1
ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN
TESIS
OLEH:
HABIBA HANUM 057005008 / HK
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2007
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
2
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama
: Habiba Hanum
Tempat / Tgl. Lahir
: Medan/ 15 Juni 1983
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Mahasiswa
Pendidikan
: SD Negeri 067246 Medan (Tahun 1988-1994) SMP Negeri 10 Medan (Tahun 1994-1997) SMU Negeri 15 Medan (Tahun 1997-2000) Sarjana Hukum (Perdata Dagang) USU (Tahun 2000-2004) Magister Hukum (Hukum Bisnis) Sekolah Pascasarjana USU (Tahun 2005-2007)
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
3
ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN Habiba Hanum 1 Bismar Nasution 2 Sunarmi 3 Mahmul Siregar 4
ABSTRAK Kepailitan merupakan suatu proses dimana seorang debitor yang mempunyai kesulitan keuangan untuk membayar utang-utangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan. Dalam hukum kepailitan, debitor dapat dinyatakan pailit apabila debitor tersebut berada dalam keadaan insolven (tidak mampu membayar). Hal tersebut dikarenakan karena adanya krisis finansial yang dialami debitor untuk membayar seluruh utang-utangnya kepada para kreditor. UUK dan PKPU tidak mensyaratkan agar debitor benar-benar dalam keadaaan insolven. Tidak diterapkannya insolvency test menyebabkan banyaknya perusahaan di Indonesia bangkrut secara hukum, padahal mungkin perusahaan tersebut perusahaan yang masih mampu membayar utang-utangnya atau solven. Salah satu kasus mengenai masalah insolvensi yang mengundang kontraversial dapat dilihat pada kasus PT. AJMI yang dipailitkan oleh PN. Niaga Jakarta, namun hal tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi. Penelitian pada tesis ini adalah penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif analitis, dengan menggunkan metode pendekatan yuridis normatif, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara melakukan penelaaah terhadap bahan-bahan hukum yang bersumber dari data sekunder, dengan tehnik pengumpulan data melalui studi dokumen, dengan penelusuran kepustakaan. Bahan-bahan hukum yang diperoleh dari penelusuran kepustakaan dianalisis dengan menggunakan metode analisis kualiatif. Insolvensi diartikan sebagai keadaan berhenti membayar, namun dalam hal ini tidak dijelaskan secara terperinci apakah keadaaan tersebut karena ketidakmampuan membayar atau disebabkan alasan tertentu. Dalam beberapa putusan yang penulis analisis, terdapat perbedaan penafsiran tentang standar insolvensi, tergantung pada hakim untuk menilai apakah permohonan tersebut telah memenuhi syarat kepailitan, sehingga menghasilkan putusan yang berbeda-beda. Kata Kunci : Insolvensi, Kepailitan 1
Mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Ketua Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. 3 Seketaris Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. 4 Dosen Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. 2
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
4
KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmanirrohim Tiada kata pembuka yang paling pantas dikemukakan selain mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan taufik dan rahmatNya dengan memberikan kesehatan, kekuatan dan ketabahan sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Juga disampaikan shalawat dan salam kepada junjungan Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, para sahabatnya, para tabi`in dan pengikutnya sampai akhir zaman. Tesis ini diberi judul “Analisis Terhadap Ketentuan Insolvensi Dalam Hukum Kepailitan”. Tesisi ini diajukan guna memenuhi salah satu persyaratan yang harus dilengkapi dalam rangkaian studi di Magister Ilmu Hukum pada Program Studi Hukum Bisnis Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Dalam penyelesaian tesisi ini, penulis telah banyak memperoleh dorongan, pengarahan serta bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin menghanturkan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Bapak Prof. Chairuddin P Lubis, DTM&H, Sp.A (K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara. 2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.sc selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
5
3. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH selaku Ketua Program Studi Ilmu Hukum dan sekaligus merupakan dosen pembimbing yang telah mendidik dan memberikan ilmu pengetahuan yang sangat berguna bagi hari depan penulis. 4. Ibu Dr. Sunarmi, SH, M.Hum selaku Seketaris ProgramStudi Ilmu Hukum dan sekaligus merupakan dosen pembimbing yang dengan sabar telah membantu dan memberikan bimbingan dan saran kepada penulisdalam penyusunan tesis ini. 5. Bapak Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum selaku staf pegajar dan dosen pembimbing yang banyak membantu saya serta memberikan bimbingan dan saran kepada penulis guna kesempurnaan penyusunan tesis ini. 6. Bapak Prof. Runtung Sitepu, SH, M.Hum dan Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH, selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan demi memperkaya penulisan tesis ini. Serta kepada seluruh staf pengajar Program Studi Ilmu Hukum yang selama ini telah mendidik dan memberikan ilmu pengetahuan yang bermanfaat kepada penulis untuk hari depan. Secara khusus penulis hanturkan ucapan terima kasih yang tiada terhingga dan kasih sayang penulis persembahkan kepada Ayahanda Makdin Amrin Munthe, SH, MH dan Ibunda Dra. Siti Bunga Sitohang, SH, M.Hum, karena berkat dukungan, motivasi, kesabaran dan doa yang merupakan rahmat bagiku dalam menyelesaikan studi dan tugas akhir ini. Terima kasih juga saya ucapkan kepada Bapak Rukman Hadi, SH selaku Hakim Pengadilan Niaga Medan, Bapak Amri Marjunin, SH selaku Kepala Balai
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
6
Harta Peninggalan (BHP) serta Bapak Syuhada, SH selaku Kurator di BHP. Karena atas bantuan mereka tesis ini dapat terselesaikan. Tak lupa pula saya ucapkan terima kasih kepada teman-teman seangkatanyang tidak mungkin disebutkan satu persatu namanya yang telah memberikan motivasinya hingga selesainya tesis ini. Juga kepada para staf secretariat Program Studi Ilmu Hukum yang telah membantu dalam mengurus Administrasi selama perkuliahan. Akhirnya penulis mengharapkan tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak dan penulis berdoa semoga ilmu yang telah diperoleh dapat dipergunakan untuk kepentingan bangsa dan agama.
Medan,
September 2007
Penulis,
Habiba hanum
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
7
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN ABSTRAK KATA PENGANTAR DAFTAR ISI BAB I
PENDAHULUAN …………………………………………………….. 1 Latar Belakang ……………………………………………………......... 1 Perumusan Masalah ………………………………………………......... 8 Tujuan Penelitian ……………………………………………………...
9
Manfaat Penelitian …………………………………………………….. 9 Keaslian Penulisan ……………………………………………………. 10 Kerangka Teori dan Konsepsi .……………………………………. …. 10 Metode Penelitian ……………………………………………………… 25 BAB II PENGATURAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN DI INDONESIA ………………………………………………………. 29 A. Pengertian Berhenti Membayar ..………………………………….. 29 1. Menurut Faillissmentverordening …………………………….. 29 2. M enurut UU No. 4 Tahun 1998 ……………………………… 31 3. Menurut UU No. 37 Tahun 2004 ……………………………… 35 B. Pernyataan Pailit …………………………………………………... 36
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
8
C. Akibat Hukum Kepailitan ..……………………………………….. 41 D. Kelemahan-Kelemahan Hukum Kepailitan ………………………. 42 1. Kelemahan Faillissmentverordening …………………………… 42 2. Kelemahan UU No. 4 Tahun 1998 …………………………….. 45 3. Kelemahan UU No. 37 Tahun 2004 ……………………………. 51 E. Tahap Fase Insolvensi ……………………………………………… 53 F. Pemberesan Harta Pailit ……………………………………………. 56 BAB III PENENTUAN STANDAR INSOLVENSI DALAM KEPUTUSAN KEPAILITAN DI PENGADILAN NIAGA ………………………… 58 A. Menurut Faillissmentverordening ………………………………… 58 1. Putusan Pengadilan Negeri I Bandung No. 231/250/71/ D/Bdg Tertanggal 27 Juli 1972 ………………………………. 2. Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 2 / Pdt. Pailit / 1987/ PN. Medan, Tanggal 12 Desember 1987 ……………………... 61 B. Menurut UU No. 4 Tahun 1998 1. Putusan Pengadilan Niaga No. 10/Pailit/PN.Jakpus/2000 antara PT. Dharmala Sakti Sejahtera (PT. DSS) Vs. PT. Asuransi Jiwa Manulife Indonesia (PT. AJMI) ………….. 64 2. Putusan Pengadilan Niaga N0. 13/Pailit/20004/PN. Niaga antara Mr. Lee Bon SiongVs. Prudential Life Assurance …….. 78 C. Menurut UU No. 37 Tahun 2004 1. Putusan Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 2/Pailit/
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
9
2005/ PN.Niaga/Mdn, Tanggal 27 Desember 2005 ……………. 85 2. Putusan Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 2/Pailit/ 2007/PN.Niaga/Mdn, Tanggal 7 Agustus 2007 ………………. 90 BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ………………………………………. 97 A. Kesimpulan ………………………………………………………… 97 B. Saran ………………………………………………………………. 98
DAFTAR PUSTAKA
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
10
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Peraturan kepailitan di Indonesia sudah ada sejak lahirnya Kitab Undangundang Hukum Dagang (KUHD) di Buku III yang berjudul “van de voorzieningen in geval van onvermogen van kooplieden” tentang peraturan ketidakmampuan pedagang yang diatur dalam Pasal 749 sampai Pasal 910 WvK (wet book van koophandel), kemudian dirubah dengan berlakunya “Verordening op het Faillisment en Suerceance van Betalig voor de European in Indonesia” sebagaimana dimuat dalam Staatblaads 1905 No. 217 jo. Staatblads 1906 No. 384 Faillissmentsverordening. 5 Lahirnya Undang-undang Kepailitan yang mengubah ketentuan peraturan tentang kepailitan peninggalan kolonial mendapat sambutan hangat masyarakat keuangan internasional. 6 Dasar Pertimbangan dikeluarkannya Perpu No. 1 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-undang tentang Kepailitan Menjadi Undang-undang adalah untuk mengatasi masalah utang-piutang akibat krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak tahun 1997 yang kemudian ternyata berlanjut untuk tahun-tahun 5
Kartini Muljadi, “Perubahan pada Faillissmentsverordening dan Perpu No. 1 Tahun 1998 jo UU No. 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Perpu No. 1 Tahun 1998 tentang perubahan atas UU Kepailitan menjadi UU” makalah dalam seminar Perkembangan Hukum Bisnis di Indonesia, Jakarta 23 Juli 2003. 6 Pada masa pemerintahan Kolonial berlaku KUHD dan diganti dengan Faillissementverordening S.1905-217 jo. S.1906-348 hingga tahun 1998. Peraturan ini kemudian diubah dengan Perpu No. 1 tahun 1998, yang kemudian diterima dan disahkan oleh DPR RI menjadi Undang-undang No.1 Tahun 1998 tentang Kepailitan yang kemudian mengalami perubahan dengan Undang-undang No. 37 tahun 2004 dan berlaku sampai sekarang ini.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
11
berikutnya. Krisis moneter yang terjadi di Indonesia telah memberi pengaruh yang tidak menguntungkan terhadap perekonomian nasional, sehingga menimbulkan kesulitan besar terhadap dunia usaha dalam menyelesaikan utang piutang untuk meneruskan kegiatannya dan menimbulkan dampak yang merugikan masyarakat. Penyelesaian masalah utang piutang merupakan agenda utama nasional dalam rangka pemenuhan ekonomi secara cepat dan efisien. Untuk itu pula peraturan mengenai kepailitan sangat penting dilaksanakan agar penundaan kewajiban pembayaran utang menjadi masalah yang penting untuk segera diselesaikan. 7 Inisiatif pemerintah untuk merevisi peraturan tentang kepailitan sebenarnya timbul karena ada tekanan dari Dana Moneter Internasional/ International Monetary Fund (IMF) yang mendesak supaya Indonesia menyempurnakan sarana hukum yang mengatur permasalahan pemenuhan kewajiban oleh debitor kepada kreditor. IMF merasa bahwa peraturan kepailitan yang merupakan warisan pemerintah kolonial Belanda selama ini kurang memadai dan tidak dapat memenuhi tuntutan zaman. 8 Ditetapkannya Perpu No. 1 Tahun 1998 jo. Undang-undang No. 4 Tahun 1998 (selanjutnya disingkat UUK) dalam mengatasi gejolak moneter yang diharapkan menjadi salah satu cara untuk menyelesaikan utang piutang antara kreditor dan debitor secara cepat, adil dan efektif tidak terlaksana, hal ini dikarenakan desakan untuk sesegera mungkin memperbaiki peraturan kepailitan dengan cara tambal sulam
7
Robintan Sulaiman dan Joko Prabowo, Lebih Jauh tentang Kepailitan, (Karawaci :Deltacitra Grafindo, 2000), hal 1. 8 Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Kepailitan Seri Hukum Bisnis, (Jakarta :Raja Grafindo Persada, 2002), hal 1.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
12
pasal-pasal peraturan kepailitan yang ada, sehingga banyak ketentuan dalam pasalpasal yang diubah tidak sempurna. 9 Hikmahanto Juwana berpendapat bahwa amandemen
atas UUK sangat
dominan melindungi kepentingan kreditor. Hal ini bisa dilihat dari syarat untuk dinyatakan pailit sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 angka (1) UUK yaitu adanya dua atau lebih utang dan salah satunya telah jatuh tempo. Namun dalam amandemen UUK tersebut tidak satu ketentuan yang mensyaratkan bahwa debitor harus dalam keadaan tidak mampu membayar (insolvency). Tentunya hal ini bertentangan dengan filosofi universal dari UUK yaitu memberikan jalan keluar bagi debitor dan kreditor bilamana debitor sudah dalam keadaan tidak lagi mampu membayar utangnya. 10 Praktek penjatuhan pailit dalam UUK banyak menimbulkan problematik dan debat yuridis. Salah satu penyebabnya adalah karena pengaturannya banyak yang tidak jelas, sehingga memberikan peluang untuk beragam penafsiran yang berakibat ketidakpastian hukum bagi pencari keadilan. 11 Di samping itu, penggunaan instrumen hukum acara perdata tidak selamanya cocok dalam praktik pengadilan niaga yang proses acara pemeriksaannya dibatasi dengan limit waktu yang relatif singkat dan terinci untuk setiap langkah proses permohonan penjatuhan pailit. 9
J. Djohansah, “Hukum Asuransi yang Berkaitan dengan Pelaksanaan Hukum Kepailitan Nasional”, Makalah yang disampaikan pada Pendidikan dan Pelatihan Tekhnis Fungsional Peningkatan Profesionalisme Bagi Hukum Pengadilan Niaga, Tanggal 17-21 Juni 2001, di Jakarta, hal 3. 10 Hikmahanto Juwana, “Hukum sebagai Instrumen Politik : Intervensi atas kedaulatan dalam proses Legislasi di Indonesia”, disampaikan dalam Orasi Ilmiah Dies Natalies fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ke-50, Tanggal 12 Januari 2004, hal 12. 11 Surya Perdamaian, “Syarat-syarat Pengajuan Kepailitan dan Kelemahan Hukum Acara Kepailitan dalam Prakek Pengadilan Niaga”, Makalah yang di sampaikan dalam acara Forum Diskusi Tanggal 12 Oktober 2001 di Medan, hal 5.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
13
Kepailitan merupakan suatu proses di mana seorang debitor yang mempunyai kesulitan keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan. Dalam hal ini Pengadilan Niaga, dikarenakan debitor tersebut tidak dapat membayar utangnya. 12 Pernyataan tersebut mengakibatkan debitor kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang dimasukkan dalam kepailitan, terhitung sejak pukul 00.00 waktu setempat pada tanggal putusan diucapkan. 13 Salah satu tahap penting dalam proses kepailitan adalah tahap insolvensi. Tahap ini penting artinya karena pada tahap inilah nasib debitor pailit ditentukan. Apakah harta debitor akan habis dibagi-bagi sampai menutup utangnya, ataupun debitor masih dapat bernafas lega dengan diterimanya suatu rencana perdamaian atau restrukturisasi utang. Apabila debitor sudah dinyatakan insolvensi, maka debitor sudah benar-benar pailit, dan hartanya segera akan dibagi-bagi, meskipun hal ini tidak berarti bahwa bisnis dari perusahaan pailit tersebut tidak bisa dilanjutkan. 14 Secara umum dalam hukum kepailitan, debitor baru dapat dinyatakan pailit apabila debitor tersebut berada dalam keadaan insolven (tidak mampu membayar). Persyaratan ini didasarkan karena adanya krisis finansial yang dialami debitor (liquidity crisis) untuk membayar seluruh utang-utangnya dan dengan adanya keadaan tersebut kepentingan kreditor secara keseluruhan harus dilindungi (common
12
J. Djohansah, “Pengadilan Niaga” di dalam Rudy Lontoh (Ed), Penyelesaian Utang melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, (Bandung :Alumni, 2001), hal 23, lihat juga Pasal 1 Undang-undang No. 4 Tahun 1998. 13 Pasal 24 UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disingkat UUK dan PKPU) 14 Munir Fuady, Hukum Pailit dalam Teori dan Praktek, (Bandung :Citra Aditya Bakti, 1999), hal 135
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
14
pool problems). Prinsip inilah yang membedakannya dengan upaya hukum perdata yang harus dilakukan dengan gugatan biasa di Peradilan perdata. Secara substansial, hakekat dari fungsi hukum kepailitan (bankruptcy law) adalah sebagai alat atau sarana penagih atau penyelesaian utang antara kreditor dan debitor secara cepat dan efektif dibandingkan dengan jalur hukum perdata biasa. Menurut Friedman, insolvensi (insolvency) diartikan sebagai 15 : a. Ketidaksanggupan untuk memenuhi kewajiban finansial ketika jatuh waktu seperti layaknya dalam bisnis, atau b. Kelebihan kewajiban dibandingkan dengan asetnya dalam waktu tertentu. Dari pengertian di atas, maka apabila suatu saat debitor tidak mempunyai banyak uang kontan dibandingkan banyaknya utang-utangnya, atau apabila suatu ketika aset utamanya hilang dicuri orang atau terbakar, maka tidak berarti pada saat tersebut debitor dalam keadaan insolvensi. Tetapi keadaan kewajiban melebihi aset-asetnya haruslah berlangsung dalam jangka waktu tertentu yang wajar (reasonable time). Apabila debitor dalam keadaan insolvensi kepada seorang kreditor saja debitor tersebut tidak membayar utangnya, sedangkan kepada kreditor-kreditor lainnya debitor tetap dapat melaksanakan kewajiban pelunasan utang-utangnya dengan baik. Karena belum tentu debitor itu tidak mampu melunasi utangnya, tetapi mungkin saja debitor tidak melunasi utangnya karena ada alasan tertentu. 16 Maka terhadap debitor tersebut tidak dapat dipailitkan sebelum dilakukan insolvency test. Hal ini berguna 15
Ibid, hal 116, Lihat juga buku Jack P. Friedman, Dictionary of Business Terms, (New York USA :Baron`s Educational Series, 1987), hal 289. 16 Sutan Remy Syahdeini (I), Hukum Kepailitan (Jakarta :Pustaka Utama Grafiti, 2002), hal 72.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
15
agar perusahaan atau seorang debitor yang jumlah asetnya melebihi jumlah utangpiutang sehingga dalam kenyataannya cukup untuk membayar utang-utang tersebut tidak serta merta dapat dipailitkan Jadi, hukum kepailitan hanya dapat dipergunakan apabila debitor tidak mampu (insolven) untuk membayar utang-utangnya kepada seluruh kreditor dan aset yang ada dipergunakan untuk kepentingan lebih dari satu kreditor (the interest of the claims as group) 17 . Untuk mempailitkan debitor, UUK dan PKPU tidak mensyaratkan agar debitor berada dalam keadaan insolvensi. Hal ini tentu melindungi kepentingan kreditor, tidak diterapkannya insolvency test mengakibatkan banyaknya perusahaan di Indonesia bangkrut secara hukum. Padahal dalam kondisi ekonomi Indonesia saat ini bila persyaratan insolvensi diterapkan maka akan sulit membuat debitor Indonesia dinyatakan pailit. Logikanya dapat dilihat pada krisis moneter sebenarnya tidak membuat debitor Indonesia dalam keadaan insolvensi karena kehilangan pangsa pasar (market share) atau pendapatan dalam bentuk rupiah. Krisis moneter menyebabkan debitor tidak lagi mampu membayar utang karena adanya perbedaan kurs yang mengakibatkan utang dalam mata uang asing tidak terbayarkan dengan pendapatan dalam mata uang rupiah.
