BAB II KAJIAN TEORI
2.1
Tinjauan Tentang Mahar
2.1.1 Pengertian Mahar Mahar secara bahasa artinya maskawin. Secara istilah, mahar ialah “pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan cinta kasih calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon suaminya”. Atau “suatu pemberian yang diwajibkan bagi calon suami kepada calon istrinya, baik dalam bentuk, jumlah dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak.1 Islam sangat memperhatikan dan menghargai kedudukan seorang wanita dengan memberi hak untuk menerima mahar (maskawin). Mahar hanya diberikan oleh calon suami kepada calon istri, bukan kepada wanita lainnya atau siapapun walaupun sangat dekat dengannya. Orang lain tidak boleh menjamah apalagi menggunakannya, meskipun oleh suaminya sendiri, kecuali dengan ridha dan kerelaan si istri. Jika si istri telah menerima maharnya tanpa paksaan dan tipu muslihat lalu ia memberikan sebagian maharnya maka boleh diterima dan tidak disalahkan. Akan tetapi, bila istri dalam memberikan maharnya karena malu, takut, maka tidak halal menerimanya.
1
Tim Citra Umbara (2011) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974. 237
8
9
2.1.2 Mahar Menurut Islam Menurut istilah, para ulama berbeda pendapat tentang redaksinya, namun maksud dan tujuannya sama. Pendapat-pendapat tersebut adalah sebagai berikut: a. Golongan Hanafiyah berpendapat bahwa mahar adalah Harta yang menjadi hak istri dari suaminya dengan adanya akad. b. Golongan Malikiyah berpendapat bahwa mahar adalah Sesuatu yang diberikan kepada istri sebagai ganti (imbalan) dari istimta‟ (bersenang-senang) dengannya”. c. Golongan Syafi‟iyah berpendapat bahwa mahar adalah Sesuatu yang menjadi wajib dengan adanya akad nikah atau watha‟ atau karena merusakkan kehormatan wanita secara paksa (memperkosa)”. d. Golongan Hanabilah berpendapat bahwa mahar adalah suatu imbalan dalam nikah baik yang disebutkan di dalam akad atau yang diwajibkan sesudahnya dengan kerelaankedua belah.2 Dari berbagai definisi di atas nampak bahwa definisi yang dikemukakan oleh golongan Hanafiyah membatasi mahar itu hanya dalam bentuk harta, sementara definisi yang dikemukakan oleh golongan lainnya tidak membatasi hanya pada harta saja. Dari sini dapat dipahami bahwa definisi-definisi selain golongan Hanafiyah, memasukkan jenis atau bentuk-bentuk lain selain harta dalam pengertian mahar, seperti jasa atau manfaat, mengajarkan beberapa ayat alQur‟an dan sebagainya. Dengan kata lain bahwa mahar itu boleh berupa barang (harta kekayaan) dan boleh juga berupa jasa atau manfaat. Kalau berupa barang
2
Muhammad Jawad Mughniyah, (2001) Fiqih Lima Mazhab. 364
10
disyaratkan bahwa barang itu harus berupa sesuatu yang mempunyai nilai atau harga, halal dan suci.Sedangkan kalau berupa jasa atau manfaat haruslah berupa jasa atau manfaat dalam arti yang baik. Dari rumusan-rumusan definisi di atas juga dapat dipahami bahwa mahar itu merupakan suatu kewajiban yang harus dipikul oleh setiap calon suami yang akan menikahi calon istrinya. Jadi, mahar itu benar-benar menjadi hak penuh bagi istriyang menerimanya, bukan hak bersama dan bukan juga hak walinya. Keempat golongan ulama di atas sepakat bahwa mahar adalah hak calon istri dari calon suamiyang muncul karena terjadinya akad nikah. Berdasarkan definisi di atas dapat diambil kesimpulan bahwa mahar itu adalah suatu pemberian yang wajib ditunaikan oleh calon suami kepada calon istri serta disebut dalam shighat akad nikah sebagai tanda persetujuan dan kerelaan untuk hidup bersama sebagai suami istri. 2.1.3 Syarat-Syarat dan Macam-Macam Mahar a.
Syarat-Syarat Mahar Mahar yang diberikan kepada calon istri harus memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut: a) Harta atau bendanya berharga. Tidak sah mahar dengan yang tidak berharga, walaupun tidak ada ketentuan banyak atau sedikitnya mahar. Akan tetapi apabila mahar sedikit tapi bernilai maka tetap sah. b) Barangnya suci dan bisa diambil manfaat. Tidak sah mahar dengan khamr, babi, atau darah karena semua itu haram dan tidak berharga.
11
c) Barangnya bukan barang ghasab. Ghasab artinya mengambil barang milik orang lain tanpa seizinnya, namun tidak bermaksud untuk memilikinya karena berniat untuk mengembalikannya di kemudian hari. Memberikan mahar dengan barang hasil ghasab tidak sah, tetapi akadnya sah. d) Bukan barang yang tidak jelas keadaannya. Tidak sah mahar dengan memberikan barang yang tidak jelas keadaannya, atau tidak disebutkan jenisnya.3 b.
Macam-Macam Mahar Ulama fikih sepakat bahwa mahar itu ada dua macam, yaitu mahar
musamma dan mahar mitsil (sepadan).4 1)
Mahar Musamma Mahar musamma ialah mahar yang besarnya ditentukan atau disepakati
oleh kedua belah pihak.5 Mahar ini dapat dibayar secara tunai dan bisa juga ditangguhkan sesuai persetujuan istri. Berdasarkan redaksi di atas dapat dimengerti bahwa penetapan jumlah mahar telah ditentukan ketika akad nikah, akan tetapi diperbolehkan untuk membayar secara penuh sekaligus atau melakukan penundaan. Hal ini tentunya sangat didukung kerelaan kedua belah pihak. Menurut ulama Malikiyah, apa yang diberikan kepada istri sebelum akad atau pada saat akad dianggap sebagai mahar, meskipun tidak disyaratkan sebelumnya. Demikian juga barang yang diberikan kepada walinya sebelum akad. Adapun yang telah diberikan kepada wali setelah akad, maka hal itu telah menjadi 3 4 5
Ibid. Ibid. Ibid.
12
milik wali secara khusus sehingga tidak ada hak bagi istri atau suami untuk mengambil darinya.6 Mahar musamma ini biasanya ditetapkan bersama atau dengan musyawarah kedua belah pihak. Berapa jumlahnya dan bagaimana bentuknya harus disepakati bersama dan sunnah diucapkan tatkala melaksanakan ijab kabul pernikahan, agar para saksi dapat mendengar secara langsung jumlah dan bentuk mahar tersebut. Masalah pemberlakuan pembayaran mahar dengan kontan dan berhutang atau kontan dan hutang sebagian hal ini terserah kepada adat masyarakat dan kebiasaan yang berlaku. Tetapi sunnah kalau membayar kontan sebagian.7 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penentuan mahar serta pemberiannya baik dengan cara memberi kontan atau menangguhkannya adalah suatu hal yang diperbolehkan, akan tetapi ketentuan dari mahar musamma ini telah ditetapkan ketika ijab kabul pernikahan. Keputusan musyawarah antara kedua belahpihak dapat menjadi tolak ukur pemberian mahar secara kontan ataupun penundaan. 2)
Mahar Mitsil
a)
Menurut ulama Hanafiyah, mahar mitsil adalah mahar perempuan yang menyerupai istri pada waktu akad, dimana perempuan itu berasal dari keluarga ayahnya, bukan keluarga ibunya jika ibunya tidak berasal dari keluarga ayahnya. Seperti saudara perempuannya, bibinya dari sebelah ayah, anak pamannya dari sebelah ayah, yang satu daerah dan satu masa dengannya. Keserupaan itu dilihat dari sifat yang baik menurut kebiasaan, 6 7
Ibid., 365 Ibid., 366
13
yaitu: kekayaan, kecantikan, umur, kepandaiandan keagamaan. Karenanya, perbedaan mahar ini ditentukan oleh perbedaan daerah, kekayaan, kecantikan, umur, kepandaian dan keagamaan. Mahar akan bertambah dengan bertambahnya sifat-sifat tersebut. Maka harus ada keserupaan antara dua orang perempuan itu dalam sifat-sifat ini, agar mahar mitsil dapat ditunaikan secara wajib kepada perempuan itu. Apabila tidak ada perempuan yang serupa dengan istri bapaknya, maka mahar mitsil itu ditentukan berdasarkan perempuan yang menyerupai keluarga ayahnya berdasarkan status sosial. Apabila tidak ada juga, maka mahar mitsil itu ditentukan berdasarkan sumpah suami, karena ia mengingkari kelebihan yang didakwakan oleh perempuan. Syarat penetapan mahar mitsil itu adalah memberitahukan dua orang laki-laki dan dua orang perempuan dengan lafadz kesaksian.Jika tidak ada saksi yang adil maka yang dipegang adalah ucapan suami yang diambil sumpahnya setelah mahar tersebut disebutkan.
