BAB II KEDUDUKAN SANKSI PIDANA TERHADAP PERKAWINAN POLIGAMI TANPA PERSETUJUAN ISTRI YANG SAH
A. Perkawinan Poligami Menurut Undang-undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. 1. Perkawinan Poligami Menurut Undang-undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Secara yuridis formal, poligami di Indonesia diatur dalam Undangundang Perkawinan No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) 56 bagi penganut agama Islam. Walaupun pada dasarnya asas 57 yang melekat dalam Undang-undang perkawinan tersebut merupakan asas monogami. 58 Namun menurut Yahya Harahap asas hukum 59 dalam Undang-undang tersebut tidaklah berimplikasi pada asas monogami mutlak akan tetapi asas monogami terbuka. 60
56
Kompilasi Hukum Islam merupakan hasil konsensus (ijma’) ulama dari berbagai “golongan”melalui media lokakarya yang dilaksanakan secara nasional yang kemudian mendapat legalisasi dari kekuasaan Negara. Yang mana kompilasi hukum Islam ini bertujuan untuk memositifkan hukum islam di Indonesia. Dalam kaitan ini kata hukum islam harus diartikan sebagai hukum perdata islam, Budiono, Abdul Rahmat. Peradilan Agama Dan Hukum Islam Di Indonesia, (Malang: Bayumedia, 2003) , hal. 32 57 Secara etimologi kata asas berasal dari bahasa arab yaitu “asasun” yang berarti pondasi. Dalam kamus besar bahasa indonesia disebutkan bahwa asas merupakan dasar, prinsip, atau suatu yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat, lihat; Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), hal. 52 58 Asas yang menjelaskan bahwa perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. (pasal 3 ayat (1) Undang- Undang Perkawinan No 1 tahun 1974), Mohd. Idris Ramulyo, Hukum perkawinan Islam: suatu Analisa dari UU No 1/1974 dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), hal. 184 59 The Liang Gie berpendapat bahwa yang dimaksud asas hukum adalah suatu dalil umum yang dinyatakan dalam istilah umum tanpa menyarankan cara- cara khusus mengenai pelaksanaanya, yang diterapkan oleh serangkain perbuatan untuk menjadi petunjuk yang tepat bagi perbuatan itu.
Universitas Sumatera Utara
Sementara asas yang melekat pada Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah asas poligami tertutup. Sebab secara tersurat dalam Pasal 55 ayat 1 (satu) Kompilasi Hukum Islam (KHI) dijelaskan bahwa
asas perkawinanya adalah
poligami. Namun pasal-pasal setelahnya mengindikasikan untuk menutup asas poligami tersebut dengan berbagai persyaratan yang begitu ketat, sehingga tidak memungkinkan bagi para pelaku poligami untuk menerapkannya dengan sewenang-wenang. Kedua asas tersebut tentunya terdapat konsekuensi hukum yang sama, yaitu poligami diperbolehkan di negara Indonesia. Akan tetapi dengan persyaratan yang begitu ketat dan selektif. Hal ini disebutkan dengan tegas dalam Pasal 3 ayat 1 (satu) Undang-undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyebutkan bahwa 61: 1. Pada asasnya dalam suatu perkawinan, seorang pria hanya boleh memiliki seorang istri, begitu juga sebaliknya seorang wanita hanya boleh memiliki seorang suami. 2. Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Penjelasan Pasal 3 ayat 2 (dua) Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dinyatakan bahwa pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih satu, jika dikehendaki oleh pihak-pihak bersangkutan, didalam memberi putusan selain memeriksa persyaratan yang tersebut dalam Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan harus Sedangkan Bellefroid berpendapat asas hukum adalah norma dasar yang dijabarkan dari hukum positif. Dan asas hukum merupakan pengedepan hukum positif dalam suatu masyarakat. lihat; Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum; Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 2005 ), hal. 34 60 Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan: Zahir Trading, 1975), hal. 25-26 61 Lebih Lanjut Lihat Pasal 3 ayat 1 Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Universitas Sumatera Utara
mengingat pula, apakah ketentuan hukum perkawinan agama dari calon suami mengizinkan adanya poligami ataukah dilarang. Pasal 4 Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa: 1. Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat 2 (dua) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan didaerah tempat tinggalnya. 2. Pengadilan dimaksud dalam ayat 1 (satu) Pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila: a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri. b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan. c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan. 62 Pasal 4 ayat 2 (dua) Undang-undang
No 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan diatas, telah menjelaskan mengenai alasan-alasan bagi seorang suami untuk dapat beristri lebih dari seorang. Selanjutnya dalam Pasal 5 Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menegaskan pula bahwa: 1. Untuk dapat mengajukan permohonan ke pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat 1 (satu) Undang-undang ini harus memenuhi syarat-syarat berikut: a. Adanya persetujuan dari istri/istri-istri. b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluankeperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka. c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka. d. Persetujuan yang dimaksud dalam ayat 1 huruf (a) Pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari istrinya selama sekurangkurangnya 2 (dua) tahun atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari hakim pengadilan. 63 Penjelasan Pasal 4 ayat 2 (dua) Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan merupakan syarat fakultatif yang harus dipenuhi. Sedangkan Pasal 5 62 63
Lebih Lanjut Lihat Pasal 4 Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Lebih Lanjut Lihat Pasal 5 Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Universitas Sumatera Utara
ayat 1 (satu) Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan merupakan syarat kumulatif yang harus dipenuhi untuk mendapatkan izin dari pengadilan. Perkawinan oleh seorang pria untuk kedua kalinya dapat dilakukan dengan terlebih dahulu mendapatkan izin kawin untuk kedua kalinya sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang mengatur lebih lanjut tentang tatacara seorang suami untuk beristri lebih dari seorang (berpoligami). Pasal-pasal tersebut antara lain, Pasal 40 Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan yang menyatakan bahwa: “Apabila seorang suami bermaksud untuk beristri lebih dari seorang maka ia wajib mengajukan permohonan tertulis kepada pengadilan”. Selanjutnya Pasal 41 Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 juga menyebutkan alasan yang memungkinkan bagi seorang suami untuk kawin lagi. Secara lengkap Pasal 41 Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang PelaksanaanUndang-undang Perkawinan menyatakan: 64 “Pengadilan kemudian memeriksa mengenai: 1. Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan suami kawin lagi ialah: a. Bahwa istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri. b. Bahwa istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan. c. Bahwa istri tidak dapat melahirkan keturunan. 2. Ada atau tidaknya dari persetujuan istri, baik persetujuan lisan maupun tertulis, apabila persetujuan itu merupakan persetujuan lisan, persetujuan itu harus diucapkan didepan sidang pengadilan. 3. Ada atau tidaknya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup, istri-istri dan anak-anak dengan memperlihatkan;
64
Lebih lanjut lihat Pasal 41 Peraturan Pemerintah No 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Universitas Sumatera Utara
a. Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditanda tangani oleh bendahara tempat bekerja; atau b. Surat keterangan pajak penghasilan; atau c. Surat keterangan lain yang dapat diterima oleh pengadilan. 4. Ada atau tidak adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka dengan pernyataan atau janji yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu. Lebih lanjut dalam Pasal 42 Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaa Undang-undang Perkawinan menyebutkan bahwa: 1. Dalam melakukan pemeriksaan mengenai hal-hal pada Pasal 40 dan Pasal 41, pengadilan harus memanggil dan mendengar istri yang bersangkutan. 2. Pemeriksaan pengadilan untuk itu dilakukan oleh hakim selambatlambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya surat permohonan beserta lampiran-lampirannya. 65 Pasal 43 Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan menyebutkan bahwa: “Apabila pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk beristri lebih dari seorang, maka pengadilan memberikan putusannya yang berupa izin untuk beristri lebih dari seorang”. 66 Pasal 44 Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan menyebutkann bahwa: “Pegawai pencatat dilarang untuk melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang sebelum adanya izin pengadilan seperti yang dimaksud dalam Pasal 43”. 67
65
Lebih Lanjut Lihat Pasal 42 Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 66 Lebih Lanjut Lihat Pasal 43 Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 67 Lebih lanjut lihat pasal 44 Peraturan Pemerintah No 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang tersebut diatas, dapat dirumuskan bahwa seorang suami yang bermaksud untuk beristri lebih dari seorang (berpoligami), haruslah memenuhi ketentuan-ketentuan sebagaimana yang tercantum didalam ketentuan pasal-pasal tersebut. 2. Perkawinan Poligami Menurut Kompilasi Hukum Islam Intruksi Presiden No 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) memberikan pengaturan tentang tatacara berpoligami bagi pemeluk agama Islam. Sebagaimana diatur pada bab IX Kompilasi Hukum Islam yang terdiri dari Pasal 55 sampai Pasal 59. Pasal 55 Kompilasi Hukum Islam memuat syarat substansial berpoligami yang melekat pada seorang suami, yakni terpenuhinya keadilan sebagimana yang telah ditetapkan. Pasal 55 Kompilasi Hukum Islam mengemukakan bahwa: 1. Beristri lebih dari satu orang pada waktu yang bersamaan, terbatas hanya sampai empat orang istri. 2. Syarat utama beristri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya. 3. Apabila syarat utama yang disebut pada Ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristri lebih dari seorang. 68 Syarat yang disebutkan Pasal 55 ayat 2 (dua) Kompilasi Hukum Islam tersebut diatas merupakan hal yang terpenting dari poligami, sebab apabila syarat utama tersebut tidak mampu dipenuhi oleh suami, maka suami dilarang untuk
68
Lebih Lanjut Lihat Pasal 55 Intruksi Presiden No 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum
Islam.