18
Seharusnya konsep insolvensi test dimasukkan dalam
UUK dan PKPU terutama dalam rangka pemberian perlindungan terhadap debitor, selain untuk mengetahui apakah ketidakmampuan membayar debitor disebabkan
17 18
Asra, Kontroversi Pailitnya Debitor Solven, (Jakarta :Pascasarjana UI, 2003), hal 3. Hikmanto Juwana, Op. Cit, hal 16-17.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
16
karena perusahaan bangkrut ataukah karena tidak mau membayar utangnya karena ada alasan tertentu. Namun sayangnya kondisi solvennya debitor Indonesia ini tidak diperhatikan oleh para penyusun UUK, para penyusun adalah konsultan hukum dan mereka tampaknya tidak peduli dengan kesulitan perusahaan di Indonesia. Faktor emosional untuk menghukum pihak yang bersalah mendominasi penyusunan tersebut. 19 Dalam konteks hukum kepailitan negara-negara common law system, keadaaan insolvensi debitor biasanya menggunakan pendekatan cash flow test atau pratical insolvency. 20 Cash flow adalah pendekatan yang melihat solvabilitas debitor diukur dengan fakta apakah debitor membayar utangnya atau tidak. Jika ternyata debitor membayar utangnya yang telah jatuh tempo, hal ini mengindikasikan debitor ada dalam keadaan mampu membayar atau solven. Atau dapat juga dilihat dengan memeriksa aktiva dap pasiva perusahaan melalui pembukuan perusahaan. Masalah insolvensi yang terjadi pada perusahaan Indonesia dapat dilihat pada kasus antara PT. Asuransi Jiwa Manulife Indonesia (PT. AJMI) v. PT. Dharmala Sakti Sejahtera (PT. DSS) No. 10/Pailit/2002/PN. Niaga Jkt. Pusat tanggal 13 Juni 2000 jo. No. 21 K/2002 tangal 5 Juni 2002. 21 Dalam kasus ini PT. AJMI yang
19
“Perpu yang Bikin Kiamat”, Kontan No. 39 Tahun II, 29 Juni 1998 (dikutip dari ringkasan disertasi Sunarmi, Tinjauan Kritis terhadap Undang-undang Kepailitan : Menuju Hukum Kepailitan yang Melindungi Kepentingan Debitor dan Kreditor (Medan : Pascasarjana USU, 2005), hal 58-59). 20 J.B. Huizink, Insolventie, (dikutip dari disertasi Sunarmi, Ibid, hal 532). 21 Dilihat dari laporan PT. AJMI, Dirjen Lembaga Keuangan sebagai pembina dan Pengawas Industri Asuransi, menilai PT. AJMI sehat dan dapat membayar kewajiban (solven). Laporan itupun diumumkan secara luas di media massa. Dari laporan PT. AJMI per Maret 2002, kekayaan yang diperkenankan mencapai Rp. 1.812 milyar, kewajiban Rp. 1.596 milyar, tingkat solvabilitas minimum Rp. 126 milyar, kelebihan batas tingkat solvbilitas Rp. 87 milyar dan Ratio Risk Based Capital sebesar
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
17
merupakan perusahaan solven dengan 72 cabang perusahaan di Indonesia dipailitkan karena tidak membayar utang senilai Rp. 32.789.856.000, dari kasus tersebut dapat dilihat bahwa dalam kenyataanya pihak debitor dalam keadaan masih mampu untuk membayar utangnya, namun PN. Niaga malah memutuskan untuk mempailitkan PT. AJMI tersebut. Tidak adanya insolvency test dalam UUK dan PKPU jelas menunjukkan bahwa hukum kepailitan lebih melindungi kepentingan kreditor dibandingkan debitor. Seharusnya kasus-kasus di kepailitan terhadap perusahaan di Indonesia yang mengakibatkan kerugian yang seharusnya tidak terjadi ataupun kurangnya minat investor untuk menanamkan modalnya menjadi acuan bagi pembuat Undang-undang khususnya mengenai hukum kepailitan.
B. Permasalahan Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan dalam tesis ini sebagai berikut : 1. Bagaimana pengaturan insolvensi dalam Undang-undang Kepailitan di Indonesia? 2. Bagaimana penentuan standar-standar insolvensi dalam keputusan-keputusan kepailitan di Pengadilan Niaga?
167,26% dalam kasus PT. AJMI, “Bom Waktu Industri Asuransi”, Kompas, Rabu 19 Juni 2002, hal 15, (dikutip dari ringkasan disertasi Sunarmi , Op. Cit, hal 59).
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
18
C. Tujuan Penelitian Pada dasarnya tujuan penelitian ini adalah untuk mencari pemahaman yang benar tentang masalah yang dirumuskan. Lebih rinci tujuan penelitian dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Untuk menganalisis pengaturan insolvensi dalam Undang-undang Kepailitan di Indonesia. 2. Untuk menganalisis penentuan standar-standar insolvensi dalam keputusankeputusan kepailitan di Pengadilan Niaga.
D. Manfaat Penelitian Terwujudnya permasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan serta tercapainya tujuan
penelitian yang diharapkan dapat memberikan manfaat baik
secara teoritis maupun praktis yaitu sebagai berikut : 1. Manfaat teoritis penelitian ini terutama adalah untuk mengembangkan informasi dan teori yang relevan dengan fokus penelitian guna memperkaya khasanah kepustakaan ilmu hukum dan jika mungkin dapat mengembangkan doktrindoktrin hukum terkait kepailitan 2. Dalam tatanan kegunaan praktis, hasil penelitian sangat bermanfaat bagi praktisi hukum yang diharapkan dapat sebagai masukan dalam menangani masalah kepailitan, sebagai bahan dasar pertimbangan hakim dalam memilih dan memutuskan suatu perkara kepailitan yang dihadapi dan juga bermanfaat bagi
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
19
pelaku bisnis yang mengalami permasalahan dalam hukum kepailitan khususnya terkait dengan keadaan insolvensi atau tidaknya pihak debitor.
E. Keaslian Penulisan Berdasarkan
penelusuran
yang
dilakukan
di
Perpustakaan
Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara Medan untuk menghindari persamaan penelitian terhadap masalah yang sama, dan pada waktu melakukan pengumpulan data serta pemeriksaan terhadap hasil-hasil penelitian terdahulu, ternyata belum pernah dilakukan dalam topik dan permasalahan yang sama. Oleh karena itu, penelitian tesis ini dapat disebut “asli”, jauh dari unsur plagiat yang bertentangan dengan asas-asas keilmuan yaitu kejujuran, rasional, objektif dan terbuka. Semua ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah, 22 sehingga kebenaran penelitian juga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
F. Kerangka Teori dan Konsep 1. Kerangka Teori Untuk kepentingan dunia usaha dalam menyelesaikan masalah utang-piutang secara adil, cepat, terbuka dan efektif sangat diperlukan perangkat hukum yang mendukungnya, sehingga
lahirlah Undang-undang kepailitan. Namun seiring
22
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu : Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1999), hal 244.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
20
berjalannya waktu peraturan tersebut tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat sehingga beberapa kali dilakukan perbaikan, penambahan dan meniadakan beberapa ketentuan yang dianggap tidak sesuai lagi. UUK dan PKPU didasarkan atas beberapa asas yaitu : 23 1. Asas Keseimbangan Perwujudan dari asas keseimbangan adalah, di satu pihak terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh debitor yang tidak jujur, di lain pihak terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh kreditor yang tidak beritikad baik. 2. Asas Kelangsungan Usaha dalam Undang-undang ini, memungkinkan perusahaan debitor yang prospektif tetap dilangsungkan. 3. Asas Keadilan Ketentuan mengenai kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang berkepentingan. Asas keadilan ini untuk mencegah terjadinya kesewenangwenangan pihak penagih yang mengusahakan pembayaran atas tagihan masingmasing terhadap debitor, dengan tidak memperdulikan kreditor lainnya.
23
Lihat Penjelasan Umum UU No. 37 Tahun 2004 tentang UUK dan PKPU.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
21
4. Asas Integrasi Asas ini mengandung pengertian bahwa sistem hukum formil dan hukum materiilnya merupakan suatu kesatuan yang utuh dari sistem hukum perdata dan hukum acara perdata nasional. Lahirnya peraturan mengenai kepailitan diharapkan dapat mengatasi permasalahan dalam perekonomian nasional dan memberikan rasa keadilan, baik terhadap kreditor maupun terhadap debitor. Menurut W. Friedman, suatu Undangundang atau peraturan haruslah memberikan keadilan yang sama kepada semua walaupun terdapat perbedaan-perbedaan di antara pribadi-pribadi itu; kalau tidak ada kedudukan sosial, kemajuan dalam hidup dicapai bukan atas dasar reputasi melainkan karena kapasitas, kelas-kelas dalam masyarakat bukan faktor yang menentukan sosial saja. 24 Salah satu paradigma hukum kepailitan adalah adanya nilai keadilan sehingga hukum dapat memberikan tujuan yang sebenarnya yaitu memberikan manfaat, kegunaan dan kepastian hukum. Satjipto Rahardjo menyatakan “hukum sebagai perwujudan nilai-nilai mengandung arti; bahwa kehadirannya adalah untuk melindungi dan memajukan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat. 25 Aristoteles menyatakan bahwa ukuran keadilan adalah bahwa 26 :
24
W. Friedman, Teori dan Filsafat Hukum dalam Buku Telaah Kritis atas Teori-teori Hukum diterjemahkan dari Buku aslinya Legal Theori oleh Muhammad Arifin (Jakarta :Raja Grafindo Persada, 1993), hal 7. 25 Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum : Perkembangan Metode dan Pilihan Hukum, (Surakarta :Universitas Muhammadiyah, 2002), hal 60. 26 Aristoteles, Ethics. Terjemahan ke dalam Bahasa Inggris oleh JAK Thomson, Harmondsworth, (Middlesex, England :Penguin Books Ltd, 1970), hal 140.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
22
a. Seorang tidak melanggar hukum yang berlaku, sehingga keadilan berarti “lawfull” yaitu hukum tidak boleh dilanggar dan aturan hukum harus diikuti, dan b. Seseorang tidak boleh mengambil lebih dari haknya, sehingga keadilan berarti persamaan hak (equal). Salah satu cara pembagian keadilan menurut Aristoteles adalah seperti yang tertuang dalam bukunya Etika, Aristoteles membagi keadilan kedalam dua golongan sebagai berikut 27 : a. keadilan distributif, yakni keadilan dalam hal pendistribusian kehormatan atau kekayaan ataupun kepemilikan lainnya kepada masing-masing anggota masyarakat, dan b. Keadilan Korektif, yaitu keadilan yang bertujuan untuk mengoreksi terhadap kejadian yang tidak adil. Pemberlakuan prinsip keadilan dalam hukum kepailitan adalah, apabila debitor mempunyai paling sedikit dua kreditor dan tidak membayar lunas salah satu utangnya yang sudah jatuh waktu tidak melakukan pembayaran diharapkan tidak lari dari tanggung jawab untuk melaksakan pembayaran terhadap kreditor dengan cara penjualan seluruh aset debitor dan hasilnya akan dibagi-bagi kepada kreditor secara adil dan merata serta berimbang. Di sisi lain, kreditor juga tidak bisa hanya memikirkan kepentingan sepihak saja tanpa memikirkan kreditor lainnya dan juga itikad baik dari debitor yang meminta penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) dalam hal perdamaian. 27
Ibid, hal 144.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
23
Apabila terjadi tindakan yang tidak adil (unfair prejudice) bagi debitor ataupun kreditor, maka sektor hukum yang berperan untuk mengembalikan keadaaan sehingga keadilan yang telah hilang (the lost justice) kembali dapat ditemukan oleh pihak yang telah dirugikan, atau terjadi keadilan korektif menurut klasifikasi Aristoteles. Lembaga kepailitan merupakan perwujudan dari pelaksanaan ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata jo. 1132 KUHPerdata. 28 Namun, bukan berarti ketentuan hukum kepailitan memiliki sifat sebagai hukum privat.
Sebab ketentuan Pasal 1131
KUHPerdata merupakan ketentuan yang bersifat memaksa (publik) dan tidak dapat disimpangi, sekalipun atas kesepakatan para pihak. 29 Pengertian kepailitan (insolvency) harus dibedakan dengan insolven. Menurut Setiawan 30 , istilah kepailitan berasal dari kepustakaan Belanda dengan menggunakan kata Faillissmentsverordening yang pengucapannya berubah menjadi kepailitan, sementara itu, pengaruh kepustakaan common law menggunakan istilah bankruptcy yang juga bermakna kepailitan. Kemudian dalam Ordonantie tahun 1905 istilah insolvency ditemukan dalam istilah Belanda yaitu insolventie, yang secara tehnis berbeda dengan istilah kepailitan sesuai dengan Pasal 168 Ordonantie 1905 diamana 28
Pasal 1131 KUHPerdata adalah : Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun baru yang akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan. Pasal 1132 KUHPerdata adalah : Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya; pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila diantara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan. 29 Setiawan, Kumpulan Makalah Calon Hakim Pengadilan Niaga, (Jakarta :Mahkamah Agung RI, 1998), dikutip dari Varia Peradilan, IKAHI-Mari Jakarta, No. 156 September 1998, hal 59. 30 Ibid.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
24
insolventie terjadi jika dalam rapat verifikasi tidak ditawarkan perdamaian atau bila perdamaian yang ditawarkan telah ditolak, atau pengesahan perdamaian itu dengan pasti telah ditolak, rumusan ini juga dimasukkan kedalam Pasal 178 UUK dan PKPU. Kepailitan menurut UUK dan PKPU menyatakan : “Kepailitan adalah sitaan umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusannya dan pemberesannya dilakukan oleh kurator dibawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini”. 31 Penjelasan Pasal 57 ayat (1) UUK dan PKPU menyatakan bahwa insolvensi adalah keadaan tidak mampu membayar, namun sampai saat ini tidak ada kriteria ataupun batasan yang menyatakan bagaimana seorang debitor dikatakan tidak mampu membayar atau insolvensi. Dengan tidak ada syarat tersebut, penerapan Undangundang kepailitan diharapkan akan lebih mudah. Dengan demikian Indonesia diharapkan akan lebih mudah keluar dari krisis ekonomi. Adanya dampak putusanputusan pengadilan terhadap perkembangan ekonomi dinyatakan oleh Rudolpho Sandoval bahwa : 32 “ …..it is longer disputed that many of the public issues facing the nation have serious implications. Because of this, it hase become increasingly important for lawyers to have at least a basic understanding of economic theory. By examining the
31
Pasal 1 ayat (1) UUK dan PKPU. Erman Rajagukguk (ed), Peranan hukum dalam Pembangunan ekonomi,(Jakarta :Pascasarjana UI,2000) hal 16, Rudolpho Sandoval, Judicial decisions within the framework of an economic structur, St. Marys Law Jurnal Vol.11 tahun 1980, hal 4. 32
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
25
interrelationship of law and economics, it may be possible to deduce the basic formal charecteristic of the law from economic theory”.
Pendapat diatas didasari oleh teori The Legal Economic Analisis dari Richard Posner 33 dan sejalan dengan pendapat itu, Charles Himawan menyatakan bahwa putusan-putusan pengadilan dapat mempengaruhi perkembangan dan perbaikan ekonomi. Hukum merupakan benang merah yang terlupakan dalam pembangunan ekonomi di Indonesia. 34 Menurut Oxford Dictionary of Law 35 , Bankrupty (kepailitan) adalah : “the state of person who has been adjudgedby a court to be insolvent”. Jadi, kepailitan ada apabila menurut pengadilan adanya ketidakmampuan untuk membayar utang (insolvent) dan ditinjau dari asal kata, istilah bankruptcy berasal dari bahasa romawi, yaitu kata “Bancarupta”, yang berarti : “the process by which the state takes possesion of the property of a bangkrupty throught the officialtrustee” 36 Menurut Douglas 37 pengertian insolvensi adalah : “A debtor is solvent if sum of the debtor`s debts is greater than all of the debtor`s assets at fair valuation”. Menurut Cambriedge International Dictionary, insolvensi adalah : “insolvensi adalah (khusus buat perusahaan), not having enough money to pay debts, buy goods, etc” ,
33
Richard Posner, Economic Analiysis of Law, (Boston :Little, Brown and Company ,Fourth Edition, 1992), hal 393 34 Jakarta Post, 1998, hal 9. 35 A Dictionary of law, (New York : Oxford University Press, 1994), hal 58. 36 Asra, Op. Cit, hal 10. 37 Ibid.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
26
dan menurut Concise Australian Legal Dictionary, insolvensi adalah : “debtor who is unable to pay debts as and when they fall due for payment”. 38 Pada prinsipnya hukum kepailitan adalah merupakan suatu lembaga penagih utang yang disebut dengan debt Collection Law 39 atau collective debt collection device 40 , dan yang membedakannya dengan prosedur gugatan perdata biasa karena adanya unsur insolvensi 41 dimana harta kekayaan debitor yang ada tidak dapat untuk membayar seluruh tagihan yang diajukan oleh debitor, sebagaimana yang dinyatakan oleh Thomas H. Jakson. 42 Menurut Jordan et. al, yang dikutip oleh Remy Syahdeni ada tiga tujuan hukum kepailitan yaitu 43 : a.
Untuk menjamin pembahagian yang sama terhadap harta kekayaan debitor diantara para kreditor.
b.
Mencegah agar debitor tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan kepentingan para kreditor.
c. Memberikan perlindungan kepada debitor yang beritikad baik dari para kreditornya, dengan cara memperoleh pembebasan utang. Seorang debitor baru dapat dinyatakan pailit atau dalam keadaan pailit, apabila telah dinyatakan oleh hakim atau pengadilan44 dengan suatu keputusan
38
Roman Tomasic, Australian Corporate Insolvency, (Sydney : Butterworth, 1993), hal 164. Bismar nasution dan Sunarmi, Hukum Kepailitan di Indonesia, (Medan : Program MKn Pasca USU, 2007), hal 14. 40 Asra, Op. Cit, hal 11. 41 Ibid. 42 Ibid. 43 Sutan Remi Sjahdeini (I), Op. Cit, hal 37-38. 39
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
27
hakim. Kewenangan pengadilan untuk menjatuhkan putusan pailit itu telah ditentukan secara tegas di dalam Undang-undang Kepailitan. 45 Ada beberapa persyaratan untuk dapat dinyatakan pailit sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) UUK dan PKPU yang menyatakan : “Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang 46 yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan. Pengadilan, baik atas permohonanya sendiri maupun atas satu atau lebih kreditornya”. Keharusan memiliki kreditor 2 (dua) atau lebih dikenal sebagai concorsus creditorum, 47 keharusan ini merupakan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 1132 KUHPerdata. 48 Apabila debitor hanya memiliki seorang kreditor saja, maka kreditor berhak atas semua aset debitor, tidak ada lagi keperluan pembagian aset. Sebaliknya dalam hal debitor mempunyai banyak kreditor dan harta kekayaan debitor tidak cukup untuk membayar lunas semua kreditor, maka para kreditor akan berlomba
44
Hakim dan Pengadilan yang dimaksud adalah Hakim dan Pengadilan Niaga, Lihat Pasal 1 ayat (7) UUK dan PKPU. 45 Lihat Pasal 3 UUK dan PKPU 46 Setelah keluarnya UUK dan PKPU, utang mempunyai defenisi dan batasan yang jelas yaitu : kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul dikemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitor. 47 Sutan Remy Syahdeini (I), Op. Cit, , hal 64. 48 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Pedoman Menangani Perkara Kepailitan, (Jakarta : Raja Grafindo Press, 2003), hal 107.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
28
dengan cara, baik yang halal maupun yang tidak untuk mendapatkan pelunasan tagihannya terlebih dahulu. 49 Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sumir (sederhana) bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit telah terbukti, 50 dimana permohonan pernyataan pailit dapat dilakukan oleh Debitor itu sendiri, Seorang kreditor atau lebih, BI (Bank Indonesia), Bapepam, dan Menteri Keuangan. 51 Pada dasarnya, sebelum pernyataan pailit, hak-hak debitor untuk melakukan semua tindakan hukum harus dihormati. Tentunya dengan memperhatikan hak-hak kontraktual serta kewajiban debitor menurut perundang-undangan. 52 Setelah pengadilan mengucapkan putusan pailit dalam sidang terbuka untuk umum terhadap debitor, maka hak dan kewajiban si pailit beralih kepada kurator untuk mengurus dan menguasai boedelnya. Akan tetapi si pailit masih berhak melakukan tindakan-tindakan atas harta kekayaannya sepanjang tindakan itu membawa/memberikan manfaat terhadap boedelnya. Sebaliknya tindakan yang tidak memberikan manfaat bagi boedel, tidak mengikat boedel tersebut. 53
49
Http : // WWW. Solusi Hukum.Com/artikel 36.php> (“Kepailitan di Indonesia, Suatu Pengantar”), diakses 9 Juli 2007. 50 Pasal 8 ayat (4) UUK dan PKPU. Dalam Penjelasannya dinyatakan : Fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana adalah adanya fakta dua atau lebih kreditor dan fakta utang yang telah jatuh waktu dan tidak dibayar. Sedangkan perbedaan besarnya jumlah utang yang didalihkan oleh pemohon pailit dan termohon pailit tidak menghalangi dijatuhkannnya putusan pernyataan pailit. 51 Lihat Pasal 2 UUK dan PKPU. 52 Rudy A. Lontoh, Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit atau PKPU, (Bandung :Alumni, 2001), hal 301. 53 Imran Nating, Peran dan Tanggung jawab Kurator dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit, (Jakarta :Raja Grafindo Persada, 2004), hal 40.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
29
1. Terhadap Debitor Kepailitan hanya mengenai harta kekayaan 54 dan bukan mengenai perorangan debitor, ia tetap dapat melaksanakan hukum kekayaan lain, seperti hak-hak yang timbul dari kekuasaan orang tua (ouderlijke macht). Pengurusan benda-benda anaknya tetap padanya, seperti ia melaksanankan sebagai seorang wali. Debitor tidak kehilangan kemampuannya untuk melakukan perbuatan hukum menyangkut dirinya, kecuali apabila perbuatan hukum tersebut menyangkut pengurusan dan pengalihan harta benda yang telah ada. Apabila menyangkut harta benda yang akan diperolehnya, debitor tetap dapat melakukan perbuatan hukum menerima harta benda yang akan diperolehnya itu, namun harta yang akan diperolehnya itu akan menjadi bagian dari harta pailit. 55 Setelah keluarnya pernyataan pailit, debitor kehilangan hak untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang dimasukkan dalam kepailitan, terhitung sejak pukul 00.00 waktu setempat pada tanggal putusan diucapkan. 56 Pengurusan dan/atau pemberesan harta pailit debitor akan diambil alih oleh kurator yang ditunjuk oleh hakim pengadilan, dalam hal ini kurator harus independen dan tidak mempunyai benturan kepentingan. 57
54
Menurut Fred. B. G. Tumbuan, Kekayaan adalah semua barang dan hak atas benda yang dapat diuangkan (ten gelde kunnenworden gemaakt), Rudy A. Lontoh, Op. Cit, hal 128. 55 Sutan Remy Syahdeini (I), Op. Cit, hal 257. 56 Lihat Pasal 24 ayat (1) dan (2) UUK dan PKPU. 57 Lihat Pasal 15 UUK dan PKPU, dalam penjelasannya Independen dan tidak mempunyai benturan kepentingan adalah bahwa kelangsungan keberadaan kurator tidak tergantung pada debitor atau kreditor, dan kurator tidak memiliki kepentingan ekonomis yang sama dengan kepentingan ekonomis debitor dan kreditor.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
30
2. Terhadap Kreditor Pada dasarnya kedudukan kreditor adalah sama (paritas creditorium). Oleh karena itu mereka mempunyai hak yang sama atas hasil eksekusi boedel pailit sesuai dengan
besarnya
tagihan
mereka
masing-masing,
asas
tersebut
mengenal
pengecualian yaitu golongan kreditor yang memegang hak agunan atas kebendaan dan golongan kreditor yang haknya didahulukan berdasarkan UUK dan PKPU dan Peraturan Perundang-undangan lainnya. 58 Pengertian kreditor terdiri atas : 59 a. Kreditur Separatis Kreditur separatis adalah kreditur pemegang hak jaminan kebendaan, yang dapat bertindak sendiri. Golongan kreditor ini tidak terkena akibat putusan pernyataan pailit debitor, artinya hak-hak eksekusi mereka tetap dapat dijalankan seperti tidak ada kepailitan debitor. Kreditor ini dapat menjual sendiri barang-barang yang menjadi jaminan, seolah-olah tidak ada kepailitan. Dari hasil penjualan tersebut, mereka mengambil sebesar piutangnya, sedangkan kalau ada sisanya disetorkan ke kas kurator sebagai boedel pailit. Sebaliknya jika hasil penjualan tersebut ternyata tidak mencukupi, kreditur tersebut untuk tagihan yang belum terbayar,
dapat
memasukkan
kekurangannya
sebagai
kreditor
bersaing
(Concurent). 58
Kreditor yang mempunyai hak tanggungan, hak gadai atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Hak inilah yang kemudian ditangguhkan selama 90 hari terhitung sejak tanggal tanggal penetapan pailit. Jangka waktu tersebut bias berakhir karena hukum pada saat pailit diakhiri lebih dini atau pada saat dimulainya keadaan insolvensi. 59 Imran Nating, Op. Cit, hal 48.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
31
b. Kreditur Preferen/Istimewa Kreditor preferen adalah kreditor yang karena sifat piutangnya mempunyai kedudukan istimewa dan mendapat hak untuk memperoleh pelunasan lebih dahulu dari penjualan harta pailit. Kreditor istimewa berada di bawah pemegang hak tanggungan dan gadai. Pasal 1133 KUHPerdata mengatakan bahwa hak untuk didahulukan diantara orang-orang berpiutang terbit dari hak istimewa dari gadai dan hipotik. 60 c. Kreditur Kongkuren/Bersaing Kreditor kongkuren memiliki hak yang sama dan berhak memperoleh hasil penjualan harta kekayaan debitor, baik yang telah ada maupun yang akan ada dikemudian hari, setelah sebelumnya dikurangi dengan kewajiban membayar piutang kepada para kreditor pemegang hak jaminan dan para kreditor dengan hak istimewa secara proporsional menurut perbandingan besarnya piutang masingmasing kreditor kongkuren tersebut.
