23
BAB II KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF, PEMECAHAN MASALAH MATEMATIK, DAN PENDEKATAN MATEMATIKA REALISTIK A. Kemampuan Berpikir Kreatif 1. Berpikir Kreatif Beragam pandangan tentang kreativitas yang dikemukakan oleh para ahli, terutama berkaitan dengan definisi kreativitas. Hal ini menunjukkan bahwa kreativitas merupakan suatu kajian yang kompleks. Oleh sebab itu, hingga saat ini belum ada definisi kreativitas yang standar, sehingga untuk mengkajinya perlu melihat definisi itu dari teori yang menjadi dasar acuannya. Salah satu topik yang banyak mendapat perhatian adalah kaitan antara berpikir kreatif (kreativitas) dengan fungsi belahan otak. Belahan otak kiri berkenaan dengan kemampuan berpikir logis, ilmiah, kritis, dan linear; sedang belahan otak kanan berkenaan dengan fungsi-fungsi yang non linear, non verbal, holistik, humanistik, dan mistik. Nurhalim (2003) menyatakan otak kiri dan otak kanan mempunyai fungsi yang berbeda, namun saling terkait. Otak kiri sebagai sumber logika sedang otak kanan sebagai sumber perasaan spiritual. Munculnya kreativitas dalam bentuk karya nyata atau gagasan merupakan perpaduan fungsi kedua belahan otak tersebut. Fungsi yang berbeda-beda dari kedua belahan otak, menunjukkan bahwa betapa pentingnya bagi setiap orang untuk memperhatikan dan mengembangkan kedua belahan otaknya secara bersama-sama dan seimbang. Pasiak (2002) menyatakan bahwa paradigma otak kanan akan menghasilkan dunia yang lebih
24 luas. Penekanan pada sifat otak kanan yang diungkapkan Pasiak tersebut, bukan karena otak kanan lebih penting, tetapi karena selama ini kita hanya memiliki sedikit kesempatan untuk menggunakannya. Pendidikan pada umumnya hanya mengasah fungsi otak kiri. Ketidakseimbangan kedua fungsi otak tersebut merupakan dampak dari proses pendidikan yang cenderung menguatkan aspek kognitif. Padahal menguatnya aspek kognitif yang tidak disertai meningkatnya kemampuan
berpikir
kreatif,
tidaklah
cukup
untuk
menjawab
seluruh
permasalahan yang dihadapi setiap orang. Oleh sebab itu dalam proses pendidikan diperlukan adanya keseimbangan pengembangan berpikir kreatif yang merupakan dominasi fungsi otak kanan, dan pengembangan kemampuan kognitif fungsi otak kiri. Karena pada prinsipnya kreativitas akan muncul dari interaksi antara dua belahan otak tersebut. Aktualisasi berpikir kreatif (kreativitas) merupakan hasil interaksi antara faktor psikologis dan lingkungan. Asumsi ini oleh Stein, Amabile dan Simonton (dalam Supriadi, 1994), masing-masing dinamai asumsi interaksional dan asumsi sosio-psikologis. Masukan dari lingkungan berupa informasi, diterima melalui fungsi belahan otak kiri untuk kemudian “dierami” pada belahan otak kanan, dan disini proses sublimasi berlangsung. Pada saat demikian, seseorang memerlukan kesempatan untuk mengadakan refleksi secara tenang. Selanjutnya, inkubasi merupakan tahap yang sangat penting dalam proses kreatif. Selain merupakan hasil interaksi dari kedua belahan otak, berpikir kreatif juga merupakan hasil dari sebuah latihan. Apabila tidak dilatih, maka berpikir kreatif tidak dapat berkembang atau bahkan bisa menjadi lumpuh. Seseorang
25 dapat menjadi kreatif dengan melatih diri untuk berpikir. Menurut dePoter (dalam Pasiak, 1999) ada empat langkah penting dalam berpikir kreatif, yakni: (1) dalam berpikir jangan cepat puas dan jangan menerima apa adanya, (2) jangan terpaku pada satu cara, (3) pertajam rasa ingin tahu, (4) perlu pelatihan otak. Ini berarti bahwa berpikir kreatif bukanlah sebuah proses yang sangat terorganisasi, melainkan sebuah kebiasaan dari pikiran yang dilatih dengan memperhatikan intuisi, menghidupkan imajinasi, mengungkapkan kemungkinan-kemungkinan baru, membuka sudut pandang yang menakjubkan dan membangkitkan ide-ide yang tidak terduga. Johnson (2007) menyatakan bahwa berpikir kreatif adalah aktivitas mental yang membutuhkan ketekunan, disiplin diri, dan perhatian penuh. Aktifitas mental yang dimaksud meliputi: (1) Mengajukan pertanyaan;
(2)
Mempertimbangkan informasi baru dan ide yang tidak lazim dengan pikiran terbuka; (3) Membangun keterkaitan, khususnya diantara hal-hal yang berbeda; (4) Menghubungkan berbagai hal dengan bebas; (5) Menerapkan imajinasi pada setiap situasi untuk menghasilkan hal baru yang berbeda; (6) Mendengarkan intuisi. Mengajukan pertanyaan merupakan bagian penting dari berpikir kreatif, begitu pula berpikiran terbuka. Selain memiliki pikiran terbuka pemikir kreatif membangun hubungan di antara hal-hal yang berbeda. Berlatih menghubungkan sesuatu yang tampak tidak berhubungan, berarti membentuk otak menemukan kemungkinan-kemungkinan baru yang mungkin telah dilewatkan dan menemukan pola baru yang tidak terpikir seandainya tidak membangun hubungan itu.
26 Mengembangkan kebiasaan menghubungkan berbagai hal dengan bebas merupakan unsur penting dari berpikir kreatif (Johnson, 2007). Kreativitas merupakan kemampuan untuk memberikan gagasan-gagasan baru dan menerapkan dalam pemecahan masalah (Semiawan, 1984; Matlin, 1994). Sedangkan Munandar (1999) menyatakan bahwa pengertian kreativitas menekankan pada tiga kemampuan yaitu yang berkaitan dengan kemampuan untuk mengkombinasi, memecahkan masalah atau menjawab masalah, dan cerminan kemampuan operasional anak kreatif. Bila ditinjau dari cara berpikir, Munandar (1999) menyatakan kreativitas adalah kemampuan yang berdasarkan pada data atau informasi yang tersedia, untuk menemukan banyak kemungkinan jawaban terhadap suatu masalah, dimana penekanannya adalah pada kuantitas, ketepatgunaan, dan keragaman jawaban. Ini berarti bahwa makin banyak kemungkinan jawaban yang diberikan terhadap suatu masalah makin kreatiflah seseorang. Tentu saja jawaban itu harus sesuai dengan masalahnya. Jadi tidak semata-mata banyak jawaban yang diberikan menentukan kreativitas seseorang, tetapi juga harus disertai mutu atau kualitas jawabannya. Holyoak dan Thagard (1995) menyatakan bahwa kreativitas sangat erat kaitannya dengan pengetahuan yang mendalam dan fleksibel dalam domain konten/isi, dan lebih sering berhubungan dengan perioda kerja dan refleksi yang lama daripada pemahaman yang cepat dan luar biasa, serta mudah dipengaruhi pengajaran dan eksperiensial. Lebih lanjut dikatakan bahwa orang yang kreatif dalam suatu domain, nampaknya memiliki disposisi yang kreatif terhadap
27 aktivitas mereka sendiri dalam domain tersebut. Artinya, aktivitas kreatif diakibatkan memberikan dasar yang kuat dalam membangun aplikasi pendidikan. Dari berbagai pengertian kreativitas yang telah dikemukakan, dapat disimpulkan bahwa pada intinya kreativitas merupakan kemampuan seseorang untuk melahirkan sesuatu yang baru, baik berupa gagasan ataupun produk (karya nyata), dapat berupa karya baru atau kombinasi dengan hal-hal yang sudah ada dan relatif berbeda dengan sebelumnya, dilahirkan melalui serangkaian proses kreatif yang menuntut kecakapan, keterampilan, dan motivasi yang kuat, dan berkaitan dengan pemecahan masalah. 2. Berpikir Kreatif dalam Matematika Dalam pembelajaran matematika, berpikir kreatif (kreativitas) dapat dipandang sebagai orientasi atau disposisi tentang instruksi matematika, termasuk tugas penemuan dan pemecahan masalah. Aktivitas ini dapat membawa siswa mengembangkan pendekatan yang lebih kreatif dalam matematika. Dengan tugas dan aktivitas ini, guru dapat meningkatkan kapasitas siswa dalam hal yang berkenaan dengan dimensi kreativitas. Krutetskii (1976) menyatakan kreativitas identik dengan keberbakatan matematik. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa kreativitas dalam pemecahan masalah matematik merupakan kemampuan dalam merumuskan masalah matematik secara bebas, bersifat penemuan, dan baru. Ide-ide ini sejalan dengan ide-ide seperti pleksibilitas dan kelancaran dalam membuat asosiasi baru dan menghasilkan jawaban divergen yang berkaitan dengan kreativitas secara umum. Menurut Munandar (2002) bahwa berpikir divergen adalah berpikir untuk
28 memberikan macam-macam kemungkinan jawaban benar ataupun cara terhadap suatu masalah berdasarkan informasi yang diberikan dengan penekanan pada keragaman jumlah dan kesesuaian. Lebih lanjut dikatakan bahwa berpikir divergen dapat dirangsang dengan mengajukan pertanyaan yang sifatnya terbuka guna mendorong
ungkapan pikiran dan perasaan. Dengan mengajukan
pertanyaan pemanasan seperti itu, maka siswa menjadi terbuka dan terbiasa untuk berpikir kreatif. Agar siswa dapat memperluas pikirannya dan berperan serta dalam kegiatan yang lebih majemuk serta menantang, maka siswa perlu dilibatkan dalam tantangan dan masalah nyata khususnya pada pemecahan masalah secara kreatif. Ervynk
(1991)
menyatakan
bahwa
kreativitas
matematik
adalah
kemampuan untuk memecahkan masalah-masalah dan untuk mengembangkan pemikiran dalam struktur-struktur dengan sifat deduktif logik. Konsep-konsep yang dihasilkan mengintegrasi kedalam hal-hal yang penting di matematik. Sedangkan Silver (1997) menyatakan bahwa kreativitas bukan sebagai domain segelintir individu yang istimewa, melainkan lebih sebagai orientasi atau disposisi terhadap aktivitas matematik yang dapat dikembangkan secara luas di sekolahsekolah umum. Lebih lanjut Silver mengemukakan aktivitas matematik seperti pemecahan masalah dan posing masalah terjalin erat dengan kreativitas yang meliputi kefasihan, keluwesan, dan hal yang baru. Munandar (1999) menyatakan bahwa kreativitas dapat dirumuskan sebagai kemampuan yang mencerminkan aspek-aspek kelancaran, keluwesan, originalitas dalam berpikir, dan kemampuan mengelaborasi (mengembangkan, memperkaya, memperinci) suatu gagasan.
