya sedarah atau semenda dalam garis lurus atau garis menyimpang derajat kedua atau ketiga, bagi suami atau bekas suaminya, atau bagi orang lain yang jika dituntut, berhubung dengan jabatan atau pencariannya, dimungkinkan pembebasan menjadi saksi terhadap orang tersebut”. Berdasarkan ketentuan dalam
Pasal 166 KUHP tersebut,
yang
diperbolehkan menyembunyikan identitas pelaku kejahatan hanyalah bagi orang yang dengan memberitahukan kejahatan mungkin mendatangkan bahaya penuntutan pidana bagi diri sendiri, bagi seorang keluarganya sedarah atau semenda dalam garis lurus atau garis menyimpang derajat kedua atau ketiga, bagi 59 Universitas Sumatera Utara
suami/isterinya atau bekas suami atau isterinya, atau bagi orang lain yang jika dituntut, berhubung dengan jabatan atau pencariannya. Insan pers tidak termasuk sebagai orang yang dimaksud dalam Pasal 166 KUHP. Berdasarkan Pasal 165 KUHP, kasus-kasus kejahatan yang telah di investigasi oleh insan pers termasuk dalam kejahatan yang terdapat pada Bab VII KUHP yaitu tentang Kejahatan yang Membahayakan Keamanan Umum Bagi Orang atau Barang. Kejahatan-kejahatan mengenai liputan investigasi tersebut semisal pada tayangan televisi seperti pembuatan makanan yang dicampur dengan bahan berbahaya, pembuatan kosmetik palsu, pembuatan daging glonggongan dan sebagainya. Dimana kejahatan-kejahatan tersebut telah memenuhi unsur Pasal 204 KUHP, yang berbunyi: “(1) Barangsiapa menjual, menawarkan, menyerahkan, atau membagibagikan barang, yang diketahui bahwa membahayakan nyawa atau kesehatan orang, padahal sifat berbahaya itu tidak diberitahukan, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun. (2) Jika perbuatan mengakibatkan matinya orang, yang bersalah dikenakan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun”. Merupakan suatu kewajiban bagi insan pers untuk memberitahukan kejahatan yang diketahuinya kepada pejabat kehakiman atau kepolisian juga tersirat di dalam Pasal 6 huruf e UU Pers yang menyatakan bahwa : “Pers melaksanakan kebenaran.”
peranan
memperjuangkan
keadilan
dan
Peranan pers tersebut diharapkan dapat mewujudkan supremasi hukum untuk menuju masyarakat yang tertib sebagaimana dinyatakan dalam Penjelasan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers yaitu pers nasional mempunyai peranan penting dalam memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui 60 Universitas Sumatera Utara
dan mengembangkan pendapat umum, dengan menyampaikan informasi yang tepat, akurat dan benar. Hal ini akan mendorong ditegakkannya keadilan dan kebenaran, serta diwujudkannya supremasi hukum untuk menuju masyarakat yang tertib. Mendiamkan atau tidak melaporkan kejahatan yang diketahuinya kepada pejabat kehakiman atau kepolisian, insan pers berarti tidak melaksanakan peranannya untuk memperjuangkan kebenaran dan keadilan dan tujuan pers dalam mewujudkan supremasi hukum dan mewujudkan masyarakat yang tertib tidak akan dapat tercapai. Perbuatan insan pers memenuhi doktrin rumusan tindak pidana menurut Simons, yang mana perbuatan insan pers tersebut adalah perbuatan yang diancam dengan pidana sebagaimana terdapat dalam Pasal 165 KUHP. Bersifat melawan hukum karena dilakukan dengan sengaja dalam arti mengetahui suatu kejahatan tetapi tidak memberitahukannya kepada pejabat kehakiman atau kepolisian. Insan pers adalah orang yang mampu bertanggung jawab karena insan pers tidak termasuk dalam Pasal 44 KUHP yaitu: “Barang siapa melakukan dipertanggungkan kepadanya pertumbuhan atau terganggu”.