Universitas Sumatera Utara
berpoligami dan pengadilan agama pun tidak akan memberikan izin kepada suami untuk berpoligami. Selanjutnya Pasal 56 Kompilasi Hukum Islam juga mengemukakan bahwa seorang suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama. Pasal 56 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan: 69 1. Suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama. 2. Pengajuan permohonan izin dimaksud pada Ayat (1) dilakukan menurut tata cara sebagaimana diatur dalam Bab VIII Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 3. Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga, atau keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum. Pasal 56 Kompilasi Hukum Islam diatas merupakan syarat-syarat formal poligami yang harus dijalani seorang suami. Peraturan ini dibuat sebagai perlindungan hukum bagi pelaku poligami, karena di Indonesia adalah negara hukum
(rechstaat)
sehingga
segala
urusan
hubungan
manusia,
maka
pelaksanaannya harus diketahui oleh instansi yang berwenang. Selanjutnya Pasal 57 Kompilasi Hukum Islam memberikan peluang bagi seorang suami yang hendak berpoligami, manakala istri tidak mampu menjalankan kewajibannya. Hal tersebut juga pada hakikatnya haruslah mendapat izin dari Pengadilan Agama. Sebagaimana Pasal 57 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan: Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dan seorang apabila: a. istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri. b. istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
69
Lebih Lanjut Lihat Pasal 56 Intruksi Presiden No 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum
Islam.
Universitas Sumatera Utara
c. istri tidak dapat melahirkan keturunan. 70 Pasal 57 Kompilasi Hukum Islam diatas merupakan syarat-syarat substansial yang melekat pada seorang istri yaitu kondisi-kondisi nyata yang melingkupinya sehingga menjadi alasan logis bagi seorang suami untuk berpoligami. Selanjutnya dalam Pasal 58 Kompilasi Hukum Islam memberikan syarat bahwa untuk memperoleh izin Pengadilan Agama harus pula memenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada Pasal 5 Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal 58 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa: 1. Selain syarat utama yang disebut pada Pasal 55 Ayat (2) KHI, maka untuk memperoleh izin Pengadilan Agama harus pula dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada Pasal 5 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, yaitu: a. Adanya persetujuan istri; b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka. 2. Dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 41 Huruf b Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, persetujuan istri atau istri-istri dapat diberikan secara tertulis atau dengan lisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan istri pada sidang Pengadilan Agama. 3. Persetujuan dimaksud pada Ayat 1 (satu) Huruf a tidak diperlukan bagi seorang suami apabila istri atau istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari istri atau istri-istrinya sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun atau karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian hakim. 71 Pasal 58 Kompilasi Hukum Islam diatas merupakan syarat-syarat formal yang diperankan seorang istri sebagai respon terhadap suami yang hendak
70
Lebih Lanjut Lihat Pasal 57 Intruksi Presiden No 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum
Islam. 71
Lebih Lanjut Lihat Pasal 58 Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam.
Universitas Sumatera Utara
memadu dirinya yang melibatkan instansi yang berwenang. Aturan-aturan ini sebagai antisipasi untuk menjaga hubungan baik dalam keluarga setelah berjalannya keluarga poligami. Selanjutnya Pasal 59 Kompilasi Hukum Islam berbunyi: Dalam hal istri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin untuk beristri lebih dari satu orang berdasarkan salah satu alasan yang diatur dalam Pasal 55 Ayat 2 (dua) KHI dan Pasal 57 KHI. Pengadilan Agama dapat menetapkan tentang pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar istri yang bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini istri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi. 72 Pasal 59 Kompilasi Hukum Islam diatas menjelaskan sikap Pengadilan Agama untuk bertindak dalam menghadapi perkara poligami dari istri yang saling mempertahankan pendapatnya. Dengan demikian ketentuan poligami yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) tidak bertentangan dengan hukum agama Islam. Berdasarkan uraian diatas jelaslah bahwa hukum perkawinan nasional walaupun menganut kuat prinsip monogami tetapi membuka peluang bagi seorang pria untuk berpoligami dengan syarat dapat memenuhi ketentuan- ketentuan yang telah ditentukan oleh perundang-undangan berlaku. Pada asasnya seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri dan seorang istri hanya boleh mempunyai seorang suami. Akan tetapi asas monogami dalam Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak bersifat mutlak, artinya hanya bersifat pengarahan pada pembentukan perkawinan monogami dengan jalan mempersulit 72
Lebih Lanjut Lihat Pasal 59 Intruksi Presiden No 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam.
