22
BAB II KEPEMILIKAN TANAH ATAS DASAR PUTUSAN LANDRAAD PASCA LAHIRNYA UNDANG UNDANG POKOK AGRARIA
A. Tinjauan Umum Pertanahan di Indonesia Tanah sangat erat hubungannya dengan kehidupan manusia sehari hari,bahkan dapat dikatakan setiap saat manusia berhubungan dengan tanah.Setiap orang memerlukan tanah tidak hanya pada masa hidupnya,tetapi sudah meninggal pun masih tetap berhubungan dengan tanah.22Sesuai dengan amanat Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 33 ayat 3 bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat.23Sebelum Indonesia merdeka,Indonesia sudah mengalami sederet perjalanan mengenai perubahan dan univikasi hukum yang berlaku sampai sekarang yaitu dengan lahirnya Undang Undang No 5 tahun 1960 tentang Pokok Agraria.Pada Pemaparan berikutnya Undang Undang Pokok Agraria akan dipersamakan dengan singkatan UUPA yang maksudnya adalah Undang Undang Pokok Agraria No 5 tahun 1960 dan sebaliknya. 1. Hukum Pertanahan Zaman Belanda Dan Pembagian Atas Kepemilikan Hak Hak Atas Tanah Masa Sebelum Kemerdekaan Republik Indonesia terbagi atas Masa sebelum Agrarische Wet tahun 1870 dan masa setelah Agrarische Wet tahun 1870 sampai dengan Proklamasi Kemerdekaan. 22
Mudjino,Politik dan Hukum Agraria,Cet Pertama, (Liberty: Yogyakarta, 1997),hal. 119 Redaksi Kawan Pustaka,UUD 45 & Perubahannya Susunan Kabinet RI Lengkap,Cet ketujuh, (Kawan Pustaka,2006),Hal .34. 23
22
Universitas Sumatera Utara
23
Dengan datangnya Belanda,politik agraria Kolonial dikaitkan dengan kepentingannya untuk penanaman hasil-hasil bumi yang sangat laris di pasaran Eropa. Di masa Kolonial para penguasa Eropa secara teoritis tidak mempersoalkan macam-macam hak atas tanah seperti hakrakyat dan hak raja. Namun nampaknya Kolonial yang paling menyesuaikan diri dengan sikap dan teori bahwa semua yang terdapat di bumi adalah kepunyaan raja.24 Raffles (1811–1816) mempergunakan asas hukum tata negara yang lebih tepat dengan dekritnya sistem pajak tanah (landrent)sebesar 2/3(dua pertiga) hasil panen. Menurut Raffles semua tanah adalah eigendom pemerintah, sedangkan rakyat adalah pachter(penyewa). Ia menganggap bahwa pemerintah Inggris sebagai pengganti raja menjadi pemilik atas tanah, dan karena itu berhak untuk menjaga, mengamat-amati tanah itu serta berhak untuk menyewakannya kepada petani. Kepala-kepala menjadi penyewa yang pertama.Teori Raffles, bahwa raja sama dengan government pemilik mutlak
tanah, tidak sesuai dengan keadaan hukum adat. Dengan mengikuti pendirian ini ia tidak mengetahui hak ulayat desa atau ia menghapuskan hak itu, di mana hak milik rakyat dijadikan hak usaha saja. Akibat pendirian ini begitu besar dalam praktek, keadaan tanah menjadi kacau. Sehingga Van Vollenhoven mengatakan bahwa Raffles rechtsbederf atau ladrechte onrecht. Ternyata stelsel Raffles mengalami banyak rintangan.25
24
A.P.Parlindungan,berbagai Aspek Pelaksanaan UUPA,hal. 2 Rafles mendasarkan, bahwa pengawasan tertinggi dan langsung dilakukan oleh pernerintah atas tanah tanah dengan menarik pendapatan dan sewanya, tanpa perantaraan bupati bupati. la tampaknya ingin menghapuskan feodalisme atas tanah secara radikal. Soedigdo Hardjosudarmo, Masalah Tanah di Indonesia, hal. 34. 25
Universitas Sumatera Utara
24
Walaupun demikian, sistem tanam paksa Van den Bosch yang datang kemudian (1830) berpangkal juga pada asas tersebut. Ia menjalankan Cultuurstelsel yang semula dalam beberapa hal merupakan reaksi terhadap stelsel tanah sebelumnya, yaitu bahwa kekuasaan feodal atas tanah yang berpengaruh itu masih harus dihormati, bahwa orang Eropa tidak akan mencapai apa-apa jika mereka tidak mempergunakan organisasi desa dan bahwa untuk produksi barang-barang ekspor diperlukan pimpinan orang-orang Eropa.26 Akibat buruk dari politik Cultuurstelselini menimbulkan kekacauan dan penderitaan di Jawa, serta mendapat kecaman dari segolongan orang Belanda sendiri. Kemenangan golongan Liberal pada pertengahan kedua abad ke 19 dalam percaturan politik di negeri Belanda diikuti dengan mengalirnya modal swasta ke tanah jajahan dan lahirnya Agrarische Wet 1870 Cultuur Stelsel mulai dihapus, secara bertahap.27
Sejarah Hukum Indonesia dimulai sebelum Indonesia merdeka yakni sebelum tahun 1945 yakni pada masa sebelum Agrarische Wet tahun 1870 dan masa setelah Agrarische Wet tahun 1870 sampai dengan Proklamasi Kemerdekaan. Indonesia yang pada masa Penjajahan Hindia Belanda, sejak tahun 1815, praktis Kondisi Hukum yang berlaku, khususnya hukum perdata sudah bersifat dualistis, di samping hukum adat yang merupakan hukum perdata bagi golongan penduduk pribumi, maka bagi golongan penduduk jajahan Belanda berlaku hukum
26
D.H Burger, Sejarah Ekonomis Sosiologis Indonesia ,hal. 197 Tahun 1862 dihapuskan Governments pepercultuur, Tahun 1865 dihapuskan Governments nopascultuur, Tahun yang sama dihapuskan Governments indi gocultuur, Tahun 1890 dihapuskan Governments suikercultuur, Tahun 1915 dihapuskan Governments koffiecultuurr. 27
Universitas Sumatera Utara
25
perdata yang mereka bawa dari negara asalnya.28Jadi pada masa sebelum kemerdekaan, di mana terdapat masa sebelum Agrarische Wet, peraturan yang digunakan dituangkan pemerintah jajahan di Hindia Belanda dalam bentuk Wetyang dikenal dengan RR (Regerings-Reglement) tahun 1855 (S.1855-2).”Semula RR tersebut terdiri dari tiga (3) ayat, selanjutnya dengan tambahan lima (5) ayat oleh AW (Agrarische Wet ), Pasal 62 RR kemudian menjadi Pasal 51 IS (Indische Staatsregeling)”.29
Masa sebelum Agrarische Wet tahun 1870 ternyata sudah diatur mengenai hukum adat untuk golongan pribumi yakni pada RR (Regerings Reglement) 1854, yaitu Pasal 75 (tujuh puluh lima) yang terjemahannya adalah sebagai berikut:
1. Sepanjang mengenai golongan Eropa, pemberian keadilan dalam bidang keperdataan, begitu juga dalam bidang hukum pidana didasarkan kepada verordening-verordening umum, yang sejauh mungkin bersamaan bunyinya dengan Undang-Undang yang berlaku di Negeri Belanda. 2. Gubernur Jenderal berhak untuk mengatakan berlaku aturan-aturan yang dipandang pantas, dari verordening-verordening tersebut bagi golongan Indonesia, ataupun bagi bagian-bagian dari golongan itu, kalau perlu aturanaturan tersebut boleh diubah 3. Kecuali dalam hal pernyataan berlaku tersebut ataupun dalam hal orang Indonesia telah dengan sukarela tunduk kepada hukum perdata Eropa, oleh para Hakim untuk Indonesia dipergunakan a. Undang-Undang Agama b. Golongan Indonesia c. Kebiasaan-kebiasaan Golongan Indonesia, sepanjang hal-hal 1, 2, 3 tidak bertentangan dengan asas-asas yang diakui umum tentang kepatuhan dan keadilan. 4. Dalam memberikan keadilan kepada golongan Indonesia, para hakim mengambil asas-asas umum dari hukum perdata Eropa sebagai pedoman, manakala mereka harus memutus perkara, yang tidak diatur dalam Undang-Undang Agama, lembaga-lembaga dan Adat Kebiasaan Indonesia tersebut di atas
28 29
JB Daliyo,Hukum Agraria I, (Jakarta :Prenhallindo,2001),hal. 16 Boedi Harsono,Hukum Agraria Indonesia, ( jakarta : Djambatan) hal. 33
Universitas Sumatera Utara
26
Pada tahun 1870, Menteri Jajahan De Waal mengajukan Ranangan UndangUndang (RUU) yang kemudian diterima oleh parlemen. Berisi lima ayat yang kemudian ditambahkan pada 3 ayat dari Pasal 62 RR sehingga menjadi 8 ayat. Salah satunya menyebutkan bahwa Gubernur Jenderal akan memberikan hak erfach, yaitu suatu hak yang zakelijk (hakbenda) dan yang diinginkan oleh pengusaha-pengusaha selama 75 tahun. Pasal 62 RR dengan 8 ayatnya ini kemudian dijadikan Pasal 51 dari Indische Staatsregeling(IS). Inilah yang disebut sebagai Agrarische Wet1870. Agrarische Wetini merupakan pokok yang terpenting dari hukum agraria dan semua peraturan-peraturan yang diselenggarakan oleh pemerintah dahulu berdasarkan atas wet ini. Adapun isinya ialah memberi kesempatan kepada perusahaan-perusahaan pertanian yang besar-besar untuk berkembang Indonesia, sedang hak-hak rakyat atas tanahnya juga harus diperhatikan juga.Tujuan diundangkannya
Agrarische Wet
adalah untuk memberi kemungkinan dan jaminan kepada modal besar asing agar dapat berkembang di Indonesia, dengan pertama-tama membuka kemungkinan untuk memperoleh tanah dengan hak erpachtyang berjangka waktu lama.30 Jadi hukum pertanahan pada masa setelah diundangkannya Agrarische Wetadalah hukum agraria yang berdasarkan tujuan dan sendi-sendi dari pemerintah jajahan, dalam rangka melaksanakan politik pertanahan kolonial, sementara tujuan kedatangan bangsa Eropa ke Indonesia pertamakali adalah berdagang, terutama berdagang rempah, sesuai politik dagang, mereka melakukan segala macam cara untuk memperoleh keuntungan yang
sebesar-besarnya 30
dengan
pengorbanan
modal
yang
harus
sekecil-
JB.Daliyo,dkk,Op.Cit, hal. 18
Universitas Sumatera Utara
27
kecilnya.31Agrarische Wet ini merupakan pokok yang terpenting dari hukum agraria
dan semua peraturan-peraturan yang
diselenggarakan oleh pemerintah dahulu
berdasarkan atas wet ini. Adapun isinya
ialah memberi kesempatan kepada
perusahaan-perusahaan pertanian yang besar-besar
untuk berkembang Indonesia,
sedang hak-hak rakyat atas tanahnya juga harus diperhatikan juga. Pada masa Agrarische Wet berlangsung dari tahun 1870 sampai dengan 1945 daerah Indonesia dibagi atas 2 bagian yang mempunyai lingkup hukum sendiri yaitu : 1. Daerah yang diperintah langsung oleh atau atas nama Pemerintah Pusat dan disebut dengan Daerah Gubernemen. 2. Daerah daerah yang tidak diperintah langsung oleh Pemerintah Pusat yang disebut dengan daerah swapraja.
Menurut Pasal 21 ayat (2) Indische Staatsregeling (IS), bahwa peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah Pusat hanya berlaku di daerah-daerah gubernemen saja. Jika peraturan-peraturan Pemerintah Pusat akan diberlakukan di daerah Swapraja harus dinyatakan dengan tegas di da1am peraturah tersebut bahwa juga berlaku untuk daerah Swapraja atau ditegaskan dengan suatu peraturan lain.32 Sebagai contoh : 1. Pasal 1 Agrarisch Besluit yang merupakan pelaksanaan dari Agrarische Wet dengan keputusan raja tanggal 20 juli 870-15 ditetapkan peraturan yang dinamakan keputusan Agraria (S. 1870 -118) tentang "tanah negara' (Staatsdornein) yang berlaku didaerah daerah Gubernemen di jawa dan Madura, tidak berlaku untuk daerah-daerahswapraja.
31
Chadidjah Dalimunthe,Pelaksanaan Landreform di Indonesia dan Permasalahannya, (Medan:FH USU Press 2000). 32 Dikutip dari http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1583/1/perda-syamsul1.pdf hal 2 pada tanggal 04/02/2015.
