BAB II KERANGKA DASAR PEMIKIRAN DAN PEMIKIRAN TEORITIK
A. Kegiatan Keagamaan 1. Pengertian Kegiataan Keagamaan Kegiatan berasal dari bahasa Inggris act yang berarti perbuatan, tindakan, akta, kegiatan, yaitu pola tingkah laku yang bertujuan diarahkan pada satu sasaran (Chaplin, 1999: 7). Sedangkan keagamaan berasal dari agama, yang menurut Hamka (Hamka, 1987: 75.) diartikan hasil kepercayaan dalam hati nurani, yaitu ibadat yang terbit lantaran sudah ada i’tikad lebih dahulu, menurut dan panuh karena iman. Jadi, aktivitas keagamaan
adalah
suatu
kegiatan
keagamaan
yang
menyangkut
kepercayaan dalam bentuk ibadah sebagai bukti ketaatan kepada Allah SWT. Menurut Djamaludin Ancok dan Fuad Anshori Suroso (1995: 76) bahwa aktivitas keagamaan bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan perilaku ritual (beribadah), tapi juga ketika melakukan aktivitas lain yang didorong oleh kekuatan supranatural. Bukan hanya yang berkaitan dengan aktivitas yang tampak dan dapat dilihat mata, tapi juga aktivitas yang tidak tampak dan terjadi dalam diri seseorang”. Dengan demikian, aktivitas keagamaan adalah bentuk kegiatan keagamaan yang tidak hanya dalam bentuk ritual, namun juga aktivitas yang tidak tampak, milsanya dzikir dan doa dan lain sebagainya. 14
15 2. Bentuk-bentuk Kegiatan Keagamaan Dalam realitasnya aktivitas keagamaan merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan seseorang dalam bentuk ritual tertentu. Bentukbentuk aktivitas keagamaan adalah sebagai berikut: a. Ritual Bentuk aktivitas keagamaan yang berupa ritual ini pada dasarnya lebih didasarkan kepada seperangkat ritual yang berupa tindakan keagamaan, baik alam bentuk formal atau praktek-praktek suci yang harus dilaksanakan bagi semua penganut agama tertentu. Bentuk ritual ini biasanya mengacu pada ketaatan seseorang dalam menjalan agamanya sebagai bentuk ibadah. Bentuk ritual yang biasa dilaksanakan dalam adalah pengajian atau ceramah keagamaan, yasinan dan tahlilan, manakiban dan lain sebagainya b. Sosial Keagamaan Kegiatan sosial keagamaan merupakan bagian dari agama. Kegiatan yang bersifat sosial keagamaan ini dilakukan sebagai bagian kegiatan muamamalah yang menyangkut hubungan atau interaksi sosial antara sesama. Misalnya, bakti sosial dan lain sebagainya. Dengan kegiatan sosial keagamaan ini, maka akan terjalin ukhuwah Islamiah. c. Peringatan Hari Besar Keagamaan Peringatan hari besar keagamaan pada dasarnya merupakan bagian dari aktivitas keagamaan. Meskipun dalam dataran normatif
16 bukan merupakan bagian inti dari suatu ajaran keagamaan. Peringatana hari besar keagamaan ini misalnya memperingati Isra’ Mi’raj, maulid nabi Muhammad saw. Peringatan 1 Muharram dan lain sebagainya.
B. Perilaku Keagamaan 1. Pengertian Perilaku Keagamaan Sebelum membahas tentang perilaku keagamaan, terlebih dahulu penulis kemukakan tentang perilaku. “Perilaku” adalah “tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan atau lingkungan” (Depdikbud, 1990: 755). Dalam Kamus Psichologi, perilaku disebut juga dengan suatu tindakan, aktivitas atau tingkah laku (Anshari, 1996: 98). Menurut Henry Clay dan Leonard W. Fisk (1976: 35) mendefinisikan perilaku sebagai berikut: “Behavior is not a matter of chance, it occurs when the individual attempts to meet his needs, his need for activity, his need to prare something to him self”. Artinya: Perilaku bukan persoalan kesempatan, itu terjadi ketika seseorang berusaha untuk memenuhi kebutuhannya, yaitu kebutuhan untuk beraktivitas, kebutuhan untuk membuktikan sesuatu pada dirinya. Sedangkan keagamaan berasal dari kata agama, yaitu suatu sistem, prinsip kepercayaan kepada Tuhan dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban
yang
berhubungan
dengan
kepercayaan
itu
(Depdikbud, 1990: 10). Istilah “keagamaan” sendiri dapat diartikan
17 sebagai “sifat-sifat yang terdapat dalam agama atau segala sesuatu mengenai agama” (Poerwadarminta, 1999: 19). Jadi, perilaku keagamaan secara ringkas dapat berarti tingkah laku manusia, sebagai reaksi yang berhubungan dengan pelaksanaan ajaran agama. Dalam agama Islam sikap keberagamaan dapat diartikan ke dalam manifestasi tindakan atau pengalaman ajaran Islam itu sendiri. Dengan demikian yang dimaksud sikap keberagamaan khususnya dalam agama Islam adalah pelaksanaan dari seluruh ajaran Islam yang berdasarka atas dasar kesadaran tentang adanya Tuhan Yang Maha Esa. Secara istilah, perilaku keagamaan sebagiamana diungkapkan oleh Mursal dan M. Taher (1977: 121), bahwa perilaku keagamaan adalah perilaku yang didasarkan atas kesadaran tentang adanya Tuhan Yang Maha Esa, misalnya aktivitas keagamaan shalat dan sebagainya. Sementara itu al-Ghazali sebagaimana dikutip oleh Hasan Langgulung (1992: 274) mengatakan bahwa “tingkah laku manusia mempunyai tujuan agama dan kemanusiaan”. Menurut Djamaludin Ancok dan Fuad Anshori Suroso (1995: 76), bahwa perilaku keagamaan bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan perilaku ritual (beribadah), tapi juga ketika melakukan aktivitas lain yang didorong oleh kekuatan supranatural. Bukan hanya yang berkaitan dengan aktivitas yang tampak dan dapat dilihat mata, tapi juga aktivitas yang tidak tampak dan terjadi dalam diri seseorang”.