3. Terhadap harta Pailit Harta benda debitor yang pailit diatur berdasarkan hukum kebendaan, bahwa suatu hak kebendaan ialah suatu hak yang memberikan kekuasaan langsung atas suatu benda, kekuasaan mana dapat dipertahankan terhadap tiap orang. 61 Akan tetapi,
60 61
Lihat Pasal 1133 KUHPerdata. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta :Intermasa, 1980), hal 52.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
32
mengingat keadaan atau status yang melekat pada dirinya maka hak-hak tersebut diambil alih oleh suatu badan atau lazim saat ini disebut kurator. 62 Setelah adanya pernyataan pailit oleh hakim, maka dengan sendirinya telah terjadi sita umum atas seluruh harta kekayaan debitor, dan debitor akan kehilangan haknya untuk melakukan pengurusan terhadap harta kekayaannya yang kemudian diambil alih oleh kurator dan diawasi oleh hakim pengawas. Apabila setelah adanya putusan pailit, debitor tidak mengajukan perdamaian (akor), atau perdamaian tidak mendapat persetujuan pihak kreditor ataupun perdamaian yang telah disetujui oleh kreditor tidak mendapat homologasi oleh hakim, maka kepailitan dengan sendirinya telah memasuki tahap insolvensi. Setelah tahap inilah kurator mulai mengambil tindakan yang menyangkut pemberesan harta pailit yang meliputi penjualan harta pailit di muka umum, namun apabila tidak tercapai dapat dilakukan penjualan di bawah tangan dengan izin Hakim Pengawas dan melakukan pembagian atas hasil penjualan harta pailit dengan memperhatikan kedudukan dari masing-masing debitor yang mempunyai hak istimewa, pemegang hipotik, gadai, fidusia, hak tanggungan serta kreditor bersaing 63 .
2. Kerangka Konsep Peranan konsep dalam penelitian diartikan sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasikan dalam hal-hal khusus, yang disebut dengan defenisi
62 63
Kurator adalah Balai harta Peninggalan atau orang perseorangan yang diangkat oleh pengadilan. Lihat Pasal 185 dan Pasal 189 UUK dan PKPU.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
33
operasional. Pentingnya defenisi operasional adalah agar tidak terjadinya masalah dalam menafsirkan konsep-konsep yang dipergunakan dalam penelitian ini, selain itu juga dipergunakan untuk memberikan pegangan pada proses penelitian. Selanjutnya defenisi operasional dari konsep-konsep yang dipergunakan adalah : a. Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator dibawah hakim pengawas. 64 b. Kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau Undangundang yang pelunasannya dapat ditagih di muka umum. 65 c. Debitor adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau Undangundang yang pelunasannya dapat ditagih di muka umum. 66 d. Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul dikemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitor. 67
64
Pasal 1 angka (1) UUK dan PKPU Pasal 1 angka (2) UUK dan PKPU 66 Pasal 1 angka (3) UUK dan PKPU 67 Pasal 1 angka (6) UUK dan PKPU 65
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
34
e. Kurator adalah Balai Harta Peninggalan atau orang perseorangan yang diangkat oleh pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta debitor pailit dibawah pengawasan hakim pengawas. 68 f. Pengadilan adalah Pengadilan Niaga dalam ruang lingkup peradilan umum. 69 g. Insolvensi adalah ketidakmampuan membayar utang oleh debitor kepada kreditor. 70 h. Hukum adalah Peraturan-peraturan yang bersifat memaksa yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badanbadan resmi yang berwajib, pelanggaran terhadap peraturan itu akan diambil tindakan atau sanksi. 71
G. Metode Penelitian
1. Jenis dan Sifat Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan dalam penyusunan tesis ini adalah penelitian yuridis normatif, yaitu dengan melakukan analisa terhadap permasalahan dalam penelitian melalui pendekatan asas-asas hukum serta mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.
68
Pasal 1 angka (5) UUK dan PKPU Pasal 1 angka (7) UUK dan PKPU 70 Penjelasan Pasal 57 ayat (1) UUK dan PKPU 71 Ridwan Khairandy, Itikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, (Jakarta : Pascasarjana UI, 2003), hal 34. 69
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
35
Menurut Ronald Dworkin, penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research), yaitu penelitian yang menganalisa baik hukum sebagai law is written in book, maupun hukum sebagai law as it decided by the judge throught judicial process. 72 Sifat penelitian dilakukan dengan pendekatan yang bersifat deskriptif analitis yang bertujuan untuk menggambarkan, menginventarisasikan dan menganalisis teoriteori dan peraturan yang berhubungan dengan permasalahan dalam penelitian ini. Maka metode penelitian hukum yang digunakan dalam penyusunan penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif.
2. Sumber Data Penelitian hukum normatif ini dilakukan dengan mengumpulkan bahan-bahan hukum berupa data sekunder. Data sekunder merupakan data yang diperoleh melalui studi dokumen terhadap bahan kepustakaan, 73 yaitu : a. Bahan hukum primer, yaitu Faillissmentsverordening (stb. 1905 No.217 jo. Stb. 1906 No. 384), Perpu No. 1 Tahun 1998 jo. UU No. 4 Tahun 1998 dan
72
Bismar Nasution, disampaikan pada ‘Dialog Interaktif tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Penelitian Hukum” (Pada “Makalah Akreditasi” Fakultas Hukum USU, tanggan 18 Februari 2003), hal 1. 73 Bahan kepustakaan ini mencakup : 1. bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, peraturan perundang-undangan dan peraturan setaraf (dan berjenjang ke bawah), maupun bahan hukum yang tidak dikodifikasi seperti hukum adat dan yurisprudensi; 2. bahan hukum sekunder adalah yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti Rancangan Undangundang, Hasil-hasil Penelitian dll; 3. bahan hukum tertier yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus ensiklopedi dan lainnya. (Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta :Raja Grafindo Persada, 1995), hal 23).
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
36
Undang-undang No. 37 Tahun 2004 tentang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang dan Putusan-putusan Pengadilan perihal masalah kepailitan. b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya, bahkan dokumen pribadi atau pendapat dari kalangan pakar hukum sepanjang relevan dengan objek penelitian ini. 74 c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus hukum, majalah dan jurnal ilmiah. 75
3. Tehnik Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melaui penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi teori atau doktrin, pendapat atau pemikiran koseptual dan penelitian terdahulu yang berhubungan dengan objek penelitian ini yang dapat berupa peraturan perundangundangan dan karya ilmiah lainnya juga dilakukannya wawancara dengan para pakar terhadap permasalahan yang relevan dengan tesis ini. Hasil penelitian yang diperoleh melalui studi kepustakaan dianalisa secara kualitatif dengan pendekatan juridis normatif. 74
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penemuan Hukum, (Jakarta :Ghalian Indonesia, 1982) hal 24. 75 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op. Cit, hal 15.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
37
4. Analisis Data Pada penelitian hukum normatif, pengolahan data pada hakikatnya adalah kegiatan untuk mengadakan sistematis terhadap bahan-bahan hukum tertulis. Sistematisasi berarti membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan tertulis tersebut untuk memudahkan pekerjaan analis dan konstruksi. Kegiatan tersebut antara lain : a. Memilih bahan-bahan hukum primer, sekunder dan tertier termasuk putusanputusan pengadilan yang berisi kaidah-kaidah hukum yang mengatur dan berkaitan dengan insolvensi bagi praktisi hukum, hakim dan pelaku bisnis dalam kaitannya dengan hukum kepailitan. b. Membuat sistematik dari bahan-bahan hukum sehingga menghasilkan klasifikasi tertentu yang selaras dengan insolvensi bagi praktisi hukum, hakim dan pelaku bisnis dalam kaitannya dengan hukum kepailitan. c. Menjelaskan hubungan konsep atau teori dengan klasifikasi atau teori yang dirumuskan. d. Hasil penelitian yang diperoleh akan dianalisis secara kualitatif. Maksudnya bahwa hasil analisis tidak tergantung dari jumlah data berdasarkan angka-angka melainkan data yang dianalisis digambarkan dalam bentuk kalimat-kalimat. e. Penarikan kesimpulan dari hasil penelitian yang diperoleh sesuai dengan permasalahan yang diangkat.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
38
BAB II PENGATURAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN DI INDONESIA
A. Pengertian Berhenti Membayar Pengertian keadaan “berhenti membayar” tidak dijumpai perumusannya secara jelas baik di dalam Undang-undang, yurisprudensi maupun pendapat para sarjana. Berikut ini diuraikan pengertian “berhenti membayar” menurut peraturan dalam hukum kepailitan. 1. Menurut Faillissmentsverodening Berlakunya Faillissmentsverodening (disingkat Fv) di Indonesia pada tanggal 1 November Tahun 1906 berdasarkan Stb. 1906-348 mencabut peraturan kepailitan sebelumya yaitu wetboek van koophandel (WvK) Buku III dan Reglement op de Rechtsverordering (Rv) Buku III bab VII. Timbulnya keadaan insolvensi debitur menurut Faillissmentsverodening adalah karena debitur berhenti membayar. Namun ukuran atau standar dalam keadaan berhenti membayar tersebut masih bervariasi dikarenakan tidak ditemukannya batasannya dalam Undang-undang. Dasar insolvensi menurut Faillissmentsverodening terdapat pada Pasal 1 ayat (1) yang berbunyi : “Setiap yang berutang (debitor) yang ada dalam keadaan berhenti membayar, baik atas laporan sendiri maupun atas permohonan seseorang atau lebih
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
39
berpiutang (kreditor), dengan keputusan hakim dinyatakan dalam keadaan pailit”. Gambaran pailit dalam Faillissmentsverodening ini tidak dilengkapi dengan defenisi atau apa yang menjadi kriteria dari “berhenti membayar”. Hal ini dengan sendirinya melahirkan keputusan-keputusan yang beragam tentang standar terjadinya keadaan “berhenti membayar”. Keanekaragaman pengertian tentang berhenti membayar dapat dilihat dari putusan-putusan pengadilan dibawah ini : 76 a.
Putusan Hoge Raad 17 Desember 1920 N.J. 1921 No. 276 berbunyi : Bahwa keadaan berhenti membayar dapat ada, juga bilamana kreditkredit yang lain tidak mendesak dibayarnya atau memiliki eksekusi di luar kepailitan.
b. Putusan Hoge Raad 3 Juni 1920 N.J. 1921 Bahwa membayar tidak selalu berarti menyerahkan sejumlah uang, membayar berarti memenuhi suatu perikatan ini dapat diperuntukkan untuk menyerahkan barang. c. Putusan Hoge Raad 15 Mei 1925 N.J. 1925 No. 995, Berbunyi : Keadaan bahwa aktiva boedel kemudian terbukti cukup untuk membayar semua hutangnya, itu tidak menghalangi bahwa debitur sekarang dalam keadaan berhenti membayar.
76
Victor M Situmorang dan Hendri Soekarso, Pengantar Hukum Kepailitan di Indonesia, (Jakarta :Rineka Cipta, 1993), hal 40-41.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
40
d. Putusan Hoge Raad 6 Desember 1946 N.J. 1946 No 233, berbunyi : Bahwa keadaan berhenti membayar tidak sama dengan keadaan bahwa kekayaan debitor tidak cukup untuk membayar hutang-hutangnya yang sudah dapat ditagih, melainkan bahwa debitor tidak membayar hutanghutang itu. e. Putusan Hoge Raad 10 April 1959 N.J. 1959 No. 232, berbunyi : Bahwa tidak membayar hutang pemohon yang sudah dapat ditagih dan disamping itu adanya hutang-hutang yang lain yang terbukti dari laporan kurator, membuktikan adanya keadaan berhenti membayar. Berdasarkan keputusan pengadilan diatas dapat disimpulkan bahwasanya tidak ada pertimbangan oleh hakim bahwa debitor baru sekali atau dua kali tidak membayar utangnya. Jadi, dengan adanya bukti sumir terhadap debitor tidak membayar utangnya yang telah jatuh temponya dapat dijatuhkan pailit. Sedangkan menurut Tirtaatmidjaja bahwa debitor yang baru sekali saja menolak pembayaran maka hal itu belumlah merupakan suatu keadan berhenti membayar.77
2. Menurut UU No. 4 Tahun 1998 Pada Bulan Juli 1997 terjadilah krisis moneter di Indonesia. Krisis ini diawali dengan melemahnya nilai tukar rupaih terhadap dollar AS. Hal tersebut menyebabkan utang-utang para pengusaha Indonesia yang dalam valuta asing (terutama yang kreditornya dari luar negeri) menjadi sangat tinggi. Akibatnya banyak debitor yang 73
M. H. Tirtaatmadjaja, Pokok-pokok Hukum Perniagan, (Jakarta :Djambatan, 1970), hal 228.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
41
tidak dapat membayar utang-utangnya. Dihadapkan pada situasi tersebut, para kreditor mulai mencari sarana untuk dapat menagih utang-utangnya. Peraturan yang ada pada waktu itu (Faillissmentverordening) sangat tidak dapat diandalkan karena dianggap lama prosesnya dan tidak dapat dipastikan hasilnya. Maka masyarakat kreditor terutama dari luar negeri menghendaki agar peraturan kepailitan secepatnya diganti atau diubah. Keinginan ini didukung oelh IMF selaku pemberi utang kepada Indonesia. IMF berpendapat bahwa salah satu upaya krisis moneter Indonesia tidak terlepas dari keharusan penyelesaian utang-utang luar negeri. Oleh karena itu IMF mendesak pemerintah Indonesia agar segera mengganti atau mengubah peraturan kepailitan
(Faillissmentverordening)
yang
berlaku,
sebagai
sarana
untuk
menyelesaikan utang-utang pengusaha Indonesia kepada para kreditornya. Sebagai hasil desakan tersebut, akhirnya pemerintah turun tangan dengan lahirnya Perpu No. 1 Tahun 1998 jo. Undang-undang No. 4Tahun 1998 tentang Undang-undang Kepailitan. Namun, Perpu No. 1 Tahun 1998 bukanlah pengganti Peraturan Kepailitan sebelumnya, melainkan hanya sekedar mengubah atau menambah saja. Perubahan Perpu tersebut diharapkan sebagai dewa penolong bagi lancarnya proses ekonomi, dan bukan bagi kreditor semata. Melihat penanganan kasus-kasus kepailitan menimbulkan kekecewaan dimasyarakat. Sebenarnya untuk mengatasi pelaksanan Perpu yang kurang baik tidaklah terlalu sukar, karena orang dengan mudah dapat menunjuk peraturan yang dilanggar. 78
78
Charles Himawan, Hukum Sebagai Panglima : Hukum Kepailitan atau Kepailitan Hukum, (Jakarta : Kompas, 2003), hal 69.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
42
Sebaliknya untuk mengatasi kepailitan hukum tidaklah mudah. Tidak cukup lagi pengadilan melihat pada pasal peraturan tertulis yang bersangkutan. Badan peradilan terutama MA sebagai benteng terakhir pencari keadilan, perlu memperhatikan keadaan lingkungan bisnis sekitar gugatan kepailitan bersangkutan. Badan Peradilan perlu memperhitungkan untung-rugi (cost benefit analysis) akibat putusannya, misalnya, apakah putusan tersebut memperlancar atau menghambat proses ekonomi dan apakah keputusan tersebut tidak merugikan para stakeholder 79 Timbulnya dasar insolvensi menurut UU No 4 Tahun 1998 tertuang dalam Pasal 1 ayat (1) yaitu : “Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, baik atas permohonannya sendiri, maupun atas permintaan seorang atau lebih kreditor.”
Dasar
insolvensi
diartikan
sebagai
“tidak
membayar”,
Pradjoto
mengartikannya sebagai : 80 a. Menolak untuk membayar b. Cidera janji atau wanprestasi
79
Ibid. Pradjoto, “RUU Kepailitan ditinjau dari Aspek Perbankan”, Makalah disampaikan dalam Seminar Sosialisasi RUU tentang Kepailitan oleh BPHN dan ELLIPS PROJECT, Jakarta 27-28 Juli 1999, hal 5. 80
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
43
c. Keadaan tidak membayar tidak sama dengan keadaan bahwa kekayaan debitor tidak cukup untuk melunasi seluruh utangnya. d. Tidak
diharuskan
debitor
memiliki
kemampuan
untuk
membayar
(onvermogen) dan memikul seluruh utangnya. e. Istilah tidak membayar harus diartikan sebagai Naar de letter, yaitu debitor pada saat diajukan permohonan pernyataan pailit telah sama sekali berhenti membayar utangnya. Permasalahan yang menarik tentang “tidak membayar” terjadi pada kasus PT. AJMI. Yang menjadi permasalahan adalah, tidak membayarnya debitor itu karena debitor benar-benar tidak mampu membayar atau tidak mau membayar padahal debitor masih memiliki kekayaan yang cukup besar untuk membayar utang-utangnya. Sutan Remy berpendapat bahwa, hukum kepailitan bukan mengatur kepailitan debitor yang tidak membayar kewajibannya kepada salah satu kreditornya saja, tetapi debitor itu harus berada dalam keadaan insolvensi. 81 Seorang debitor berada dalam keadan insolvensi hanyalah apabila debitor tidak mampu secara finansial untuk membayar utang-utangnya kepada sebagian besar para kreditornya. Seorang debitor tidak dapat dikatakan telah dalam keadaan insolven apabila hanya kepada seorang kreditor saja debitor tersebut tidak membayar utangnya, sedangkan kepada para kreditor-kreditor lainnya debitor tetap dapat melaksanakan kewajiban pelunasan utang-utangnya dengan baik.
