BAB II KAJIAN TEORITIS
2.1
Hakikat Kemampuan Mengenal Angka 1 Sampai 10
2.1.1 Pengertian Kemampuan Menurut Kolesnik (dalam Slameto, 2010 : 128) mengatakan “In most cases there is a fairly high correlation between one’s IQ, and his scholastic success. Usually, higher a person’s IQ, the higher the grades he receives”. Pengetahuan tingkat kemampuan atau intelegensi anak akan membantu pengajar menentukan apakah anak mampu mengikuti pengajaran yang diberikan, serta meramalkan keberhasilan atau gagalnya anak bersangkutan bila telah mengikuti pengajaran yang diberikan. Meskipun demikian, perlu diingat bahwa prestasi anak tidak semata ditentukan oleh tingkat kemampuan intelektualnya. Selanjutnya Vernon (dalam Slameto, 2010 : 129) menyatakan bahwa membagi kemampuan individu ke dalam suatu hierarki di antaranya : (a) kemampuan intelektual umum yaitu kemampuan untuk menghasilkan hubungan-hubungan abstrak; (b) kemampuan kelompok mayor merupakan tahap kekhususan berikutnya, yang mencakup kemampuan-kemampuan memanfaatkan pendidikan verbal dan tehnik; (c) kemampuan kelompok minor adalah kemampuan verbal dan kemampuan untuk bekerja dengan angka; (d) kemampuan spesifik merupakan perpaduan dari apa yang disebut operasi, isi, dan produk.
Sedangkan menurut Wechler (dalam Dimyanti dan Mudjiono, 2010 : 245) kemampuan adalah suatu kecakapan global atau rangkuman kecakapan untuk dapat bertindak secara terarah, berpikir secara baik, dan bergaul dengan lingkungan secara efisien. Kecakapan tersebut menjadi actual bila anak dapat memecahkan masalah dalam belajar atau kehidupan sehari-hari. Menurut Hamalik (2004 : 36) kemampuan belajar adalah “modifikasi atau memperteguh kelakuan melalui pengalaman”. Menurut pengertian ini, belajar adalah suatu proses kegiatan dan bukan suatu hasil atau tujuan. Belajar bukan hanya mengingat, akan tetapi akan lebih luas daripada itu, yakni memahami. Kemampuan bukan suatu penguasaan hasil latihan melainkan perbaikan kelakuan. Selanjutnya Hamalik (2004 : 21), mengemukakan bahwa kemampuan belajar adalah “suatu bentuk pertumbuhan atau perubahan dalam diri seseorang yang dinyatakan dalam cara-cara bertingkah laku yang baru berkat pengalaman dan latihan”. Selanjutnya ia menjelaskan bahwa tingkah laku yang baru itu misalnya dari tidak tahu menjadi tahu, timbulnya pengertian-pengertian baru, perubahan dalam sikap, kebiasaan-kebiasaan, keterampilan, kesanggupan menghargai perkembangan sifat-sifat sosial, emosional, dan pertumbuhan jasmani. Perumusan perbuatan belajar yang terakhir ini tidak lagi memindahkan antara perubahan-perubahan jasmaniah dan perubahan-peruabahan rohaniah. Sesungguhnya kedua aspek ini saling melengkapi dan bertalian satu sama lain, keduanya merupakan aspek-aspek yang bersifat komplementer. Manusia dalam perbuatannya selalu menurut kegiatan rohani dan jasmani. Membaca buku misalnya adalah panduan antar kegiatan jasmaniah yang berupa gerakan-gerakan
mata, gerakan tangan, sikap badaniah dengan kegiatan-kegiatan rohani berupa mengolah pengertian-pengertian yang ada dalam bacaan, membandingkan mengingat kembali, memikirkan persoalan dan sebagainya. Setiap perbuatan belajar senantiasa memiliki aspek jasmaniah yang disebut struktur dan aspek jasmaniah yang disebut fungsi. Menurut Semiawan (2002 : 25) kemampuan adalah hasil perubahan tingkah laku seorang anak setelah memperoleh pelajaran. Kemampuan biasanya digambarakan dengan nilai angka atau huruf. Berdasarkan definisi tersebut peniliti dapat menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kemampuan adalah capaian anak dalam kegiatan belajar mengajar yang dapat diukur dari kemampuan anak itu sendiri. Kemampuan lebih dititik beratkan pada kemampuan seseorang dalam mengartiakan, menafsirkan, menerjemahkan serta menyatakan kembali sesuatu pengetahuan ke dalam katakata baru sesuai dengan caranya sendiri. 2.1.2 Pengertian Mengenal Angka 1 Sampai 10 Anak TK Menurut Harahap (dalam Hariwijaya, 2009 : 29), angka merupakan interpretasi manusia dalam menyatakan anggota himpunan. Angka adalah suatu ide yang sifatnya abstrak atau lambing namun memberikan keterangan mengetahui banyaknya anggota himpunan (dalam Hariwijaya, 2009 : 32). Angka adalah satuan-satuan dalam system matematis yang abstrak dan dapat diunitkan, ditambah atau dikalikan (dalam Tajudin, 2009 : 35). Sejalan dengan pendapat tersebut menurut Ruslani (dalam Tajudin, 2008 : 23), angka adalah suatu alat pembantu yang mengandung suatu pengertian. Angka-angka ini mewakili suatu jumlah yang diwujudkan dalam lambang angka.
