9
BAB II KEMAMPUAN GURU DALAM BERCERITA DAN KEMAMPUAN ANAK DALAM MENYIMAK CERITA
A. Konsep Bercerita 1. Pengertian Bercerita Kegiatan bercerita di dalam masyarakat sudah dikenal sejak dahulu, bercerita pada awalnya merupakan kegiatan yang biasa dilakukan oleh orang tua kepada anak-anaknya. Cerita-cerita tersebut disampaikan secara lisan dan menjadi tradisi yang berkembang di masyarakat secara turun temurun, sehingga menjadi bagian dari budaya masyarakat itu sendiri. Kini, kegiatan bercerita terus berkembang sebagai alat untuk menyampaikan pesan moral dan dapat membantu mengembangkan kemampuan berbahasa bagi anak. Bachri (2005: 10) menyebutkan bahwa "Bercerita adalah menuturkan sesuatu yang mengisahkan tentang perbuatan atau suatu kejadian dan disampaikan secara lisan dengan tujuan membagikan pengalaman dan pengetahuan kepada orang lain." Hidayat (2003: 44) mengemukakan bahwa "Bercerita adalah menuturkan sesuatu yang mengisahkan tentang perbuatan, pengalaman atau suatu kejadian yang sungguh-sungguh terjadi maupun yang rekaan belaka." Senada dengan pendapat di atas, Kusniaty (2005: 63) menyatakan bahwa: "Bercerita adalah suatu kegiatan yang dilakukan seseorang secara lisan kepada orang lain dengan alat atau tanpa alat tentang apa yang harus disampaikan dengan bentuk pesan, informasi atau hanya sebuah dongeng untuk didengarkan dengan rasa menyenangkan, oleh karena orang yang menyajikan cerita tersebut menyampaikannya dengan menarik.”
10
Bercerita juga dalam konteks komunikasi dapat dikatakan sebagai upaya mempengaruhi orang lain melalui ucapan dan penuturan tentang sesuatu atau ide (Bachri, 2005). Dilihat dari segi dunia anak Musfiroh (2005a: 59) berpendapat bahwa ”bercerita dapat didefinisikan sebagai tuturan lisan, karya bentuk tulis, atau pementasan tentang sesuatu kejadian, peristiwa, dan sebagainya yang terjadi di seputar dunia anak.” Sebagaimana pendapat di atas dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002: 2l0) kata ”cerita" mengacu pada sesuatu yang diungkapkan dalam aktivitas bercerita. Cerita diartikan dalam beberapa pengertian, yaitu: a. tuturan yang membentangkan bagaimana terjadinya sesuatu hal peristiwa, kejadian dan sebagainya; b. karangan yang menuturkan perbuatan, pengalaman, penderitaan orang, kejadian dan sebagainya, baik yang sungguh-sungguh maupun rekaan belaka; c. lakon yang diwujudkan atau dipertunjukkan dan digambar hidup seperti sandiwara wayang, dan sebagainya. Jadi dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa bercerita adalah menyampaikan sesuatu ide, gagasan atau pesan dengan maksud untuk membagi pengetahuan atau pengalaman kepada orang lain baik berupa tuturan, karangan atau lakon yang disampaikan secara lisan maupun tulisan sehingga mampu mempengaruhi orang lain. Perlu disadari bahwa kegiatan bercerita merupakan suatu kegiatan yang melibatkan proses pembelajaran yang harus disesuaikan dengan cara anak belajar
11
sehingga anak mampu menangkap, memahami dan mengerti secara efektif pesan yang terkandung di dalam sebuah cerita. Maka, hal penting yang harus dilakukan ketika bercerita kepada anak-anak, bercerita hendaknya dilakukan dengan caracara yang benar sesuai dengan perkembangan anak, dengan demikian guru hendaknya menguasai metode bercerita agar cerita yang disampaikan dapat memberikan pengalaman yang menarik dan bermakna bagi anak. Moeslichatoen
(2004:157)
menyatakan
bahwa
"Metode
bercerita
merupakan salah satu pemberian pengalaman belajar bagi anak taman kanakkanak melalui cerita yang disampaikan secara lisan.” Terkait dengan peryataan di atas, maka Majid (2005) berpendapat bahwa di dalam metode bercerita terdapat hal-hal yang perlu diperhatikan oleh guru, antara lain; Tempat Bercerita, Posisi Duduk, Bahasa Cerita, Intonasi Guru, Pemunculan Tokoh-tokoh, Penampakan emosi, Peniruan suara, Penguasaan terhadap siswa yang tidak serius, dan Menghindari ucapan spontan. Musfiroh (Rustiana, 2007) menyatakan bahwa pada aktivitas bercerita banyak keterampilan yang harus diperhatikan oleh pencerita antara lain; Keterampilan Olah Suara (Vocal), Keterampilan Ekspresi, Keterampilan Menarik Perhatian Anak, Keterampilan Membaca Situasi, Keterampilan Tanya Jawab, Keterampilan memilih materi yang sesuai dengan kapasitas pendengar dan Luwes dalam olah tubuh, menjaga daya tahan tubuh, serta dapat memperbaiki daya konsentrasi. Sedangkan menurut Hidayat (2003) untuk mempersiapkan sebuah sebuah cerita yang baik hendaknya pencerita menguasai cerita, mempelajari karakter
12
tokoh dan karakter suara, mempelajari tempo dan irama bercerita, cerita harus sesuai dengan bahasa anak, posisi guru hendaknya terlihat oleh semua anak. Jadi dapat disimpulkan bahwa di dalam kegiatan bercerita kemampuan guru dalam merancang dan melaksanakan kegiatan bercerita, menjadi faktor yang menentukan
sehingga
bercerita
dapat
dikatakan
sebagai
suatu
metode
pembelajaran yang menarik bagi anak dimana guru harus memperhatikan tujuan yang akan dicapai, situasi dan kondisi tempat pembelajaran, kesesuaian dengan anak serta penguasaan dan pengetahuan guru tentang teknik di dalam bercerita.