Universitas Sumatera Utara
dan mempersempit praktek poligami, bukan sama sekali menghapus praktek poligami. Ketentuan adanya asas monogami ini bukan hanya bersifat limitatif saja, karena dalam Pasal 2 ayat 2 (dua) Undang-undang Perkawinan disebutkan dimana pengadilan dapat memberikan izin pada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh para pihak yang bersangkutan. Ketentuan ini membuka kemungkinan seorang suami dapat melakukan poligami dengan izin pengadilan. Hal ini erat kaitannya dengan berbagai macam agama yang ada yang dianut oleh masyarakat karena ada agama yang melarang untuk berpoligami dan ada agama yang membenarkan atau memperbolehkan seorang suami untuk melakukan poligami. Khusus yang beragama Islam harus mendapat izin dari pengadilan agama sesuai dengan amanat Pasal 51 ayat 1 (satu) Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan yang beragama selain Islam harus mendapat izin dari pengadilan negeri. Jadi hal ini tergantung dari agama yang dianut dan pengadilan yang berkompeten untuk itu. Untuk mendapatkan izin dari pengadilan harus memenuhi syarat-syarat tertentu disertai dengan alasan yang dapat dibenarkan. Tentang hal ini lebih lanjut diatur dalam Pasal 5 Undang- Undang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pengadilan baru dapat memberikan izin kepada suami untuk berpoligami apabila ada alasan yang tercantum dalam Pasal 4 ayat 2 (dua) Undang-Undang Perkawinan:
Universitas Sumatera Utara
1. Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri. 2. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan. 3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan. Di samping syarat-syarat yang tersebut diatas merupakan alasan untuk dapat mengajukan poligami, juga harus dipenuhi syarat-syarat menurut Pasal 5 ayat 1 (satu) Undang-undang Perkawinan, yaitu: 1. Adanya persetujuan dari istri. 2. Ada kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri dan anak-anaknya. 3. Ada jaminan bahwa suami berlaku adil terhadap para istri dan anakanaknya. Jadi, apabila merujuk berdasarkan ketentuan-ketentuan yang diatur oleh Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Intruksi Presiden No 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Perkawinan poligami yang tidak memenuhi prosedur, syarat-syarat dan batas-batas yang telah ditetapkan oleh perundang-undangan berlaku, maka terdapat kedudukan sanksi pidana yang dimuat dalam Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). B. Kedudukan Sanksi Pidana
Universitas Sumatera Utara
Hukum seringkali dipahami oleh masyarakat sebagai suatu perangkat aturan yang dibuat oleh Negara dan mengikat warga negaranya dengan mekanisme keberadaan sanksi sebagai pemaksa untuk menegakkan hukumnya. Negara mempunyai hak untuk memaksa diberlakukannya sanksi terhadap perbuatan yang melanggar hukum dimana pelakunya dinyatakan salah oleh keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Pada hakikatnya hukum pidana sama kedudukannya dengan cabang hukum lainnya seperti hukum administrasi Negara, hukum perdata dan lain-lainnya. Namun dalam hal tertentu ada perbedaan khas yang tidak dimiliki hukum lainnya yaitu hukum pidana memberikan sanksi hukum yang keras berupa penderitaan (nestapa) khususnya tidak dimiliki bidang hukum lain, yaitu yang disebut dengan perampasan kebebasan (pidana penjara), dan perampasan nyawa (pidana mati). Menurut Sudarto, Pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. 73 Alf Ross mengatakan pidana adalah tanggung jawab sosial yang: 74 a. Terdapat pelanggaran terhadap aturan hukum. b. Dijatuhkan atau dikenakan oleh pihak yang berwenang atas nama perintah hukum terhadap pelanggar hukum. c. Merupakan suatu nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan. d. Perwujudan pencelaan terhadap pelanggar.
73 74
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.cit., hal.2. Ibid, hal 3.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan beberapa pengertian (definisi) pidana yang dikemukakan oleh para ahli, Muladi dan Barda Nawawi Arief menyimpulkan bahwa pidana (straf) itu pada dasarnya mengandung unsur atau ciri-ciri sebagai berikut: 75 1. Pidana itu pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lainnya yang tidak menyenangkan. 2. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang). 3. Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut Undang-undang. Hukum pidana (Ius Poenale) secara singkat dapat diartikan sejumlah peraturan
yang
mengandung
perumusan
peristiwa
pidana
serta
ancaman
hukumannya, 76 sedangkan rumusan yang lengkap dapat dilihat dari pendapat Moeljatno yaitu: “Bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk: 1. menentukan perbuatanperbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut. 2. menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan. 3. menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melangar larangan tersebut”. 77 Selanjutnya dijelaskan oleh Moeljatno bahwa hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara. Bagian lainnya adalah hukum
75
Ibid, hal 4. Zamhari Abidin, Pengertian dan Asas Hukum Pidana Dalam Schema (Bagan) dan Synopsis, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), hal 9. 77 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 2000), hal 1. 76
Universitas Sumatera Utara
perdata, hukum tata-negara dan tata-pemerintahan. Bagian hukum tersebut lazimnya dibagi dalam dua jenis yaitu hukum publik dan hukum privat. Hukum pidana digolongkan dalam golongan hukum publik, yaitu mengatur hubungan antara Negara dan perseorangan atau mengatur kepentingan umum. Sebaliknya hukum privat mengatur hubungan antara perseorangan atau mengatur kepentingan perseorangan. 78 Hukum pidana sebagai hukum publik mempunyai hubungan yang erat dengan hukum administrasi. Menurut
Hazewinkel-Suringga
sebagaimana
dikutip
oleh
Wirjono
Prodjodikoro: “Tidak pernah dapat dikatakan secara tepat, dimana letak batas antara hukum pidana dan hukum perdata, antara hukum pidana dan hukum pendidikan, antara hukum pidana dan hukum administrasi”. Demikian eratnya hubungan antara hukum pidana dengan cabang hukum lainnya khususnya dalam hal ini hukum administrasi negara, sehingga Wirjono Prodjodikoro menyatakan bahwa tanda-tanda batas antara hukum pidana disatu pihak dan hukum tata usaha negara di pihak lain, terletak pada rasa keadilan. 79 Utrecht menganggap “hukum pidana” mempunyai kedudukan istimewa, yang harus diberi tempat tersendiri di luar kelompok hukum publik dan hukum privat. Utrecht melihat hukum pidana sebagai suatu hukum yang memiliki sanksi (bijzonder sanctie recht) keras dan memaksa yang tidak dimiliki oleh cabang hukum lain. Hukum pidana memberi suatu sanksi istimewa, baik atas pelanggaran hukum privat maupun atas pelanggaran hukum publik. Hukum pidana melindungi kepentingan yang diselenggarakan oleh peraturan-peraturan hukum privat maupun peraturan-peraturan hukum publik. Hukum pidana melindungi kedua macam 78
Ibid, hal 2. Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: PT Refika Aditama, 2003), hal 17-18. 79
Universitas Sumatera Utara