Menurut Copley (dalam Karim dkk, 2007 : 17), angka adalah lambang atau symbol yang merupakan suatu objek yang terdiri dari bilangan-bilangan. Sebagai contoh angka 10, dapat ditulis dengan 2 buah angka (double digits) yaitu angka 1 dan angka 0. Dalam pengenalan konsep angka ini tidak terlepas konsep tentang angka-angka. Pengenalan konsep angka melibatkan pemikiran tentang beberapa jumlah suatu benda atau beberapa banyak benda. Pengenalan konsep angka ini pada akhirnya akan memberikan bekal awal kepada anak untuk mempelajari berhitung dan operasi penjumlahan. Pada dasarnya anak sudah mempunyai kemampuan dasar matematik dengan minat anak untuk mengetahui sesuatu yang baru di sekitar lingkungan anak. Sedikit sulit untuk mengenalkan konsep bilangan/angka kepada anak karena sifatnya abstrak dan pada saat itu anak mengalami masa transisi yaitu proses berpikir yang merupakan masa peralihan dari pemahaman kongkrit menuju pengenalan lambang yang abstrak. Orang tua dan guru tidak hanya terpaku dengan angka saja untuk memperkenalkan konsep matematika tehadap anak. Menurut penjelasan dari Trister et al, konsep angka dapat dibangun melalui pemanfaatan lingkungan sekitar yang dapat menjunjung pembelajaran matematika bagi anak. Dengan memanfaatkan benda-benda yang ada di sekitar anak, anak dapat memanipulasi, mengekspor dan mengorganisir benda-benda yang ada di sekitarnya sehingga dapat mengkomunikasikannya dengan orang tua, guru, dan teman sebayanya. Dari beberapa para ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa teori angka merupakan bagian dalam interaksi kehidupan manusia, angka/bilangan banyak
ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Namun demikian banyak anak tidak menyadari bahwa angka yang mereka lihat memiliki arti yang berbeda-beda.
2.1.3
Tujuan dan Manfaat Kemampuan Mengenal Angka 1 Sampai 10 Kemampuan mengenal angka 1 sampai 10 sangat baik bila diberikan
kepada anak sedini mungkin. Tujuan kemampuan mengenal angka 1 sampai 10 tidak lain agar anak sejak dini dapat berpikir logis dan sistematis melalui pengamatan terhadap benda-benda konkrit, gambar-gambar ataupun angka-angka yang terdapat di sekitar anak. Asep Jihad (2008:150) Asep Jihad (2008:153) berpendapat bahwa tujuan kemampuan mengenal pada anak yaitu sebagai berikut: 1) Mengembangkan kemampuan berkomunikasi dengan menggunakan bilangan dan simbol, dan 2) Mengembangkan ketajaman penalaran yang dapat memperjelas dan menyelesaikan permasalahan dalam kehidupan sehari-hari. Depdiknas (2007:1-2) mengemukakan tujuan kemampuan berhitung termasuk kemampuan membilang pada anak TK terdiri dari tujuan umum dan tujuan khusus sebagai berikut: 1. Tujuan umum Secara umum bertujuan untuk mengetahui dasar-dasar pembelajaran membilsng sehingga pada saatnya nanti anak akan lebih siap mengikuti pembelajaran berhitung pada jenjang selanjutnya yang lebih kompleks. 2.
Tujuan khusus Sementara tujuan secara khusus antara lain sebagai berikut: 1) Dapat berpikir
logis dan sistematis sejak dini, melalui pengamatan terhadap benda-benda
kongkrit, gambar-gambar atau angka-angka yang terdapat di sekitar anak; 2) Dapat menyesuaikan dan melibatkan diri dalam kehidupan bermasyarakat yang dalam kesehariannya memerlukan keterampilan berhitung; 3) Memiliki ketelitian, konsentrasi, abstraksi dan daya apresiasi yang tinggi; 4) Memiliki pemahaman konsep ruang dan waktu serta dapat memperkirakan kemungkinan urutan sesuatu peristiwa yang terjadi di sekitarnya; 5) Memiliki kreatifitas dan imajinasi dalam menciptakan sesuatu secara spontan. Beberapa teori yang mendasari perlunya kemampuan membilang pada anak, menurut Depdiknas (2007:8-11) adalah sebagai berikut : 1. Tingkat Perkembangan Mental Anak Jean Piaget, menyatakan bahwa kegiatan belajar memerlukan kesiapan dalam diri anak. Artinya belajar sebagai suatu proses membutuhkan aktifitas baik fisik maupun psikis. Selain itu kegiatan belajar pada anak harus disesuaikan dengan tahap-tahap perkembangan mental anak, karena belajar bagi anak harus keluar dari anak itu sendiri. Anak usia TK berada pada tahapan pra-operasional kongkrit yaitu tahap persiapan ke arah pengorganisasian pekerjaan yang kongkrit dan berpikir intuitif dimana anak mampu mempertimbangkan tentang besar, bentuk dan benda-benda didasarkan pada interpretasi dan pengalamannya (persepsinya sendiri). 2. Masa peka anak Perkembangan dipengaruhi oleh faktor kematangan dan belajar. Apabila anak sudah menunjukan masa peka (kematangan) untuk mengenal dan menulis angka, maka orang tua dan guru di TK harus tanggap, untuk segera memberikan
