BAB II KEDUDUKAN DAN PERANAN PENJAMINAN BUY BACK GUARANTIE DALAM TRANSAKSI JUAL BELI UNIT PERUMAHAN DENGAN FASILITAS KPR
A. Pengertian Buy Back Guarantie Buy Back Guarantie berasal dari bahasa Inggris atau lebih dikenal dengan nama Buy back Guarantee yang terdiri dari 2 (dua) suku kata yang jika digabungkan, secara harafiah berarti jaminan membeli kembali. Menurut Webster Dictionary buy back memiliki 3 (tiga) pengertian sebagai berikut :33 “An agreement to buy something in return, as by a supplier to buy its customer’s product; A sale whereby something sold is repurchased from the buyer by the seller or original owner; Finance the buying by a corporation of its own stock in the open market ini order to reduce the number of outstanding shares.” Menurut Black’s Law Dictionary guarantie berarti:34 “The assurance that a contract or legal act will be duly carried out; Guaranty; Something given or existing as security, such as to fulfill a future engagement or a condition subsequent; One to whom a guaranty is made.” Pengertian buy back yang kedua dari Webster Dictionary lebih mendekati dengan konsep buy back dalam tesis ini. Sedangkan guarantie dapat berarti penjamin 33
Victoria Neufeldt dan David B. Guralnik, Ed., Webster’s New World College Dictionary (Revised and Update), Cet.3, (USA: Mac.Millan, 1995), hal.191 dan hal.598. 34 Bryan A. Gardner, Editor in Chief, Black’s Law Dictionary, Cet.7, (USA: West Group, 1999), hal.711.
22
Universitas Sumatera Utara
23
atau jaminan. Dalam transaksi perdagangan umum di masyarakat buy back guarantie untuk mengkondisikan adanya jaminan dari penjual untuk membeli kembali barang yang telah dibeli pembeli atau konsumen apabila terjadi kondisi-kondisi tertentu. B. Latar Belakang Buy Back Guarantie Munculnya perjanjian buy back guarantie ini di dalam praktik hukum jaminan merupakan konsekuensi dari sifat terbukanya hukum perikatan pada Buku III BW yang di dalam Pasal 1338 ayat (1) BW dianut prinsip kebebasan berkontrak (freedom of contract), yang memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada setiap orang atau badan hukum untuk membuat dan menentukan sendiri kontraknya, sepanjang tidak bertentangan dengan perundang-undangan, kesusilaan dan ketertiban umum yang berlaku.35 Sistem terbuka yang dimiliki Hukum Perjanjian telah memberikan kebebasan sedemikian rupa sehingga setiap orang berhak dan bebas untuk membuat atau mengadakan perjanjian yang segala sesuatunya sesuai dengan kehendak para pihak yang membuat. Untuk itu terbuka kebebasan yang seluas-luasnya (beginsel der contractsvrijheid) untuk mengatur dan menentukan isi suatu perjanjian, asalkan tidak melanggar Undang-Undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Bahkan dimungkinkan untuk mengatur sesuatu hal dengan cara yang berbeda atau menyimpang dari
35
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1337.
Universitas Sumatera Utara
24
ketentuan yang telah diatur yang terdapat di dalam pasal-pasal hukum perjanjian (KUHPerdata).36 Prinsip kebebasan berkontrak ini kemudian mendasari lembaga perbankan dalam menerapkan prinsip prudential banking (prinsip kehati-hatian) pada pengikatan kredit dan jaminan, sehingga perbankan memerlukan suatu alternatif lembaga penjaminan yang dianggap lebih cepat dan efisien untuk menyelesaikan kredit bermasalah atau macet dalam hal terjadi wanprestasi, selain dari penggunaan pranatapranata hukum jaminan yang telah ada dan bersifat eksekutorial.37 Menurut ketentuan Pasal 2 ayat 1 Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 23/69/KEP/DIR tanggal 28 Februari 1991 tentang Jaminan Pemberian Kredit, bahwa yang dimaksud jaminan adalah suatu keyakinan bank atas kesanggupan debitor untuk melunasi kredit sesuai dengan yang diperjanjikan. Dalam pelaksanaan praktek perkreditan jaminan ini dirasa kurang memuaskan kreditor, kurang menimbulkan rasa aman dan terjamin bagi pelunasan kredit yang diberikan. Karena itulah secara kebiasaan muncul suatu bentuk lembaga penjaminan buy back guarantie. Dalam kedudukannya sebagai alternatif lembaga penjaminan dari berbagai bentuk penjaminan yang ada dan dikenal di dalam sistem hukum jaminan seperti hak tanggungan, fidusia, hipotek dan penanggungan, maka buy back guarantie 36
G. Rai Widjaya, Merancang Suatu Kontrak, (Jakarta: Kesaint Blanc, 2003), hal.33. Ariadin Nadjamuddin, “Aspek Hukum Akta Buy Back Guarantee dan Implikasinya Bagi Lembaga Perbankan”, Jurnal Penelitian Hukum, Volume 1 Nomor 3, Mei 2012, hal.412. 37
Universitas Sumatera Utara
25
seharusnya pula dapat memberi kontribusi sesuai maksud diadakannya pranata hukum penjaminan tersebut, yaitu sebagai instrumen hukum yang dapat memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi para pihak dalam hal terjadi wanprestasi.38 Perjanjian penjaminan dengan buy back guarantie ini pada awalnya banyak digunakan dalam pembelian unit kendaraan bermotor (mobil). Jaminan ini biasanya diberikan oleh pihak dealer (selaku penjual) kepada user (selaku pembeli) dengan maksud untuk meningkatkan omset penjualan, sekaligus sebagai jaminan kualitas produk yang akan dibeli konsumen. Bentuk jaminan ini kemudian berkembang pada sektor property yang banyak digunakan pada pembelian unit rumah dan unit tanah dan bangunan rumah yang pembangunannya dibiayai oleh bank dengan fasilitas pinjaman/kredit konstruksi. Cara pembayaran atas pembelian unit tersebut dengan menggunakan fasilitas pinjaman/kredit dari lembaga perbankan, baik dalam bentuk fasilitas kredit pemilikan mobil (KPM), kredit pemilikan apartemen (KPA), maupun kredit pemilikan rumah (KPR).39 Dalam konteks tersebut, developer, konsumen/user dan bank telah terjadi hubungan hukum satu sama lain yang harus tunduk pada ketentuan-ketentuan sebagaimana diatur di dalam Pasal 1457-1518 KUHPerdata dan beberapa ketentuan hukum penjaminan, baik yang diatur di dalam KUHPerdata maupun yang tersebar di berbagai ketentuan perundang-undangan hukum jaminan. Hubungan hukum tersebut
38 39
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1238 dan Pasal 1338. Ariadin Nadjamuddin, Op.Cit., hal. 416
Universitas Sumatera Utara
26