81
Sutan Remy Syahdeini (II), Hukum Kepailitan Memahami Faillissmentsverordening jo. Undang-undang No. 4 Tahun 1998, (Jakarta :Pustaka Utama Grafiti, 2003), Hal 71.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
44
Oleh karena itu yang menjadi pertimbangan Pengadilan Niaga untuk menyatakan seorang debitor pailit, tidak saja oleh karena ketidakmampuan debitor tersebut untuk membayar utang-utangnya, tetapi juga termasuk ketidakmampuan debitor tersebut untuk melunasi uatang-utangnya seperti yang telah diperjanjikan. 82
3. Menurut UU No. 37 Tahun 2004 Pada tanggal 18 Oktober 2004, Pemerintah telah mengeluarkan UU No. 37 Tahun 2004 tentang UUK dan PKPU. Dengan tujuan untuk memperbaiki, menambah dan meniadakan ketentuan-ketentuan yang dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan perkembangan hukum masyarakat yang jika ditinjau dari segi materi masih terdapat berbagai kekurangan dan kelemahan. Perubahan yang dilakukan meliputi perubahan terhadap substansi, prosedur dan belum adanya kemungkinan untuk melakukan restrukturisasi utang. Timbulnya dasar insolvensi menurut UU No 37 Tahun 2004 tertuang dalam Pasal 2 ayat (1) yaitu : “ Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih , dinyatakan pailit dengan putusan. Pengadilan, baik atas permohonan sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya”
82
Ricardo Simanjuntak, “Rancangan Perubahan Undang-undang Kepailitan dalam Perspektif Pengacara (Komentar terhadap perubahan Undang-undang Kepailitan)”, Artikel Utama, Jurnal Hukum Bisnis Vol 17, Januari 2002, hal 6.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
45
Dasar insolvensi diartikan sebagai “tidak membayar lunas” utangnya. Pasal ini merupakan salinan dari Pasal 1 ayat (1) UUK yang mengatur ketentuan yang sama. Bedanya terletak pada kata “lunas” . keadaan tidak membayar lunas diartikan sebagai sudah pernah membayar sekali, dua kali dan seterusnya tetapi tidak seluruhnya. Atau debitor sudah membayar pokoknya tetapi belum membayar bunganya. Ketentuan “tidak membayar lunas” menurut UUK dan PKPU pada prinsipnya sama dengan “keadaan berhenti membayar” utang-utangnya menurut Fallissment verordening. Karena berhenti membayar berarti sudah pernah membayar namun suatu saat berhenti. 83
B. Pernyataan Pailit Mengajukan permohonan pailit tidaklah sedemikian mudahnya, haruslah memenuhi persyaratan tertentu sebagaimana yang termuat dalam Pasal 2 ayat (1) UUK dan PKPU. Jika tidak, semua orang akan dapat mengajukan permohonan pailit. Hal ini nantinya tidak akan menciptakan ketertiban dan keteraturan serta kepastian dalam hukum, tetapi nantinya akan mengacaukan jalannya hukum dan merugikan masyarakat secara lebih jauh. Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 8 ayat (4) UUK dan PKPU, hakim harus mengabulkan permohonan pailit apabila : 1. Minimal harus ada dua kreditor.
83
Man S Sastrawidjaja, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, (Bandung :Alumni, 2006), hal 18.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
46
2. Tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih. 3. kedua hal tersebut dapat dibuktikan secara sederhana Bagir Manan menyatakan bahwa “syarat kepailitan yang terlalu sederhana, hanya cukup dengan adanya dua kreditor dan adanya utang yang telah jatuh tempo sehingga
orang
bisa
mengajukan
pailit,
ini
tentu
menimbulkan
suatu
masalah”. 84 persoalan pailit bukan saja menyangkut kepentingan perusahaan semata”. Hal
ini
didasarkan
oleh
banyaknya
pengajuan
pailit
yag
tidak
pernah
mempertimbangkan aspek lain, seperti kepentingan sosial, dan pelayanan umum yang bakal ditimbulkannya. Misalnya, perusahaan yang asetnya banyak dan jumlah tenaganya besar, tetapi dengan mudahnya saja dipailitkan. Permohonan pernyataan pailit dalam UUK dan PKPU dapat diajukan oleh : a. Debitor itu sendiri Permohonan pailit dapat diajukan oleh debitor sendiri bilamana debitor tidak mempunyai harapan untuk dapat memenuhi kewajibannya terutama dalam melakukan pembayaran utang-utangnya terhadap para kreditor. Permohonan tersebut diajukan kepada Pengadilan Negeri Niaga ditempat kedudukan hukum debitor. Dalam memeriksa dan menyelesaikan permohonan pailit terhadap debitor
84
‘Ketua MA Prihatin Banyak Proses Kepailitan yang Disalahgunakan”, Http://www.hukum online.com /detail.asp?id=9604&cl=Berita, diakses tgl 15 Juni 2007.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
47
itu sendiri, kadangkala hakim mewajibkan pembuktian melalui audit pejabat publik. 85 b. Seorang kreditor atau lebih Apabila seorang kreditur atau lebih mengajukan permohonan kepailitan harus memenuhi syarat bahwa hak menuntutnya terbukti (pembuktian sumir), baik kreditor yang merupakan perorangan maupun perusahaan. c. Jaksa demi kepentingan umum Pihak kejaksaan dapat mengajukan permohonan pailit terhadap debitor berdasarkan alasan demi kepentingan umum. 86 Berdasarkan keputusan Hof Amsterdam 9 November 1922, N.J. 1923, 171, alasan kepentingan umum itu ada bilamana tidak dapat lagi dikatakan ada kepentingankepentingan perseorangan melainkan alasan-alasan yang bersifat lebih umum dan lebih serius yang memerlukan penanganan oleh suatu lembaga /alat perlengkapan negara. 87 Menurut M.H. Tirtaamidjaja, bahwa pailit itu juga dapat dinyatakan atas tuntutan jaksa, tuntutan mana harus berdasarkan alasan-alasan untuk dengan tidak menyelesaikan urusan-urusannya. Atau debitor sedang berusaha menggelapkan harta kekayaannya dengan merugikan kreditor-kreditornya. 88
85
Putusan MA No. 03 K/N/1999 tertanggal 5 Mei 1999. Menurut Penjelasan Pasal 2 angka (2) UUK dan PKPU, kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarkat luas. 87 Chidir Ali, Himpunan Yurisprudensi, Hukum Dagang di Indonesia, (Jakarta :Pradnya Paramita, 1982), hal 11. 88 Victor M Situmorang dan Hendri Sukarso, Op. Cit, hal 49. 86
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
48
d.
Bank Indonesia (BI) Sutan Remy menyatakan bahwa ketentuan yang menyatakan bahwa hanya BI yang dapat mengajukan permohonan pailit terhadap debitor yang merupakan bank adalah standart ganda (double standart). 89 Ketentuan ini telah merampas hak kreditor dari suatu bank. Kreditor bank pada umumnya adalah juga bank, yang memberikan fasilitas kepada bank itu melalui interbank money market. Dengan adanya Pasal 2 ayat (3) UUK dan PKPU tersebut, maka hilanglah hak bank untuk mengajukan permohonan pailit terhadap debitornya yang merupakan juga bank. 90 Apabila kreditor yang mengajukan permohonan pernyataan pailit kepada bank bukan Bank Indonesia, dikhawatirkan bahwa setiap saat bank akan senantiasa dibayang-bayangi pengajuan permohonan pailit. Pemberian hak-hak khusus kepada Bank Indonesia yang mewakili kepentingan umum harus mendapat dukungan karena berkaitan dengan dana masyarakat yang terhimpun dalam bank. Perlindungan terhadap masyarakat luas ini harus dijaga dan dilindungi secara proporsional. Apabila bank yang dengan mudahnya pailit oleh kreditor bukan Bank Indonesia terjadi, tentunya akan menganggu kinerja perbankan nasional dan tentunya hal ini berdampak pula pada perekonomian Indonesia. 91
89
Sutan Remy Syahdeini, “Undang-undang Kepailitan : Dalam Perspektif Hukum,Politik dan Ekonomi”, Makalah disajikan Pada Tanggal 7 Mei 1998 di Jakarta, hal 3. 90 Bismar Nasuton dan Sunarmi, Op. Cit, hal 37. 91 Ibid, hal 38.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
49
e. Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) Debitor yang merupakan perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring, dan penjamin, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Bapepam. Ketentuan tersebut ternyata dalam praktek menimbulkan pro dan kontra baik dalam kalangan ahli hukum maupun para praktisi. Hal tersebut karena berkaitan dengan fungsi dan tugas Bapepam. 92 Terhadap perusahaan yang go publik, keterlibatan Bapepam mutlak diperlukan, hal ini mengingat tugasnya untuk mengawasi jalannya kelancaran Pasar Modal. Bapepam mutlak mengetahui kegiatan yang dilakukan oleh para emiten yang dikhawatirkan akan menganggu kinerja Pasar Modal. Namun di sisi lain, sebaiknya keterlibatan Bapepam hanya cukup dilapori saja. Berdasarkan semangat dan asas UU No. 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal, Bapepam tidak diinginkan untuk turut campur apalagi mengambil hak-hak investor atau emiten. 93 f. Menteri Keuangan Kewenangan untuk mengajukan permohonan pailit terhadap perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi sepenuhnya ada pada Menteri Keuangan. Ketentuan ini diperlukan untuk membangun tingkat kepercayaan masyarakat terhadap perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi sebagai lembaga pengelola resiko
92 93
Ibid, hal 39. Ibid, hal 40.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
50
dan sekaligus sebagai lembaga pengelola dana dari masyarakat yang memiliki kedudukan strategis dalam pembangunan dan kehidupan perekonomian. 94
C. Akibat Hukum Kepailitan Sesuai dengan Pasal 21 UUK dan PKPU, bahwa terhitung sejak ditetapkannya putusan pernyataan kepailitan, debitor pailit demi hukum kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang dimaksud dalam kepailitan, termasuk juga kepentingan perhitungan dari pernyataan itu sendiri. Artinya, debitor pailit tidak memiliki kewenangan ataupun tidak bisa berbuat bebas atas harta kekayaan yang dimilikinya. Pengurusan dan penguasaan atas harta kepailitan beralih atau dialihkan kepada kurator atau BHP yang bertindak sebagai kurator. Namun demikian, sesudah pernyataan pailit ditetapkan debitor pailit masih dimungkinkan untuk mengadakan perikatan-perikatan. Hal itu akan mengikat bila perikatan-perikatan yang dilakukan tersebut mendatangkan keuntungan. Ada beberapa akibat hukum pernyataan pailit, yaitu : 1. Akibat kepailitan terhadap kewenangan debitor untuk dapat melakukan perbuatan hukum dan terhadap hartanya. Putusan pailit oleh pengadilan tidak menyebabkan debitor kehilangan kecakapan untuk
melakukan
perbuatan
hukum
pada
umumnya
(volkomen
handelingsbevoegd), tetapi hanya kehilangan kekuasaan atau kewenangannya
94
Ibid, hal 41.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
51
untuk mengurus dan mengalihkan harta kekayaannya saja, atau dengan kata lain kepailitan tersebut berlaku hanya terhadap harta kekayan debitor saja.95 2. Akibat kepailitan terhadap perjanjian timbal balik. Bila ada perjanjian timbal balik belum dipenuhi pada saat putusan pernyataan pailit, maka para pihak yang mengadakan perjanjian dengan debitor dapat meminta kepastian kepada kurator tentang kelanjutan pelaksanaan perjanjian tesebut dalam suatu waku yang disepakati bersama. 96 3. Akibat kepailitan terhadap perjanjian hak jaminan Dengan dikeluarkannya putusan pernyataan pailit oleh pengadilan, setiap kreditor yang memegang hak tanggungan, hak gadai atau hak agunan atas kebendaan lainnya dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan.97 Namun pelaksanaannya ditangguhkan selama 90 hari terhitung sejak tanggal pailit ditetapkan. 98
D. Kelemahan-kelemahan Hukum Kepailitan 1. Kelemahan Faillissmentsverordening a. Proses pemeriksaan kepailitan memakan waktu yang lama Faillissmentsverodening tidak ada menentukan berapa lama batasan waktu untuk menyelesaikan perkara kepailitan. Henry Lie A Weng menyebutkan bahwa
95 96 97 98
Pasal 21 ayat (1) UUK dan PKPU. Pasal 36 UUK dan PKPU. Pasal 55 UUK dan PKPU Pasal 56 ayat (1) UUK dan PKPU.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
52
peraturan-peraturan tersebut tidak praktis, rumit dan berlangsung terlalu lama dan memakan biaya yang tidak murah. 99 Lamanya perkara kepailitan berlangsung karena kadangkala terdapat putusan yang berbeda yaitu pada satu sisi putusan pailit dan pada sisi lain putusan perdata yang saling berbeda. Dalam perkara kepailitan, debitor mengajukan permohonan agar dirinya dinyatakan pailit dan pengadilan mengabulkan permohonan pailit. Pada saat perkara pailit sedang berjalan, kreditor mengajukan gugatan perdata agar debitor membayar utangnya. Keputusan Pengadilan Negeri mengabulkan permohonan kreditor dan menghukum debitor membayar utangnya kepada kreditor. Akhirnya timbul permasalahan siapa yang akan melaksanakan keputusan tersebut. 100 Dengan adanya keputusan yang berbeda dan mempunyai kekuatan hukum yang tetap menyebabkan timbulnya ketidakpastian hukum atau adanya dualisme hukum. Hal ini dikarenakan, dalam peraturan Faillissmentverordening tidak mengatur batasan mengenai kewenangan menangani suatu perkara. Hal inilah yang merupakan suatu dasar alasan untuk dilakukannya perubahan pada peraturan kepailitan yang lama.
99
Henry Lie Aweng, Tinjauan Pasal demi Pasal Fv (Faillissmentsverodening S. 1905 No. 217 jo. S. 1906 No 348 Jis Perpu No. 1 Tahun 1998 dan UUNo. 4 Tahun 1998, Medan, hal 4. (dikutip dari rigkasan Disertasi Sunarmi, Op. Cit, hal 41) 100 Ibid, hal 42.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
53
b. Pemeriksaan pembukuan debitor jarang dilaksanakan Setelah kemerdekaan, hakim tidak melakukan pemeriksaan atas pembukuan debitor. Pemeriksaan tidak dilakukan meskipun para kreditor mengajukan keberatan dan meminta kepada majelis hakim untuk memeriksa pembukuan debitor tetapi diabaikan. Putusan hakim hanya didasarkan atas bukti-bukti yang diajukan oleh debitor. 101
c. Gijzeling ditiadakan Meskipun Faillissmentsverodening mengatur tentang lembaga paksa badan, namun dalam prakteknya hal ini tidak dilaksanakan oleh pengadilan. Lembaga paksa badan ini selama masa pemerintahan Kolonial Hindia Belanda selalu dilaksanakan oleh Pengadilan. Namun setelah kemerdekaan lembaga paksa badan ini tidak dilaksanakan. Hal ini didasarkan oleh keluarnya Surat Edaran No. 2 Tahun 1964, tanggal 22 Januari 1964, No. 82/P/374/M/1964, tentang “penghapusan sandera (Gijzeling)” dan Surat EdaranNo. 04 Tahun 1975, tanggal 1 Desember 1975, No. M.A.Pemb/1020/75,
tentang
“sandera
(Gijzeling)”
yang
melarang
untuk
melaksanakan lembaga paksa badan. Larangan ini didasarkan pertimbangan bahwa lembaga tersebut tidak sesuai lagi dengan keadaan dan kebutuhan hukum dalam rangka penegakan hukum dan keadilan serta pembangunan ekonomi bangsa Indonesia. Hal ini jelas sangat merugikan kepentingan kreditor.bahkan hakim mengabulkan permohonan pailit yang diajukan debitor, meskipun debitor tidak 101
Ibid.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
54
pernah hadir di persidangan. Hal ini terjadi dalam perkara Ponimin alias Amin V. Tjong Kim Siong alias Asiong, dkk, No4/Pdt/Failit/1993/PN.Medan. Putusan hakim atas permohonan pailit dalam perkara jelas memihak kepentingan debitor. Hakim tetap mengabulkan permohonan pailit yang diajukan oleh debitor meskipun diketahui debitor melarikan diri. Apalagi pembelaan hakim terlihat dalam pertimbangan hukumnya yang menyebutkan “selain itu, ketidakhadiran debitor dipersidangan, karena debitor telah diadukan kepada kepolisian sehingga dicari oleh pihak yang berwajib”. Hakim juga seharusnya melindungi kepentingan kreditor. 102
2. Kelemahan UU No. 4 Tahun 1998 a. Pengertian utang tidak komprehensif Kelemahan dari UUK adalah tidak memberikan defenisi yang jelas tentang pengertian “utang” sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 ayat (1) UUK. Ketiadaan defenisi utang ini memberikan peluang bagi kreditor untuk dapat memperoleh tagihannya kepada debitor dengan mempergunakan hukum kepailitan. Hal ini terlihat pada kecenderungan dunia usaha untuk mengkonstruksikan sengketa-sengketa niaga yang berkaitan dengan kepailitan dan PKPU, bukan lagi sebagai wanprestasi atau perbuatan melawan hukum, melainkan dipaksa mendalilkannya dengan utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, yang kemudian diajukan proses pailit. 103
102 103
Ibid, hal 48. Ibid, hal 55.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
55
Bervariasinya kegiatan pelaku usaha juga mempengaruhi jenis utang yang dilakukan oleh debitor. Dari permohonan-permohonan kepailitan yang diajukan ke Pengadilan Niaga diketahui bahwa jenis utang bukan hanya dilakukan dalam bentuk utang pokok dan bunganya tetapi lebih luas dan bervariasi. Utang dapat juga diartikan sebagai tidak dilakukannya penyerahan tanah yang sudah dibayar lunas. 104 Tidak adanya defenisi utang dan batasan mengenai jumlah minimum utang untuk mengajukan permohonan pailit memunculkan suatu perdebatan. Akibatnya dalam praktek pengertian utang diartikan secara sempit dan luas. Pengertian utang bukan hanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) UUK, tetapi berkembang ke arah yang lebih luas. Hakim memberikan penafsiran utang yang berbeda di Pengadilan Niaga maupun pada tingkat kasasi. Perdebatan pengertian utang pada awalnya muncul pada perkara antara PT. Modernland Realty Vs. Drs. Husein Sani dan Johan Subekti No. 07/Pailit/1998/PN. Niaga Jakpus jo. 03 K/N/1998 jo. 06 PK/N/1999. Majelis hakim Pengadilan Niaga Berpendapat : “Meskipun permohonan pailit yang diajukan oleh pemohon pailit tidak berdasarkan pada utang yang timbul dari konstruksi hukum pinjam-meminjam utang, melainkan berdasarkan utang yang timbul dari perjanjian pengikatan jual-beli rumah susun antara pemohon pailit selaku pembeli dengan PT. Modern Land Realty selaku penjual, namun termohon, yaitu PT. Modern Land Realty belum mengembalikan utang pembayaran yang telah diterima dari pembeli yaitu dari para pemohon pailit, maka termohon pailit, yaitu PT. Modern Land Realty harus dinyatakan telah mempunyai utang kepada masing-maing pemohon pailit (utang dalam arti luas)”. 105
104 105
Ibid, hal 56. Putusan PN. Niaga No. 07/Pailit/1998/PN. Niaga Jakpus Tanggal 08 November 1998.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
56
Sedangkan dalam kasasi, Majelis Hakim Agung berpendapat : “Pemakaian utang secara luas yang dilakukan oleh majelis hakim pengadilan Niaga jelas bertentangan dengan pengertian utang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-unang No. 4 Tahun 1998 tebntang kepailitan. Pengertian utang sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) UUKtersebut tidak bolweh terlepas dari konteksnya baha pengertuian utang yang dimaksud dalam UUK ini harus diartikan dalam konteks pemikiran konsiderans tentang maksud diterbitkannya UU No. 4 Tahun 1998 dan tidak dapat dilepaskan kaitan itu daripadanya yang pada dasarnya menekankan pinjaman-pinjaman swasta sehingga dengan demikian pengertian utang tidak meliputi bentuk wanprestasi lain yang tidak berawal pada kontruksi hukum pinjam-meminjam uang. (makna utang secara sempit)”. 106 Pendapat dari Majelis Hakim Pengadilan Niaga dalam kasus Modernland Realty telah tepat dalam menerapkan pengertian utang (dalam secara luas). Hanya saja pendapat hakim Pengadlan Niaga tersebut ditolak/dibtalkan oleh Majelis Hakim Mahkamah Agung dalam putusan kasasinya. Tindakan ini menunjukkan bahwa Hakim Mahkamah Agung pun tidak punya keseragaman pengertian utang dalam UUK. Sebab, dalam putusan Mahkamah Agung sebelumnya, Mahkamah Agung selalu menerapkan pemahaman utang dalam arti luas.
b. Pembuktian secara sederhana Pasal 6 ayat (3) UUK menyatakan bahwa : “Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta dan keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) UUK telah terpenuhi”.
