BAB II KEDUDUKAN HUKUM AKTA JUAL BELI
A. Tinjauan terhadap Akta 1. Pengertian Akta Menurut S. J. Fockema Andreae, dalam bukunya “Rechts geleerd Handwoordenboek”, kata akta itu berasal dari bahasa Latin “acta” yang berarti geschrift 46 atau surat sedangkan menurut R. Subekti dan Tjitrosudibio dalam bukunya Kamus Hukum, bahwa kata “acta” merupakan bentuk jamak dari kata “actum” yang berasal dari bahasa Latin yang berarti perbuatan-perbuatan 47 A. Pitlo mengartikan akta itu sebagai berikut: “surat-surat yang ditandatangani dibuat untuk dipakai sebagai alat bukti, dan untuk dipergunakan oleh orang, untuk keperluan siapa surat itu dibuat. 48 Di samping pengertian akta sebagai surat yang sengaja dibuat untuk dipakai sebagai alat bukti, dalam peraturan perundang-undangan sering dijumpai perkataan akta yang maksudnya sama sekali bukanlah “surat” melainkan perbuatan. Hal ini dijumpai misalnya pada Pasal 108 KUH Perdata, yang berbunyi: Seorang isteri, biar ia kawin di luar persatuan harta kekayaan, atau telah berpisah dalam hal itu sekalipun, namun tak bolehlah ia menghibahkan barang sesuatu, atau memindahtangankannya, atau memperolehnya, baik dengan cuma-cuma maupun atas beban melainkan dengan bantuan dalam “akta” atau dengan izin tertulis dari suaminya. Seorang isteri, biar ia telah dikuasakan oleh suaminya untuk membuat suatu akta, atau untuk mengangkat suatu perjanjian sekalipun, namun tidaklah ia, karena itu, 26
46
S. J. Fockema Andreae, Op. cit, hal. 9. R. Subekti, dan R. Tjitrosoedibio, Op. cit, hal. 9. 48 M. Isa Arif, Pembuktian dan Daluwarsa, (Jakarta, Intermasa, 1978), hal. 52. 47
Universitas Sumatera Utara
berhak menerima sesuatu pembayaran, atau memberi pelunasan atas itu, tanpa izin yang tegas dari suaminya. Bila diperhatikan dengan teliti dan seksama, maka penggunaan “akta” dalam ketentuan undang-undang tersebut di atas tidak tepat kalau diartikan surat yang diperuntukkan sebagai alat bukti. Menurut R. Subekti, kata akta dalam Pasal 108 KUH Perdata tersebut di atas bukanlah berarti surat melainkan harus diartikan dengan perbuatan hukum, berasal dari kata “acta” yang dalam bahasa Perancis berarti perbuatan. 49 Jadi dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan akta adalah: 1. Perbuatan handeling/ perbuatan hukum (rechtshandeling) itulah pengertian yang luas, dan 2. Suatu tulisan yang dibuat untuk dipakai/ digunakan sebagai bukti perbuatan hukum tersebut, yaitu berupa tulisan yang ditujukan kepada pembuktian sesuatu. Demikian pula misalnya dalam Pasal 109 KUH Perdata (Pasal 1115 BW Nederland) dan Pasal 1415 KUH Perdata (Pasal 1451 BW Nederland) kata akta dalam Pasal-Pasal ini bukan berarti surat melainkan perbuatan hukum. Menurut Sudikno Mertokusumo, akta adalah surat yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa-peristiwa, yang menjadi dasar dari suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian. 50 2. Macam-macam Akta Pasal 1867 KUH Perdata yang berbunyi: pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan (akta) autentik maupun dengan tulisan-tulisan (akta) di bawah tangan. Dari bunyi Pasal tersebut, maka akta dapat dibedakan atas: 49 50
R. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta, Intermasa, 1980), hal. 29. Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Op. cit, hal. 106.
Universitas Sumatera Utara
1. Akta Autentik Mengenai akta autentik diatur dalam Pasal 165 HIR, yang bersamaan bunyinya dengan Pasal 285 Rbg, yang berbunyi: “Akta autentik adalah suatu akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu, merupakan bukti yang lengkap antara para pihak dari para ahli warisnya dan mereka yang mendapat hak daripadanya tentang yang tercantum di dalamnya dan bahkan sebagai pemberitahuan belaka, akan tetapi yang terakhir ini hanya diberitahukan itu berhubungan langsung dengan perihal pada akta itu. 51 Pasal 165 HIR dan Pasal 285 Rbg memuat pengertian dan kekuatan pembuktian akta autentik sekaligus. Pengertian akta autentik dijumpai pula dalam Pasal 1868 KUH Perdata, yang berbunyi: “suatu akta autentik adalah suatu akta yang dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang berkuasa untuk itu di tempat akta itu dibuat. Akta yang dibuat di hadapan atau oleh notaris/ PPAT yang berkedudukan sebagai akta otentik menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undangundang Jabatan Notaris 52, hal ini sejalan dengan pendapat Philipus M. Hadjon, bahwa syarat akta otentik, yaitu: 53 a. Di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang (bentuknya baku) b. Dibuat oleh dan di hadapan Pejabat Umum. Dikemukakan pula oleh Irawan Soerojo, bahwa ada 3 (tiga) unsur esenselia agar terpenuhinya syarat formal suatu akta otentik, yaitu: 54 a. Di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang 51
G.H.S. Lumban Tobing, Op. cit, hal. 42. M. Ali Boediarto, Kompilasi Kaidah Hukum Putusan Mahkamah Agung, Hukum Acara Perdata Setengah Abad, (Jakarta: Swa Justitia, 2005), hal. 152 53 Philipus M. Hadjon, Formulir Pendaftaran Tanah Bukan Akta Otentik, Surabaya Post, 31 Januari 2001, hal. 3 54 Irawan Soerojo, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia, (Surabaya: Arkola, 2003), hal. 148. 52
Universitas Sumatera Utara
b. Dibuat oleh dan di hadapan Pejabat Umum c. Akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu dan di tempat dimana akta itu dibuat. Menurut C. A. Kraan, akta otentik mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: 55 a. Suatu tulisan, dengan sengaja dibuat semata-mata untuk dijadikan bukti atau suatu bukti dari keadaan sebagaimana disebutkan di dalam tulisan dibuat dan dinyatakan oleh pejabat yang berwenang. Tulisan tersebut turut ditandatangani oleh atau hanya ditandatangani oleh pejabat yang bersangkutan saja. b. Suatu tulisan sampai ada bukti sebaliknya, dianggap berasal dari pejabat yang berwenang. c. Ketentuan peraturan perundang-undangan yang harus dipenuhi; ketentuan tersebut mengatur tata cara pembuatannya (sekurang-kurangnya memuat ketentuan-ketentuan mengenai tanggal, tempat dibuatnya akta suatu tulisan, nama dan kedudukan/ jabatan pejabat yang membuatnya c.q data dimana dapat diketahui mengenai hal-hal tersebut. d. Seorang pejabat yang diangkat oleh negara dan mempunyai sifat dan pekerjaan yang mandiri serta tidak memihak dalam menjalankan jabatannya. e. Pernyataan atau fakta dari tindakan yang disebut oleh pejabat adalah hubungan hukum di dalam bidang hukum privat. 2. Akta di Bawah Tangan Akta di bawah tangan adalah akta yang sengaja dibuat oleh para pihak untuk pembuktian tanpa bantuan dari seorang pejabat pembuat akta dengan kata lain akta di
55
Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007), hal. 3-4.