harus dilaksanakan secara jujur dan adil serta memperhatikan keseimbangan hak dan kewajiban para pihak. Perjanjian buy back guarantie pada awalnya sama sekali tidak dikenal di dalam praktek hukum jaminan pada lembaga perbankan, baik untuk jaminan benda bergerak maupun jaminan benda tidak bergerak, baik sebelum maupun pasca berlakunya Undang-Undang nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan dan Undang-Undang nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, oleh karena ketentuan-ketentuaan normatif hukum jaminan yang diatur di dalam KUHPerdata dan kedua undang-undang di atas dianggap telah merepresentasikan kepentingan kreditor atas pengikatan kedua bentuk jaminan kredit tersebut.40 Demikian pula untuk jaminan perorangan telah banyak digunakan lembaga jaminan penanggungan (borgtocht), baik dalam bentuk personal guarantie (jaminan perorangan) maupun corporate guarantie (jaminan badan hukum) sebagaimana diatur dalam Pasal 1820-1850 KUHPerdata. Kemudian dalam perkembangan praktek hukum penjaminan khususnya di lembaga perbankan, yang meskipun telah dilakukan pengikatan jaminan secara sempurna oleh Notaris dan atau Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) sesuai peraturan perundang-undangan yang terkait hukum jaminan dengan muatan eksekutorial, namun lembaga perbankan masih menghendaki adanya alternatif
40
Ibid., hal.415.
Universitas Sumatera Utara
27
lembaga penjaminan yang dianggap lebih efektif dan efisien meskipun tidak memiliki kekuatan eksekutorial dalam hal terjadi wanprestasi. Hal tersebut kemudian melatarbelakangi lembaga perbankan untuk meminta alternatif penjaminan kepada pihak ketiga sebagai penjamin atau penanggung, jika dikemudian hari debitor wanprestasi untuk melaksanakan kewajiban berdasarkan perjanjian kredit, maka penjamin berdasarkan perjanjian buy back guarantie yang harus melaksanakan kewajiban tersebut untuk membeli kembali objek jaminan debitor, baik berupa jaminan benda bergerak maupun jaminan benda tidak bergerak. Peran penjamin dalam perjanjian buy back guarantie pada konteks ini bukan sebagai penanggung utang debitor sebagaimana dikenal di dalam borgtocht, tetapi bertindak sebagai penanggung untuk membeli kembali objek jaminan dari kreditor atas barang/benda yang pernah dijual kepada debitor yang pembayarannya melalui fasilitas kredit/pinjaman dari kreditor. Penjaminan buy back guarantie saat ini banyak digunakan pada pemberian fasilitas Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Lembaga penjaminan ini terjadi oleh karena proyek (bangunan rumah atau rumah) yang dibiayai oleh bank masih dalam proses pembangunan oleh developer, sertifikat belum selesai didaftarkan haknya atas nama developer (masih dalam proses pengurusan pada kantor pertanahan), sehingga belum dapat dilakukan penandatanganan akta jual beli atas nama pembeli, sedangkan bangunan rumah atau rumah sudah mau dijaminkan ke bank. Dalam kondisi seperti ini bank akan menerima jaminan tersebut, meskipun pengikatan jaminan belum dapat dilakukan dengan sempurna, yaitu membebankan objek jaminan dengan hak
Universitas Sumatera Utara
28
tanggungan. Olehnya itu, diperlukan suatu bentuk ikatan antara bank dengan developer berupa buy back guarantie, sebagai upaya untuk melindungi kepentingan kreditor/ Bank.41 Meskipun tidak ada ketentuan-ketentuan yang secara khusus mengaturnya dibandingkan dengan bentuk perjanjian penjaminan yang telah ada dan lazim dikenal dalam sistem hukum jaminan, namun buy back guarantie telah berkembang dan menjadi salah satu syarat dilakukannya pencairan kredit, utamanya fasilitas KPR. Menurut Legal Bank Bukopin cabang Medan, bahwa tanpa adanya buy back guarantie dari developer selaku penjamin, bank tidak akan mencairkan fasilitas KPR debitor ke rekening developer, oleh karena hal tersebut mutlak harus dipenuhi dan menjadi syarat dalam memo persetujuan kredit dari tim komite kredit. Pencairan KPR tanpa adanya penjaminan buy back guarantie merupakan salah satu pelanggaran dari prosedur standar pengikatan jaminan perbankan pada Bank Bukopin cabang Medan.42 Ketentuan di atas tentu saja tidak dapat diterapkan di dalam lembaga buy back guarantie meskipun penjamin telah melaksanakan kewajiban berdasarkan akta buy back guarantie. Hal ini disebabkan karena objek penjaminan di dalam buy back guarantie berbeda dengan objek penjaminan pada perjanjian borgtocht. Pada buy back guarantie objek penjaminan adalah barang/benda jaminan debitor, bukan utang
41
Hasil wawancara dengan Akbar Yudha Dewanto, Legal Officer PT. Bank Bukopin Tbk Cabang Medan, tanggal 10 Januari 2014 42 Hasil wawancara dengan Akbar Yudha Dewanto, Legal Officer PT. Bank Bukopin Tbk Cabang Medan, tanggal 10 Januari 2014
Universitas Sumatera Utara
29
debitor, sedangkan pada borgtocht objeknya adalah utang debitor yang dijamin pelunasannya oleh penanggung. Demikian pula di dalam Pasal 1840 KUHPerdata diatur bahwa penanggung yang telah membayar lunas utangnya, demi hukum menggantikan kreditor dengan segala haknya terhadap debitor semula. Sehingga, meskipun penjamin telah melaksanakan kewajiban sesuai ketentuan buy back guarantie namun tidak serta merta mengakibatkan atau memberikan hak kepada penjamin untuk menggantikan posisi kreditor utama. Hal ini sering dikenal dengan subrogasi sebagaimana diatur di dalam Pasal 1400 KUHPerdata. Perjanjian buy back guarantie tidak terbentuk dalam satu perjanjian tersendiri, tetapi hanya merupakan perjanjian ikutan atau accesoir dari suatu perjanjian kredit. Buy back guarantie terdapat dalam suatu Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara bank dengan developer. Di dalam PKS diatur bahwa buy back guarantie merupakan kesanggupan developer selaku penjamin untuk membeli kembali tanah/bangunan rumah yang telah dijual kepada debitor yang dituangkan dalam akta Notaris, yaitu penjaminan buy back guarantie.43 Dari uraian tersebut di atas, perjanjian buy back guarantie pada awalnya merupakan kehendak dari penjual yang memberikan jaminan kepada pembeli jika di kemudian hari terjadi kerugian atau risiko terhadap barang yang dibeli, maka penjual akan
membeli 43
kembali
barang/benda
tersebut.