2. Tujuan Bercerita Pada dasarnya kegiatan bercerita bertujuan untuk mengembangkan aspek perkembangan bahasa dan mengembangkan imajinasi anak sehingga anak mampu menyatakan ide, gagasan dan pikirannya kepada orang lain yang disampaikan secara lisan, serta anak mampu mendengarkan apa yang disampaikan oleh orang lain dengan penuh perhatian. Kusniaty (2005) menyatakan bahwa tujuan bercerita bagi anak usia 4-6 tahun adalah agar anak mampu mendengarkan apa yang disampaikan orang lain, anak dapat bertanya apabila tidak memahami apa yang disampaikan serta anak dapat menjawab pertanyaan dan mampu menceritakan kembali apa yang didengarnya. Hal ini sesuai dengan Hidayat (2003) tujuan pembelajaran dengan bercerita dalam program kegiatan di Taman Kanak-kanak adalah: a. Mengembangkan kemampuan dasar untuk pengembangan daya cipta, dalam
13
pengertian membuat anak kreatif yaitu lancar, fleksibel dan orisinal dalam bertutur kata, berfikir, serta berolah tangan dan berolah tubuh sebagai latihan motorik halus maupun kasar. b. Mengembangkan kemampuan dasar dalam pengembangan bahasa agar anak didik mampu berkomunikasi secara lisan dengan lingkungan. Sedangkan menurut Moeslichatoen (2004:171) ”kegiatan bercerita bertujuan untuk memberikan informasi atau menanamkan nilai-nilai sosial, moral, dan keagamaan, pemberian informasi tentang lingkungan fisik dan lingkungan sosial.” Berkaitan dengan tujuan pembelajaran bercerita di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa
bercerita
bertujuan
untuk
membantu
anak
dalam
mengembangkan berbagai potensi yang dimiliki oleh anak dan bercerita mampu memberikan sumbangan terbesar dalam mengembangkan aspek bahasa sehingga anak mampu berkomunikasi dengan lingkungannya.
3. Jenis Cerita Banyak jenis cerita yang dapat disampaikan kepada anak, namun jenis cerita yang menarik untuk anak tentu berlainan, ini tergantung pada pemahaman dan pengalaman yang didapat anak sebelumnya. Anak-anak yang banyak dibacakan cerita tentunya akan lebih banyak mendengarkan dan menjadi pendengar yang aktif sehingga menimbukan kesenangan dalam mendengarkan cerita.
14
Cerita untuk anak dapat dikategorikan kedalam tiga jenis, yakni cerita rakyat, cerita fiksi modern dan cerita faktual. Ketiga cerita tersebut memiliki sumber dan karakteristik yang berbeda Musfiroh (2005b), antara lain: a. Cerita Rakyat yang dalam bahasa Inggris disebut folkate adalah narasi pendek dalam bentuk prosa yang tidak diketahui penciptanya dan tersebar dari mulut ke mulut (Abrams dalam Musfiroh, 2005b) b. Cerita fiksi modern dapat dikategorikan menjadi cerita fantasi dan cerita fiksi ilmiah (Cox dalam Musfiroh, 2005b). Cerita fiksi modern merupakan cerita imajinatif yang diciptakan oleh seseorang berdasarkan problematika kehidupan sehari-hari. c. Cerita faktual adalah cerita yang didasarkan pada peristiwa faktual yang dialami oleh seseorang atau sekelompok orang. Cerita faktual biasanya diabadikan dalam bentuk buku sejarah atau kitab suci yang dipercaya kebenarannya (Musfiroh, 2005b).
4. Komponen-komponen Cerita Anak Pada dasarnya cerita yang baik memiliki alur yang berirama yang alami pada bagian awal, tengah, dan akhir cerita. Selain itu plot cerita dikembangkan dengan baik, karakter tokohnya dapat dipercaya, kata-katanya imajinatif dan kreatif serta memanfaatkan humor atau drama untuk membangkitkan emosi dan imajinasi anak sehingga mampu merebut perhatian dan minat anak untuk mendengarkan cerita.