29 Selanjutnya Sriraman (2004) mendefinisikan kreativitas sebagai proses yang hasilnya tidak biasa, solusi yang dalam dari persoalan yang diberikan dan terlepas dari tingkat kompleksitas. Sriraman juga menyarankan supaya kreativitas dapat diterapkan di kelas dengan memberi kesempatan pada siswa untuk menyelesaikan soal-soal yang tidak rutin, kompleks, dan terstruktur. Diharapkan soal-soal itu tidak hanya memunculkan motivasi dan ketekunan tetapi juga memiliki tingkat refleksi yang sangat luas. Selanjutnya untuk mengenali
kemampuan
berpikir kreatif
dalam
matematika Haylock (dalam Mina, 2005) menggunakan dua pendekatan seperti berikut: (1) memperhatikan jawaban siswa dalam memecahkan masalah yang proses kognitifnya dianggap sebagai proses berpikir kreatif; (2) menentukan kriteria bagi sebuah produk yang diindikasikan sebagai hasil dari berpikir kreatif atau sebagai produk-produk divergen. Dari uraian tersebut di atas, yang dimaksud kemampuan berpikir kreatif dalam matematika adalah kemampuan menemukan dan menyelesaikan soalsoal
atau
masalah matematika yang indikator-indikatornya meliputi: (1)
Kefasihan/kelancaran (fluency),
adalah
kemampuan
untuk mengemukakan
ide. jawaban, pertanyaan, dan penyelesaian masalah: (2) Keluwesan (flexibility), adalah kemampuan untuk menemukan atau menghasilkan berbagai macam ide, jawaban
atau pertanyaan
yang bervariasi; (3) Penguraian (elaboration),
kemampuan untuk mengembangkan suatu ide, menambah atau merinci secara detil suatu obyek, ide, dan situasi; (4) Hal yang baru (originality), adalah kemampuan untuk memberikan respon-respon yang unik dan luar biasa.
30 Untuk mengukur kemampuan berpikir kreatif, Singh (1990) dan Pehkonen (1992) menyatakan bahwa siswa dapat diberikan soal-soal cerita open-ended yaitu soal yang menghasilkan banyak jawaban benar. Dengan menggunakan soal cerita seperti ini memungkinkan siswa untuk memperlihatkan proses berpikir divergen. Selain itu, tugas-tugas mengenai pengajuan masalah dan pemecahan masalah juga dipakai oleh peneliti lain untuk mengidentifikasi individu-individu yang kreatif. Sebagai contoh, Getzels dan Jackson (dalam Silver, 1997), mengembangkan suatu tes baterai untuk mengukur kreativitas, dengan salah satu tugas meminta subyek-subyek untuk mengajukan masalah matematik, yang dapat dijawab dengan memakai informasi yang diberikan dalam serangkaian cerita tentang situasi dunia nyata. Getzels dan Jackson memberi nilai untuk masalah yang diajukan subyek, berdasarkan kerumitan prosedur, yang diperlukan untuk memperoleh solusi (misalnya jumlah dan tipe dari operasi aritmetika yang digunakan), dan hasil ini dipakai sebagai suatu ukuran kreativitas. Tugas lain yang digunakan Getzel dan Jackson adalah menilai kefasihan dan keorisinilan subyek ketika mereka menyelesaikan masalah, yang memiliki beberapa jawaban, atau yang dapat diselesaikan dengan pendekatan dari berbagai arah. Dalam
tulisan
ini,
kemampuan
berpikir
kreatif
diukur
dengan
menggunakan soal-soal cerita yang memiliki beberapa jawaban benar, yang berkaitan dengan situasi dunia nyata, dialami siswa, dan yang dapat diselesaikan dengan pendekatan dari beberapa arah. Sedangkan penjabaran kemampuan berpikir kreatif didasarkan pada indikator-indikator prilaku kreatif, yaitu:
31 kefasihan/kelancaran (fluency), keluwesan (flexibility), peguraian (elaboration), dan hal yang baru (originality). B. Kemampuan Pemecahan Masalah 1. Masalah Matematika Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering dihadapkan dengan adanya kesenjangan antara kenyataan dan harapan. Kejadian seperti ini diartikan bahwa kita menemui suatu masalah. Hayes (dalam Gani, 2003) mendefinisikan masalah sebagai suatu kesenjangan antara seseorang berada dengan tujuan yang harus dicapai, sedangkan orang tersebut belum bahkan tidak mengetahui apa yang harus dikerjakannya. Sedangkan Hudoyo (1988) menyatakan bahwa sesuatu disebut masalah bila hal itu mengandung pertanyaan yang harus dijawab. Hal ini sesuai pendapat James (dalam Gani, 2003) yang menyatakan bahwa masalah adalah sebagai suatu pertanyaan yang diajukan untuk diselesaikan. Menurut Hudoyo
(1988), sebuah soal atau pertanyaan akan menjadi
sebuah masalah, jika tidak terdapat aturan atau hukum secara prosedural tertentu yang digunakan dalam menyelesaikan soal tersebut. Hal senada juga dikemukakan oleh Bell (1978) yang menyatakan bahwa suatu pertanyaan merupakan masalah bagi seseorang, bila ia menyadari keberadaan situasi itu, mengakui bahwa situasi itu memerlukan tindakan dan tidak dengan segera dapat menemukan pemecahan atau penyelesaian terhadap situasi tersebut. Lebih lanjut, Hudoyo (2001) menyatakan bahwa suatu pertanyaan merupakan masalah bagi seorang siswa, apabila: (1) pertanyaan yang dihadapkan kepada seorang siswa sebaiknya dapat dimengerti oleh siswa tersebut, dan (2) pertanyaan tersebut tak dapat dijawab dengan prosedur rutin yang telah diketahui siswa.
32 Masalah bagi seseorang juga ditentukan oleh adanya keinginan atau kemauan orang tersebut untuk menyelesaikannya, meskipun ia mampu atau tidak mampu dalam menyelesaikan masalah tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Ruseffendi (1991) bahwa suatu persoalan merupakan masalah bagi seseorang, (1) bila siswa belum mempunyai prosedur atau algoritma tertentu untuk menyelesaikannya; (2) siswa harus mampu menyelesaikannya, dan (3) bila ada niat menyelesaikannya. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Gani (2003) bahwa sebuah pertanyaan dapat merupakan masalah apabila pertanyaan itu menantang untuk dijawab dan dalam menjawabnya tanpa menggunakan suatu prosedur yang rutin. Hal ini menunjukkan sebuah pertanyaan dapat dikatakan menjadi masalah bagi seseorang, jika orang tersebut ada keinginan dan merasa tertantang untuk menyelesaikannya, meskipun ia sanggup atau tidak sanggup untuk menyelesaikan soal tersebut. Artinya, jika seseorang tidak ada kemauan untuk menyelesaikan soal yang diberikan kepadanya, maka soal itu bukanlah masalah baginya. Polya (dalam Hudoyo, 2001) membagi dua macam masalah dalam matematika, yaitu: (1) masalah untuk menemukan dapat berupa teoritis atau praktis, abstrak atau konkrit, termasuk teka-teki, dan (2) masalah untuk membuktikan adalah untuk menunjukkan bahwa suatu pertanyaan itu benar atau salah, ataupun tidak kedua-duanya. Dalam penelitian ini, masalah dalam matematika yang dimaksud menekankan pada masalah untuk menemukan. Karena selain penelitian ini ditujukan pada siswa pendidikan dasar, juga masalah yang diberikan kepada siswa diharapkan dapat melatih kemampuan berpikir mereka (terutama berpikir kreatif) tentang bagaimana suatu konsep atau prinsip ditemukan.
33 Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dikatakan bahwa masalah bagi seorang siswa dalam belajar matematika adalah pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada mereka yang digunakan untuk melihat dan mengukur perubahan tingkah laku siswa dalam matematika. Pertanyaan-pertanyaan tersebut harus diupayakan sedemikian rupa, sehingga mudah dimengerti, belum familiar, mau dan merasa tertantang untuk menyelesaikannya, serta proses jawabannya tidak dengan prosedur rutin yang telah diketahui siswa. 2. Pemecahan Masalah Matematik Matematika merupakan ilmu dasar yang berguna dalam membantu seseorang untuk memecahkan berbagai masalah baik dalam matematika itu sendiri, ilmu lain, maupun dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian dalam pembelajaran matematika, kemampuan memecahkan masalah sangat penting. Hal ini sesuai dengan pendapat
Soedjadi (1999) bahwa dalam matematika
kemampuan pemecahan masalah bagi seseorang akan membantu keberhasilan orang tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Pentingnya kemampuan pemecahan masalah juga dikemukakan oleh Branca (dalam Krulik dan Rays, 1980), yaitu: (1) kemampuan pemecahan masalah merupakan tujuan umum pembelajaran matematika, bahkan sebagai jantungnya matematika, (2) pemecahan masalah dapat meliputi metode, prosedur dan strategi atau cara yang digunakan merupakan proses inti dan utama dalam kurikulum matematika, dan (3) pemecahan masalah merupakan kemampuan dasar dalam belajar matematika. Berdasarkan pendapat di atas, dapat dikatakan kemampuan pemecahan masalah dalam matematika merupakan hal yang sangat penting untuk dimiliki oleh seorang siswa dan juga merupakan salah satu faktor yang menentukan hasil belajar matematika siswa.