Namun
saat
ini
dalam
Ariadin Nadjamuddin, Op.Cit., hal. 416
Universitas Sumatera Utara
30
perkembangannya tidak lagi demikian, justru kreditor lah yang meminta dan menghendaki adanya perjanjian buy back guarantie. Hal ini didorong oleh prinsip prudential
banking
yang
selama
ini
diterapkan
oleh
perbankan
untuk
mengefisiensikan upaya lelang yang selama ini digunakan lembaga perbankan untuk melakukan penyelesaian kredit bermasalah atau macet bila debitor wanprestasi.44 Suatu perjanjian dibuat oleh para pihak untuk suatu maksud dan tujuan tertentu, demikian pula buy back guarantie. Pemberian buy back guarantie oleh developer kepada bank didasari oleh adanya penyaluran kredit KPR kepada konsumen yang dananya diterima langsung oleh developer sebagai pelunasan unit rumah, sementara pada pihak bank belum dapat mengikat jaminan Hak Tanggungan atas unit rumah yang dibiayainya. Oleh karena itu, menunggu hingga selesainya sertipikat atas unit rumah selesai dan dilakukannya akta jual beli, maka bank memerlukan buy back guarantie dari developer.45 Di pihak developer, selaku pemilik proyek pembangunan perumahan untuk lebih mencapai sasaran penjualan unit-unit rumah tersebut kepada para konsumen, developer menjalin kerja sama dengan bank dalam penyelenggaraan fasilitas KPR. Bank memberikan fasilitas KPR kepada konsumen perumahan sepanjang menurut pertimbangan bank, konsumen tersebut memenuhi kriteria yang ditetapkan
44
Hasil wawancara dengan Akbar Yudha Dewanto, Legal Officer PT. Bank Bukopin Tbk Cabang Medan, tanggal 10 Januari 2014 45 Hasil wawancara dengan Akbar Yudha Dewanto, Legal Officer PT. Bank Bukopin Tbk Cabang Medan, tanggal 10 Januari 2014
Universitas Sumatera Utara
31
oleh bank. Beberapa alasan/pertimbangan bank meminta developer untuk memberikan buy back guarantie adalah:46 1. Pembelian unit properti (rumah) oleh konsumen dari developer tidak atau belum dibayar lunas seluruhnya, sehingga sebagian (besar) harganya akan dilunasi dari hasil pencairan dana KPR; dan 2. Sertipikat atas unit properti tidak atau belum ada dan/atau bangunannya belum selesai; dan/atau 3. Hubungan hukum antara developer dan konsumen masih berupa pengikatan jual beli (Perjanjian Pengikatan Jual Beli/PPJB) dan belum bisa dibuat Akta Jual Beli di hadapan PPAT yang berwenang. Selanjutnya pertimbangan hukum yang menjadi dasar dari developer bersedia memberikan buy back guarantie terhadap suatu KPR adalah:47 1. Sebagian (besar) pembayaran harga pembelian unit properti (rumah) oleh konsumen akan dilunasi dari hasil pencairan dana KPR dari bank; dan 2. Satu dan lain karena alasan di atas dan pengikatan jual beli antara developer dan konsumen (pembeli) masih merupakan PPJB, maka: a. Hak atas tanah secara hukum belum beralih dari developer kepada konsumen;
46
Hasil wawancara dengan Akbar Yudha Dewanto, Legal Officer PT. Bank Bukopin Tbk Cabang Medan, tanggal 10 Januari 2014 47 Hasil wawancara dengan Akbar Yudha Dewanto, Legal Officer PT. Bank Bukopin Tbk Cabang Medan, tanggal 10 Januari 2014
Universitas Sumatera Utara
32
b. PPJB sewaktu-waktu dapat dibatalkan oleh developer, apabila konsumen lalai/wanprestasi/cidera janji berdasarkan ketentuan dalam PPJB; dan c. Apabila bank mengklaim penjaminan (buy back guarantie) kepada developer yang mengakibatkan developer harus membayar seluruh utang konsumen (baik utang pokok, bunga, dan lain-lain) kepada bank, maka kedudukan developer masih “sangat kuat” dan mudah “menghadapi” konsumen, antara lain karena developer berhak sewaktu-waktu membatalkan PPJB sehubungan adanya
klaim
tersebut
dan
melaksanakan
tindakan-tindakan
hukum
selanjutnya. Dengan penggunaan buy back guarantie, lembaga perbankan dituntut untuk melakukan penyelesaian yang lebih cepat dan efisien, sehingga lembaga penjaminan yang telah ada dan bersifat eksekutorial seperti lelang hak tanggungan lebih dihindari oleh lembaga perbankan. Hal ini juga untuk menjaga performance dan nama baik debitor agar tidak masuk dalam daftar hitam (black list) Bank Indonesia. Sehingga saat ini hampir seluruh KPR yang diberikan perbankan harus di back up dengan buy back guarantie,48 meskipun masih terjadi persepsi dan interpretasi yang berbedabeda, baik Notaris maupun lembaga perbankan terhadap lembaga buy back guarantie. Perbedaan pandangan tersebut terjadi oleh karena buy back guarantie belum diatur secara tegas di dalam peraturan perundang-undangan, tetapi muncul
48
Ariadin Nadjamuddin, Op.Cit., hal. 419.