Universitas Sumatera Utara
28
2. “Tanah mentah “ (Woeste gronde) di daerah-daerah swapraja tidak ditetapkan siapa pemiliknya menurut Pasal 1 Agrarisch Besluit. Tanah-tanah mentah tersebut berlaku menurut hukum adat didaerah-daerah Swaprajaitu sendiri. Oleh karena peraturan-peraturan umum dari pemerintah pusat pada azasnya tidak berlaku di daerah-daerah swapraja, maka jika dipandang perlu Pemerintah mengadakan peraturan-peraturan sendiri bagi daerah-daerah swapraja dengan mengambil sebagai pedoman Ordonnantie Erfpact peraturan-peraturan yang sudah berlaku di daerah- daerah gubernemen. Sebagai contoh di daerah-daerah gubernemen di luar Jawa clan Madura berlaku sebagai dimaksud dalam SJ914-387 sedangkan
untuk daerahSwapraja di luar Jawa dan Madura diadakan peraturan
sendiri yaitu Ordonnantie Erfpacht yang diatur dalam S 1919.33 Pada Pasal 1Agrarisch besluit, dimuat tentang pernyataan-pernyataan secara umum (algemene-domeinverklaring) yang menganut suatu prinsip (azas) agraria yaitu pernyataan bahwa semua tanah yang tidak dapat dibuktikan eigendom seseorang adalah tanah negara (domein vanden Staat) Negara adalah sebagai eigenaar (pemegang hak milik) atau jika terbukti ada hak cigendom orang lain diatasnya. Beberapa ketentuan ketentuan berdasarkan teori Domein melahirkan hak hak Barat seperti : 1. Hak Eigendom, Pasal 51 ayat (1) I.S.(Indische Staatsregeling) sebagai pengganti pasal
62 RR ayat (1) melarang Gubernur Jenderal menjual tanah tanah
Landsdomein. Tetapi ayat (2) Pasal ini mengecualikan atas tanah-tanah yang kecil 33
Ibid
Universitas Sumatera Utara
29
yang luasnya tidak lebih dari 10 bouw (0,7 hektar) dan pemberian ini asal untuk keperluan perluasan kota atau desa atau untuk mendirikan usaha usaha kerajinan. Jadi, cara memperoleh eigendom tersebut antara lain karena penjualan tanah oleh pemerintah atau penyerahan atas tanah kepada orang lain. Tanah-tanah yang tunduk kepada hukum adat dapat juga diberikan eigendom. Setelah dibebaskan terlebih
dahulu
dari
hak
adatnya
dan
diajukan
permohonan
kepada
pemerintah.34Pasal 570 KUHPerdata menyebutkan,Eigendom adalah hak untuk dengan bebas mempergunakan suatu benda sepenuh penuhnya dan untuk menguasai seluas luasnya, asal saja tidak bertentangan dengan undang-undang atau peraturan-peraturan umum yang ditetapkan oleh instansi (kekuasaan) yang berhak menetapkannya, serta tidak menganggu hak hak orang lain, semua itu kecuali
pencabutan eigendom untuk kepentingan umum dengan pembayaran
yang layak menurut peraturan peraturan umum.Selain itu muncul kemudian “tanah partikelir”, yaitu tanah eigendom yang
mempunyai sifat dan corak
istimewa, dengan adanya hak-hak pada pemiliknya yang bersifat kenegaraan seperti
dapat
turut
menentukan
kepala
kampung,
dapat
menuntut
Rodi,mengadakan pungutan-pungutan atas jalan.35 2. Hak opstal, adalah hak untuk mempunyai rumah, ba-ngunan atau tanam tanaman di atas tanah orang lain. Hak ini diberikan berdasarkan S.1872 Nomor 124 untuk paling lama 30 tahun, sedangkan luasnya tanah terbatas yaitu paling banyak 34
A.P Parlindungan,Berbagai Aspek Pelaksanaan UUPA,hal. 4 Boedi Harsono,Undang Undang Pokok Agraria- Sejarah Penyusunan,isi dan pelaksanaannya, hal. 62 35
Universitas Sumatera Utara
30
hanya 10 bauw. Tanah yang dapat diberikan dengan hal opstal hanya tanah negara bebas. Milik tanah perorangan dan desa dapat juga, diberikan hak opstal, yaitu setelah memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan haknya.36 3. Hak erfpacht, adalah hak benda yang paling luas yang dapat dibebankan atas benda orang lain. Pasal 720 KUHPerdata menyebutkan, bahwa pemegang erfpacht mempunyai hak untuk mengusahakan dan merasakan hasil benda itu dengan penuh. Hak ini bersifat turun-temurun, banyak diminta untuk keperluan pertanian. Di Jawa dan Madura Hal erfpacht diberikan untuk pertanian besar, tempat tempat kediaman di pedalaman, perkebunan dan pertanian kecil. Sedang di daerah luar Jawa hanya untuk pertanian besar, perkebunan dan pertanian kecil.37 4. Hak sewa,Gubernur jenderal berwenang untuk menyewakan tanah negara bagi kepentingan perkebunan untuk masa 20 tahun. Kebanyakan hak sewa ini kemudian diganti dengan hak erfpacht. Orang bumi putera juga diperbolehkan menyewakan tanahnya kepada bukan bumi putera. Perkebunan perkebunan di Jawa memerlukan tanah tanah dari rakyat dengan sewa yang murah. Sungguh pun dalam sewa menyewa ini kelihatan atas dasar sukarela, namun perusahaan perusahaan-perkebunan melalui campur tangan pegawai-pegawai pemerintah melakukan paksaan agar rakyat menyerahkan tanah mereka untuk disewa.38Dari hak sewa ini kemudian timbullah apa yang dikenal dengan hak-hak konversi di daerah daerah swapraja. Antara swapraja dengan pengusaha pertanian terjalin 36
A.P Parlindungan, Ibid, hal 4 A.P Parlindungan, Ibid,hal. 5 38 A.P Parlindungan,Ibid, hal. 7 37
Universitas Sumatera Utara
31
hubungan tertentu. Swaparaja menyediakan tanah, berikut buruh dan air. Sebagai imbalannya pengusaha pertanian membayar penggantian setiap tahun kepada swapraja. Semula jangka waktu Hak Konversi ini adalah 50 tahun.39 5. Hak Pakai,Hak pakai atas tanah negara ini diberikan kepada gereja-gereja atau badan-badan sosial untuk jangka waktu tertentu. Hak pakai diatur pasal 821 KUUPerdata.40 6. Hak Pinjam,Peminjaman tanah negara diatur oleh S. 1940 No. 427 Pemberian hak pinjam (sanggan), misalnya, meliputi keperluan untuk rumah sakit yang mendapat subsidi.41 Berdampingan dengan hak hak Barat tersebut, tetap hidup hak hak adat atas tanah, yaitu antara lain: 1. Hak milik. Hak ini memberikan kebebasan penuh kepada pemiliknya dalam batas-batas yang diperbolehkan oleh hak persekutuan. Pemiliknya mempunyai segala hak untuk melakukan transaksi atas tanah. Di mana hak persekutuan masih kuat, maka adalah terlarang untuk mengalihkan hak milik kepada orang luar persekutuan. Tetapi di mana hak persekutuan luntur, perpindahan tanah kepada orang luarorang asing bagi persekutuan itu, berjalan dengan sendirinya.42Corak dan sifat yang lain dari hak milik atas tanah adalah apa yang disebut dengan
39
Soedargo Gautama, Masalah Agraria Berikut Peraturan-peraturan Contoh-contohnya,
hal. 34 40
Soedigdo Hardjosudarmo, Masalah Tanah di Indonesia, hal. 51. Soedigdo Harjkosudarmo,Ibid, hal. 52 42 R. Van Djik, Pengantar Hukum Adat Indonesia, hal. 46. 41
Universitas Sumatera Utara
32
pekulen. Di berbagai daerah Jawa Tengah terdapat sawah-sawah pekulen, yang diberikan kerena jabatan kepala desa.43 2. Hak memungut hasil, adalah hak yang diperdapat dengan persetujuan kepala persekutuan, untuk mengolah sebidang tanah, untuk satu atau beberapa kali panen. Di samping itu, terdapat juga hak memungut hasil hutan, dengan memberikan tanda tanda pada areal hutan yang dinikmatinya.44 3. Hak pakai adalah hak mengolah tanah dan memungut hasil yang diperoleh dari tanah pertanian orang lain. Hak ini paling sering diketemukan di Minangkabau dan Minahasa di mana tanah pertanian adalah milik bersama keluarga. Biasanya tanah diserahkan kepada keluarga tertentu untuk di kerjakan.45 4. Hak gadai dan hak sewa, Semua tanah tanah Adat tersebut tidak terdaftar, kecuali tanah-tanah agrarische eigendom di dalam S.1873 No. 38, tanah-tanah milik swapraja di Yogyakarta dan Surakarta, tanah-tanah grant di Sumatera Timur.46 Di samping itu, terdapat pula landerijen bezitsrecht hak yang diperoleh orang Timur Asing sebagai pemegang hak usaha di atas tanah partikelir. Sewaktu-waktu tanah partikelir dibeli oleh pemerintah.47 43
R. Van Djik,Ibid, hal. 47. Hak memungut hasil karena jabatan, seperti penghulu-penghulu atau pengurus masyarakat untuk nafkahnya, dikenal dengan tanah-tanah “bengkok”. (Ter Haar Bzn, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, hal. 76). 45 Di Minangkabau sawah pusaka diserahkan kepada keluarga tertentu buat dipungut hasilnya, disebut dengan “gangguan bauntuiq” (Ter Haar Bzn, Ibid, hal. 76) 46 Boedi Harsono, Undang-undang Pokok Agraria – Sejarah Penyusunan, Isi dan Pelaksanaannya, hal. 41 44
Universitas Sumatera Utara
33
2. Kepemilikan hak atas tanah setelah kemerdekaan Masa setelah kemerdekaan Republik Indonesia terbagi atas dua yakni Masa sebelum UUPA pada tahun 1945 sampai dengan tahun 1960 dan Masa setelah UUPA yaitu setelah terbitnya Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Dasar Pokok Agraria tanggal 24 September 1960. Pada tahun 1945 bangsa Indonesia merdeka dari Penjajahan Kolonial Belanda, akan tetapi pada masa kemerdekaan, usaha untuk melakukan perombakan hukum agraria tidak mudah, dan memerlukan waktu. Untuk menghindari kekosongan hukum, maka hukum agraria yang berlaku adalah peraturan-peraturan yang sudah ada semasa Penjajahan Kolonial Belanda sementara masalah-masalah keagrariaan yang timbul telah mendorong pihak-pihaknya yang berwenang untuk melakukan pembaharuan hukum agraria. Sebelum lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria, telah dilakukan terobosan oleh Pemerintah Indonesia dengan dikeluarkannya peraturan yang
dimaksudkan
untuk meniadakan beberapa lembaga feodal dan kolonial seperti: 1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1948 Jo Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1950. 2. Undang-Undang Nomor 6 Darurat Tahun 1951, mengubah peraturan persewaan tanah rakyat. 3. Undang-Undang Nomor 1 Darurat Tahun 1952, pengawasan terhadap pemindahan hak atas tanah. 4. Undang-Undang Nomor 8 Darurat Tahun 1954, Jo Undang-Undang Nomor 1 Darurat 1956, mengatur tentang pemakaian tanah tanpa izin. 5. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1958, menghapuskan tanah partikelier. 6. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960, peraturan perjanjian bagi hasil.48 47 48