15
Oleh karena itu Musfiroh (2005b) menyatakan bahwa di dalam cerita hendaknya penulis memperhatikan komponen-komponen cerita sebagai berikut: a. Tema Tema adalah makna yang terkandung dalam sebuah cerita (Pickering & Hoeper; Stanton; Kenney dalam Musfiroh, 2005b). Tema juga dapat diartikan sebagai gagasan, ide, pikiran utama yang mendasari suatu karya sastra (Sudjiman dalam Musfiroh, 2005b). Untuk anak, cerita yang disuguhkan sebaiknya memiliki tema tunggal, berupa tema sosial maupun tema ketuhanan. Tema yang sesuai untuk mereka antara lain: tema moral dan kemanusiaan, tema binatang dan lain sebagainya (Musfiroh, 2005b). b. Setting Setting adalah waktu dan tempat terjadinya cerita secara nyata yang dapat dipercaya kebenarannya. Penggambaran waktu dan tempat membantu imajinasi anak untuk berpikir tentang kejadian cerita itu benar-benar dialami oleh anak itu sendiri. Pemilihan setting cerita ini harus spesifik sehingga keakuratan cerita dapat membantu anak mengembangkan daya nalar (Mustakim, 2005). Stewigh (Mustakim, 2005) menyatakan bahwa pemilihan latar cerita hendaknya dipilih tempat yang spesifik yang menggambarkan kealamian dan kekhasan tempat yang tidak pernah diduga oleh pembaca sebelumnya. c. Plot atau Alur Cerita Plot adalah peristiwa-peristiwa naratif yang disusun dalam serangkaian waktu (Musfiroh, 2005b). Plot juga dapat didefinisikan sebagai peristiwa-peristiwa narasi (cerita) yang penekananya terletak pada hubungan kausalitas (Forster
16
dalam Musfiroh, 2005b). Karena kemampuan logical anak belum berkembang maksimal maka plot yang ditampilkan dalam cerita cenderung sederhana, tidak terlalu rumit. Plot atau alur cerita pada anak yang biasa digunakan pengarang cerita mengutamakan plot maju, artinya tahap-tahap cerita ini dimulai dari perkenalan
tokoh-tokoh
cerita,
masa
menghadapi
masalah,
klimaks,
antiklimaks dan kemudian penyelesaian cerita. Plot cerita seperti ini berfungsi untuk memudahkan anak memahami isi cerita (Musfiroh, 2005b). d. Tokoh dan Penokohan Tokoh adalah individu rekaan yang mengalami berbagai peristiwa dalam cerita (Musfiroh, 2005b).Tokoh pada umumnya berwujud manusia, tetapi pada cerita anak tokoh itu dapat berwujud binatang atau benda-benda. Tokoh binatang atau benda dalam cerita dapat bertingkah laku seperti manusia, dapat berfikir dan berbicara seperti manusia (Sudjiman dalam Musfiroh, 2005b). Tokoh cerita bersifat rekaan. Meskipun demikian, tokoh cerita kemiripan dengan individu tertentu dalam kehidupan nyata. Tokoh cerita mungkin memiliki sifat-sifat yang mirip dengan tokoh yang dikenal anak. Anak TK memerlukan tokoh cerita yang jelas dan sederhana. Tokoh-tokoh sederhana membantu anak-anak dalam mengidentifikasi tokoh jahat dan tokoh baik. c. Sudut pandang Sudut pandang atau point of view, merupakan salah satu sarana cerita (Stanton dalam Musfiroh, 2005b). Sudut pandang mempermasalahkan siapa yang menceritakan atau dari kacamata siapa cerita dikisahkan. Penggunaan sudut pandang memudahkan anak mengidentifikasi dan memahami cerita, karena
17
mereka terbantu oleh pencerita yang. memberitahukan hal-hal yang menyangkut
tokoh,
peristiwa,
tindakan
dan
motivasi
tertentu
yang
melatarbelakanginya.
5. Manfaat Cerita Bagi Anak Cerita merupakan media yang sangat baik dan efisien dalam proses belajar mengajar di Taman kanak-kanak. Cerita yang disampaikan dengan baik dapat membantu memperluas pengetahuan anak, membantu perkembangan apresiasi budaya dan membantu anak memahami tentang dunia mereka dan lingkungan sekitarnya. Cerita bagi anak memiliki manfaat yang sama pentingnya dengan aktivitas dan program pendidikan itu sendiri. Ditinjau dari berbagai aspek, manfaat cerita menurut Musfiroh (2005b: 95-112) diantaranya adalah: a. Membantu pembentukan pribadi dan moral anak Cerita sangat efektif untuk mempengaruhi cara berfikir dan berperilaku anak karena mereka senang mendengarkan cerita walaupun dibacakan secara berulang-ulang. Cerita dapat memiliki keuntungan psikologis jika anak mandapatkan cerita itu dari guru atau orangtuanya. Efek psikologis inilah yang menjadi landasan bagi guru untuk menyemaikan nilai-nilai moral, etika, dan budi pekerti. b. Menyalurkan kebutuhan imajinasi dan fantasi anak Anak-anak membutuhkan penyaluran imajinasi dan fantasi tentang berbagai hal yang selalu muncul dalam pikiran anak. Masa usia prasekolah merupakan
18
masa-masa aktif anak berimajinasi. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya imajinasi anak-anak sedang membutuhkan penyaluran, salah satu tempat yang tepat dalam penyaluran imajinasi anak adalah melalui cerita. c. Memacu kemampuan verbal anak. Cerita mendorong anak bukan saja senang menyimak cerita, tetapi juga senang bercerita atau berbicara. Anak belajar tata cara berdialog dan bernarasi serta terangsang untuk menirukannya. Maka melalui cerita memacu kecerdasan linguistik dalam hal ini merupakan kegiatan yang sangat penting. d. Merangsang minat menulis anak Cerita dapat membantu kepercayaan diri pada anak untuk menumbuhkan kemampuan tulis, sehingga menimbulkan inspirasi anak untuk membuat cerita. e. Merangsang minat baca anak Anak berbicara dan mendengar sebelum ia belajar membaca. Oleh karena itu pengembangan sistem bahasa lisan yang baik sangat penting untuk mempersiapkan anak belajar membaca, membaca cerita dapat menjadi contoh yang efektif bagi anak bagaimana aktifitas membaca harus dilakukan. f. Membuka cakrawala pengetahuan anak. Pemanfaatan cerita sebagai pengembangan pengetahuan anak sangat diperlukan karena akan memberikan bekal kepada anak mengenai berbagai budaya. Sehingga anak-anak dapat berinteraksi dari belajar tentang nama, proses dan kategori berbagai hal yang berada dalam koridor budaya dengan orang dewasa