Universitas Sumatera Utara
33
berdasarkan perjanjian (kesepakatan para pihak).49 Hal ini merupakan konsekuensi dari sifat terbukanya hukum perikatan sebagaimana kehendak dari prinsip kebebasan berkontrak (freedom of contract) yang diatur di dalam Pasal 1338 KUHPerdata. C. Bentuk Perjanjian Buy Back Guarantie Apabila dibandingkan dengan perjanjian penjaminan yang telah ada dan dinormatifisasi dalam sistem hukum jaminan, yang lazimnya dituangkan dalam bentuk akta otentik dihadapan Notaris dan atau Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), seperti Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT), akta Fidusia dan akta Hipotek, maka akta-akta jaminan ini mempunyai dasar dan kekuatan hukum eksekutorial yang tegas dan memberikan implikasi hukum bagi lembaga perbankan dalam hal terjadinya wanprestasi, oleh karena dasar perundang-undangannya telah ada dan jelas.50 Namun, terhadap buy back guarantie yang lahir karena perjanjian tidak demikian halnya, sehingga itikad baik (good faith) para pihak untuk melaksanakan isi atau klausula akta sangat menentukan maksud diadakannya lembaga penjaminan tersebut sebagai alternatif penjaminan. Keberadaan akta buy back guarantie dalam hal ini semestinya tetap dapat mengakomodasi dan berperan untuk memberikan perlindungan hukum dan preferensi bagi para pihak seperti halnya keberadaan lembaga penjaminan yang telah ada dan dikenal di dalam sistem hukum jaminan.51 Meskipun dalam kedudukannya sebagai alternatif lembaga penjaminan yang memiliki kelebihan dan kelemahan, namun bagi penjamin, akta buy back guarantie 49
G. Rai Widjaya, Op.Cit., hal.34. Hasil wawancara dengan Akbar Yudha Dewanto, Legal Officer PT. Bank Bukopin Tbk Cabang Medan, tanggal 06 Desember 2013. 51 Hasil wawancara dengan Akbar Yudha Dewanto, Legal Officer PT. Bank Bukopin Tbk Cabang Medan, tanggal 06 Desember 2013. 50
Universitas Sumatera Utara
34
ini sebenarnya merupakan bentuk tindakan over confidence dan over collateral lembaga perbankan, oleh karena dengan penggunaan akta jaminan membeli kembali ini setelah dilakukan pembebanan hak tanggungan atau pengikatan fidusia terhadap objek/benda jaminan, dapat menimbulkan kekisruhan pelaksanaan dari akta-akta pengikatan jaminan satu sama lain. Padahal, maksud diadakannya akta buy back guarantie adalah sebagai alternatif cara penyelesaian kredit bermasalah atau macet pada saat terjadinya wanprestasi debitor dan penjamin. Asumsi negatif penjamin atas keberadaan dan penggunaan akta buy back guarantie ini, dapat berakibat pada pelaksanaan kewajiban penjamin di dalam akta dalam hal terjadi wanprestasi, oleh karena penjamin beranggapan bahwa bila terjadi wanprestasi, kreditor cukup melakukan lelang eksekusi barang/benda jaminan debitor. Kondisi ini tentu saja tidak diharapkan oleh para pihak yang terkait atas penggunaan akta buy back guarantie, karena keberadaan akta semestinya dapat memberikan perlindungan, kepastian dan implikasi hukum para pihak khususnya bagi lembaga perbankan terhadap resiko kerugian dalam pemberian fasilitas pinjaman/ kredit. Oleh karena itu penjaminan buy buck guarantie ini biasanya dibuat secara terpisah dari perjanjian kredit kepemilikan rumah, dalam arti dibuat secara intern antara pihak bank dengan pihak developer dalam bentuk perjanjian kerjasama tanpa diketahui oleh pihak Debitor maupun pihak pemberi hak tanggungan.52
52
Hasil wawancara dengan Akbar Yudha Dewanto, Legal Officer PT. Bank Bukopin Tbk Cabang Medan, tanggal 06 Desember 2013
Universitas Sumatera Utara
35
Kecenderungan akta buy back guarantie tidak dapat memberikan implikasi hukum cukup beralasan, oleh karena akta buy back guarantie memang tidak diatur secara tegas baik di dalam buku II KUHPerdata maupun di dalam buku III KUHPerdata, seperti halnya lembaga penjaminan lainnya. Apalagi di dalam KUHPerdata tidak dapat dijumpai sedikitpun adanya ketentuan tentang jaminan (kewajiban) membeli kembali objek jaminan, melainkan hanya dikenal adanya hak untuk membeli kembali (Pasal 1519 KUHPerdata). Ketiadaan pengaturan demikian memberi konsekuensi hukum bahwa penggunaan akta buy back guarantie nantinya hanya sekedar pelengkap dari berbagai macam akta penjaminan yang sudah ada dan memiliki kekuatan eksekutorial (seperti APHT, akta Hipotik dan akta Fidusia), sehingga implikasi hukum terhadap harta benda penjamin dalam hal terjadi wanprestasi dikhawatirkan dapat melemahkan posisi kreditor dalam pelaksanaan perjanjian. Hal ini sangat berbeda pada lembaga penanggungan (borgtocht), sehingga dalam pelaksanaan akta apakah dimungkinkan untuk menggunakan dan menerapkan ketentuan-ketentuan borghtocht di dalam Buku III KUHPerdata, khususnya Pasal 1820-1850 KUHPerdata. Atau, jika sebaliknya ketika penjamin telah melaksanakan kewajiban sesuai kehendak dari penjaminan buy back guarantie, apakah ketentuan subrogasi di dalam Pasal 1400-1405 KUHPerdata dapat digunakan oleh penjamin untuk menuntut haknya kepada debitor. Kebanyakan Notaris juga beranggapan bahwa penggunaan akta buy back guarantie ini semata-mata hanya memberi dampak sanksi moral terhadap penjamin,