34 Pemecahan masalah dalam matematika pada hakekatnya merupakan proses berpikir tingkat tinggi. Branca (dalam Krulik dan Rays, 1980) menyatakan bahwa pemecahan masalah dapat dipandang sebagai kemampuan dasar , sebagai proses, dan sebagai tujuan. Selanjutnya menurut Sumarmo (1994) pemecahan masalah sebagai kemampuan dasar, merupakam jawaban pertanyaan yang sangat kompleks, bahkan lebih kompleks dari pengertian pemecahan masalah itu sendiri. Pemecahan masalah sebagai proses, merupakan suatu kegiatan yang lebih mengutamakan pentingnya prosedur langkah-langkah, strategi dan karakteristik yang ditempuh siswa dalam menyelesaikan masalah sehingga dapat menemukan jawaban soal dan bukan hanya pada jawaban itu sendiri. Pemecahan masalah sebagai tujuan, merupakan kemampuan yang harus dicapai siswa. Kemampuan itu meliputi: mengidentifikasi unsur yang diketahui, ditanyakan, serta kecukupan unsur yang diperlukan; merumuskan masalah dari situasi sehari-hari dalam matematika; menerapkan strategi untuk menyelesaikan berbagai masalah sejenis atau masalah baru di dalam atau di luar matematika; menjelaskan atau menginterpretasikan hasil sesuai permasalahan asal; menyusun model matematika dan menyelesaikannya untuk masalah nyata dan menggunakan matematika secara bermakna. Menurut Polya (1985) pemecahan masalah adalah sebagai usaha mencari jalan keluar dari suatu kesulitan, mencapai suatu tujuan yang tidak segera dapat dicapai. Dari pengertian tersebut tampak bahwa dalam memecahkan masalah terhadap suatu masalah, sangat dibutuhkan usaha mencari jalan keluar. Pengertian mencari jalan keluar adalah suatu usaha dalam memecahkan masalah dengan menggunakan kombinasi pengetahuan sebelumnya, seperti: penggunaan langkahlangkah, aturan, dan konsep. Berkaitan dengan matematika sebagai salah satu
35 ilmu dasar yang lebih mementingkan proses daripada hasil akhir, artinya jawaban yang diberikan seseorang dalam memecahkan masalah matematika, perlu diperhatikan dari mana jawaban itu diperoleh, termasuk ketepatan penggunaan langkah-langkah, aturan dan konsep. Dahar (1996)
mengatakan bahwa
pemecahan masalah adalah suatu kegiatan yang menerapkan atau menggabungkan konsep-konsep dan aturan yang telah ada sebelumnya, sehingga menghasilkan suatu aturan dengan tingkat lebih tinggi. Pentingnya penggunaan langkah-langkah dalam memecahkan suatu masalah, menunjukkan bahwa jawaban dalam memecahkan masalah tersebut tidak mudah diperoleh, tapi harus melalui berbagai langkah-langkah secara prosedural dan mampu mengaitkan konsep-konsep yang telah ada sebelumnya. Mengembangkan kemampuan pemecahan masalah pada siswa, nampaknya akan lebih menarik bila diawali dengan mengajukan masalah-masalah yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari, dikenal dan dialami siswa. Karena dengan memberi masalah yang tidak asing baginya, siswa akan tertantang. Dengan menggunakan pengalaman dan pengetahuan yang telah dimilikinya, ia akan berusaha mencari solusi/jalan keluar dari masalah tersebut.
Polya (dalam
Hudoyo, 2001) menyatakan bahwa dalam matematika terdapat dua masalah, yaitu masalah untuk menemukan dan masalah untuk membuktikan. Bagian terpenting untuk menyelesaikan
masalah menemukan adalah: Apakah yang dicari?
Bagaimana data diketahui? Dan bagaimana syaratnya? Bagian penting untuk menyelesaikan masalah membuktikan adalah hipotesis dan konklusi dari suatu teorema yang akan dibuktikan. Lebih lanjut Polya menyatakan bahwa kegiatankegiatan yang diklasifikasikan sebagai pemecahan masalah dalam matematika meliputi penyelesaian soal-soal cerita dalam buku teks, penyelesaian soal-soal
36 non rutin atau memecahkan soal teka-teki, penerapan matematika pada masalah dalam dunia nyata, menciptakan dan menguji konjektur. Mengenai kriteria apa yang harus dimiliki oleh seorang siswa, sehingga ia dapat dikategorikan sebagai pemecah masalah yang baik,
Suydam (dalam
Hamzah, 2003) mengajukan sepuluh kriteria, yaitu: (1) mampu memahami konsep dan terminology; (2) mampu menelaah keterkaitan, perbedaan dan analogi; (3) mampu menyeleksi prosedur dan variabel yang benar; (4) mampu memahami ketidakkonsistenan konsep; (5) mampu membuat estimasi dan analisis; (6) mampu memvisualisasikan data; (7) mampu membuat generalisasi; (8) mampu menggunakan berbagai strategi; (9) mempunyai skor yang tinggi dan baik hubungannya dengan siswa lain; dan (10) mempunyai skor yang rendah terhadap tes kecemasan. Pemecahan masalah dalam matematika memerlukan langkah-langkah dan prosedur yang benar, untuk itu Dewey (dalam Wahyudin, 2003) membahas secara ringkas lima langkah pemecahan masalah dalam urutan berikut: 1. Mengenali adanya masalah. Dapat berupa kesadaran atas suatu kesukaran, perasaan frustrasi, keingintahuan, atau keraguan. 2. Mengidentifikasi masalah. Dapat berupa klarifikasi dan definisi, termasuk perumusan sasaran yang hendak dicapai sebagaimana ditentukan oleh situasi yang mengedepankan masalah itu. 3. Memanfaatkan pengalaman-pengalaman
sebelumnya. Dapat berupa
informasi yang relevan, penyelesaian-penyelesaian, atau gagasan-gagasan terdahulu untuk merumuskan hipotesis-hipotesis dan proposisi-proposisi pemecahan masalah.
37 4. Menguji hipotesis-hipotesis atau kemungkinan-kemungkinan penyelesaian secara berurutan. Jika perlu, masalah itu boleh dirumuskan ulang. 5. Mengevaluasi
penyelesaian-penyelesaian
dan
menarik
kesimpulan
berdasarkan bukti. Ini melibatkan pemasukan penyelesaian yang berhasil itu kedalam pemahaman yang dimiliki orang itu dan menerapkannya pada bentuk-bentuk lain dari masalah yang sama. Demikian pula Polya (1985) mengemukakan empat langkah pemecahan masalah, yaitu:
memahami masalah,
membuat atau menyusun rencana
penyelesaian, melakukan perhitungan, dan memeriksa kembali hasil perhitungan yang telah diperoleh sebelumnya. Lebih lanjut dikatakan bahwa proses yang dapat dilakukan pada tiap langkah pemecahan masalah melalui beberapa pertanyaan berikut: 1. Langkah memahami masalah. Untuk memahami masalah yang dihadapi, siswa harus membaca/memahami secara verbal. Lebih lanjut perlu dilihat lebih rinci lagi tentang: (a) Apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan? (b) Data apa yang dimiliki? (c) Mencari hubungan tentang apa yang diketahui, data yang dimiliki dan yang ditanyakan dengan memperhatikan kondisi soal. Mungkinkah kondisi dapat dinyatakan dalam bentuk persamaan atau yang lainnya? Apakah kondisi yang dinyatakan cukup untuk mencari yang ditanyakan? Apakah
kondisi
itu
cukup,
atau
berlebihan, atau selain bertentangan? (d) Membuat gambar atau tabel dan menuliskan potensi yang sesuai.
38 2. Langkah perencanaan pemecahan masalah. Yang perlu diperhatikan dalam Langkah ini yaitu: (a) Mempertanyakan kembali hubungan antara yang diketahui dan ditanyakan. (b) Pernahkah ada soal yang serupa? (c) Teori mana yang dapat digunakan dalam masalah ini? (d) Perhatikan yang dipertanyakan! Coba pikirkan soal yang pernah diketahui dengan pertanyaan yang sama atau serupa. (e)Jika ada soal yang serupa, dapatkah pengalaman yang lama
digunakan dalam masalah sekarang? Dapatkah
hasil dan metode yang lalu digunakan? Apakah harus dicari unsur lain agar memanfaatkan soal semula? Dapatkah menyatakannya dalam bentuk lain? (f) Andaikan soal baru belum dapat menyelesaikan, cobalah pikirkan berbagai kemungkinan cara penyelesaian yang mungkin dilakukan. 3. Melakukan perhitungan. Yang dilakukan
dalam
langkah ini adalah
melaksanakan rencana pemecahan dengan melakukan perhitungan yang diperlukan untuk mendukung jawaban suatu masalah. Priksalah tiap langkah perhitungan dengan benar, dan tunjukkan bahwa langkah yang dipilih sudah benar. 4. Memeriksa kembali hasil dan menyimpulkan jawaban. Langkah yang terakhir ini adalah memeriksa kebenaran hasil yang diperoleh, kemudian menyimpulkan jawaban dari permasalahan. Kemampuan pemecahan masalah yang dikemukakan di atas, baik yang dikemukakan oleh Dewey maupun Polya
pada
prinsipnya sama. Keduanya
menekankan bahwa pemecahan masalah dilakukan secara teratur, logis, analitis,
39 kritis, kreatif, sistematis atau prosedural, dan menggunakan serta menghubungkan pengetahuan yang sudah mereka miliki sebelumnya. Dalam penelitian ini, kemampuan pemecahan masalah matematik yang dimaksud mengacu pada kemampuan pemecahan masalah seperti yang dikemukakan oleh Polya, yaitu: kemampuan memecahkankan soal-soal atau masalah matematik rutin atau tidak rutin yang tidak dapat segera dipecahkan dengan
mengikuti
penyelesaian,
langlah-langkah : memahami masalah, membuat rencana
melaksanakan
penyelesaian
(melakukan
perhitungan),
dan
memeriksa kembali langkah-langkah dan hasil yang diperoleh. C. Pendidikan Matematika Realistik Sejak tahun 1971, Institut Freudenthal di Belanda mengembangkan suatu pendekatan teoritis terhadap pembelajaran matematika yang dikenal dengan Realistic Mathematics Education (RME). RME menggabungkan pandangan tentang apa itu matematika, bagaimana siswa belajar
matematika, dan
bagaimana matematika harus diajarkan. Freudenthal berpendapat bahwa siswa tidak boleh dipandang sebagai penerima pasif matematika yang sudah jadi (passive receivers of ready-made mathematics). Menurutnya pendidikan harus mengarahkan siswa kepada penggunaan berbagai situasi dan kesempatan untuk menemukan kembali matematika dengan cara mereka sendiri. Banyak masalah di sekitar siswa yang dapat diangkat dari berbagai situasi (konteks), yang dirasakan bermakna sehingga menjadi sumber belajar. Konsep matematika muncul dari proses matematisasi, yaitu dimulai dari penyelesaian yang terkait dengan konteks (context-link solution), siswa secara perlahan mengembangkan alat dan
40 pemahaman matematik ketingkat yang lebih formal. Model-model yang muncul dari aktivitas matematik siswa dapat mendorong terjadinya interaksi di kelas, sehingga mengarah kepada level berpikir matematik yang lebih tinggi (Hadi, 2005). Pendekatan realistik didasarkan pada pandangan Freudenthal terhadap pendidikan matematika, yaitu: (1) matematika merupakan aktivitas manusia, dan (2) matematika harus dipelajari secara bermakna. Kalau matematika dapat dipandang sebagai bahasa, maka makna bahasa berada di luar bahasa itu sendiri. Jika demikian halnya, maka makna matematika harus dilihat diluar matematika itu sendiri, yaitu dalam aspek aplikasinya, antara lain dalam kegunaannya di dalam kehidupan sehari-hari, dalam pelajaran lain, dalam pemecahan masalah. Freudenthal juga mengkritik pengajaran matematika yang mentransfer pengetahuan yang dimiliki guru ke pikiran siswa, sebab bertentangan dengan cara matematikawan menemukan konsep matematika tersebut (Van Heuvel, 1999). Seharusnya mempelajari matematika itu dengan berbuat, bukan dengan cara memindahkan konsep-konsep yang sudah ditemukan itu ke dalam pikiran siswa tanpa memperhatikan bagaimana dulu konsep-konsep itu ditemukan. Menurut Freudenthal, pembelajaran itu harus dilakukan sedemikian rupa sehingga siswa seolah-olah menemukan kembali (reinvent) konsep-konsep itu. Oleh karena itu dalam pelaksanaan pembelajarannya harus mengikuti prinsip-prinsip dalam PMR.