19
atau teman sebayanya. Dalam hal ini wawasan anak akan bertambah tentang dunia sekelilingnya (Musfiroh, 2005b). Beberapa penelitian yang dilaporkan Manson pada tahun 1981 (Solehuddin, 2000) memperlihatkan bahwa membacakan atau menceritakan cerita-cerita sederhana kepada anak lebih penting untuk perolehan pengetahuan awal tentang membaca daripada aktivitas lainnya termasuk menamai gambar, menyebutkan dan mengeja kata-kata, serta mencetak huruf atau kata-kata. Begitu juga penelitian Ferguson pada tahun 1979 (Solehuddin, 2000) menunjukkan bahwa anak-anak yang dibacakan kepada mereka cerita-cerita semasa TK memperoleh skor lebih tinggi dalam tes keterampilan membaca daripada anakanak yang berpartisipasi dalam aktivitas baca tulis awal lainnya. Berkaitan dengan manfaat pembelajaran bercerita di atas, maka dapat disimpulkan bahwa bercerita mampu membantu anak dalam mengembangkan berbagai aspek perkembangannva diantara aspek bahasa, fisik motorik, seni, kognitif, sosial emosional dan kemandirian.
6. Kriteria Pemilihan Cerita Anak Anak-anak usia dini mempunyai kemampuan menyerap informasi yang lebih cepat dibanding anak-anak remaja keatas, selain itu anak-anak juga belum mampu membedakan antara kenyataan dan fantasi, apa yang didengar dan dilihatnya dianggap benar-benar terjadi (Priyasmono, 2004). Maka di dalam menyampaikan sebuah cerita diperlukan adanya pemilihan cerita yang baik untuk anak-anak. Kriteria pemilihan cerita anak menurut Mustakim (2005) antara lain:
20
a. Kesederhanaan bahasa Bahasa cerita dapat memberikan wawasan kepada anak tentang isi cerita. Bahasa hendaknya dipilih berdasarkan pada latar bagaimana perkembangan bahasa anak dan jalan pikiran anak. b. Kesederhanaan Alur Salah satu aspek cerita yang menarik perhatian anak adalah alur cerita. Alur cerita terjadi pada tahap awal cerita, tengah cerita dan akhir cerita (Zuhdi dalam Mustakim, 2005). Paparan alur cerita yang sederhana mampu mengembangkan daya nalar anak untuk berfikir kritis tentang masalah yang terjadi pada awal, tengah dan akhir cerita. c. Perwatakan Tokoh Tokoh di dalam cerita adalah salah satu unsur cerita yang sangat menarik bagi anak, tokoh bagi anak-anak harus jelas dan dapat dipercaya. Artinya bahwa tokoh itu memiliki kepribadian yang jelas yang digambarkan melalui pikiran, kata-kata, tindakan dan ekspresi. Tokoh cerita yang disukai anak-anak adalah tokoh yamg berani, cerdik dan perkasa (Nuraeni, 2000). d. Mengandung Pendidikan Moral Cerita anak-anak hendaknya banyak memberikan manfaat bagi pendidikan anak-anak. Cerita tersebut dimaksudkan untuk memberi teladan kepada anakanak guna membina pribadinya. Cerita yang memuat sikap berbudi atau moral adalah cerita orang yang bemurah hati, peduli kepada orang lain, memperhatikan nasihat, menolong yang lemah dan lain-lain (Mustakim, 2005).
21
Jadi cerita anak yang baik harus mampu membuka pintu pengetahuan, mampu membantu meningkatkan kemampuan berbahasa, mengembangkan kepribadian dan keselarasan kehidupan sosial serta mampu memikat hati dan memperkaya jiwa anak.
7. Teknik Penyajian Cerita Pada dasarnya untuk menyajikan cerita secara menarik diperlukan beberapa persiapan mulai dari tempat, alat peraga hingga penyajian cerita, oleh karena itu diperlukan teknik penyajian cerita yang sesuai dengan proses pembelajaran bagi anak, agar pesan yang disampaikan melalui cerita dapat diterima dengan baik oleh anak. Majid (2005) menyatakan, bercerita tidak harus dilakukan di dalam kelas, kegiatan bercerita dapat dilakukan di luar kelas yang dianggap baik oleh guru. Senada dengan pendapat di atas, Musfiroh (2005b) menyatakan tempat untuk bercerita harus memenuhi kriteria kebersihan, keamanan dan kenyamanan. Apabila anak relatif banyak, sebaiknya digunakan tempat yang cukup luas agar dapat mendukung keberhasilan pada saat bercerita. Ceritapun dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai alat bantu yang disebut dengan alat peraga bercerita. Alat peraga ini dapat membantu guru dalam menyampaikan pesan pada isi cerita yang disampaikan (Musfiroh, 2005b). Senada dengan pendapat di atas, Kusniaty (2005) menyatakan teknik pelaksanaan bercerita dapat menggunakan alat peraga atau tanpa alat peraga. Dimana bercerita dengan menggunakan alat peraga adalah menyajikan cerita dengan menggunakan
22
media yang menarik dan aman bagi anak. Sedangkan bercerita tanpa alat peraga adalah bercerita yang dilakukan tanpa adanya alat peraga yang diperlihatkan kepada anak (Kusniaty, 2005). Dengan memperhatikan berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa didalam melaksanakan kegiatan bercerita diperlukan berbagai persiapan yang terkait dengan teknik penyajian cerita, maka diperlukan petunjuk pelaksanaan yang jelas yang menyangkut tempat dan alat yang digunakan untuk bercerita, sehingga kegiatan bercerita dapat menyenangkan bagi anak dan dapat mencapai tujuan yang dimaksud.