102
Putusan Kasasi No. 03/K/N/1998 Tanggal 23 November 1998.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
57
Pasal 1 ayat (1) jo. Pasal 6 ayat (3) mensyaratkan pembuktian sederhana dalam menentukan dikabulkan atau tidaknya suatu permohonan kepailitan. Namun UUK tidak memberikan penjelasan yang rinci mengenai bagaimana pembuktian sederhana ini dilakukan dalam memeriksa permohonan pailit, kecuali menyatakan bahwa pembuktian sederhana adalah pembuktian sumir pada umumnya. Menurut Subekti, membuktikan adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalildalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan. 107 Pada dasarnya, esensi pembuktian adalah untuk menentukan hubungan hukum yang sebenarnya terjadi antara para pihak yang berperkara, meliputi kejadian atau peristiwa serta suatu hal yang didalilkan oleh para pihak, dan menjadi objek perselisihan. Beban pembuktian diletakkan pada pihak yang menyatakannya, maka pihak yang tidak menyangkal dianggap memberikan pengakuan terhadap dalil tersebut. Pondasi dari beban pembuktian adalah keseimbangan kepentingan para pihak yang seyogianya dijaga oleh hakim. UUK tidak menjawab sejauh mana batasan pembuktian sederhana tersebut. Tidak ada defenisi serta batasan yang jelas yang dapat menjadi pegangan apa yang dimaksud dengan pembuktian sederhana. Sejauh mana hakim menentukan dapat membuktikan secara sederhana atau tidak bila terdapat sanggahan terhadap bukti yang diajukan atau
107
Aria Suyudi, Aryanto Nodroho, Herni Sri Nurbayanti, Kepailitan di Negeri Pailit : Analisis Hukum Kepailitan Indonesia, (Jakarta :TIM Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, 2003), hal 147.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
58
bila ada sanggahan terhadap permohonan tersebut yang membuat perkara dianggap menjadi kompleks. 108 Seperti layaknya pemeriksaan permohonan pada umumnya, majelis hakim hanya bertugas memeriksa kelengkapan dokumen persyaratan untuk dikabulkannya suatu permohonan dengan melakukan cros check dengan si pemohon atau pihak terkait. Bila ada cukup alat bukti dan keadaan yang membuktikan persyaratan pailit, maka permohonan pernyataan pailit dikabulkan. 109 Pada prakteknya, tidak jarang Majelis Hakim beranggapan bahwa pada perkara kepailitan tertentu yang diajukan, membutuhkan pembuktian yang tidak sederhana. Oleh karena di lain sisi batas waktu yang diberikan (30 hari) 110 dianggap tidak mencukupi, kemudian seringkali majelis hakim berpendapat perkara tersebut harus melalui gugatan perdata biasa pada Pengadilan Negeri. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh karena hubungan perutangan antara kreditur dan debitur tidak dapat diuraikan dengan mudah. Sebagai contoh, diajukannya tanggapan debitor dengan dasar exceptio non-adempleti contractus 111 , yang mengiring majelis hakim pada suatu kesimpulan bahwa perkara tersebut tidak dapat diselesaikan dengan pembuktian secara sederhana. 108
Suyudi dkk, Ibid, 148. Ibid. 110 Pasal 6 ayat (4) UUK 111 Menurut S. Adiwinata, exceptio non-adempleti contractus adalah tangkisan bahwa persetujuan tidak dipenuhi; tangkisan dengan mengemukakan bahwa juga pihak lawannya tidak melakukan kewajibannyayang timbul dari persetujuan timbal balik. Secara sederhana, dalam suatu perjanjian timbal-balik masing-masing pihak memiliki kewajiban yang harus dipenuhi. Pemenuhan kewajiban oleh satu pihak menimbulkan kewajiban oleh pihak lainnya. Sehingga, apabila satu pihak tidak melakukan kewajiban, maka pihak yang lain dapat tidak melakukan prestasinya. File//C:\program%20 files \data base kepailitan\resume.htm. 109
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
59
c. Pemeriksaan yang terlalu cepat dan efisien Dikeluarkannya UUK sebagai pengganti Faillissmentsverodening yang dianggap tidak jelas time frame dalam menyelesaikan perkara kepailitannya melahirkan Undang-undang Kepailitan yang memberikan jaminan bahwa proses kepailitan berjalan tidak berlarut-larut. 112 Putusan atas permohonan pernyataan pailit harus ditetapkan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan pernyataan pailit didaftarkan. Sutan Remy menyatakan bahwa jangka waktu tersebut tidak realistis. Waktu tersebut sangatlah pendek sehingga hanya akan menghasilkan kualitas putusan yang kurang baik karena diputuskan secara terburuburu. Sebab kadangkala proses pembuktian utang piutang perusahan memerlukan waktu yang cukup lama dan rumit, sehingga memerlukan tingkat ketelitian dari para pihak yang terlibat dalam perkara tersebut. kepailitan akan membawa akibat bukan hanya kepada debitor itu sendiri, melainkan juga kepada stakeholder 113 perusahaan khususnya kepada karyawan perusahaan, pemegang saham, pemerintah dan lain-lain. Tindakan utama yang perlu dilakukan sebelum memutuskan suatu perusahaan akan dinyatakan pailit adalah melakukan restrukturisasi utang terlebih dahulu melalui reorganisasi
perusahaan.
Harus
terdapat
upaya-upaya
pendahuluan
untuk
menyelamatkan perusahaan sebelum perusahaan dinyatakan pailit.
112
Sutan Remy Syahdeini (II), Op. Cit, hal 55. stakeholder adalah pihak yang berkepentingan dalam suatu perusahaan. Misalnya pemegang saham (shareholder), pekerja (employeers), pelanggan (customer), pemasok (supplies), dan masyarakat (community). Lebih lanjut lihat Christopler et. Al. COLLINS, Kamus Lengkap Bisnis (penerjemah Suarno Santoso, (Jakarta :Erlangga, 1999), hal 554). 113
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
60
d. Tidak adanya perbedaan antara debitor insolven dan solven Persoalan apakah debitor solven dapat dipailitkan dalam UU No 4 Tahun 1998 merupakan suatu kontraversi besar dalam hukum kepailitan saat ini. Di satu sisi, UUK tidak mencantumkan keadaan debitor harus insolven dalam syarat pailit. Artinya, tanpa debitor harus dalam keadaan insolven, asal syarat pailit sebagaimana Pasal 1 ayat (1) Jo. Pasal 6 ayat (3) UUK terpenuhi, maka debitor tersebut dinyatakan pailit. Argumentasi mengapa keadaan debitor insolven tidak diharuskan menjadi syarat pailit adalah tidak boleh ada diskriminasi apapun antara kreditor kecil maupun besar untuk menggunakan lembaga kepailitan. Sejalan tidak adanya diskriminasi pada kreditor, kepailitan juga ditujukan sebagai alat pemaksa tidak saja bagi debitor kecil tetapi juga debitor besar untuk membayar utangnya. Pertanyaan yang muncul terhadap argumentasi ini adalah mengapa debitor yang solven ini tidak membayar lunas pada kreditor kecilnya? Ricardo Simanjuntak adalah salah satu pendukung argumentasi bahwa debitor dalam UUK tidak harus dalam keadaan insolven (dapat saja dalam keadaan solven).Pendapatnya sebagai berikut : 114 “Saya setuju dengan isi Pasal 1 ayat (1) UUK tersebut karena tidak ada alasan bagi debitor untuk tidak melunasi utangnya yang secara hukum telah terbukti dan jatuh tempo, kecuali bila debitor itu semata-mata hendak “gemplang”. Artinya, Undangundang kepailitan sekaligus menjangkau debitor-debitor yang bermental tidak mau membayar utang sebagaimana Pasal 1 ayat (1) UUK ini. Kata bankrupt haruslah dibedakan dengan insolven. Walaupun UUK menyatakan dengan terpenuhinya Pasal 1 ayat (1) UUK seorang debitor dapat dinyatakan bankrupt, UUK belum mengartikan debitor tersebut insolven. Artinya juga, bila debitor tersebut masih mampu dan 114
Ricardo Simanjuntak, “Relevansi Eksekusi Putusan Pengadilan Niaga dalam Transaksi Bisnis Internasional”, Jurnal Hukum Bisnis Vol 22 No. 4 Tahun 2003, hal 8-15.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
61
akhirnya mau melunasi kewajibannya, debitor tersebut mau mengajukan perdamaian kepada para kreditornya, kecuali bila usulan itu ditolak, barulah debitor tersebut dinyatakan insolven. Jika seorang kreditor harus mengetahui keadaan debitornya terlebih dahulu apakah dalam keadan insolven atau solven, justru akan menimbulkan keadaan ketidakpastian hukum. Artinya tidak mungkin bagi kreditor untuk mengetahui apakah debitor tersebut secara tehnikal telah insolven, lebih-lebih bila debitor tersebut merupakan perusahaan tertutup”.
3. Kelemahan UU No. 37 Tahun 2004 a. Tidak adanya Jumlah minimal utang Persyaratan untuk dinyatakan pailit jelas tertuang di dalam Pasal 2 ayat (1) UUK dan PKPU. Namun dalam UU tersebut tidak ada memberikan batasan jumlah minimal utang yang
didalihkan oleh pemohon pailit dan termohon pailit untuk
dijatuhkannya putusan pailit. Hal tersebut tentunya akan menimbulkan celah hukum untuk mengajukan permohonan pailit. Pihak kreditor yang hanya sedikit memiliki piutang terhadap debitor dapat saja memohonkan pailit apabila telah memenuhi syarat dalam UUK dan PKPU, hal ini tentu saja merugikan pihak debitor ataupun kreditor lainnya yang memiliki piutang jauh lebih besar dari pada kreditor pemohon pailit.
b. Tidak adanya insolvensi test Debitor yang masih memiliki kekayaan yang cukup untuk membayar utangutangnya dapat dinyatakan pailit oleh pengadilan karena tidak membayar utang dengan memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUK dan PKPU. Hal ini tentu saja merugikan perusahaan yang masih solven . Akibatnya banyak investor tidak percaya lagi untuk menanamkan investasinya di sini, sehingga mempengaruhi perekonomian
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
62
Indonesia. Di negara-negara common law system, pada umumnya menggunakan cash flow test untuk menyatakan bahwa debitor tersebut solven atau tidak. 115 Terdapat perbedaan tentang pengertian insolvensi dalam pendekatan hukum dan pendekatan ekonomi. Secara ekonomi seorang debitor dikatakan insolvensi apabila asetnya lebih kecil dibandingkan dengan utangnya, namun secara hukum dapat dikatakan insolven meskipun asetnya lebih besar dari utang, apabila debitor tidak membayar utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. 116 Sutan remy berpendapat bahwa seorang debitor dapat diajukan permohonan pernyataan pailit hanya apabila debitor telah berhenti membayar utang-utagnya. Keadaan berhenti membayar haruslah merupakan keadaan yang objektif, yaitu karena keadaan keuangan. Debitor telah mengalami ketidakmampuan membayar utangutangnya. Dengan kata lain, debitor tidak boleh hanya sekedar tidak mau membayar utang-utangnya, tetapi keadaan objektif keuangannya memang telah dalam keadaan tidak mampu membayar utang-utangnya. Untuk menentukan apakah keuangan debitor memang sudah dalam keadaan tidak mampu membayar utang-utangnya, insolvensi harus ditentukan secara objektif dan independen. Hal ini dapat dilakukan berdasarkan financial audit atau financial due diligence yang dilakukan oleh seorang akuntan publik yang imdependen. 117
115 116 117
Munir Fuady, Op. Cit, hal 129. Bismar Nasution dan Sunarmi, Op. Cit, hal 22. Sutan Remy Syahdeini (II), Op. Cit, hal 52.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
63
E. Tahap Fase Insolvensi Untuk masuk ke dalam tahap insolvensi ada dua kemungkinan yaitu : 1. Setelah dinyatakan pailit Perdamaian atau acoord tidak ada defenisi yang jelas. Vollmar menyatakan bahwa akur adalah semua perjanjian antara debitor dan kreditor, dimana diadakan suatu pengaturan untuk melunasi semua tagihan, yang biasanya berupa pengaturan yang menyatakan bahwa dengan membayar sesuatu persentase debitor dibebaskan untuk sisanya. 118 Perdamaian ditawarkan
paling lambat 8 hari sebelum rapat
pencocokan piutang (verifikasi), ada beberapa alternatif atau kemungkinan yang akan dipilih oleh kreditor, yaitu : a. Membayar dalam jumlah tertentu utangnya , namun tidak dalam jumlah keseluruhan. b. Menawarkan accord likuidasi, yakni debitor menyediakan hartanya bagi kepentingan para kreditornya untuk di jual di bawah pengawasan seorang pengawas (pemberes), dan hasil penjualannya dibagi untuk para kreditor. Apabila hasil penjualan itu tidak mencukupi, maka si pailit dibebaskan dari membayar sisa yang belum terbayar. c. Menawarkan untuk meminta penundaan pembayaran dan diperbolehkan mengangsur utangnya untuk beberapa waktu.
118
Siti Soemarti Hartono, Pengantar Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran, (Yogyakarta :Seksi Hukum Dagang Fak. Hukum, 1981), hal 57.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
64
Accord dapat diterima dalam rapat verifikasi apabila disetujui dalam rapat kreditor oleh lebih dari ½ jumlah kreditor kongkuren yang hadir dalam rapat dan yang haknya diakui atau untuk sementara diakui, yang mewakili paling sedikit 2/3 dari jumlah seluruh piutang kreditor kongkuren yang diakui atau untuk sementara diakui yang hadir pada saat rapat tersebut. 119 Accord yang sudah diterima, supaya mempunyai kekuatan hukum harus disahkan oleh hakim (yang disebut dengan homologasi). Sebaliknya tidak tercapainyai perdamaian, membuat debitor dengan sendirinya pada tahap insolvensi. Keadaan insolvensi terjadi dengan sendirinya tanpa putusan hakim apabila : a. Dalam rapat pencocokan utang tidak ditawarkan accord b. Ada accord tetapi tidak disetujui oleh rapat verifikasi c. Ada accord yang sudah disetujui oelh rapat verifikasi, tetapi tidak mendapat homologasi dari hakim pemutus kepailitan. d. Ada accord yang sudah dihomologasi, tetapi ditolak oleh hakim banding.
2. Melalui PKPU Debitor yang tidak dapat atau memperkirakan tidak akan dapat melanjutkan pembayaran utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih dapat memohon PKPU dengan maksud mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kreditor. 120
119 120
Pasal 151 UUK dan PKPU. Pasal 222 ayat (2) UUK dan PKPU
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
65
Rencana perdamaian akan diajukan dan disetujui pada suatu rapat para kreditor yang ditentukan oleh hakim pengawas. Rencana tersebut hanya akan diterima berdasarkan suara setuju lebih dari ½ kreditor yang hadir dan mewakili 2/3 paling sedikit dari seluruh tagihan yang diakui baik terhadap kreditor kongkuren maupun kreditor pemegang hak jaminan fidusua, gadai, hak tanggungan, hipotik atau hak agunan atas kebendaan lainnya. 121 Rencana tersebut mengikat kepada seluruh kreditor, baik yang setuju maupun kreditor yang tidak setuju terhadap perdamaian. Debitor dan kreditor bebas untuk menyetujui syarat pembayaran apapun yang mereka pilih. Karena UUK dan PKPU tidak mengatur persyaratan sehubungan dengan isi perdamaian. Apabila, dalam waktu 270 hari setelah putusan pembayaran sementara diucapkan; (i) rencana perdamaian tersebut tidak diterima oleh para kreditor, atau (ii) perdamaian tersebut tidak disahkan oleh Pengadilan Niaga, atau (iii) tidak ada persetujuan apapun yang telah dicapai, hakim pengawas akan memberitahukan pengadilan niaga kemudian harus menyatakan debitor pailit. Dalam keadaan inilah debitor masuk dalam fase insolvensi
F. Pemberesan Harta pailit Setelah debitor memasuki fase insovensi, maka debitor memasuki fase terakhir yaitu suatu keadaan, dimana harta pailit (boedel) harus di jual lelang di muka
121
Pasal 229 ayat (1) UUK dan PKPU.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
66
umum. 122 Hasil penjualan lelang tersebut akan dibagi-bagi kepada kreditor sesuai jumlah tagihannya yang diakui dalam rapat verifikasi. Tindakan yang dilakukan oleh kurator/Balai harta peninggalan yang menyangkut pemberesan harta pailit meliputi : Melakukan pelelangan atas harta debitor pailit dan melakukan penagihan terhadap piutang-piutang debitor yang mungkin ada di tangan pihak ketiga. Melanjutkan
pengelolaan
perusahaan
debitor
pailit
apabila
dipandang
menguntungkan. Pengelolaan itu harus mendapat persetujuan hakim pengawas. Membuat daftar pembagian yang berisi jumlah uang yang diterima dan dikeluarkan selama kepailitan. Nama-nama kreditor dan jumlah tagihan yang disahkan, pembayaran yang akan dilakukan terhadap tagihan tersebut. Melakukan pembagian atas seluruh harta debitor pailit yang telah dilelang atau diuangkan itu. Mengenai pembagian hasil pelelangan harta debitor pailit, kurator/Balai Harta Peninggalan harus memperhatikan kedudukan masing-masing kreditor. Kreditor yang mempunyai hak yang istimewa, haknya didahulukan pelunasan piutangnya secara penuh. Setelah itu dilanjutkan dengan pelunasan terhadap tagihan-tagihan terhadap pemegang hipotik dan gadai. Setelah pemegang hak istimewa memperoleh pelunasan, barulah dilanjutkan dengan pembagian terhadap kreditor kongkuren sesuai dengan perimbangan jumlah piutang masing-masing. Dengan selesainya pembagian terhadap seluruh harta debitor pailit kepada para kreditornya, maka berakhirlah kepailitan. 122
Pasal 185 ayat (1) UUK dan PKPU
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
67
BAB III PENENTUAN STANDAR INSOLVENSI DALAM KEPUTUSAN KEPAILITAN DI PENGADILAN NIAGA
D.
Menurut Faillissmentsverordening Beberapa putusan yang diteliti khususnya Pengadilan Negeri menafsirkan
tentang “berhenti membayar” adalah tidak sanggup lagi membayar utang-utangnya. Tanpa mempersoalkan apakah berhenti membayar itu sudah didahului pembayaran atau tidak pernah membayar. Walaupun demikian terdapat beberapa putusan yang menerapkan konsep berhenti membayar yang terlebih dahulu dimulai dengan membayar dan kemudian terhenti. 1. Putusan Pengadilan Negeri I Bandung No. 231/250/71/D/Bdg Tertanggal 27 Juli 1972 123 Antara Oeij The Twan alias Oeij Soeij Twan sebagai termohon (debitor) vs. Ateng Mulia, Oeij Se Tjoen, A. Tokin Sasmita, dan Itok Setiawan sebagai Pemohon (Kreditor). a. Duduk Perkara Debitor mempunyai hutang yang telah dapat ditagih atau (opeisbare schulden) kepada kepala kreditor yaitu Ateng Mulia Rp. 740.000,- , Oeij Se Tjoen Rp. 500.000,- , A. Tokin Sasmita Rp. 547.000,-.
123
Putusan Pengadilan Negeri I Bandung No. 231/250/71/D/Bdg Tertanggal 27 Juli 1972 (Victor Situmorang dan Hendri Soekarso, Op. Cit, hal 115.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
68
Pihak debitor masih sanggup dan bersedia untuk membayar utang-utang tersebut, akan tetapi tidak dapat dilakukan sekarang oleh karena belum tersedianya uang, dan meminta untuk melakukan pembayaran utang secara mencicil. Hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak namun tidak berhasil, dan pihak kreditor tetap pada keinginannya semula untuk memohon pailit pihak debitor.
b. Pertimbangan Hakim PN. Niaga Berdasarkan Pasal 1 angka 1 dan angka 2 dari Faillissement Verordening, permohonan untuk dinyatakan pailit dapat diajukan atas permintaan sendiri atau permintaan dari seorang atau lebih kreditor atau atas tuntutan jaksa demi kepentingan umum. Sedangkan menurut Pasal 11 angka 1 dari Peraturan Darurat tentang Faillisement 1947 pernyataan pailit dilakukan oleh hakim biasa sehari-hari dari tempat kedudukan BHP, dalam daerah hukum dimana tempat atau daerah yang dimaksud oleh Pasal 2 dan Pasal 3 Faillisement Verordening. Dalam hal ini Pengadilan Negeri Bandung dinyatakan berwenang memeriksa dan mengadili perkara ini dan serta permohonan pemohon dapat diterima. Bahwa debitor mempunyai utang yang telah dapat ditagih kepada Ateng Mulia Rp. 740.000,- , Oeij Se Tjoen Rp. 500.000,- , A. Tokin Sasmita Rp. 547.000,-. Bahwa kreditor mendalilkan bahwa debitor tidak mau membayar utang-utangnya tersebut hingga sekarang, sedangkan debitor dalam pembelaan menyatakan kesediaannya untuk membayar utang-utangnya kepada kreditor hanya saja tidak pada waktu sekarang karena belum tersedianya uang.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
69
Bahwa pernyataan keadaan pailit menurut Pasal 1 jo Pasal 6 angka 5 mengenai pembuktian sederhana terhadap keadaan berhenti membayar tidak terbukti. Oleh karena itu hakim menolak bukti-bukti dalam perkara tersebut dan menyatakan menolak tuntutan para pemohon tersebut
c. Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung Bahwa putusan judex facti Pengadilan Niaga dinilai salah dalam menerapkan hukum dalam perkara ini, sehingga putusan judex facti tersebut harus dibatalkan, selanjutnya Majelis Hakim Agung akan mengadili sendiri perkara ini, dengan pertimbangan hukum yang intisarinya sebagai berikut : Bahwa debitor mempunyai utang kepada Ateng Mulia Rp. 740.000,- , Oeij Se Tjoen Rp. 500.000,- , A. Tokin Sasmita Rp. 547.000,-, dan debitor menyatakan bahwa belum bisa membayar pada waktu itu karena belum ada uang. Istilah berhenti membayar dalam Pasal 1 Faillissement Verordening harus diartikan Naar De Letter artinya yang bersangkutan berhenti sama sekali untuk membayar, melainkan bahwa yang bersangkutan pada waktu diajukan permohonan pailit berada dalam keadaan tidak dapat membayar utang tersebut. Oleh karena debitor berada dalam keadaan tidak dapat membayar, maka permohonan ini harus dikabulkan dan membatalkan putusan Pengadilan Negeri Bandung tersebut.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
70
d. Analisis Kasus Bahwa usaha hakim untuk mendamaikan kedua belah pihak tidak berhasil, sehingga hakim melanjutkan untuk memeriksa dam mengadilinya merupakan tindakan yang tepat. Untuk menyatakan dalam keadaan pailit menurut Pasal 1 Faillissement Verordening, diharuskan adanya fakta-fakta atau keadaan yang menunjukkan debitor sebagai orang yang berhutang berada dalam keadaan berhenti untuk membayar, selanjutnya Pasal 6 angka 5 Faillissement Verordening, diserahkan sepenuhnya kepada hakim untuk menilainya. Dilihat dari adanya etikad baik dari debitor, bahwa debitor selalu hadir dalam persidangan dan menyatakan kesanggupannnya untuk membayar utang-utangnya kepada kreditor secara mencicil. Seharusnya peraturan kepailitan memberikan perlindungan hukum kepada debitor yang beritikad baik untuk membayar utangnya.
2. Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 2/Pdt. Pailit/1987/PN.Medan, Tanggal 12 Desember 1987 : 124 Antara Djafar Djiawi alias Akang sebagai pemohon (debitor) vs. Toko Sinar Baru dan Toko Saudara (kreditor)
124
Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 2/Pdt. Pailit/1987/PN.Medan, Tanggal 12 Desember 1987, Ibid, hal 120.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
71
a. Duduk perkaranya : 1) Permohonannya ini adalah voluntary petition yang diajukan oleh Djafar Tjiawi alias Akang beralamat di Medan, dengan alasan bahwa pemohon mempunyai beberapa utang. Dan beberapa bulan terakhir sudah dalam keadaan berhenti membayar dan tidak sanggup lagi membayarnya kepada kreditor; 2) Bahwa usaha dagang yang dilakukan oleh pemohon selama ini adalah dagang alat-alat bangunan yang diambil dari para kreditor di Medan dengan pembayaran giro-giro gantung yang diundurkan tanggal pembayarannya dan dengan bon-bon pengambilan barang; 3) Bahwa barang-barang tersebut pemohon jual melalui Toko Harapan Baru Medan; 4) Bahwa jumlah seluruh utang pemohon kepada kreditor tersebut adalah sebesar Rp. 104.359.161,- (seratus empat juta tiga ratus lima puluh sembilan ribu seratus enampuluh satu rupiah)
b. Pertimbangan Hakim PN. Niaga Sebelum
memberikan
putusannya
Pengadilan
Negeri
Medan
telah
memberikan pertimbangan hukumya antara lain bahwa pemohon telah beberapa kali membayar utang-utangnya kepada para kreditor. Kepada Toko Saudara dilakukan pembayaran pada bulan Juni 1987, kepada Toko Sinar Baru pada mulanya pembayar lancar, tetapi kemudian terhenti. Demikian juga terhadap kreditor-kreditor lainnya.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
72
Pengadilan juga mempertimbangkan itikad baik pemohon yang telah membayar sebagian utang pemohon dan kesedian pemohon untuk berdamai dengan para termohon, dengan menawarkan 15% dari jumlah utang pemohon. Akhirnya pengadilan mengabulkan permohonan pemohon dengan amar putusan sebagai berikut : a. Mengabulkan permohonan pemohon; b. Menyatakan pemohon Djafar Djiawi alias Akang (Toko Harapan Baru) alamat Jl. Gatot Subroto Medan, berada dalam keadaan pailit/berhenti membayar; c. Mengangkat Asmar Ismail, Hakim pada Pengadilan Negeri Medan tersebut sebagai Hakim Komisaris; d. Membebankan ongkos perkara kepada pemohon sebesar Rp. 31.000,- (tiga puluh satu ribu rupiah).
c. Analisis Hukum Pentingnya “keadaan berhenti membayar utang” diterapkan secara benar dalam arti bahwa debitor sudah pernah membayar utang tetapi terhenti adalah untuk menghindari kemungkinan itikad buruk dari debitor. Lebih-lebih permohon pailit itu berupa voluntary petition. Hal yang pernah dikemukakan oleh Retnowulan Sutantio cukup beralasan. Retno mengkhawatirkan debitor itu sebelumya telah membuat
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
73
sebanyak-banyaknya utang tetapi tidak pernah membayarnya, lalu debitor mengajukan permohonan pailit untuk menghindari penagihan utang oleh kreditor. 125 Permohonan pailit yang diajukan debitor pada masa Faillissment verordening lebih banyak dilakukan dibandingkan kreditor untuk mengatasi permasalahan utang piutang debitor itu sendiri. Hal ini menunjukan bahwa debitor menginginkan dirinya dinyatakan pailit dan hukum kepailitan disalahgunakan oleh debitor untuk kepentingan dirinya sendiri dengan merugikan para kreditornya. Akan tetapi apabila debitor sebelum mengajukan permohonan pailit sudah pernah membayar utangnya, maka pihak kreditor seharusnya menganggap debitor beritikad baik, kecuali dapat dibuktikan hal yang sebaliknya. Dapat juga terjadi bahwa debitor tidak membayar utangnya disebabkan kreditor juga mempunyai utang kepada debitor. Hal ini bisa saja terjadi dalam perjanjian timbal-balik, sehingga penyelesaian masalah ini lebih tepat dibawa ke Pengadilan Umum. Sebab pada Pengadilan Umum lebih terbuka asas audio et alteram partum.
E.
Menurut UU No. 4 Tahun 1998
1. Putusan Pengadilan Niaga No. 10/Pailit/PN.Jakpus/2000 Tanggal 13 Juni 2002 antara PT. Dharmala Sakti Sejahtera (PT. DSS) Vs. PT. Asuransi Jiwa Manulife Indonesia (PT. AJMI).
125
Sutan Remy Sjahdeini, Op. Cit, hal 122
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
74
a. Duduk Perkaranya : 1) Seputar dari Pemohon Pailit a) Termohon Pailit (PT. AJMI) mempunyai utang kepada pemohon pailit yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Pemohon pailit adalah Paul Sukran, SH, selaku kurator PT. DSS yang telah dinyatakan pailit sebelumnya (berdasarkan putusan pailit Pengadilan Niaga Jakarta Pusat No. 10/Pailit/PN.Jakpus/2000 tanggal 6 Juni 2000). Selaku kurator tentunya Paul Sukran bertugas untuk melakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit serta berusaha untuk mengumpulkan semua harta kekayaan yang dimiliki oleh PT. DSS, termasuk juga dalam upaya memaksimalkan budel pailit tersebut, tak lain untuk kepentingan para kreditornya, sehingga para kreditornya ddapat memperoleh bagian yang maksimal dari pembagian budel pailit. Salah satu upaya dalam mengumpulkan dan memaksimalkan budel pailit tersebut, maka pemohon melakukan penagihan kepada termohon, yaitu PT. AJMI sehubungan dengan adanya kewajiban PT. AJMI untuk membayar deviden (tahun buku 1999) berikut bunganya kepada PT. DSS selaku pemegang saham 40% PT. AJMI (tahun buku 1999), sejauh PT. AJMI memperoleh surplus untuk dibagikan kepada pemegang saham (untuk tahun buku 1999), karena memenuhi atau didasarkan pada hal-hal berikut : a) Dalam pasal X, Akta Perjanjian Usaha Patungan tertanggal 10 Juni 1998, telah disepakati bahwa :
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
75
“sejauh perusahaan memperoleh laba dan telah mendapatkan suatu surplus untuk dibagikan kepada para pemegang saham untuk tahun pembukuan perusahaan yang manapun (sebagaimana yang dapat dilihat dari laporan keuangan yang telah di audit sehubungan dengan tahun pembukuan yang bersangkutan), semua pihak akan mengatur agar perusahaan (PT. AJMI) membayar deviden sedikitnya sama dengan 30% dari jumlah surplus yang melebihi Rp. 100.000.000,- (seratus juta) secepat mungkin dianggap praktis setelah laporan demikian dibuat”. b) Kemudian dalam Pasal VI Akta Perjanjian Usaha Patungan tersebut mengenai kepemilikan saham PT. AJMI menyatakan : …Setelah tanggal perolehan, maka pemilikan saham PT. AJMI akan menjadi sebagai berikut : 1). PT. AJMI
: 51% atau 2.295 lembar saham
2). PT. DSS
: 40% atau 1.800 lembar saham
3 ). IFC
: 9% atau 405 lembar saham
c) Berdasarkan laporan keuangan PT. AJMI (untuk tahun buku 1999), telah memperoleh surplus keuntungan sebesar Rp. 186.306.000.000,Berdasarkan jumlah surplus keuntungan, keuntungan Pasal X dan Pasal VI Akta Perjanjian Usaha Patungan tersebut, maka pembayaran deviden beserta bungabunganya adalah sebagai berikut : a). Deviden yang harus dibagikan kepada para pemegang saham PT. AJMI sebesar 30% X Rp. 186.306.000.000,- yaitu Rp. 55.891.800.000,b). Deviden untuk PT. DSS menjadi sebesar 40% X Rp. 55.891.800.000,- yaitu Rp. 22. 356.720.000,-
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
76
c). Bunga yang belum dibayarkan, terhitung sejak tanggal I Januari 2000 sampai dengan 30 April 2002 (2 tahun 4 bulan) dengan perhitungan bunga sebesar 20% pertahun Rp. 10.433.136.000,Sehingga total kewajiban PT. AJMI kepada pemohon pailit sebesar 32.789.856.000,-. Pembayaran deviden tersebut belum dilaksanakan oleh PT. AJMI sampai saait ini walaupun telah ditegur oleh pemohon, dan oleh karenanya PT. AJMI mempunyai utang kepada PT. DSS yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. b) Termohon Pailit (PT. AJMI) mempunyai utang kepada kreditor lain selain pemohon, PT. AJMI mempunyai utang kepada Eddy Salomon, Alaydrus, Kantor Pelayanan Pajak (KPP Menteng) dan utang klien.
2). Bantahan dari termohon pailit 1. PT. AJMI tidak memiliki utang kepada pemohon pailit Sebaliknya, termohon pailit (PT. AJMI) menganggap utang itu tidak ada karena tidak ada kewajiban PT. AJMI untuk melaksanakan pembayaran deviden tahun buku 1999 kepada seluruh pemegang saham. Hal ini didasari oleh hal-hal berikut : a. Dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) tanggal 17 Februari 2000 telah diputuskan bahwa :
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
77
Mengenai deviden “…..diluar lingkup permasalahan sampai telah dicapai tingkat Risk Base capital (RBC) yang memuaskan 126 …..” (dimana PT. DSS juga hadir untuk menghadirinya. b. Pembagian bukanlah kewenangan dari termohon pailit melainkan harus diputuskan terlebih dahulu dalam RUPS sesuai dengan Pasal 62 ayat (1) Undang-undang No. 1 tahun 1995 tentang Perseroan terbatas (UU PT), yang berbunyi : “penggunaan laba bersih termasuk penentuan jumlah penyisihan untuk cadangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) diputuskan oleh (RUPS)”. c. Bahwa Anggaran Dasar Perseroan pun telah mengatur dengan tegas bahwa yang brhak menentukan tentang deviden yang harus dibagikan adalah RUPS, bukan PT. AJMI. Hal ini jelas tertera dalam Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor C-8264.HT.01.04.TH.99, tambahan Berita Negara RI tanggal 28 September 1999 No. 78, dalam Pasal 23 ayat a(1) Anggaran Dasar Perseroan Terbatas yang berbunyi : “Laba bersih perseroan dalam suatu tahun buku seperti tercantum dalam neraca dan perhitungan laba-rugi yang telah disahkan oleh Rapat Umum Pemegang Saham tahunan, dibagi menurut cara penggunaannya yang ditentukan oleh rapat tersebut”. 126
Tingkat RBC atau solvabilitas bagi perusahaan asuransi sekurang-kurangnya 120% dari resiko kerugian yang mungkin timbul sebagai akibat dari deviasi dalam pengelolaan kekayaan dan kewajiban; Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 481/KMK.017/1999, Pasal 2 ayat (1).
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
78
d. Sehubungan dengan munculnya pihak ketiga, yaitu perusahaan yang bernama Roman Gold Asset (RGA) yang menyatakan dirinya sebagai pemilik saham baru milik pemohon pailit atau debitor (PT. DSS) berarti masih menjadi sengketa siapakah yang menjadi pemilik saham debitor sebenarnya? Apakah PT. DSS ataukah RGA? Berdasarkan keputusanRUPS yang menyatakan bahwa masalah deviden menunggu sampai tercapainya tingkat RBC yang memuaskan, dan masih adanya sengketa kepemilikan saham antara pemohon pailit dengan pihak ketiga maka permohonan ini menuntut pembuktian yang tidak sederhana, dan PT. AJMI tidak berwenang dan tidak berlewajiban untuk membayarkan deviden tersebut kepada para pemegang saham termasuk PT. DSS.
2. Permohonan pailit masih prematur karena pemohon pailit belum mendapat ijin dari hakim pengawas Dalam jawabannya PT. AJMI juga menyatakan bahwa permohonan pailit masih prematur karena pemohonan pailit selaku kurator PT. DSS (dalam pailit) belum mendapat ijin dari hakim pengawas. Hal ini secara jelas diatur dalam Pasal 67 ayat (5) UU No. 4 tahun 1998, yang berbunyi : “Untuk menghadap di muka pengadilan, kurator harus terlebih dahulu mendapatkai izin dari hakim pengawas, kecuali menyangkut sengketa pencocokan piutang atau dalam hal-hal yang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, Pasal 38, Pasal 39, dan Pasal 57 ayat (2)”.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
79
b. Pertimbangan Hakim PN. Niaga dalam Putusan Bahwa untuk menyatakan seorang debitor pailit haruslah memenuhi ketentuan Pasal 1 ayat (1) UUK. Dari Pasal 1 ayat (1) UUK tersebut maka terdapat unsur-unsur pokok yang harus dibuktikan dalam setiap permohonan pailit, dan unsur-unsur yang dimaksud adalah : 1. Debitor mempunyai dua atau lebih kreditor 2. Debitor tidak membayar sedikitnya dua utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. 1. Mengenai apakah adanya utang yang jatuh tempo dan dapat ditagih Terdapat fakta hukum (berdasarkan Psal VI Perjanjian Usaha Patungan tertanggal 10 Juni 1998) bahwa pemohon pailit adalah pemegang saham atas termohon pailit sebesar 40%. Sebagai pemegang saham, maka (menurut Pasal 46 UU PT) berhak untuk menerima pembagian deviden. Tentang pembagian deviden ini diatur dalam Pasal 23 ayat (1) Anggaran Dasar termohon pailit (PT. AJMI), yang berbunyi : “Laba bersih perseroan dalam suatu tahun buku seperti tercantum dalam neraca dan perhitungan laba rugi yang telah disahkan oleh RUPS tahunan, dibagi menurut cara penggunaannya yang ditentukan oleh rapat tersebut.” Berdasarkan Pasal 23 ayat (1) di atas maka untuk menentukan adanya laba bersih perusahaan dalam satu tahun harus ada neraca dan perhitungan laba rugi yang disahkan oleh RUPS dan cara penggunaannya ditentukan juga oelh RUPS.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
80
PT. AJMI juga tidak membantah adanya laba yang didapat pada tahun 1999 sebesar Rp. 186.306.000.000,- dan semestinya menurut Pasal X Perjanjian Usaha Patungan tersebut, jika perusahaan memperoleh laba dan telah mendapat suatu surplus, dibagikan kepada pemegang saham untuk tahun pembukuan perusahaan, maka semua pihak akan mengatur perusahaan membayar deviden sedikit-dikitnya sama dengan 30% dari jumlah surplus yang melebihi Rp. 100.000.000,- secepatnya dianggap praktis setelah laporan tahunan demikian dibuat. Berdasarkan hal-hal diatas, maka pembagian deviden tersebut disyaratkan atau atas dasar : a. Laporan keuangan yang telah di audit. b. Adanya laba sekurang-kurangnya 30% dari jumlah surplus yang melebihi 100.000.000,c. Dibayarkan secepatnya setelah laporan keuangan tersebut dibuat. Berdasarkan pertimbangan tersebut diatas maka terdapat fakta bahwa pemohon sebagai pemegang sahamsebesar 40% belum dibayarkan, sehingga terbukti bahwa PT. AJMI mempunyai utang kepada pemohon. Bahwa deviden itu seharusnya dibayarkan pada Tahun 1999, dan dengan telah dilakukan somasi oleh pemohon, maka utang tersebut telah jatuh tempo dan dapat ditagih. 2. Mengenai kreditor Lainnya Karena telah terbukti bahwa deviden yang seharusnya dibagi secepatnya setelah laporan keuangan dibuat yaitu pada tanggal 31 Desember 1999 kepada para
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
81
pemegang saham, maka sebagai pemegang saham lainnya yaitu IFC (International Finance Corporation) turut menjadi kreditor lain. 3. Mengenai izin dari hakim pengawas Bahwa untuk menghadap di muka pengadilan kurator harus terlebih dahulu mendapat izin dari hakim pengawas (Pasal 67 ayat (5) UUK), akan tetapi berdasarkan Pasal 70 UUK, tidak adanya kuasa dari hakim pengawas dalam hal-hal mana kuasa itu diperlukan atau tidak diindahkan ketentuan-ketentuan yang termuat dalam Pasal 75 dan Pasal 76 tidak mempengaruhi sahnya perbuatan yang dilakukan oleh kurator.
4. Mengenai pembuktian sederhana Terhadap termohon yang menyatakan perkara ini menuntut pembuktian yang tidak sederhana beralasan untuk ditolak dengan pertimbangan eksepsi tersebut sudah menyangkut pokok perkara karena tugas majelislah yang akan menilai dari bukti yang diajukan apakah pembuktian utang termohon dapat dibuktikan dengan mudah melalui alat-alat bukti yang ada di persidangan. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan diataslah permohonan pemohon pailit telah memenuhi ketentuan Pasal 1 UUK, sehingga Majelis Hakim Pengadilan Niaga memutuskan : mengabulkan permohonan pemohon dan menyatakan PT. AJMI pailit. Termohon PT. AJMI, menolak putusan pengadilan niaga tersebut dan bersama-sama dengan kreditor lain, yaitu : Hill & Associates, PT. Indo Pacific, dan
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
82
Soemadipradja & Taher DKK mengajukan permohonan pemeriksaan kasasi dengan masing-masing mengemukakan keberatan kasasi dalam memori kasasi.
c. Pertimbangan Majelis Mahkamah Agung dalam Putusan Bahwa putusan judex facti-Pengadilan Niaga dinilai salah dalam menerapkan hukum dalam perkara ini, sehingga putusan judex facti tersebut harus dibatalkan, selanjutnya Majelis Hakim Agung akan mengadili sendiri perkara ini, dengan pertimbangan hukum yang intisarinya sebagai berikut : Kurator dalam melakukan pengurusan dan/atau pemberesan harta pailit, atau untuk menghadap di muka pengadilan, maka ia harus terlebih dahulu mendapat izin dari hakim pengawas ex Pasal 67 ayat (5) UUK. Oleh karena itu tidak dilakukan oleh kurator, dan ternyata tidak ada izin dari hakim pengawas, maka tindakan hukum kurator PT.DSS yang mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap PT. AJMI adalah tidak sah. Dalam perkara ini, kurator tersebut tidak mempunyai kapasitas, selaku pemohon pailit. Karena itu permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh kurator tersebut sebagai pemohon harus dinyatakan ditolak oleh pengadilan. Pemeriksaan terhadap perkara ini tidak dapat dilakukan secara sederhana seperti yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) UUK, karena harus dibuktikan terlebih dahulu fakta : a. Apakah ada deviden tahun 1999
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
83
b. Apakah terhadap deviden tersebut, pihak RUPS telah memerintahkan untuk dibagikan. c. Apakah pembagian tersebut sesuai dengan ketentuan RUPS. dalam perkara ini meskipun laba bersih tahun 1999 dalam perhitungan neraca laba-rugi telah disahkan RUPS tanggal 17 februari 2000 (bukti T.5.a dan bukti T.5.b) akan tetapi RUPS menegaskan pembayaran deviden dimasa mendatang adalah sampai telah tercapai tingkat RBC tingkat solvabilitas perusahaan dan telah memenuhi ketentuan dana cadangan yang ditentukan oleh Menteri Keuangan untuk perusahaan asuransi. RUPS masih akan menentukan besarnya deviden bila terpenuhi hal diatas. Dengan demikian maka Pasal 62 ayat (2) dari UU PT, masih belum dapat diterapkan dalam kasus ini. Disamping itu, masih ada sengketa antara PT. DSS dengan perusahaan RGA mengenai kepemilikan saham, karena RGA mengklaim bahwa saham PT. DSS adalah milik RGA. Dari permasalahan hukum diatas, ternyata pembuktian dalam perkara ini adalah tidak sederhana, sehingga pemeriksaan perkara ini harus dilakukan melalui “gugatan perdata” pada Pengadilan Negeri bukan melalui permohonan kepailitan kepada Pengadilan Niaga. Atas pertimbangan tersebut, Majelis Hakim Agung memberi putusan yang menyatakan : 1. Mengabulkan permohonan kasasi dari para pemohon yaitu PT. AJMI, Hill & Associates….Cs.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
84
2. Membatalkan Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat No. 10/Pailit/2002/PN. Niaga.Jkt.Pusat. 3. Menolak permohonan pernyataan pailit dari pemohon Paul Sukran, SH selaku Kurator PT.DSS.