Universitas Sumatera Utara
bawah tangan adalah akta yang dimasukkan oleh para pihak sebagai alat bukti, tetapi tidak dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum pembuat akta. 56 Akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum juga menjadi akta di bawah tangan, jika pejabat itu tidak berwenang untuk membuat akta itu jika terdapat cacat dalam bentuk akta itu, sebagaimana disebut dalam Pasal 1869 KUH Perdata. 57 Mengenai akta di bawah tangan ini tidak diatur dalam HIR, tetapi di dalam Rbg ada diatur dalam Pasal 286 sampai dengan Pasal 305 dan dalam KUH Perdata diatur dalam Pasal 1874 sampai dengan Pasal 1880, dan dalam Stbl. 1867 No. 29. Mengenai akta di bawah tangan yang memuat pengakuan utang secara sepihak untuk membayar sejumlah uang atau memberikan/ menyerahkan sesuatu barang yang dapat ditetapkan atas suatu harga tertentu, harus seluruhnya ditulis dengan tangannya sendiri oleh orang yang menandatangani (orang yang berutang) atau paling sedikit selainnya tanda tangan, harus ditulis sendiri oleh si penandatangan (orang yang berutang) suatu persetujuan yang memuat jumlah atau besarnya barang yang terutang. Jika diindahkan, maka apabila perikatan dimungkiri, akta di bawah tangan itu hanya dapat diterima sebagai suatu permulaan pembuktian dengan tulisan, demikian menurut Pasal 1878 KUH Perdata, yang bersamaan isinya dengan Pasal 1291 Rbg dan Pasal 4 Stbl. 1867 No. 29. Apa yang dimaksud dengan permulaan bukti tertulis, dijelaskan dalam Pasal 1902 ayat (2) KUH Perdata, yang berbunyi: “yang dinamakan permulaan pembuktian dengan tulisan ialah segala akta tertulis yang berasal dari orang terhadap siapa tuntutan dimajukan, atau dari orang yang diwakili olehnya, dan yang memberikan persangkaan tentang benarnya peristiwa-peristiwa yang dimajukan oleh seseorang.’
56
Viktor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Op. cit, hal. 36. Pasal 1869 KUH Perdata: “Suatu akta, yang karena tidak berkuasa atau tidak cakapnya dalam pegawai termaksud di atas, atau karena suatu cacat dalam bentuknya, tidak dapat diberlakukan sebagai akta otentik, namun demikian mempunyai kekuatan sebagai akta di bawah tangan.” 57
Universitas Sumatera Utara
Jadi surat yang berasal dari penggugat atau pihak ketiga tidaklah merupakan permulaan bukti tertulis. Untuk dapat menjadi bukti sempurna atau lengkap, maka permulaan bukti tertulis itu harus dilengkapi dengan alat-alat bukti lain. Menurut G. H. S. Lumban Tobing, perbedaan terbesar antara akta otentik dengan akta di bawah tangan adalah: a. Akta otentik mempunyai tanggal yang pasti; b. Grosse dari akta otentik dalam beberapa hal mempunyai kekuatan eksekutorial seperti putusan hakim sedang akta di bawah tangan tidak pernah mempunyai kekuatan eksekutorial. 58 c. Kemungkinan akan hilangnya akta yang dibuat di bawah tangan lebih besar dibandingkan dengan akta otentik. 59 Di samping itu masih ada lagi perbedaan-perbedaan antara akta otentik dan akta di bawah tangan, seperti: 60 a. Akta otentik harus dibuat oleh atau di hadapan pejabat dan harus mengikuti bentuk dan formalitas yang ditentukan dalam undang-undang, sedang akta di bawah tangan tidak demikian. b. Akta otentik memiliki kekuatan pembuktian lahir sesuai dengan asas “acta publica probant seseipsa”, yang berarti bahwa satu akta yang lahirnya tampak sebagai akta otentik, serta memenuhi syarat-syarat yang ditentukan, maka akta itu harus dianggap sebagai akta otentik, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya, sedang akta di bawah tangan tidak mempunyai kekuatan lahir. Bila diperhatikan Pasal 164 HIR, Pasal 283 RBg, dan Pasal 1865 KUH Perdata, maka jelas bahwa bukti tulisan ditempatkan paling atas dari seluruh alat-alat
58
Kekuatan eksekutorial adalah kekuatan untuk dilaksanakannya apa yang ditetapkan dalam putusan itu secara paksa oleh alat-alat negara. 59 G. H. S. Lumban Tobing, Op. cit, hal. 46-47. 60 Viktor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Op.cit, hal. 37-38..
Universitas Sumatera Utara
bukti yang disebut dalam Pasal-Pasal undang-undang tersebut. Walaupun urutan penyebutan alat bukti dalam ketentuan undang-undang itu bukan imperative, namun dapat dikatakan bahwa alat bukti tulisan (akta) memang merupakan alat bukti yang paling tepat dan penting, terlebih-lebih pada masyarakat modern saat ini. Pada hakikatnya kekuatan pembuktian dari akta itu selalu dapat dibedakan atas tiga, yaitu: 61 1. Kekuatan pembuktian lahir Yang dimaksud dengan kekuatan pembuktian lahir ialah kekuatan pembuktian yang didasarkan atas keadaan lahir dari akta itu, maksudnya bahwa suatu surat yang kelihatannya seperti akta, harus diperlakukan sebagai akta, sampai dibuktikan sebaliknya. 62
2. Kekuatan pembuktian formil Kekuatan pembuktian formal ini didasarkan atas benar tidaknya ada pernyataan oleh yang bertanda tangan di bawah akta itu. Dalam akta otentik, pejabat pembuat akta menyatakan dalam tulisan itu bahwa ada yang dinyatakan dalam akta itu sebagaimana telah dicantumkan di dalamnya. 63 3. Kekuatan pembuktian materil Kekuatan pembuktian materil ini menyangkut pembuktian tentang materi suatu akta, memberi kepastian tentang peristiwa bahwa pejabat dan para pihak melakukan atau melaksanakan seperti apa yang diterangkan dalam akta itu. 64
61
Ibid, hal. 109 Ibid 63 Ibid, hal. 111. 64 Ibid, hal. 113. 62
Universitas Sumatera Utara
B. Pengertian Jual Beli Dalam suatu masyarakat, dimana sudah ada peredaran uang berupa mata uang sebagai alat pembayaran yang sah, perjanjian jual beli merupakan suatu perjanjian yang paling lazim diadakan diantara para anggota masyarakat. Wujud dari perjanjian jual beli ialah rangkaian hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari kedua belah pihak, yang saling berjanji, yaitu si penjual dan si pembeli. Perjanjian jual beli diatur dalam Pasal 1457 sampai dengan Pasal 1540 KUH Perdata. Pengertian jual beli menurut Pasal 1457 KUH Perdata adalah: “Suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.” Dari pengertian menurut Pasal 1457 KUH Perdata tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa jual beli adalah suatu perjanjian bertimbal balik, dimana pihak penjual berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang dan pihak pembeli berjanji untuk membayar sejumlah uang sebagai imbalan. Hak milik suatu barang yang semula dimiliki pihak penjual, akan berpindah tangan kepada si pembeli apabila sudah ada penyerahan secara yuridis sesuai dengan ketentuan Pasal 1459 KUH Perdata. Perjanjian jual beli dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, seketika setelahnya orang-orang ini mencapai sepakat tentang kebendaan tersebut dan harganya, meskipun kebendaan itu belum diserahkan, maupun harganya belum dibayar (Pasal 1458 KUH Perdata). Barang dan harga inilah yang menjadi unsur pokok dari perjanjian jual beli. Menurut Pasal 1517 KUH Perdata, jika pihak pembeli tidak membayar harga pembelian, maka itu merupakan suatu wanprestasi yang memberikan alasan kepada pihak penjual untuk menuntut ganti rugi atau pembatalan perjanjian menurut ketentuan-ketentuan Pasal 1266 dan 1267 KUH