layanan dan bimbingan sehingga kebutuhan anak dapat terpenuhi dan tersalurkan dengan sebaik-baiknya menuju perkembangan kemampuan menulis yang optimal. Anak usia TK adalah masa yang sangat strategis untuk mengenalkan anak menulis angka yang dapat membantunya untuk berhitung, karena usia TK sangat peka terhadap rangsangan yang diterima dari lingkungan. Rasa ingin tahunya yang tinggi akan tersalurkan apabila mendapat stimulasi/rangsangan atau motivasi yang sesuai dengan tugas perkembangannya. Apabila kegiatan menulis angka diberikan melalui berbagai macam permainan tentunya akan lebih efektif karena bermain merupakan wahana belajar dan bekerja bagi anak. Di yakini bahwa anak akan lebih berhasil mempelajari sesuatu apabila yang ia pelajari sesuai dengan minat, kebutuhan dan kemampuannya. 3. Perkembangan awal menentukan perkembangan selanjutnya Hurlock (dalam Depdiknas, 2007:8) mengatakan bahwa lima tahun pertama dalam kehidupan anak merupakan peletak dasar bagi perkembangan selanjutnya. Anak yang mengalami masa bahagia berarti terpenuhinya segala kebutuhan baik fisik maupun psikis di awal perkembangannya diramalkan akan dapat melaksanakan tugas-tugas perkembangan selanjutnya. Piaget juga mengatakan bahwa untuk meningkatkan perkembangan mental anak ke tahap yang lebih tinggi dapat dilakukan dengan memperkaya pengalaman anak terutama pengalaman kongkrit, karena dasar perkembangan mental adalah
melalui
pengalaman-pengalaman aktif dengan menggunakan benda-benda di sekitarnya. Menurut Piaget (dalam Muhsetyo, dkk, 2009:1.9) bahwa setiap orang mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan situasi sekitar atau
lingkungan. Keadaan ini memberi petunjuk bahwa orang selalu belajar untuk mencari tahu dan memperoleh pengetahuan, dan setiaporang berusaha untuk membangun sendiri pengetahuan yang diperolehnya, termasuk pada anak usia dini. Menurut Tatang (2009:9) bahwa pengalaman membilang turut membantu dalam pemahaman awal anak mengenai konsep nama bilangan. Pengalaman ini pula yang melandasi penguasaan anak terhadap bilangan. Mengestimasi langsung (memperkirakan) juga termasuk cara yang efektif untuk mengembangkan penguasaan anak terhadap bilangan. Bilangan lima dan sepuluh (bilangan yang menunjukkan jumlah jemari dari satu dan dua tangan), merupakan dua tonggak bilangan yang sangat baik dikenal anak sebab kedua bilangan itu merupakan internalisasi dari berbagai pengalaman kongkrit yang terakumulasi dalam beberapa tahun. Kebanyakan anak mengalami perkembangan keterampilan membilang pada saat mereka memasuki TK. Pemahaman nama bilangan dari satu sampai lima biasanya diperoleh dari pengenalan pola banyak benda, bersamaan dengan mengingat nama bilangannya, kemudian cara menuliskannya (Tatang, 2009:9). Golinkof
(2005:103) mengemukakan bahwa kemampuan membilang angka
memiliki manfaat bagi pemahaman ilmu Matematika dan perkembangan ilmuilmu yang lain. Dengan memiliki kemampuan ini, anak-anak akan lebih mudah memahami konsep operasi penjumlahan dan pengurangan. Berdasarkan tujuan dan manfaat meningkatkan kemampuan membilang pada anak TK, dapat
dikatakan bahwa terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh seorang guru dalam upaya meningkatkan kemampuan berhitung yang dimiliki anak. Pengenalan dini perlu dilakukan untuk menjaga terjadinya masalah kesulitan belajar karena belum menguasai konsep berhitung tersebut. Urutanurutan proses belajar tersebut sangat penting untuk dilakukan karena anak memerlukan berbagai pengalaman yang nyata dengan benda yang nyata pula sebelum berlanjut ke visual maupun abstrak. Berikan dorongan dengan berbagai aktifitas pelatihan, waktu untuk bereksplorasi, material untuk di manipulatif, penghargaan dan penguatan. Mengingat pada anak usia prasekolah, matematika hanya pengalaman dan bukan penguasaan. 2.1.4
Tahapan Kemampuan Mengenal Angka 1 Sampai 10 pada Anak TK Kemampuan anak mengenal mengalami beberapa tahapan perkembangan.
Sriningsih (2008:35) menyatakan bahwa anak dalam belajar konsep Matematika termasuk konsep mengenal angka melalui tiga tahap, yaitu enactive, ironic, dan symbolic. Tahap enactive yaitu tahap belajar dengan memanipulasi benda atau obyek konkret, tahap econic yaitu tahap belajar dengan menggunakan gambar, dan tahap symbolic yaitu tahap belajar matematika melalui manipulasi lambang dan simbol. Copley & Wortham (dalam Sriningsih, 2008:32) mengemukakan bahwa anak usia 5-8 tahun kemampuan berpikirnya bergerak dari tahap praoperasional menuju operasional konkrit atau disebut dengan masa transisi, di mana kemampuan berpikir anak bergerak dari kemampuan berpikir yang didominasi oleh persepsi visual menuju kemampuan berpikir logis. Hal ini mendorong anak
menggunakan skema mental dalam menyelesaikan berbagai operasi melalui benda-benda konkrit untuk memahami konsep-konsep baru.Sedangkan menurut Piaget (dalam Sriningsih (2008:32) taraf berpikir anak seusia TK adalah masih konkret operasional artinya untuk memahami suatu konsep anak masih harus diberikan kegiatan yang berhubungan dengan benda nyata atau kejadian nyata yang dapat diterima akal mereka. Berikut ini adalah beberapa tahap cara anak membilang yang umumnya ditemukan pada anak usia 5-6 tahun menurut Herman (2010:14) adalah sebagai berikut : 1.