18 Dari uraian di atas jelas, bahwa perilaku keagamaan pada dasarnya bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan perilaku ritual (beribadah), tetapi juga ketika melakukan aktivitas lain yang didorong oleh kekuatan lahir. Di samping juga bukan hanya aktivitas yang berkaitan dengan aktivitas yang tampak dan dapat dilihat mata, tapi juga aktivitas yang tidak tampak dan terjadi dalam hati seseorang. Karena itu keberagamaan seseorang akan meliputi berbagai macam sisi atau dimensi. Menurut Glock Stark seperti yang dikutip Ancok dan Suroso (1995: 77) ada lima macam dimensi keberagamaan, yaitu “dimensi keyakinan
(ideologis),
dimensi
peribadatan
atau
praktek
agama
(ritualistic), dimensi penghayatan (experiensial), dimensi pengamalan (konsekuensial), dimensi pengetahuan agama (intelektual)”. Oleh karena itu, perilaku keagaman merupakan satu kesatuan perbuatan manusia yang mencakup tingkah laku dan aktivitas manusia. Aktivitas keagamaan pada dasarnya bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan perilaku ritual (beribadah), tetapi juga ketika melakukan aktivitas lain yang didorong oleh kekuatan lahir. Di samping juga bukan hanya aktivitas yang berkaitan dengan aktivitas yang tampak dan dapat dilihat mata, tapi juga aktivitas yang tidak tampak dan terjadi dalam hati seseorang. Karena itu keberagamaan seseorang akan meliputi berbagai macam sisi atau dimensi. Pertama, dimensi keyakinan, dimensi ini berisi pengharapanpengharapan di mana orang religius berpegang teguh pada pandangan
19 teologis tertentu dan mengakui kebenaran doktrin-doktrin tersebut. Jadi keyakinan itu berpangkal di dalam hati. Dengan adanya Tuhan yang wajib disembah yang selanjutnya keyakinan akan berpengaruh ke dalam segala aktivitas yang dilakukan manusia, sehingga aktivitas tersebut bernilai ibadah. Setiap agama mempertahankan seperangkat kepercayaan, di mana para penganut diharapkan taat. Kedua, dimensi praktek agama. Dimensi ini mencakup perilaku pemujaan, ketaatan dan hal-hal yang dilakukan untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya. Praktek-prektek keagamaan ini terdiri atas 2 kelas, yaitu : a.
Ritual, mengacu kepada seperangkat ritus. Tindakan keagamaan formal dan praktek-praktek suci yang semua mengharapkan para pemeluk melaksanakannya. Sebagai contoh dalam menampakkan ritual, yaitu dalam agama Islam yang diwujudkan dengan shalat di Masjid, pengajian, perkawinan dan lain sebagainya.
b. Ketaatan adalah tindakan persembahan dan kontemplasi personal yang relatif sepontan informal dan khas pribadi. Jadi ketaatan adalah wujud dari suatu keyakinan sebagai contoh seorang muslim yang melaksanakan shalat, puasa dan membaca al-Qur’an (Robertson, 1995: 295-296). Ketiga,
dimensi
pengalaman.
Dimensi
ini
berisikan
dan
memperhatikan fakta bahwa semua agama mengandung pengharapanpengharapan tertentu. Jadi dalam dimensi ini agama merupakan suatu
20 pengalaman yang awalnya tidak dirasa menjadi hal yang dapat dirasakan. Misalnya orang yang terkena musibah pasti orang tersebut akan membutuhkan suatu ketenangan sehingga kembali kepada Tuhan. Keempat, dimensi pengetahuan agama. Dimensi ini mengacu kepada harapan bahwa orang-orang yang beragama paling tidak memiliki sejumlah minimal pengetahuan mengenai dasar-dasar keyakinan, ritusritus, kitab suci tradisi-tradisi. Orang yang pengetahuan agamanya luas, mendalam, maka orang tersebut akan semakin taat dan khusus dalam beribadah dibandingkan dengan yang tidak mengetahui agama. Contohnya orang yang memuja Tuhannya akan mendapatkan pahala, sehingga mereka selalu mendekat dengan Tuhannya. Kelima, dimensi pengalaman atau konsekuensi komitmen. Dimensi
ini
mengacu
pada
identifikasi
akibat-akibat
keyakinan
keagamaan, praktek, pengamalan, dan pengetahuan seorang dari hari ke hari. Jadi dalam dimensi pengamalan atau konsekwensi komitmen ini adanya praktek-praktek pengamalan diwujudkan dengan keyakinan agamanya, baik yang berhubungan khusus maupun umum. Sedangkan keberagamaan dalam Islam bukan hanya diwujudkan dalam bentuk ritual saja tetapi juga dalam aktivitas-aktivitas lainnya, misalnya ta’ziyah, tahlil, ziarah dan sebagainya. Adapun pembagian konsep lima dimensi di atas mempunyai kesesuaian dengan Islam. Dalam Islam dimensi keyakinan disejajarkan