Boedi Harsono,Ibid, hal. 42 JB Daliyo,Op.Cit,hal. 35
Universitas Sumatera Utara
34
Undang-Undang Pokok Agraria baru disahkan pada tanggal 24 September 1960 oleh Presiden Republik Indonesia menjadi Undang Undang Nomor 5 tahun 1960,dimuat dalam Lembaran Negara Nomor 2043,demikian hukum Agraria Indonesia dapat diperbaharui setelah lima belas tahun kemerdekaan. Undang undang Pokok Agraria nomor 5 tahun 1960 antara lain bertujuan untuk
menghapuskan dualisme di bidang hukum tanah. Undang-undang ini
mencabut
Agrarische
Wet
1870
beserta ketentuan-ketentuan lanjutannya,dan
mendasarkan diri kepada hukum adat, karena hukum adat dianggap bersumber kepada kesadaran hukum rakyat.49 Hak-hak barat dan hak-hak adat dikonversi menjadi hak-hak baru menurut undang undang ini, sebagai berikut :50 Hak eigendom, hak agrarische eigendom, hak milik, yayasan, andarbeni, hak atas druwe, hak atas druwe desa, pasini, grant sultan, landerijenbezitsrecht, altijddurendeerfpacht, hak usaha atas bekas tanah partikelir dan hak hak lainnya dengan nama apapun juga menurut hukum adat (yang akan ditegaskan oleh menteri agraria) dikonversi menjadi hak milik menurut undang undang pokok agraria yang baru ini. Begitu juga hak gogolan, sanggam, pekulen yang bersifat tetap dikonversi menjadi hak milik.51Hak vrucktgebruik, gebruik, grant controleur, bruikleen, 49 Pasal 5 Undang undang nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (LN. 1960) dan Penjelasan Umum (II angka 1) 50 Ketentuan ketentuan Konversi Pasal 1 angka VIII Undang -Undang Nomor 5 Tahun 1960 (LN 1960 nomor 104)
Universitas Sumatera Utara
35
ganggan bauntuik, anggaduh, bengkok, lungguh, pituwas, hak konsesi dikonversi menjadi hak guna usahaHak erfpacht untuk perkebunan besar juga dikonversi menjadi hak guna usaha. Hak eigendom pemerintah asing, hak eigendom badanbadan hukum dikonversi menjadi hak guna bangunan,demikian juga sebagian dari hak opstal, dan erfpacht. Hak gogolan, pekulen, sanggam yang bersifat tidak tetap dikonversi menjadi hak pakai.52Hak-hak swapraja dan bekas swaprija dihapuskan. UUPA Nomor 5 tahun 1960 ini tetap mengakui perihal hak sewa, hak membuka tanah, hakmemungut hasil hutan dan hak hak lainnya seperti hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah pertanian.53 Sebagaimana dikatakan bahwa Undang-Undang Pokok Agraria Indonesia yang baru berdasarkan hukum adat. Akan tetapi hukum adat yang dimaksud adalah hukum adat yang telah disaneer, hukum adat yang: 1. Tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa; 2. Sosialisme Indonesia; 3. Peraturan-peraturan yang tercantum dalam UUPA; 4. Peraturan peraturan perundang undangan lainnya; 5. Unsur unsur yang bersandar pada hukum agama54 Pentingnya pembaharuan hukum tanah yang dimotivasi oleh Undang-Undang Pokok Agraria selanjutnya dapat dilihat di dalam penjelasan umum sebagai berikut:
51
Diatur dalam pasal 20, pasal 2 1, pasal 22, pasal 23, pasat 24, pasal 25, pasal 26 dan pasal 27 Undang-UndangNomor 5 Tahun 1960 (LN 1960 nomor 104) 52 Diatur dalam Pasal 4 1,Pasal 42, dan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (LN 1960 Nomor 104) 53 pasal 16 Undang -Undang Nomor 5 Tahun 1960 (LN 1960 Nomor 104) 54 Pasal 5 Undang -Undang Nomor 5 Tahun 1960 (LN 1960 nomor 104)
Universitas Sumatera Utara
36
1. Karena Hukum Agraria yang berlaku sekarang ini sebagian tersusun berdasarkan tujuan dan sendi-sendi dari pemerintah jajahan dan sebagian lainnya yang dipengaruhi olehnya, hingga bertentangan dengan kepentingan rakyat dan negara di dalam melaksanakan pembangunan semesta dalam rangka menyelesaikan revolusi nasional sekarang ini. 2. Karena sebagian akibat dari politik hukum pemerintah jajahan itu hukum agraria tersebut mempunyai sifat dualisme, yaitu dengan berlakunya peraturan-peraturan dari hukum adat disamping peraturan-peraturan dari dan didasarkan atas Hukum Barat, hal mana selain menimbulkan berbagai masalah antar golongan yang serba sulit, juga tidak sesuai dengan cita-cita persatuan-persatuan bangsa. 3. Karena bagi rakyat asli hukum agraria penjajah tidak menjamin kepastian hukum55 Tujuan pokok Undang-Undang Agraria adalah sebagai berikut: 1. Meletakkan dasar-dasar penyusunan hukum agraria nasional yang akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur. 2. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan. 3. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hakhak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.56”Pembaharuan hukum tanah telah nyata dilakukan dengan diberlakukannya Undang-Undang Pokok Agraria di mana perombakan hukum kolonial dan menggantikannya dengan hukum nasional adalah merupakan suatu pelaksanaan landreformdi Indonesia”57Selanjutnya hukum tanah yang telah diperbaharui, dikenal dengan hukum tanah nasional yang bersifat nasional baik dari segi formal maupun dari segi materilnya.58 Sebelum UUPA berlaku, dikenal Hukum Tanah Adat yangmenggunakan konsepsi Hukum Adat dan ada pula Hukum Tanah Baratyang menggunakan konsepsi
55
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960, Pada Butir Penjelasan Umum. Ibid 57 Chadidjah Dalimunthe, Op.Cit., hal. 41. 58 Boedi harsono,Op.Cit, hal. 162 56
Universitas Sumatera Utara
37
Hukum Tanah Barat.59Konsepsi Hukum Tanah Barat bertitik tolak dari konsepsi yang liberal individualistis,bahwa tanah (bumi) ini diciptakan oleh Tuhan dan diperuntukkan bagi kesejahteraan umat manusia.Pada mulanya tanah tanah di muka bumi merupakan tanah yang belum ada pemiliknya (res nullius),oleh karena itu,sebagai ras nullius tanah dapat diduduki (occupatie) dan dimanfaatkan oleh siapa saja yang memerlukan.Dengan menduduki atau menguasai tanah tersebut,jadilah ia selaku pemiliknya dan menjelma suatu hubungan hukum yang disebut “Hak Eigendom”. Hak eigendom menurut konsepsi liberal individualistis barat adalah hak yang tertinggi. Dikatakan sebagai hak yang tertinggi karena hak eigendom muncul atas dasar suatu anggapan bahwa setiap individu selaku pribadi bebas memiliki dan melakukan apa saja yang dikehendaki. Puncak dari kebebasan individu itu tercermin perwujudannya dalam hak eigendom, yang kemudian dikenal dengan sebutan "hak asasi" seperti yang tertera dalam Deklarasi Sedunia tentang Hak-hak Asasi Manusia oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1548. Jadi, sumber hak atas tanah menurut konsepsi Hukum Tanah Barat pada hakikatnya ialah hak asasi. Hak asasi manusia inilah merupakan sumber dari segala hak-hak perorangan atas tanah. Dalam perkembangan selanjutnya, penerapan konsepsi yang mendewakan kebebasan individu tersebut telah membawa akibat timbulnya konflik-konflik sosial yang tak terelakkan, misalnya saja konflik-konflik yang terjadi antara kelompokkelompok pendatang berkulit putih dengan penduduk asli benua Amerika dan
Universitas Sumatera Utara
38
Australia.Untuk mengendalikan keadaan karena adanya konflik tersebut maka perlu diadakan penertiban, yakni campur tangan dari penguasa berupa penguasaan tanahtanah yang masih kosong dan dijadikan milik negara. Dengan demikian lahirlah apa yang dinamakan tanah domein negara. Jadi sesuai dengan konsepsi Hukum Tanah Barat bahwa semua tanah dapat dibagi habis ke dalam dua kelompok, yaitu tanahtanah hak eigendom dan tanah domein negara. Menurut Pasal 584 BW,hak eigendom dapat diperoleh dengan cara cara: 1. 2. 3. 4.
okupasi daluarsa pewarisan pemindahan hak Dengan demikian sebagaimana yang digambarkan dalam skema di atas,
bahwa melalui pemindahan hak/jual beli dapat diperoleh hak eigendom dari pihak yang mempunyai hak eigendomnya atau dari tanah domein negara. Sedangkan untuk mendapatkan hak-hak sekunder (hak opstal, erfpacht, sewa dan gebruik) dari tanah hak eigendom atau tanah domein negara ialah melalui perjanjian. Sebelum berlakunya UUPA,Undang Undang Nomor 5 tahun 1960 pada tanggal 24 September 1960,jual beli tanah di Indonesia mempergunakan dua sistem hukum,yaitu sistem hukum barat bagi golongan Eropa dan sistem hukum Adat bagi golongan bumi Putera atau pribumi. Dalam Hukum adat,jual beli tanah pada dasarnya mempunyai syarat terang dan tunai, maksudnya adalah jual beli dilakukan dihadapan Kepada Desa dan pembeli membayar harga secara tunai kepada penjual sesuai dengan kesepakatan antara
Universitas Sumatera Utara
39
penjual dengan pembeli.Sehingga dikatakan bahwa jual beli tanah menurut Hukum adat itu bersifat terang,nyata (kongkrit) dan bersifat tunai (kontan). Sesuai dengan pendapat diatas, Boedi Harsono mengatakan bahwa, jual beli tanah adalah penyerahan hak atas tanah yang dijual kepada pembeli yang pada saat yang sama membayar penuh kepada penjual harga yang telah disetujui bersama,maka jual beli tanah menurut Hukum Adat ini pengaturannya termasuk dalam Hukum Tanah.Dalam jual beli tanah,sistem hukum barat dengan sistem hukum adat mempunyai perbedaan yaitu :60 1. Objek tanah yang berbeda,untuk sistem hukum barat,tanah dengan hak barat yaitu hak eigendom,hak erfpacht,hak opstal,dan lain-lain.Sedangkan sistem hukum adat,tanah hak adat yang sebagian besar tidak mempunyai bukti tertulis. 2. Subjek/pemilik hak atas tanah,sistem hukum barat,tana tanah tersebut dimiliki oleh golongan eropa yang dipersamakan dengan itu,contoh golongan pribumi yang menundukkan diri dengan sukarela pada hukum barat dan golongan timur asing. Dan sistem hukum adat,tanah dimiliki oleh Golongan Pribumi yang hidup turun temurun di atas tanah tersebut,meninggali dan menggarapnya yang banyak tersebar di pelosok pelosok desa.