kepentingan itu dengan membuat sanksi istimewa. Sanksi istimewa ini perlu, kata Utrecht, oleh karena kadang-kadang perlu diadakan tindakan pemerintah yang lebih keras. 80 Romeyn memberi pendapat tentang hubungan kedua hukum tersebut yaitu hukum pidana dapat dipandang sebagai hukum pembantu atau “hulprecht” bagi hukum administrasi negara karena penetapan sanksi pidana merupakan sarana untuk menegakkan hukum administrasi negara. Sebaliknya peraturan-peraturan hukum di dalam perundang-undangan administrasi dapat dimasukkan dalam lingkungan hukum pidana. 81 Demikian dapat disimpulkan bahwa perundang-undangan hukum pidana tidak hanya bersifat otonom tetapi dapat bersifat komplementer yaitu membantu menegakkan hukum administrasi dan cabang hukum lainnya. Sehubungan dengan sifat perundang-undangan hukum pidana tersebut, Sudarto membedakan peraturan perundangan-undangan hukum pidana menurut sifatnya yaitu: a. Undang-undang pidana “dalam arti sesungguhnya”, ialah “Undang-undang, yang menurut tujuannya, bermaksud mengatur hak memberi pidana dari negara, jaminan dari ketertiban hukum”, misalnya KUHP, Ordonansi lalulintas jalan raya 1933. b. Peraturan-peraturan hukum pidana dalam Undang-undang tersendiri, ialah peraturan-peraturan, yang hanya dimaksudkan untuk memberi sanksi pidana terhadap aturan-aturan mengenai salah satu bidang yang terletak di luar hukum pidana, misalnya Undang-undang tentang penyelesaian perselisihan perburuhan (UU No. 16 Drt tahun 1951), Undang-undang Pokok Agraria (UU No. 5 Tahun 1960). Peraturan perundang-undangan ini dimasukkan dalam pengertian “Undang-undang pidana khusus”. 82
80
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Op.Cit., hal 10. A. Siti Soetami, Hukum Administrasi Negara, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1993), hal 16. 82 Sudarto, Kapita Selekta Hukum, (Bandung: Alumni, 1986), hal 59-60. 81
Universitas Sumatera Utara
Selanjutnya Sudarto mengkualifikasikan Undang-undang pidana khusus dalam tiga (3) kelompok yaitu: 1. Undang-undang yang tidak dikodifikasikan, misalnya Undang-undang Lalu Lintas Jalan Raya (UU No. 3 tahun 1965), Undang-undang tentang Narkotika (UU No. 9 tahun 1976), Undang-undang Tindak Pidana Imigrasi (UU No. 8 Drt tahun 1955), Undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU no. 3 tahun 1971), Undang-undang tentang pemberantasan Kegiatan Subversi (UU No. 11 Drt tahun 1963). 2. Peraturan-peraturan hukum administratif yang memuat sanksi pidana, misalnya Undang-undang tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (UU no. 16 Drt tahun 1951), Undang-undang Pokok Agraria (UU No. 5 tahun 1960). 3. Undang-undang yang memuat hukum pidana khusus (ius singulare, ius speciale) yang memuat delik-delik untuk kelompok orang tertentu atau berhubungan dengan perbuatan tertentu, misalnya Kitab Undang-undang Hukum Pidana Tentara, Undang-undang tentang Pajak Penjualan, Undangundang Tindak Pidana Ekonomi.Sudarto menyimpulkan bahwa Undangundang pidana khusus adalah Undang-undang pidana selain Kitab UndangUndang Hukum Pidana yang merupakan induk peraturan hukum pidana. 83 Kelompok (b) sebagaimana dinyatakan oleh Sudarto di atas, lebih banyak mengatur hal-hal yang berkaitan dengan kekuasaan mengatur dari pemerintah. Jadi kelompok (b) ini akan terlihat atau kemungkinan besar hukum pidana mengatur bidang tersebut antara lain hukum pidana membantu menegakkan hukum di luar hukum pidana seperti hukum administrasi. Dengan adanya undang-undang pidana khusus ini maka dapat dikatakan bahwa terdapat hubungan antara hukum administrasi dengan hukum pidana. Keterkaitan hukum administrasi negara dengan hukum pidana juga digambarkan oleh T.H.Ranidajita yang menyatakan hubungan hukum administrasi dengan hukum pidana sangat erat disamping keduanya merupakan hukum publik dimana didalamnya ada unsur-unsur: 83
Ibid, hal 63-64
Universitas Sumatera Utara
a. pemerintah. b. yang diperintah atau yang dikenai suatu kewajiban. c. suatu paksaan dari pemerintah terhadap yang diperintah. 84 Hubungan antara hukum pidana dengan hukum administrasi, mengaitkan dengan perkembangan hukum pidana nasional. Muladi memberikan gambaran perkembangan hukum pidana nasional yang sampai saat ini mengikuti pelbagai pendekatan sebagai berikut: a. Pendekatan evolusioner melalui pelbagai amandemen pasal-pasal tertentu baik yang berupa kriminalisasi (misalnya Pasal 156a KUHP Jo UU No. 1 Tahun 1965) maupun dekriminalisasi sebagai konsekuensi Pasal 5 UU No. 1 Tahun 1946); b. Pendekatan semi-global dengan munculnya pelbagai tindak pidana khusus diluar KUHP seperti UU Tindak Pidana Korupsi, UU tentang Pencucian Uang, Tindak Pidana Terorisme dan sebagainya, mengingat kekhususankekhususan pengaturan baik di bidang hukum pidana materiil maupun hukum pidana formil; c. Pendekatan kompromis, dengan pengaturan suatu Bab baru dalam KUHP akibat ratifikasi konvensi internasional yang signifikan (misalnya Bab XXIX A KUHP jo UU No. 4 Tahun 1976 sebagai konsekuensi ratifikasi terhadap Konvensi-Konvensi Montreal, Tokyo dan Konvensi The Haque tentang Kejahatan Penerbangan dan Kejahatan Terhadap Sarana Penerbangan); d. Pendekatan Komplementer dengan munculnya hukum pidana administrative (administrative penal law) dimana sanksi hukum pidana digunakan untuk memperkuat sanksi hukum administrasi (UU Pers, UU tentang HAKI, UU perlindungan Konsumen dan sebagainya). 85 Berkaitan dengan pendekatan komplementer ini, Muladi menyatakan bahwa kecenderungan perundang-undangan hukum administrasi mencantumkan sanksi pidana adalah untuk memperkuat sanksi administrasi (administrative penal law). Sanksi pidana tersebut didayagunakan apabila sanksi administratif sudah tidak efektif 84
T.H.Ranidajita, Op.Cit, hal 21. Muladi, Beberapa Catatan Berkaitan Dengan RUU KUHP Baru, Disampaikan pada Seminar Nasional RUU KUHP Nasional diselenggarakan oleh Universitas Internasional Batam 17 Januari 2004. hal 2. 85
Universitas Sumatera Utara
khususnya berkaitan dengan pelaku tindak pidana yang sudah keterlaluann dan menimbulkan kerugian besar misalnya dalam bidang perpajakan, lingkungan hidup, hak cipta dan lain-lain 86. H.L. Packer sebagaimana dikutip oleh Muladi dan Barda Nawawi Arief dalam bukunya "The limits of criminal sanction", akhirnya menyimpulkan antara lain sebagai berikut: 1. Sanksi pidana sangatlah diperlukan; kita tidak dapat hidup, sekarang maupun di masa yang akan datang, tanpa pidana. (The criminal sanction is indispensable; we could not, now or in the foreseeable future, get along without it); 2. Sanksi pidana merupakan alat atau sarana terbaik yang tersedia, yang kita miliki untuk menghadapi kejahatan-kejahatan atau bahaya besar dan segera serta untuk menghadapi ancaman-ancaman dari bahaya. (The criminal sanction is the best available device we have for dealing with gross and immediate harms and threats of harm). 3. Sanksi pidana suatu ketika merupakan 'penjamin yang utama/ terbaik' dan suatu ketika merupakan 'pengancam yang utama' dari kebebasan manusia. la merupakan penjamin apabila digunakan secara hemat-cermat dan secara manusiawi; ia merupakan pengancam, apabila digunakan secara sembarangan dan secara paksa. (The criminal sanction is at once prime guarantor and prime threatener of human freedom. Used providently and humanely, it is guarantor; used indiscriminately and coercively, it is threatener). 87 Keterkaitan hukum administrasi dengan hukum pidana dapat dipahami karena keduanya merupakan hukum publik dan dalam proses penegakan hukum, sanksi pidana (hukum pidana) dipergunakan untuk memperkuat sanksi dalam hukum administrasi negara. Di dalam Hukum Administrasi Negara, pemerintah menduduki peranan penting karena pemerintah menjalankan roda pembangunan dan memberikan pelayanan umum (public service). 86
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2002), hal 42. 87 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.Cit., hal. 155-156.