21 dengan akidah, sedangkan dimensi praktek agama disejajarkan dengan syari’ah dan konsekuensi komitmen disejajarkan dengan akhlak. Dimensi keyakinan atau akidah Islam menunjuk pada tingkat keyakinan muslim terhadap ajaran-ajaran yang bersifat fundamental dan dogmatik. Di dalam ajaran Islam isi dimensi keimanan menyangkut keyakinan tentang Allah, para malaikat, Nabi / Rasul, kitab-kitab Allah, surga dan neraka, serta qada dan qadar (Ancok dan Suroso, 1994 : 77). Dimensi peribadatan atau praktek agama atau syari’ah menunjuk pada seberapa tingkat kepatuhan muslim dalam mengerjakan kegiatankegiatan ritual sebagaiaman diperintah dan dianjurkan oleh agamanya. Dalam ajaran Islam dimensi peribadatan menyangkut pelaksanaan shalat, puasa, zakat, shadaqah, i’tikaf di masjid dan sebagainya. Dimensi pengamalan atau akhlak menunjuk pada beberapa tingkatan muslim berperilaku dimotivasi oleh ajaran-ajaran agamanya, yaitu bagaimana individu berelasi dengan dunianya, terutama dengan manusia lain (Ancok dan Suroso, 1994 : 77). Jadi dalam dimensi pengamalan atau akhlak menuntut seseorang untuk berperilaku baik pada lingkungannya. Hal ini menunjukkan perilaku seseorang, misalnya menegakkan keadilan dan kebenaran, berlaku jujur, memaafkan, menjaga amanat, tidak mencuri, tidak korupsi, tidak menipu, tidak berjudi, tidak meminum minuman keras, mematuhi norma-norma Islam dalam perilaku seksual, berjuang untuk sukses menurut ukuran Islam (Ancok dan Suroso, 1994 : 81). Jadi, perilaku keagamaan merupakan tingkah laku seseorang
22 dalam masalah keagamaan yang menyangkut keyakinan, praktek, pengalaman dan pengatahuan seseorang terhadap agama.
2. Bentuk-bentuk Perilaku Keagamaan Pada dasarnya secara biologis manusia itu mempunyai persamaan dan perbedaan. Tetapi di sana ada dasar persatuan bahwa setiap orang mempunyai kemampuan untuk mengambil keputusan susila dan menyelaraskan antara tindakan dan susila itu. Sedangkan bentuk perilaku atau tingkah laku manusia di dunia ini banyak dan berbeda-beda. Namun dalam pembahasan ini yang sesuai dengan perilaku keberagamaan yang penulis jadikan indikator adalah aspek ibadah. Pengertian ibadah adalah hal memperhambakan diri kepada A llah dengan taat melaksanakan segala perintah dan anjuran-Nya serta menjauhi larangan-Nya karena Allah semata. Sahal Mahfudh membagi ibadah menjadi dua yaitu ibadah syakhsiyah dan ibadah ijtima’iyah (Mahfudh, 1994 : 20). Ibadah syakhsiyah adalah bentuk ibadah yang bersifat vertikal atau langsung berhubungan dengan Allah (ibadah yang bermanfaat untuk pribadi) sedangkan ibadah ijtima’iyah adalah ibadah (perbuatan yang ditujukan karena Allah) yang berkaitan dengan masalah masyarakat sosial. Adapun pembahasan dalam aspek ibadah ini ada yang bersifat ibadah syakhsiyah (shalat, puasa) dan ibadah ijtima’iyah (shadaqah dan sosial kemasyarakatan).
23 Untuk lebih jelasnya, di bawah penulis berikan contoh sebagai berikut: a. Ibadah Syaksyiyah 1) Ibadah shalat Shalat menurut asal makna bahasa Arab berarti do’a, kemudian yang dimaksud di sini adalah yang terdiri dari perkataan dan perbuatan tertentu yang dimulai dengan takbir dan disudahi dengan memberi salam (Sabiq, 1986 : 191). Rasulullah saw. bersabda:
.ﻭﺍﻗﻢ ﺍﻟﺼﻠﻮﺓ ﺍﻥ ﺍﻟﺼﻠﻮﺓ ﺗﻨﻬﻰ ﻋﻦ ﺍﻟﻔﺤﺸﺎﺀ ﻭﺍﳌﻨﻜﺮ
(45:)ﺍﻟﻌﻨﻜﺒﻮﺕ
Artinya : “Kerjakan shalat, sesungguhnya shalat itu mencegah perbuatan yang keji dan yang munkar …” (QS. AlAnkabut : 45) (Soenarjo, 1989 : 635). Shalat dalam agama Islam menempati kedudukan yang tidak dapat ditandingi oleh ibadah yang lain. Sulaiman Rasyid mengatakan bahwa shalat merupakan “tiang agama di mana ia tidak dapat tegak kecuali dengan shalat (Rasyid, 1988 : 64) Menurutnya shalat merupakan ibadah yang mula pertama diwajibkan oleh Allah di mana titah itu disampaikan langsung oleh-Nya tanpa perantara dengan berdialog dengan Rasul-Nya malam Mi’raj” (Rasyid, 1988 : 64). Shalat merupakan ibadah rutin sehari-hari yang diwajibkan pada setiap orang muslim. Dengan menjalankan
shalat tersebut bertujuan untuk membiasakan
24 kedisiplinan dan membiasakan hidup teratur sehingga dalam mengarungi kehidupan ini akan terarah. Hikmah lain yang dapat dipetik dari pelaksanaan ibadah shalat jama’ah adalah untuk hidup bermasyarakat, memperkokoh persatuan kebersamaan dalam mengabdikan diri kepada Allah SWT. Dari uraian tersebut jelas bahwa ada hubungan antara shalat dengan perilaku keberagamaan atau perilaku manusia dalam kehidupan sehari-hari. 2) Ibadah puasa “Shaumu” menurut bahasa Arab adalah “menahan dari segala sesuatu seperti menahan tidur, manahan bicara, manahan makan, dan menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkan puasa yang berupa memperturutkan syahwat, perut dan farji, sejak terbitnya fajar dini hari sampai terbenamnya matahari dengan niat khusus” (Rasyid, 1988 : 230). Puasa merupakan suatu jalan amalan yang dapat memperkuat jasmani dari beberapa gangguan penyakit. Adapun dalil yang mewajibkan puasa adalah :
ﻳﺎﻳﻬﺎ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﺍﻣﻨﻮﺍ ﻛﺘﺐ ﻋﻠﻴﻜﻢ ﺍﻟﺼﻴﺎﻡ ﻛﻤﺎ ﻛﺘﺐ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﻣﻦ (183 : )ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ.ﻗﺒﻠﻜﻢ ﻟﻌﻠﻜﻢ ﺗﺘﻘﻮﻥ Artinya : “Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (QS. al-Baqarah: 183) (Soenarjo, 1989 : 44).