b)
Menurut Hanabilah, mahar mitsil adalah mahar yang diukur dari perempuan yang menyerupai istri dari seluruh kerabat, baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu. Seperti saudara perempuan, bibi dari pihak ayah, anak bibi dari pihak ayah, ibu,bibi dari pihak ibu dan selain mereka dari kerabat yang ada. Hal ini disebabkan karena kemutlakan kekerabatan itu mempunyai pengaruh secara umum. Apabila tidak ada perempuan-perempuan dari kerabatnya, maka mahar mitsil itu ditentukan berdasarkan perempuanperempuan yang serupa dengannya di negerinya. Apabila hal tersebut tidak didapatkan, maka diukur berdasarkan perempuan yang paling mirip dengannya dari negeri yang terdekat dengan tempat tinggalnya.
14
c)
Menurut Malikiyah dan Syafi‟iyyah, mahar mitsil ialah mahar yang dipilih oleh suaminya berdasarkan mahar perempuan-perempuan yang serupa dengan istrinya menurut adat. Menurut golongan Syafi‟iyyah, mahar mitsil itu diambil dari maharperempuan-perempuan dari keluarga ayah. Mahar mitsil itu diambil dari yang terdekat di antara perempuan dari keluarga ayah.Yang paling dekat di antara mereka itu adalah saudara-saudara perempuan, anak-anak perempuan dari saudara kandung, bibi dari pihak ayah dan anak perempuan paman dari pihak ayah. Jika tidak ada perempuan dari pihak ayah, maka diambil perempuan yang terdekat dengannya dari pihak ibu, dan bibi dari pihak ibu. Karena mereka-mereka itulah yang terdekat dengannya. Jika itu tidak ada, maka ambillah perempuanperempuan yang satu negeri dengannya, atau kerabat-kerabat wanita yang menyerupainya. Sedangkan menurut Malikiyah, mahar mitsil itu diambil dari kerabat istri yang keadaannya diukur dari keturunan, harta dan kecantikannya. Seperti maha rsaudara perempuan kandung atau perempuan sebapak, bukan ibu dan bukan pula bibi yang seibu dengan ayah, yang demikian itu tidak dapat diambil sebagai ukuran mahar mitsil, karena keduanya kadang-kadang berasal dari golongan yang lain.8 Keserupaan dalam mahar mitsil disepakati oleh semua mazhab sebagaimana
disebutkan dalam mazhab Hanafiyah bahwa keserupaan itu dilihat dari aspek keagamaan, kekayaan, kecantikan, kepandaian (akal), kesopanan, usia, kegadisan atau kejandaan, negeri, keturunan dan kemuliaan leluhur. Hal-hal ini merupakan
8
Ibid., 366
15
sesuatu
yang dianggap
sebagai
kebanggaan
bagi
orang tua
daripada
kedermawanan, ilmu pengetahuan, kemurahan hati, keberanian, kebaikan dan kebangsawanan, yang menyebabkan terjadinya perbedaan dalam mahar. Berdasarkan definisi-definisi di atas, maka dapatlah dimengerti dan disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan mahar mitsil adalah mahar yang diberikan oleh calon suami kepada calon istrinya yang ketentuan besar kecilnya belum ditetapkan dan bentuknya juga tidak disebutkan. Akan tetapi mahar ini disesuaikan dengan kedudukan wanita dalam struktur kehidupan sosial dari segala aspek atau pertimbangan. Seperti keagamaan, kekayaan, kecantikan, kepandaian, kesopanan, usia, kegadisan, kejandaan, negeri, keturunan dan kemuliaan leluhurnya. Mahar mitsil itu diukur dari perempuan yang menyerupai istri dari seluruh kerabatnya, baik dari pihak ayah maupun ibunya.Seperti saudara kandung, bibi dari pihak ayah, anak paman dari pihak ibu, dan selain dari mereka kerabat yang ada. 2.1.4 Pendapat Ulama Tentang Jumlah Mahar dan Dalil Pegangannya Islam tidak menetapkan jumlah atau besar kecilnya mahar karena adanya perbedaan kemampuan, kaya dan miskin, lapang dan sempitnya kehidupan atau banyak sedikitnya penghasilan.Selain itu, tiap masyarakat memiliki adat istiada tsendiri-sendiri atau tradisi yang berbeda-beda. Oleh karena itu, Islam menyerahkan masalah jumlah mahar tersebut kepada kemampuan masing-masing orang atau keadaan dan tradisi keluarganya. Menelusuri kitab-kitab yang mengenai mahar, para fuqaha sependapat bahwa mahar itu wajib dan diperintahkan oleh Allah SWT. Mereka juga sepakat
16
bahwa mahar itu tidak ada batas tertinggi, tetapi mereka berselisih pendapat tentang batas terendahnya. Dalam masalah ini, para fuqaha terklasifikasi kepada 3(tiga) kelompok aliran pendapat yaitu:9 a)
Aliran pertama yang berpendapat bahwa jumlah mahar minimal sepuluh dirham. Aliran ini disponsori oleh golongan Hanafiyah. Adapun dasar argumentasi aliran pertama yang mengatakan bahwa jumlah mahar minimal sepuluh dirham, adalah berdasarkan hadis dan qiyas.10 Hadis yang mereka (mazhab Hanafiyah) jadikan dalil yang artinya :”dari Jabir ra. Sesungguhnya Nabi SAW telah bersabda: ketahuilah, wanita itu tidak boleh dikawinkan kecuali oleh para wali, dan wali itu tidak boleh mengawinkan mereka (wanita) kecuali dengan lakilaki yang sekufu‟dengannya, dan tidak ada mahar kecuali paling sedikit sepuluh dirham. (HR. Daruquthni dan Baihaqi). Hadis di atas menjelaskan bahwa batas minimal mahar adalah sepuluh dirham. Kurang dari itu dianggap tidak ada mahar atau pernikahan itu tidak sah. Adapun dalil qiyas yang dikemukakan oleh mazhab Hanafiyah adalah dengan mengqiyaskan batas minimal mahar kepada nishab potong tangan dalam pencurian, karena masing-masing merupakan ketentuan syara‟ yang menghalalkan anggota tubuh. Menurut mereka nishab pencurian yang mewajibkan potong tangan adalah sepuluh dirham.11 Maka ukuran itulah yang bisa menghalalkan kehormatan wanita.