Universitas Sumatera Utara
Pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan menuntut terciptanya suasana tertib, termasuk tertib hukum. Salah satu upaya pemaksaan hukum (law enforcement) itu adalah melalui pemberlakuan sanksi pidana terhadap pihak pelanggar, mengingat sanksi pidana membawa serta akibat hukum yang terpaut dengan kemerdekaan pribadi (berupa pidana penjara, kurungan) dan harta benda (antara lain berupa pengenaan denda) dari pelanggar yang bersangkutan. Itulah sebabnya, hampir pada pelbagai ketentuan kaidah peraturan perundang-undangan (termasuk utamanya dibidang
pemerintahan
dan
pembangunan
negara)
selalu
disertai
dengan
pemberlakuan sanksi pidana, berupa pidana penjara, kurungan, denda dan semacamnya. 88 1. Sanksi Pidana Administrasi Penggunaan sanksi pidana dalam bidang hukum administrasi ini oleh beberapa sarjana diberikan istilah yang berbeda-beda. Barda Nawawi Arief dan Sudarto memberikan istilah “hukum pidana administrasi”. 89 Muladi memberikan istilah dengan Administrative Penal Law (Verwaltungs Strafrecht) yang termasuk dalam kerangka Public Welfare Offenses (Ordnungswidrigkeiten). Sanksi pidana dalam hal ini dipergunakan sebagai sarana untuk meningkatkan rasa tanggungjawab negara dalam rangka mengelola kehidupan masyarakat modern yang semakin kompleks. Sanksi pidana antara lain dipergunakan secara maksimal untuk mendukung norma hukum administrasi
88
A.Siti Soetami, Hukum Administrasi Negara Lanjut, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2000), hal 62. 89 Sudarto, Opcit, hal. 65.
Universitas Sumatera Utara
dalam pelbagai hal. 90 Dalam kesempatan lain, Muladi memberi nama Administrative Criminal Law. 91 Barda Nawawi Arief memberikan pengertian hukum pidana administrasi sebagai berikut: Hukum pidana administrasi adalah hukum pidana dibidang pelanggaranpelanggaran hukum administrasi. Oleh karena itu, “kejahatan/tindak pidana administrasi (administrative crime) dinyatakan sebagai “An Offence consisting of a violation of an administrative rule or regulation and carrying with it a criminal sanction” (Black’s 1990; 45). Disamping itu karena hukum administrasi pada dasarnya hukum mengatur atau hukum pengaturan” (regulatory rules) yaitu hukum yang dibuat dalam melaksanakan kekuasaan mengatur/pengaturan (regulatory powers), maka “hukum pidana administrasi” sering disebut pula “hukum pidana (mengenai) pengaturan” atau “hukum pidana dari aturan-aturan” (Ordnungstrafrecht/Ordeningstrafrecht). Selain itu karena istilah hukum administrasi terkait dengan tata pemerintahan (sehingga istilah “hukum administrasi negara” sering juga disebut “hukum tata pemerintahan”). maka istilah “hukum pidana administrasi” juga ada yang menyebutnya sebagai “hukum pidana pemerintahan” sehingga dikenal pula istilah “Vervaltungsstrafrecht” (“Vervaltungs” yang berarti “administrasi/pemerintahan”) dan “Bestuursstrafrecht” (“Bestuur” yang berarti “pemerintahan”). 92 Sudarto memberikan istilah hukum pidana administratif yang berbeda dengan hukum pidana “dalam arti sesungguhnya”. 93
Sarjana lain yang
memberikan istilah lain dari “hukum pidana administrasi” adalah Mostert dan Peters. Mosters memberikan istilah hukum pidana pemerintahan, sedangkan Peters menyebutnya dengan “instrumentalisasi” dari hukum pidana. Hukum pidana
90
Muladi, Proyeksi Hukum Pidana Materiil Indonesia di Masa Datang, Naskah Pidato Pengukuhan, Diucapkan pada Peresmian Penerimaan Jabatan Guru Besar Dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 1990 hal149. 91 Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta: The Habibie Center, 2002), hal 171. 92 Barda Nawawi Arif, Kapita Selekta Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti) hal 14-15. 93 Sudarto, Op.cit. hal 51.
Universitas Sumatera Utara
dijadikan
suatu
instrument
pemerintah
dalam
mempengaruhi
kelakuan
masyarakat. 94 Scholten juga memberikan istilah hukum pidana pemerintahan. Beliau membedakan bagian hukum pidana menjadi hukum pidana “umum” dengan hukum pidana pemerintahan, untuk sebagian besar sejalan dengan garis perbedaan antara pelanggaran hukum dan pelanggaran Undang-undang. 95 Berdasarkan pendapat para sarjana tersebut, dapat disimpulkan bahwa terdapat perkembangan hukum pidana baru selain hukum pidana umum. Hal ini sesuai pendapat Roling dan Jesserun d’Oliveira-Prakken yang dikutip oleh Roeslan Saleh menyebutkan bahwa disamping hukum pidana umum telah lahir yang disebut dengan “Ordeningsstrafrecht”(hukum pidana administrasi) sebagai alat kebijaksanaan bagi Pemerintah. Roling dan Jesserun mengemukakan ciri-ciri khas dari yang disebut “Ordeningsstrafrecht” dengan mengatakan bahwa “hukum pidana tidak ditujukan kepada individu yang bebas, tidak pula kepada hal tidak hukum dilihat secara sosial dan psikologis, melainkan ditujukan terhadap manusia sebagai pemain dari peranan-peranan tertentu, yang diharuskan mengkonfirmasikan dirinya dengan bentuk-bentuk tindakan yang diharapkan sesuai dengan peranannya, misalnya dalam peranan sebagai produsen orang antara lain diharapkan memproduksi sesuai dengan norma-norma dari Undang-undang yang berhubungan dengan pencapaian
94
Roeslan Saleh, Beberapa Asas Hukum Pidana Dalam Perspektif, (Jakarta: Aksara Baru, 1983), hal 10-11. 95 W.F.Prins dan R. Kosim Adisapeotra, Pengantar Ilmu Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1982), hal 17.
Universitas Sumatera Utara
produksi tertentu. Dalam peranan sebagai peserta lalu-lintas di jalan, orang harus mengikuti aturan-aturan lalu lintas di jalan seperti yang telah ditetapkan. Ordeningsstrafrecht (hukum pidana administrasi) tidak diarahkan kepada manusia dalam arti yang konkrit, melainkan kepada salah satu dari posisi-posisi sosial yang demikian banyak yang telah membentuk manusia abstrak itu dalam memainkan peranan sosialnya.