8. Permasalahan Seputar Cerita dan Bercerita Seringkali di dalam melaksanakan kegiatan bercerita ditemukan berbagai permasalahan yang menyangkut baik persiapan maupun pelaksanaan penceritaan. Menurut Musfiroh (2005b) empat permasalahan utama di dalam bercerita, yakni; a. bercerita yang kurang memiliki kandungan pendidikan, dimana cerita dinamakan dengan tuna makna. Cerita tuna makna kurang memberikan sajian yang mendukung proses pembelajaran pada anak. b. cerita yang dipenuhi improvisasi, korupsi dan interpolasi sehingga mengaburkan esensi cerita yang sebenarnya. Maksudnya adalah pencerita atau guru kadang melakukan pengubahan habis-habisan pada sebuah cerita, seperti ucapan-ucapan tokoh, adegan, jalan cerita bahkan sifat-sifat tokoh tidak lagi mirip dengan cerita aslinya. Tidak semua improvisasi bernilai positif improvisasi yang berlebihan dan tidak sejalan dengan cerita dapat
23
mengakibatkan sebuah cerita menjadi kabur dan membuat cerita menjadi kehilangan hakikatnya. c. efek cerita yang diderita anak akibat imitasi yang tidak terkontrol d. imajinasi anak yang tidak terkendali, karena anak hanyut oleh cerita yang dinikmati, maksudnya adalah anak penuh imajinasi atau daya imajinasi anak sedang berkembang. Namun ada kalanya anak mengalami kesulitan membedakan dunia nyata dan dunia khayal. Misalnya ketika diberikan cerita tentang mahluk halus, anak akan menganggap bahwa cerita itu betul-betul nyata, sehingga ketika anak teracuni imajinasinya sendiri tidak mudah baginya keluar dari dunianya itu tanpa bantuan guru atau orang tua (Musfiroh, 2005b).
B. Konsep Menyimak 1. Pengertian Menyimak Kemampuan
menyimak
merupakan
kemampuan
yang
harus
dikembangkan sejak anak-anak. Kemampuan menyimak memegang peranan yang sangat penting di dalam kehidupan, menyimak merupakan keterampilan yang harus dimiliki semua anak agar dapat memahami bahasa yang digunakan orang lain secara lisan (Dhieni, 2005). Tanpa kemampuan
menyimak secara baik
memungkinkan terjadi kesalahpahaman dalam komunikasi antara sesama pemakai bahasa. Dengan demikian, kegiatan menyimak merupakan kegiatan berbahasa yang dilakukan untuk menerima sejumlah informasi yang di sampaikan oleh orang lain (Dhieni, 2005).
24
Suhendar (1997: 1) menyatakan bahwa ”menyimak merupakan proses perubahan bentuk bunyi menjadi wujud makna". Sedangkan pengertian menyimak yang dikemukakan Tarigan (2008: 31) adalah: "suatu proses kegiatan mendengarkan lambang - lambang lisan dengan penuh perhatian, pemahaman, apresiasi, serta interpretasi untuk memperoleh informasi, menangkap isi atau pesan serta memahami makna komunikasi yang telah disampaikan oleh pembicara melalui ujaran atau bahasa lisan.” Senada dengan pendapat di atas Yarmi dan Dhieni (2005) menyatakan menyimak adalah mendengarkan secara aktif dan kreatif untuk memperoleh informasi, menangkap isi atau pesan serta memahami makna komunikasi yang di sampaikan secara lisan. Sedangkan menurut Anderson (Yarmi dan Dhieni, 2005) yang dimaksud dengan menyimak adalah mendengarkan dengan penuh pemahaman dan perhatian serta apresiasi. Hal tersebut dipertegas dengan pernyataan Tarigan (1991: 25) bahwa menyimak merupakan "suatu proses yang mencakup kegiatan mendengarkan bunyi bahasa, mengidentifikasi, menginterpretasi, menilai dan mereaksi atas makna yang terkandung di dalamnya." Dari berbagai pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa menyimak adalah suatu proses mendengarkan dengan penuh perhatian, menangkap pesan dan memperoleh informasi serta memahami makna komunikasi yang disampaikan secara lisan oleh pembicara agar penyimak dapat menangkap pesan dari pembicaraan tersebut.
25
2. Tahapan Menyimak Menurut Tarigan (1991) dalam proses menyimak terdapat enam tahap yakni; a. Mendengar Penyimak menangkap pesan pembicara yang sudah diterjemahkan dalam bentuk bunyi bahasa. b. Mengidentifikasi Mengenal dan mengelompokkan suku kata, kelompok kata, kalimat, paragraf atau wacana c. Menginterpretasi Menafsirkan makna yang dimaksudkan oleh pembicara d. Memahami Memahami makna pesan yang disampaikan pembicara e. Menilai Kualitas hasil penilaian sangat tergantung pada pengalaman dan pengetahuan penyimak. f.