b) Aliran kedua yang mengatakan bahwa jumlah mahar minimal tiga dirham atau seperempat dinar. Aliran ini disponsori oleh mazhab Malikiyah. Pendapat 9 10 11
Khalid Abu (1990) Kamus Arab Alhuda Arab-Indonesia 424 Ibid., 454 Ibid., 148
17
kelompok ini tidak mengemukakan dalil hadis, tetapi hanya dalil qiyas semata yang menerangkan bahwa mahar wajib bagi suami sebagai tanda memuliakan harkat dan martabat wanita serta sebagai tanda ia rela atau bersedia mengorbankan sebagian harta untuk membelajakan istrinya.12 Mereka juga menqiyaskan batas minimal pada nishab potong tangan dalam pencurian, karena ada kesamaan di antara keduanya (sama-sama menghalalkan bagian tubuh).13 Kehormatan wanita merupakan anggota tubuh, tangan juga anggota tubuh yang dihalalkan dengan ukuran tertentu. Harta ini telah ada ketetapannya dalam syari‟at, maka standar itu dipakai sebagai ukuran mahar. Dalam menqiyaskan mahar dengan nishab pencurian, Malikiyah sependapat dengan golongan Hanafiyah. Berbeda dengan mazhab Hanafiyah, mazhab Malikiyah berpendapat bahwa batasminimal (ukuran) harta yang mewajibkan potong tangan bagi seorang pencuri adalah seperempat dinar emas atau tiga dirham perak, maka ukuran itu dianggap sebagai batas minimal mahar yang dapat menghalalkan kehormatan wanita kepada suaminya. c) Aliran ketiga yang menyatakan bahwa mahar itu tidak ada batas minimal danmaksimal. Aliran ini disponsori oleh mazhab Syafi‟iyah dan Hanabilah.14 Dengan demikian, ayat al-Qur‟an yang dijadikan dalil oleh golongan Syafi‟iyyah dan Hanabilah menjelaskan bahwa syari‟at Islam tidak menentukan kadar atau jumlah benda yang akan dijadikan mahar. Di samping mengemukakan dalil ayat al-Qura‟n, Hadis, golongan Syafi‟iyahdan Hanabilah juga mengemukakan dalil rasio. Menurut mereka mahar 12 13 14
Ibid., 102 Ibid., 558 Muhammad Jawad Mughniyah, Op cit.,368
18
adalah hakmutlak wanita.Allah mensyari‟atkannya sebagai ganti (imbalan) memanfaatkannya, menjaga kesucian, mengangkat harkat dan martabat wanita serta memuliakan kedudukannya. Oleh karena itu, jumlah mahar diserahkan kepada kedua belah pihak atas dasar sukarela, sehingga boleh saja memberikan mahar berupa harta benda ataujasa. Islam juga memberi hak kepada wanita untuk memegang urusannya, termasuk dalam memanfaatkan maharnya. Hal ini merupakan salah satu usaha Islam untuk mengangkat harkat dan martabat wanita serta menghargai kedudukannya. Karena pada zaman jahiliyyah hak perempuan telah dihilangkan dan disia-siakan, sehingga walinya dengan semena-mena dapat menggunakan harta (mahar) nya dantidak memberikan kesempatan kepada wanita untuk mengurus dan mempergunakan harta tersebut. Islam datang menghilangkan belenggu ini. Wanita diberi hak mahar, sedangkan suami diwajibkan memberi mahar bukan kepada ayah atau walinya. 2.1.5 Mekanisme Pembayaran a.
Mekanisme Pembayaran Mahar Para ulama mazhab sepakat bahwa mahar boleh dibayar kontan dan boleh
pula hutang, baik sebagian maupun seluruhnya, dengan syarat diketahui secara detail.15 Misalnya si laki-laki mengatakan, “saya mengawinimu dengan mahar seratus ribu,yang lima puluh ribu saya bayar kontan sedang sisanya dalam waktu setahun”. Atau,bisa diketahui secara global, misalnya pengantin laki-laki mengatakan, ”maharnyasaya hutang dan akan saya bayar pada saat kematian saya
15
Ibid.
19
atau pada saat saya menceraikanmu”. Akan tetapi bila benar-benar tidak dapat diketahui, misalnya diamengatakan, ”saya bayar hingga orang yang bepergian kembali”, maka batasan waktu yang demikian itu dianggap tidak ada. Berikut ini pandangan Islam tentang mekanisme pembayaran mahar: 1.
Hanafiyah Ulama Hanafiyah mengatakan bahwa pembayaran mahar seperti itu sah
dilakukan secara kontan atau hutang, seluruhnya atau sebagiannya sampai waktu yang dekat atau lama atau yang terdekat di antara dua masa yaitu talak atau wafat. Mahar itu harus dibayar kontan, manakala tradisi yang berlaku adalah seperti itu. Selanjutnya ulama Hanafiyah mengatakan kalau mahar itu dihutang dengan syarat harus ada batasan waktu yang jelas atau pasti. Misalnya, si suami mengatakan, ”Aku nikahi engkau dengan mahar seribu yang pembayarannya dilakukan sampai waktu aku mempunyai kelapangan”. Penundaan yang demikian itu tidak sah, karena ada pembatasan waktu yang tidak pasti. Demikian juga, seandainya mahar itu dihutang tanpa menyebutkan waktu pembayarannya. Misalnya suami mengatakan, ”separo saya bayar kontan dan separonya lagi saya hutang”, makahutang tersebut dinyatakan batal, dan mahar harus dibayar secara kontan. Apabila tidak ada kesepakatan untuk membayar mahar secara kontan atau hutang, maka dilaksanakan sesuai dengan adat yang berlaku di daerahnya, Karena hal-hal yang sudah dikenal sebagai adat sama kedudukannya dengan hal-hal yang ditetapkan sebagai syarat.
20
Apabila tidak ada adat istiadat yang menentukan untuk membayar mahar secara kontan atau hutang, maka mahar harus dibayar kontan, karena yang tidak disebutkan bayar belakangan (hutang), hukumnya sama dengan bayar kontan, karena pada dasarnya, mahar itu wajib hukumnya dibayar secara kontan setelah sempurnanya akad. Apabila mahar tersebut dibayar dengan cara berhutang secara terus terang atau menurut adat kebiasaan, maka hal tersebut boleh diamalkan menurut asalnya, karena nikah adalah kesamaan dan kesepakatan dari kedua belah pihak. 2.
Syafi‟iyah dan Hanabilah Ulama Syafi‟iyah dan Hanabilah membolehkan untuk menunda pembayaran
mahar baik seluruhnya maupun sebagian sampai pada batas waktu tertentu, karena mahar itu adalah imbalan dari tukar menukar. Apabila secara mutlak mahar itu disebutkan (tidak dijelaskan kontan atau hutang), maka mahar harus dibayar secara kontan.Apabila ditunda pembayarannya sampai batas waktu yang tidak diketahui, seperti sampai datangnya si fulan maka hal itu tidak sah karena waktunya tidak diketahui secara pasti. Menurut Hanabilah, apabila pembayaran mahar ditunda dantidak disebutkan waktunya maka mahar itu sah. Sedangkan batas waktu pembayarannya adalah bila terjadi perceraian atau kematian. 3.
Malikiyah Ulama Malikiyah merinci lagi hukum pembayaran mahar secara hutang.
Menurut mereka, jika mahar itu berupa benda tertentu dan ada di tempat mereka melangsungkan akad, seperti rumah, pakaian, hewan, maka wajib diserahkan maharitu kepada wanita atau walinya pada hari akad tersebut dan tidak boleh
21
ditunda setelah akad walaupun wanita itu rela menundanya. Jika disyaratkan penundaan mahar pada waktu akad, maka akad itu fasid kecuali jika waktunya singkat sepertidua hari atau lima hari. Boleh bagi wanita merelakan penundaan mahar tanpa ada syarat, tapi menyegerakannya adalah hak wanita tersebut. Apabila mahar itu berupa benda tertentu, tapi tidak ada di negeri tempat mereka melangsungkan akad, maka nikahnya sah jika penyerahan maharnya ditunda dalam waktu dekat, apabila tidak terjadi perubahan lagi. Apabila maharnya berupa benda yang tidak tertentu, misalnya uang, barang yang tidak jelas takaran atau timbangannya, maka boleh ditunda pembayarannya, baik semua maupun sebagian dan boleh ditunda sampai dukhul jika diketahui waktunya, seperti waktu panen atau musim panas atau musim panen buah. Mahar juga boleh ditunda pembayarannya sampai suami mempunyai kelapangan rezeki. Hal ini bisa saja terjadi meskipun istrinya kaya dansuami mempunyai suatu barang yang masih berada pada orang lain atau gaji yang belum dibayar. Boleh juga menunda pembayaran apabila wanita itu sangat mencintai calon suaminya. Dalam hal ini, kondisinya sama dengan menunda pembayaran mahar sampai si suami ada kelapangan rezeki.16 Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa mekanisme pembayaran mahar itu dapat digolongkan menjadi 3 (tiga) bagian: a) Pembayaran mahar secara kontan, yaitu penyerahan mahar seluruhnya kepada pengantin wanita sesuai dengan yang ditentukan pada waktu akad nikah.