Menurut Ordeningsstrafrecht (hukum pidana
administrasi) gambaran manusianya adalah seorang conformist. Hukum pidana tidak lagi hukum pidana mengenai perbuatan atau hukum pidana mengenai pembuatnya, melainkan hukum pidana dari aturan-aturan. Permasalahnya bukan lagi meniadakan perbuatan-perbuatan tertentu dan tidak untuk memperbaiki atau menjadikan pembuat delik dapat menyesuaikan diri dengan masyarakat, melainkan untuk mencapai suatu keadaan yang diinginkan. 96 Pelanggaran-pelanggaran terhadap hukum administrasi negara yang telah ditetapkan sebagai perbuatan pidana ini masuk lingkup kejahatan atau istilahistilah lain yang menunjukkan adanya kejahatan seperti Administrative crime, 97 delik administrasi, 98 tindak pidana administratif (administrative penal law) atau tindak pidana yang mengganggu kesejahteraan masyarakat (public welfare offenses). 99 Sudarto mengartikan delik-delik administrasi sebagai delik-delik yang merupakan pelanggaran terhadap usaha pemerintah untuk mendatangkan 96
Roeslan Saleh, Op.Cit, hal. 52. Henry Compbell Black, Black’s Law Dictionary, (United States of America: West Group St. Paul,1999), hal. 377. 98 Sudarto, Op.Cit., hal. 62 99 Muladi, Op.Cit., hal.94. 97
Universitas Sumatera Utara
kesejahteraan atau ketertiban masyarakat, ialah apa yang dinamakan “regulatory offences” atau “Ordnungsdelikte” 100. Berkaitan dengan masalah perbuatan pidana atau tindak pidana, dikenal adanya istilah mala in se yaitu suatu perbuatan yang salah dan immoral pada dirinya dan mala prohibita yaitu hal-hal yang dilarang oleh Undang-undang sebagai pelanggaran hak orang lain hanya karena hal-hal tersebut dilarang atau melanggar peraturan yang dibuat pemerintah untuk melindungi kepentingan umum. Yang terakhir ini menunjukkan kemungkinan bergesernya pandangan tradisional hukum pidana tentang unsur kebejatan moral. 101 Sehubungan dengan istilah mala in se dan mala prohibita ini maka dapat dikatakan bahwa hukum pidana administrasi masuk dalam lingkup mala prohibita. Hal ini sesuai dengan pendapat Scholten di atas yang membedakan bagian hukum pidana menjadi hukum pidana “umum” dengan hukum pidana pemerintahan, sejalan dengan garis perbedaan antara pelanggaran hukum dan pelanggaran Undang-undang. Pada hakikatnya, hukum pidana administrasi merupakan perwujudan dari kebijakan menggunakan hukum pidana sebagai sarana untuk menegakkan dan melaksanakan
hukum
administrasi,
jadi
merupakan
fungsionalisasi
atau
operasionalisasi hukum pidana di bidang hukum administrasi. 102 Menurut Barda
100
Sudarto,Op.Cit., hal. 68. Muladi, Op.Cit., hal. 43. 102 Barda Nawawi Arif, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti,2003), 101
Hal 15.
Universitas Sumatera Utara
Nawawi arif, hukum pidana administratif merupakan hukum pidana di bidang pelanggaran-pelanggaran administrasi. 103 Pendefinisian tindak pidana administrasi sebagai pendayagunaan hukum pidana untuk menegakkan hukum administrasi membawa hukum pidana hanya dapat diterapkan pada suatu peristiwa tertentu tergantung apakah peristiwa tersebut tergolong perbuatan melawan hukum dalam hukum administrasi atau tidak. Berkaitan dengan uraian diatas, pelanggaran-pelanggaran terhadap Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan salah satunya mengenai perkawinan poligami tanpa persetujuan istri yang sah diancam sanksi pidana yang termuat dalam Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undangundang No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan merupakan pengaturan lebih lanjut mengatur perkawinan poligami, dan tatacara
berpoligami menurut Undang-
undang Perkawinan. Guna mendapatkan keabsahan dan perlindungan hukum bagi pelaku yang melakukan perkawinan poligami. Peraturan Pemerintah No 9 Tahun1975 tentang Pelaksanaan Undangundang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam BAB VIII dirumuskan tentang beristri lebih dari seorang, di Pasal 40 menyebutkan: Apabila seorang
103
Ibid hal 15.
Universitas Sumatera Utara
suami bermaksud untuk beristri lebih dari seorang maka ia wajib mengajukan permohonan tertulis ke pengadilan. Berdasarkan Pasal tersebut, jika seorang suami bermaksud untuk melakukan perkawinan lebih dari satu orang istri (poligami), maka seorang suami wajib mengajukan permohonan tertulis kepada pengadilan. Selanjutnya pengadilan memeriksa dan memberikan izin kepada suami untuk beristri lebih satu dengan memperhatikan ketentuan menurut Pasal 5 ayat 1 (satu) Undang-undang Perkawinan. Pasal 5 ayat 1 (satu) Undang-undang Perkawinan berbunyi: 1. Adanya persetujuan dari istri. 2. Ada kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri dan anak-anaknya 3. Ada jaminan bahwa suami berlaku adil terhadap para istri dan anakanaknya. Apabila seorang suami yang bermaksud melakukan perkawinan lebih dari seorang istri (poligami) tidak mengajukan permohonan poligami ke pengadilan, lalu melakukan perkawinan poligami tanpa seizin pengadilan, maka terhadap seorang suami tersebut diancam dengan ketentuan sanksi pidana Pasal 45 Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan yang terdapat dalam BAB IX tentang ketentuan pidana. Pasal 45 Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan menyebutkan; 1. Kecuali apabila ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka:
Universitas Sumatera Utara
a. Barangsiapa yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 3, 10 ayat 3 (tiga), 40 Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan hukuman denda setinggi-tingginya Rp. 7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah); b. Pegawai pencatatan melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 6, 7, 8, 9, 10 ayat 1 (satu), 11, 13, 44 Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 7.500,- ( tujuh ribu lima ratus rupiah). 2. Tindak pidana yang dimaksud dalam ayat 1 (satu) diatas merupakan pelanggaran. Berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan, bilamana Pasal 40 Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan tersebut dilanggar, maka diancam dengan ketentuan sanksi pidana Pasal 45 ayat 1 (satu) huruf a Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undangundang Perkawinan. Ketentuan Pidana dalam Pasal 45 ayat 1 (satu) huruf a Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan merupakan tindak pidana dibidang administrasi. Jika kita melihat Pasal 7 huruf d Undang-undang No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dijelaskan bahwa jenis hierarki peraturan perundang-undangan termasuk Peraturan Pemerintah. Ketentuan pidana dalam Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan merupakan aturan pidana khusus diluar Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), sesuai dengan maksud Pasal 103
Universitas Sumatera Utara