Membilang dengan menunjuk (point counting) Anak pada tahap ini dapat melakukan membilang dengan menunjuk objek
yang dihitung dan menyebutkan bilangan yang benar setelah menunjuk objeknya, namun penunjukan yang dilakukan keliru karena lebih dari satu objek. Pada tahap ini anak dapat membilang karena ia sudah hafal. Ia melakukannya tanpa pemikiran atau pemahaman tentang bilangan. Pada tahap ini anak belum bisa memasangkan banyaknya objek yang dibilang dengan bilangan yang disebutnya. Pada tahap ini pula anak sudah bisa membilang dengan lancar, tetapi masih belum tahu berapa banyak benda yang telah dihitungnya. 2. Membilang dengan melanjutkan (counting on) Anak yang memasuki tahap ini sudah bisa membilang dari berapa pun awalnya. Misalnya anak sudah bisa meneruskan membilang mulai dari angka 7 dan meneruskannya, 8, 9, 10, dan seterusnya. 3. Membilang mundur (counting back)
Pada tahap ini anak sudah mampu melakukan membilang mundur dari berapa pun awalnya. Misalnya, anak sudah bisa menyelesaikan persoalan: “Aidil memiliki 9 coklat, kemudian 3 coklat diberikan kepada Iedhar”, dengan cara membilang mundur seperti: delapan, tujuh, enam, dan menyimpulkan bahwa sisanya adalah 6. Jadi kemampuan membilang mundur ini sangat membantu dalam memahami konsep pengurangan. Memperhatikan tahapan yang dilalui anak dalam membilang angka, dapat dikatakan bahwa pengalaman belajar yang dilalui anak dalam membilang angka adalah merupakan salah satu guru yang paling baik. Semakin banyak pengalaman belajar seorang anak dalam membilang angka, semakin banyak juga pengetahuannya.
Dengan
demikian
pengalaman
yang
dimaksud
adalah
pengalaman anak dalam Matematika untuk anak Kelompok B, mereka sudah memiliki pengalaman belajar di Kelompok A untuk mengenal bilangan 1 sampai dengan 10, mereka sudah mengetahuinya, tetapi dalam hal pemahaman membilang angka 1 sampai dengan 10 masih perlu pengalaman yang lebih banyak dalam hal pemberian contoh, sehingga lebih bervariasi mudah dimengerti bahkan dapat merangsang minat anak untuk belajar lebih giat. 2.1.5
Indikator Kemampuan Mengenal Angka 1 Sampai 10 Menurut Payne, et al (dalam Copley, 2005:56) bahwa terdapat
kemampuan-kemampuan yang dikemukakan dalam bilangan dan operasi bilangan diantaranya adalah: (1) counting; (2) one to one correspondence; (3) quantity; dan (4) mengenal dan menulis angka. Untuk lebih jelasnya diuraikan sebagai berikut;
1.
Counting Counting atau berhitung merupakan kemampuan untuk menyebutkan
angka secara urut dari satu, dua, tiga, dan seterusnya sampai anak mengingatnya. Berdasarkan penelitian sebelumnya bahwa anak usia Taman Kanak-Kanak sudah dapat menghitung sampai sepuluh, dua belas atau lebih. 2. One to one correspondence One to one correspondence atau hubungan satu ke satu merupakan kemampuan yang dimiliki anak mengurutkan, menyesuaikan jumlah angka dengan benda. Misalnya jika jumlah angka yang ada 10 maka anak harus menghubungkannya dengan benda yang berjumlah sama yaitu 10. 3.
Quantity Quantity atau kuantitas merupakan kemampuan yang dimiliki anak untuk
mengetahui jumlah benda yang ada dihadapannya dengan cara menghitung secara urut benda tersebut. 4.
Mengenal dan menulis angka Mengenal dan menulis angka merupakan kemampuan yang dimiliki anak
untuk mengetahui angka 1-10 atau lebih.pada mulanya untuk mengenal angka anak diperkenalkan dahulu dengan simbol untuk angka yang kemudian dihubungkan dengan menulis angka. Dapat dilakukan dengan guru atau orang tua, caranya yaitu dengan memperlihatkan beberapa gambar topi, kemudian anak
diminta untuk menulis jumlah gambar dengan angka. Payne, et al (dalam Copley, 2005:56). Urutan-urutan proses belajar tersebut sangat penting untuk dilakukan karena anak memerlukan berbagai pengalaman yang nyata dengan benda yang nyata pula sebelum berlanjut ke visual maupun abstrak. Berikan dorongan dengan berbagai aktifitas pelatihan, waktu untuk bereksplorasi, material untuk
di
manipulatif, penghargaan dan penguatan. 2.2
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kemampuan Mengenal Angka 1 Sampai 10 Pada Anak TK Kemampuan anak dalam mengenal angka bervariasi, ada yang lambat,
sedang, bahkan ada yang cepat. Hal ini tentu sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa anak sudah memiliki kemampuan mengenal angka sejak dini bahkan sebelum usia sekolah. Anak usia pra-sekolah sudah mengerti tentang kuantitas, misalnya banyak dan sedikitnya benda, dapat mengenali perubahan dalam banyaknya benda yang disebabkan oleh adanya benda yang ditambah atau dikurangi dari sekelompok benda dan mengurut besar kecilnya sejumlah benda sesuai dengan banyaknya benda tersebut, selain juga pengetahuan dasar dibalik aktivitas menghitung, walaupun mereka belum dapat menyebutkan nama bilangan secara tepat (Hartono, 2010:5). Butterworth dalam Hartono (2010:5) mengasumsikan bahwa setiap anak mempunyai modul angka (Number Module) yang terberi sejak lahir secara biologis yang terletak di otak.