16
Ibid., 369
22
Dengan demikian pengantin laki-laki boleh menggauli istrinya setelah menyerahkan mahar seluruhnya. b) Pembayaran mahar secara hutang, yaitu penyerahan mahar yang tidak dilaksanakan pada waktu akad nikah hingga suami lebih dulu menggauli istrinya, sedang ia belum memberikan mahar kepadanya. Hal yang seperti ini tentu bisa terjadi apabila istri rela menerimanya. c) Pembayaran mahar secara kontan sebagian dan hutang sebagian, yaitu suami menyerahkan mahar kepada istrinya sebagian dari jumlah yang ditentukan pada waktu akad, dan sebagian lagi ditangguhkan yaitu dibayar kemudian sampai batas waktu yang diketahui atau pasti. Sedangkan penundaan mahar yang dibolehkan ada dua syarat: a) Waktu harus diketahui (tertentu). b) Batas waktunya tidak terlalu lama, seperti 50 (lima puluh) tahun atau lebih, karena hal itu diduga akan menghilangkan mahar.
2.2
Mahar Perkawinan Adat Bugis
2.2.1 Tinjauan Tentang Mahar Bagi masyarakat yang berdomisili di desa Batu Gading, perkawinan berarti siala‟ saling mengambil satu sama lain. Jadi perkawinan adalah ikatan timbal balik. Walaupun mereka berasal dari status sosial yang berbeda, setelah menjadi suami istri mereka merupakan mitra.17
17
Lembaga Seni Budaya Teluk Bone. (2011) Tata Cara Perkawinan Adat Bone. 1
23
Dalam proses perkawinan, pihak laki-laki harus memberikan mas kawin kepada perempuan. Mas kawin terdiri atas dua bagian. Pertama, sompa (secara harfiah berarti “persembahan” sebetulnya berbeda dengan mahar dalam Islam) yang disimbolkan dengan sejumlah uang rella‟ (yakni rial, mata uang Portugis yang sebelumnya berlaku, antara lain di Malaka). Rella ditetapkan sesuai status perempuan dan akan menjadi hak miliknya. Kedua, dui‟ menre‟ (secara harfiah berarti “uang naik”) adalah uang antaran pihak pria kepada keluarga pihak perempuan untuk digunakan melaksanakan pesta perkawinan. Besarnya dui‟ menre‟ ditentukan oleh keluarga perempuan.18 Pada akhir abad ke 19, besarnya sompa ditetapkan sesuai status seseorang. Setiap satuan mas kawin disebut kati (mata uang “kuno”): satu kati senilai 66 ringgit sama dengan 88 rial dan setiap kati harus ditambah satu orang budak yang bernilai 40 rial dan seekor kerbau yang berharga 25 rial. Sompa bagi perempuan bangsawan kelas tinggi sompa bacco atau sompa puncak bisa mencapai 14 kati, sedangkan untuk perempuan bangsawan tingkat terendah hanya satu kati, orang baik-baik (tau deceng) setengah kati, dan kalangan biasa hanya seperempat kati. Sistem perhitungan ini masih digunakan hingga saat ini, tetapi sejak masa kemerdekaan Indonesia mata uang ringgit (dulu senilai 2,5 rupiah atau 2,5 gulden Belanda) yang dijadikan satuan perhitungan; jadi satu kati, yang bernilai 66 ringgit sama dengan 165 rupiah. Sejaktahun 1960, sompa sudah tidak berharga lagi.Namun sompa masih penting artinya, khususnya bagi keluarga yang berstatus tinggi karena hadiah-hadiah tambahannya termasuk di dalamnya hadiah simbolis
18
Christian Pelras (2006) Manusia Bugis. 180
24
(batang tebu, labu, buah nangka, anyaman anyaman dan berbagai maca kue tradisional) yang pada pesta kawin besar diarak bersama mempelai laki-laki ke rumah mempelai perempuan oleh pengantar yang berpakaian adat. 2.2.2 Pernikahan Adat Orang Bugis Beserta Ketentuan-Ketentuan Yang Menyertai Masyarakat kabupaten Bone, sebagaimana masyarakat kabupaten lainnya di Propinsi Sulawesi Selatan pada umumnya, merupakan pemeluk Islam yang taat, kehidupan mereka selalu diwarnai oleh keadaan yang serba religius. Kondisi ini ditunjukkan oleh banyaknya tempat-tempat ibadah dan Pendidikan Agama Islam. Sekalipun penduduk Kabupaten Bone mayoritas memeluk agama Islam, namun di kota Watampone juga ada gereja dan beberapa tempat ibadah pemeluk agama lainnya. Hal ini berarti, pemeluk agama lain cukup leluasa untuk menunaikan ibadahnya. Keadaan ini memberikan dampak yang positif terhadap kehidupan keagamaan, karena mereka saling hormat-menghormati dan menghargai satu dengan yang lainnya.19 Di samping itu, peran pemuka agama terutama para alim ulama sangat dominan dalam kehidupan keagamaan, bahkan bagi masyarakat Bone, alim ulama merupakan figure kharismatik yang menjadi panutan masyarakat. Pada sektor pendidikan, pemerintah Kabupeten Bone mengarahkan pembangunan pada upaya peningkatan mutu pendidikan, sehingga tercipta peningkatan relevansi pendidikan, serta mempunyai keterkaitan yang sesuai dengan kebutuhan tuntutan. Oleh karena itu, mutu pendidikan selalu ditingkatkan sebagai upaya peningkatan sumber daya manusia agar menguasai ilmu
19
Lembaga Seni Budaya Teluk Bone. (2011) Tata Cara Perkawinan Adat Bone. Op.Cit.,2
25
pengetahuan dan teknologi yang bermuara kepada meningkatnya daya saing masyarakat Bone. Adapun mengenai pengembangan kebudayaan, pemerintah Kabupaten Bone berupaya untuk membina nilai-nilai budaya daerah sebagai bagian dari budaya nasional dengan berdasarkan pada penerapan nilai-nilai luhur dan kearifan lokal masyarakat Bone. Salah satu bentuk kepedulian pemerintah Kabupaten Bone dalam bidang kebudayaan adalah memfasilitasi terbentuknya Lembaga Adat Bone sebagai mitra pemerintah dalam hal pelestarian nilai-nilai adat dan budaya luhur serta pengembangan kebudayaan. Dalam masyarakat manapun, hubungan kekerabatan merupakan aspek utama, baik karena dinilai penting oleh anggotanya maupun fungsinya sebagai struktur dasar yang akan suatu tatanan masyarakat. Pengetahuan mendalam tentang prinsip-prinsip kekerabatan sangat diperlukan guna memahami apa yang mendasari berbagai aspek kehidupan masyarakat yang dianggap paling penting oleh orang Bugis dan yang saling berkaitan dalam membentuk tatanan social mereka. Aspek tersebut antara lain adalah perkawinan. Bagi masyarakat Bugis termasuk di dalamnya Bone, perkawinan berarti siala atau saling mengambil satu sama lain, jadi perkawianan merupakan ikatan timbal balik. Walaupun mereka berasal dari strata sosial yang berbeda, setelah mereka menjadi suami istri mereka merupakan mitra. Selain itu, bagi masyarakat Bugis, perkawinan bukan saja penyatuan dua mempelai semata, akan tetapi merupakan suatu upacara penyatuan dan persekutuan dua keluarga besar yang biasanya telah memiliki hubngan sebelumnya dengan maksud mendekatkan atau mempereratnya (Mappasideppé mabélaé atau mendekatkan yang sudah jauh). Pemaknaan lain tentang
26
perkawinan, pada buku Sulésana karya Anwar Ibrahim disinggung tentang siabbinéng dari kata biné yang berarti benih padi, artinya menanam padi. Terdapat kedekatan makna dan kedekatan bunyi dengan kata atau istri atau beristri. Dalam konteks ini kata siabbinéng, mengandung makna menanam benih dalam kehidupan rumah tangga.20 Dikalangan masyarakat biasa, perkawinan biasanya berlangsung antar keluarga dekat atau antar kelompok patronasi yang sama (patron klien) sehingga mereka telah saling mengenal satu sama lain. Oleh karena itu, mereka yang berasal dari daerah lain, cenderung menjalin hubungan yang lebih dekat lagi dengan orang telah mereka kenal baik melalui jalur perkawinan. Dengan kata lain perkawinan adalah cara terbaik untuk menjadi (bukan orang lain/ tenniya tau laing). Hal ini juga sering ditempuh dua sahabat atau mitra usaha yang bersepakat menikahkan turunan mereka, atau bahkan menjodohkan anak mereka sejak kecil. (Pelras . 2006). Dikalangan masayarakat dikenal ada dua macam perkawinan yaitu perkawinan melalui proses peminangan dan perkawinan yang disebut silariang. Namun yang akan dibahas dalam buku ini adalah perkawinan melalui peminangan. Perkawinan melalui proses peminangan adalah tata cara yang paling baik dan biasanya melalui beberapa tahap. Sejak dahulu sampai kirakira 30 tahun lalu, tahap demi tahap masih selalu dilakukan, baik oleh golongan bangsawan maupun yang bukan bangsawan. Namun akibat dari perkembangan jaman serta pengaruh-pengaruh asing yang masuk maka terjadi beberapa perubahan, namun kartena masyarakat kita sangat kuat dalam memegang teguh adat, maka kebiasaan ini masih terus berlanjut walaupun disana sini telah
20
Ibid.,7
27
disesuaikan dengan keadaan dan waktu. Dan pelaksanaannya pun telah mengalami beberapa perubahan tanpa meninggalkan nilai-nilai dan makna yang terkandung dalam semua tahapan upacara.(Sapada AN, 1985)B. A. Pandangan Islam Terhadap Perkawinan Salah satu ajaran yang penting dalam Islam adalah perkawinan atau pernikahan. Begitu pentingnya ajaran tentang perkawinan tersebut sehingga dalam Al-Quran terdapat sejumlah ayat baik secara langsung maupun tidak langsung berbicara mengenai perkawinan. Nikah artinya menghimpun atau mengumpulkan. Salah satu upaya untuk menyalurkan naluri seksual suami istri dalam rumah tangga sekaligus sarana untuk menghasilkan keturunan yang dapat menjamin kelangsungan eksistensi manusia di atas bumi. Keberadaan nikah itu sejalan dengan lahirnya manusia di atas bumi dan merupakan fitrah manusia yang diberikan Allah SWT terhadap hamba-Nya. Ada beberapa definisi nikah yang dikemukakan ulama fiqih, tetapi seluruh definisi tersebut mengandung esensi yang
sama
meskipun
redaksionalnya
berbeda.