25 b. Ibadah Ijtima’iyah 1) Shadaqah Secara istilah kata “shadaqah” berasal dari bahasa Arab yang berarti “pemberian kepada yang membutuhkan dengan harapan memperoleh pahala di sisi Allah SWT. (Agus: 110). Shadaqah sangat dianjurkan oleh Allah SWT. sebagaimana Firman-Nya yang berbunyi :
(280 : )ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ. ﻭﺍﻥ ﺗﺼﺪﻗﻮﺍ ﺧﲑ ﻟﻜﻢ ﺍﻥ ﻛﻨﺘﻢ ﺗﻌﻠﻤﻮﻥ... Artinya : “……dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”. (QS. AlBaqarah : 280) (Soenarjo, 1989 : 44) 2) Aspek Sosial Aspek sosial adalah perbuatan manusia yang ditujukan hanya karena masalah sosial masyarakat dengan mengharapkan pahala Allah SWT.. Pada aspek sosial tertuju semata-mata karena kewajiban sebagai makhluk sosial, artinya manusia membutuhkan bantuan orang lain.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Perilaku Keagamaan Pembentukan perilaku keagamaan tidak terjadi dengan sendirinya. Pembentukan keagamaan senantiasa berlangsung dalam interaksi manusia dan berkenaan dengan objek tertentu. Sehingga perilaku itu dapat dipelajari dan dapat berubah sesuai dengan objek tertentu kemungkinan bisa muncul adanya perilaku yang positif dan perilaku yang negatif.
26 Pembentukan perilaku manusia tidak dapat terjadi dengan sendirinya akan tetapi selalu berlangsung dalam interaksi manusia dan berkenaan dengan obyek tertentu. Sebagaimana dikatakan Jalaluddin bahwa perilaku keagamaan terbentuk dari dua faktor, yaitu faktor intern dan faktor ekstern (Jalaluddin, 1998: 199). Faktor intern adalah faktorfaktor yang timbul dalam diri individu sedangkan faktor ekstern adalah faktor yang datang dari luar individu. a. Faktor Intern Faktor intern adalah faktor yang berasal dari dalam diri manusia itu, yaitu selektifitasnya sendiri, daya pilihnya sendiri, atau minat perhatiannya untuk menerima dan mengolah pengaruh-pengaruh yang datang dari luar dirinya itu (Gerungan, 1996: 155). Faktor intern ini meliputi: 1) Pengalaman pribadi Semua pengalaman yang dilalui orang-orang sejak lahir adalah pengalaman pribadinya (Daradjat, 1970: 11.). Menurut Zakiah Daradjat (1982: 114), bahwa pengalaman pribadi
termasuk
pembentukan
sikap
pengalaman dan
beragama,
perilaku
maka
keagamaan
dalam
hendaknya
ditanamkan sendiri mungkin dalam pribadi seseorang, yakni sejak dini dalam kandungan.
27 2) Pengaruh emosi Emosi sebagaimana diungkapkan Lester D. Crow dan Alice Crow (1984: 116) adalah suatu keadaan yang mempengaruhi dan menyertai penyesuaian di dalam diri secara umum, keadaan yang merupakan penggerak mental dan fisik bagi individu dan dapat dilihat melalui tingkah laku luar. Menurut Syamsu Yusuf (2000: 115), emosi adalah warna afektif yang menyertai sikap keadaan atau perilaku individu. Yang dimaksud dengan warna afektif adalah perasaan-perasaan tertentu yang dialami seseorang pada saat menghadapi suatu situasi tertentu. Contohnya: gembira, bahagia, putus asa, terkejut, benci dan sebagainya. Zakiah
Daradjat
(1970:
77)
menyatakan
bahwa
sesungguhnya emosi memegang peranan penting dalam sikap dan tindak agama. Tidak ada satu sikap atau tindak agama seseorang yang dapat dipahami, tanpa mengindahkan emosinya. Oleh karena itu, jika seseorang sedang tidak stabil emosinya maka perasaannya tidak tentram, keyakinannya terlihat maju mundur, pandangan terhadap agama dan Tuhan aka berubah sesuai dengan kondisi emosinya pada waktu itu. Jadi, emosi menentukan arah di mana tingkah laku individu turut mengambil bagian dalam setiap situasi kehidupan.