Universitas Sumatera Utara
Perdata. “Harga” tersebut harus berupa sejumlah uang. Jika dalam suatu perjanjian tidak menunjuk kepada dua hal tersebut (barang dan uang), maka itu akan merubah perjanjiannya menjadi tukar menukar, atau kalau harga itu berupa jasa, perjanjiannya akan menjadi suatu perjanjian kerja, dan begitulah seterusnya. Dalam pengertian jual beli sudah termaktub pengertian bahwa disatu pihak ada barang dan dilain pihak ada uang. Tentang macamnya uang, dapat diterangkan bahwa, meskipun jual beli itu terjadi di Indonesia, tidak diharuskan bahwa harga itu ditetapkan dalam mata uang rupiah, namun diperbolehkan kepada para pihak untuk menetapkannya dalam mata uang apa saja. 65 Mengenai sifat dari perjanjian jual beli, menurut para ahli hukum Belanda, perjanjian jual beli hanya mempunyai sifat obligator, atau bersifat mengikat para pihak. 66 Jual beli yang bersifat obligator dalam Pasal 1459 KUH Perdata menerangkan bahwa hak milik atas barang yang dijual belum akan berpindah tangan kepada pembeli selama belum diadakan penyerahan yuridis menurut Pasal 612, 613, dan 616 KUH Perdata. Dari sifat obligator tersebut dalam perjanjian jual beli, dapat dijabarkan menjadi beberapa hal yang pada intinya juga termasuk dalam sifat obligator tersebut. Hal ini dapat dilihat dari obyeknya (apa saja yang menjadi obyeknya), harga yang telah disepakati kedua belah pihak dalam perjanjian jual beli, dan yang terakhir adalah hak dan kewajiban para pihak.
C. Timbulnya Perjanjian Jual Beli
65
Achmad Ichsan, Dunia Usaha Indonesia, (Jakarta: Pradya Paramita, 1986), hal. 21. Wiyono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan Tertentu, (Jakarta: Sumur Bandung, 1961), hal. 13. 66
Universitas Sumatera Utara
Berpijak dari asas konsensualitas dalam perjanjian jual beli sejak tercapainya kata sepakat mengenai jual beli atas barang dan harga walaupun belum dilakukan penyerahan barang ataupun pembayaran maka sejak saat itulah sudah lahir suatu perjanjian jual beli. Asas konsensualitas itu sendiri menurut Pasal 1458 KUH Perdata mengatur sebagai berikut: Jual beli sudah terjadi antara kedua belah pihak seketika setelah mereka mencapai kata sepakat tentang barang dan harga meskipun barang belum diserahkan dan harga belum dibayar. Kata Kosensualitas itu sendiri berasal dari bahasa Latin consensus yang artinya kesepakatan. Kata kesepakatan tersebut mengandung makna bahwa dari para pihak yang bersangkutan telah tercapai suatu persesuaian kehendak. Artinya apa yang dikehendaki oleh para pihak telah tercapai suatu kesamaan, kemudian dari persesuaian kehendak tersebut tercapai kata sepakat. Sebagai contoh pihak penjual sebagai pihal pertama ingin melepaskan hak milik atas suatu barang setelah mendapatkan sejumlah uang sebagai imbalannya. Begitu pula dipihak kedua sebagai pihak pembeli yang menghendaki hak milik atas barang tersebut harus bersedia memberikan sejumlah nominal (uang) tertentu kepada penjual sebagai pemegang hak milik sebelumnya. Jual beli yang bersifat obligator dalam KUH Perdata (Pasal 1359) bahwa hak milik atas barang yang dijual belum akan berpindah ke tangan pembeli selama belum diadakan penyerahan menurut ketentuan Pasal 612 yang menyebutkan bahwa penyerahan atas benda bergerak dilakukan dengan penyerahan nyata, Pasal 613 bahwa penyerahan piutang atas nama, dilakukan dengan membuat sebuah akta otentik atau dibawah tangan. Sifat obligatoir dalam perjanjian jual beli menurut KUH Perdata maksudnya bahwa perjanjian jual beli akan timbul hak dan kewajiban bertimbal balik
Universitas Sumatera Utara
pada para pihak, yaitu saat meletakkan kepada penjual kewajiban untuk menyerahkan hak milik atas barang yang dijual, selanjutnya memberikan kepadanya hak untuk menuntut pembayaran atas harga yang telah menjadi kesepakatan. Sementara pihak pembeli berkewajiban untuk membayar harga sebagai imbalan haknya untuk mendapatkan penyerahan hak milik atas barang yang dibeli, dengan kata lain hak milik akan berpindah dari pihak penjual kepada pembeli setelah diadakan penyerahan. Apabila barang sudah diserahkan, namun belum terjadi pelunasan atas barang tersebut, maka transaksi jual beli belum dapat dikatakan berakhir, sebab sebuah transaksi jual beli harus terdiri atas tiga unsur, yaitu terjadinya perjanjian, terjadinya penyerahan atau penunaian jasa, dan terjadinya pembayaran.
D. Subjek dan Objek Jual Beli 1. Subjek Perjanjian Jual Beli Jual beli merupakan suatu perjanjian yang timbul disebabkan oleh adanya hubungan hukum mengenai harta kekayaan antara dua pihak atau lebih. Pendukung perjanjian sekurang-kurangnya harus ada dua orang tertentu, masing-masing orang menduduki tempat yang berbeda. Satu orang menjadi pihak kreditur dan yang lain menjadi pihak debitur. Kreditur dan debitur itulah yang menjadi subjek perjanjian. Kreditur mempunyai hak atas prestasi dan debitur wajib memenuhi pelaksanaan prestasi terhadap kreditur 67. Dalam jual beli yang menjadi kreditur adalah pembeli dan yang menjadi debitur adalah penjual. Ini tidak benar karena hanya menggambarkan sepihak saja, sedangkan jual beli adalah perjanjian timbal balik, baik penjual maupun pembeli sesuai dengan teori dan praktek hukum terdiri dari, yaitu: 68 a. Individu sebagai persoon atau manusia tertentu; 67 68
R. Setiawan, Loc. cit, hal. 5. M. Yahya, Segi-segi Hukum Perjanjian, (Bandung: Alumni, 1986), hal. 16.
Universitas Sumatera Utara
1) Natuurlijke persoon atau manusia tertentu. Subjek jual beli berupa orang atau manusia harus memenuhi syarat tertentu untuk dapat melakukan suatu perbuatan hukum secara sah. Seseorang harus cakap untuk melakukan tindakan hukum, tidak lemah pikirannya, tidak berada dibawah pengampuan atau perwalian. Apabila anak belum dewasa, orang tua aatau wali dari anak tersebut yang harus bertindak. 2) Rechts persoon atau badan hukum. Subjek jual beli yang merupakan badan hukum, dapat berupa kooperasi dan yayasan. Kooperasi adalah suatu gabungan orang yang dalam pergaulan hukum bertindak bersama-sama sebagai satu subjek hukum tersendiri. Sedangkan yayasan adalah suatu badan hukum dilahirkan oleh suatu pernyataan untuk suatu tujuan tertentu. Dalam pergaulan hukum, yayasan bertindak pendukung hak dan kewajiban tersendiri.