Ulama
Mazhab
SyafiI
mendefinisikannya dengan yang mengandung kebolehan melakukan hubungan suami istri dengan lafal nikah/kawin atau yang semakna dengan itu. Sedangkan ulama Mazhab Hanafi mendefiniskannya dengan akad yang memfaedahkan halalnya melakukan hubungan suami istri antara seorang lelaki dan seorang perempuan selama tidak ada halangan syara, Imam Muhammad Abu Zahrah (w. 1394 H/1974 M), ahli hukum Islam dari Universitas Al-Azhar, berpendapat bahwa perbedaan kedua definisi di atas tidaklah bersifat prinsipil.21 Yang menjadi
21
Muhammad Jawad Mughniyah, Op cit.,370
28
prinsip dalam definisi tersebut adalah nikah itu membuat seorang lelaki dan seorang wanita halal melakukan hubungan seksual. Untuk mengkompromikan kedua definisi, Abu Zahrah mengemukakan definisi nikah, yaitu :akad yang menjadikan halalnya hubungan seksual antara seorang lelaki dan seorang wanita, saling tolong menolong diantara keduanya serta menimbulkan hak dan kewajiban diantara keduanya. Hak dan kewajiban yang dimaksud Abu Zahrah adalah hak dan kewajiban yang datangnya dari asy-Syar I Allah SWT dan Rasul-Nya. Tujuan pernikahan sebagaimana disebutkan dalam salah satu ayat dalam Al-Quran adalah (artinya) Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supayakamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kamu rasa kasih sayang (Q.S.30:21).22 Berdasarkan ayat di atas jelas bahwa Islam menginginkan pasangan suami istri yang telah membina suatu rumah tangga melalui akad nikah tersebut bersifat langgeng. Terjalin keharmonisan di antara suami istri yang saling mengasihidan menyayangi itu sehingga masing-masing pihak merasa damai dalam rumah tangganya. Rumah tangga seperti inilah yang diinginkan Islam, yakni rumah tangga sakinah, sebagaimana yang disyaratkan Allah SWT dalam surat Ar-Rum (30) ayat 21 di atas. ada tiga kata kunci yang disampaikan oleh Allah SWT dalam ayat tersebut, dikaitkan dengan rumah tangga yang ideal menurut Islam, yaitu 22
al-Qur‟an dan terjemahannya. Revisi Terjemahan Oleh Lajnah Pentashih Mushaf AlQur‟an Departemen Agama Republik Indonesia(Bandung : PT. Sygma Examedia Arkanleema). 216
29
sakinah (as-sakinah), mawadah (al-mawaddah), dan rahmat (ar-rahmah). Ulama tafsir menyatakan bahwa as-sakinah adalah suasana yang damai yang melingkupi rumah tangga yang bersangkutan; masing-masing pihak menjalankan perintah Allah SWT dengan tekun, saling menghormati, dan saling toleransi. Dari suasana as-sakinah tersebut akan muncul rasa saling mengasihi dan menyayangi (almawaddah), sehingga rasa tanggung jawab kedua belah pihak semakin tinggi. Selanjutnya, para musafir mengatakan bahwa dari as-sakinah dan al-mawaddah inilah nanti muncul ar-rahmah, yaitu keturunan yang sehat dan penuh berkat dari Allah SWT, sekaligus sebagai pencurahan rasa cinta dan kasih. B. Konsep-Konsep Pernikahan Dalam Islam Persoalan perkawinan adalah persoalan yang selalu aktual dan selalu menarik untuk dibicarakan, karena persoalan ini bukan hanya menyangkut tabiat dan hajat hidup manusia yang asasi saja tetapi juga menyentuh suatu lembaga yang luhur dan sentral yaitu rumah tangga. Luhur, karena lembaga ini merupakan benteng bagi pertahanan martabat manusia dan nilai-nilai ahlaq yang luhur dan sentral. Karena lembaga itu memang merupakan pusat bagi lahir dan tumbuhnya Bani Adam, yang kelak mempunyai peranan kunci dalam mewujudkan kedamaian dan kemakmuran di bumi ini. Menurut Islam Bani Adam lah yang memperoleh kehormatan untuk memikul amanah Ilahi sebagai khalifah di muka bumi. Perkawinan bukanlah persoalan kecil dan sepele, tapi merupakan persoalan penting dan besar. „Aqad nikah (perkawinan) adalah sebagai suatu perjanjian yang kokoh dan suci. Karena itu, diharapkan semua pihak yang terlibat di dalamnya, khususnya suami istri, memelihara dan menjaganya secara sungguh-sungguh dan
30
penuh tanggung jawab.Agama Islam telah memberikan petunjuk yang lengkap dan rinci terhadap persoalan perkawinan. Mulai dari anjuran menikah, cara memilih pasangan yang ideal, melakukan khitbah (peminangan), bagaimana mendidik anak, serta memberikan jalan keluar jika terjadi kemelut dalam rumah tangga, sampai dalam proses nafaqah dan harta waris, semua diatur oleh Islam secara rinci dan detail. Selanjutnya untuk memahami konsep Islam tentang perkawinan, maka rujukan yang paling sah dan benar adalah Al-Qur‟an dan AsSunnah Shahih (yang sesuai dengan pemahaman Salafus Shalih -pen). Dengan rujukan ini kita akan dapati kejelasan tentang aspek-aspek perkawinan maupun beberapa penyimpangan dan pergeseran nilai perkawinan yang terjadi di masyarakat kita. Perkawinan adalah fitrah kemanusiaan Agama Islam adalah agama fithrah, dan manusia diciptakan Allah Ta‟ala cocok dengan fitrah ini, karena itu Allah Subhanahu wa Ta‟ala menyuruh manusia menghadapkan diri ke agama fithrah agar tidak terjadi penyelewengan dan penyimpangan. Sehingga manusia berjalan di atas fithrahnya. Perkawinan adalah fitrah kemanusiaan, maka dari itu Islam menganjurkan untuk nikah, karena nikah merupakan gharizah insaniyah (naluri kemanusiaan). Bila gharizah ini tidak dipenuhi dengan jalan yang sah yaitu perkawinan, maka ia akan mencari jalan-jalan syetan yang banyak menjerumuskan ke lembah hitam. 1. Islam Menganjurkan Nikah Islam telah menjadikan ikatan perkawinan yang sah berdasarkan Al-Qur‟an dan As-Sunnah sebagai satu-satunya sarana untuk memenuhi tuntutan naluri manusia yang sangat asasi, dan sarana untuk membina keluarga yang Islami.