28 3) Minat Menurut Soegarda Poerbakawatja dan Harahap (1982: 214), minat adalah “kesediaan jiwa yang sifatnya aktif untuk menerima sesuatu dari luar”. Seseorang yang mempunyai minat terhadap suatu objek yang dilakukannya, maka ia akan berhasil dalam aktivitasnya karena aktivitas tersebut dilakukan dengan perasaan senang dan tanpa paksaan. Adapun minat pada agama antara lain tampak dalam keaktivan mengikuti berbagai kegiatan keagamaan, membahas masalah agama dan mengikuti pelajaran agama di sekolah. Misalnya seseorang yang mempunyai minat terhadap pendidikan agama Islam, maka ia akan selalu mempelajari segala sesuatu yang berhubungan dengan agama Islam. Dengan begitu ia akan berusaha mentaati segala peraturan yang terdapat dalam agama tersebut. Menurut Jalaluddin Rakhmad (1992: 34), bahwa faktor internal ini digaris besarkan menjadi dua yaitu faktor biologis dan faktor sosiopsikologis. Faktor biologis terlibat dalam seluruh kegiatan
manusia,
sosiopsikologis.
bahkan
Bahwa
berpadu
warisan
dengan
faktor-faktor
bio-manusia
menentukan
perilakunya, dapat diawali sampai struktur DNA yang menyimpan seluruh memori biologis yang diterima dari kedua orang tuanya. Begitu besarnya pengaruh warisan biologis ini sampai muncul aliran baru yang memandang segala kegiatan manusia, termasuk
29 agama, kebudayaan, moral, berasal dari struktur biologinya. Aliran ini menyebut dirinya sebagai aliran sosiobiologi (Jalaluddin Rakhmad, 1992: 34). Faktor sosiopsikologis manusia sebagai makhluk sosial memperoleh
beberapa
karakteristik
yang
mempengaruhi
perilakunya yang dapat diklasifikasikan ke dalam tiga komponen yaitu komponen kognitif, komponen afektif dan komponen konatif. Komponen kognitif adalah aspek intelektual yang berkaitan dengan apa yang diketahui manusia, komponen afektif merupakan aspek emosional dan komponen konatif adalah aspek yang berhubungan dengan kebiasaan dan kemauan bertindak (Jalaluddin Rakhmad, 1992: 37). b. Faktor Ekstern Dalam pembentukan dan perubahan perilaku selain faktorfaktor intern yang turut menentukannya adalah faktor ekstern (Gerungan, 1996: 156). Faktor ekstern adalah hal-hal atau keadaan yang di luar diri individu yang merupakan stimulus untuk membentuk atau mengubah perilaku. Dalam hal ini dapat terjadi secara langsung. Artinya adanya hubungan secara langsung antara individu dan individu yang lain, antara individu dengan kelompok atau antara kelompok dengan kelompok. Di samping itu dapat secara tidak langsung yaitu melalui perantara alat-alat komunikasi (Walgito, 2002: 120.). Dalam hal ini, pembentukan perilaku dapat
30 terjadi melalui hasil belajar dari interaksi dan pengalaman, yang ditempuh melalui hal berikut: 1) Interaksi Interaksi adalah hubungan timbal balik antara orang perorangan, antara kelompok dengan kelompok atau antara orang perorangan dengan kelompok (Soekanto, 2000: 67). Apabila dua orang bertemu, berinteraksi, maka akan terjadi saling pengaruh mempengaruhi baik dalam sikap atau perilaku baik yang berhubungan dengan kehidupan sosial maupun keagamaan. 2) Pengalaman Setiap manusia pasti mempunyai pengalaman pribadi masing-masing tentang pengalaman. Zakiah Daradjat (1970: 11) menyatakan, bahwa semua pengalaman yang dilalui orang sejak lahir merupakan unsur-unsur pembentukan pribadinya, termasuk di dalamnya adalah pengalaman beragama. Oleh karena itu pembentukan perilaku keagamaan hendaknya ditanamkan sejak dini mungkin dalam pribadi seseorang yakni sejak dalam kandungan (Hasyim, 1983: 15). Hal ini karena semakin banyak unsur-unsur agama dalam diri seseorang maka sikap, tindakan, tingkah laku dan cara seseorang menghadapi hidup akan sesuai dengan ajaran agama.
31 Djalaluddin Rahmat (1998: 47) mengatakan, bahwa faktor situasional sangat berpengaruh pada pembentukan perilaku manusia seperti faktor ekologis, faktor rancangan dan arsitektural, faktor temporal, faktor teknologi, suasana perilaku, faktor sosial, seperti struktur organisasi. Tetapi manusia memberikan reaksi yang berbeda-beda terhadap situasi yang dihadapinya sesuai
dengan
karakteristik
personal yang
dimilikinya. Perilaku manusia memang merupakan hasil interaksi yang menarik antara keunikan individual dengan keumuman situasional C. Dakwah 1. Pengertian Dakwah Secara etimologi (bahasa) kata dakwah berasal dari bahasa Arab bentuk masdar dari ( دﻋﺎfi’il madzi) dan ( ﻳﺪﻋﻮfi’il mudhari’) yang berarti memanggil, mengundang, mengajak, menyeru, mendorong dan memohon (Munawir, 1994: 439). Secara terminologis banyak ahli yang mendefinisikan dakwah, di antaranya: a. Toha Yahya Umar Dakwah adalah “mengajak manusia dengan cara bijaksana ke jalan yang benar sesuai dengan perintah Tuhan untuk kemaslahatan dan kebahagiaan mereka di dunia dan di akhirat” (Anshari, 1993: 10).