Jadi secara umum, tampaknya semua anak
mempunyai kapasitas yang diberi sejak lahir (innate) yang kurang lebih sama dalam mengenal angka yang sifatnya biologis.
Dehaene dalam Hartono (2010:6) turut memperkuat pendapat di atas dengan mengemukakan bahwa bagian-bagian tertentu di otak berkaitan dengan berbagai kegiatan matematika pada manusia. Selain adanya kemungkinan perbedaan dalam hal kapasitas untuk berkonsentrasi dalam mengerjakan tugas, dalam hal ini soal matematika, dan kemungkinan adanya perbedaan minat terhadap hal-hal apa saja yang dianggap menarik oleh anak, faktor lainnya yang cukup berperan adalah budaya di sekitar anak. Budaya disini lebih berarti sebagai bagaimana lingkungan terdekat anak, seperti orangtua dan sekolah mempengaruhi anak. Orangtua yang memberikan lingkungan yang mendukung berkembangnya kemampuan matematika anak dan banyaknya latihan-latihan mempelajari matematika dan cara-cara pemecahan soal-soal matematika disebutkan oleh Butterworth (dalam
Hartono, 2010:5) sebagai bagian dari faktor yang
mempengaruhi terjadinya perbedaan pemahaman dan kemampuan matematika pada anak. Berpijak pada pendapat di atas, berikut ini akan dikemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi kemampuan anak dalam belajar Matematika, termasuk kemampuan dalam membilang angka 1 sampai 10, sebagaimana dikemukakan oleh Chomsky, Piaget, Lenneberg dan Slobin (Chaer, 2009:44) berikut ini: 1. Faktor Alamiah Faktor alamiah yang dimaksudkan di sini adalah setiap anak lahir dengan seperangkat potensi. Potensi dasar itu akan berkembang secara maksimal setelah mendapat stimulus dari lingkungan. Proses pemerolehan melalui piranti ini
sifatnya alamiah. Karena sifatnya alamiah, maka kendatipun anak tidak dirangsang untuk belajar, anak tersebut akan mampu menerima apa yang terjadi di sekitarnya. Gutama (2008:12) mengemukakan bahwa menurut hasil penelitian para pakar walaupun struktur otak anak sudah lengkap saat ia dilahirkan, namun baru mencapai kematangannya setelah di luar kandungan. Bayi lahir sudah dibekali dengan berjuta-juta neuron di dalam otaknya. Proses tumbuh kembang neuron ini makin bertambah kuat dan memberikan bentuk pada bagaimana cara anak berpikir, merasa bersikap, berperilaku, dan belajar bila neuron-neuron ini diransang. Otak anak sendiri hanya mau menerima rangsangan spesipik yang diberikan pada satu waktu tertentu. Oleh karena itu stimulasi atau rangsangan pada anak usia dini harus diberikan dengan penuh kasih sayang, dalam suasana gembira, berulang, konsisten, bervariasi dan tuntas. 2.
Faktor Perkembangan Kognitif Perkembangan membilang angka 1 sampai 10 pada seorang anak seiring
dengan perkembangan kognitifnya. Keduanya memiliki hubungan yang komplementer. Pemerolehan kemampuannya membilang angka 1 sampai 10 dalam prosesnya dibantu oleh perkembangan kognitif. Jamaris (2005:18) mengartikan kognitif sebagai proses yang terjadi secara internal di dalam pusat susunan syaraf pada waktu manusia sedang berpikir. Kemampuan kognitif
ini berkembang secara bertahap,
sejalan dengan
perkembangan fisik dan syaraf-syaraf yang berada di pusat susunan syaraf.
Menurut Gutama (2008:14) perkembangan kognitif anak amat tergantung pada pengalaman yang kaya stimulasi baik dari orang tuanya, pengasuhnya, gurunya maupun orang-orang di sekitarnya. Interaksi anak dengan benda-benda dan situasi yang ada di sekitarnya juga amat berpengaruh bagi perkembangan kognitif anak. Sementara menurut Keat (dalam Hartinah, 2008:36) bahwa perkembangan kognitif sebagai proses-proses mental yang mencakup pemahaman tentang dunia, penemuan pengetahuan, pembuatan perbandingan, berpikir, dan mengerti. Oleh karena itu, Menurut Jamaris (2005:27) aktivitas di dalam proses pembelajaran hendaknya ditekankan pada pengembangan struktur kognitif, melalui pemberian kesempatan pada anak untuk memperoleh pengalaman langsung dalam berbagai aktivitas pembelajaran yang sesuai dengan pembelajaran terpadu dan mengandung makna. Memulai kegiatan dengan membuat konflik dalam pikiran anak, memberi kesempatan pada anak untuk melakukan berbagai kegiatan yang dapat mengembangkan kemampuan kognitifnya, melakukan kegiatan Tanya jawab yang dapat mendorong anak untuk berpikir dan mengemukakan pikirannya. Hubungannnya dengan mempelajari membilang angka 1 sampai 10, kognitif memiliki keterkaitan dengan pemerolehan kemampuan seseorang dalam belajar Matematika. Menurut Jamaris (2005:45) kesadaran terhadap hitungan tidak hanya menyangkut kemampuan untuk membilang “satu, dua, tiga, dan seterusnya…”, dalam masa ini juga berkembang kemampuan untuk memahami bahwa satu objek berhubungan dengan objek lainnya dan dapat dipasangkan. Oleh
karena itu pemahaman untuk berhitung juga berhubungan dengan pengetahuan terhadap strategi dalam menghitung yang berkaitan dengan membilang. Pengembangan kemampuan dasar menghitung demikian halnya dengan membilang dapat dilakukan dengan membiasakan anak berinteraksi dengan situasi yang berkaitan dengan kegiatan membilang seperti: menghitung kehadiran anak di sekolah, melakukan permainan yang mengandung giliran, mecocokkan jumlah benda dengan angkanya dan sebagainya. 3.