b. Persoon yang dapat diganti. Mengenai persoon kreditur yang dapat diganti, berarti kreditur yang menjadi subjek semula telah ditetapkan dalam perjanjian,sewaktu-waktu dapat diganti kedudukannya dengan kreditur baru. Perjanjian yang dapat diganti ini dapat dijumpai dalam bentuk perjanjian “aan order” atau perjanjian atas perintah. Demikian juga dalam perjanjian “aan tonder” atau perjanjian atas nama . 2. Objek Perjanjian Jual Beli Berdasarkan Pasal 1457 KUH Perdata yang menyatakan bahwa objek perjanjian jual beli adalah benda (zaak) atau menurut istilah lain merupakan suatu kebendaan dan hanya benda yang berada dalam perdagangan (Pasal 1332 KUH Perdata).
Universitas Sumatera Utara
Menurut Pasal 499 KUH Perdata kebendaan ialah tiap-tiap barang atau tiaptiap hak yang dapat dikuasai oleh hak milik, berarti bahwa yang menjadi objek jual beli tidak hanya barang-barang yang berwujud saja, tetapi juga benda-benda tak berwujud, misalnya suatu hak piutang, saham, perusahaan dagang atau dengan kata lain segala sesuatu yang bernilai harta kekayaan. Berdasarkan pasal tersebut, pengertian benda secara yuridis ialah segala sesuatu yang dapat menjadi object eigendom (hak milik). Penggolongan benda berdasarkan pasal tersebut dapat dibedakan menjadi benda berwujud dan tidak berwujud. Menurut Prof. Riduan Syahrani, dalam sistem KUH Perdata benda dapat dibedakan sebagai berikut: 69 a. Benda bergerak dan benda tak bergerak Benda tak bergerak dapat dilihat menurut sifatnya, tujuan pemakaiannya, dan menurut penetapan undang-undang. Benda tak bergerak menurut sifatnya dibagi menjadi 3 macam yaitu tanah, segala sesuatu yang bersatu dengan tanah karena tumbuh dan berakar secara bercabang, dan segala sesuatu yang bersatu dengan tanah karena didirikan diatas tanah itu yaitu karena tertanam dan terpaku. Benda tak bergerak menurut tujuan pemakaiannya misalnya mesinmesin dalam kolam, pada suatu perkebunan, dan barang reruntuhan dari suatu bangunan. Benda tak bergerak menurut penetapan undang-undang antara lain hak-hak atau penagihan mengenai suatu benda yang tak bergerak, kapal-kapal yang berukuran 20 meter kubik keatas. Benda bergerak ada 2 golongan yaitu benda yang menurut sifatnya dan benda menurut penetapan undang-undang. Benda bergerak menurut sifatnya dalam arti benda itu dapat berpindah atau
69
R. Syahrani, Op. cit, hal. 117-123
Universitas Sumatera Utara
dipindahkan dari suatu tempat ketempat yang lain. Benda bergerak menurut penetapan undang-undang adalah sgala hak atas benda bergerak. b. Benda yang musnah dan benda yang tetap ada Benda yang dapat musnah terletak pada kemusnahannya, misalnya barangbarang makanan dan minuman baru memebri manfaat bagi kesehatan. Benda yang tetap ada adalah benda-benda yang dalam pemakaiannya tidak mengakibatkan benda itu menjadi musnah, tetapi akan memberi manfaat bagi sipemakai. c. Benda yang dapat diganti dan benda yang tidak dapat diganti Mengenai benda yang dapat diganti dan tidak dapat diganti diatu secara tegas dalam Pasal 1694 KUH Perdata pengembalian barang oleh yang dititipi harus in natura artinya tidak boleh diganti dengan benda yang lain. d. Benda yang dapat dibagi dan benda yang tak dapat dibagi Benda yang dapat dibagi adalah benda yang apabila wujudnya dibagi tidak mengakibatkan hilangnya hakikat dari benda itu sendiri, misalnya beras, gula. Sedangkan benda yang tidak dapat diganti adalah benda yang apabila wujudnya dibagi mengakibatkan hilangnya hakikat dari benda itu, misalnya kuda, sapi. e. Benda yang diperdagangkan dan benda yang tak diperdagangkan Benda yang diperdagangkan adalah benda-benda yang dapat dijadikan objek (pokok) suatu perjanjian. sedangkan benda yang tak diperdagangkan adalah benda-benda yang tak dapat dijadikan sebagai objek suatu perjanjian Hukum benda yang termuat dalam Buku II KUH Perdata tersebut diatas adalah hukum yang mengatur hubungan antara seseorang dengan benda. Hubungan tersebut akan menimbulkan hak atas benda atau hak kebendaan, yakni hak yang
Universitas Sumatera Utara
memberikan kekuasaan langsung kepada seseorang yang berhak untuk menguasai sesuatu benda di dalam tangan siapapun juga benda itu berada. Hak kebendaan itu bersifat mutlak yang berarti bahwa hak seseorang atas benda itu dapat dipertahankan terhadap siapapun juga 70.
E. Akibat Hukum dari Perjanjian Jual Beli 1. Hak dan Kewajiban Pihak Penjual Menurut Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi, ketentuan umum mengenai perikatan untuk menyerahkan sesuatu (Pasal 1235 KUH Perdata), dan ketentuan yang diatur secara khusus dalam ketentuan jual-beli (Pasal 1474), penjual memiliki 3 (tiga) kewajiban pokok mulai dari sejak jual-beli terjadi menurut ketentuan Pasal 1458 KUH Perdata. Menurut ketentuan tersebut, secara prinsip penjual memiliki kewajiban untuk: 71 a. Memelihara dan merawat kebendaan yang akan diserahkan kepada pembeli hingga saat penyerahannya. b. Menyerahkan kebendaan yang dijual pada saat yang telah ditentukan, atau jika tidak telah ditentukan saatnya, atas permintaan pembeli. c. Menanggung kebendaan yang dijual tersebut. Dalam Pasal 1474 KUH Perdata menjelaskan bahwa, sebagai pihak penjual memiliki dua kewajiban penting dalam pelaksanaan perjanjian. Kewajiban tersebut adalah: menyerahkan suatu barang dan menanggungnya. Penyerahan (levering) adalah cara memperoleh hak milik karena adanya pemindahan hak milik dari seseorang yang berhak memindahkannya kepada orang lain yang memperoleh hak
70 71
Ibid, hal. 124. Gunawan Widjaja dkk, Jual Beli, Op. cit, hal. 127.