32 b. Amiunuddin Sanwar Dakwah merupakan “komunikasi antara manusia dengan pesan-pesan al-Islam yang berwujud ajakan, seruan untuk amar makruf nahi mungkar juga taghyirul mungkar” (Sanwar, 1985: 4). c. Endang S. Anshori Dakwah adalah menyampaikan Islam kepada manusia secara lisan, tulisan, ataupun secara lukisan atau panggilan, seruan ajakan kepada manusia kepada Islam (Toto Tasmoro, 1997: 31). Dengan demikian esensi dakwah terletak pada ajakan, dorongan (motivasi) rangsangan serta bimbingan terhadap orang lain untuk menerima ajakan agama dengan penuh kesadaran (Syukir, 1983: 19). Dakwah pada hakekatnya merupakan upaya untuk mempengaruhi seseorang dalam bertindak dan berperilaku. Dengan dakwah terjadilah perubahan sosial dari suatu masyarakat, begitu pula sebaliknya perubahan sosial ikut juga menentukan arah dilaksanakan kebanyakan dakwah Islam dituntut oleh adanya pergeseran nilai yang ada dalam masyarakat. Mengubah suatu masyarakat dapat dilakukan secara individual maupun kolektif sebagaimana secara teoritik perubahan sosial itu terjadi bisa oleh seseorang tokoh atau masyarakat itu sendiri (Ghazali, 1997: 13).
2. Unsur-Unsur dakwah Aktivitas dakwah tidak terlepas dari unsur-unsur dakwah karena hal ini sangatlah diperlukan, sebab merupakan bagian yang sangat esensi
33 dari dakwah dan saling berkaitan. Adapaun unsur- unsur dakwah antara lain meliputi: a. Subjek Dakwah Subjek dakwah adalah pelaksana kegiatan dakwah, baik secara perorangan atau individu maupun secara bersama-sama secara terorganisasikan. Subjek dakwah disebut juga da’i, yaitu setiap muslim baik laki-laki maupun wanita yang baligh dan berakal, baik ulama maupun bukan ulama, karena kewajiban berdakwah adalah kewajiban yang diberikan kepada mereka seluruhnya (Sanwar, 1986: 4). Subjek dakwah merupakan unsur terpenting dalam pelaksanaan dakwah. Karena sebagaimana dalam pepatah dikatakan bahwa “The man behind the gun” (manusia itu di belakang senjata). Maksudnya, manusia sebagai pelaku adalah unsur yang paling penting dan menentukan dakwah (Hafi Anshari, 1973: 104-105). Untuk menentukan dan penelitian metode apakah yang tepat dalam penyajian dakwah tergantung pula pada kemampuan subyeknya (da’i) sebagai contoh subyek dakwah yang tidak punya keahlian acting, maka tidak bijaksana apabila ia menggunakan metode drama. Ia harus memilih metode yang sesuai dengan kemampuannya. jelaslah bahwa pengetahuan, kemampuan dan kesempatan da’i sangat menentukan sekali dalam penentuan dan memilih metode dalam kegiatan dakwahnya (Dzikron Abdullah, 1992: 162). Di samping itu, perlu diperhatikan, bahwa dakwah memiliki dimensi yang sangat luas,
34 yakni mengingatkan orang akan nilai-nilai kebenaran. Dalam hal ini pelaku dakwah bisa diartikan seorang pemikir, pembeharu terhadap dinamika masalah keislaman. b. Objek dakwah Objek dakwah adalah manusia yang menjadi audiens yang akan diajak ke dalam Islam secara kaffah. Mereka bersifat heterogen, baik dari sudut ideologi, intelektualitas, status sosial, kesehatan, pendidikan dan lain sebagainya (Muriah, 2000: 32). Menurut Abdullah bin Alwi Al-Hadda sebagaimana dikutip oleh Aminuddin Sanwar (1986: 72), bahwa objek dakwah dapat dikelompokkan sebagai berikut: 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7)
Golongan ulama’; Golongan ahli zuhud dan ibadah; Golongan penguasa dan pemerintah; Golongan kaum lemah dan fakir miskin; Golongan keluarga dan para hamba; Golongan ahli taat dan durhaka dari orang-orang biasa (awam); Golongan orang yang tak menerima dakwah Allah dan RasulNya. Jadi obyek dakwah merupakan sasaran utama dalam proses
dakwah. Tanpa adanya objek dakwah, maka kegiatan dakwah tidak akan terealisasikan. c. Materi Dakwah Materi dakwah adalah adalah peralatan yang dipergunakan untuk menyampaikan materi dakwah pada zaman modern, misalnya televisi, radio, kaset rekaman, majalah, surat kabar dan yang seperti
35 tersebut, termasuk melalui berbagai macam upaya mencari nafkah dalam berbagai sektor kehidupan (Bachtiar, 1997: 35). Materi dakwah menyangkut pesan atau gejala sesuatu yang harus disampaikan oleh subjek kepada objek dakwah, yaitu keseluruhan ajaran Islam, yang ada dalam kitabullah maupun sunnah Rasul-Nya. Yang pokoknya mengandung tiga prinsip yaitu: 1) AKIDAH,
MENYANGKUT SISTEM KEIMANAN ATAU KEPERCAYAAN
TERHADAP
ALLAH
FUNDAMEMTAL
SWT.