41
1. Prinsip-prinsip Dasar PMR Menurut Gravemeijer (1994) terdapat tiga prinsip utama dalam pendidikan matematika
realistik, yaitu: penemuan secara terbimbing dan
bermatematika
progresif
secara
matematization), Fenomena
(guided
reinvention
and
progressive
pembelajaran (didactical phenomenology), dan
model pengembangan mandiri (self developed model). a. Penemuan Secara Terbimbing dan Bermatematika Secara Progresif Ide utama pendekatan realistik adalah bahwa siswa harus diberi kesempatan untuk menemukan kembali (reinvent) konsep dan prinsip matematika di bawah bimbingan orang dewasa (Gravemeijer, 1994). Dalam pandangan ini, aktivitas siswa merupakan hal yang penting. Siswa harus diberi kesempatan
untuk
menemukan
sendiri
konsep
matematika
dengan
menyelesaikan berbagai soal kontekstual. Soal kontekstual itu mengarahkan siswa membentuk konsep, menyusun model, menerapkan konsep yang telah diketahui, dan menyelesaikannya berdasarkan kaidah matematika yang berlaku (Traffer and Goffree dalam Armanto, 2001). Berdasarkan soal, siswa membangun model dari (model of) situasi soal (dalam bentuk formal atau tidak formal), kemudian menyusun model matematika untuk (model for) menyelesaikannya sehingga siswa mendapat pengetahuan formal matematika. Penemuan model, konsep, dan prosedur matematika dimulai dalam proses bermatematika dimana siswa memformulasikan struktur soal ke bentuk matematika formal maupun informal. Langkah ini ditempuh siswa dengan mempresentasikan konsep dan prosedur matematika yang telah diketahuinya
42 untuk menyelesaikan soal. Soal yang diberikan adalah soal kontekstual (contextual problem) dimaksudkan untuk menopang terlaksananya proses penemuan kembali (reinvention) yang memberi peluang bagi siswa untuk secara formal memahami matematika Gravemeijer (dalam Sabandar, 2001). Proses penemuannya sendiri melibatkan penemuan-penemuan dan penerapan model-model formal dan informal matematika. Bermatematika secara progresif dapat dibagi dalam dua komponen yaitu bermatematika secara horizontal dan vertikal (Treffers and Goffree dalam Armanto, 2001). Dalam bermatematika secara horizontal, siswa mengidentifikasi
bahwa soal kontekstual harus ditransfer ke dalam soal
bentuk matematika untuk lebih dipahami lebih lanjut. Melalui penskemaan, perumusan, dan visualisasi, siswa mencoba menemukan kesamaan
dan
hubungan soal dan mentransfernya ke dalam bentuk model matematika yang telah diketahui. Model matematika tersebut dapat berupa model matematika formal dan tidak formal ( Treffers, 1991). Peran guru adalah membantu siswa menemukan model-model tersebut dengan memberikan gambaran modelmodel yang cocok untuk mempresentasikan soal tersebut (De Lange, 1996). Dalam bermatematika secara vertikal, siswa menyelesaikan bentuk matematika formal atau tidak formal dari soal kontekstual dengan menggunakan konsep, operasi, dan prosedur matematika yang berlaku dan dipahami siswa. Aturan, rumusan dan kondisi yang berlaku dalam matematika harus diterapkan secara benar untuk mendapatkan hasil atau jawaban yang benar pula. Dalam hal inilah peran guru sangat dominan. Pada akhirnya siswa
43 merumuskan dan menggeneralisasikan soal dengan membandingkan jawaban dengan konteks, kondisi soal. Dengan bantuan guru siswa menunjukkan hubungan dari rumus yang digunakan, membuktikan aturan matematika yang berlaku, membandingkan model, serta merumuskan konsep matematika dan menggeneralisasikan (De Lange dalam Armanto, 2001). b. Fenomena Pembelajaran Fenomena pembelajaran menekankan pada pentingnya soal kontekstual untuk memperkenalkan topik-topik matematika kepada siswa. Konteks dapat dipandang dalam arti luas dan sempit. Dalam arti luas, konteks merujuk dalam kehidupan sehari-hari dan situasi-situasi yang bersifat fantastis tetapi juga pada soal-soal matematika. Dalam arti sempit, konteks berarti situasi-situasi yang menjadi acuan konteks itu (Sabandar, 2001). Dalam pemberian soal kontekstual, perlu mempertimbangkan dua aspek pertama kecocokan aplikasi konteks dalam pengajaran dan kecocokan dampak dalam proses penemuan kembali bentuk dan model matematika dari soal kontekstual tersebut. Soal kontekstual dalam pendidikan matematika realistik berfungsi untuk: (1) pembentukan konsep
(untuk
membantu
siswa
menggunakan konsep
matematika); (2) pembentukan model (untuk membentuk model dasar matematika dalam mendukung pola pikir bermatematika); (3) pengaplikasian (untuk memanfaatkan keadaan nyata sebagai
sumber aplikasi); (4) latihan
(untuk melatih kemampuan khusus siswa dalam situasi nyata) (Treffers dan Goffree dalam Armanto, 2001).
44 Di dalam pendidikan matematika realistik, siswa belajar mandiri atau berkelompok untuk menentukan langkah dan strategi penyelesaian masalah kontekstual. Strategi ini dikembangkan dan diciptakan sendiri oleh siswa (free production) dalam bentuk matematika informal (diagram, gambar, kode, symbol, dan lainnya) dan juga matematika formal (konsep dan algoritma) yang telah mereka pelajari sebelumnya. Guru hanya mengantarkan dan membantu mereka memfasilitasi sekaligus menjadi jembatan mengantarkan bentuk matematika informal yang diperoleh menjadi matematika formal yang standar. Aktifitas belajar terjadi secara progresif dan kental dengan diskusi dengan interaksi yang interaktif antara siswa dengan siswa dan siswa dengan guru. Pengembangan prinsip fenomena pembelajaran di atas dijelaskan oleh Streefland (1990) dalam teori pengajaran lima kali lima (the five tenets of the instructional theory of RME) seperti berikut: 1). Belajar merupakan aktivitas konstruktif yang distimulasikan dengan kekonkritan (concreteness); dan mengajar melibatkan penggunaan soal yang dapat direalisasikan sendiri oleh siswa. 2). Belajar merupakan proses jangka panjang yang bergerak dari konkrit menuju abstrak; dan mengajar meliputi penunjukajaran siswa dari pengetahuan matematika tidak formal menuju matematika formal. 3). Belajar difasilitasi oleh refleksi terhadap pola pikir mandiri dan pola pikir orang lain; dan mengajar meliputi pendorongan siswa untuk melihat kembali dan merefleksikannya dalam proses belajar.