Universitas Sumatera Utara
milik itu. Cara memperoleh hak milik dengan penyerahan ini merupakan cara yang paling banyak dilakukan. Mengenai levering dari benda bergerak yang tidak berwujud berupa hak-hak puitang dibedakan atas 3 macam: 72 a. Levering dari surat piutang aan toonder (atas unjuk atau atas bawa), menurut Pasal 613 Ayat (3) KUH Perdata dilakukan dengan penyerahan surat itu. b. Levering dari surat piutang op naam (atas nama), menurut Pasal 613 Ayat (1) KUH Perdata dilakukan dengan cara membuat akta otentik atau di bawah tangan (yang dinamakan cessie). c. Levering dari piutang aan order (atas perintah), menurut Pasal 613 Ayat (3) KUH Perdata dilakukan dengan penyerahan surat itu disertai dengan endosemen. Mengenai penyerahan atau levering dalam KUH Perdata, menganut ‘sistem causal’ yaitu suatu sistem yang menggantungkan sahnya levering 73 itu pada dua syarat: 74 a. Penyerahan atau levering telah dilaksanakan oleh yang berhak berbuat bebas (beschikkingsbevoegd) terhadap orang yang di-levering. b. Sahnya titel dalam perjanjian jual beli yang menjadi dasar levering (penyerahan). Dari syarat tersebut di atas, khususnya sahnya titel yang menjadi dasar levering, dimaksudkan perjanjian obligator yang menjadi dasar levering tersebut. Adapun orang yang ‘berhak berbuat bebas’ adalah pemilik barang sendiri atau orang
72
Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung 2000, hal.145-146. 73 Levering adalah salah satu cara memperoleh hak milik atas sesuatu benda, di samping caracara lainnya yang telah diatur secara limitatif cara perolehan hak milik atas sesuatu benda tersebut 74 Gunawan Widjaja dkk, Jual Beli, Op. cit, hal. 128.
Universitas Sumatera Utara
yang dikuasakan olehnya. Orang-orang yang dapat berbuat itu adalah harus orangorang yang sungguh-sungguh berhak berbuat bebas terhadap harta kekayaannya,yakni bukan orang-orang yang ditaruh di bawah pengampuan atau orang-orang yang tidak sehat pikirannya, karena sebab-sebab lainnya ataupun pada diri orang-orang yang masih di bawah umur. Mengenai penanggungan terhadap suatu barang dan atau barang yang kondisinya rusak (cacat produk) lebih lanjut diatur dalam Pasal 1504 KUH Perdata, yang menyatakan bahwa: Si penjual diwajibkan menanggung terhadap cacat-cacat tersembunyi pada barang yang dijual, yang membuat barang itu tidak sanggup untuk pemakaian yang dinaksudkan, atau yang demikian mengurangi pemakaian itu sehingga, seandainya si pembeli mengetahui cacat-cacat itu, ia sama sekali tidak akan membeli barangnya, atau tidak akan membelinya selain dengan harga yang kurang. Maksud dari Pasal tersebut bahwa cacat yang membuat barang tersebut tidak dapat dipakai untuk keperluan yang dimaksud dan cacat tersebut tidak diketahui oleh pembeli secara normal atau wajar pada saat ditutupnya perjanjian, dalam hal ini perjanjian jual beli. Mengapa dikatakan sebagai cacat tersembunyi, karena cacat tersebut tidak mudah kelihatan apabila tidak dilihat secara jeli dan teliti. Tetapi apabila cacat yang dimaksud sudah terlihat sebelumnya, maka barang tersebut tentu bukan lagi disebut sebagai cacat tersembunyi, melainkan dikategorikan sebagai cacat yang nampak atau kelihatan. Menurut Yahya Harahap, cacat tersembunyi ialah cacat yang mengakibatkan kegunaan barang tidak sesuai lagi dengan tujuan pemakaian yang semestinya. 75 Pengertian cacat tersembunyi dapat dibedakan menjadi 2 (dua) pengertian, yaitu: a. Cacat tersembunyi positif. Maksudnya adalah apabila cacat barang itu tidak diberitahukan oleh penjual kepada pembeli atau pembeli sendiri tidak melihat atau mengetahui bahwa 75
M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Op. cit, hal. 198.
Universitas Sumatera Utara
barang tersebut cacat, maka terhadap cacat tersebut penjual berkewajiban untuk menanggungnya. Tentang cacat tersembunyi positif, lebih lanjut diatur dalam Pasal 1504 sampai dengan Pasal 1510 KUH Perdata. Dalam hal ini menurut Pasal 1504 KUH Perdata bila dikaitkan dengan Pasal 1506 KUH Perdata, dapat dikatakan bahwa penjual harus bertanggung jawab apabila barang tersebut mengandung cacat tersembunyi, lepas dari penjual mengetahui adanya cacat atau tidak melihat, kecuali jika dalam hal yang sedemikian telah meminta diperjanjikan bahwa ia tidak diwajibkan menanggung sesuatu apapun. b. Cacat tersembunyi negatif. Apabila cacat terhadap suatu barang sebelumnya sudah diberitahukan oleh penjual kepada pembeli, dan dalam masalah ini pembeli benar-benar sudah melihat adanya cacat terhadap barang tersebut, maka pembeli sendiri yang akan menanggungnya. Dalam hal ada tidaknya cacat tersembunyi yang diderita oleh suatu barang sangat perlu diadakan suatu pembuktian. Untuk itu perlu dilihat mengenai apa, bagaimana, serta siapa yang dibebani tugas pembuktian. Pertama-tama diperingatkan, bahwa dalam pemeriksaan di depan hakim hanyalah hal-hal yang dibantah saja oleh pihak lawan yang harus dibuktikan. Hal-hal yang diakui kebenarannya, sehingga antara kedua pihak yang berperkara tidak ada perselisihan, tidak usah dibuktikan. Oleh karena itu, sebenarnya tidak tepat bila Undang-Undang menganggap “pengakuan“ juga sebagai suatu alat pembuktian. 76 Sebab hal-hal yang diakui kebenarannya, oleh hakim harus dianggap terang dan nyata, dengan membebaskan penggugat untuk
76
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Op. cit, hal. 177.