DALAM
INI
MENJADI
KESELURUHAN
ALASAN
AKTIVITAS
YANG
SEORANG
MUSLIM, BAIK YANG MENYANGKUT SIKAP MENTAL ATAU TINGKAH LAKU DAN SIFAT-SIFAT YANG DIMILIKI.
2) SYARI’AT, MANUSIA
YAITU SERANGKAIAN YANG MENYANGKUT AKTIVITAS MUSLIM
DI
DALAM
SEGALA
ASPEK
HIDUP
DAN
KEHIDUPANNYA, MANA YANG BOLEH DILAKUKAN, MANA YANG HALAL, YANG HARAM DAN YANG MUBAH.
SYARI’AT
YANG
MENYAGKUT HUBUNGAN MANUSIA DENGAN ALLAH DAN HUBUNGAN MANUSIA
DENGAN
SESAMANYA
(HABLUNMINALLAH
DAN
HABLUNMINANNAS).
3) AKHLAK,
LEBIH DITEKANKAN PADA
akhlak terpuji. Hal ini
mengingat manusia sebagai makhluk sosial yang membutuhkan bantuan orang lain. Apalagi manusia yang hidup di tengah-tengah masyarakat, yang segalanya saling bergantung satu sama lainnya (Ali, 2004: 179). Islam sangat menganjurkan pemeluknya untuk
36 saling menghormati dan saling tolong-menolong antara satu sama lain. Akhlak karimah yang harus diterapkan antara lain saling hormat-menghormati, saling menolong, menepati janji, berkata sopan, berlaku adil. Materi dakwah sebagai pesan dakwah merupakan isi ajaran, anjuran dalam rangka mencapai tujuan dakwah. Sebagai isi ajaran dan ide seruan dimaksudkan agar manusia mau menerima dan memahami serta mengikuti ajaran tersebut, sehingga ajaran Islam ini benar-benar diketahui, dipahami, dihayati dan selamanya diamalkan sebagai pedoman hidup dan kehidupannya. Semua ajaran Islam tertuang di dalam wahyu dan disampaikan kepada Rasulullah yang perwujudannya terkandung di dalam al-Qur’an dan sunnah Nabi (Aminudin Sanwar, 1984: 73). d. Media Dakwah MEDIA
DAKWAH
BERASAL
DARI
ASAL
KATANYA
(ETIMOLOGI) DARI BAHASA LATIN YAITU DARI KATA MEDIAN YANG BERARTI
“ALAT
PERANTARA”,
SEDANGKAN
KATA
“MEDIA”
MERUPAKAN BENTUK JAMAK DARI KATA MEDIA TERSEBUT (ASMUNI
SYUKIR, 1983: 163). MEDIA
ADALAH SEGALA SESUATU YANG DAPAT DIJADIKAN
SEBAGAI ALAT PERANTARA UNTUK MENCAPAI TUJUAN TERTENTU
(DAKWAH). DENGAN
DEMIKIAN, MEDIA DAKWAH ADALAH ALAT
OBYEKTIF YANG MENJADI SALURAN, YANG MENGHUBUNGKAN URAT
37 NADI DALAM DAKWAH, YANG DAPAT DIGOLONGKAN MENJADI LISAN, TULISAN, LUKISAN, AUDIO-VISUAL, DAN PERBUATAN ATAU AKHLAK (DZIKRON ABDULLAH, 1987: 59).
HAMZAH YA’QUB (1981: 47-48)
MEMBAGI GOLONGAN
MEDIA DAKWAH YAITU :
1) Media lisan Yang termasuk dalam bentuk ini adalah pidato, khutbah, ceramah, seminar, musyawarah, diskusi, nasehat, pidato radio, ramah-tamah dalam anjangsana dan lain-lain, yang kesemuanya dilakukan melalui lisan atau lidah. 2) Media tulisan Media tulisan yaitu dakwah yang dilakukan melalui perantara tulisan seperti buku-buku, majalah, surat kabar, pengumuman dan sebagainya. Da’i yang pintar dalam bidang ini harus menguasai jurnalistik yakni ketrampilan mengarang dan menulis. 3) Melalui lukisan Melalui lukisan adalah gambar-gambar hasil seni lukis, foto, film cerita dan lain-lain. Bentuk ini digunakan untuk ajaran Islam kepada orang lain. contoh, komik bergambar yang selama ini disenangi anak-anak. 4) Media audio-visual
38 Media audio-visual adalah dakwah melalui peralatan yang dipakai untuk menyampaikan pesan dakwah yang dapat dinikmati dengan melihat seperti televisi, radio (wayang, ketoprak, sandiwara dan sebagainya). Dalam pengggunaan bentuk-bentuk media dakwah menurut bentuk penyampaiannya tersebut di atas merupakan penghubung dengan kondisi umat bersangkutan dan kondisi mubaligh itu sendiri, dalam segi tenaga, daya pikir, waktu, biaya dan sebagainya. Jadi media dapat diartikan sebagai alat untuk menyampaikan
pesan
oleh
da’i
kepada
mad’u
untuk
menyampaikan tujuan yang telah ditentukan. e. Metode dakwah Metode adalah cara yang teratur dan terpikir baik untuk mencapai maksud (Depdikbud, 1993: 580). Asmuni Syukir (1983: 100) menjelaskan secara istilah metodologi dakwah berarti ilmu pengetahuan yang mempelajari cara-cara untuk mencapai tujuan yang efektif dan efisien. Dengan demikian, metode dakwah adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari cara-cara berdakwah untuk mencapai tujuan dakwah yang efektif dan efisien. Dzikron Abdillah (1989: 52-133) juga menjelaskan dalam bukunya Metodologi Dakwah membagi ke dalam beberapa metode yakni: 1) Metode ceramah