45 4). Belajar selalu melibatkan konteks sosial-budaya; jadi mengajar meliputi pemberian kesempatan untuk berkomunikasi dan bekerja sama dalam kelompok kecil atau dalam diskusi kelas. 5). Belajar merupakan pengkonstruksian pengetahuan dan keterampilan menuju bentuk yang terstruktur; dan mengajar melibatkan berbagai aspek yang saling berkaitan”. c. Pengembangan Model Mandiri Pengembangan model mandiri berfungsi menjembatani jurang antara pengetahuan matematika tidak formal dan formal dari siswa. Di dalam pendidikan matematika realistik model matematika dimunculkan dan dikembangkan secara mandiri oleh siswa. Siswa mengembangkan model tersebut dengan menggunakan model-model matematika tidak formal dan formal yang telah diketahuinya. Dimulai dengan menyelesaikan masalah kontekstual dari situasi nyata yang sudah siswa kenal, kemudian ditemukan ‘model dari’ (model of) situasi tersebut (bentuk informal), dan kemudian diikuti dengan penemuan ‘model untuk’ (bentuk formal),
hingga
(model for)
bentuk
tersebut
mendapatkan penyelesaikan masalah tersebut
dalam bentuk pengetahuan matematika yang standar. Gravemeijer (1994) menyebutkan bahwa siswa belajar dari tahap situasi nyata, tahap referensi (pemodelan), generalisasi, dan tahap formal matematika. 2. Karakteristik PMR Sesuai dengan ketiga prinsip di atas, pendekatan matematika realistik memiliki lima karakteristik (Gravemeijer, 1994) yaitu:
46 a. Menggunakan masalah kontekstual. Masalah sebagai titik awal pembelajaran dan peluang suatu
kontekstual
dipandang
bagi aplikasi
sehingga
konsep matematika yang diinginkan dapat muncul. Dunia nyata
adalah segala sesuatu di luar matematika, seperti pelajaran lain selain matematika, atau kehidupan sehari-hari dan lingkungan sekitar kita. b. Menggunakan model. Model berkaitan dengan model situasi dan model matematik yang dikembangkan oleh siswa sendiri (self developed models). Model sebagai representasi dari suatu masalah untuk mempermudah penyelesaian masalah. Untuk itu siswa diarahkan pada pengenalan model,
skema, dan simbolisasi dari pada
mentransfer
rumus
atau
matematika formal secara langsung. c. Menggunakan kontribusi siswa. Kontribusi yang besar pada proses pembelajaran diharapkan datang dari siswa sendiri melalui kegiatan konstruksi, refleksi, antisipasi, maupun integrasi dalam pembelajaran sehingga dapat menemukan konsep-konsep maupun algoritma. d. Terjadinya interaksi
dalam
proses
pembelajaran. Negoisasi
eksplisit, intervensi kooperasi, dan evaluasi sesama siswa dan secara
secara guru
adalah
faktor penting dalam proses pembelajaran
konstruktif
dengan
menggunakan strategi informal sebagai jantung untuk mencapai
formal. e. Menggunakan berbagai teori belajar yang relevan, saling terkait, dan terintegrasi dengan topik pembelajaran lainnya. Pendekatan holistik, menunjukkan bahwa
unit-unit belajar tidak akan dapat dicapai secara
47 terpisah tetapi keterkaitan dan keterintegrasian harus diwujudkan dalam pemecahan masalah. Agar penerapan pendekatan matematika realistik optimal maka proses pembelajaran harus memunculkan prinsip dan karakteristik matematika realistik itu sendiri. Berdasarkan atas prinsip dan karakteristik tersebut dan kajian ilmiah (Suharta, 2001; Khabibah, 2001), maka dapat diajukan sintak (sintaksis) yang menunjukkan penerapan pendekatan matematika realistik, seperti diuraikan pada tabel berikut ini. Tabel 2.1 Sintak Implementasi Pendekatan Matematika Realistik dalam Kelas Ativitas Guru
Aktivitas siswa Matematika Horisontal
1.Mengajukan masalah kontekstual, dan meminta siswa menyelesaikan masalah yang diajukan guru baik secara individu maupun kelompok dengan cara mereka sendiri (model of) 2.Meminta salah seorang siswa untuk mewakili masing-masing kelompoknya mempresentasikan hasil kerjasama mereka. 3.Membimbing siswa membahas hasil kerja siswa (membandingkan beberapa cara penyelesaian yang dibuat siswa).
1.Siswa memahami masalah yang diajukan guru, dan mencoba menyelesaikan dengan cara-cara yang menurut pikiran/pengetahuan dan pengalaman mereka (strategi informal) 2.Beberapa siswa masing-masing mewakili kelompoknya mempresentasikan hasil kerja mereka.
3. Membahas secara bersama-sama hasil kerja berupa penyelesaian masalah yang dibuat oleh seluruh siswa 4. Membimbing siswa menemukan 4. Menemukan konsep atau prinsip konsep atau prinsip matematika yang matematika yang sebenarnya (model sebenarnya dari aktivitas menyelesai- for) dibawah bimbingan guru. kan masalah-masalah kontekstual tersebut (model for).
48
5. Mengajukan kembali beberapa masalah kontekstual yang serupa dan meminta siswa berlatih menyelesaikannya.
5. Mencoba menyelesaikan masalah yang diajukan guru dengan cara-cara yang mereka anggap benar atau dengan konsep atau prinsip yang telah dipelajari sebelumnya. Matematika Vertikal 6. Membimbing dan memfasilitasi 6. Memahami konsep yang lebih siswa dalam memahami konsep yang tinggi dengan memanfaatkan konsep lebih tinggi dengan memanfaatkan yang diperoleh sebelumnya konsep yang diperoleh sebelumnya. 7. Memberikan kesempatan kepada 7. Berlatih menerapkan konsep/ prinsip siswa untuk berlatih menerapkan matematika yang dipelajari, terhadap konsep/ prinsip matematika soal-soal yang mereka buat. formal/abstrak yang dipelajari, dan meminta siswa membuat soal sendiri . D. Keterkaitan Kemampuan Berpikir Kreatif dan Pemecahan Masalah dengan Pendekatan Matematika Realistik Hubungan antara berpikir kreatif dan pemecahan masalah, antara lain di kemukakan oleh
Fisher (dalam Launch Pad, 2001) yang menyatakan bahwa
paling sedikit ada tiga aspek penting dalam keterampilan berpikir, yaitu berpikir kritis, berpikir kreatif, dan pemecahan masalah. Ketiga aspek tersebut saling berkomplementer, tetapi dilain pihak saling membutuhkan satu sama lain. Pemecahan masalah memerlukan penemuan masalah dan pertanyaan-pertanyaan untuk menyelidiki (berpikir kreatif) serta mengevaluasi solusi yang diusulkan (berpikir kritis). Dalam berpikir kritis, diperlukan kemampuan mengorganisasi keterampilan berpikir seseorang ke dalam suatu kombinasi sebagai alat kerja (berpikir kreatif). Problem solving mungkin berupa penyelidikan kreatif, yaitu berhubungan dengan penyelidikan untuk menemukan solusi masalah-masalah open-ended, menggunakan berpikir divergen dalam menyelesaikan masalah. Ini
49 menunjukkan bahwa dalam membangun pengetahuan dan keterampilan untuk menyelesaikan suatu masalah, baik dalam matematika maupun dalam kehidupan sehari-hari, siswa selalu melibatkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif. Pemecahan masalah dapat dikatakan sebagai intinya matematika. Artinya pemecahan masalah
adalah bagian integral dari matematika. Sewaktu siswa
menyelesaikan suatu masalah matematika, banyak aspek yang terlibat dalam dirinya. Berkaitan dengan hal ini, NCTM (2000) membaginya kedalam dua aspek yang saling mendukung, yaitu aspek intelektual dan aspek non-intelektual. Yang termasuk aspek intelektual ialah kemampuan memformulasi, mengajukan dan menyelidiki
masalah,
kemampuan
mengumpulkan,
mengorganisasi
dan
menganalisis masalah dari sudut pandang matematika, kemampuan menentukan strategi yang cocok, kemampuan menerapkan pengetahuan dan keterampilan yang dipunyai, dan kemampuan merefleksi dan memantau proses berpikir matematik (di dalamnya termasuk berpikir kreatif). Yang termasuk aspek non-intelektual ialah menanamkan karakter dan berpikir positif seperti kegigihan, ingin tahu dan percaya diri, memahami peran matematika dalam kehidupan nyata, dan kecenderungan menggali pengetahuan baru dari sudut pandang matematika. Di sini nampak bahwa pemecahan masalah memuat kemampuan berpikir kreatif, dan bahkan semua kemampuan dalam matematika. Tentang hubungan antara kreativitas dan pemecahan masalah, juga dikemukakan oleh merupakan
Semiawan (1984) yang menyatakan bahwa kreativitas
kemampuan
untuk
memberikan
gagasan-gagasan
baru
dan
menerapkan dalam pemecahan masalah. Pernyataan tersebut di atas diperkuat
50 oleh Matlin (1994) menyatakan bahwa kreativitas merupakan penemuan jalan keluar yang tidak lazim dan bermanfaat. Lebih lanjut dikatakan bahwa kreativitas adalah sebuah area dari pemecahan masalah yang memerlukan kelincahan gerak dari keadaan awal kepada keadaan tujuan. Munandar (1999) menyatakan bahwa pengertian kreativitas menekankan pada tiga kemampuan yaitu yang berkaitan dengan kemampuan untuk mengkombinasi, memecahkan masalah atau menjawab masalah, dan cerminan kemampuan operasional anak kreatif. Dari uraian di atas, nampak bahwa berpikir kreatif selalu dibutuhkan dalam pemecahan masalah, karena dalam menyelesaikan suatu masalah diperlukan kemampuan-kemampuan seperti kemampuan berpikir divergen, kemampuan memunculkan dan menerapkan gagasan-gagasan baru, dan kemampuan untuk mengkombinasi gagasan. Kemampuan-kemampuan ini merupakan bagian dari berpikir kreatif. Selanjutnya, aspek-aspek seperti kemampuan untuk mengemukakan ide. jawaban, pertanyaan, dan penyelesaian masalah (fluency); kemampuan untuk menemukan atau menghasilkan berbagai macam ide, jawaban atau pertanyaan yang bervariasi (flexibility); kemampuan untuk mengembangkan suatu ide, menambah atau merinci
secara detil
suatu
obyek,
ide, dan
situasi
(elaboration); kemampuan untuk memberikan respon-respon yang unik dan luarbiasa (originality). Demikian pula kemampuan memahami masalah, membuat rencana penyelesaian, melaksanakan penyelesaian (melakukan perhitungan), dan memeriksa kembali langkah-langkah pengerjaan dan hasil yang diperoleh,
51 semuanya merupakan kemampuan-kamampuan yang harus dikembangkan dalam pembelajaran
matematika.