Universitas Sumatera Utara
mengadakan suatu pembuktian. Juga hal-hal yang dapat dikatakan sudah diketahui oleh setiap orang atau hal-hal yang secara kebetulan sudah diketahui sendiri oleh hakim, tidak perlu dibuktikan. 77 Sebagai pedoman, diberikan oleh Pasal 1865 Kitab UndangUndang Hukum Perdata, bahwa: Barang siapa mengajukan peristiwa-peristiwa atas nama ia mendasarkan suatu hak, diwajibkan membuktikan peristiwa-peristiwa itu; sebaliknya barang siapa mengajukan peristiwa-peristiwa guna pembantahan hak orang lain, diwajibkan pula membuktikan peristiwa itu. Untuk itu siapa yang mengajukan suatu hak yang menunjuk pada suatu peristiwa, harus memberikan pembuktian; sebaliknya barang siapa yang membantah suatu hak, dia juga harus membuktikan sehingga tidak hanya menyatakan pihak lawan yang salah, tetapi jika dia benar juga harus membuktikan kebenarannya. Dalam suatu perjanjian jual beli apabila pihak pembeli menuntut berdasarkan cacat tersembunyi, maka pihak pembeli harus dapat membuktikan tentang adanya cacat tersebut kepada penjual, dengan alasan karena hak pihak pembeli adalah untuk mendapatkan barang tanpa cacat. Memang dalam kenyataannya, pihak pembelilah yang diberi beban untuk membuktikan. Mengenai apa saja yang harus dibuktikan apabila barang tersebut ternyata mengandung cacat tersembunyi, sekali lagi bila mengacu pada Pasal 1504 KUH Perdata, hal-hal yang perlu diperhatikan adalah cacat yang dimaksud sudah ada sebelum ditutupnya perjanjian, dan kedua belah pihak tidak mengetahui adanya cacat yang terkandung pada barang tersebut. Apabila barang tersebut tidak dapat digunakan sesuai dengan tujuannya atau mengurangi pemakaiannya, maka sudah sepatutnya pembeli memberikan tuntutan kepada pihak penjual untuk menanggung atas keadaan
77
Ibid
Universitas Sumatera Utara
barang yang dijualnya. Walaupun pihak penjual tidak bersalah, namun ia tetap diwajibkan untuk menanggung kerugian yang diderita oleh pihak pembeli. Kewajiban penjual adalah untuk memelihara dan merawat kebendaan dan merupakan kewajiban yang dibebankan berdasarkan ketentuan umum mengenai perikatan untuk menyerahkan atau memberikan sesuatu sebagaimana diatur dalam Pasal 1235 KUH Perdata; Dalam tiap-tiap perikatan umtuk memberikan sesuatu adalah termaktub kewajiban untuk menyerahkan kebendaan yang bersangkutan dan untuk merawatnya sebagai seorang kepala rumah tangga yang baik, sampai saat penyerahan. Kewajiban yang terakhir ini adalah kurang atau lebih luas terhadap persetujuan-persetujuan tertentu, yang akibat-akibatnya mengenai hal ini akan ditunjuk dalam bab-bab yang bersangkutan. 2. Hak dan Kewajiban Pihak Pembeli Kewajiban utama pihak pembeli menurut Pasal 1513 KUH Perdata adalah membayar harga pembelian pada waktu dan ditempat sebagaimana ditetapkan menurut perjanjian. Jika pada waktu membuat perjanjian tidak ditetapkan tentang itu, si pembeli harus membayar ditempat dan pada waktu dimana penyerahan harus dilakukan (Pasal 1514 KUH Perdata). Menurut Pasal 1515 KUH Perdata, meskipun pembeli tidak ada suatu janji yang tegas, diwajibkan membayar bunga dari harga pembelian, jika barang yang dijual dan diserahkan memberi hasil atau lain pendapatan. Sedangkan yang menjadi hak pembeli adalah menuntut penyerahan barang yang telah dibelinya dari si penjual. Penyerahan tersebut, oleh penjual kepada pembeli menerut ketentuan Pasal 1459 KUH Perdata merupakan cara peralihan hak milik dari kebendaan yang dijual tersebut.
F. Perjanjian Jual Beli Tanah 1. Perjanjian Jual Beli Tanah
Universitas Sumatera Utara
Perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu. 78 Perjanjian adalah sumber dari perikatan (hubungan hukum). Perikatan dalam hal ini merupakan suatu tahap awal yang mendasari terjadinya jual beli. Perikatan jual-beli menunjukkan bahwa dari satu pihak perbuatan dinamakan menjual, sedangkan dari pihak yang lain dinamakan membeli. Istilah yang mencakup dua perbuatan yang bertimbal-balik itu adalah sesuai dengan istilah Belanda “koopenverkoop” yang juga mengandung pengertian bahwa pihak yang satu “verkoopt” (menjual) sedang yang lainnya “koopt” (membeli). Dalam bahasa Inggris jual-beli disebut dengan hanya “sale” saja yang berarti “penjualan” (hanya dilihat dari sudutnya si penjual), begitu pula dalam bahasa Perancis disebut hanya dengan “vente” yang juga berarti “penjualan”, sedangkan dalam bahasa Jerman dipakainya perkataan “kauf’ yang berarti “pembelian”. 79 Sesuai dengan asas “konsensualisme” yang menjiwai hukum perjanjian KUHPerdata, perjanjian jual-beli itu sudah dilahirkan pada detik tercapainya “sepakat” mengenai barang dan harga, begitu kedua belah pihak sudah setuju tentang barang dan harga, maka lahirlah perjanjian jual-beli yang sah. Sifat konsensual dari jual-beli tersebut ditegaskan dalam Pasal 1458 KUHPerdata yang berbunyi: “Jual-beli dianggap sudah terjadi antara kedua belah pihak seketika setelah mereka mencapai sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar”. Suatu perjanjian jual beli tanah yang dibuat oleh para pihak sebelumnya baru merupakan pengikatan untuk kemudian melakukuan perjanjian jual beli di hadapan
78
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Perjanjian, (Bandung: Sumur Bandung, 1973),
79
Ibid, hal. 20
hal. 19.
Universitas Sumatera Utara
notaris, dengan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 orang saksi yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku memenuhi syarat untuk bertindak sebagai saksi dalam suatu perbuatan hukum, yang memberi kesaksian antara lain mengenai kehadiran para pihak atau kuasanya, keberadaan dokumendokumen yang ditunjukkan dalam pembuatan akta, dan telah dilaksanakannya perbuatan hukum tersebut oleh para pihak yang bersangkutan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala BPN Nomor 03 Tahun 1997 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (Permen Agraria No. 03 Tahun 1997). Maksud dibuatnya perjanjian pengikatan jual beli ini disini disebabkan beberapa hal antara lain: 80 a. Sertifikat belum terbit atas nama pihak penjual, dan masih dalam proses di Kantor Pertanahan. b. Sertifikat belum atas nama pihak penjual, dan masih dalam proses balik nama keatas nama pihak penjual. c. Sertifikat sudah ada dan sudah atas nama pihak penjual tapi harga jual beli yang telah disepakati belum semuanya dibayar oleh pihak pembeli kepada pihak penjual. d. Sertifikat sudah ada, sudah atas nama pihak penjual dan harga sudah dibayar lunas oleh pihak pernbeli kepada pihak penjual, tetapi pelunasan belum terjadi. e. Sertifikat pernah dijadikan sebagai jaminan di Bank dan masih belum dilakukan roya. Dari beberapa sebab tersebut di atas, dapatlah digolongkan menjadi 3 (tiga) golongan, yaitu: 81