60
Bambang Edy Wahyono,tesis Perlindungan Hukum Pemegang Sertifikat Hak Milik Atas Tanah (Suatu kajian Terhadap pembatalan sertifikat Hak Milik atas Tanah di Desa Winong Kecamatan Boyolali,Kabupaten Boyolali, Hal. 23
Universitas Sumatera Utara
40
3. Cara pelepasan haknya dari sistem hukum barat,jual beli tanah sebagai bentuk dari perjanjian konsensual dan obligatoir yang menggunakan dua cara penyerahan,yaitu penyerahan nyata yang belum menyebabkan berpindahnya hak atas tanah dan penyerahan yuridis yang memindahkan hak milik atas tanah,dalam hal ini setelah jual beli tersebut didaftarkan pada Pejabat Balik Nama.Sistem hukum adat,jual beli tanah merupakan perbuatan hukum dimana setelah pembayaran tunai dilakukan oleh pembeli kepada penjual,maka hak atas tanah tersebut secara otomatis sudah berpindah dari penjual kepada pembeli,disini tidak ada pendaftaran tanah seperti pada sistem hukum barat. Sebelum UUPA berlaku, semua tanah hak barat sudah terdaftar, misalnya hak Eigendom, Erfpacht, Opstal, dan Gebruik, yang diselenggarakan menurut Overschrijvingsordinnantie Stb. 1834-27 dan peraturan-peraturan kadaster lainnya. Sedangkan tanah-tanah hak
Indonesia, baru sebagian kecil saja
yang terdaftar,
misalnya tanah hak milik adat yang disebut Agrarisch Eigendom dan tanah-tanah milik di daerah-daerah Swapraja, seperti Grant Sultan, Grant Controleur, dan sebagainya. Sebagian besar dari tanah-tanah hak Indonesia ini belum terdaftar. Oleh karena itu, setelah berlakunya UUPA, demi kepastian hukum, tanah-tanah tersebut harus didaftarkan.61 Selain Pendaftaran tanah pentingnya pencatatan fisik mengenai “idenditas” atas tanah tersebutAda beberapa istilah yang dipergunakan sehubungan dengan masalah pencatatan tanah, yaitu 61
Ibid, hal. 235
Universitas Sumatera Utara
41
1. Rechtskadaster Pendaftaran Tanah yang diselenggarakan dengan tujuan untuk menjamin kepastian hukum atau kepastian hak, disebut rechtskadaster. Dari rechtskadaster dapat diketahui asal-usul tanah, jenis haknya, siapa yang empunya, letak, luas dan batas-batasnya. Data-data ini dikumpulkan dalam daftar-daftar yang sudah tersedia untuk disajikan bagi umum yang berkepentingan.Kegiatan rechtskadaster meliputi : a. Pengukuran dan pemetaan (tehnis kadaster); b. Pembukuan hak (kegiatan di bidang yuridis); c. Pemberian tanda bukti hak. 2. Fiscaalkadadaster Berbeda dengan rechtskadaster yang tujuannya untuk menjamin kepastian hak, makafiscaal kadaster ini bertujuan hanya untuk memungut pajak tanah, walaupun disini juga dilakukan pendaftaran tanah. Sebelum UUPA,fiscaal kadaster dilakukan baik terhadap tanah hak Indonesia maupun tanah hak Barat. Penyelenggaraan fiscaal kadaster untuk keperluan pemungutan pajak hasil bumi ini(landrente) pada tanah-tanah hak milik adat yang ada di desa-desa diberi tanda pelunasan yang disebut petuk, pipil, girik tau ketitir, yang dalam istilah pajak sekarangdinamakan kohir.Adapun pendaftaran tanah untuk keperluan pemungutan pajak atas tanah-tanah hak milik adat yang ada di kota-kota besar disebut Verponding Indonesia (S. 1923/425 jo. S 1931/168).62
62
Ibid, hal. 234
Universitas Sumatera Utara
42
Jadi singkatnya, tanda-tanda bukti yang dikeluarkan oleh kadaster fiskal itu bukanlah sebagai tanda bukti hak tanah, melainkan hanya sebagai tanda bukti pembayaran pajak.Fiscaal kadaster yang ditujukan untuk tanah-tanah hak Barat disebut Verponding Eropa, yang sejak tahun 1965 sudah tidak ada lagi. Setelah UUPA, fiscaal kadaster tetap dikenal, yang sejak tahun 1970 disebut IPEDA, yang hanya tujuannya saja yang berbeda dimana penarikan pajak tanah tidak lagi didasarkan pada status tanah melainkan pemanfaatannya. 63 Penguasaan Tanah sampai dengan kepemilikan tanah dari Pemaparan penjelasan tentang Peralihan kepemilikan hak dan sampai ke pendaftaran tanah pada jaman Belanda
diatas jika dikaitkan dengan studi kasus putusan perkara yakni
menyangkut Kepemilikan tanah yang di beli oleh Pewaris pada tahun 1922 dapat dikatakan masuk dalam penguasaan tanah berupa Tanah Adat. Tanah adat dalam hal ini diartikan sebagai tanah tanah perorangan masyarakat hukum adat (hak milik, hak usaha,hak utama dan sebagainya).Dalam Hukum Tanah Adat hanya mengenal dua macam hak sebagai bentuk umum,yakni hak pakai dan hak milik.Dari kedua bentuk umum itu (genusnya),muncullah bentuk bentuk khusus,misalnya hak bagi hasil,hak numpang rumah atau numpang pekarangan.Justru bentuk bentuk khusu inilah yang paling banak dikenal dikalangan masyarakat.64 Tanah-tanah dalam lingkungan masyarakat hukum adat tidak didaftar sebagaimana tanah-tanah hak barat, karena masyarakat hukum adat adalah
63 64
Ibid, hal. 234 Ibid, hal. 140
Universitas Sumatera Utara
43
masyarakat yang masih sederhana dan tertutup, wilayahnya terbatas, jumlah penduduknya pun sedikit. Walau tidak didaftarkan secara tertulis, tanah dalam masyarakat hukum adat diketahui jelas batasbatasnyadan hak-hak atas tanah dihargai setiap warga, kepentingan hukum terjamin. Dikaitkan dengan studi kasus putusan Pokok perkara mengenai status tanah tidak disebutkan jenis tanah apa yang hendak diahlihkan/dijual oleh Penjual bernama Mangaraja Ginatagan kepada Sikalang Gelar Soetan Perhimpunan (Pewaris dari Penguggat),akan tetapi sedikit dapat ditarik kesimpulan bahwa Kepemilikan tanah bagi orang bumi Putera( Pribumi ) itu dapat dimiliki meski tidak diadakannya pendaftaran atau pun pencatatan fisik dalam bentuk tertulis dan tidak diwajibkan pada waktu itu.Peralihan hak sebidang tanah seluas lebih kurang 2080 M2 yang dijual oleh Mangaraja Ginatagan selaku penjual kepada Sikalang Gelar Soetan Perhimpunan (Pewaris) disini pemindahan tanah dilakukan dengan perjanjian tertulis dihadapan Penghulu dan Kepala Koeria Losoeng Batu yang dibuktikan dari surat yang dibuktikan di pengadilan yakni bukti nomor 3 : “3 Fhoto Copy Soerat Perdjandjiantanggal12 juni 1922 di beri tanda P.3” Sebenarnya meskipun tidak dilakukan secara tertulis perjanjian jual beli sudah dianggap sah sesuai dengan jual beli tanah adat yang menganut sistem terang dan tunai akan tetapi dari bukti surat perjanjian pada tanggal 12 Juni 1922 membuktikan jika Masyarakat pada waktu itu sudah mulai menyadari bahwa pentingnya suatu bukti
Universitas Sumatera Utara
44
kepemilikan hak atas tanah dalam bentuk tertulis guna mendapatkan kepastian hukum dalam peralihan kepemilikan hak atas tanah. 3. Peradilan Sengketa KepemilikanTanah a. Masa Sebelum Kemerdekaan Republik Indonesia Konflik sengketa sering terjadi karena berbagai sebab seperti salah satunya konflik sengketa kepemilikan tanah,sengketa pelanggaran perjanjian atau kontrak. Sebuah konflik, yakni sebuah situasi di mana dua pihak atau lebih dihadapkan pada perbedaan kepentingan, tidak akan berkembang menjadi sengketa apabila pihak yang merasa dirugikan hanya memendam perasaan
tidak puas atau keprihatinannya.
Sebuah konflik berubah atau berkembang menjadi sebuah sengketa bilamana pihak yang merasa dirugikan telah menyatakan rasa tidak atau keprihatinannya, baik secara langsung kepada pihak yang dianggap sebagai penyebab kerugian atau kepada pihak lain.65Penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui dua proses. Proses yang tertua melalui proses Litigasi yaitu melalui pengadilan. Dan kemudian berkembang proses penyelesaian sengketa ini melalui kerja
sama atau koorpratif diluar
pengadilan. Pada dasarnya dalam cara Litigasi, inisiatif berperkara ada pada diri orang yang berperkara (dalam hal ini penggugat). Dengan kalimat lain ada atau tidak adanya sesuatu perkara, harus diambil oleh seseorang atau beberapa orang yang
65
Siti Megadianty Adam dan Takdir Rahmadi. “Sengketa dan Penyelesaiannya”. Buletin Musyawarah Nomor 1 Tahun I.Jakarta: Indonesian Center for Environment Law,1997. hal.1
Universitas Sumatera Utara
45
merasa, bahwa haknya atau hak mereka dilanggar, yaitu oleh penggugat atau para penggugat.66 Peradilan di Indonesia dimulai pada masa VOC yang dimana corak peradilan menganut corak peradilan Eropa kontinental, namun tetap memberlakukan tata penyelesaian sengketa lokal untuk masyarakat lokal di nusantara.Pada 1847 dualisme/pluralisme tata peradilan warisan pemerintah politik VOC tersebut ditetapkan melalui “Reglement op De Regterlijke Organisatie en Het Beleid der Justitie (disingkat RO) atau
Peraturan tentang Susunan
Kehakiman dan
Kebijaksanaan Mengadili. Dalam RO diatur mengenai delapan badan badan pengadilan:67 1. Districtgerecht Adalah badan-badan pengadilan yang diselenggarakan di kawedanankawedanan untuk orang orang pribumi. Hakimnya adalah Wedana (pejabat pemerintahan dibawah Bupati). Objek perkaranya adalah sengketa perdata yangg objeknya berharga tak lebih dari 20 gulden,atau pelanggaran pidana yang ancaman hukumannya adalah denda maksimal 3 gulden. Pada masa pemerintahan Raffles, pengadilan ini disebut Division Court. 2. Regentschaapsgerechts Adalah badan-badan pengadilan yang diselenggarakan di kabupatenkabupaten untuk orang-orang pribumi.Hakimnya adalah Bupati atau wakilnya 66
Satjipto Rahardjo, Perumusan Hukum di Indonesia, (Bandung : Alumni, 1978), dalam skripsi Ririn Bidasari Tahun 2006 FakultasHukum USU, hal 3 67 Panduan bantuan hukum di Indonesia: pedoman anta memahami dan menyesaikan hukum di Indonesia ,YLBHI, hal. 14
Universitas Sumatera Utara
46
(Patih).Obyek perkaranya adalah sengketa perdata antara yang obyeknya berharga 20 sampai 50 gulden, atau pelanggaran pidana yang ancaman hukumannya penjara maksimal 6 hari,atau denda maksimal 10 gulden.Pada masa pemerintahan Raffles,pengadilan ini disebut Bopati’s Court atau District Court. 3. Landraad Adalah badan pengadilan yang “norma untuk orang orang pribumi. Di Jawa dan Madura, ketua majelis hakimnya adalah Residen,pejabat tinggi kolonial berkebangsaan Belanda atau Eropa.Anggota majelisnya terdiri dari Bupati, Patih, Wedana, dan Asisten Wedana.Wewenangnya adalah mengadili sengketa perdata yang objeknya berharga sekurang kurangnya 50 gulden atau kurang dari itu,tapi penggugatnya termasuk golongan penduduk Eropa Landraad hanya dapat dimintakan banding (ke Raad van Justitie) atau kasasi (ke Hooggerechtshofs),bila perkara perdata diputus melibatkan objek yang berharga lebih dari 500 gulden,atau perkara pidana yang dendanya lebig dari 500 gulden atau pidana lain yang lebih berat.Pada masa pemerintahan Raffles,pengadilan ini disebut Residen’s Court. 4. Rechtsbank van Ommegang Adalah badan pengadilan bagi orang pribumi yang diselenggarakan dengan cara berkeliling pada sekurang kurangnya dua bulan sekali di tiap rechtsbank (pengadilan) dalam yuridiksinya.Pengadilan ini mengadili kejahatan kejahatan berat yang ancaman hukumannya adalah pidana mati.Putusan-Putusan Reschsbank dapat
Universitas Sumatera Utara
47
dimintakan banding ke Hooggerechtshof.Pada masa pemerintahan Raffles,pengadilan ini disebut Court of Circuit.Pengadilan ini dihapus pada 1901. 5. Rechtspraakter Politierol Adalah badan pengadilan untuk orang pribumi yang wewenangnya adalah mengadili perkara perkara sumir yang tidak masuk ke dalam yurisdiksi Landraad atau
Rechtsbank
van
Ommegang.Residen
bertindak
sebagai
hakim
tunggal.Pengadilan ini bertugas memeriksa dan mengadili pelanggara-pelanggaran ringan
terhadap
ketentuan-ketentuan
reglemen-reglemen
(peraturan-peraturan)
kepolisian.Pada tahun 1901 Politierol dihapus dan pada tahun 1914 diganti dengan Landgerehct.Namun kali ini dengan hakim yang diangkat dari kalangan hukum profesional. 6. Hoogerechtshof Adalah
badan
pengadilan
tertinggi
dalam
hirarki
pengadilan
kolonial.Pengadilan ini juga berkompetensi sebagai badan pengadilan kasasi untuk semua putusan Landraad dalam perkara perdata,dan badan pengadilan banding untuk putusan tingkat pertama yang dibuat oleh Raad van Justitie. Hoogerechtsshof bertindak sebagai pengadilan tingkat pertama, hanya dalam perkara gugatan perdata terhadap pemerintahan atau Gubernur Jenderal. Kecuali delapan pengadilan tersebut,diluar pengadilan pemerintah kolonial maih ada badan badan pengadilan lain yang masih ada badan badan pengadilan lain yang masih bekerja, seperti pengadilan swapraja yang ada dibawah dan dikelola oleh raja-raja.Di wilayah lain,yang tidak
Universitas Sumatera Utara
48
berada langsung dibawah pemerintahan kolonial,juga masih berlangsung berbagai pengadilan atau mekanisme penyelesaian sengketa yang mandiri yang juga disebut Pengadilan Desa ( Desa Rechtspraak). b. Masa Sesudah Kemerdekaan Republik Indonesia. Dalam ruang lingkup perdata seperti telah dijelaskan sebelumnya termasuk salah satunya sengketa tanah, dimana seorang yang merasa dirugikan didalam suatu sengketa dapat mengajukan tuntutan hak kepada pengadilan.Tuntutan hak adalah tindakan yang bertujuan untuk memperoleh perlindungan hak yang diberikan kepada pengadilan untuk mencegah “eigenrichting” (tindakan menghakimi sendiri).68 Hukum acara perdata positif yang masih berlaku hingga saat ini adalah Rbg dan HIR, khusus diluar Jawa dan Madura seperti kita yang ada di Sumatera berlaku penuh ketentuan Rbg sebagai hukum acara perdata positif, sesuai dengan ketentuan Aturan Peralihan Pasal II dan IV Undang-Undang DasarRI tanggal 18 Agustus 1945. Namun RBG dan HIR tidaklah merupakan aturan yang lengkap yang mampu mencakup semua ruang lingkup hukum acara positif di Indonesia. Peraturanperaturan yang melengkapi RBG dan HIR contohnya antara lain : a. Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 juncto Undang-Undang No .4 Tahun 2004 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman. b. Undang-Undang No. 20 Tahun 1947 tentang Banding (hanya berlaku untuk daerah Jawa dan Madura). 68