kemampuan-kemampuan
Kalau
tersebut
dicermati
lebih
di
juga
atas
jauh,
bahwa
semua
dikembangkan
dalam
pembelajaran matematika yang menggunakan pendekatan matematika realistik. Menurut
Freudenthal,
matematika
harus
dipandang
sebagai
aktivitas/kegiatan insani, mathematics as a human activity (Gravemeijer, 1994). Ini berarti bahwa dalam belajar matematika, siswa tidak boleh dipandang sebagai manusia pasif, melainkan harus diposisikan sebagai manusia aktif, kreatif dan punya potensi untuk mengembangkan dirinya. Agar matematika dapat dipelajari oleh siswa sebagai sesuatu kegiatan, maka pembelajaran matematika harus dimulai dengan menghadapkan siswa kepada masalah-masalah kontekstual dari dunia nyata, yang pemecahannya dapat dilakukan dengan berbagai cara atau jawaban yang bervariasi (flexibility). Dengan demikian siswa diharapkan dapat mengembangkan idenya (elaboration) dan mampu memberikan respon/jawaban yang unik dari permasalahan yang dihadapi, dan siswa diharapkan akan memperoleh pengetahuan matematika melalui penemuan kembali matematika, diskusi antar siswa, dan melakukan refleksi (siswa belajar matematika melalui matematisasi). Selain itu dengan menghadapkan pada permasalahan yang kontekstual, siswa akan lebih mampu mengembangkan kemampuan berfikir yang lebih baik. Hasil pembelajaran yang demikian diharapkan dapat menjadi lebih bermakna bagi siswa. Pendekatan matematika realistik adalah salah satu alternatif pendekatan pembelajaran yang sesuai untuk melatih dan mengembangkan kemampuan
52 berpikir dan kemampuan pemecahan masalah matematik. PMR menekankan terbentuknya konsep atau prinsip matematik pada diri siswa melalui penemuan terbimbing dari gejala atau masalah kontekstual di dunia nyata, kemudian diikuti dengan peningkatan dari konsep atau prinsip yang ditemukan itu ke-konsep atau prinsip yang lebih rumit. Dengan demikian matematika tidak diberikan sebagai barang jadi atau barang siap pakai, tetapi diberikan melalui kegiatan matematisasi, yaitu proses perkembangan dari dunia nyata ke-dunia matematika, dan proses perkembangan dari dunia matematika ke-dunia matematika juga, tetapi yang lebih rumit. Model yang demikian ini didasarkan pada prinsip bahwa belajar matematika, untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan sikap terhadap matematika harus melalui pengalaman konkrit, refleksi, konseptualisasi abstrak, dan eksperimentasi (Suyanto, 2003). Sedangkan Freudenthal (Soedjadi, 2004) menyatakan bahwa matematika merupakan kegiatan manusia yang lebih menekankan aktivitas siswa untuk mencari, menemukan, dan membangun sendiri pengetahuan yang diperlukan sehingga pembelajaran menjadi terpusat pada siswa. Sedangkan Ruseffendi (2001) menyatakan bahwa untuk membudayakan berpikir logis atau kemampuan penalaran serta bersikap kritis dan kreatif proses pembelajaran dapat dilakukan dengan pendekatan matematika realistik. Menurut Gravemeijer (1994), perhatian yang mendalam/luas diberikan
harus
untuk model-model, situasi model, dan bagan-bagan (schemata),
dibandingkan dengan memberikan sesuatu secara langsung, melalui kegiatan pemecahan masalah dan kemudian dapat membantu siswa untuk menjembatani jurang/celah antara tingkat intuisi dan tingkat sistematika dari materi bahasan
53 yang diajarkan.
Konsep matematika muncul dari proses matematisasi, yaitu
dimulai dari penyelesaian yang terkait dengan konteks (context-link solution), siswa secara perlahan mengembangkan alat dan pemahaman matematik ketingkat yang lebih formal. Sedangkan model-model yang muncul dari aktivitas matematik siswa dapat mendorong terjadinya interaksi di kelas, sehingga mengarah kepada level berpikir matematik yang lebih tinggi. Uraian di atas memberi gambaran adanya keterkaitan yang saling menunjang antara kemampuan berpikir kreatif dan pemecahan masalah matematik, dimana pengembangan dan peningkatannya dapat dilakukan dengan pembelajaran yang menggunakan pendekatan matematika realistik. Dengan perkembangan dan peningkatan kemampuan berpikir kreatif dan pemecahan masalah tersebut, diharapkan dapat berimplikasi terhadap peningkatan hasil belajar matematika siswa. Berikut ini disajikan kerangka pemikiran keterkaitan kemampuan berpikir kreatif, dan pemecahan masalah matematik dengan pendekatan matematika realistik.
Berpikir Kreatif
PMR
Hasil Belajar Mat
Pemecahan Masalah Gambar 2. 1 Diagram Alur Kerangka Pemikiran
54
E. Teori Belajar yang Mendukung Pada prinsipnya pendekatan matematika realistik merupakan suatu pendekatan yang mengikuti paham bahwa matematika adalah aktivitas manusia. Siswa tidak boleh dipandang sebagai penerima pasif. Mengarahkan siswa dengan menggunakan berbagai situasi dan kesempatan untuk menemukan kembali matematika dengan cara mereka sendiri (siswa harus mengkonstruksi sendiri pengetahuannya). Matematika harus dipelajari secara bermakna. Siswa belajar secara mandiri dan kelompok. Peran guru sebagai fasilitator, mediator dan partner mendampingi
siswa
dalam
membentuk
pengetahuan,
membuat
makna,
mempertanyakan kejelasan, bersikap kritis dan mengadakan justivikasi. Berkaitan dengan prinsip tersebut, berikut ini dikemukakan teori belajar yang mendukung PMR, diantaranya adalah: 1. Teori Konstruktivisme Salah satu teori belajar yang cukup dikenal dan banyak implementasinya dalam proses pembelajaran adalah teori belajar konstruktivisme. Teori belajar konstruktivisme mempunyai anggapan bahwa pengetahuan adalah hasil dari konstruksi siswa sendiri. Menurut pandangan teori ini, siswa mengkonstruksi pengetahuan mereka sendiri melalui interaksi dengan obyek, fenomena, data-data, fakta-fakta, pengalaman dan lingkungannya. Pengetahuan yang dikonstruksi dianggap benar, bila pengetahuan tersebut dapat digunakan untuk memecahkan masalah sesuai dengan masalah yang dihadapi. Konstruktivisme juga memandang bahwa pengetahuan tidak dapat ditransfer begitu saja dari seseorang kepada orang lain, tetapi harus diinterpretasikan sendiri oleh masing-masing individu. Artinya,
55 pengetahuan bukanlah sesuatu yang sudah jadi, melainkan suatu proses yang berkembang terus-menerus. Piaget berpendapat, bahwa pengetahuan yang dibangun dalam pikiran anak, selama anak tersebut terlibat dalam proses pembelajaran merupakan akibat dari interaksi secara aktif dengan lingkungannya melalui proses asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah suatu proses kognitif untuk menyerap setiap informasi baru kedalam pikirannya, seperti: persepsi, konsep dan sebagainya. Sedangkan akomodasi adalah suatu proses restrukturisasi informasi yang sudah ada atau kemampuan menyusun kembali struktur pikirannya karena pengaruh informasi yang baru saja diterimanya. Jika suatu informasi atau pengetahuan baru diterima oleh seseorang dan pengetahuan tersebut sesuai dengan struktur kognitif yang dimilkinya, maka pengetahuan itu akan diadaptasi melalui proses asimilasi dan akomodasi. Tetapi, apa bila pengetahuan baru yang diterima oleh seseorang, ternyata tidak sesuai dengan struktur kognitif yang dimilikinya, maka akan terjadi disequilibrium. Akibatnya, struktur kognitif tersebut direstrukturisasi kembali agar dapat disesuaikan dengan pengalaman baru, sehingga terjadi proses equilibrium. Pada tahap ini, pengetahuan baru itu dapat diakomodasi, kemudian diasimilasikan menjadi pengetahuan dalam struktur kognitifnya. Selain Piaget, dikenal pula Vygotzky sebagai ahli konstruktivisme sosial. Vygotzky
(dalam Ginsburg, dkk. 1998) menyatakan bahwa perkembangan
intelektual seorang anak yang sedang mengalami proses pembelajaran juga dipengaruhi oleh faktor sosial. Maksudnya, perkembangan anak secara kognitif dipengaruhi oleh lingkungan sosial dimana anak itu berada. Bila seseorang tidak
56 memiliki pengetahuan yang sesuai dengan permasalahan yang dihadapi dengan situasi lingkungan ia berada, maka ia akan berupaya mengubah pola intelektualitas dengan melakukan proses akomodasi terhadap lingkungannya. Ada dua konsep penting dalam teori Vygotzky (dalam Slavin, 1997; Suharta, 2004) yaitu Zone of Proximal Development (ZPD) dan Scaffolding. ZPD merupakan jarak antara tingkat perkembangan sesungguhnya yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah secara mandiri dan perkembangan potensial yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau melalui kerjasama degan teman sejawat yang lebih memiliki kemampuan. Dalam PMR dianjurkan siswa belajar secara mandiri dan kelompok. Sedangkan Scaffolding merupakan bantuan yang diberikan kepada siswa untuk belajar dan memecahkan masalah. Bantuan tersebut dapat berupa petunjuk, dorongan,
peringatan,
menguraikan
masalah
kedalam
langkah-langkah
pemecahan masalah, memberikan contoh, dan tindakan-tindakan lain yang memungkingkan siswa itu belajar mandiri. Karakteristik konstruksivisme sosial ini sangat sesuai dengan karakteristik interaksi pada pendekatan matematika realistik, sedangkan ZPD dan Scaffolding sesuai dengan penemuan terbimbing. Dalam proses pembelajaran, secara lebih khusus konstruktivisme mempunyai pandangan bahwa seseorang pada umumnya melalui empat tahap dalam belajar (Horsley, 1990), yaitu: 1. Tahap apersepsi: tahap ini berguna untuk mengungkapkan konsepsi awal siswa dan digunakan untuk membangkitkan motivasi belajar.