Menanggapi Mernberikan reaksi terhadap pesan yang diterima Senada dengan pendapat di atas Logan (Tarigan, 2008) menyatakan bahwa
di dalam proses menyimak terdapat tahap-tahap yang perlu diperhatikan, antara lain: a. Tahap Mendengar, dalam tahap ini hanya mendengarkan segala sesuatu yang dikemukakan oleh pembicara.
26
b. Tahap Memahami, selain mendengar juga dapat mengerti dan memahami maksud dari isi pembicaraan yang disampaikan oleh pembicara c. Tahap Menginterpretasi, dalam tahap ini dapat menafsirkan isi, butir-butir pendapat yang tersirat dalam setiap ujaran d. Tahap Mengevaluasi, penyimak dapat menilai pendapat serta gagasan pembicara mengenai kelemahan dan keunggulan pembicara. e. Tahap Menanggapi, dalam tahap ini penyimak dapat menyambut, mencamkan, dan menyerap serta menerima gagasan atau ide yang dikemukakan oleh pembicara. Sedangkan Tarigan (2008) menurut sebuah buku mengenai keterampilan bahasa khususnya mengenai keterampilan menyimak yang berjudul "Tulare Country Cooperative Language Ars Guide", keterampilan menyimak bagi Taman kanak-kanak (usia 4,5-6 tahun) yaitu; a. menyimak pada teman-teman sebaya dalam kelompok bermain b. mengembangkan perhatian dalam waktu yang amat panjang melalui cerita atau dongeng c. dapat mengingat petunjuk-petunjuk dan pesan-pesan sederhana
3. Tujuan Menyimak Setiap individu yang lahir normal memiliki kemampuan dasar untuk menyimak. Namun tidak setiap orang memiliki kemampuan yang sama dalam hal menyimak (Mustakim, 2005). Menyimak
mempunyai peranan yang
sangat
27
penting bagi kehidupan manusia, dan memiliki tujuan yang sangat jelas dalam setiap lingkungan sosial. Tarigan (1991: 5) menyatakan bahwa "tujuan utama dari menyimak adalah menangkap, memahami atau menghayati pesan, ide, gagasan yang tersirat dalam bahan simakan." Sedangkan lebih spesifik Tarigan (Yarmi dan Dhieni, 2005) mengemukakan ada tujuh tujuan dari menyimak yaitu; untuk belajar, untuk memecahkan masalah, untuk mengevaluasi, untuk mengapresiasi, untuk mengkomunikasikan ide-ide, untuk membedakan bunyi-bunyi serta untuk meyakinkan. Sejalan dengan pendapat tersebut Sabarti (Yarmi dan Dhieni, 2005) mengemukakan tujuan dari menyimak, yaitu: menyimak untuk belajar, menyimak untuk menghibur diri, menyimak untuk menilai, menyimak untuk mengapresiasi, menyimak untuk memecahkan masalah. Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan dari menyimak adalah untuk memperoleh informasi, menangkap pesan dan memahami isi dari pembicara melalui ujaran serta menyimak berguna untuk belajar, untuk memecahkan masalah, untuk mengevaluasi, untuk mengapresiasi, untuk mengkomunikasikan ide-ide, untuk membedakan bunyi-bunyi dan untuk menghibur diri.
4. Jenis-jenis Menyimak Menyimak sangat diperlukan dalam kehidupan sehari-hari untuk memperluas wawasan, pengetahuan maupun hanya untuk kesenangan. Namun
28
setiap orang memiliki kemampuan yang berbeda dalam memahami apa yang disimaknya. Menurut Green & Petty ( Tarigan 1991: 26) terdapat sembilan jenis menyimak, seperti yang diuraikan berikut ini: 1) Menyimak tanpa reaksi, penyimak mendengar sesuatu berupa suara atau teriakan, namun yang bersangkutan tidak memberikan reaksi apa-apa. 2) Menyimak terputus-putus, penyimak sebentar menyimak sebentar tidak, pikiran penyimak bercabang tidak terpusat kepada bahan simakan. 3) Menyimak terpusat, pikiran penyimak terpusat pada sesuatu 4) Menyimak pasif, menyimak pasif hampir sama dengan menyimak tanpa reaksi, namun penyimak pasif sudah ada reaksi walaupun sedikit. 5) Menyimak dangkal, penyimak hanya menangkap sebagian isi simakan. 6) Menyimak untuk membandingkan, penyimak menyimak sesuatu pesan, kemudian membandingkan isi pesan itu dengan pengalaman atau pengetahuan penyimak yang relevan. 7) Menyimak organisasi materi, penyimak berusaha mengetahui organisasi materi yang disampaikan pembicara, ide pokoknya serta detail penunjangnya. 8) Menyimak kritis, penyimak menganalisis secara kritis terhadap materi yang disampaikan pembicara.