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yang mana dijelaskan bahwa ketentuan dari Bab I sampai Bab VIII dari buku I KUHP berlaku bagi perbuatanperbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lain yang diancam dengan pidana. Pasal 10 KUHP secara tegas membagi pidana dalam 2 kategori yaitu pemidanaan pokok dan pemidanaan tambahan. Pemidanaan pokok bagiannya adalah pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, dan pidana tutupan. Sedangkan pemidanaan tambahan bagiannya adalah dari pencabutan hakhak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, pengumuman putusan hakim. Memperhatikan Pasal 45 ayat 1 (satu) huruf a Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan dijelaskan bahwa hukuman bagi yang melanggar ketentuan Pasal 40 Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan adalah hukuman denda setinggi-tingginya Rp. 7.500 (tujuh ribu lima ratus rupiah) dan itu merupakan pemidanaan pokok. Berdasarkan uraian diatas, sesuai dengan penjelasan umum angka 4 huruf c yang disebutkan dalam Undang-undang Perkawinan menganut asas monogami. Bahwa hakikatnya Undang-undang Perkawinan berasaskan monogami, tetapi memberikan pengecualian untuk dapat beristri lebih dari satu melalui prosedur yang telah ditetapkan. Namun apabila beristri lebih dari satu orang (perkawinan poligami) tidak memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan, kepada suami tersebut diancam dengan ketentuan sanksi pidana Pasal 45 ayat 1 (satu) huruf a Peraturan
Universitas Sumatera Utara
Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang merupakan tindak pidana pelanggaran administratif (Wetsdelicten). Menurut petunjuk Mahkamah Agung, bilamana seorang suami melakukan perkawinan lagi, maka ia dikenakan ketentuan Pasal 45 ayat 1 (satu) huruf a Jo Pasal 40 Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undangundang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan , jika pada waktu melakukan perkawinan keduanya tidak memohon izin kawin kepada pengadilan. Namun apabila si suami pernah mengajukan permohonan izin kawin, kemudian permohonan izin tersebut ditolak oleh pengadilan dan suami tersebut tetap kawin juga dengan istri yang baru, maka suami tersebut dikenakan ancaman Pasal 279 ayat 1 (satu) KUHP. 104 2. Sanksi Pidana Menurut KUHP Kitab Undang-undang Hukum pidana (KUHP) merupakan peraturanperaturan hukum pidana yang saat ini tetap berlaku di Indonesia. Dalam KUHP, perkawinan poligami tanpa persetujuan istri yang sah dipandang sebagai tindak pidana perkawinan poligami. Tindak pidana perkawinan poligami pada dasarnya termasuk kepada tindak pidana kejahatan terhadap kedudukan perdata. Ada 4 (empat) Pasal yang berhubungan dengan tindak pidana kejahatan terhadap kedudukan perdata ini, yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal 277, Pasal 278, Pasal 279, dan Pasal 280 KUHP. Pengaturan tindak pidana terhadap 104
Petunjuk Ketua Mahkamah Agung Mengenai Penetapan Undang-undang No 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, No. MA/Pemb/0156/77, Tanggal 25 Februari 1977, hal.10
Universitas Sumatera Utara
perkawinan poligami terdapat dalam buku kedua Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tentang Kejahatan (Rechtdelicten), secara spesifik diatur pada Bab XIII tentang Kejahatan terhadap Asal-usul dan Perkawinan. Pasal 279 KUHP ayat 1 (satu) berbunyi diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun: a. barangsiapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinan yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu b. barangsiapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinan pihak lain menjadi penghalang untuk itu. Sedangkan Pasal 279 ayat 2 (dua) KUHP berbunyi; Jika yang melakukan perbuatan berdasarkan ayat 1 (satu) butir 1 menyembunyikan kepada pihak lain bahwa perkawinan yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama 7 ( tujuh) tahun. Selanjutnya Pasal 280 berbunyi; barangsiapa mengadakan perkawinan, padahal sengaja tidak memberitahu kepada pihak lain bahwa ada penghalang yang sah, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun, apabila kemudian berdasarkan penghalang tersebut, perkawinan lalu dinyatakan tidak sah. Kitab Undang-undang Hukum Pidana Belanda menyebutkan
tindak
pidana tersebut dinamakan dubble huwalijke atau bigami, karena di negara belanda diantara seluruh warganya dianut prinsip monogami, maka tindak pidana semacam ini selalu mengakibatkan adanya 2 (dua) perkawinan. Di Indonesia diantara para penganut agama Islam, ada kemungkinan seorang laki-laki secara sah mempunyai 2 (dua), 3 (tiga), atau 4 (empat) istri.
Universitas Sumatera Utara
Oleh karena itu, diantara mereka seorang laki-laki barulah melakukan tindak pidana dari Pasal 279 KUHP ini, apabila ia melakukan perkawinan yang ke 5 (lima) setelah 4 (empat) kali melakukan perkawinan secara sah. Bagi si istri, kawin kedua kali sudah merupakan tindak pidana ini. 105 Bagi penganut agama hindu Bali yang mengizinkan seorang memiliki sejumlah istri tanpa batas, tindak pidana ini hanya dapat dilakukan oleh seorang istri bersama patnernya, namun persoalannya adalah apabila perkawinan yang baru tidak ada memenuhi syaratsyarat perundang-undangan sehingga dapat dibatalkan. Tentang hal ini ada dua pendapat: 106 1. Menurut Simons, Pompe dan Noyon Langemeyer, pelaku tetap dapat dihukum karena perkawinan dahulu tetap ada sebelum dibatalkan. 2. Menurut Van Bemmelen, para pelaku tidak selalu dihukum, tetapi ada kemungkinan bahwa ini digantungkan kepada penyelesaian suatu perkara perdata mengenai batal atau tidaknya perkawinan yang dulu itu. Dihubungkan dengan Pasal 279 KUHP, tindak pidana poligami dalam kitab Undang-undang hukum pidana diatur pada Pasal 279 KUHP tentang kejahatan terhadap Asal-usul perkawinan yang berbunyi: 107 Ayat 1 (satu) diancam dengan pidana penjara paling lama 5 ( lima ) tahun: Ke-1. Barangsiapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinan yang ada menjadi penghalang yang sah untuk itu.
105
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan Indonesia,(Bandung: PT Eresco, 1981), hal
76. 106 107
Ibid, hal 77 Lihat Lebih Lanjut Pasal 279 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Universitas Sumatera Utara
Ke-2. Barang siapa mengadakan perkawinan padahal diketahui bahwa perkawinannya atau perkawinan-perkawinan pihak lain menjadi penghalang yang sah untuk itu. Ayat 2 (dua) jika yang melakukan perbuatan yang diterangkan dalam ke- 1, menyembunyikan kepada pihak lain bahwa perkawinanperkawinannya yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. Ayat 3 (tiga) pencabutan hak tersebut dalam Pasal 35 No. 1-5 dapat dinyatakan. Menurut Apeldoorn, bahwa elemen delik itu terdiri dari elemen objektif yang berupa adanya suatu kelakuan yang bertentangan dengan hukum (onrechmatig/wederrechtelijke) dan elemen subjektif yang berupa adanya seorang
pembuat
(toerekeningsvatbaarheid)
terhadap
kelakukan
yang
bertentangan dengan hukum itu, yang mengikuti rumusan unsur-unsur perbuatan pidana disamping Apeldoorn adalah Van Bemmelen. Van Bemmelen lebih memberikan rumusan yang terperinci terhadap unsur-unsur perbuatan pidana. Menurut Vos, di dalam suatu strafbaarfeit (perbuatan pidana) dimungkinkan adanya beberapa elemen atau unsur delik, yaitu: 1. Elemen perbuatan atau kelakuan orang, dalam hal berbuat atau tidak berbuat (een doen of een nalaten). 2. Elemen akibat dari perbuatan, yang dalam terjadi dalam delik selesai. Elemen akibat ini dapat dianggap telah ternyata pada suatu perbuatan, dan kadang-kadang elemen akibat tidak penting dalam delik formiil, akan tetapi kadang-kadang elemen akibat dinyatakan dengan tegas yang terpisah dari perbuatannya seperti dalam delik materiil. 3. Elemen kesalahan, yang diwujudkan dalam kata-kata sengaja (opzet) atau alpa (culpa). 4. Elemen melawan (wederechtelijkheid), dan 5. Sederetan elemen lain menurut rumusan Undang-undang dan dibedakan menjadi segi objektif, misalnya di dalam Pasal 160 diperlukan elemen di muka hukum (in het openbaar) dan segi subjektif