57 2. Tahap eksplorasi: tahap ini berfungsi sebagai mediasi pengungkapan ideide atau pengetahuan dalam diri siswa. 3. Tahap diskusi dan penjelasan konsep: pada tahap ini siswa diupayakan untuk
bekerja
sama
dengan
temannya,
berusaha
menjelaskan
pemahamannya kepada orang lain dan mendengar, bahkan menghargai temuan temannya. 4. Tahap pengembangan dan aplikasi konsep: tahap ini merupakan tahap untuk mengukur sejauhmana telah memahami suatu konsep dengan menyelesaikan permasalahan. Keempat tahap tersebut di atas, pada prinsipnya juga ditemukan dalam proses pembelajaran dengan pendekatan PMR. Hanya PMR menggunakan istilah yang berbeda. Ruseffendi (2004) mengatakan bahwa pendekatan matematika realistik berdasarkan teori konstruktivisme. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Cobb (dalam Armanto, 2001), Soedjadi (2004). Sebenarnya paham konstruktivisme jauh sebelumnya telah dikemukakan oleh Brownell (dalam Ruseffendi, 1991) dengan pengajaran yang mengutamakan pengertian dan belajar bermakna, selanjutnya dikatakan bahwa terampilnya siswa berhitung itu harus dilandasi dengan pengertian. 2. Teori Belajar Bermakna Menurut Ausubel (dalam Suparno, 1997) ada dua jenis belajar, yaitu: (1) Belajar bermakna (meaningful learning), dan (2) Belajar menghafal (rote learning). Belajar bermakna adalah suatu proses belajar dimana setiap informasi atau pengetahuan baru dihubungkan dengan struktur pengertian atau pemahaman yang sudah dimiliki oleh siswa sebelumnya. Belajar bermakna terjadi bila siswa
58 mampu menghubungkan setiap informasi baru kedalam struktur pengetahuan mereka. Hal ini terjadi melalui pemahaman siswa terhadap sebuah konsep, mampu mengubah konsep melalui proses asimilasi dan akomodasi konsep. Sehingga menyebabkan peningkatan kemampuan pemahaman, melakukan penyelidikan, melakukan penemuan dan kemampuan untuk memecahkan masalah, yang berdampak pada peningkatan hasil belajar dan sikap mereka dalam matematika. Pada bagian lain, Ruseffendi (1991) mengemukakan bahwa ciri belajar bermakna adalah belajar untuk memahami apa yang sudah diperolehnya itu dikaitkan dengan keadaan lain, sehingga belajarnya itu lebih mengerti. Dalam belajar bermakna, seseorang akan memperoleh makna atau kebermaknaan hasil dari belajarnya, apa bila dia sendiri yang menemukan dan memecahkan masalah. Ini berarti sesuai dengan paham dalam PMR bahwa matematika harus dipelajari secara bermakna. 3. Teori Belajar Penemuan Belajar penemuan menurut Bruner (dalam Gani, 2003) bahwa belajar adalah sebagai proses kognitif dan melibatkan tiga proses berlangsung secara bersamaan. Ketiga proses tersebut adalah: (1) memperoleh informasi baru, (2) transformasi informasi, dan (3) menguji relevansi dan ketepatan pengetahuan. Salah satu aplikasi teori belajar yang sudah dikenal lama dalam proses pembelajaran matematika menurut Soedjadi (1999/2000) adalah belajar penemuan, karena pada dasarnya menekankan pada menemukan, melakukan eksperimen, dan masalah terbuka (open-ended problems). Selanjutnya Bruner (dalam Gani, 2003) menyatakan belajar penemuan sebagai bentuk mencari
59 pengetahuan secara aktif oleh manusia melalui berbagai kegiatan partisipasi secara aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip, serta menganjurkan mereka untuk memperoleh pengalaman, melakukan eksperimen-eksperimen yang membuat mereka menemukan prinsip-prinsip tersebut sehingga dengan sendirinya akan memberikan hasil belajar yang paling baik. Empat dalil utama dalam teori belajar penemuan menurut Bruner (Ruseffendi, 1991), yaitu: 1. Dalil penyusunan; cara yang paling baik bagi seseorang untuk mempelajari matematika adalah dengan melakukaan penyusunan representasinya. 2. Dalil notasi; penggunaan notasi yang sesuai dengan perkembangan mental siswa, akan mempermudahkan untuk memahami konsep yang dipelajari. 3. Dalil pengkontrasaan dan keanekaragaman; supaya konsep yang diajarkaan lebih bermakna bagi siswa, maka konsep-konsep tersebut harus dikontraskan dengan konsep lain dan disajikan dengan aneka ragam contoh. 4. Dalil pengaitan; agar siswa lebih berhasil belajarnya, siswa diarahkan agar melihat kaitan antara satu konsep dengan konsep yang lain, karena dalam matematika antara satu konsep dengan konsep yang lainnya terdapat hubungan yang erat, bukan hanya dari aspek isi atau materi, melainkan juga dari aspek penerapan rumus-rumus yang digunakan untuk menyelesaikan masalah. Tentang penerapan teori belajar penemuan dalam proses pembelajaran matematika, menurut Sumarmo (2000) mempunyai beberapa kekuatan, yaitu: (1) pengetahuan yang telah diperoleh siswa umumnya dapat bertahan lebih lama, karena siswa sendiri yang menemukan, (2) mempunyai efek transfer yang lebih
60 baik, (3) meningkatkan penalaran dan kemampuan berpikir secara bebas, dan (4) melatih kemampuan keterampilan kognitif untuk menemukan dan memecahkan masalah yang dihadapinya. Uraian di atas, sesuai dengan pandangan PMR. Dalam PMR proses pembelajaran harus mengarahkan siswa kepada penggunaan berbagai situasi dan kesempatan untuk menemukan kembali matematika dengan cara mereka sendiri (siswa harus mengkonstruksi sendiri pengetahuannya). F. Pembelajaran Biasa Pelaksanaan pembelajaran matematika di kelas yang berlangsung seperti biasa setiap hari yang dilakukan oleh seorang guru, mungkin karena ia merasa cocok atau merasa nyaman dengan cara itu, disebut sebagai pembelajaran biasa atau pembelajaran konvensional atau pembelajaran tradisional. Ruseffendi (1991) menyatakan bahwa pembelajaran tradisional adalah pembelajaran pada umumnya yang biasa dilakukan sehari-hari. Dalam pembelajaran biasa guru cenderung aktif sebagai sumber informasi bagi siswa, dan siswa cenderung pasif menerima pelajaran. Menurut Soedjadi (2001), pembelajaran matematika di sekolah selama ini terpatri kebiasaan dengan urutan sajian pelajaran sebagai berikut: (1) diajarkan teori/definisi/teorema, (2) diberikan contoh-contoh, (3) diberikan latihan soal. Proses pembelajaran yang demikian, guru dianggap berhasil apabila dapat mengelola kelas sedemikian rupa sehingga siswa-siswa tertib dan tenang mengikuti pelajaran yang disampaikan guru. Pengajaran dianggap sebagai proses penyampaian fakta-fakta kepada para siswa. Siswa dianggap berhasil dalam belajar apabila mampu menghafal banyak fakta, dan mampu menyampaikan fakta-fakta tersebut kepada orang lain, atau menggunakannya untuk menjawab
61 soal-soal dalam ujian. Menurut Mukhayat (2004) belajar dengan menghafal tidak terlalu banyak menuntut aktivitas berpikir anak dan mengandung akibat buruk pada perkembangan mental anak. Anak akan cenderung suka mencari gampangnya saja dalam belajar. Anak kehilangan sense of learning, kebiasaan yang membuat anak bersikap pasif atau menerima begitu saja apa adanya mengakibatkan anak tidak terbiasa untuk berpikir kritis dan kreatif. Tentang ciri-ciri pembelajaran biasa, antara lain seperti yang dikemukakan oleh Nasution (2000) yaitu: 1. Bahan pelajaran disampaikan kepada kelompok, kepada kelas sebagai keseluruhan tanpa memperhatikan siswa secara individu. 2. Kegiatan pembelajaran umumnya berbentuk ceramah, kuliah, pemberian tugas, dan media lain menurut pertimbangan guru. 3. Siswa umumnya bersifat pasif, karena harus mendengarkan penjelasan guru. 4. Dalam kecepatan belajar, siswa harus belajar menurut kecepatan yang umumnya ditentukan oleh kecepatan guru mengajar. 5. Keberhasilan belajar umumnya dinilai oleh guru secara subjektif. 6. Hanya sebagian kecil saja yang dapat menguasai bahan pelajaran secara tuntas, sebagian lagi menguasai sebagian saja, dan ada lagi yang akan gagal. 7. Guru terutama berfungsi sebagai penyebar atau penyalur (sebagai sumber informasi/pengetahuan).
pengetahuan
62 Diakui bahwa pembelajaran biasapun punya keunggulan-keunggulan, namun tidak terlepas dari kelemahannya. Keunggulan dari pembelajaran biasa adalah: (1) dapat menampung kelas besar; (2) konsep yang disajikan secara hirarki akan memberikan fasilitas belajar kepada siswa; dan (3) guru merasa nyaman karena seakan-akan tidak ada tuntutan terhadap inovasi atau perubahanperubahan di dalam proses belajar mengajar, karena guru diberi wewenang penuh terhadap kegiatan belajar mengajar. Sedangkan kelemahan dari pembelajaran biasa adalah: (1) kurikulum disajikan secara linear; (2) kurikulum dijadikan bahan acuan yang harus diikuti; (3) aktivitas pembelajaran terikat pada buku pegangan guru (buku teks); (4) siswa dianggap sebagai botol kosong, dimana guru akan mengisinya; (5) guru bertindak sebagai pusat informasi; (6) penilaian dilakukan dengan pemberian tes hasil belajar yang terpisah dari proses belajar mengajar; (7) siswa banyak bekerja secara individual. Dalam penelitian ini, Pembelajaran biasa adalah suatu pendekatan pembelajaran yang dilakukan guru sehari-hari, dengan urutan pembelajaran (1) diajarkan teori/definisi/teorema, (2) diberikan contoh-contoh, (3) diberikan latihan soal. G. Penelitian yang Relevan Beberapa penelitian yang pernah dilakukan berkaitan dengan kemampuan berpikir kreatif dan pemecahan masalah diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Elliott, dkk (2001) tentang pengaruh mata kuliah interdisiplin aljabar/sain terhadap keterampilan
problem solving, berpikir kritis dan sikap
63 matematika. Penelitian
ini dilaksanakan di tingkat Universitas dalam dua
semester pada tahun 1998, sampelnya berjumlah 143 orang mahasiswa (75 aljabar, dan 68 aljabar untuk sain).