29
9) Menyimak kreatif dan apresiatif, penyimak memberikan responsi mental dan fisik yang asli terhadap bahan simakan yang diterima (Green and Petty dalam Tarigan, 1991). Senada dengan pendapat di atas, Tarigan (2008) mengemukakan jenisjenis menyimak sebagai berikut: 1) Menyimak Ekstensif adalah sejenis kegiatan menyimak mengenai hal-hal yang mudah yang lebih umum dan lebih bebas terhadap suatu ujaran, tidak perlu di bawah bimbingan langsung dari seorang guru. Menyimak ekstensif meliputi menyimak sosial, menyimak sekunder, menyimak estetik, dan menyimak pasif. 2) Menyimak Intensif adalah kegiatan menyimak yang diarahkan pada suatu kegiatan yang jauh lebih diawasi, dikontrol terhadap satu hal tertentu. Menyimak intensif ini meliputi menyimak kritis, menyimak konsertratif menyimak kreatif, menyimak eksploratori, menyimak interogatif, dan menyimak selektif.
5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kegiatan Menyimak Meskipun kegiatan menyimak itu sangat berperan penting, namun sering kali penyimak mengalami kesulitan sehingga informasi yang diperoleh pun tidak maksimal.
Dalam
kegiatan
menyimak
terdapat
berbagai
faktor
yang
mempengaruhi, diantara berbagai faktor tersebut, Hunt (Tarigan, 2008) mengatakan bahwa ada lima faktor yang mempengaruhi menyimak, yaitu;
30
a. sikap b. motivasi c. pribadi d. situasi kehidupan e. peranan dalam masyarakat (Hunt dalam Tarigan, 2008) Sedangkan Logan (Tarigan, 2008) mengemukakan faktor-faktor berikut ini: a. faktor lingkungan, yang terdiri dari lingkungan fisik dan lingkungan sosial b. faktor fisik c. faktor psikologis d. faktor pengalaman Senada dengan pendapat di alas Tarigan (2008) menyatakan bahwa faktorfaktor yang mempengaruhi kegiatan menyimak adalah: a. Faktor fisik, kondisi fisik seseorang merupakan faktor penting yang turut menentukan keberhasilan dan keefektifan dalam menyimak, kesehatan dan kesejahteraan fisik merupakan modal penting dalam menyimak. Selain kondisi fisik, lingkungan fisik juga turut bertanggung jawab atas keefektifan menyimak sesorang, misalnya ruangan yang terlalu panas atau terlalu dingin, suara dan bunyi yang mengganggu atau orang yang berjalan hilir mudik dapat mengganggu aktivitas dalam menyimak. b. Faktor psikologis, faktor psikologis melibatkan sifat-sifat dan sikap-sikap pribadi, faktor ini meliputi; prasangka dan kurangnya simpati terhadap pembicara, keegosentrisan dan asyiknya terhadap minat pribadi dan
31
masalah pribadi, kepicikan yang menyebabkan pandangan yang kurang luas, kebosanan dan kejenuhan yang menyebabkan tidak adanya perhatian sama sekali pada pokok pembicaraan, sikap yang tidak layak terhadap sekolah, terhadap guru, terhadap pokok pembicaraan, atau terhadap pembicara. c. Faktor Pengalaman, kurangnya pengalaman atau tidak ada minat terhadap bidang yang akan disimak dapat menjadi penyebab ketidakberhasilan dalam menyimak. Dengan demikian pengalaman merupakan faktor penting dalam kegiatan menyimak. d. Faktor Sikap, setiap orang akan menyimak secara seksama terhadap topik atau pembicaran yang dia setujui dan kurang respek terhadap topik atau pembicaraan yang kurang disetujuinya. Sikap inilah yang dapat mempengaruhi di dalam aktivitas menyimak. e. Faktor Motivasi, kegiatan menyimak biasanya melibatkan penilaian kita sendiri, seandainya seseorang memperoleh sesuatu yang berharga dari sebuah pembicaraan maka akan bersemangat, tekun dan seksama dalam menyimak. f. Faktor Jenis Kelamin, kebiasaan menyimak dapat berbeda satu sama lain, perbedaan ini turut pula ditentukan oleh perbedaan jenis kelamin. Dari beberapa penelitian beberapa pakar menarik kesimpulan bahwa pria dan wanita pada umumnva mempunyai perhatian yang berbeda, dan cara mereka memusatkan perhatian pada sesuatu hal berbeda pula.
32
g. Faktor Lingkungan, keberhasilan menyimak bukan saja ditentukan oleh faktor lingkungan fisik semata, akan tetapi lingkungan sosialpun dapat mempengaruhi keberhasilan dalam kegiatan menyimak. h. Faktor Peranan Masyarakat, kemauan menyimak dapat dipengaruhi oleh peranan kita dalam masyarakat. Contohnya sebagai guru dan pendidik biasanya menginginkan untuk meyimak ceramah, kuliah atau berita yang berhubungan dengan pendidikan, begitu pula halnya lurah, camat dan bupati akan menyimak kegiatan atau berita yang berhubungan dengan pekerjaannya (Tarigan, 2008).
6. Strategi Pengembangan kemampuan Menyimak Upaya mengembangkan serta meningkatkan kemampuan menyimak pada anak merupakan unsur yang sangat penting di dalam pengembangan kemampuan berbahasa anak. Oleh karena itu, setiap anak hendaknya diberikan dorongan dan kesempatan untuk menerima pengalaman belajar dalam kehidupan berbahasa yang nyata.