d. Analisis Hukum Tuntutan dari pemohon pailit adalah adanya pembagian deviden yang dianggap pemohon pailit sebagai utang dari termohon pailit kepadanya. Namun, apa yang dituntut tersebut dibantah oleh PT. AJMI dengan alasan bahwa : a. Dalam RUPS tanggal 17 Februari 2000 telah diputuskan bahwa : Mengenai deviden “…..diluar lingkup permasalahan sampai telah dicapai RBC yang memuaskan …..” (dimana PT. DSS juga diundang untuk mengadirinya) b. Pembagian deviden bukanlah kewenangan dari PT. AJMI melainkan harus diputuskan terlebih dahulu oleh RUPS (Pasal 62 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas). c. Anggaran Dasar juga mengatur tentang pembagian deviden melalui RUPS bukan PT. AJMI. d. Munculnya pihak ketiga yaitu perusahaan Roman Gold Asset yang menyatakan pemilik saham baru atas saham milik PT. DSS.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
85
Dengan demikian, kasus PT. AJMI, tidak memenuhi syarat pailit menurut UUK, karena keberadan utang PT. AJMI tidak terbukti secara sederhana sebagaimana yang disyaratkan Pasal 1 ayat (1) jo. Pasal 6 ayat (1) UUK. Kurator PT. DSS selaku pemohon pailit untuk melakukan pengurusan dan pemberesan atau perbuatan hukum harus mendapat izin terlebih dahulu dari hakim pengawas. Dalam hal ini kurator belum mendapat izin dari hakim pengawas untuk mengajukan permohonan pailit dan menghadap di muka pengadilan. Tentunya ini bertentangan dengan Pasal 67 ayat (5) UUK. Maka seharusnya permohonan pailit tidak sah dan harus ditolak. Kurator (Kalisutan, SH) yang ditunjuk oleh Majelis Hakim PN. Niaga dalam putusan pailitnya PT. AJMI ternyata telah keluar dari Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI). Padahal berdasarkan Pasal 7 jo. Pasal 6 ayat (1) Surat Keputusan Menteri Kehakiman No. M.08-HT.05.10 Tahun 1998, kurator yang ditunjuk harus masih aktif di AKPI, maka penetapan kurator(Kalisutan, SH) dalam putusan tersebut adalah suatu kesalahan. Masalah insolvensi atau tidaknya PT. AJMI tidak menjadi dasar pertimbangan bagi hakim dalam memutuskan perkara ini. Berdasarkan hasil laporan PT.AJMI yang dikeluarkan oleh Dirjen Lembaga Keuangan sebagai Pembina dan Pengawas Industri Asuransi, menyatakan PT. AJMI sehat dan dapat membayar kewajibannya, namun Judex Facti tetap mempailitkan PT. AJMI. Putusan tersebut dinilai pemerintah Kanada tidak memberikan kepastian hukum berinvestasi di Indonesia. Para hakim seharusnya tidak hanya berpedoman kepada Undang-undang saja, tetapi hakim
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
86
bertindak secara aktif sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 28 UU No. 4 ayat (1) Tahun 2004 tentang kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa : ” Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Ketentuan yang dimaksud bertujuan agar putusan hakim sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Sebaliknya mengenai kasus tersebut, solven atau tidaknya suatu perusahaan menjadi dasar pertimbangan hukum untuk dinyatakan pailit tidaklah penting. Apabila terpenuhinya syarat-syarat pailit yang tertera dalam Pasal 1 ayat (1) jo. Pasal 6 ayat (1) UUK menjadi dasar hakim untuk mengabulkan permohonan pailit. Mengenai insolvensi test yang diharapkan ada untuk melindungi perusahaan yang solven tidaklah begitu diperlukan, karena dalam proses kepailitan pemohon dan termohon dapat mengajukan bukti-bukti sebagai bahan pertimbangan hakim. 127 Insolvensi test merupakan kriteria internasional yang dianut oleh negara common law yang pembuktiannya dilakukan dengan memeriksa aktiva dan pasiva perusahaan yang dimohonkan pailit dan keputusan pernyatan pailit terletak pada juri persidangan. Sedangkan negara Indonesia, yang menganut sistem Eropa Kontinental. Setiap hakim mempunyai pilihan, apabila berbicara tentang kepastian hukum maka penerapan Undang-undanglah yang menjadi dasar pertimbangan hakim. Namun apabila berbicara masalah keadilan, maka kepastian hukum tidaklah dapat dijalankan. Keadilan bersifat relatif, dan hakim harus memilih apakah memberikan kepastian
127
Hasil Wawancara dengan Hakim Pengadilan Niaga Medan Bpk. Rukman Hadi, SH, Pada tanggal 20 Agustus 2007.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
87
hukum atau memberikan rasa keadilan. Pasal 1 ayat (1) UUK dianggap tidak memenuhi rasa keadilan apabila dijalankan untuk memberikan kepastian hukum, seharusnya persyaratan tersebut diperjelas oleh pembuat Undang-undang sehingga memberikan kepastian hukum dan keadilan. 128
2. Putusan Pengadilan Niaga N0. 13/Pailit/20004/PN. Niaga Antara Mr. Lee Bon SiongVs. Prudential Life Assurance. a. Duduk Perkara : Mr. Lee Bong Siong, WNA-Malaysia mempunyai kegiatan bisnis di Indonesia sebagai konsultan jasa asuransi dan keagenan. Pada 1 Juli 2000, Mr. Lee Bong Siong menandatangani kontrak bisnis dengan PT. Prudential Life Assurance (PT. PLA) di Jakarta yang dituangkan dalam “Perjanjian Keagenan” yang disebut “Pionering Agency Bonus Agreement”, tanggal 1 Juli 2000. dalam perjanjian keagenan tersebut, telah disepakati bersama antara lain : “Dalam klausula 1 ditentukan bahwa PT. PLA setuju membayar PAB (bonus agen perintis) kepada konsultan berdasarkan syarat-syarat dan kondisi yang diatur dalam Pasal 3 dan 4 perjanjian ini”. Inti perjanjian keagenan tersebut, Konsultan Mr. Lee Bong Siong berkewajiban memasarkan produk asuransi dari PT. PLA dan ia berhak memperoleh bonus dari PT. PLA setelah mencapai suatu target.
128
Ibid.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
88
Mr. Lee Bong Siong, konsultan berpendirian bahwa ia telah bekerja dan mencapai target yag ditentukan dalam “perjanjian keagenan”, berupa perekrutan agency leader lebih dari 100 agen. Sehingga menurut Mr. Lee Bong Siong, ia berhak atas bonus rekrutment sebesar 3% dari premi dan bonus konsistensi sebesar 1% dari premi pada tahun pertama pada priode Juli 2002 sampai dengan Juli 2003 sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 “perjanjian keagenan”, yaitu sebesar : Bonus pencapaian target
= Rp. 4.295.777.163,-
Bonus Rekrutment
= Rp. 4.295.777.163,-
Bonus Konsistensi
= Rp. 1.431.925.721,-
Jumlah seluruhnya
= Rp. 10.023.480.047,-
Ternyata PT. PLA masih belum membayar kewajiban tersebut di atas kepada Mr. Lee Bong Siong, bahkan biaya perjalanan (travel allowance) sebesar Rp. 130.228.800,- juga belum dibayar. Semua utang PT.PLA telah jatuh tempo dan dapat ditagih, PT. PLA yang belum membayar kewajibannya tersebut, bahkan pada tanggal 20 Januari 2004, telah memutuskan secara sepihak “perjanjian keagenan” tersebut. Mr. Lee Bong Siong telah memberi peringatan pada tanggal 17 Maret 2004 No. 037/LP/III/2004 agar kewajiban pembayaran tersebut dipenuhi oleh PT.PLA namun tidak diperhatikannya. Selain utang kepada Mr. Lee Bong Siong, pihak PT.PLA juga mempunyai utang kepada kreditor lainnya yaitu : Hartono Hojana, Liem Lie Sia, dan Budiman.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
89
Oleh karena telah memenuhi syarat Pasal 1 ayat (1) UUK, maka Mr. Lee Bong Siong melalui kuasanya mengajukan permohonan pailit ke Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
b. Pertimbangan Hakim PN. Niaga dalam Putusan Pengakhiran “Pionering Agency Bonus Agreement” secara sepihak oleh termohon, sudah diterima dan tidak dipersoalkan lagi oleh pemohon, melainkan ia mencari manfaat dari pengakhiran dari perjanjian tersebut. Pengungkapan pengakhiran perjanjian tersebut sengaja dilaksanakan oleh pemohon hanya untuk memperoleh dasar hak mendapatkan pembayaran dari termohon atas serangkaian bonus yang menjadi hak pemohon dan yang menjadi jatuh tempo seketika, meskipun hal ini masih harus dipertimbangkan nantinya. Dengan alasan tersebut, maka majelis hakim berpendapat bahwa alasan yang diajukan oleh termohon bahwa perkara ini tidak sederhana pembuktiannya, dan harus diperiksa lebih dahulu oleh Pengadilan Negeri, maka dalil termohon ini, harus ditolak oleh majelis hakim. Pernyataan termohon bahwa “Pionering Agency Bonus Agreement” sejak semula merupakan perjanjian yang tidak sah, dengan alasan pemohon tidak cakap membuat perjanjian, berdasar Pasal 1320 BW/KUHPerdata. Ketidakcakapan membuat perjanjian tersebut, karena tidak memenuhi Pasal 7 ayat (3) Kepres RI No 75 tahun 1995 tanggal 9 November 1995 yaitu : “penggunaan tenaga kerja WNA harus memiliki izin dari Menteri Tenaga Kerja untuk dapatnya ia bekerja di Indonesia”.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
90
Menurut Majelis Hakim, Kepres No. 75 tahun 1995 Pasal 7 ayat (3) tersebut, ternyata izin tertulis yang disyaratkan untuk dapat bekerja di Indonesia adalah tidak untuk membuat perjanjian bagi TKA di Indonesia. Kepres No 75/1995 tidak ada kaitannya dengan kecakapan untuk membuat perjanjian. Sesuai dengan Pasal 1330 BW/KUHPerdata, ketidakadanya izin dari Menaker dalam Kepres 75/1995, oleh UU tidak dimasukkan ke dalam golongan orang yang tidak cakap membuat perjanjian, karenanya majelis hakim berpendapat, meskipun pemohon belum mendapatkan izin tertulis dari Menaker, maka pemohon tetap cakap membuat dan menandatangani “perjanjian keagenan” tersebut. Dengan alasan diatas, maka menurut Majelis Hakim “perjanjian keagenan” tersebut adalah sah menurut hukum (Pasal 1330 KUHPerdata) sehingga dalil termohon harus ditolak. Dari dalil permohonan pemohon dan tangapan dari termohon, Majelis Hakim berpendapat bahwa termohon tidak membantah kebenaran dalil pemohon yang menyatakan bahwa termohon belum membayar kepada pemohon atas hak pemohon berupa : Bonus Rekrutment
= Rp. 4.295.777.163,-
Bonus Konsistensi
= Rp. 1.431.925.721,-
Biaya Perjalanan
= Rp.
130.228.800,-
Karena termohon tidak membantah kebenaran dalil pemohon tersebut diatas, maka fakta tersebut terbukti dan tidak perlu lagi dibuktikan dalam persidangan. Dalam Pasal 4 “Perjanjian Keagenan” tidak diatur kapan termohon harus membayar bonus tersebut kepada pemohon.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
91
Berdasarkan surat bukti P.I – T.1 (a), khusus Pasal 4 (ii) serta surat Bukti P.9 telah terbukti dengan sah, bahwa utang termohon yang timbul karena belum membayar kepada pemohon, “Bonus Konsistensi” priode Juli 2002 s/d Juni 2003 sebesar Rp. 1.431.925.721,- sudah jatuh tempo pada akhir tahun 2003 dan utang tersebut juga sudah dapat ditagih. Dengan telah terbuktinya termohon mempunyai beberapa utang kepada pemohon dan salah satu utang tersebut telah terbukti sudah jatuh tempo dan dapat ditagih, berarti termohon sudah terbukti mempunyai status sebagai debitor dan mempunyai satu kreditor yaitu pemohon Mr. Lee Boong Siong. Berdasarkan atas bukti yang diajukan dalam persidangan, Majelis Hakim berpendapat bahwa termohon terbukti mempunyai utang kepada Budiman atas sisa kewajibannya yang belum dibayar olehnya. Dari fakta tersebut terbukti, termohon mempunyai dua kreditor dan tagihan dari Hartono Hojana tidak perlu dipertimbangkan lagi dalam putusan ini. Sesuai dengan UUK Pasal 1 ayat (1) tentang kepailitan, telah terbukti secara sederhana bahwa termohon mempunyai dua kreditor (Mr. Lee Boong Siong dan Budiman ) dan tidak membayar satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih; utang kepada pemohon berupa pembayaran hak atas Bonus Konsistensi priode Juli 2002 s/d Juni 2003 sebesar Rp. 1.431.925.721,- dengan telah terbuktinya hal tersebut, maka berdasarkan pertimbangan-pertimbangan diatas permohonan pemohon pailit telah memenuhi ketentuan Pasal 6 ayat (3) jo. Pasal 1 ayat (1) dari UUK, sehingga Majelis Hakim Pengadilan Niaga memutuskan : mengabulkan permohonan pemohon dan menyatakan PT. Prudential Life Assurance (PT. PLA) pailit.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
92
PT. Prudential Life Assurance pailit menolak putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tersebut dan mengajukan permohonan pemeriksaan kasasi ke Mahkamah Agung.
c. Pertimbangan Majelis Mahkamah Agung dalam Putusan Majelis Hakim Agung yang memeriksa dan mengadili perkara ini menilai bahwa putusan Judex Facti – Pengadilan Niaga merupakan putusan yang salah dalam menerapkan hukum, sehingga harus dibatalkan dan selanjutnya Mahkamah Agung akan mengadili sendiri perkara ini, dengan pertimbangan hukum sebagai berikut : Menurut Pasal 6 ayat (3) UUK, ditentukan bahwa permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta/keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa debitor mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar sedikitnya sau utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Judex facti dalam putusannya mempertimbangkan utang termohon berdasar Pionering Agency Bonus Agreement tanggal 1 Juli 2000 telah jatuh tempo dan dapat ditagih, namun perjanjian itu oleh termohon telah diakhiri secara sepihak pada tanggal 20 Januari 2004 dengan alasan pemohon telah aktif melakukan “bisnis multi level marketing” (Pasal 7). Selain itu termohon juga menyangkal utang termohon kepada pemohon yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih (ex Pasal 1ayat (1) UUK) hal ini tidak dapat dibuktikan secara sederhana, sehingga permohonan pailit ini harus ditolak selanjutnya sengketa antara pemohon dengan termohon tersebut seharusnya diajukan ke Pengadilan Negeri.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
93
Atas pertimbangan tersebut, Majelis Hakim Agung memberi putusan yang menyatakan : a. Mengabulkan permohonan kasasi dari pemohon, PT. Prudential Life Assurance. b. Membatalkan Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 13/Pailit/2004/PN. Niaga. c. Mengadili sendiri : menolak permohonan pailit yang diajukan oleh Mr. Lee Boon Siong, Pemohon dst…
d. Analisis Hukum Menurut Pasal 6 ayat (3) UUK, ditentukan bahwa permohonan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana, bahwa debitor mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayarnya sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Permohonan pernyataan pailit terhadap PT. PLA , tidak dapat dibuktikan secara sederhana mengenai fakta atau keadaan utang karena terungkap fakta Perjanjian Keagenan yang menjadi dasar permohonan pailit telah diakhiri secara sepihak oleh termohon dengan alasan pemohon telah melakukan bisnis multi level marketing. Permohonan yang tidak dapat dibuktikan secara sederhana ini harus ditolak dan sengketa utang antara pemohon dengan termohon seharusnya diajukan ke Pengadilan Negeri. Kasus PT. PLA kembali membuat heboh dikarenakan ingkar janjinya PT. PLA terhadap konsultan agen asuransinya sendiri. Wajar jika timbul opini
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
94
masyarakat bahwa perusahaan asuransi di Indonesia sebagai salah satu lembaga jasa keuangan yang menghimpun dana dari masyarakat ternyata tidak membuat dirinya kebal terhadap permohonan pailit. Malahan terkesan begitu mudahnya orang dapat mengajukan permohonan pailit perusahaan asuransi, dan begitu mudahnya Pengadilan Niaga mengabulkan permohonan pailit dari sembarang orang tersebut. 129 Dalam pengumuman kepada seluruh nasabah PT.PLA mengatakan bahwa PT. PLA memiliki kondisi keuangan perusahaan yang kuat, dengan tingkat RBC sebesar 225% pertanggal 31 Desember 2003, jauh melebihi ketentuan Departemen Keuangan RI yaitu 100%. 130 Hal ini menunjukkan perusahaan yang solven dengan mudahnya dipailitkan terjadi lagi setelah kasus PT.AJMI. Peristiwa tersebut telah menimbulkan dampak yang sangat buruk terutama terhadap iklim investasi dan bisnis yang semakin tidak kondusif.masyarakat semakin resah dan tidak percaya untuk menanamkan dana investasinya dalam produk asuransi. Investor semakin enggan menanamkan modalnya akibat perasaan insecure karena perusahaan asuransi sebagai salah satu penjamin rasa aman terhadap investasi mudah sekali dipailitkan dan juga dapat menyebabkan keengganan lembaga-lembaga pemberi kredit untuk membiayai perusahaan-perusahaan di Indonesia. Terlebih sistem peradilan Indonesia yang sering memberikan kontraversial dan mengabaikan rasa keadilan sesuai dengan hukum yang berlaku. Ironisnya, ternyata polis nasabah asuransi yang terkena masalah tidak dijamin oleh pemerintah, hal ini ditegaskan oleh
129 130
http: //www.bisnis.com, diakses Pada tanggal 27 Juni 2007. Pengumuman kepada seluruh nasabah, Http:// www.bisnis.com, diakses tanggal 27 Juni 2007.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
95
Dirjen Lembaga Keuangan Darmin Nasution, bahwa pemerintah tidak menjamin polis nasabah yang tersimpan diperusahaan asuransi. 131
F.
Menurut UU No. 37 Tahun 2004
1. Putusan Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 2/Pailit/2005/PN.Niaga/Mdn, Tanggal 27 Desember 2005 : Antara Kejaksaan Negeri Lubuk Pakam (sebagai pemohon) vs PT. Aneka Surya Agung (PT. ASA) sebagai termohon. a. Duduk Perkara Kejaksaan Negeri Lubuk Pakam yang diwakili oleh kuasanya Cirus Sinaga,SH, dkk mengajukan permohonan Pailit terhadap PT. ASA (dalam hal ini sebagai pemohon) atas kepentingan umum PT. Aneka Surya Agung (PT. ASA) adalah perusahaan yang bergerak di bidang industri sandal yang dalam menjalankan usahanya memerlukan jasa tenaga kerja (membayar upah buruh,jamsostek bagi pekerja dan pesangon bagi pekerja yang diberhentikan), tenaga listrik dan telekomunikasi.(dalam hal ini sebagai termohon). PT. ASA mempunyai kewajiban yang belum dibayar lunas kepada panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P-4P) untuk membayar hak-hak normatif pekerja yang sudah diputuskan oleh P-4P tanggal 30 Mei 2005 sebesar Rp. 5.515.570.204,-
PT. Jamsostek Cabang Tanjung Morawa Bulan April s/d
Februari sebesar Rp. 425.567.831,86,- PT. PLN Cabang Lubuk Pakam, sejak Bulan 131
Ibid.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
96
Maret s/d Agustus 2004 sebesar Rp. 318.150.584,- PT.Telkom Kandatel Medan sebesar Rp. 5.997.160,- dan PT. BNI sebesar Rp. 8.994.595.808,Kenyataanya, PT. ASA tidak dapat lagi menjalankan usahanya, perusahaan telah diberhentikan kegiatan produksinya, sehingga tidak mampu lagi memenuhi segala kewajibannya kepada para kreditor. Untuk menghindari pembayaran tagihan atau kewajibannya, PT. ASA (Direktur dan pengurus PT. ASA) berdasarkan surat Kepala Kepolisian Resort Deli Serdang No. B/1070/IV/2005 tanggal 19 April 2005, PT. ASA telah masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) yang berarti tidak diketahui keberadaannya. Pihak PT. ASA maupun para kreditor tidak ada satupun yang mengajukan permohonan pailit terhadap PT. ASA. Oleh karena itu, agar permasalahan tersebut tidak berlarut-larut dan pihak Kejaksaan khawatir hal tersebut merupakan itikad buruk dari PT. ASA untuk mengulur-ulur waktu , sehingga dapat menghindar atau melepaskan tanggung jawab dari kewajiban dan dapat menganggu kepentingan umum, karena para kreditor lain maupun para buruh yang tergabung dalam Serikat Pekerja Nasional (SPN) akan main hakim sendiri dan berunjuk rasa , mengambil dan merusak aset PT. ASA, maka pihak kejaksaan mengajukan permohonan pailit demi kepentingan umum (sesuai dengan Pasal 2 ayat (2) UUK dan PKPU)
b. Pertimbangan Hakim PN. Niaga dalam Putusan Sebagai suatu hukum yang bersifat khusus (lex specialis), UUK dan PKPU mengatur
tentang pihak-pihak yang memiliki legimate standi in judicio untuk
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
97
mengajukan permohonan pailit, dimana Pasal 2 ayat (2) disebutkan “pihak kejaksaan dapat mengajukan permohonan pailit untuk kepentingan umum”. Dalam penjelasan Pasat tersebut dicantumkan keadaan-keadaan yang memungkinkan untuk diajukan adalah : a. Debitor melarikan diri b. Debitor menggelapkan bagian dari harta kekayaan c. Debitor mempunyai utang kepada BUMN atau badan usaha lain yang menghimpun dana dari masyarakat d. Debitor mempunyai utang yang menghimpun dana dari masyarakat luas e. Debitor tidak beritikad baik atau tidak kooperatif dalam menyelesaikan utang piutang yang telah jatuh waktu; atau f. Dalam hal lainnya menurut kejaksaan merupakan kepentingan umum. Proses pengajuan permohonan pailit adalah sama dengan permohonan pailit yang diajukan oleh debitor atau kreditor, dengan ketentuan bahwa permohonan pailit dapat diajukan oleh kejaksaan tanpa menggunakan jasa advokad. Mekanisme kewenangan kejaksaan mengajukan permohonan pailit telah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) N0. 17 Tahun 2000 tentang permohonan pernyataan pailit untuk kepentingan umum. Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) UUK dan PKPU , meskipun Kejaksaan tidak berkedudukan sebagai kreditor juga berwenang mengajukan permohonan pailit terhadap debitor untuk kepentingan umum sepanjang jika tidak ada pihak yang mengajukan prmohonan pailit. Disamping itu, Pasal 7 UUK dan PKPU harus
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
98
diajukan oleh seorang advokad tidak berlaku jika pemohon adalah pihak kejaksaan. Dengan kata lain, pihak kejaksaan dapat mengajukan sendiri permohonan pailit.sehingga dalam hal ini pemohon memiliki persona standi in judicio Pengertian utang dalam Pasal 1 ayat (6) UUK dan PKPU bukalah pengertian utang dalam arti sempit tetapi dalam arti yang luas. Berdasarkan bukti-bukti yang diajukan oleh pihak Kejaksaan, maka debitor terbukti mempunyai utang. Semua kewajiban (liability) tersebut dapat dinilai dengan sejumlah uang dan yang wajib dipenuhi oleh PT. ASA, dengan demikian terbukti bahwa PT. ASA sudah memenuhi syarat dikategorikan sebagai seorang debitor. Adanya kewajiban-kewajiban untuk membayarkan sejumlah uang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih tersebut yaitu PT. BNI, PT. PLN, PT Telkom, PT. Jamsostek dan pembayaran Hak-hak Normatif kepada 420 orang karyawan PT. ASA yang telah di PHK merupakan suatu bukti bahwa termohon memiliki lebih dua atau lebih kreditor. Berdasarkan hal-hal di atas, Majelis Hakim mendapati adanya prima facie kepailitan dalam permohonan ini yaitu adanya suatu fakta atau suatu keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 8 ayat (4) UUK dan PKPU telah terpenuhi. Maka berdasarkan pertimbangan-pertimbangan diatas, Majelis Hakim Pengadilan Niaga memutuskan : mengabulkan permohonan pemohon dan menyatakan PT. Aneka Surya Agung (PT. ASA) pailit.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
99
c. Analisis Hukum Pasal 2 ayat (2) UUK dan PKPU menyebutkan bahwa pihak kejaksaan dapat mengajukan permohonan pailit untuk kepentingan umum. Permohonan pailit diajukan oleh pihak kejaksaan dikarenakan tidak ada yang mengajukan permohonan pailit terhadap debitor. Dimana, PT. ASA tidak dapat lagi menjalankan usahanya, perusahaan tersebut telah diberhentikan kegiatan produksinya, sehingga tidak mampu lagi memenuhi segala kewajibannya kepada para kreditor. PT. ASA memiliki dua atau lebih kreditor yaitu PT. BNI, PT. PLN, PT Telkom, PT. Jamsostek dan pembayaran Hak-hak Normatif kepada 420 orang karyawan PT. ASA yang telah di PHK, dimana pembayaran terhadap kewajiban tersebut telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Itikad buruk dari debitor dapat terlihat dari tindakan pemilik PT. ASA telah masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) yang berarti tidak diketahui keberadaannya. Dengan mengulur-ulur waktu sehingga dapat menghindar atau melepaskan tanggung jawab dari kewajiban dan dapat menganggu kepentingan umum. Dengan terpenuhinya syarat kepailitan sebagaimana tertuang dalam Pasal 2 ayat (1) dan (2) jo. Pasal 8 ayat (4) UUK dan PKPU, maka sudah tepatlah putusan Judex Facti terhadap kasus ini. Pengajuan permohonan kepailitan oleh pihak kejaksaan merupakan kasus pertama yang terjadi dalam hukum kepailitan. Hal ini menunjukkan bahwa masalah kepailitan mulai mendapat reaksi dari masyarakat khusunya pihak kejaksaan.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
100
Diharapkan nantinya putusan kepailitan tersebut menjadi acuan pihak kejaksaan untuk memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat yang kepentingannya dirugikan oleh perusahaan yang tidak memiliki itikad baik.