Penelitian ini mengkaji mata kuliah
interdisiplin yang disebut ‘Aljabar untuk Sain’ terhadap keterampilan problem solving, berpikir kritis dan sikap matematik, dan mata kuliah aljabar sebagai kelompok kontrol. Hasil analisis menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan dalam keterampilan problem solving antara siswa dalam mata kuliah interdisiplin dan mata kuliah aljabar. Tetapi siswa dalam mata kuliah interdisiplin lebih baik dalam berpikir kritis, dan secara signifikan sikapnya lebih positif dari pada siswa dalam mata kuliah aljabar. Pehkonen (2004), mengajukan pemecahan masalah sebagai metode yang digunakan untuk mengembangkan kreativitas. Salah satu survey yang telah dilakukannya di Firlandia terhadap 44 orang guru matematika, umumnya menyatakan pengajaran pemecahan masalah penting. Dalam temuannya, dikemukakan beberapa alasan pentingnya mengajarkan pemecahan masalah yaitu: (1) pemecahan masalah mengembangkan skill kognitif umum, (2) pemecahan masalah mengembangkan kreativitas, (3) pemecahan masalah adalah bagian dari proses aplikasi matematika, (4) pemecahan masalah memotivasi siswa untuk mempelajarai matematika. Mengenai hubungan antara kreativitas dan tugas-tugas problem posing dalam domain matematik telah diteliti oleh Leung (1993). Penelitiannya tentang problem posing pada aritmetika yang dihubungkan dengan kreatif perbal umum, dilakukan dengan menggunakan instrumen bagian verbal dari Torrance Tests of
64 Creative Thinking (TTCT) dan Test Arithmetics Problem Posing (TAPP). Dari analisis kuantitatif, hasilnya menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan dari kelompok berpikir kreatif tinggi dan rendah dalam menghasilkan masalah-masalah yang kategorinya menurut dimensi kompleksitas. Tetapi hasil ini memperlihatkan hubungan yang menarik antara kreativitas dan problem posing dengan menggunakan sub skor dari TTCT (kefasihan dan fleksibilitas). Hasil analisis kualitatif untuk masalah uraian dalam aritmetika memperlihatkan bahwa kelompok berpikir kreatif tinggi mengungguli kelompok rendah. Selanjutnya penelitian ini diperluas dengan cara memperbanyak tugas problem posing. Subyek penelitiannya adalah 96 siswa kelas lima SD di Taiwan. Instrumen tes yang digunakan adalah Test on General Problem Posing (TGPP), dengan 18 item soal yang meliputi teks, gambar, dan jawab. Topik materi dipilih secara acak materi bilangan, kuantitas, ruang, dan statistika. Dari hasil analisis diperoleh bahwa ada korespondensi problem posing antara tiga sub kategori yaitu teks, gambar, jawab dan tidak ada tugas problem posing yang spesifik. Secara kualitatif, peneliti memilih korelasi tertinggi dalam tiap sub kategori. Dalam hal ini dilihat bagaimana siswa mengajukan pertanyaan yang merupakan kreativitas. Kesimpulannya bahwa kefasihan dan membangun konteks adalah hal yang wajar dalam berpikir kreatif verbal. Tammage (1979) dalam hasil penelitiannya menyarankan bahwa sangat urgen dan penting bagi guru untuk mengidentifikasi, mendorong, dan meningkatkan kemampuan kreatif matematik pada semua tingkat pendidikan. Sedangkan Haylock (1987), menelaah kreativitas matematik di sekolah dan
65 mengidentifikasi dua aspek kemampuan yaitu dalam pemecahan masalah dan kemampuan berpikir divergen. Demikian pula Devlin (dalam Silver, 1995) menegaskan bahwa kontek argument kreatif diruang kelas memerlukan kreativitas guru untuk memberikan solusi yang lain dari pemikiran dan partisipasi siswa. Menurutnya, guru harus menciptakan situasi pembelajaran yang dapat mengembangkan
pemikiran
dan
penalaran
siswa
melalui
mendengar,
berpendapat, berkomunikasi, berinteraksi sosial, memberikan sanggahan, melakukan kegiatan secara langsung untuk membuat pengertian dari percobaan matematik. Beberapa penelitian yang telah dilakukan berkaitan dengan PMR, pada umumnya menyimpulkan bahwa PMR dapat meningkatkan prestasi belajar siswa. Diantaranya: hasil studi di Puerto Rico menyebutkan bahwa prestasi siswa yang mengikuti program pembelajaran matematika dengan pendekatan matematika realistik, berada pada persentil ke-90 ke atas (Turmudi, 2004). Penelitian yang dilakukan oleh Haji (2005) terhadap siswa kelas III SDPN Setiabudi UPI menemukan bahwa kemampuan pemecahan masalah pada operasi bilangan bulat siswa yang diajar dengan pendekatan matematika realistik secara signifikan lebih baik daripada siswa yang diajar dengan pendekatan biasa. Demikian pula Saragih (2007) yang melakukan penelitian pada siswa SMP di Medan menemukan bahwa pembelajaran dengan menggunakan
PMR dapat
meningkatkan kemampuan
berpikir logis, dan kemampuan komunikasi matematika secara signifikan dibandingkan dengan pembelajaran biasa (PMB). Lebih lanjut dikatakan bahwa
66 pembelajaran dengan menggunakan PMR dapat meningkatkan sikap siswa lebih positif terhadap matematika dibandingkan dengan pendekatan PMB. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Arifin (2008) pada siswa SD Kelas IV di Lamongan menemukan antara lain: (1) Hasil belajar siswa yang mengikuti pembelajaran matematika realistik dengan strategi kooperatif lebih baik daripada hasil belajar siswa yang mengikuti pembelajaran matematika secara konvensional pada taraf signifikansi 5%, pada semua level sekolah atau gabungannya, kecuali pada sekolah level tinggi; (2) Kemampuan pemecahan masalah siswa yang mengikuti pembelajaran matematika realistik dengan strategi kooperatif lebih baik dari pada kemampuan pemecahan masalah siswa yang mengikuti pembelajaran konvensional pada taraf signifikansi 5% pada semua level sekolah dan gabungannya; (3) Aktivitas dan kemampuan pemecahan masalah yang ditunjukkan oleh siswa dalam menyelesaikan soal-soal pemecahan masalah setelah mengikuti pembelajaran matematika realistik dengan strategi kooperatif menunjukkan kecenderungan lebih kuat pada kemampuan memahami masalah, kemampuan menyusun rencana cara atau strategi penyelesaian, dan yang terendah adalah pada kemampuan menyusun strategi dan melakukan pengerjaan; (4) Aktivitas siswa dalam melaksanakan kegiatan belajar dalam pembelajaran matematika realistik dengan strategi kooperatif menunjukkan tingkat aktivitas tinggi, yaitu rata-rata tingkat aktivitasnya sangat tinggi, pada level tinggi 87,27%, level sedang 81,63%, dan level rendah sebesar 78%. Beberapa penelitian pengembangan yang dilakukan, diantaranya: Armanto (2002) mengembangkan suatu prototipe tentang alur dan strategi pembelajaran lokal melalui Pendidikan Matematika Realistik (PMR) dalam topik perkalian dan
67 pembagian bilangan di kelas IV SD (di Medan dan Yokyakarta). Hasilnya adalah adanya peningkatan kemajuan belajar siswa, tingkat pemahaman siswa, dan hasil belajar siswa. Siswa belajar perkalian dan pembagian secara aktif; membangun pemahaman mereka sendiri dengan menggunakan strategi penemuan kenbali, dan dapat menyelesaikan soal dengan baik. Fausan (2002) juga menerapkan PMR dalam pembelajaran geometri dalam topik luas dan keliling bangun di kelas IV SD (di Padang dan Surabaya). Hasilnya juga dapat meningkatkan hasil belajar siswa, dan pengembangan sikap dan minat belajar siswa. Para guru dan siswa menyukai materi pembelajaran matematika dengan pendekatan PMR. Dengan menggunakan materi PMR di kelas, proses belajar mengajar menjadi lebih baik, karena siswa lebih aktif dan kreatif, peran guru berubah dari pusat proses belajar mengajar menjadi pembimbing dan narasumber. H. HIPOTESIS PENELITIAN Berdasarkan permasalahan, kajian teori, dan hasil-hasil penelitian terdahulu yang telah dikemukakan di atas, maka hipotesis dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: 1. Ada perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematik antara siswa yang pembelajarannya menggunakan pendekatan matematika realistik dengan siswa yang pembelajarannya menggunakan pendekatan matematika biasa, pada keseluruhan siswa. 2. Ada perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematik antara siswa yang pembelajarannya menggunakan pendekatan matematika
68 realistik dengan siswa yang pembelajarannya menggunakan pendekatan matematika biasa, pada siswa kemampuan tinggi, sedang, dan rendah. 3. Ada perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematik siswa yang pembelajarannya menggunakan PMR pada siswa kemampuan tinggi, sedang, dan rendah. 4. Perbedaan tingkat kemampuan matematik siswa (tinggi, sedang, dan rendah) berpengaruh terhadap peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematik siswa. 5. Ada interaksi antara pembelajaran (PMR dan PMB) dengan tingkat kemampuan matematik siswa (tinggi, sedang, dan rendah) dalam kemampuan berpikir kreatif matematik siswa. 6. Ada perbedaan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik antara siswa yang pembelajarannya menggunakan pendekatan matematika realistik dengan siswa yang pembelajarannya menggunakan pendekatan matematika biasa, pada keseluruhan siswa. 7. Ada perbedaan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik antara siswa yang pembelajarannya menggunakan pendekatan matematika realistik dengan siswa yang pembelajarannya menggunakan pendekatan matematika biasa, pada siswa kemampuan tinggi, sedang, dan rendah. 8. Ada perbedaan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa yang pembelajarannya menggunakan PMR pada siswa kemampuan tinggi, sedang, dan rendah.
69 9. Perbedaan tingkat kemampuan matematik siswa (tinggi, sedang, dan rendah) berpengaruh terhadap peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa. 10. Ada interaksi antara pembelajaran (PMR dan PMB) dengan tingkat kemampuan matematika siswa (tinggi, sedang, dan rendah) dalam kemampuan pemecahan masalah matematik siswa.