Universitas Sumatera Utara
misalnya, Pasal 340 KUHP diperlukan elemen direncanakan terlebih dahulu (voorbedachteraad). 108 Berdasarkan pemahaman tentang unsur-unsur perbuatan di atas, maka khusus elemen untuk tindak pidana yang terkandung dalam Pasal 279 KUHP ayat 1 (satu) butir a adalah sebagai berikut: a. Barang siapa. b. Yang kawin (mengadakan perkawinan). c. Sedang diketahuinya bahwa perkawinan yang telah ada menjadi halangan yang sah baginya untuk kawin lagi. 3. Sanksi Pidana Sebagai Ultimum remedium Van Bemmelen berpendapat yang membedakan hukum pidana dengan bidang hukum lain ialah sanksi hukum pidana merupakan pemberian ancaman penderitaan dengan sengaja dan sering juga disebut pengenaan nestapa. Perbedaan demikian menjadi alasan untuk menganggap bahwa hukum pidana itu sebagai Ultimum remedium, yaitu usaha terakhir guna memperbaiki tingkah laku manusia, terutama penjahat, serta memberikan tekanan psikologis agar orang lain tidak melakukan kejahatan tersebut. Oleh karena sanksinya yang bersifat penderitaan istimewa, maka penerapan hukum pidana sedapat mungkin dibatasi dengan kata lain penggunaannya dilakukan jika sanksi-sanksi hukum lain tidak memadai lagi. 109
108 109
Wirjono Prodjodikoro, Op.cit, hal. 80 Andi Zainal Abidin, Azas-azas Hukum Pidana, (Jakarta: Universitas Indonesia 1987),
hal.16
Universitas Sumatera Utara
Istilah Ultimum remedium digunakan oleh Menteri Kehakiman Belanda untuk menjawab pertanyaan seorang anggota parlemen bernama Meckay dalam rangka pembahasan rancangan KUHP (Kitab Undang – Undang Hukum Pidana), yang antara lain menyatakan bahwa: “Asas pokok pidana ialah bahwa yang boleh dipidana yaitu mereka yang menciptakan “onreght” (perbuatan melawan hukum) merupakan syarat mutlak dan perbuatan itu melanggar hukum ancaman pidana. 110 Pidana itu haruslah tetap merupakan upaya yang terakhir. Pada dasarnya terhadap setiap ancaman pidana terdapat keberatan-keberatan. Setiap manusia yang berakal dapat juga memahaminya sekalipun tanpa penjelasan. Hal itu tidak berarti bahwa pemidanaan harus ditinggalkan, tetapi orang harus membuat penilaian tentang keuntungan dan kerugiannya pidana itu, dan harus menjaga jangan sampai terjadi obat yang diberikan lebih jahat dari pada penyakit”. Memang harus diakui pula, bahwa tidak semua sarjana hukum memandang pidana itu sebagai ultimum remedium. Misalnya L.H.C. Huleman dalam pidato penerimaan jabatannya sebagai Guru Besar di Rotterdam pada tahun 1965 dan A. Mulder dalam pidato perpisahannya di Leiden mengemukakan bahwa Hukum Pidana sama halnya dengan hukum lain bertujuan untuk mempertahankan hukum, dan oleh karenanya hukum pidana itu tidak mempunyai sifat yang berdiri sendiri. Jadi sebagaimana yang telah diuraikan di atas, bahwa dalil Ultimum remedium ini diperlukan untuk mempertimbangkan dahulu penggunaan sanksi lain
110
Ibid hal. 17
Universitas Sumatera Utara
sebelum sanksi pidana yang keras dan tajam dijatuhkan, apabila fungsi hukum lainnya kurang maka baru dipergunakan hukum pidana. Berkaitan dengan karakteristik Hukum Pidana dalam konteks Ultimum remedium ini bahwa penegakan Hukum Pidana dengan sanksi yang keras dan tajam tetap harus diusahakan agar sedapat mungkin mengurangi penderitaan bagi pelaku. Penerapan Ultimum remedium dalam penjatuhan sanksi pidana oleh hakim dapat mengakomodasi kepentingan pelaku tindak pidana, setiap kegiatan yang mengacu kepada penerapan prinsip penjatuhan pidana penjara sebagai upaya terakhir (Ultimum remedium) tersebut sangat mendukung pelaku tindak pidana, karena sebelum sanksi pidana yang keras dijatuhkan, penggunaan sanksi lain seperti sanksi administrasi dan sanksi perdata didahulukan sehingga ketika fungsi sanksi – sanksi hukum tersebut kurang baru dikenakan sanksi pidana. 111 Namun melihat sisi lainnya melalui pendapat Van Bemmelen bahwa penerapan Ultimum remedium harus diartikan “upaya” (middel), bukanlah sebagai alat untuk memulihkan ketidakadilan atau untuk memulihkan kerugian, melainkan upaya untuk memulihkan keadaan yang tidak tentram di dalam masyarakat, yang apabila tidak dilakukan sesuatu terhadap ketidakadilan itu, dapat menyebabkan orang main hakim sendiri. 112 Sanksi pidana merupakan “obat terakhir” (ultimum remedium) dari rangkaian tahapan penegakan suatu aturan hukum. “Obat terakhir” ini merupakan jurus pamungkas jika mekanisme penegakan pada bidang hukum lain tidak bekerja
111 112
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, (Jakarta: PT Rajagrafindo, 2006), hal. 56 Ibid, hal. 57
Universitas Sumatera Utara
efektif. Namun, dalam perkembangan hukum pidana di Indonesia, sanksi pidana dalam beberapa kasus tertentu bergeser kedudukannya, tidak lagi sebagai Ultimum remedium melainkan sebagai Primum remedium (obat yang utama). Ketentuan pengaturan mengenai sanksi pidana sebagai Primum remedium ini dapat dilihat dalam Undang-undang mengenai terorisme dan tindak pidana korupsi. Hal ini dikarenakan perbuatan yang diatur dalam dua Undangundang tersebut merupakan tindakan yang “luar biasa” dan besar dampaknya bagi masyarakat, sehingga dalam hal ini tidak lagi mempertimbangkan penggunaan sanksi lain, karena mungkin dirasa sudah tepat apabila langsung menggunakan atau menjatuhkan sanksi pidana terhadap para pelaku tindak pidana tersebut. Kini faktanya sanksi pidana itu bukan merupakan “obat terakhir” (Ultimum remedium) lagi, banyak perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan berlaku dan masyarakat merasa dirugikan, maka yang diberlakukan adalah sanksi pidana sebagai pilihan utama (Premium remedium), misalnya penjatuhan sanksi pidana terhadap anak yang melakukan pencurian atau perbuatan melawan hukum lainnya, adalah tidak mudah untuk menerapkan sanksi pidana sebagai Ultimum remedium bagi mereka, mengingat adanya Undang – Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak membolehkan adanya penjatuhan pidana penjara terhadap anak yang berumur 1218 tahun, kemudian masyarakat menganggap keadilan tidak ditegakkan apabila anak yang melakukan kejahatan tidak dipidana, dan masyarakat menganggap bahwa siapapun yang melakukan suatu tindak pidana maka wajib dikenai sanksi berupa pidana penjara agar pelaku jera dan tidak mengulangi perbuatannya. Hakim
Universitas Sumatera Utara
masih sering menganggap anak sebagai penjahat yang harus dibalas agar jera dan tidak mengulangi perbuatannya. Jadi melihat hal tersebut di atas, bahwa dalam perkembangannya penerapan dalil Ultimum remedium ini sulit diterapkan karena masih banyak mengalami kendala – kendala, dan faktor – faktor lain salah satunya adalah karena hukum pidana memiliki Undang-undang yang mengatur setiap tindak kejahatan dan pelanggaran dan tentunya di dalam penerapan sanksi hukum pidana tersebut tidak mengenal kompromi atau kata damai.
Universitas Sumatera Utara