Universitas Sumatera Utara
36
oleh karena akta ini tidak memiliki kekuatan eksekutorial seperti layaknya APHT dan akta fidusia. Padahal suatu akta otentik/notaril semestinya tidak boleh hanya memiliki ikatan dan kekuatan moral saja, tetapi harus dapat berimplikasi pada pemenuhan hakhak dan kewajiban yang terkandung di dalam klausula-klausula akta otentik sebagaimana maksud dari Pasal 1868 KUHPerdata, terutama implikasinya terhadap harta kekayaan pemberi jaminan sebagaimana dikehendaki oleh Pasal 1131 KUHPerdata, dan tidak semata-mata hanya berimplikasi pada tanggung jawab moral belaka.53 Jika ditinjau dari kekuatan hukum pelaksanaan akta, maka akta buy back guarantie seharusnya mempunyai implikasi hukum sebagaimana halnya dengan bentuk akta jaminan lainnya. Implikasi hukum ini akan menjadi persoalan ketika penjamin tidak mau membeli kembali objek jaminan debitor sesuai yang telah disepakati di dalam akta buy back guarantie. D. Kedudukan Dan Peran Buy Back Guarantie Dalam Praktek Kredit Kepemilikan Rumah Mengingat buy back guarantie adalah perjanjian penjaminan yang lahir dari sistem terbuka hukum perjanjian yang dianut Buku III KUHPerdata, maka tidak ada ketentuan-ketentuan yang secara khusus mengaturnya, yang artinya kembali kepada para pihak yang terlibat bebas untuk mengatur sesuai dengan kehendak mereka.
53
Hasil wawancara dengan Notaris Jensen Ricardo Sitanggang, Notaris PPAT Kota Medan, tanggal 13 Desember 2013
Universitas Sumatera Utara
37
Buy back guarantie tidak termasuk dalam salah satu perjanjian bernama yang diatur dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disingkat KUHPerdata). Buy back guarantie lahir karena kebutuhan praktik dan hal tersebut adalah dimungkinkan berdasarkan sistim terbuka yang dianut Buku III KUHPerdata sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata. Sistem terbuka yang dimiliki Hukum Perjanjian telah memberikan kebebasan sedemikian rupa sehingga setiap orang berhak dan bebas untuk membuat atau mengadakan perjanjian yang segala sesuatunya sesuai dengan kehendak para pihak yang membuat. Untuk itu terbuka kebebasan yang seluas-luasnya (beginsel der contractsvrijheid) untuk mengatur dan menentukan isi suatu perjanjian, asalkan tidak melanggar Undang-Undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Bahkan dimungkinkan untuk mengatur sesuatu hal dengan cara yang berbeda atau menyimpang dari ketentuan yang telah diatur yang terdapat di dalam pasal-pasal hukum perjanjian (KUHPerdata).54 Buy back guarantie tidak terbentuk dalam satu perjanjian tersendiri. Buy back guarantie timbul dalam rangka kerja sama penyaluran KPR oleh bank kepada konsumen yang membeli unit rumah dari developer. Buy back guarantie terdapat dalam perjanjian kerja sama pemberian fasilitas KPR, yang dibuat oleh dan antara developer dan Bank. Unsur utama dalam perjanjian kerja sama pemberian fasilitas KPR adalah ketentuan mengenai prosedur pemberian KPR oleh bank kepada 54
G. Rai Widjaya, Merancang Suatu Kontrak, (Jakarta: Kesaint Blanc, 2003), hal.33.
Universitas Sumatera Utara
38
konsumen dan ketentuan mengenai jaminan (buy back guarantie).55 Kedua unsur tersebut diatur dan disesuaikan dengan kesepakatan antara developer dan bank. Bila dilihat dari aspek namanya, perjanjian tersebut dapat digolongkan dalam perjanjian tidak bernama karena perjanjian tersebut tidak dapat dimasukkan dalam perjanjian yang dikenal dalam KUHPerdata yaitu sebagaimana diatur dalam Bab V sampai dengan Bab XVIII.56 Jika dilihat dari bentuk dan isinya, akta buy back guarantie ini menyerupai bentuk perjanjian penanggungan (personal guarantie atau coorporate guarantie), yang di dalam Pasal 1820 BW dikenal sebagai borghtocht, hanya saja subjek hukum dari buy back guarantie berbeda dengan borghtocht. Oleh karena di dalam borghtocht yang menjadi penjamin adalah pihak ketiga (personal guarantie dan atau corporate guarantie) yang awalnya tidak mempunyai hubungan hukum dengan debitor, sedangkan pada buy back guarantie yang bertindak sebagai penjamin adalah orang atau badan hukum yang sebelumnya telah mempunyai hubungan hukum dengan debitor. Buy back guarantie ini banyak dijumpai dalam perjanjian kredit konstruksi, kredit pemilikan rumah (KPR), kredit pemilikan apartemen (KPA) dan kredit pemilikan mobil (KPM). Namun, jika ditinjau dari akibat hukum dalam hal terjadi wanprestasi debitor, maka hak dan kewajiban yang timbul dari perjanjian buy back
55
Hasil wawancara dengan Akbar Yudha Dewanto, Legal Officer PT. Bank Bukopin Tbk Cabang Medan, tanggal 06 Desember 2013 56 Ariadin Nadjamuddin, Aspek Hukum Akta Buy Back Guarantee Dan Implikasinya Bagi Lembaga Perbankan, (FH Unhas: Jurnal Penelitian Hukum, 2012), hal.415.