perbuatan yang karena jiwanya
tidak cacat
dapat dalam
Perbuatan insan pers dalam menyembunyikan identitas pelaku kejahatan memenuhi sifat tindak pidana yang berupa membahayakan suatu kepentingan hukum concrete gevaarzettingsdelicten, dalam hal ini kejahatan membahayakan keamanan umum bagi orang Pasal 204 KUHP, dengan kata lain, insan pers telah menyembunyikan pelaku kejahatan yang melanggar Pasal 204 KUHP dan perbuatan insan pers yang seperti ini dapat membahayakan keamanan umum bagi
61 Universitas Sumatera Utara
orang. Perbuatan insan pers tersebut dapat dikatakan sebagai perbuatan pidana apabila telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana. Menurut Van Baumen seperti yang dikutip dalam Sudarto, unsur-unsur tindak pidana meliputi62: 1. Perbuatan tersebut dilakukan oleh manusia; 2. Bersifat melawan hukum; 3. Dilakukan dengan kesalahan Perbuatan insan pers tersebut juga telah memenuhi tiga syarat suatu perbuatan dapat dipidana: 1. Perbuatan tersebut adalah perbuatan manusia, dalam hal ini adalah perbuatan insan pers di mana perbuatan tersebut sudah dilakukan yang terwujud dalam acara televisi serta pelakunya (insan pers) dapat dipertanggungjawabkan, artinya orang atau pelaku tindak pidana secara mental dan fisik dapat mempertanggungjawabkan (Pasal 44 KUHP). 2. Bersifat melawan hukum, perbuatan insan pers tersebut bersifat melawan hukum materil karena telah memenuhi unsur-unsur dalam Pasal 165 KUHP sehingga perbuatan tersebut menjadi dapat dipidana. 3. Perbuatan tersebut dapat dicela, perbuatan insan pers tersebut bersifat melawan hukum dan dapat dicela yang merupakan syarat umum untuk dapat dipidananya suatu perbuatan. Tiga unsur dari tindak pidana yang dipenuhi dalam perbuatan insan pers tersebut adalah perbuatan yang dilarang, akibat dari perbuatan itu yang menjadi dasar alasan mengapa perbuatan itu dilarang, dan sifat melanggar hukum dalam
62
Sudarto, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto, Semarang, 1990, hlm.50
62 Universitas Sumatera Utara
rangkaian sebab musabab itu. Perbuatan yang dilarang adalah perbuatan menyembunyikan identitas pelaku kejahatan tanpa kemudian memberitahukannya kepada pejabat kehakiman atau kepolisian sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 165 KUHP. Sifat melanggar hukum dari perbuatan insan pers tersebut adalah mengetahui suatu kejahatan yang telah dilakukan, pada saat kejahatan masih dapat dicegah dengan sengaja tidak memberitahukannya kepada pejabat kehakiman atau kepolisian. Perbuatan insan pers juga memenuhi perumusan Pasal 165 KUHP: 1. Pertama, adalah unsur barangsiapa yaitu insan pers. 2. Kedua, unsur mengetahui niat untuk melakukan kejahatan tersebut dalam Bab VII Kitab Undang-undang ini, yaitu mengetahui kejahatan yang tercantum dalam Pasal 204 KUHP (Bab VII Buku II). 3. Ketiga, sepanjang kejahatan itu membahayakan nyawa orang, yaitu kejahatan-kejahatan seperti membuat dan menjual semangka formalin adalah kejahatan yang membahayakan nyawa atau kesehatan orang. 4. Keempat, pada saat kejahatan masih dapat dicegah dengan sengaja tidak memberitahukan kepada pejabat kehakiman atau kepolisian, yaitu insan pers mengetahui adanya kejahatan Pasal 204 KUHP telah dilakukan, tetapi dengan segaja tidak melaporkannya. Jika Pasal 165 KUHP dihadapkan dengan tindakan pers yang merahasiakan identitas narasumber, maka yang dapat dijadikan pegangan adalah jika penggunaan dalam merahasiakan identitas terhadap narasumber yang adalah saksi, korban kejahatan susila, serta anak di bawah umur yang menjadi pelaku
63 Universitas Sumatera Utara
kejahatan (Pasal 5 dan Pasal 7 Kode Etik Jurnalistik). Maka tindakan insan pers yang merahasiakan identitas narasumber terhadap narasumber-narasumber tersebut tidak bertentangan dengan Pasal 165 KUHP.
C.