2. Putusan Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 2/Pailit/2007/PN.Niaga/Mdn, Tanggal 7 Agustus 2007 : Antara Karyo Indo Prima sebagai debitor (pemohon) vs The Pik Suan, Wen Fong, Jimmy Suwandi dan Tsjim Kui Phin sebagai kreditor. a. Duduk Perkara Pemohon (debitor) adalah seorang pengusaha yang menjalankan usaha perabotan, pertukangan dengan memakai nama perusahaan Karyo Indo Prima yang beralamat di Jalan Perbatasan No.2, Kelurahan Glugur Darat I, Kecamatan Medan Timur, Kota Medan. Bahwa sekitar tahun 2004, pemohon
yang pada saat itu
mengalami kesulitan dan membutuhkan modal/finansial untuk menggerakkan dan atau menjalankan roda usaha sehari-hari, dan oleh karena hal tersebutlah, debitor telah meminta bantuan pinjaman uang kepada Kreditor-Kreditor dengan sistem bunga pinjaman berkisar sebesar 2,5 s/d 5 % (lima persen) per-bulan. cara/sistim peminjaman
uang
tersebut
adalah
nilai
pinjaman
uang
sebagaimana yang tertera di Bilyet Giro yang jatuh temponya bervariasi diserahkan kepada para kreditornya. Kemudian nilai nominal yang tertera di Bilyet Giro dipotong dengan bunga perbulan (30 hari), dan setelah dipotong bunga, maka uang tunai diserahkan kepada Pemohon (Debitur).
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
101
Karena lesunya perekonomian serta tipisnya keuntungan yang diperoleh debitor, sementara bunga yang diterapkan oleh para kreditor sangat mencekik leher, maka pemohon hanya bisa gali lubang tutup lubang saja, namun setelah berjalan hingga 3 s/d 4 tahun lamanya, maka pada bulan Maret 2007 yang lalu, praktis usaha debitor menjadi macet dan hutang-hutang debitor kepada para kreditornya telah jatuh tempo dan debitor sama sekali tidak sanggup untuk membayar lagi hutang-hutang Pemohon kepada para kreditor. Sebagai reaksi atas tindakan debitor yang telah lalai dan telah tidak membayar sisa utang-utang kepada para Kreditor suatu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, debitor telah berulang kali pula mendapat teguran/peringatan dari para kreditor, baik melalui telepon bahkan mendatangi rumah dan tempat usaha debitor, dengan tujuan agar debitor segera menyelesaikan sisa utang yang ada dan pada saat itu telah jatuh tempo, namun debitor tidak dapat dan atau tidak mampu juga menyelesaikannya kepada para kreditor, yaitu : a. Sisa utang debitor kepada The Pik Suan sebesar Rp 1.474.425.000,b. Sisa utang debitor kepada Wen Fong alias Henry Tanasal sebesar Rp. 2.080.939.000,c. Sisa utang debitor kepada Jimmy Suwandi sebesar Rp.699.590.000,d. Sisa utang debitor kepada Tsjim Kui Phin sebesar Rp 360.450.000,Berdasarkan pada hal-hal yang telah debitor uraikan tersebut diatas, jelas terbukti bahwa debitor telah tidak membayar lebih dari satu utang yang telah jatuh
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
102
tempo dan dapat ditagih oleh para kreditor, dan oleh karenanya debitor telah memenuhi unsur dari Pasal 2 ayat (1) UUK dan PKPU. Debitor juga memiliki utang kepada kreditor lainnya, yaitu : 1. PT. Bank Mandiri Cabang Imam Bonjol a/c No.1050100044680 atas nama Wilson Wijaya senilai Rp. 2.220.953.433,2. Ali/ Ahau
Jl. Budi Kemasyarakatan No.25, Pulau Brayan sebesar
Rp.154.750.000,3.
Ibu Lasma Monika Silalahi, Jl. Karya Rakyat Kompleks Dosen No. 31-F, Medan Sebesar Rp.99.500.000,Bahwa apabila dijumlahkan secara keseluruhannya, maka Pemohon telah
memiliki hutang yang telah jatuh tempo kepada pada Para Kreditor sebesar Rp.7.090.607.433.-
b. Pertimbangan Hakim PN. Niaga Pada dasarnya penolakan Kreditor adalah karena Debitur sudah diberikan bunga yang cukup ringan sebesar 2,5 % dan 5 % tetapi tetap pada saat jatuh tempo tidak membayar hutang para kreditor. hal tersebut dapatlah diselesaikan setelah Debitur dinyatakan Pailit dan menunjuk Kurator serta Hakim Pengawas dan pada saat Rapat Kreditor untuk pencocokan hutang tersebut perbedaaan tentang besarnya tagihan tersebut dapat diselesaikan oleh Hakim Pengawas apabila sengketa tersebut
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
103
juga tidak dapat diselesaikan maka dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Vide Pasal 127 ayat (1) Undang-Undang No 37 tahun 2004 tentang UUK dan PKPU. Berdasarkan bukti P-4 tentang Daftar Perincian Bilyet Giro Hutang, hal tersebut membuktikan Debitur telah membayar dengan pembayaran Rekening yang tidak Cukup atau Rekening yang sudah Ditutup ini membuktikan Debitur dalam keadaan tidak mampu membayar dan debitur secara nyata telah mempunyai hutang kepada para kreditor. Debitur dapat memperlihatkan Bukti yang cukup membuktikan bahwa Debitur mempunyai hutang dan terhadap hutang tersebut telah jatuh tempo dan dapat ditagih dimuka persidangan serta disamping itu Debitur masih mempunyai Kreditor Lainnya yaitu P.T Bank Mandiri Cabang Imam Bonjol sebesar Rp 2.220.953.433,- , Ali / Ahau sebesar Rp 154.750.000,- , Lasma Monika Silalahi sebesar Rp 99.500.000,-yang juga telah jatuh tempo dan dapat ditagih dengan Fakta Hukum yang terungkap dipersidangan ini maka terbukti benar Pemohon (Debitur) telah memenuhi syarat
untuk dinyatakan Pailit sesuai dengan Pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang No 37 Tahun 2004. Dengan mengambil alih pertimbangan hukum tentang keberadaan Debitur dalam keadan Pailit sesuai Pasal 2 ayat (1) UUK tentang Kepailitan maka sudah cukup membuktikan Debitur dalam keadaan Pailit dengan adanya bukti P-3.1 s/d P3.35 , P-4 , P-5, P-6,dan bahwa benar terbukti Debitur memiliki hutang yang sudah Jatuh Tempo dan dapat ditagih ;
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
104
Mengenai keberadaan Kreditor Lainnya Debitor hanya mengajukan Bukti P-7 dan Bukti P-8 sedangkan mengenai perincian hutang untuk pihak P.T Bank Mandiri Cabang Imam Bonjol sebesar Rp 2.220.953.433,- , Ali / Ahau sebesar Rp 154.750.000,- , Lasma Monika Silalahi sebesar Rp 99.500.000,- tidak dapat dibuktikan secara konkret dan jelas sehingga terhadap bukti tersebut haruslah dikesampingkan. Hutang-hutang yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih tersebut ternyata tidak dapat dilunasi oleh Pemohon ( Debitur ) pada para Kriditornya akibat lesunya perekonomian serta tipisnya keuntungan yang diperoleh Pemohon sehingga hanya bisa gali lobang tutup lobang saja lalu usaha Pemohon menjadi macet dan hutanghutang debitor sama sekali tidak sanggup untuk membayar maka berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UUK dan PKPU dan dari bukti-bukti yang diajukan serta fakta hukum yang terungkap selama Pemeriksaan Permohonan Pernyataan Pailit ini sebagaimana telah dipertimbangkan dalam pertimbangan-pertimbangan hukum diatas maka adalah beralasan menurut hukum bagi Majelis Hakim untuk menyatakan Pemohon (Debitur) To Seng Kiang/ Welsen Wijaya sebagai pengusaha toko perabot Karya Indo Prima dalam keaadaan Pailit.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
105
c. Analisis Hukum Pemohon (debitor) mengajukan permohonan pailit ke PN. Niaga karena mengalami kesulitan akibat lesunya perekonomian serta tipisnya keuntungan yang diperoleh debitor. Sistem bunga pinjaman berkisar sebesar 2,5 s/d 5 % (lima persen) per-bulan. Dan debitor pernah melakukan pembayaran terhadap utangnya, dalam hal ini debitor mempunyai itikad baik. Bukti-Bukti sebagaimana dimaksud pada Pasal 164 HIR / RBG yang diajukan debitor semakin memperkuat adanya fakta hukum memperlihatkan bahwa benar pemohon memang mempunyai hutang pada kreditor yaitu The Pik Suan, Wen Fong, Jimmy Suwandi dan Tsjim Kui Phin. kreditur lain yaitu pada P.T Mandiri Cabang Imam Bonjol, Ali / Ahau dan Plasma Monika Silalahi. Berdasarkan bukti-bukti tentang Daftar Perincian Bilyet Giro Hutang kepada kreditor-kreditor, membuktikan Debitur telah membayar dengan pembayaran Rekening yang tidak Cukup atau Rekening yang sudah Ditutup dalam hal ini debitur dalam
keadaan
tidak
mampu
membayar.
kreditor
telah
memberikan
teguran/peringatan terhadap utang –utang tersebut yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Bukti-bukti yang diajukan untuk permohonan pailit tidaklah sulit dilakukan oleh karena permohonan pailit diajukan oleh debitor itu sendiri. Sehingga tidaklah sulit untuk memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 8 ayat (4) UUK dan PKPU.dan tidak ada alasan hakim untuk menolak permohonan tersebut.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
106
Namun, tidak jarang hukuk kepailitan dipergunakan sebagai alasan untuk menghindarkan pembayaran utang. Debitor tidak ingin repot menghadapi tuntutan dari para kreditornya. Untuk itu debitor mengajukan permohonan pailit karena dengan putusan pailit mengakibatkan segala tuntutan terhadap debitor beralih kepada kurator. Selanjutnya akan melakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit da membagi-bagikan hasilnya secara seimbang kepada para kreditor.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
107
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN Berdasarkan dari uraian pembahasan dari bab-bab sebelumya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Insolvensi diartikan sebagai keadaan berhenti membayar. Dalam hal ini tidak dijelaskan secara terperinci apakah keadaan tersebut dikarenakan debitor benarbenar tidak mampu membayar atau karena alasan tertentu. Pengertian insolvensi dalam Undang-undang kepailitan bervariasi yaitu : a. Menurut Pasal 1 angka (1) Faillissmentsverodening adalah “berhenti membayar”. b. Menurut Pasal 1 angka (1) UU No. 4 Tahun 1998, insolvensi diartikan sebagai “keadaaan tidak membayar” c. Menurut Pasal 2 angka (1) UU No. 37 Tahun 2004, insolvensi diartikan sebagai “keadaaan tidak membayar lunas” 2. Peraturan Perundang-undangan tidak memberikan pengertian insolvensi, maka dalam beberapa putusan pengadilan terdapat perbedaan penafsiran tentang standar insolvensi, tergantung pada hakim untuk menilai apakah permohonan pailit yang diajukan oleh debitor dan kreditor tersebut telah memenuhi syarat sebagaimana
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
108
tertuang dalam peraturan kepailitan. Adapun yang menjadi standar dalam putusan pengadilan tersebut yaitu : a. Berhenti membayar tidak harus Naar de Letter atau berhenti sama sekali, melainkan pada saat jatuh tempo debitor tidak dapat membayar utangutangnya. b. Berhenti membayar tidak sama keadaanya dengan debitor tidak cukup untuk membayar utang-utangnya kepada kreditor yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih., melainkan debitor tidak membayar utang-utangnya yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih. c. Tidak membayar utang (dalam arti luas) yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih disamping itu adanya utang-utang lain, membuktikan adanya keadaan berhenti membayar. d. Bahwa keadaan aktiva boedel tidak cukup untuk membayar utang-utang para kreditor, dan adanya utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih dapat diartikan berhenti membayar.
B. SARAN 1. Perlunya insolvensi test dimasukkan dalam Rancangan Undang-undang Kepailitan untuk membuktikan bahwa debitor benar-benar dalam keadaan solven atau tidak. Karena apabila suatu perusahaan yang solven dipailitkan, tentunya tidak hanya merugikan perusahaan tetapi juga para stakeholder, bahkan dapat
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
109
mempengaruhi perekonomian Indonesia. (misalnya hilangnya lapangan pekerjaan dan masalah sosial lainnya.). 2. Diadakannya pelatihan-pelatihan yang intensif dan berkesinambungan sangat diperlukan oleh hakim, kurator dan Jaksa Penuntut Umum serta kalangan akademisi dalam membentuk persamaan persepsi tentang hukum kepailitan. 3. Diadakannya mata kuliah tentang hukum kepailitan secara menyeluruh di setiap fakultas hukum pada universitas se- Indonesia, sehingga menghasilkan kaderkader yang mengerti dan memahami hukum kepailitan dan perkembangannya di masyarakat.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
110
H. DAFTAR PUSTAKA
BUKU Ali, Chaidir, Himpunan Yurisprudensi, Hukum Dagang di Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta, 1982. Arifin, Muhammad, Teori dan Filsafat Hukum dalam Buku Telaah Kritis atas Teoriteori Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993. Asra, Kontroversi Pailitnya Debitor Solven, Pascasarjana UI, Jakarta, 2003. Aweng, Henry Lie, Tinjauan Pasal demi Pasal Fv (Faillissmentsverodening S. 1905 No. 217 jo. S. 1906 No 348 Jis Perpu No. 1 Tahun 1998 dan UUNo. 4 Tahun 1998, Medan, 2001. Fuady, Munir, Hukum Pailit dalam Teori dan Praktek, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999. Hanitijo, Soemitro Ronny, Metodologi Penemuan Hukum, Ghalian Indonesia, Jakarta, 1982. Hartono, Siti Soemarti, Pengantar Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran, Seksi Hukum Dagang Fak. Hukum, Yogyakarta, 1981. Himawan, Charles, Hukum Sebagai Panglima : Hukum Kepailitan atau Kepailitan Hukum, Kompas, Jakarta, 2003. Khairandy, Ridwan, Itikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, Pascasarjana UI, Jakarta , 2003.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
111
Lontoh, Rudy A, Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit atau PKPU, Alumni, Bandung, 2001. Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja, Pedoman Menangani Perkara Kepailitan, Raja Grafindo Press, Jakarta, 2003. Nasution, Bismar dan Sunarmi, Hukum Kepailitan di Indonesia, Program MKn Pasca USU, Medan, 2007. Nating, Imran, Peran dan Tanggung jawab Kuratordalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004. Posner, Richard, Economic Analiysis of Law, Little, Brown and Company ,Fourth Edition, Boston, 1992. Rajagukguk, Erman (ed), Peranan hukum dalam Pembangunan ekonomi, Pascasarjana UI, Jakarta, 2000. Situmorang, Victor M dan Hendri Soekarso, Pegantar Hukum Kepailitan di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 1993. Syahdeini, Sutan Remy, Hukum Kepailitan, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2002. ___________________, Hukum Kepailitan, Memahami Faillissmentsverordening jo. Undang-undang No. 4 Tahun 1998, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2003. Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, suatu tinjauan singkat,Raja Garindo Persada, Jakarta, 1995. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 1980.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
112
Sulaiman, Robintan dan Joko Prabowo, Lebih Jauh tentang Kepailitan, PT. Deltacitra Grafindo, Karawaci, 2000. Sunarmi, Tinjauan Kritis terhadap Undang-undang : Menuju Hukum Kepailitan yang Melindungi Kepentingan Krditor dan Debitor, Disertasi Sekolah Pascasarjana, USU Medan, 2005. Suriasumantri Jujun S, Filsafat Ilmu : Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta,1999. Suyudi, Aria DKK, Kepailitan
di Negeri Pailit : Analisis Hukum Kepailitan
Indonesia, TIM PSHK, Jakarta, 2003. Thomson, JAK, Harmondsworth, Penguin Books Ltd, Middlesex, England, 1970. Tirtaatmadjaja, M. H, Pokok-pokok Hukum Perniagan, Djambatan, Jakarta, 1970, Tomasic, Roman, Australian Corporate Insolvency, Butterworth, Sydney, 1993. Yani, Ahmad dan Gunawan Widjaja, Kepailitan Seri Hukum Bisnis, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002. Yunita, Sugiastuti Natasya, Tradisi Hukum China : Negara dan Masyarakat, Studi mengenai Peristiwa-peristiwa Hukum di Pulau Jawa Zaman Kolonial (1870-1942), Pascasarjana UI, Jakarta, 2003.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
113
MAKALAH Muljadi, Kartini, “Perubahan pada Faillissmentsverordening dan Perpu No. 1 Tahun 1998 jo UU No. 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Perpu No. 1 Tahun 1998 tentang perubahan atas UU Kepailitan menjadi UU” makalah dalam seminar Perkembangan Hukum Bisnis di Indonesia, Jakarta 23 Juli 2003. Djohansah, J, “Hukum Asuransi yang Berkaitan dengan Pelaksanaan Hukum Kepailitan Nasional”, makalah yang disampaikan pada Pendidikan dan Pelatihan Tekhnis Fungsional Peningkatan Profesionalisme Bagi Hukum Pengadilan Niaga, Tanggal 17-21 Juni 2001, di Jakarta. Juwana, Hikmahanto, “Hukum sebagai Instrumen Politik : Intervensi atas kedaulatan dalam proses Legislasi di Indonesia”, makalah yang disampaikan dalam Orasi Ilmiah Dies Natalies fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ke-50, Tanggal 12 Januari 2004. Nasution Bismar, disampaikan pada “Dialog Interaktif tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Penelitian Hukum” (Pada “Makalah Akreditasi” Fakultas Hukum USU, tanggan 18 Februari 2003). Perdamaian, Surya, “Syarat-syarat Pengajuan Kepailitan dan Kelemahan Hukum Acara Kepailitan dalam Prakek Pengadilan Niaga”, makalah yang disampaikan dalam acara Forum Diskusi Tanggal 12 Oktober 2001 di Medan.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
114
Pradjoto, “RUU Kepailitan ditinjau dari Aspek Perbankan”, Makalah yang disampaikan dalam Seminar Sosialisasi RUU tentang Kepailitan oleh BPHN dan ELLIPS PROJECT, Jakarta 27-28 Juli 1999, Setiawan, “Kumpulan Makalah Calon Hakim Pengadilan Niaga”, (Jakarta : Mahkamah Agung RI, 1998), hal 59, dikutip dari Varia Peradilan, IKAHI-Mari Jakarta, No. 156 September 1998. Simanjuntak, Ricardo,
“relevansi Eksekusi Putusan Pengadilan Niaga dalam
Transaksi Bisnis Internasional”, Jurnal Hukum Bisnis Vol 22 No. 4 Tahun 2003. Syahdeini, Sutan Remy, “Undang-undang Kepailitan : Dalam Perspektif Hukum, Politik, dan Ekonomi”, Makalah yang disajikan pada tanggal 7 Mei 2003 di Jakarta.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Subekti R dan Tjitrosudibyo R, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, 1985. ---------------------, Kitab Undang-undang Hukum Dagang dan Undang-undang Kepailitan, Paramita, Jakarta, 1985. Republik Indonesia, Perpu No. 1 Tahun 1998 jo UU No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998, Nomor 87.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
115
Republik Indonesia, Undang-undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Fokus Media, Bandung, 2005, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004, Nomor 131.
INTERNET Manan, Bagir, Ketua MA Prihatin banyak Proses Kepailitan yang disalahgunakan, Http://www.hukum online.com, diakses tanggal 15 Juni 2007. Kepailitan di Indonesia, Suatu Pengantar, Http://www.SolusiHukum.com, diakses 9 Juli 2007.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.