80
R. Subekti, Hukum Perjanjian, Op. cit, hal. 80.
Universitas Sumatera Utara
a. Pembayaran oleh pihak pembeli kepada pihak penjual telah lunas, tetapi syarat-syarat formal belum lengkap, misalnya sertifikat masih dalam proses penerbitan ke atas nama pihak penjual. b. Pembayaran atas obyek jual beli dilakukan dengan angsuran, tetapi syaratsyarat formal sudah lengkap. c. Pembayaran atas obyek jual beli dilakukan dengan angsuran karena syarat formal belum terpenuhi. Dengan adanya beberapa sebab tersebut, maka untuk mengamankan kepentingan penjual dan pembeli dan kemungkinan terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan misalnya terjadi ingkar janji dari para pihak, diperlukan adanya suatu pegangan atau pedoman. Demikian ini yang membedakan penjualan yang dilakukan dengan membuat suatu akta notariil Perjanjian Pengikatan Jual Beli dengan suatu sistem penjualan menurut hukum tanah Nasional. Dimana jual beli menurut hukum tanah nasional yang bersumber pada hukum adat mengandung asas tunai, terang dan riil atau nyata, sedangkan jual beli yang dimaksudkan dalam perjanjian pengikatan jual beli itu hanya obligatoir saja. 82 Sejak diundangkannya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) pada tanggal 24 September 1960 yang menghapuskan dualisme hukum tanah di Indonesia, pengertian jual beli tidak sama dengan pengertian jual beli tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1457 dan Pasal 1458 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Boedi Harsono juga menyebutkan bahwa, sebelum berlakunya UndangUndang Pokok Agraria (UUPA) dikenal lembaga hukum jual beli tanah. Ada yang diatur dalam KUH Perdata yang tertulis dan ada yang diatur oleh hukum adat yang
81
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia (Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya), (Jakarta: Djambatan, 1999), hal. 319. 82 R. Subekti, Hukum Perjanjian, Op. cit, hal. 85
Universitas Sumatera Utara
tidak tertulis. 83 Tujuan pokok diundangkannya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan umum Undang-Undang Pokok Agraria adalah: 84 a. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan Hukum Agraria nasional yang akan merupakan
alat
untuk
membawakan
kemakmuran
kebahagiaan
dan
kesejahteraan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani dalam rangka mewujudkan terciptanya masyarakat Indonesia yang adil dan makmur. b. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan. c. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hakhak atas tanah bagi rakyat seluruhnya. Dengan demikian menurut Hukum Adat yang merupakan dasar dari hukum tanah Nasional yang berlaku pada saat ini sebagaimana termuat dalam UndangUndang Pokok Agraria (UUPA), peralihan hak atas tanah yang menjadi obyek jual beli telah terjadi sejak ditanda tanganinya akta jual beli di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang berwenang dan dibayarnya harga oleh pembeli kepada penjual. Sejak akta jual beli ditandatangani di depan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang berwenang, hak milik atas tanah yang dijual beralih kepada pembeli. Hal ini terjadi bagi jual beli tanah di bawah tangan yang dilakukan di hadapan kepala desa. 2. Penyerahan hak atas tanah melalui jual beli
83
Boedi Harsono dalam Effendi Perangin, Hukum Agraria Indonesia, Suatu Telaah Dari Sudut Pandang Praktisi Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994), hal. 15 84 Mudjiono, Politik dan Hukum Agraria, (Yogyakarta: Liberty, 1997), hal. 22
Universitas Sumatera Utara
Perjanjian jual beli dilakukan dengan akta yang dibuat oleh notaris sekaligus juga merupakan penyerahan hak atas tanah dari penjual kepada pembeli, karena itu penjual hanya akan bersedia menandatangani akta jual beli notaris jika pembayaran atas tanah yang dijualnya itu telah dibayar sepenuhnya. Dalam hukum pertanahan dikenal bahwa semua perjanjian jual beli tanah dilakukuan secara terang dan tunai dalam arti, penyerahan dan pembayaran jual beli tanah dilakukan pada saat yang bersamaan (tunai) di hadapan seorang pejabat notaris. 85 Berbeda dengan perjanjian jual beli atas benda lainnya, dalam jual beli tanah terdapat kewajibannya bagi pembeli untuk menyempurnakan penyerahan hak atas tanah itu melalui pendaftaran tanah. Apabila tidak dilakukan, konsekuensinya bisa kehilangan hak atas tanahnya itu atau setidaknya, negara belum mengakui haknya atas tanah yang dibelinya itu dengan cara-cara menurut peraturan perundang-undangan yang pada intinya sebagai berikut: 86 a. Apabila tanah yang dibelinya itu sudah bersertifikat maka dokumen-dokumen yang harus dilengkapi terdiri dari: 1) Surat permohonan pendaftaran peralihan hak yang ditandatangani oleh penerima hak atau kuasanya yang dilengkapi dengan surat kuasa tertulis 2) Akta jual beli yang dibuat oleh notaris/ PPAT 3) Bukti identitas atas nama pihak yang mengalihkan hak dan penerima hak 4) Sertifikat hak atas tanah yang dibelinya 5) Bukti pelunasan pembayaran bea perolehan hak atas tanah dan bangunan dan pembayaran PPh b. Apabila tanah yang dibelinya itu belum terdaftar, selain dokumen-dokumen tersebut di atas harus dilengkapi dengan bukti kepemilikan tanah baik berupa 85 86
Gunawan Widjaya dan Kartini Mulyadi, Jual Beli, Op. cit, hal. 87. Badan Pertanahan Nasional, Op. cit, hal. 103-106
Universitas Sumatera Utara
hak atas tanah bekas milik adat atau hak-hak lama sebagai pengganti sertifikat yang belum ada dan keterangan dari kepala desa/ lurah untuk memperkuat kebenaran bukti hak kepemilikan tersebut.
G. Kekuatan Hukum Dari Akta Jual Beli Hak Atas Tanah Yang Dibuat Oleh PPAT Akta PPAT adalah akta otentik, hal ini ditegaskan oleh Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Sebagai akta otentik, terhadap akta PPAT berlaku ketentuan-ketentuan tentang syarat-syarat dan tata cara pembuatan akta otentik. Bentuk akta otentik ditentukan oleh undang-undang, sedangkan pejabat yang dapat membuatnya tidak dapat dihindarkan agar berbobot yang sama harus pula ditentukan oleh undang-undang atau peraturan perundang-undangan setingkat dengan undangundang. 87 Akta PPAT sebagaimana halnya dengan akta Notaris, sama-sama sebagai akta otentik. Akta otentik sendiri sebagaimana dikemukakan oleh C.A. Kraan di dalam disertasinya, De Authentieke Akte (Amsterdam 20 Januari 1984) mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: 88 1. Suatu tulisan yang dengan sengaja dibuat semata-mata untuk dijadikan bukti atau suatu bukti dari keadaan sebagaimana disebutkan dalam tulisan dibuat dan dinyatakan oleh pejabat yang berwenang. Tulisan tersebut turut ditandatangani oleh atau hanya ditandatangani oleh pejabat yang bersangkutan saja.
87
Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2007), hal. 59. 88 Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2007), hal. 214.