Sudikno Merto Kusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Liberty, Jogjakarta, 2006),
hal. 52
Universitas Sumatera Utara
49
c. Undang-Undang No. 2 Tahun 1986 tentang Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum. d. Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. e. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. M.RV dan RO, yang dinyatakan tidak berlaku lagi, namun dalam prakteknya dua aturan ini masih dijadikan acuan pelengkap bila ada aturan-aturan yang tidak jelas. Para pihak yang mengajukan tuntutan hak ke pengadilan tentunya akan beracara sesuai hukum acara perdata yang berlaku mulai dari pengajuan tuntu tan hak sampai jatuhnya putusan pengadilan. Tentunya para pihak tidak hanya mengharap putusan pengadilan semata yang berisi penyelesaian perkara yang diselesaikan dimana didalamnya ditentukan dengan pasti hak maupun hubungan hukum para pihak dengan objek yang dipersengketakan.69Kekuatan eksekutorial putusan hakim terdapat pada kepala putusan yang berbunyi : “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.Walaupun putusan pengadilan itu dapat dilakukan dan mempunyai kekuatan eksekutorial, tetapi banyak pihak yang masih merasa khawatir bahwa selama proses persidangan berlangsung tergugat akan menjual barangbarangnya atau dengan jalan lain mengalihkan hak atas barangnya, sehingga jika waktunya telah tiba putusan telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan hendak dilaksanakan, barang yang menjadi objek persengketaan tidak dapat 69
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Sinar Grafika, Jakarta, 2008), hal. 797
Universitas Sumatera Utara
50
dieksekusi karena barang tersebut tidak berada ditangan tergugat lagi yang tentunya sangat merugikan bagi pihak penggugat. Untuk mengatasi permasalahan diatas didalam hukum acara perdata diatur sebuah lembaga yang bernama Lembaga Sita Jaminan (Conservatoir Beslag) yang diatur dalam Pasal 261 Rbg atau 227 ayat 1 HIR. Pasal 261 Rbg menjelaskan sebagai berikut : Jika ada persangkaan yangberalasan, bahwa seorang berhutang, sebelum dijatuhkan putusan atasnya, atau sebelum putusan yang mengalahkannya belum dapat dijalankan, berdaya upaya akan menghilangkan atau membawa barangnya yang bergerak ataupun yang tidak bergerak, dengan maksud menjauhkan barang itu dari parapenagih hutang, maka atas permintaan orang yang berkepentingan Ketua Pengadilan Negeri dapat memberikan perintah supaya disita barang itu akan menjaga hak memasukkan permintaan itu, selain daripada itu kepada orang yang meminta diberitahukan pula, bahwa ia akan menghadap pada persidangan Pengadilan Negeri yang akan ditentukan, seboleh-bolehnya dalam persidangan yang pertama akan datang untuk menyebut dan meneguhkan gugatan. Dalam prakteknya sita jaminan yang dalam gugatan dikabulkan oleh hakim dan dinyatakan sah dan berharga otomatis akan menjadi sita eksekutorial dalam rangka mendukung putusan tersebut. Namun tidak semua putusan hakim dapat dilaksanakan secara sebenar-benarnya yaitu secara paksa oleh pengadilan. Hanya putusan yang bersifat condemnatoir sajalah yang dapat dilaksanakan, sedangkan
Universitas Sumatera Utara
51
putusan yang bersifat declaratoirdan consitutif tidak memerlukan sarana-sarana pemaksa untuk melaksanakannya.70 B. Kepemilikan Hak atas Tanah Pasca Lahirnya Undang Undang Pokok Agraria 1. Kepemilikan Hak atas Tanah Menurut Undang Undang Pokok Agraria Istilah agraria atau sebutan agraria dikenal dalambeberapa bahasa. Dalam bahasa Belanda, dikenal dengan kata akker yang berarti tanah pertanian, dalam bahasa Yunani kata agros yang juga berarti tanah pertanian.71Dalam bahasa Latin, ager berarti tanah atau sebidang tanah, agrarius berarti perladangan, persawahan dan pertanian.72Dalam bahasa Inggris, agrarian berarti tanah untuk pertanian.73Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia agraria berarti urusan pertanian atau tanah pertanian.74Dalam Black Law Dictionary arti agraria adalah segala hal yang terkait dengan tanah, atau kepemilikan tanah terhadap suatu bagian dari suatu kepemilikan tanah (agraria is relating to land, orland tenure to a division of landed property).75 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
70
yang selanjutnya disebut Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Liberty, Jogjakarta, 2006),hal 247
71
Urip Santoso, Hukum Agraria dan hak-hak Atas Tanah, (Jakarta: Kencana, 2009), Hal. 1 Prent K Adisubrata, J. Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Latin Indonesia, (Semarang: Yayasan Kanisius, 1960). 73 Ibid 74 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia: Edisi Ketiga, Cetakan Keempat, (Jakarta: Balai Pustaka, 2000, Hal. 13. 75 Bryan A. Gadner, Black’s Law Dictionary: Eighth Edition, (USA: West Publishing Co, 2004), Hal. 73. 72
Universitas Sumatera Utara
52
merupakan Undang-Undang yang pertama kalinya memperkenalkan konsep Hak Menguasai Negara. Perumusan Pasal 33 dalam UUD 1945: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”76. Inilah dasar konstitusional pembentukan dan perumusan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).Dalam Penjelasan Umumnya, dinyatakan dengan jelas bahwa tujuan diberlakukannya UUPA adalah:77 a. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang akan merupakan alat untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur; b. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan; c. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hakhak atas tanah bagi rakyat seluruhnya. Hal penting lainnya adalah bahwa UUPA sebenarnya tidak lepas dari konteks landreform yang menjadi agenda pokok pembentukan strukturagraria saat itu.Ada 2 asas penting dalam UUPA yakni: 1. Hak menguasai Negara Ini dirumuskan untuk pertama kalinya secara formal dalam UUPA 1960 dengan memberi wewenang kepada Negara untuk: a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa; 76
Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Pasal 33 ayat (3) naskah asli, dan tidak mengalami perubahan hingga Amandemen IV. 77 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), Penjelasan Umum Angka I
Universitas Sumatera Utara
53
b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa; c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Negara dalam hal ini sebagai Badan Penguasa yang pada tingkatan tertinggi berwenang mengatur pemanfaatan tanah
dalam arti luas serta menentukan dan
mengatur hubungan hukum dan perbuatan hukum berkenaan dengan tanah. Sebagai penerima
kuasa,
maka
negara
harus
mempertanggungjawabkannya
kepada
masyarakat sebagai pemberi kuasa.78Dengan ini AP. Parlindungan menyebutnya sebagai hak rakyat pada tingkat Negara.79 Maria SW Sumardjono mengatakan bahwa kewenangan negara ini harus dibatasi dua hal: Pertama, oleh UUD 1945. Bahwa hal-hal yang diatur oleh negara tidak boleh berakibat pelanggaran hak asasi manusia yang dijamin oleh UUD 1945. Peraturan yang biasterhadap suatu kepentingan dan menimbulkan kerugian di pihak lain adalah salah satu bentuk pelanggaran tersebut. Seseorang yang melepas haknya harus mendapat perlindungan hukum dan penghargaan yang adil atas pengorbanan tersebut. Kedua, pembatasan yang bersifat substantif
dalam arti peraturan yang
dibuat oleh negara harus relevan dengan tujuan yang hendak dicapai yaitu untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dan kewenangan ini tidak dapat didelegasikan 78
Maria SW Sumardjono, Kewenangan Negara untuk Mengatur dalam Konsep Penguasaan Tanah oleh Negara, dalam Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Hukum UGM, tanggal 14 Februari 1998 di Yogyakarta. 79 AP. Parlindungan, Komentar atas Undang-Undang Pokok Agraria, ( Mandar Maju, Bandung,1991), hal. 40.
Universitas Sumatera Utara
54
kepada pihak swasta karena menyangkut kesejahteraan umum yang sarat dengan misi pelayanan. Pendelegasian kepada swasta yang merupakan bagian dari masyarakat akan menimbulkan konflik kepentingan, dan karenanya tidak dimungkinkan.80 2. Fungsi Sosial Hak atas Tanah Dianutnya prinsip fungsi sosial dalam UUPA tidak lepas dari konteks Landreform yang menjadi agenda pokok saat itu. Agar tidak terjadi akumulasi dan monopoli tanah oleh segelintir orang, dimasukkan unsur masyarakat atau kebersamaan dalam penggunaannya. Sehingga dalam hak individu ada hak kebersamaan.Negaraberwenang membatasi individu maupun badan hukum dalam penguasaan tanah dalam jumlah besar, karena itu lahirlah peraturan landreform.Pengaturan
batas pemilikan atas tanah oleh perseorangan dilakukan sehingga pemilikan itu hanya dihubungkan dengan usaha mencari nafkahdan penghidupan yang layak, atau hanya digunakan untuk pemukiman, pertanian dan perindustrian rumah. “Pembaharuan hukum tanah telah nyata dilakukan dengan diberlakukannya Undang-Undang Pokok Agraria di mana perombakan hukum kolonial dan menggantikannya dengan hukum nasional adalah merupakan suatu pelaksanaan landreform di Indonesia.”81 2. Kepastian Hukum Terhadap Kepemilikan Hak atas Tanah Pasca Keluarnya Undang Undang Agraria Secara garis besar bahwa setelah kemerdekaan Republik Indonesia segala bentuk Upaya baik itu dari penyusunan,perubahan sampai dengan pelaksanaan dan 80 81
Ibid Chadidjah Dalimunthe, Op. Cit hal. 41.
Universitas Sumatera Utara
55
implementasinya langsung terhadap tanah tanah yang masih “tersangkut” pada unsur kepemilikan asing dan tanah tanah adat baik yang dikuasai oleh perorangan maupun persekutuan yang setelah berakhirnya masa pada zaman Belanda dapat menyebabkan ketidak pastian kepemilikan tanah dan penyerobotan tanah dan guna untuk memenuhi ketentuan Undang Undang dasar 1945 maka segala upaya upaya sangat dimaksimalkan untuk mendapatkan kepastian hukum dan Jaminan hukum terhadap kepemilikan tanah,Meskipun masih banyak kelemahan kelemahan yang belum dapat mengakomodir masalah tanah bekas peninggalan zaman Kolonial Belanda pada waktu itu seperti hal nya permasalahan landreform yang munculnya Undang Undang No 56 Prp Tahun 1960 tentang redistribusi tanah pertanian,kebijakan ini muncul pada masa orde Baru,dimana difokuskan pada pemerataan pengurusan hak atas tanah kaum yang masih berpengaruh dengan sistem kolonialisme,imperialisme,feodalisme dan kapitalisme. Landreform tidak terlepas dari pengaruh politik dari golongan elit politik dan terbentuk 3 golongan yang memiliki pendapat masing masing golongan muncul seperti golongan radikal yang mengusulkan pembagiaan tanah berdasarkan prinsip “tanah bagi mereka yang benar benar menggarapnya”,sedangkan mereka yang memiliki tanah luas adalah telah melakukan penghisapan terhadap manusia lainnya,Golongan ini terdiri dari PKI,PNI, dan Partai Murba.Golongan kedua datang dari Golongan konserfatif yaitu terdiri dari Partai Partai Islam dan sebagian PNI.Inti dari pendapat golongan ini adalaah penolakan dilakukannya pembatasan atau luas
Universitas Sumatera Utara
56
pemilikan tanah dan tuduhan pemilikan tanah luas sebagai penghisapan.Sedangkan goolongan ketiga adalah golongan yang kompromis terhadap kedua golongan lainnya. Mereka menerima pendapat golongan radikal tetapi dengan penerapan yang bertahap. Dalam golongan inilah Soekarno dan Sadjarwo (Menteri Agraria) sebagai dua tokoh penting dalam perumusan UUPA menjadi anggotanya.82Pelaksanaan program ini kemudian ditandai dengan program pendaftaran tanah berdasarkan Peraturan pemerintah Nomor 10 Tahun 1961,untuk mengetahui dan memberi kepastian hukum tentang pemilikan dan penguasaan tanah.Pendaftaran tanah kemudian mengalami pergantian rezim yaitu mengganti Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang dinilai banyak pihak merupakan agenda Bank Dunia dan lembaga keuangan internasional lainnya di Indonesia. Berbeda dengan produk Orde Lama yang bertujuan untuk kepentingan penataan penguasaan tanah melalui landreform, produk hukum Orde Baru tentang pendaftaran tanah ini adalah demi yang disebut kepastian hukum dari pemilikan hak atas tanah melalui sertifikat. 3. Konversi hak atas tanah terhadap pembuktian tanah hak lama Dalam penetapan hak atas tanah meliputi Konversi Hak atas tanah. Menurut AP. Parlindungan, pengertian konversi hak atas tanah adalah bagaimana pengaturan dari hak-hak atas tanah yang ada sebelum berlakunya UUPA untuk masuk dalam sistem dari UUPA, yakni kegiatan menyesuaikan (bukan memperbaharui) hak-hak 82
Noer Fauzi, Petani&Penguasa.Dinamika Perjalanan politik Agraria di Indonesia, (kerjasama Insist Press,KPA dan Pustaka Pelajar,Yogyakarta,1999),hal. 141.