Universitas Sumatera Utara
39
guarantie ini mirip dengan subrogasi yang dikenal di dalam Pasal 1400 BW, oleh karena baik di dalam buy back guarantie maupun pada subrogasi terjadi penggantian hak-hak oleh seorang pihak ketiga/ penjamin yang membayar kepada kreditor, bedanya adalah, buy back guarantie hanya timbul berdasarkan perjanjian sedangkan pada subrogasi bisa juga timbul karena undang-undang.57 Lazim terjadi di dalam praktik, buy back guarantie ada di dalam Perjanjian Kerja Sama Pembiayaan KPR (selanjutnya disebut PKS) antara bank dan developer. Di dalam praktiknya pula, telah terjadi pengembangan atas penerapan buy back guarantie yang menurut peneliti adalah kurang tepat. Hal tersebut tercermin dari penerapan buy back guarantie sebagai penanggungan utang dan menggunakan ketentuan-ketentuan penanggungan utang untuk menjabarkan buy back guarantie. Padahal konsep buy back guarantie bukan penanggungan utang. Namun, hal tersebut sulit dihindari mengingat hubungan hukum yang terjadi antara bank dan debitor adalah utang-piutang atau pinjam-meminjam yang diatur dalam perjanjian kredit dan/atau perjanjian pengakuan hutang. Prestasi yang wajib dipenuhi debitor kepada bank (kreditor) adalah pemenuhan kewajiban pembayaran utang, sehingga demi kepentingan bank, buy back guarantie dijabarkan sebagai jaminan terhadap kewajiban pembayaran utang debitor apabila debitor wanprestasi; Perjanjian kerja sama tersebut biasanya dibuat dalam bentuk akta notaris, sehingga dengan demikian perjanjian tersebut merupakan akta otentik dan 57
Ibid., hal.417
Universitas Sumatera Utara
40
mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna (volledig bewijs/ full evident). Pertimbangan hukum yang mendasari pemilihan bentuk formil perjanjian tersebut adalah kewajiban bank untuk menanggung risiko dalam pemberian KPR. Dengan risiko tersebut, bank melindungi kepentingannya dalam perjanjian tersebut dengan membuatnya dalam bentuk notariil sehingga mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna terutama mengenai jangka waktu, tanggal pembuatan, isi perjanjian, penandatanganan, tempat pembuatan dan dasar hukumnya. Sebagai akibat hukum juga yang terdapat dalam suatu akta otentik adalah apabila ternyata perjanjian tersebut disangkal, maka yang mempunyai kewajiban untuk membuktikan adalah pihak yang menyangkal. Developer dan bank sepakat untuk melakukan kerja sama dengan syarat dan ketentuan yang disepakati bersama sebagaimana tertuang dalam PKS. Syarat dan ketentuan yang ditentukan oleh developer kepada tiap-tiap bank tentunya tidak sama begitu pula syarat dan ketentuan yang ditetapkan oleh bank kepada tiap-tiap developer. Sehingga dalam tiap-tiap PKS terdapat perbedaan baik secara materiil maupun redaksional. Pada umumnya terdapat beberapa materi ketentuan yang selalu ada dalam PKS adalah sebagai berikut: 1. Fasilitas KPR Pemberian fasilitas KPR menjadi materi utama dalam perjanjian. Ketentuan yang mengatur fasilitas KPR dalam perjanjian kerja sama tersebut dapat bagi menjadi dua bagian, yaitu: a. Prosedur pemberian fasilitas KPR
Universitas Sumatera Utara
41
Pemberian fasilitas KPR merupakan kewenangan bank sebagai lembaga keuangan perbankan. Namun dengan adanya kerja sama ini, developer diikutsertakan dalam proses pemberian fasilitas KPR tersebut. Prosedur tersebut dalam perjanjian kerja sama ini diatur sebagai berikut: 1) Konsumen dapat mengajukan permohonan fasilitas KPR secara langsung maupun melalui developer. 2) Developer turut mendukung permohonan tersebut dengan melampirkan suratsurat yang diperlukan termasuk tetapi tidak terbatas PPJB. 3) Pertimbangan atau keputusan dikabulkan atau tidak permohonan konsumen merupakan keputusan bank sepenuhnya. b. Ketentuan dalam pemberian fasilitas KPR Syarat dan ketentuan dalam pemberian fasilitas KPR merupakan kewenangan bank sepenuhnya. Kalaupun ada negosiasi, tentunya akan melibatkan konsumen sebagai debitor penerima fasilitas kredit. Akan tetapi dengan perjanjian kerja sama, syarat dan ketentuan dalam pemberian fasilitas KPR juga merupakan materi yang dinegosiasikan antara bank dan developer. Syarat dan ketentuan tersebut adalah sebagai berikut:58 1) plafon (baki debet) fasilitas KPR;
58
Hasil wawancara dengan Akbar Yudha Dewanto, Legal Officer PT. Bank Bukopin Tbk Cabang Medan, tanggal 03 Januari 2014
Universitas Sumatera Utara
42
2) batas maksimal pemberian fasilitas KPR, misalnya tidak melebihi maksimum 80% (delapan puluh persen) dari harga rumah; 3) jangka waktu pembayaran fasilitas KPR, misalnya maksimum 10 (sepuluh) tahun; 4) penggunaan dana KPR hanya semata-mata untuk membayar harga rumah kepada developer; kewajiban membayar bunga, provisi dan biaya administrasi kepada Bank; pemberian fasilitas KPR akan dijamin dengan Hak Tanggungan atas rumah; 2. Pernyataan Dan Jaminan Developer Pemberian fasilitas KPR yang diberikan oleh bank pada akhirnya diterima dan dinikmati oleh developer. Barang yang akan dijadikan jaminan atas fasilitas KPR tersebut merupakan rumah
yang dalam kenyataan hukum belum beralih
kepemilikannya. Dengan pertimbangan tersebut, dalam PKS, developer diminta membuat pernyataan dan jaminan yang meliputi hal-hal sebagai berikut: 59 a. legalitas dan keabsahan tindakan developer sebagai suatu badan hukum; Dalam setiap aktivitasnya, developer sebagai suatu badan hukum berbentuk perseroan terbatas terikat dan tunduk pada peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perseroan terbatas termasuk tetapi tidak terbatas pada Undangundang Nomor 1 Tahun 1992 tentang Perseroan Terbatas dan ketentuan yang diatur