31
Penghargaan Islam terhadap ikatan perkawinan besar sekali, sampai-sampai ikatan itu ditetapkan sebanding dengan separuh agama. 2. Islam Tidak Menyukai Membujang Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam memerintahkan untuk menikah dan melarang keras kepada orang yang tidak mau menikah. Anas bin Malik radliyallahu „anhu berkata : “Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk nikah dan melarang kami membujang dengan larangan yang keras”. Orang yang mempunyai akal dan bashirah tidak akan mau menjerumuskan dirinya ke jalan kesesatan dengan hidup membujang. Kata Syaikh Hussain Muhammad Yusuf : “Hidup membujang adalah suatu kehidupan yang kering dan gersang, hidup yang tidak mempunyai makna dan tujuan. Suatu kehidupan yang hampa dari berbagai keutamaan insani yang pada umumnya ditegakkan atas dasar egoisme dan mementingkan diri sendiri serta ingin terlepas dari semua tanggung jawab”.Orang yang membujang pada umumnya hanya hidup untuk dirinya sendiri. Mereka membujang bersama hawa nafsu yang selalu bergelora, hingga kemurnian semangat dan rohaninya menjadi keruh. Mereka selalu ada dalam pergolakan melawan fitrahnya, kendatipun ketaqwaan mereka dapat diandalkan, namun pergolakan yang terjadi secara terus menerus lama kelamaan akan melemahkan iman dan ketahanan jiwa serta mengganggu kesehatan dan akan membawanya ke lembah kenistaan. Jadi orang yang enggan menikah baik itu laki-laki atau perempuan, maka mereka itu sebenarnya tergolong orang yang paling sengsara dalam hidup ini. Mereka itu adalah orang yang paling tidak menikmati kebahagiaan hidup, baik kesenangan bersifat sensual maupun
32
spiritual. Mungkin mereka kaya, namun mereka miskin dari karunia Allah. Islam menolak sistem ke-rahib-an karena sistem tersebut bertentangan dengan fitrah kemanusiaan, dan bahkan sikap itu berarti melawan sunnah dan kodrat Allah Ta‟ala yang telah ditetapkan bagi makhluknya. Sikap enggan membina rumah tangga karena takut miskin adalah sikap orang jahil (bodoh), karena semua rezeki sudah diatur oleh Allah sejak manusia berada di alam rahim, dan manusia tidak bisa menteorikan rezeki yang dikaruniakan Allah, misalnya ia berkata : “Bila saya hidup sendiri gaji saya cukup, tapi bila punya istri tidak cukup ?!”. Perkataan ini adalah perkataan yang batil, karena bertentangan dengan ayat-ayat Allah dan hadits-hadits Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam. Allah memerintahkan untuk kawin, dan seandainya mereka fakir pasti Allah akan membantu dengan memberi rezeki kepadanya.23 Islam telah memberikan konsep yang jelas tentang tatacara ataupun proses sebuah pernikahan yang berlandaskan Al-Qur`an dan As-Sunnah yang shahih. Berikut ini kami bawakan perinciannya: 1. Mengenal calon pasangan hidup Sebelum seorang lelaki memutuskan untuk menikahi seorang wanita, tentunya ia harus mengenal terlebih dahulu siapa wanita yang hendak dinikahinya, begitu pula sebaliknya si wanita tahu siapa lelaki yang berhasrat menikahinya. Tentunya proses kenal-mengenal ini tidak seperti yang dijalani orang-orang yang tidak paham agama, sehingga mereka menghalalkan pacaran atau pertunangan dalam rangka penjajakan calon pasangan hidup, kata mereka. Pacaran dan pertunangan 23
http://cafesantri.blogspot.com/2012/02/konsep-pernikahan-dalam-islam.html
33
haram hukumnya tanpa kita sangsikan. Adapun mengenali calon pasangan hidup di sini maksudnya adalah mengetahui siapa namanya, asalnya, keturunannya, keluarganya, akhlaknya, agamanya dan informasi lain yang memang dibutuhkan. Ini bisa ditempuh dengan mencari informasi dari pihak ketiga, baik dari kerabat si lelaki atau si wanita ataupun dari orang lain yang mengenali si lelaki/si wanita. Yang perlu menjadi perhatian, hendaknya hal-hal yang bisa menjatuhkan kepada fitnah (godaan setan) dihindari kedua belah pihak seperti bermudahmudahan melakukan hubungan telepon, sms, surat-menyurat, dengan alasan ingin ta‟aruf (kenal-mengenal) dengan calon suami/istri. Jangankan baru ta‟aruf, yang sudah resmi meminang pun harus menjaga dirinya dari fitnah. Karenanya, ketika Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan hafizhahullah ditanya tentang pembicaraan melalui telepon antara seorang pria dengan seorang wanita yang telah dipinangnya, beliau menjawab, “Tidak apa-apa seorang laki-laki berbicara lewat telepon dengan wanita yang telah dipinangnya, bila memang pinangannya telah diterima dan pembicaraan yang dilakukan dalam rangka mencari pemahaman sebatas kebutuhan yang ada, tanpa adanya fitnah. Namun bila hal itu dilakukan lewat perantara wali si wanita maka lebih baik lagi dan lebih jauh dari keraguan/fitnah. Adapun pembicaraan yang biasa dilakukan laki-laki dengan wanita, antara pemuda dan pemudi, padahal belum berlangsung pelamaran di antara mereka, namun tujuannya untuk saling mengenal, sebagaimana yang mereka istilahkan, maka ini mungkar, haram, bisa mengarah kepada fitnah serta menjerumuskan kepada perbuatan keji.
34
2. Nazhar (Melihat calon pasangan hidup) Bila nazhar dilakukan setelah khitbah, bisa jadi dengan khitbah tersebut si wanita merasa si lelaki pasti akan menikahinya. Padahal mungkin ketika si lelaki melihatnya ternyata tidak menarik hatinya lalu membatalkan lamarannya, hingga akhirnya si wanita kecewa dan sakit hati. Sebagai catatan yang harus menjadi perhatian bahwa ketika nazhar tidak boleh lelaki tersebut berduaan saja dan bersepi-sepi tanpa mahram (berkhalwat) dengan si wanita. Bila sekiranya tidak memungkinkan baginya melihat wanita yang ingin dipinang, boleh ia mengutus seorang wanita yang tepercaya guna melihat/mengamati wanita yang ingin dipinang untuk kemudian disampaikan kepadanya. 3. Khithbah (peminangan) Seorang lelaki yang telah berketetapan hati untuk menikahi seorang wanita, hendaknya meminang wanita tersebut kepada walinya. Apabila seorang lelaki mengetahui wanita yang hendak dipinangnya telah terlebih dahulu dipinang oleh lelaki lain dan pinangan itu diterima, maka haram baginya meminang wanita tersebut. 4. Akad nikah Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang melangsungkan pernikahan dalam bentuk ijab dan qabul. Ijab adalah penyerahan dari pihak pertama, sedangkan qabul adalah penerimaan dari pihak kedua. Ijab dari pihak wali si perempuan dengan ucapannya, misalnya: “Saya nikahkan anak saya yang bernama si A kepadamu dengan mahar sebuah kitab Riyadhus Shalihin.”