Universitas Sumatera Utara
57
lama menjadi hak-hak baru yang dikenal dalam UUPA, baik hak itu bersifat publik maupun bersifat privat yang dimiliki oleh orang seorang dan atau badan hukum privat atau publik.83 Guna Menyesuaikan hak hak atas tanah yang lama kedalam Sistem Undang Undang Pokok Agraria disebut konversi.Dan penyelesaian dari tanah ex BW telah berakhir dengan dikeluarkannya Kepres Nomor 32 Tahun 1979 yang menyatakan bahwa tanah tanah tersebut telah berakhir masa konversinya dan bagi tanah tanah yang tidak disesuaikan hanya menjadi tanah yang dikuasai negara.84 Khusus terhadap hak-hak tradisional masyarakat adat atas tanah tersebut yang secara konsepsional tetap diakui dan dihormati keberadaannya, maka untuk terciptanya unifikasi (kesatuan) hukum sekaligus memasukkan unsur-unsur hukum modern dalam hak-hak tradisional tersebut, maka hak-hak adat atas tanah diharuskan untuk disesuaikan dengan hak-hak atas tanah yang ada dalam UUPA. Pemberlakuan konversi terhadap hak-hak barat dengan pemberian batas jangka waktu yang relatif lama yaitu sampai dengan 20 (dua puluh) tahun sejak pemberlakuan UUPA, dimaksudkan untuk mengakhiri sisa-sisa hak-hak barat atas tanah di Indonesia dengan segala sifatnya yang tidak sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945, dengan tetap berprinsip keadilan, yaitu memperhatikan kepentingankepentingan penduduk atau penggarap, penguasa dan bekas pemegang hak,sehingga kepentingan masyarakat yang lebih luas tetap harus diutamakan.
83 84
AP. Parlindungan, Konversi Hak-Hak Atas Tanah, (Mandar Maju, Bandung, 1994), hal. 1 Ibid hal 21
Universitas Sumatera Utara
58
Semua hak hak Indonesia atau adat harus dikonversi,tanpa kecuali karena luasnya wilayah hukum Indoneia dan banyaknya pemilikan tanah maka konversi terhadap semua hak milik adat tidak mungkin dapat diselesaikan dalam waktu singkat.85 Untuk hak-hak tanah yang tunduk kepada hukum adat telah diadakan ketentuan khusus yaitu dengan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 26 DDA/1970, di mana konversi dari hak-hak adat tidak ada batas waktu konversi karena pertimbangan khusus biaya, prosedur dan ketidak pedulian dari rakyat untuk mensertifikatkan tanahnya. Berdasarkan ketentuan Pasal 88 ayat (1) sub a, Peraturan Menteri Agraria/ KBPN Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, bahwa untuk bekas tanah milik adat atau TMA yang alat bukti tertulisnya lengkap dan yang alat bukti tertulisnya tidak lengkap tetapi ada keterangan saksi maupun pernyataan yang bersangkutan yang dipercaya kebenarannya oleh Kepala Kantor pertanahan ditegaskan konversinya menjadi hak milik, hal ini sesuai dengan ketentuan tentang pembuktian hak lama dalam Pasal 24 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 di mana untuk alat-alat bukti tersebut dapat diterapkan penegasan hak. AP. Parlindungan, mengemukakan bahwa: alat-alat bukti di atas, sebelum diumumkan di Kantor Pertanahan dan di Kecamatan untuk memancing reaksi oranyang lebih berhak.86 Dengan pemberlakuan ketentuan konversi tersebut, berarti sudah merupakan pengakuan dan penegasan terhadap hak-hak lama, juga merupakanpenyederhanaan hukum dan upaya untuk menciptakankepastianhukum.Penyederhanaan hukum tampak pada penyesuaian semua hak-hak atas tanah yang ada diseluruh Indonesia 85
Jhon Salindeho,Manusia,Tanah,Hak dan Hukum, ( Jakarta: Sinar Grafika,1994),hal 4 AP.Parlindungan,Bunga Rampai Hukum Agraria Serta Landreform, (Bandung: Mandar Madju,1994,hal 10 86
Universitas Sumatera Utara
59
yang selama ini bersifat pluralise (ada yang tunduk pada hukum barat, hukum adat dan hukum agama) dengan hanya memberikan ruang kepada suatu aturan yang menyebutkan hanya ada suatu sistem hak-hak atas tanah yang tunduk pada UUPA. Sedangkan kepastian hukum dapat dilihat dari pelaksanaan konversi tersebut yang merupakan bagian dari kegiatan pendaftaran tanah, sedang kegiatan pendaftaran tersebut bertujuan untuk menciptakan kepastian hukum.87 Hal ini sesuai dengan amanat yang terkandung dalam Pasal 19 ayat (1) UUPA yang menyatakan bahwa untuk menjain kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan undang-undang. Setelah berlakunya PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, pelaksanaan konversi hak atas tanah tersebut disebutkan dengan istilah pembuktian hak lama. Pasal 24 ayat (1) mengatur bahwa untuk keperluan pendaftaran hak, hak atas tanah yang berasal dari konversi hak-hak lama dibuktikan dengan alat-alat bulti mengenai adanya hak tersebut berupa bukti tertulis, keterangan saksi dan atau pernyataan yang bersangkutan yang kadar kebenarannya oleh Panitia Ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sporadik, dianggap cukup untuk pendaftaran hak, pemegang hak dan hak-hak pihak lain yang membebaninya. Dalam penjelasan pasal ini yang kemudian dipertegas dalam Pasal 60 ayat (1) Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala BPN No. 3 Tahun 1997 diuraikan bahwa bukti kepemilikan atas nama pemegang hak pada waktu berlakunya UUPA dan apabila hak tersebut kemudian beralih, bukti peralihan hak berturut-turut sampai ke 87
M.Yamin Lubis dan A Rahim Lubis,Op.Cit,hal. 219
Universitas Sumatera Utara
60
tangan pemegang hak pada waktu dilakukan pembukuan hak. Alat-alat bukti tertulis yang dimaksud dapat berupa: a. Grosse Akta Hak Eigendom yang diterbitkan berdasarkan overshrijvings ordona ntie(staatblad. 1834-27), yang telah dibubuhi catatan, bahwa hak eigendom yang bersangkutan dikonversi menjadi hak milik, atau b. Grosse Akta Hak Eigendom yang diterbitkan berdasarkan overshrijvings ordonantie(staatblad. 1834-27), sejak berlakunya UUPA sampai tanggal pendaftaran tanah dilaksanakan menurut Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 di daerah bersangkutan; atau c. Surat tanda bukti Hak Milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Swapraja yang bersangkutan; atau d. Sertipikat Hak Milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1959; atau e. Surat Keputusan Pemberian Hak Milik dari Pejabat yang berwenang, baik sebelum ataupun sejak berlakunya UUPA, yang tidak disertai kewajiban untuk mendaftarkan hak yang diberikan, tetapi telah dipenuhi semua kewajiban yang disebut didalamnya; atau f. Akta pemindahan hak yang dibuat dibawah tangan yang dibubuhi tanda kesaksian oleh Kepala Adat/Kepala Desa/kelurahan yang dibuat sebelum berlakunya Peraturan Pemerintahan ini; atau g. Akta Pemindahan hak atas tanah yang dibuat oleh PPAT, yang tanahnya belum dibukukan; atau h. Akta Ikrar Wakaf/Surat Ikrar Wakaf yang dibuat sebelum atau sejak mulai dilaksanakan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977; atau i. Risalah lelang yang dibuat oleh Pejabat Lelang yang berwenang, yang tanahnya belum dibukukan; atau j. Surat Penunjukan atau pembelian kavling tanah pengganti tanah yang diambil oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah; atau k. Petuk Pajak Bumi/Landrente, girik, pipil, kekitir, dan verponding Indonesia sebelum berlakunya PP No. 10 Tahun 1961; atau l. Surat Keterangan riwayat tanah yang pernah dibuat oleh Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan; atau m. Lain-lain bentuk alat pembuktian tertulis dengan nama apapun juga sebagaimanadimaksud dalam Pasal II, Pasal VI dan Pasal VII Ketentuanketentuan Konversi UUPA.88 Dalam hal bukti tertulis tersebut tidak lengkap atau tidak ada lagi, pembuktian pemilikan itu dapat dilakukan dengan keterangan saksi atau pernyataan yang 88
M.Yamin Lubis dan A.Rahim Lubis,Op.Cit,hal. 221-222
Universitas Sumatera Utara
61
bersangkutan yang dapat dipercaya kebenarannya menurut pendapat panitia ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik atau Kepala Kantor Pertanahan dalam pendaftaran tanah secara sporadik.Saksi yang dimaksudkan disini adalah orang yang cakap memberikan kesaksian dan mengetahui kepemilikan tanah tersebut. Sedangkan terhadap pengakuan dan penegasan hak tersebut merupakan bagian dari konvensi hak atas tanah atau pembuktian hak lama namun hanya untuk bekas Hak Milik Adat, sedangkan untuk bekas hak hak barat, setelah tanggal 24 September 1980, sesuai dengan Keputusan Presiden No 32 Tahun 1979, tidak dapat lagi dilaksanakan konversi atasnya,kendati masih ditemukan adanya bukti bukti lama dan hanya dapat dilakukan melalui pemberian hak atas tanah.Pihak yang menguasai tanah tersebut harus mengajukan permohonan baru ke Kantor Pertanahan untuk memproses haknya kembali.89 Pembukuan hak terhadap tanah-tanah yang tidak lengkap alat buktinya harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 1. Penguasaan dan penggunaan tanah yang bersangkutan dilakukan secara nyata dan dengan itikad baik selama 20 (dua puluh) tahun atau lebih secara berturutturut; 2. Kenyataan penguasaan dan penggunaan tanah tersebut selama itu tidak diganggu gugat dan karena itu dianggap diakui dan dibenarkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang bersangkutan; 3. Hal-hal tersebut diperkuat dengan kesaksian orang-orang yang dapat dipercaya; 4. Telah diberikan kesempatan kepada pihak lain untuk mengajukan keberatan melalui pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendafataran Tanah; 5. Telah diadakan penelitian juga mengenai kebenaran hal-hal yang disebutkan diatas. 89
M. Yamin Lubis dan A.Rahim Lubis,Op.Cit, hal. 226
Universitas Sumatera Utara
62
Kesimpulan mengenai status tanah dan pemegang haknya dituangkan dalam keputusan berupa pengakuan hak yang bersangkutan oleh Panitia Ajudikasi dalam Pendaftaran Tanah secara sistematik dan oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam pendaftaran tanah secara sporadik. Proses selanjutnya dari pengakuan hak tersebut adalah dilakukan dengan pengukuran, penelitian data yuridis dan pengumuman sebagaimana diberlakukan terhadap proses konversi diatas.Khusus terhadap penegasan hak, dalam PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah tidak menyebutkan tentang adanya Penegasan Hak tersebut sebagai bagian dari konversi hak atas tanah. Namun dalam praktek selama ini, terdapat kegiatan penegasan hak atas tanah dalam hal: 1. Terdapat bukti-bukti hak lama, namun ada kekurangan dari segi riwayat penguasaan tanahnya; 2. Terdapat bukti-bukti hak lama namun hak lama tersebut dipegang oleh orang lain atau bukan lagi atas nama orang yang tercantum dalam surat-surat tersebut, dalam hal ini sudah beralih kepada orang lain.90 Terhadap proses penegasan hak atas tanah, selain harus dilakukan pengukuran juga harus dilakukan penelitian data yuridis dan data fisik oleh Panitia A (bukan lagi oleh Kepala Kantor Pertanahan) dan diterbitkan surat Keputusan Penegasan Haknya. Sedangkan Pembuktian Hak Baru juga termasuk dalam pemberian Hak atas tanah,hal ini. Berdasarkan ketentuan Pasal 22 ayat (2), Pasal 31 dan Pasal 37 UUPA disebutkan 90
M.Yamin Lubis dan A Rahim Lubis,Op.Cit,hal 228
Universitas Sumatera Utara
63
bahwa terjadinya hak atas tanah salah satunya adalah melalui penetapan Pemerintah. Berdasarkan ketentuan Pasal 23 PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah disebutkan bahwa pemberian hak atas tanah termasuk pembuktian hak baru. Pembuktian hak baru tersebut didahului dengan suatu penetapan pemberian hak atas tanah dari pejabat yang berwenang memberikan hak menurut ketentuan perundang undangan yang berlaku. Menurut ketentuan Pasal 1 angka 5 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 9 Tahun 1999 ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan “pemberian hak atas tanah adalah penetapan Pemerintah yang memberikan suatu hak atas tanah Negara, perpanjangan jangka waktu hak, pembaharuan hak, perubahan hak, termasuk pemberian hak diatas Hak Pengelolaan”.Dalam proses penetapan pemerintah yang wujudnya penetapan hak atas tanah ada yang diberikan haknya secara langsung semata mata atas kebaikan pemerintah tanpa terlebih dahulu didasarkan atas adanya bukti penguasaan atas tanahnya misalnya pemberian hak dalam rangka program redistribusi tanah objek landreform,dalam hal ini guna pendaftran haknya maka hak atas tanah tersebut dibuktikan dengan penetapan pemberian haknya dalam prosesnya cukup melalui usulan dari Kepala Desa atau Lurah tentang Petani Penggarap yang berhak menerima resdistribusi tanah tersebut. Selain itu terhadap permohonan hak atas tanah dapat ditolak.Penerbitan keputusan tentang penolakan permohonan hak atas tanah tersebut didasarkan atas tidak dipenuhinya syarat syarat atau kelengkapan permohonan yang telah ditentukan baik dalam hal data yuridis atau kelengkapan permohonan yang telah ditentukan baik
Universitas Sumatera Utara
64