59
Hasil wawancara dengan Akbar Yudha Dewanto, Legal Officer PT. Bank Bukopin Tbk Cabang Medan, tanggal 03 Januari 2014
Universitas Sumatera Utara
43
dalam anggaran dasar perseroannya. Sebagai suatu badan hukum, developer direpresentasikan dengan Direksi yang mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan. Dalam membuat dan melaksanakan perjanjian kerja sama ini, developer tidak melanggar ketentuan perundang undangan dan tidak bertentangan dengan anggaran dasar perseroan. Hal ini menunjukkan bahwa kausa yang halal dalam perjanjian kerja sama tersebut telah dipenuhi. b. Tanggung Jawab Developer Sebagai Penjual Rumah; Dalam proses pemberian fasilitas KPR dibutuhkan peran serta developer. Oleh karenanya dalam perjanjian tersebut developer menyatakan peran sertanya sebagai kewajiban developer. Peran serta developer tersebut sebagai berikut:60 1) mengusulkan para calon debitor untuk memperoleh fasilitas KPR dari bank; 2) bertindak sebagai penghubung antara bank dan debitor; 3) memberi bantuan kepada bank dalam mengawasi dan memonitor ketaatan dan pelaksanaan Perjanjian kredit antara konsumen dan bank; 4) membantu bank menghadirkan debitor dalam pengikatan kredit dan jaminan; 5) mengurus dan menyelesaikan penerbitan dokumen legalitas tanah; Developer juga menyatakan bahwa developer adalah pemilik yang sah dan mempunyai hak yang penuh atas unit rumah yang akan dijual kepada konsumen, dan tidak ada pihak lain yang turut memiliki atau mempunyai hak apapun juga terhadap
60
Hasil wawancara dengan Akbar Yudha Dewanto, Legal Officer PT. Bank Bukopin Tbk Cabang Medan, tanggal 03 Januari 2014
Universitas Sumatera Utara
44
unit
rumah
tersebut
ataupun
bagian
daripadanya
belum
pernah
dijual,
dipindahtangankan/dialihkan haknya atau dijaminkan/dipertanggungkan dengan cara bagaimanapun kepada orang/pihak lain (kecuali dapat diroya sebagian/roya parsial berdasarkan surat pelepasan hak dari bank), tidak tersangkut dalam perkara/sengketa dan juga tidak berada dalam suatu sitaan. Pernyataan ini berkaitan dengan ketentuan jual beli sebagaimana diatur dalam KUHPerdata Buku III Bab V tentang Jual Beli. Dalam hal penandatanganan perjanjian utang piutang dahulu dari penandatanganan akta jual beli rumah dan pada saat penandatanganan tersebut konsumen belum memberikan perjanjian penjaminan dalam bentuk APHT maka:61 1) penandatanganan Akta Jual Beli atas rumah hanya akan dilaksanakan oleh developer dan konsumen bersamaan dengan penandatanganan APHT oleh konsumen dan bank; 2) penandatanganan Akta Jual Beli dan APHT hanya akan ditandatangani di hadapan pejabat berwenang yang sama; dan 3) penandatanganan Akta Jual Beli antara developer dan konsumen tidak akan dilakukan/tidak pernah akan terjadi bilamana pada saat yang bersamaan dengan penandatanganan Akta Jual Beli ternyata debitor tidak mau menandatangani APHT atas rumah yang digunakan untuk menjamin fasilitas KPR; 3. Jaminan Buy Back Guarantie
61
Hasil wawancara dengan Akbar Yudha Dewanto, Legal Officer PT. Bank Bukopin Tbk Cabang Medan, tanggal 03 Januari 2014
Universitas Sumatera Utara
45
Ketentuan buy back guarantie merupakan bagian yang penting dalam perjanjian kerja sama pemberian fasilitas KPR, yang diatur dalam ketentuan buy back guarantie diantaranya adalah sebagai berikut:62 a. Jangka Waktu Berlakunya Buy back Guarantie; Selama Akta Jual Beli dan APHT atas Rumah belum ditandatangani oleh konsumen, developer dengan ini wajib bertanggung jawab sepenuhnya dan mengikat diri sebagai penjamin atas pembayaran seluruh jumlah uang yang terutang oleh debitor kepada bank. Buy back guarantie akan berakhir dengan sendirinya apabila AJB dan APHT ditandatangani oleh konsumen. Buy back guarantie juga akan berakhir bila setelah pemberitahuan tertulis dari developer kepada bank untuk diadakan penanda tanganan AJB, ternyata bank belum siap untuk mengadakan penandatanganan APHT. Dalam praktek kredit kepemilikan rumah di Bank Bukopin Tbk Cabang Medan jangka waktu buy back guarantie tersebut berlaku sampai dengan kredit kepemilikan rumah tersebut selesai atau dilunasi debitor. b. Kewajiban Pembayaran Yang Dijamin Kewajiban pembayaran konsumen sehubungan dengan KPR yang diterimanya adalah meliputi utang pokok, bunga, provisi, bunga denda dan/atau biaya-biaya lainnya berdasarkan fasilitas KPR yang diterimanya, baik dalam mata uang Rupiah ataupun mata uang lainnya, jumlah-jumlah uang mana besarnya akan ditentukan sendiri oleh bank. 62
Hasil wawancara dengan Akbar Yudha Dewanto, Legal Officer PT. Bank Bukopin Tbk Cabang Medan, tanggal 03 Januari 2014
Universitas Sumatera Utara
46