Faktor Latar Belakang Sosial Latar belakang sosial mencakup struktur keluarga, afiliasi kelompok
sosial, dan lingkungan budaya memungkinkan terjadinya perbedaan serius dalam belajar. Hal lain yang turut berpengaruh adalah status sosial. Anak yang berasal dari golongan status sosial ekonomi rendah memiliki kesempatan belajar lebih sedikit sesuai dengan keadaan keluarganya. Sedangkan anak yang berasal dari keluarga yang memiliki status ekonomi yang lebih tinggi akan mudah dalam belajar karena tersedia fasilitas yang mendukungnya dalam belajar. Secara umum dapat tergambarkan bahwa anak-anak yang memiliki kondisi sosial ekonomi lebih baik maka anak akan memiliki kepercayaan diri yang baik pula, seperti yang dikemukakan oleh Suryadi (2006:59) anak-anak orang kaya memiliki berbagai kesempatan untuk mengembangkan kemampuan sosialnya pada berbagai kesempatan dan kondisi lingkungan yang berbeda. Anak-anak yang berasal dari orang tua yang kehidupan ekonominya lebih baik, akan populer di lingkungannya. Anak-anak yang memiliki kelebihan dalam hal kepopuleran maka anak tersebut akan semakin bisa diterima oleh lingkungan sosialnya.
4.
Faktor Motivasi Belajar Motivasi merupakan salah satu faktor yang turut menentukan keefektifan
pembelajaran dalam membilang angka 1 sampai 10 pada anak TK, motivasi adalah tenaga pendorong atau penarik yang menyebabkan adanya tingkah laku ke arah suatu tujuan tertentu. Peserta didik akan belajar dengan sungguh-sungguh apabila memiliki motivasi yang tinggi. Dengan kata lain seorang peserta didik akan belajar baik apabila ada faktor pendorongnya (motivasi). Sebaliknya tanpa adanya motivasi anak didik tidak akan memiliki keinginan untuk belajar. Motivasi sangat penting dalam belajar, di mana setiap individu mempunyai kebutuhan (needs) dan keinginan (wants). Setiap kebutuhan atau keinginan perlu memperoleh pemenuhan. Dalam batas tertentu upaya memenuhi kebutuhan itu seringkali merupakan tujuan, jadi bila tujuan tercapai, maka kebutuhan atau keinginan terpenuhi. Sedangkan dorongan untuk memenuhi kebutuhan atau mencapai tujuan itu sendiri merupakan motivasi, agar supaya belajar dapat mencapai hasil harus ada motivasi. Ditinjau dari faktor kemampuan, setiap peserta didik mempunyai kemampuan yang berbeda-beda, peserta didik yang mempunyai kemampuan tinggi akan mempunyai motivasi belajar yang tinggi pula, jika dibandingkan dengan peserta didik yang mempunyai kemampuan rendah. Oleh karena itu prestasi mereka dalam belajar nampak lebih meningkat. Hal tersebut diperkuat oleh penegasan Monks bahwa: ”Kemampuan akan memperkuat motivasi anak untuk melaksanakan tugas-tugas perkembangan”.
5.
Faktor Kemampuan Guru Guru dapat diartikan orang yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan
pembelajaran dengan sasaran anak didik, dengan memberikan bimbingan kepada anak didik dalam perkembangan jasmani maupun rohaninya, agar mencapai tingkat perkembangan yang optimal.
Dengan memperhatikan hubungan dan
pelaksanaan tugas pendidik, maka guru sebagai pihak yang bertanggung jawab pada pencapaian
tujuan pembelajaran. Dengan terbatasnya kemampuan guru
dalam menyelenggarakan program pembelajaran pada anak didik dapat mempengaruhi pencapaian keberhasilannya. 6.
Faktor Sarana Prasarana Pengadaan sarana dan alat belajar merupakan langkah guru atau pihak
sekolah mewujudkan perencanaan pembelajaran yang telah dibuat. Sebaik apapun perencanaan tersebut dibuat sebagai sumber belajar, jika guru tidak mewujudkan dalam bentuk pengadaan, tidak akan mencapai hasil yang optimal. Oleh sebab itu proses pengadaan sarana dan alat belajar menjadi sangat penting dilakukan untuk mendukung kegiatan pembelajaran yang ada.