dalam hal data yuridi maupun data fisiknya.Disamping itu juga tidak sesuai dengan kebijakan Pemerintah menurut ketentuan Peraturan Perundang undangan yang berlaku, sehingga permohonan hak atas tanah tersebut tidak dapat dikabulkan atau ditolak. Penolakan atau suatu permohonan hak atas tanah bisa bersifat fiktif atau negatif dalam konteks Ketatausahaan negara. Pejabat Tata Usaha negara dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan suatu permohonan, apabila dalam jangka waktu yang ditentukan atau empat bulan sejak diterimanya permohonan, pejabat yang bersangkutan tidak mengeluarkan putusan atas permohonan tersebut.Hal ini diatur dalam Pasal 3 Undang undang nomor 5 tahun 1989 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang pada prinsipnya setiap badan atau jabatan tata usaha negara wajib melayani setiap permohonan warga masyarakat yang ia terima apabila hal yang dimohonkan
kepadanya
itu
menurut
peratuan
dasarnya
menjadi
tugas
kewajibannya.91 C. Kepastian Hukum Kepemilikan Hak Atas Tanah Berdasarkan Putusan Landraad Pasca Lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria 1. Bukti kepemilikan hak atas tanah adat Seperti yang dijelaskan pada sub bab sebelumnya bahwa pemberlakuan konversi merupakan langkah utama pemerintah guna untuk melakukan pengakuan dan penegasan hak hak lama juga merupakan penyederhanaan hukum dan upaya menciptakan kepastian hukum. 91
Indroharto, Usaha Memahami Undang Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, (Pustaka Sinar Harapan,Jakarta2004),hal. 184-185
Universitas Sumatera Utara
65
Setelah berlakunya PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, pelaksanaan konversi hak atas tanah tersebut disebutkan dengan istilah pembuktian hak lama. Pasal 24 ayat (1)mengatur bahwa untuk keperluan pendaftaran hak, hak atas tanah yang berasal dari konversi hak-hak lama dibuktikan dengan alat-alat bulti mengenai adanya hak tersebut berupa bukti tertulis, keterangan saksi dan atau pernyataan yang bersangkutan yang kadar kebenarannya oleh Panitia Ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sporadik, dianggap cukup untuk pendaftaran hak, pemegang hak dan hak-hak pihak lain yang membebaninya. Pembukuan hak terhadap tanah-tanah yang tidak lengkap alat buktinya harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 1. Penguasaan dan penggunaan tanah yang bersangkutan dilakukan secara nyata dan dengan itikad baik selama 20 (dua puluh) tahun atau lebih secara berturutturut; 2. Kenyataan penguasaan dan penggunaan tanah tersebut selama itu tidak diganggu gugat dan karena itu dianggap diakui dan dibenarkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang bersangkutan; 3. Hal-hal tersebut diperkuat dengan kesaksian orang-orang yang dapat dipercaya; 4. Telah diberikan kesempatan kepada pihak lain untuk mengajukan keberatan melalui pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendafataran Tanah; 5. Telah diadakan penelitian juga mengenai kebenaran hal-hal yang disebutkan diatas. Jika menghubungkan dengan Pokok Perkara pada Putusan Pengadilan negeri Padang Sidimpuan Nomor 06/Pdt.G/2004/PN.Psp terhadap bukti kepemilikan tanah yang dikuasai oleh Ahli waris (Penggugat) dari Pewaris pada dasarnya sudah melakukan penguasaan terhadap tanah adat tersebut sudah memiliki etikad baik dan
Universitas Sumatera Utara
66
dikuasai selama lebih dari 20 tahun yang diwariskan turun temurun kepada Pengugat. Demikian halnya juga dengan saksi saksi hidup dalam Pertimbangan tentang Pokok Perkara. Berikut adalah penggalan kalimat dalam putusan dalam Pertimbangan tenang Pokok Perkara bahwa Penggugat memiliki bukti saksi hidup yangmenyatakan bahwa tanah yang dikuasai oleh tergugat adalah memang milik Penggugat.Berikut adalah penggalan kalimat dalam putusan Saksi Hajjah Intan Nurjanna Siregar pada pokoknya menerangkan bahwa saksi tahu mengenai rumah dan tanah pertapakannya yang terletak di Kampung Teleng Jl Prof M Yamin SH,Bahwa sewaktu saksi masih kecil saksi sering bermain ke Rumah tersebut,bahwa terakhir saksi ke rumah itu yakni 4 yahun yang lewat tahun 2000 dan yang tinggal dirumah itu adalah Tante Chadijah yakni adik perempuan Dr Marwali Harahap (Pengugat I ) yang merupakan saudara Penggugat (Ibu dari tante Chadijah adalah kakak adik dengan ibu pada Penguggat),Bahwa setahu saksi yang mempunyai rumah itu adalah Dr Marwali harahap dan Ibunya Siti Aspani dan Rumah itu adalah peninggalan dari orangtua Dr.Marwali Harahap,Bahwa rumah tersebut sekarang tidak ada lagi karena sudah dibongkar dan tidak tau siapa yang membongkarnya, ____________________________Saksi Dahlia Meri Matondang yang menyatakan bahwa saksi bersama keluarga tingal dirumah tersebut hingga tahun 2000 Saksi Abidin Harahap pada pokoknya menerangkan bahwa saksi tahu mengenai perkara ini yakni Rumah pertapakan yang luasnya 2080 meter 2 terletak dijalan Prof.M.Yamin SH Kota PadangSidimpuan,Bahwa Rumah dan tanah tersebut setahu saksi adalah milik para Penggugat sebagai ahli waris dari orangtua Parhimpunan Harahap. Hal tersebut sebenarnya telah menegaskan bukti kepemilikan hak atas tanah oleh Penguggat dengan demikian ditambah lagi dengan bukti tertulis berupa penguasaan tanah berdasarkan putusan landraad sudah menguatkan bukti kepemilikan hak atas tanah oleh Pengugat dan ini sejalan dengan Upaya Pemerintah menciptakan kepastian hukum dalam hal konversi hak atas tanah.Dari bukti berupa saksi tersebut dan
Universitas Sumatera Utara
67
penguasan hak atas tanah adat tersebut memungkinkan Penggugat untuk dapat mengkonversi hak adatnya menjadi hak milik atas tanah. 2. Kepemilikan hak atas tanah berdasarkan Putusan Landraad. Kepastian hukum kepemilikan hak atas tanah dimulai dari Pada zaman Belanda yang dengan adanya dualisme, yang pada saat itu untuk mendapatkan suatu kepastian hukum Pemerintah zaman belanda sudah membagi bagi penggolongan kepemilikan tanah baik golongan hak barat maupun golongan Hak Pribumi (Bumi Putera) dengan sistem pendaftaran tanah, Khusus untuk golongan Pribumi diatur mengenai kepemilikan tanah seperti tanah hak milik adat pada waktu itu yakni kepemilikan tanah adat dimana untuk memperoleh tanah atau transaksi jual beli tanah pada waktu itu cukup hanya dilakukan dengan terang dan tunai saja didepan penghulu atau pemuka desa setempat tanpa perlu mendaftarkan hak nya atas tanah. Pengadilan yang disediakan waktu itu untuk menangani perselisihan baik perselisihan perdata maupun pidana,disediakan khusus kepada para pihak. Dan Pengadilan Landraad
pada saat itu dipakai untuk menyelesaikan perselisihan
termasuk salah satunya perselisihan mengenai tanah adalah Pengadilan Landraad. Pengadilan Landraad terdapat di kota kota kabupaten atau kota lain sesuai kebutuhan. Susunan kelembagaan yaitu terdiri dari majelis hakim dengan seorang sarjana hukum sebagai hakim ketua yang membawahi pegawai pemerintahan sebagai hakim anggota,seorang panitera,seorang jaksa (jika perkara pidana), dan seorang
Universitas Sumatera Utara
68
penasihat sidang jika yang diperkarrakan orangg beragama Islam atau golongan lain yang berlaku hukum Adat. Landraad memiliki kewenangan sebagai berikut yaitu : 92 1. Perkara perdata dan pidana (yang mengadili golongan Pribumi)
yang
diperkenankan oleh Undang Undang untuk diaadili pada tingkat pertama. Seperti yang dijelaskan pada subbab sebelumnya bahwa Landraad adalah pengadilan yang “normal” untuk orang orang pribumi. Di Jawa dan Madura,ketua majelis hakimnya adalah Residen, pejabat tinggi kolonial berkebangsaan Belanda atau Eropa. Anggota majelisnya terdiri dari Bupati, Patih,Wedana dan Asisten Wedana. Wewenangnya adalah mengadili sengketa perdata yang objeknya 50 gulden atau yang kurang dari itu,tapi penggugat termasuk golongan Eropa. Landraad juga berwenang mengadili perkara pidana yang tidak termasuk yurisdiksi pengadilan-pengadilan lain (Districtsgerecht, Regentschapgerecht atau Politierol), Putusan Landraad hanya dapat dimintakan banding (ke Raad van Justitie) atau kasasi (ke hooggerechtshofs), bila perkara perdata yang diputus melibatkan objek yang berharga lebih dari 500 gulden, atau perkara pidana lain yang lebih berat.Pada masa pemerintahan Raffles, pengadilan ini disebut Residen’s Court. 2. Perkara perdata pada tingkat pertama untuk golongan Timur Asing non Tionghua yang berlaku hukum adatnya. 3. Pengadilan tingkat banding dari Regentschapsgerecht. 4. Permohonan banding dari Landraad ke Raad van Justite 92
https://fauzirijal.wordpress.com/2013/01/13/sejarah-lembaga-peradilan-di-indonesia/
Universitas Sumatera Utara
69
Bila melihat sejarah peradilan yang panjang di Indonesia,Hakim memegang peranan penting dalam menciptakan kepastian hukum melalu Putusan Hakim. Hakim dalam menyelesaikan perkara perdata di pengadilan, mempunyai tugas untuk menemukan hukum yang tepat.Hakim,dalam menemukan hukum,93 tidak cukup hanya mencari dalam undang undang saja,sebab kemungkinan undang undang tidak mengatur secara jelas dan lengkap, sehingga hakim harus menggali nilai nilai hukum yang hidup dalam masyarkat.94 Demikan halnya dalam kasus, peradilan untuk menciptakan kepastian hukum sudah ada sejak jaman belanda.Meski sengketa yang dihadapi adalah menyangkut sengketa kelompok adat dalam hal ini perorangan akan tetapi Pemerintahan belanda pada waktu itu tetap berjalan sesuai norma norma hukum terbukti dengan diadilinya dan keluar putusan landraad pada waktu itu.Nilai nilai hukum yang hidup dalam masyarakat tidak lain hukum adat dan hukum tidak tertulis. Hakim bertugas sebagai penggali dan merumuskan dalam suatu putusan.Putusan hakim merupakan bagian dari proses penegakan hukum yang bertujuan untuk mencapai salah satunya kebenaran hukum atau demi terwujudnya kepastian hukum. Putusan hakim merupakan produk penegakan hukum yang didasarkan pada hal-hal yang relevan secara hukum (yuridis) dari hasil proses sah di persidangan. Pertimbangan hukum yang dipakai oleh para hakim sebagai landasan
93
Bambang Sutiyoso, “Implementasi Gugatan Legal Standing Dan Class Action Dalam Praktik Peradilan Di Indonesia”, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, Vol. 26 No. 11, Mei 2004, Yogyakarta: FH UII, hal. 77 94 Busyro Muqaddas,”Mengkritik Asas-Asas hukum Acara Perdata” Jurnal Hukum Ius Quis Iustum,Vol 20 No 9 Juni 2002,Yogyakarta: FH UII,hal. 21
Universitas Sumatera Utara
70
dalam mengeluarkan amar putusan merupakan determinan dalam melihat kualitas putusan.95 Pada masa golongan penduduk Hindia Belanda diatur dengan hukum yang berbeda seperti yang dijelaskan pada subbab sebelumnya.Hukum adat dan peradilan adat diakui. Hukum adat diakui dan dipakai dalam penanganan kasus di pengadilan negara seperti Landraad. Kepastian Hukum Penguasaan tanah pada waktu itu yang dibeli oleh Sikalang gelar Soetan Parhimpunan ( Pewaris ) dalam hal ini masyarakat yang menganut hukum adat dalam hal ini penguasaan tanah secara perorangan diperbolehkan, dan terbukti dari adanya bukti tertulis yang menjamin kepastian hukum jual beli tanah tersebut. Perjanjian Jual beli tanah yang dilakukan oleh para pihak melalui Bukti P3 dalam persidangan yang diperlihatkan oleh Penggugat (Ahli waris). Ini menandakan bahwa penguasaan tanah pada waktu itu berada di tangan (Sikalang Gelar Soetan Parhimpunan (Pewaris). Hak atas tanah adat menurut hukum adat sebelum berlakunya UUPA ada 2 yakni: a. Hak Ulayat Hak Ulayat ialah hak atas tanah yang dipegang oleh seluruh anggota masyarakat hukum adat secara bersama sama (komunal). Hak ulayat juga dinamakan hak purba. Menurut Iman Sudiyat,hak purba ialah hak yang dipunyai oleh suatu suku, 95
Artidjo Alkostar, “Fenomena Fenomena Paradigmatik Dunia Pengadilan Di Indonesia (Telaah Kritis Terhadap Putusan Sengketa Konsumen),Jurnal Hukum Ius Quia Iustum,Vol. 26 No. 11 Mei 2004, FH UII Yogya hal. 1
Universitas Sumatera Utara
71
sebuah serikat desa desa (doepenbond) atua biasanya oleh sebuah desa saja untuk menguasai seluruh tanah seisinya dalam lingkungan wilayahnya.96 Dengan hak ulayat ini, masyakat hukum adat yang bersangkutan menguasai tanah tersebut secara menyeluruh.Tetapi dalam konsepsi hak ulayat bersifat komunal pada hakikatnya tetap terdapat juga hak anggota masyarakat yang bersangkutan untuk secara perorangan menguasai sebagian dari objek penguasan hak ulayat tersebut secara tertentu (dengan menggunakan tanda tanda tertentu) agar diketahui para anggota lainnya semasyarakat dalam waktu yang tertentu pula. b. Hak Perorangan Menurut Iman Sudaiyat,hak perorangan yaitu suatu hak yang diberikan kepada warga desa ataupun orang luar atas sebidang tanah yang berada diwilayah hak purba (ulayat) persekutuan hukum yang bersangkutan.Jenis jenis hak perorang ada 6 yaitu : 1. Hak milik,hak yayasan (inland bezitrecht) 2. Hak wenang pilih, hak kinacek, hak mendahului (voorkeursrecht). 3. Hak menikmati hasil (genotrecht) 4. Hak pakai (gebryiksrecht) dan hak menggarap/mengolah (ontiqinningsrecht) Kepemilikan
tanah
adat
yakini
mencakup
hak
Perorangan
dapat
dimungkinkan. Demikian halnya kepemilikan Tanah oleh pewaris pada waktu itu, kepemilikan tanah hak milik diakui dan diperbolehkan.