35
Qabul adalah penerimaan dari pihak suami dengan ucapannya, misalnya: “Saya terima nikahnya anak Bapak yang bernama si A dengan mahar sebuah kitab Riyadhus Shalihin.” Sebelum dilangsungkannya akad nikah, disunnahkan untuk menyampaikan khutbah yang dikenal dengan khutbatun nikah atau khutbatul hajah. 5. Walimatul „urs Walimah bisa dilakukan kapan saja. Bisa setelah dilangsungkannya akad nikah dan bisa pula ditunda beberapa waktu sampai berakhirnya hari-hari pengantin baru. Namun disenangi tiga hari setelah dukhul, karena demikian yang dinukilkan dari Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam. Anas bin Malik radhiyallahu „anhu berkata, “Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam menikah dengan Shafiyyah radhiyallahu „anha dan beliau jadikan kemerdekaan Shafiyyah sebagai maharnya. Beliau mengadakan walimah tiga hari kemudian.” Hendaklah yang diundang dalam acara walimah tersebut orang-orang yang shalih, tanpa memandang dia orang kaya atau orang miskin. Karena kalau yang dipentingkan hanya orang kaya sementara orang miskinnya tidak diundang, maka makanan walimah tersebut teranggap sejelek-jelek makanan. 6. Setelah akad Ketika mempelai lelaki telah resmi menjadi suami mempelai wanita, lalu ia ingin masuk menemui istrinya maka disenangi baginya untuk melakukan beberapa perkara berikut ini: Pertama: Bersiwak terlebih dahulu untuk membersihkan mulutnya karena dikhawatirkan tercium aroma yang tidak sedap dari mulutnya. Demikian pula si istri, hendaknya melakukan yang sama. Hal ini lebih mendorong
36
kepada kelanggengan hubungan dan kedekatan di antara keduanya. Didapatkan dari perbuatan Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam, beliau bersiwak bila hendak masuk rumah menemui istrinya, sebagaimana berita dari Aisyah radhiyallahu „anha. Kedua: Disenangi baginya untuk menyerahkan mahar bagi istrinya sebagaimana akan disebutkan dalam masalah mahar dari hadits Ibnu „Abbas radhiyallahu „anhuma. Ketiga: Berlaku lemah lembut kepada istrinya, dengan semisal memberinya segelas minuman ataupun yang semisalnya berdasarkan hadits Asma` bintu Yazid bin As-Sakan radhiyallahu „anha, ia berkata, “Aku mendandani Aisyah radhiyallahu „anha untuk dipertemukan dengan suaminya, Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam. Setelah selesai aku memanggil Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam untuk melihat Aisyah. Beliau pun datang dan duduk di samping Aisyah. Lalu didatangkan kepada beliau segelas susu. Beliau minum darinya kemudian memberikannya kepada Aisyah yang menunduk malu.” Asma` pun menegur Aisyah, “Ambillah gelas itu dari tangan Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam. Aisyah pun mengambilnya dan meminum sedikit dari susu tersebut.”24 Keempat: Meletakkan tangannya di atas bagian depan kepala istrinya (ubun-ubunnya) sembari mendoakannya.25 C. Pandangan Masyarakat Bugis Terhadap Perkawinan Perkawinan merupakan sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan manusia karena perkawinan bukan hanya merupakan peristiwa yang harus ditempuh atau dijalani oleh dua individu yang berlainan jenis kelamin, tetapi lebih jauh adalah 24
25
(HR. Ahmad, 6/438, 452, 458) http://gombojo.blogspot.com/2011/08/konsep-pernikahan-dalam-islam.html
37
perkawinan sesungguhnya proses yang melibatkan beban dan tanggung jawab dari banyak orang, baik itu tanggung jawab keluarga, kaum kerabat (sompung lolo) bahkan kesaksian dari seluruh masyarakat yang ada dilingkungannya.26 Dipandang dari sisi kebudayaan, maka perkawinan merupakan tatanan kehidupan yang mengatur kelakuan manusia. Selain itu perkawinan juga mengatur hak dan kewajiban serta perlindungannya terhadap hasil-hasil perkawinan yaitu anak-anak, kebutuhan seks (biologis), rasa aman (psikologis), serta kebutuhan sosial ekonomi, dan lain-lain. Namun pada masyarakat Bugis, perkawinan bukan saja merupakan pertautan dua insan laki-laki dan perempuan, namun merupakan juga pertautan antara dua keluarga besar. Ini disebabkan karena orang tua dan kerabat memegang peranan sebagai penentu dan pelaksana dalam perkawinan anakanaknya. Sebagaimana digambarkan oleh H. TH. Chabot dalam Verwanschap, stand en sexe in zuid Celebes yang berbunyi Pilihan pasangan hidup, bukanlah urusan pribadi namun adalah urusan keluarga dan kerabat. Dengan fungsi ini maka perkawinan haruslah diselenggarakan secara normatif menurut agama dan adat yang berlaku dalam masyarakat setempat dan harus diselenggarakan secara sungguh-sungguh dalam suatu upacara perkawinan.27 D. Makna Perkawinan Perspektif Gender Dalam masyarakat Bugis termasuk Bone sebagaimana masyarakat lain di bagian dunia lainnya, lelaki dan perempuan mempunyai wilayah aktifitas yang berbeda. Namun pada hakikatnya orang Bugis tidak menganggap perempuan lebih dominan satu sama lain. Hubungan mereka saling melengkapi sebagai manifestasi 26 27
Christian Pelras (2006) Manusia Bugis. 180 Lembaga Seni Budaya Teluk Bone. (2011) Tata Cara Perkawinan Adat Bone. Op.Cit.,2
38
dari perbedaan yang mereka miliki. Perbedaan ini diharapkan dapat saling melengkapi dan bersatu dalam satu ikatan perkawinan. Pada awal perkawinan biasanya laki-laki tinggal di rumah orang tua istri (mertua) sehingga tidak memberikan ruang bagi suami untuk bertindak semena-mena atau mendominasi sang istri. Sementara ruang di rumah pada hakikatnya telah dibagi berdasarkan gender. Bagian depan menjadi bagian laki-laki dan bagain belakang menjadi wilayah perempuan. Menurut pepatah Bugis wilayah perempuan adalah sekitar rumah, sedangkan ruang gerak laki-laki menjulang hingga ke langit kata bijak tersebut menjelaskan peran laki-laki dan perenpuan dalam kehidupan sehari-hari. Aktiftas laki-laki adalah di luar rumah. Dialah tulang punggung penghasilan keluarga yang bertugas mencari nafkah (sappa laleng atuong). Sementara perempuan sebagai ibu (indo ana) kewajibannya menjaga anak, menjmbuk padi, memasak, menyediakan lauk pauk dan membelanjakan penghasilan suami selaku pengurus yang bijaksana (pattaro malampé nawa-nawa é). Namun perbedaan tugas di atas bukan menjadi hal yang pokok melainkan saling melengkapi perbedaan itulah yang mendasari kemitraan diantara suami istri dalam saling menopang kepentingan mereka masing-masing (sibali perri) dan saling merepotkan (siporépo)28 Sistem Kekerabatan Pada umunya orang Bugis mempunyai sitem kekerabatan yang disebut dengan assiajingeng yang mengikuti system bilateral. Yaitu sistem yang mengikuti lingkungan pergaulan hidup dari ayah maupun dari pihak ibu. Garis keturunan berdasarkan kedua orang tua. Hubungan kekerabatan ini menjadi sangat luas disebabkan karena, selain ia
28
Christian Pelras (2006) Manusia Bugis. Op.Cit., 181
39
menjadi anggota keluarga ibu, ia juga menjadi anggota keluarga dari pihak ayah. Hubungan kekerabatan atau assiajingeng ini dibagi atas siajing maréppé (kerabat dekat) dan siajing mabéla (kerabat jauh). Kerabat dekat atau siajing maréppé merupakan kelompok penentu dan pengendali martabat keluarga. Anggota keluarga dekat inilah yang menjadi to masiri (orang yang malu) bila anggota keluarga perempuan ri lariang(dibawa lari oleh orang lain), dan mereka itulah yang berkewajiban menghapus siri tersebut. Anggota siajing maréppé didasarkan atas dua jalur, yaitu réppé maréppé yaitu keanggotaan yang didasarkan atas hubungan darah, dan siteppang maréppé (sompung lolo) yaitu keanggotaan didasarkan tas hubungan perkawinan.29 Adapun anggota keluarga yang tergolong réppé maréppé yaitu: 1. Iyya, Saya (yang bersangkutan) 2. Indo (ibu kandung iyya) 3. Ambo (ayah kandung iyya) 4. Nene (nenek kandung Iyya baik dari pihak ibu maupun dari ayah) 5. Lato (kakek kandung Iyya baik dari ibu maupun dari ayah) 6. Silisureng makkunrai (saudara kandung perempuan Iyya ) 7. Silisureng woroané (saudara laki-laki iyya) 8. Ana (anak kandung iyya) 9. Anauré (keponakan kandung iyya) 10. Amauré (paman kandung iyya) 11. Eppo (cucu kandung iyya)
29
Lembaga Seni Budaya Teluk Bone. (2011) Tata Cara Perkawinan Adat Bone. Op.Cit.,25
40
12. Inauré / amauré makkunrai (bibi kandung iyya) Sedangkan anggota keluarga yang termasuk siteppang maréppé yaitu : 1. Baine atau indo ana na (istri iyya) 2. Matua (ibu ayah/ kandung istri) 3. Ipa woroané (saudara laki-laki istri iyya) 4. Ipa makkunrai (saudara kandung perempuan istri iyya) 5. Manéttu (menantu, istri atau suami dari anak kandung iyya) D. Stratifikasi Sosial Lapisan sosial tradisional masyarakat Bone membedakan status menurut kadar ke arung annya (keturunan). Ukuran yang digunakan adalah soal asal keturunan sebagai unsur primer. Oleh karena itu perlu dibedakan dahulu jenisjenis keturunan yang teradapat di Kabupeten Bone secara umum dibagi atas beberapa golongan, yaitu : 1. Ana mattola : yang berhak mewarisi tahta dan dipersiapkan untuk menjadi raja arung (raja/ratu). Tingkatan ini terbagi atas dua sub golongan yakni : ana sengngeng dan ana rajéng. 2. Ana céra siseng/I : anak yang beradarah campuran atas kedua sub di atas yang kawin denganperempuan biasa. 3. Ana céra dua/II : anak hasil perkawinan céra siseng dengan perempuan biasa. 4. Ana céra tellu/III : anak hasil perkawinan céra dua dengan perempuan biasa. Ketiga lapisan cerak ini menduduki golongan bangsawan menengah. Kemudian céra tellu ini dengan perempuan biasa akanmenghasilkan bangsawan terendah. Ampo cinaga, anakkarung maddara-dara, dan anang.