Tindakan Insan Pers Dalam Merahasiakan Identitas Narasumber Sebagai Pelaku Kejahatan Ditinjau Dari UU No. 40 Tahun 1999 UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik menjadi pedoman bagi insan pers
dalam melaksanakan tugas menyebarkan informasi ataupun berita. Kinerja pers telah memperoleh legitimasi pengaturannya yaitu dalam UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers. UU Pers ini boleh dikualifikasikan sebagai pemberi perlindungan hukum terhadap kinerja pers, perlindungan terhadap kemerdekaan pers, dan perlindungan terhadap masyarakat akibat arogansi pers. Tetapi pada kenyataannya UU Pers belum dapat memberikan suatu kepastian hukum bagi insan pers sendiri serta bagi masyarakat di sekitar insan pers. UU pers tersebut menimbulkan celah yang dapat digunakan oleh insan pers untuk melakukan hal-hal yang sebenarnya bertentangan dengan KUHP sebagai lex generalis. Salah satu celah (loopholes) dalam UU Pers yang digunakan oleh insan pers untuk melanggar KUHP, khususnya Pasal 165 KUHP adalah mengenai tindakan insan pers dalam merahasiakan identitas narasumber yang merujuk dalam Pasal 4 ayat (4) UU Pers yang menyatakan bahwa : “Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak”. Pada Pasal 1 Angka 10 UU Pers, dinyatakan bahwa : “Hak tolak adalah hak wartawan karena profesinya, untuk menolak mengungkapkan nama atau identitas lainnya dari sumber berita yang harus
64 Universitas Sumatera Utara
dirahasiakannya”. Sesuai Penjelasan Pasal 4 UU Pers, dapat diartikan: “Tujuan utama Hak Tolak adalah agar wartawan dapat melindungi sumber informasi, dengan cara menolak menyebutkan identitas sumber informasi. Hak tersebut dapat digunakan jika wartawan dimintai keterangan oleh pejabat penyidik dan/atau diminta menjadi saksi di pengadilan. Hak tolak dapat dibatalkan demi kepentingan dan keselamatan negara atau ketertiban umum yang dinyatakan oleh pengadilan”. Sehingga dapat diartikan bahwa insan pers telah menggunakan hak tolak untuk melindungi sumber informasi, yakni melindungi si pelaku kejahatan. Kode Etik Jurnalistik mencantumkan hak tolak dalam Pasal 5 dan Pasal 7. Pasal 5 menyatakan bahwa : “Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan”. Penjelasan Pasal 5 Kode Etik Jurnalistik menyebutkan yang dimaksud dengan Identitas adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang yang memu- dahkan orang lain untuk melacak. Anak adalah seorang yang berusia kurang dari 16 tahun dan belum menikah. Pasal 7 Kode Etik Jurnalistik menyatakan bahwa : “Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan off the record sesuai dengan kesepakatan”. Penjelasan Pasal 7 Kode Etik Jurnalistik menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan Embargo adalah penundaan pemuatan atau penyiaran berita sesuai dengan permintaan narasumber. Informasi latar belakang adalah segala informasi atau data dari narasumber yang disiarkan atau diberitakan tanpa menyebutkan
65 Universitas Sumatera Utara
narasumbernya. Off the record adalah segala informasi atau data dari narasumber yang tidak boleh disiarkan atau diberitakan. Berdasarkan ketentuan-ketentuan ini, di dalam UU Pers terlihat jelas bahwa penggunaan hak tolak tersebut merupakan celah bagi insan pers untuk merahasiakan identitas pelaku kejahatan yang menjadi narasumbernya. Pasal 5 Kode Etik Jurnalistik menyebutkan, wartawan menggunakan hak tolak untuk identitas korban kejahatan susila dan identitas anak pelaku kejahatan sedangkan di dalam Pasal 7 Kode Etik Jurnalistik hanya disebutkan wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, jenis narasumber yang berhak disamarkan identitasnya, tidak disebutkan dalam Pasal tersebut. Kurangnya kepastian hukum dari UU Pers disebabkan karena dalam praktiknya di persidangan, pertimbangan yang diambil terhadap suatu putusan sebagian besar didasarkan pada KUHP bukan pada UU Pers. Majelis hakim lebih cenderung untuk mengacu pada tindak pidana kriminal dalam KUHP. Hal demikian tentunya memberatkan insan pers, padahal insan pers memiliki Kode Etik Jurnalistik dan UU Pers sendiri. Sehingga pemakaian UU Pers sangat jarang untuk kasus-kasus yang berujung di persidangan. UU Pers dijadikan sebagai acuan terakhir apabila hakim tidak menemukan tindak pidana yang dilakukan oleh insan pers yang sesuai dengan pasal-pasal yang ada di dalam KUHP.
66 Universitas Sumatera Utara