96
Iman Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas. Cet-IV. (Yogyakarta: Liberty.2000).Hal. 2.
Universitas Sumatera Utara
72
Sewaktu sengketa lahan pada waktu itu terjadi yakni antara Sikalang Gelar Soetan (Pewaris) dan Mertua Pewaris dimana pada saat itu tanah berikut rumah ditempati oleh Mertua Pewaris dan mendapati rumah yang ditempati Mertua Pewaris dalam keadaan rusak maka oleh Sikalang Gelar Soetan (Pewaris) mengusir dan Mertuanya tidak mau pindah dan terjadilah upaya hukum oleh Pewaris yakni mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri PadangSidimpuan pada tahun 1930 dan dikabulkan dengan keluarnya putusan No 12/1930 E.P.S yang diputus pada tanggal 6 Juni 1930. Putusan ini merupakan Putusan Laadraad. Hakim pada Pengadilan Landraad merupakan hakim negara namun dapat menggunakan hukum adat dengan bantuan fungsionaris adat yang diundang resmi dalam persidangan. Didaerah dareah yang tidak diperintah langsung oleh pemerintah Hindia Belanda, peradialan adat diakui sekalipun perangkat peradilan tidak diadministrasi oleh negara atau pemerintahan.Di daerah-daerah yang diperintah langsung, peradilan adat bahkan diatur oleh peraturan formal sejak 1938. Pada tahun yang sama, atas perjuangan Ter Haar putusan Landraad bahkan bisa dibanding ke Raad van Justitie di Batavia (Hooker 1978).Dari gambaran singkat tersebut dapat diketahui bahwa Indonesia pernah memiliki periode sejarah mengenai bagaimana mendudukkan peradilan adat dalam sistem peradilan formal atau nasional.Seperti yang terjadi pada pemerintahan kolonial Belanda menjadikan peradilan adat (landraad) sebagai bagian dari sistem peradiilan formal.Konsekuensinya,hakim pengadilan adat oleh pemerintahan dan dengan demikan peradilan adat diadminsitrasi
Universitas Sumatera Utara
73
oleh pemerintahan. Konsekuensi kedua putusan peradilan adat dapat dibanding ke pengadilan formal yang lebih tinggi.97 Dengan demikan peradilan hukum adat masih berlaku pada waktu itu akan tetapi masih dibawah naungan pengadilan Landraad, jadi Pengadilan yang berwenang mengadili pada waktu itu adalah pengadilan Ladraad akan tetapi masih dapat dipakai hukum adat sebagai dasar hukum dalam memutuskan perkara.Sikalang gelar Soetan Parhimpunan (Pewaris) pada masa itu memperoleh Tanah berdasarkan Putusan Landraad pada waktu itu membuktikan bahwa Putusan Landraad membawa sebuah kepastian hukum bagi Para pihak yang bersengketa. Akan tetapi dewasa ini Peradilan adat masa Indonesia merdeka perlahan lahan terhadap peradilan peradilan adat mesti dihapuskan.Pada tahun 1960 dilakukan upaya untuk mengontrol kekuasaan yang lebih luas. Salah satu dilakukan dengan
penghapusan terhadap sejumlah
peradilan dilakukan dengan dikeluarkannya UU Darurat No 1 tahun 1951 pada tanggal 13 januari 1951, yang mengatur mengenai tindakan-tindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan susuanan, kekuasaan dan acara pengadilan-pengadilan sipil. Melalui ketentuan ini dipertegas niatan untuk mewujudkan sistem peradilan. Undang-undang ini berisi 4 hal pokok, yaitu: (1) Penghapusan beberapa peradilan yang tidak lagi sesuai dengan susunan negara kesatuan; (2) Penghapusan secara berangsur-angsur peradilanswapraja di daerah-daerah tertentu dan semua peradilan adat; (3) Melanjutkan peradilan agama dan peradilan desa, sepanjang
97
Rikardo Simarmata “Merumuskan Peradilan Adat Dalam Nasional”http://huma.or.id/wp-content/uploads/2013/10/MAKALAH-2.pdf
Sitem
Peradilan
Universitas Sumatera Utara
74
peradilan tersebut merupakan bagian yang tersendiri atau terpisah dari peradilan adat; Pembentukan pengadilan negeri dankejaksaan di tempat-tempat dimana landgerecht dihapuskan; (4) Untuk melaksanakan undang-undang ini terkait dengan penghapusan peradilan adat, pemerintah mengeluarkan ketentuan-ketentuan untuk menghapuskan pengadilan swapraja dan peradilan adat di Sulawesi, Lombok, Kalimantan, dan Irian Barat. Untuk melaksanakan UU ini, terutama penghapusan peradilan adat, pemerintah mengeluarkan ketentuan-ketentuan berikut: 1. Melalui Peraturan Mentri Kehakiman tanggal 21 Agustus 1952 No. J.B.4/3/17 (TLN276), dihapuskan pengadilan-pengadilan swapraja dan pengadilan adat di seluruhSulawesi; 2. Melalui Keputusan Menteri Kehakiman tanggal 30 September 1953 No.J.B.4/4/7(TLN462) dihapuskan pengadilan adat di seluruh Lombok; 3. Melalui Peraturan Menteri Kehakiman tanggal 21 Juni 1954 No. J.B.4/3/2 (TLN.641) jo. Surat Penetapan Menteri Kehakiman tanggal 18 Agustus 1954 No. J.B.4/4/20(TLN.642) dihapuskan pengadilan swapraja dan peradilan adat di seluruhKalimantan; 4. Melalui Peraturan Presiden No. 6 tahun 1966 dihapuskan pengadilan adat danswapraja serta dibentuk Pengadilan Negeri di Irian Barat Selanjutnya pada tahun 1964 keluar UU No. 19 (LN. 1964 No. 107) tentangKetentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Pasal 1 ayat (1) undangundang inimenyebutkan bahwa peradilan di wilayah Republik Indonesia adalah peradilan negara yang ditetapkan dengan undang-undang.Undang-undang ini dicabut dan digantikan oleh Undang Undang No. 14 tahun 1970 (LN. 1970 no. 74). Dalam Pasal 3 ayat (1) -nya, disebutkan bahwa semua peradilan di wilayah Republik Indonesia adalah peradilannegara dan ditetapkan dengan undang-undang. Di Pasal 39 disebutkan juga mengenai penghapusan pengadilan adat dan swapraja yang dilakukan
Universitas Sumatera Utara
75
oleh pemerintah. Dengan demikian, sejak hadirnya undang-undang ini maka pengadilan swapraja dan peradilan adat di Indonesia tidak diakui lagi.98 Persoalan utama yang menghambat peradilan adat menjadi sebuah alternatif sistem penyelesaian sengketa adalah posisinya yang tidak jelas dalam sistem peradilan nasional. Di banyak daerah masyarakat mulai enggan untuk menyelesaikan sengketa diperadilan adat. Biasanya ini disebabkan oleh keraguan atas kekuatan daya berlaku
keputusan
peradilan
adat,
karena
ketiadaan
aparat
yang
bisa
memaksakanpenegakannya. Namun, sejumlah kelemahan yang saat ini ditemukan pada peradilan adat, lebih disebabkan karena tidak adanya pengakuan negara terhadap eksistensinya.99 Dari Penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa Pengadilan zaman Belanda sejak dilakukannya penghapusan peradilan yang dianggap sudah tidak lagi sesuai dengan Negara Kesatuan Indonesia,dengan demikian Putusan Landraad pada zaman belanda juga tidak berlaku lagi sejak munculnya Pengadilan yang diatur menurut Undang Undang Peradilan di Indonesia.Akan tetapi lain halnya jika Putusan Landraad menyangkut perihal kepemilikan tanah,Maka ini harus dihubungkan dengan Undang Undang Pokok Agraria yang mengatur mengenai tanah di Indonesia. Kepastian Hukum kepemilikan tanah berdasarkan Putusan Landraad Sejak Lahirnya Undang Undang Pokok Agraria,memang tidak ada dijelaskan secara tegas 98 Yance Arizona “Kedudukan Peradilan Adat dalam Sistem Hukum Nasional diakses dari https://www.academia.edu/3723907/Kedudukan_Peradilan_Adat_dalam_Sistem_Hukum_Nasional, hal. 8
99
Ibid, hal. 12
Universitas Sumatera Utara
76
mengenai kepemilikan tanah berdasarkan Putusan Pengadilan zaman belanda apakah masih berlaku atau tidak.Undang Undang Pokok Agraria memfokuskan kepastian hukum kepemilikan tanah pada “merombak” sistem kepemilikan tanah pada zaman belanda, seperti menghapus sistem dualisme pengaturan pendaftaran tanah pada zaman belanda dan melakukan pembaharuan di bidang pendaftaran dan kepemilikan tanah dengan Univikasi dan konversi hak hak atas tanah barat dan tanah adat. Meski tidak diatur kepemilikan tanah atas dasar Putusan Landraad akan tetapi bukan berarti Kepemilikan tanah atas dasar Putusan Landraad menjadi tidak berdasarkan hukum / tidak diakui. Dilihat dari dasar konstitusional pembentukan dan perumusan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).Dalam Penjelasan Umumnya,
dinyatakan dengan jelas bahwa tujuan diberlakukannya UUPA adalah:100 a. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang akan merupakan alat untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur; b. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan; c. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hakhak atas tanah bagi rakyat seluruhnya. Pada huruf c mengatakan tujuan dasar diberlakukan UUPA adalah untuk Meletakkan dasar dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya. Dari poin huruf c sebenarnya sudah dapat dilihat bahwa kepastian hukum atas hak hak atas tanah sudah “dipayungi” oleh Undang Undang Pokok Agraria. Demikian halnya kepemilikan hak atas tanah atas dasar 100
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), Penjelasan Umum Angka I
Universitas Sumatera Utara
77
putusan landraad, Meski Putusan Landraad sudah tidak berlaku lagi di Indonesia akan tetapi jika Putusan Landraad tersebut mengacu pada objek Kepemilikan tanah maka setiap kepemilikan tanah tersebut masih dalam koridor Undang Undang Pokok Agraria, dengan demikian kepemilikan tanah berdasarkan Putusan Landraad dimana Pemilik hak atas tanah Sikalang Gelar Soetan Parhimpunan (Pewaris) merupakan Warga Negara Indonesia / Rakyat Indonesia wajib juga hak hak atas tanah nya dilindungi.
Universitas Sumatera Utara