c. Pelaksanaan Buy back Guarantee Buy back guarantee akan diklaim oleh bank apabila konsumen/debitor telah melalaikan kewajiban kepada BANK untuk membayar angsuran fasilitas KPR sebanyak 3 (tiga) kali angsuran berturut-turut atau apabila fasilitas KPR yang telah diberikan kepada konsumen tidak dijamin dengan rumah karena akibat/alasan yang disebabkan oleh developer menjadi tidak dapat dibebani Hak Tanggungan. Dalam waktu 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak bank memberitahukan secara tertulis kepada developer bahwa telah terjadi salah satu sebab tersebut di atas maka developer wajib membayar jumlah uang tersebut kepada bank.63 4. Syarat dan Ketentuan Buy Back Guarantie Buy back guarantie diberikan oleh developer kepada bank dengan melepaskan hak-hak utama, hak-hak istimewa serta exceptie-exceptie yang oleh Undang-Undang diberikan kepada seorang penjamin, antara lain: a. Hak untuk memperjuangkan apa yang wajib dibayar kepada debitur utama, tetapi debitur utama tak diperkenankan memperjumpakan apa yang harus dibayar kreditur kepada penanggung utang (Pasal 1430 KUHPerdata); b. Hak untuk memberikan jaminan gadai atau hipotik sebagai ganti seorang penanggung (Pasal 1830 KUHPerdata); c. Hak untuk terlebih dahulu menyita dan menjual barang kepunyaan debitor untuk melunasi hutangnya (Pasal 1831 KUHPerdata);
63
Hasil wawancara dengan Akbar Yudha Dewanto, Legal Officer PT. Bank Bukopin Tbk Cabang Medan, tanggal 03 Januari 2014
Universitas Sumatera Utara
47
d. Hak untuk mengajukan permohonan di hadapan hakim untuk menyita dan menjual lebih dahulu barang kepunyaan debitor (Pasal 1833 KUHPerdata); e. Hak untuk menuntut supaya kreditor terlebih dahulu membagi piutangnya, dan mengurangkannya sebatas bagian masing-masing penanggung hutang yang terikat secara sah (Pasal 1837 KUHPerdata); f. Hak untuk menggunakan segala tangkisan yang dapat dipakai oleh debitur utama dan mengenai utang yang ditanggungnya sendiri (Pasal 1847 KUHPerdata); g. Hak untuk dibebaskan dari kewajibannya bila atas kesalahan kreditor ia tidak dapat lagi memperoleh hak hipotek dan hak istimewa kreditor itu sebagai penggantinya (Pasal 1848 KUHPerdata); h. Hak untuk dibebaskan dari tanggungannya, sekalipun barang itu kemudian harus diserahkan oleh kreditur kepada orang lain berdasarkan putusan Hakim untuk kepentingan pembayaran utang tersebu, apabila kreditor secara sukarela menerima suatu barang tak bergerak atau barang lain sebagai pembayaran utang pokok (Pasal 1849 KUHPerdata), dan i. Hak memaksa debitur untuk membayar utangnya atau membebaskan penanggung dari tanggungannya, dalam hal adanya penundaan pembayaran sederhana yang diizinkan kreditur kepada debitur (Pasal 1850 KUHPerdata). Developer selanjutnya berjanji dan mengikat diri kepada/terhadap bank selama developer tidak/belum membayar dengan penuh dan dengan sebagaimana mestinya seluruh jumlah uang yang wajib dibayar oleh developer kepada bank berdasarkan buy back guarantie ini, maka developer tidak akan menjalankan hak-
Universitas Sumatera Utara
48
haknya untuk disubrogasi dalam kedudukan bank (kreditor) terhadap konsumen (debitor). Dalam hal konsumen lalai melakukan kewajibannya atau wanprestasi, bank akan meminta pelaksanaan jaminan buy back guarantie kepada developer. Dalam waktu 3 (tiga) hari sejak surat pemberitahuan bank, developer wajib membayar seluruh kewajiban pembayaran konsumen. Dengan adanya pembayaran kewajiban konsumen/pelaksanaan buy back guarantie, maka bank wajib menyerahkan seluruh dokumen kredit konsumen termasuk tetapi tidak terbatas perjanjian kredit, akta pengakuan utang dan perjanjian jaminan. Bersamaan dengan pembayaran buy back guarantee oleh developer kepada bank, kedua belah pihak membuat dan menandatangani perjanjian subrogasi. 5. Peranan Buy Back Guarantie Dalam Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah Buy back guarantie merupakan suatu penjaminan atas pembelian kembali unit apartemen yang dibeli oleh konsumen, yang di dalam praktek karena adanya hubungan
hukum
utang-piutang
antara
bank
dan
debitor
KPR,
bentuk
pengembangannya dijabarkan sebagai jaminan atas pelunasan KPR yang diberikan oleh bank kepada debitor. Apabila terjadi klaim, pembayaran kepada bank dianggap oleh developer sebagai pembelian kembali unit rumah milik konsumen dan oleh bank dianggap
Universitas Sumatera Utara
49
sebagai pelunasan utang debitor KPR. Sehingga dengan adanya buy back guarantie bank memperoleh kepastian atas pelunasan KPR.64 Buy back guarantie yang diberikan oleh developer kepada bank dalam PKS KPR bertujuan untuk memfasilitasi atau mempermudah konsumen dalam mencari sumber dana guna melunasi harga unit apartemen yang dibelinya. Fasilitas kredit yang dapat diberikan buy back guarantie oleh developer adalah hanya fasilitas KPR. Dengan demikian lembaga buy back guarantie tidak dapat diberikan atas jenis kredit lain seperti Kredit Modal Kerja (KMK), Kredit Investasi dan lain sebagainya. Jenis fasilitas KPR yang dapat diberikan buy back guarantie tersebut adalah fasilitas KPR yang pencairan dananya digunakan untuk pelunasan harga pembelian/ pengikatan (KPR murni) bukan KPR/KPR refinancing, KPR pembiayaan pembangunan di atas tanah kavling, KPR renovasi atau KPR penambahan/ pengembangan bangunan atau bentuk lainnya. Apabila pembayaran atas pembelian unit rumah sudah dilunasi oleh konsumen sendiri, apalagi sertipikat hak atas tanah sudah selesai atau hubungan hukum antara developer dan debitor sudah bisa dilakukan dengan perbuatan hukum jual beli dengan akta jual beli di hadapan PPAT yang berewenang, maka lembaga buy back guarantie sudah tidak diperlukan dan tidak relevan lagi bagi developer maupun pihak bank.
64
Hasil wawancara dengan Akbar Yudha Dewanto, Legal Officer PT. Bank Bukopin Tbk Cabang Medan, tanggal 03 Januari 2014
Universitas Sumatera Utara