Hal tersebut dapat dilakukan dengan penggunaan strategi
pembelajaran menyimak. Berbagai Strategi dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan menyimak. Paley dan Bromley (Yarmi dan Dhieni, 2005) mengemukakan beberapa strategi yang dapat dilakukan agar anak dapat menjadi pendengar aktif yaitu: a. Tetap diam, artinya penyimak tidak menambahkan kata-kata sewaktu terjadi keragu-raguan ketika seorang pembicara berhenti, yang dilakukan
33
tetap diam dan menyerap pesan yang disampaikan. b. Teori dan penelitian membuktikan bahwa anak akan belajar lebih banyak jika guru mendengarkan lebih banyak. c. Mempertahankan kontak mata. Cara yang terbaik untuk membatasi informasi yang masuk adalah dengan tetap menjaga kontak mata dengan pembicara. Caranya guru bisa melihat ke sekeliling atau duduk dekat anak. d. Menggunakan bahasa nonverbal. Seseorang pendengar aktif mernproses semua informasi yang disampaikan oleh pembicara, untuk membantu pemahaman guru anak terhadap apa yang di perdengarkan guru bisa memanfaatkan bahasa nonverbal, seperti gerakan tangan, atau ekspresi. e. Menangkap
pengertian.
Apabila
pendengar
mendengar
sesuatu
ketidaksesuaian maka pendengar dapat menemukan waktu yang tepat untuk menanyakan pertanyaan atau menyampaikan pernyataan. f. Membagi kesan mental. Pendengar terlibat aktif dalam mendengar apa yang didengar sehingga menjadi lebih mengerti g. Mendorong berbicara. Orang dewasa dapat mendorong anak untuk berani berbicara dan percaya diri ketika di rumah atau di sekolah. h. Partisipasi Kelompok. Kegiatan berkelompok dapat meningkatkan kemampuan menyimak anak seperti: bekerja berpasangan, bermain peran atau dramatisasi (Paley & Bromley dalam Yarmi dan Dhieni, 2005). Jadi dapat disimpulkan melalui strategi pembelajaran yang dinamis diharapkan akan tercipta suatu bentuk komunikasi lisan yang terpola dan kemampuan menyimak pada anak dapat meningkat sehingga anak mampu untuk
34
menangkap pesan atau gagasan yang disampaikan, anak mampu untuk mengungkapkan perasaannya, menyampaikan keinginan serta memberikan saran dan pendapatnya.
C. Penelitian - Penelitian Sebelumnya Kegiatan bercerita dapat memberikan dampak positif bagi perkembangan bahasa anak (Mustakim, 2005). Hal tersebut dapat dilihat dari penelitianpenelitian sebelumnya sebagaimana dipaparkan di bawah ini: Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rustina (2008) bahwa keterampilan mendongeng dapat mempengaruhi daya simak anak pada usia 4-5 tahun, terutama pada keterampilan guru dalam olah vokal (artikulasi intonasi, irama suara yang jelas dan menarik), ekspresif, dan keterampilan memilih alat peraga yang tepat. Sedangkan hasil penelitian Sukmaesih (2004) menyatakan bahwa pembelajaran bercerita dengan menggunakan media boneka dapat meningkatkan keterampilan menyimak dan berbicara bagi anak. Selain itu, keterampilan menyimak juga mampu menumbuhkan motivasi anak untuk bercerita, meningkatkan kemampuan menyimak cerita serta mampu menceritakan kembali isi cerita. Kemudian, hasil penelitian Tresnawati (2008) menyatakan bahwa pembelajaran menyimak cerita dapat meningkatkan daya simak anak, hal ini terjadi ketika pencerita menceritakan dongeng yang berkultur budaya Indonesia. Oleh karena itu, dari berbagai penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa kegiatan bercerita baik menggunakan alat peraga maupun tanpa alat peraga dapat
35
mempengaruhi dan meningkatkan keterampilan menyimak pada anak dan mampu menumbuhkan motivasi pada anak untuk menceritakan kembali isi cerita sederhana.
D. Kerangka Berpikir Hubungan
antara
Kemampuan
Guru
dalam
Bercerita
dengan
Kemampuan Anak dalam Menyimak Cerita. Kegiatan menyimak merupakan kegiatan yang sangat penting dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Kegiatan menyimak pada anak dapat dilakukan melalui kegiatan mendengarkan cerita. Karena, kegiatan mendengarkan cerita merupakan kegiatan yang menyenangkan bagi anak dan mampu menarik perhatian anak serta dapat meningkatkan kemampuan menyimak pada anak. Hal ini dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sukmaesih (2004) bahwa pembelajaran bercerita selain mampu menumbuhkan motivasi anak untuk bercerita juga mampu meningkatkan kemampuan menyimak cerita dan menceritakan kembali isi dari cerita. Untuk membawakan cerita yang menarik bukanlah suatu kegiatan yang mudah. Kemampuan guru dalam bercerita sangat diperlukan, karena guru sebagai pencerita menduduki fungsi yang sangat sentral dalam kegiatan bercerita. Dengan demikian ketertarikan anak untuk dapat menyimak cerita yang disampaikan oleh guru dapat tergantung dari kreatifitas guru dalam menyampaikan isi cerita itu sendiri. Hal ini berdasarkan penelitian yang dilakukan Rustina (2008) bahwa keterampilan bercerita dapat mempengaruhi daya simak anak pada usia 4-5 tahun,
36
terutama pada keterampilan guru dalam olah vokal (artikulasi intonasi, irama suara yang jelas dan menarik), ekspresif, dan keterampilan memilih alat peraga yang tepat. Dengan
demikian
besar
kemungkinan
terdapat
hubungan
antara
kemampuan guru dalam bercerita dengan kemampuan anak dalam menyimak cerita. Semakin baik kemampuan guru dalam bercerita maka akan semakin baik juga kemampuan anak dalam menyimak cerita.