39 Metode ini banyak diwarnai oleh ciri-ciri karakteristik berbiacara seorang da’i pada suatu aktivitas dakwah. Metode ini efektif bila objek berjumlah banyak, da’i ahli ceramah. 2) Metode Tanya jawab Metode Tanya jawab adalah metode penyampaian materi dakwah dengan mendorong sasarannya (objek dakwah) untuk menyatakan suatu masalah yang belum dimengerti dan da’i sebagai penjawabnya. 3) Metode diskusi Diskusi sebagai metode dakwah belum lazim digunakan oleh para da’i atau para penyelenggara dakwah, karena banyak da’i yang belum mengetahui tentang pengertian diskusi apalagi tujuan serta manfaat diskusi bagi kegiatan dakwah. 4) Metode propoganda (diayah) Propoganda berasal dari bahasa Yunani “propogare” artinya menyebarkan atau meluaskan. Dakwah dengan menggunakan berarti suatu upaya dengan menggunakan Islam dengan cara mempengaruhi dan membujuk massa dan persuasif bukan bersifat otoriter. 5) Metode demonstrasi Metode ini adalah berdakwah dengan memperlihatkan contoh baik, berupa benda, peristiwa, perbuatan dan sebagainya. 6) Metode infiltrasi
40 Metode dakwah di mana yang disaring adalah agama atau agama disusupkan ketika memberi keterangan, penjelasan, pelajaran, kuliah, ceramah, pidato dan sebagainya. Maksudnya bersama-sama dengan bahan lain, seorang da’i memasukkan intisari jiwa agama kepada mad’u. 7) Metode silaturahmi Metode ini digunakan oleh juru penerangan agama, metode silaturahmi dapat dilakukan dengan dua cara yakni undangan tuan rumah dan atas inisiatif pribadi. 8) Metode drama Dakwah dengan metode ini merupakan suatu cara penyajian materi dakwah dengan menunjukkan dan mempertontonkan kepada mad’u agar dakwah tercapai sesuai dengan yang diharapkan. Itulah di antara bentuk-bentuk metode dakwah yang bisa digunakan oleh setiap manusia yang akan menjalankan dakwahnya. Karena, setiap kegiatan dakwah harus dapat menentukan metodenya. Salah satu metode dakwah yang tepat dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu, belum tentu jujuan metode dakwah tersebut dapat digunakan untuk mencapai tujuan yang lain. Demikian pula metode dakwah tertentu yang amat efisien dipakai oleh orang tertentu belum tentu efisien bila dipakai oleh orang lain. Kondisi menentukan
mad’u itu
metode
harus diperhatikan
karena setiap
metode
juga dalam
dakwah
harus
41 dipertimbangkan kondisi mad’unya, misalnya dakwah dengan menggunakan metode diskusi, harus diimbangi dengan mad’u yang memiliki pengetahuan yang cukup (Dzikron Abdullah, 1989: 155). Metode dakwah akan efektif bila diterapkan sesuai dengan kondisi mad’unya sebagaimana sabda nabi Muhammad saw. sebagai berikut:
ﻢ ﻮِﻟ ِﻬ ﻘﹸﺪ ِﺭ ﻋ ﻠﻰ ﹶﻗﺱ ﻋ ﺎﺐ ﺍﻟﻨ ِ ﺎ ِﻃﺧ Artinya: Berbicaralah kepada mereka (manusia) sesuai dengan kemampuannya (Muriah, 2000: 47) Lebih lanjut Dzikron Abdullah (1989: 153-161) dalam bukunya metodologi dakwah ada beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam memilih metode yang akan digunakan dalam menyajikan dakwah. Faktor-faktor yang dimaksud antara lain: 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7)
Tujuan yang hendak dicapai Mad’u (obyek dakwah) Media Biaya dan fasilitas Da’i Filsafat Dakwah Kebaikan dan kelemahan Ketujuh faktor tersebut di atas, hendaknya menjadi bahan
pertimbangan dalam menentukan dan memilih metode dakwah yang akan dipergunakan dalam rangka mencapai tujuan dakwah.
42 D. Hipotesis Secara definitif “hipotesis” adalah dugaan yang mungkin benar atau mungkin salah, dia akan ditolak jika salah dan akan diterima jika fakta-fakta membenarkannya. (Hadi, 1980: 63) Dengan kata lain, hipotesis adalah kesimpulan sementara. Adapun hipotesis yang peneliti ajukan dalam penelitian ini adalah “ada pengaruh positif antara kegiatan Jam’iyah al-Istiqomah dengan perilaku anggotanya di Kecamatan Ngaliyan Kota Semarang”. Semakin baik kegiatan jam’iyah al-Istiqomah, maka semakin baik perilaku anggotanya. Namun sebaliknya, semakin jelek kegiatan jam’iyah al-Istiqomah, maka semakin jelek perilaku anggota jam’iyah al-Istiqomah di Kecamatan Ngaliyan Kota Semarang.