Universitas Sumatera Utara
2. Tulisan sampai ada bukti sebaliknya, dianggap berasal dari pejabat yang berwenang. 3. Ketentuan perundang-undangan yang harus dipenuhi: ketentuan tersebut mengatur tata cara pembuatannya (sekurang-kurangnya memuat ketentuanketentuan mengenai tanggal, tempat dibuatnya akta suatu tulisan, nama dan kedudukan/jabatan pejabat yang membuatnya dan data di mana dapat diketahui mengenai hal-hal tersebut. 4. Seorang pejabat yang diangkat oleh negara dan mempunyai sifat dan pekerjaan yang mandiri (onafhankelijk-independence) serta tidak memihak (onpartijd-impartial) dalam menjalankan jabatannya sesuai dengan ketentuan Pasal 1868 KUHPerd. 5. Pernyataan dari fakta atau tindakan yang disebutkan oleh pejabat adalah hubungan hukum di dalam bidang hukum privat. Sebagai akta otentik, akta PPAT sebagai alat bukti yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dapat terdegradasi kekuatan pembuktian menjadi seperti akta di bawah tangan. Degradasi kekuatan bukti akta otentik menjadi kekuatan bukti dibawah tangan, dan cacat yuridis akta otentik yang mengakibatkan akta otentik dapat dibatalkan atau batal demi hukum atau non existent, terjadi jika ada pelanggaran terhadap ketentuan perundangundangan yaitu: 89
1. Pasal 1869 KUH.perdata, yang berbunyi: Suatu akta yang karena tidak berkuasa atau tidak cakapnya pegawai termaksud diatas atau karena suatu cacat dalam bentuknya, tidaklah dapat diberlakukan
89
Pieter Latumeten, Kongres XX Ikatan Notaris Indonesia Kebatatan dan Degradasi Kekuatan Bukti Akta Notaris Serta Model Aktanya, (Surabaya: 28 Januari 2009), hal. 2.
Universitas Sumatera Utara
sebagai akta otentik, namun demikian mempunyai kekuatan sebagai akta dibawah tangan jika ditandatangani oleh para pihak. Pasal ini memuat ketentuan, bahwa suatu akta tidak memiliki kekuatan bukti otentik dan hanya memiliki kekuatan bukti dibawah tangan dalam hal: a. Pejabat Umum tidak berwenang untuk membuat akta itu; b. Pejabat umum tidak mampu (tidak cakap) untuk membuat akta itu; c. Cacat dalam bentuknya. 2. Pasal 1320 KUHPerdata, Yang mengemukakan untuk sahnya suatu perjanjian harus dipenuhi syarat yaitu a. sepakat mereka yang mengikatkan diri; b. kecakapan membuat suatu perjanijan; c. suatu hal tertentu dan d. kausa yang halal. Syarat a dan b merupakan syarat subyektif karena mengenai orang-orang atau subyek yang mengadakan perijanjian dan jika syarat subyektif dilanggar maka aktanya dapat dibataikan, sedangan syarat c dan d merupakan syarat obyektif karena mengenai isi perjanjian dan jika syarat obyektif dilanggar maka aktanya batal demi hukum. 3. Menurut Herlien Budiono sebab-sebab kebatalan mencakup ketidakcakapan, ketidakwenangan,
bentuk
perjanjian
yang
ditanggar,
isi
perjanjian
bertentangan dengan undang-undang, pelaksanaan perjanjian bertentangan dengan undang-undang, motivasi membuat perjanjian bertentangan dengan undang-undang, perjanjian bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan baik, cacat kehendak dan penyalahgunaan keadaan.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Boedi Harsono, akta PPAT berfungsi sebagai alat pembuktian mengenai benar sudah dilakukannya jual beli. Jual beli tersebut masih dapat dibuktikan dengan alat pembuktian yang lain. Akan tetapi, dalam sistem pendaftaran tanah menurut Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah (yang sekarang sudah disempurnakan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah), pendaftaran jual beli itu hanya dapat (boleh) dilakukan dengan akta PPAT sebagai buktinya. Orang yang melakukan jual beli tanpa dibuktikan dengan akta PPAT tidak akan dapat memperoleh sertipikat, biarpun jual belinya sah menurut hukum. 90 Peralihan hak atas tanah yang tidak dilakukan di hadapan PPAT memang tidak ada sanksinya bagi para pihak, namun para pihak akan menemui kesulitan praktis yakni penerima hak tidak akan dapat mendaftarkan peralihan haknya sehingga tidak akan mendapatkan sertipikat atas namanya. Oleh karena itu, jalan yang dapat ditempuh adalah mengulangi prosedur peralihan haknya di hadapan PPAT. Tetapi, cara ini tergantung dari kemauan para pihak. Kesulitan akan timbul manakala pihak pertama atau ahli warisnya menolak atau telah pindah ke tempat lain sehingga pengulangan perbuatan hukum peralihannya tidak dapat dilakukan. 91 Demikian juga pemahaman Mahkamah Agung dalam Putusannya Nomor 952/K/Sip/1974 bahwa jual beli adalah sah apabila telah memenuhi syarat-syarat dalam KUHPerdata, atau hukum jual beli dilakukan menurut hukum adat secara riil dan kontan diketahui oleh Kepala Kampung (Adat), maka syarat-syarat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah (yang sekarang sudah disempurnakan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
90
Boedi Harsono, Op. cit, hal. 52 J. Kartini Soedjendro, Perjanjian Peralihan Hak Atas Tanah Yang Berpotensi Konflik, (Yogyakarta: 2001, Kanisius), hal. 73. 91
Universitas Sumatera Utara
tentang Pendaftaran Tanah) tidak mengenyampingkan syarat-syarat untuk jual beli dalam KUHPerdata dan Hukum Adat, melainkan hanya merupakan syarat bagi pejabat agraria. Ini terkait dengan pandangan hukum adat, di mana dengan telah terjadinya jual beli antara penjual dan pembeli yang diketahui oleh Kepala Kampung (Adat) yang bersangkutan dan dihadiri oleh dua orang saksi, serta diterimanya harga pemberian oleh penjual, maka jual beli itu sudah sah menurut hukum, sekalipun belum dilaksanakan di hadapan PPAT. 92 Akta PPAT terkait dengan keperluan penyerahan secara yuridis (juridische levering) disamping penyerahan nyata (feitelijk levering). Kewajiban menyerahkan surat bukti milik atas tanah yang dijual sangat penting, karena itu Pasal 1482 KUHPerdata menyatakan: “Kewajiban menyerahkan suatu barang meliputi segala sesuatu yang menjadi perlengkapannya serta dimaksudkan bagi pemakaiannya yang tetap, beserta surat-surat bukti milik, jika itu ada”. Jadi penyerahan suatu bidang tanah meliputi penyerahan sertipikatnya. 93 Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, peralihan tanah dan benda-benda yang ada di atasnya dilakukan dengan dilakukan dengan akta PPAT. Pengalihan tanah dari pemilik kepada penerima disertai dengan penyerahan yuridis (juridische levering), yaitu penyerahan yang harus memenuhi formalitas undang-undang, meliputi pemenuhan syarat; dilakukan melalui prosedur telah ditetapkan; menggunakan dokumen; dibuat oleh/di hadapan PPAT. 94 Tata cara terbitnya akta PPAT sebagai akta otentik sangatlah menentukan, karenanya apabila pihak yang berkepentingan dapat membuktikan adanya cacat dalam
92
Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal. 83. Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal. 83. 94 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Harta Kekayaan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994), hal. 55‐56. 93
Universitas Sumatera Utara
bentuknya karena adanya kesalahan atau ketidaksesuaian dalam tata cara pembuatannya maka akan mengakibatkan timbulnya risiko bagi kepastian hak yang timbul atau tercatat atas dasar akta tersebut.
Universitas Sumatera Utara