Sebaliknya terbatasnya sumber
belajar yang digunakan dalam penyelenggaraan program belajar, akan berakibat pelaksanaannya akan terhambat. Sehubungan dengan faktor-faktor yang dikemukakan tersebut, guru memegang peranan penting dalam menciptakan situasi, sehingga proses pembelajaran membilang angka 1 sampai 10 dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Berbagai macam perubahan yang terjadi, yang disebabkan oleh faktor tersebut sepatutnya dapat diatasi dengan baik oleh guru, sehingga dapat
menyesuaikan pola interaksinya dengan anak didik sesuai dengan situasi yang dihadapi. 2.2.1
Pengertian Kartu Remi dalam Mengenal Angka 1 Sampai 10 Kartu remi dalam pembelajaran matematika di sekolah khususnya di
Taman kanak-kanak bukan untuk melarang melainkan suatu cara atau tehnik untuk mempelajari atau membina keterampilan anak dari suatu materi atau pembelajaran tertentu. Perlu juga bahwa dengan kartu remi pada anak TK itu hanya untuk menarik minat anak untuk lebih mengenal angka 1 sampai 10 dengan menggunakan kartu remi karena di kartu remi tersebut memiliki berbagai macam bentuk gambar yang dapat menarik perhatian anak, sedangkan secara umum kartu remi cocok untuk membantu mempelajari fakta dan keterampilan, dan sesungguhnya kartu remi digunakan untuk pengenalan konsep dan pemahaman konsep Sukayati, (2004 : 14). Sejalan dengan pendapat Trajono (dalam Sukayati, 2004 : 18) yang menyatakan bahwa kartu remi merupakan alat bantu paling penting untuk berlatih dan memperkuat kemampuan mengenali bilangan. Kartu remi terdiri dari bagian bilangan dan gambar . Menurut Pujiati (2003 : 18), permainan kartu remi adalah permainan kartu yang setiap kartunya khusus berisi, hal-hal yang berkaitan dengan pengoperasian bilangan. Menurut Arritia (2011 : 31), kartu remi merupakan suatu media yang berbentuk gambar yang diperlihatkan kepada anak. Dengan kartu remi anak dapat mengetahui atau mengenal suatu bilangan serta dapat membilang bahkan menulis suatu bilangan berdasarkan gambar yang ditampilkan. Selain itu dengan
menggunakan kartu remi ada keasyikkan tersendiri dalam belajar sehingga anak akan tertarik dan mudah untuk menerima, mengerti, dan memahami pelajaran yang diberikan oleh guru. Dengan mencermati beberapa pendapat para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa permainan kartu remi adalah suatu kegiatan yang menyenangkan dengan menggunakan kartu remi yang berbentuk persegi panjang untuk berlatih dan memperkuat kemampuan mengenal dan membilang bilangan khususnya angka 1 sampai 10 pada anak TK. 2.2.2
Tujuan Kartu Remi Untuk mengetahui implementasi pembelajaran dalam membilang bilangan
1 sampai 10 dengan menggunakan media pembelajaran kartu remi, juga untuk mengetahui respon anak terhadap pembelajaran dalam membilang bilangan dengan menggunakan media pembelajaran kartu remi, dan untuk mengingat sekaligus menghafal bilangan 1 sampai 10 (Arritia, 2011 : 33). 2.2.3 Aturan Kartu Remi Permainan ini menggunakan seperangkat kartu remi yang jumlahnya disesuaikan dengan kebutuhan yang diinginkan oleh guru tentunya dengan mempertimbangkan karaktek anak. Berikut ini aturan dalam permainan kartu remi (Arritia, 2011 : 33) : (1) Pemain/anak terdiri dari 2 – 4 orang, (2) Permainan diawali dengan mengocok seperangkat kartu remi yang dilakukan oleh guru, (3) Bagikan 6 buah kartu pada tiap-tiap pemain/anak dan keluarkan satu kartu dari tumpukan sisa kartu yang telah dibagikan tadi, (4) Sisa kartu tadi digunakan sebagai kartu cangkok, (5) Tiap pemain berurutan mengeluarkan kartu yang
jumlahnya dari yang terkecil, contohnya 1 sampai yang tertinggi, (6) Siapa yang nilai kartunya paling besar, dia yang pertama mengeluarkan kartu yang ada di tangannya, (7) Apabila ada pemain/anak yang tidak memiliki kartu yang sesuai, dia diperbolehkan mengambil kartu cangkok hingga menemukan kartu yang dimaksud, (8) Dan begitu seterusnya permainan dilanjutkan, (9) Pemenang ditentukan dari siapa yang duluan menghabiskan kartu di tangannya dan itupun kartu cangkok juga sudah habis. 2.2.4 Pembelajaran Materi Mengenal Angka dengan Menggunakan Kartu Remi Dalam pembelajaran tidak semua permainan merupakan permainan matematika. Sebagaimana dikemukakan oleh Semiawam (2003 : 216) bahwa “permainan matematika adalah suatu kegiatan yang menggembirakan yang dapat menunjang tercapainya tujuan pembelajaran matematika”. Pada penelitian ini permainan matematika yang dilakukan adalah permainan dengan menggunakan kartu remi. Tujuannya dapat menyangkut aspek kognitif, afektif, dan psikomotor. Adapun langkah-langkah pembelajaran dalam penggunaan kartu remi pada awal pembelajaran dilakukan terlebih dahulu apersepsi untuk merangsang kemampuan anak dalam memulai materi yang diajarkan. Kemudian guru bertanya ini angkanya berupa di udara. Untuk lebih jelas, guru memperlihatkan gambar kartu remi. Selanjutnya guru menanyakan bilangan yang ada pada kartu bilangan. Contohnya untuk menjelaskan angka 1 maka guru memperlihatkan kartu remi bilangan 1.
2. 3 Tahapan Perkembangan Pra Operasional Konkret 2 – 7 Tahun Kognitif adalah proses yang terjadi secara internal di dalam pusat susunan syaraf pada waktu manusia sedang berpikir (Gagne, 1976 : 71), kemampuan kognitif ini berkembang secara bertahap, sejalan dengan perkembangan fisik dan syaraf-syaraf yang berada di pusat susunan syaraf. Salah satu teori yang berpengaruh dalam menjelaskan perkembangan kognitif ini adalah teori Piaget. Menurut Piaget (dalam Hildayani, 2008 : 21 – 22), perkembangan merupakan suatu proses yang bersifat kumulatif. Artinya perkembangan terdahulu akan menjadi dasar bagi perkembangan selanjutnya. Dengan demikian, apabila terjadi hambatan pada perkembangan terdahulu, maka perkembangan selanjutnya akan memperoleh hambatan. Piaget (dalam Hildayani, 2008 : 21 – 22) membagi perkembangan kognitif ke dalam empat fase, yaitu fase sensorimotor (usia 0 - 2 tahun), fase praoperasional (usia 2 – 7 tahun), fase operasi konkret (usia 7 – 12 tahun), fase operasi formal (usia 12 – dewasa). Bertitik tolak dari gambaran umum tentang fase-fase perkembangan kognitif tersebut di atas, maka dapat diketahui bahwa perkembangan kofnitif anak usia taman kanak-kanak (PAUD) berada dalam fase pra operasional yang mencakup tiga aspek, yaitu : (1) aspek berpikir simbolis, yaitu kemampuan untuk berpikr tentang objek dan perisitiwa walaupun objek dan perisitiwa tersebut tidak hadir secara fisik (nyata) di hadapan anak ; (2) aspek berpikir egosentris yaitu cara berpikir tentang benar atau tidak benar, setuju atau tidak setuju, berdasarkan sudut pandang sendiri, oleh sebab itu anak belum dapat meletakkan cara pandangannya di sudut pandangan orang lain ; (3) aspek berpikir
intuitif, yaitu kemampuan untuk menciptakan sesuatu, seperti menggambar atau menyusun balok, akan tetapi tidak mengetahui dengan pasti alasan untuk melakukannya. 2.3.1 Tahapan Pra Operasional Konkret Anak Usia 2 – 7 Tahun Tahapan ini merupakan tahapan kedua dari empat tahapan. Dengan mengamati urutan permainan, Piaget (dalam Hildayani, 2008 : 29) bisa menunjukkan bahwa setelah akhir usia 2 tahun, jenis yang secara kualitatif baru dari fungsi psikologis muncul. “Pemikiran (Pra) Operasi” dalam teori Piaget adalah prosedur melakukan tindakan secara mental terhadap objek-objek. Ciri dari tahapan ini adalah operasi mental yang jarang dan secara logika tidak memadai. Dalam tahapan ini, anak belajar menggunakan dan merepresentasikan objek dengan gambaran dan kata-kata. Pemikirannya masih bersifat egosentris. Anak kesulitan untuk melihat dari sudut pandang orang lain. Anak dapat mengklasifikasikan objek menggunakan satu ciri, seperti mengumpulkan semua benda bulat yang warnyanya berbeda-beda. Menurut Piaget (dalam Hildayani, 2008 : 33), tahapan pra operasional mengikuti tahapan sensorimotor dan muncul antara usia 2 – 6 hingga 7 tahun. Dalam tahapan ini, anak mengembangkan keterampilan berbahasanya. Mereka mulai
mempresentasikan
benda-benda
dengan
kata-kata
dan
gambar.
Bagaimanapun, mereka masih menggunakan penalaran intuitif bukan logis. Di permulaan tahapan ini, mereka cenderung egosentris, yaitu mereka tidak dapat memahami tempatnya di dunia dan bagaimana hal tersebut berhubungan satu sama lain. Mereka kesulitan memahami bagaimana perasaan dari orang yang di
sekitarnya. Tetapi seiring pendewasaan, kemampuan untuk memahami prespektif orang lain semakin baik. Anak memiliki pikiran yang sangat imajinatif di saat ini dan menganggap setiap benda yang tidak hidup pun memiliki perasaan. 2.4 Kajian yang relevan Judul
: Meningkatkan Kemampuan Menghitung angka 1 sampai 10 Melalui Permainan Dadu di PAUD Apel Kelurahan Dutulanaa Kec. Limboto Kab. Gorontalo.
Oleh
: Mukhlisah M. Rauf
Tahun
: 2009
Hasil Penelitiannya
: Hal tersebut terbukti dari hasil penelitian yang telah diujikan pada siklus I, Nampak dari 20 anak keseluruhan yang telah berhasil mencapai ketuntasan belajar 12 anak atau 60.00% belum memiliki kemampuan baik dalam kemampuan menghitung angka 1-10. Setelah dilaksanakan tindakan pada siklus II mengalami peningkatan yaitu menjadi 15 anak atau 75% anak yang telah memiliki kemampuan baik dalam menghitung angka 1-10, dengan demikian diperoleh bahwa proses kegiatan belajar mengajar telah berhasil.
2.5
Hipotesis Tindakan Dapat diajukan hipotesis tindakan dalam penelitian sebagai berikut : “Jika
menggunakan kartu remi, maka kemampuan mengenal angka 1 sampai 10 pada anak kelompok A di TK Si Kuncung Desa Dambalo Kecamatan Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara dapat meningkat” 2.5
Indikator Kinerja Yang menjadi indikator kinerja keberhasilan penelitian tindakan ini adalah
apabila 75% dari jumlah anak telah berhasil meningkatkan kemampuan mengenal angka 1 sampai 10. Artinya terjadi peningkatan dari 5 orang anak (25%) menjadi 15 orang (75%) dari jumlah anak 20 orang anak.