41
5. Tau sama (orang biasa)/tau maradéka (orang bebas) : di kalangan ini masih dibedakan atas keturunan leluhirnya yang masih terhitung bangsawan, betapapun rendahnya lapisan dan berapa jauhpun pertautannya (tau tongeng karaja) danyang benar-benar keturunan orang biasa (tau sama mattanété lampé). 6. Ata (hamba sahaya) : golongan yang hilang kemerdekaannya karena sesuatu ikatan langsung.30 Meskipun penggolongan keturunan tersebut hanya bertahan sampai pada masa kemerdekaan, namun penggolongan keturunan tersebut sekarang ini tidak lagi dianut secara ketat, namun dalam berbagai hal, utamanya dalam kehidupan sosial kadangkala masih dipertanyakan, misalnya dalam hal meminang gadis, maka yang dipertanyakan adalah keturunan. E. Tata Cara Perkawinan Adat Bone Adapun tahapan dari proses perkawinan adat Bone secara umum dapat dibagi atas tiga tahapan, yaitu tahapan pranikah, nikah, dan tahapan setelah nikah. Selanjutnya untuk lebih jelasnya pada bagian ini akan dijelaskan tahapan perkawinan secara berturut-turut. 1. Madduta Massuro / Lettu Banyak tahapan pendahuluan yang harus dilewati sebelum pesta perkawinan (Mappabotting) dilangsungkan. Jika lelaki belum dijodohkan sejak kecil (atau sebelum dia lahir) maka keluatganya akan mulai mencari-cari pasangan yang kirakira dianggap sesuai untuknya. Bagi kaum bangsawan, garis keturunan perempuan
30
Ibid., 13
42
dan laki-laki akan diteliti secara seksama untuk mengetahui apakah status kebangsawanan mereka sesuai atau tidak, jagan sampai tingkatan pelamar lebih rendah dari tingkat perempuan yang akan dilamar. Madduta artinya meminang secara resmi, dahulu kala dilakukan beberapa kali, sampai ada kata sepakat, namun secara umum proses yang ditempuh sebelum meminang adalah sebagai berikut : a. Mammanu-manu bermakna seperti burung yang terbang kesana kemari, untuk menyelidiki apakah ada gadis yang berkenan di hati. Langkah pendahuluan ini biasanya ditugaskan kepada seseorang biasanya kepada para paruh baya perempuan, yang akan melakukan kunjungan biasa kepada keluarga perempuan untuk mencari tahu selukbeluknya, namun biasanya proses ini sangat tersamar. Mappésé-pésé dilakukan setelah kunjungan pertama tadi (Mammanu-manu) yaitu melakukan kunjungan resmi pertama untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang secara tidak langsung dan sangat halus (ada orang yang akan mendekati anda. Sudah adakah yang berbicara dengan anda?............sudah adakah yang punya?............... Apakah pintu masih terbuka?....) agar kedua belah pihak tidak kehilangan muka atau malu seandainya pendekatan ini tidak membuahkan hasil. Jika keluarga perempuan memberi lampu hijau, kedua pihak kemudian menentukan hari untuk mengajukan lamaran secara resmi (Madduta). Selama proses pelamaran ini berlangsung garis keturunan, status kekerabatan, dan harta calon mempelai diteliti lebih jauh, sambil membicarakan sompa dan uang antaran (Dui ménré) yang harus diberikan oleh pihak laki-laki untuk biaya perkawinan
43
pasangannya, serta hadiah persembahan kepada calonmempelai perempuan dan keluarganya. b. Mappettu, ada Mappettu Ada yang baiasanya juga ditindak lanjuti dengan (mappasierekeng) atau menyimpulkan kembali kesepakatan-kesepakatan yang telah dibicarakan bersama pada proses sebelumnya. Ini sudah merupakan lamaran resmi dan biasanya disaksikan oleh keluarga dan kenalan. Pada saat inilah akan dibicarakan secara terbuka segala sesuatu terutama mengenai halhal yang prinsipil. Ini sangat penting karena kemudian akan diambil kesepakatan atau mufakat bersama, kemudian dikuatkan kembali keputusan tersebut (mappasierekeng). Pada kesempatan ini diserahkan oleh pihak lakilaki pattenre ada atau passio (pengikat) berupa cincin, beserta sejumlah benda simbolis lainnya, misalnya tebu, sebagai symbol sesuatu yang manis, buah nangka (Panasa) yang mengibaratkan harapan (minasa); dan lain sebagainya. Apabila waktu perkawinan akan dilaksanakan dalam waktu singkat, maka passio ini diiringi passuro mita yang diserahkan setelah pembicaraan telah disepakati. Satu lembar bahan waju tokko - Satu lembar sarung sutera atau lipa sabbé, juga disertai dengan ; - Satu piring besar nasi ketan (sokko) - Satu mangkok besar palopo (air gula merah yang dimasak dengan santan dan diberi telur ayam secukupnya) - Dua sisir pisang raja. Biasanya antara pihak perempuan dan laki-laki pada acara mappettu ada ini dilangsungkan dialog. Dialog ini biasanya dimulai oleh pihak perempuan sebagai tuan rumah dan dibalas oleh pihak laki-laki. Pada saat Mappettu ada akan disepakati beberapa perjanjian, diantaranya:
44
1. Sompa Sompa artinya mas kawin atau mahar sebagai syarat sahnya suatu perkawinan. Besarnya sompa telah ditentukan menurut golongan atau tingkatan derajat gadis. Penggolongan sompa tidaklah selalu sama dalam pengistilahannya. Ada dalam bentuk mata uang dan ada pula dalam bentuk tetapi dalam buku ini secara umum adalah sebagi berikut: Bangsawan tinggi 88 real Bangsawan menengah 44 real Arung palili 28 real Golongan tau maradeka 20 real Golongan ata (budak) 10 real31 Pada akhir abad ke -19 besarnya mas kawin (sompa) ditetapkan berdasarkan status seseorang. Setiap satuam maskawin disebut kati (mata uang kuno) satu kati senilai dengan 66 ringgit, atau sama dengan 88 real, 8 uang (8/20 rial) dan8 duit (8/12 uang) dan setiap kati akan harus ditambah satu orang budak yang bernilai 40 real dan seekor kerbau yangbernilai 25 real. Sompa bagi kalangan perempuan bangsawan kelas tinggi Sompa bocco’ atau sompa puncakbisa mencapai 14 kati. Sedangkan bagi perempuan bangsawan terendah hanya 1 kati, dan orang baik-baik atau taudeceng setengah kati, dan kalangan baiasa hanya seperempat kati. Sistem perhitungan ini masih berlaku sampaisekarang, tetapi sejak masa kemerdekaan Republik Indonesia, maka mata uang ringgit (dulu senilai 2,5 rupiah atau 2,5gulden Belanda) yang
31
Christian Pelras (2006) Manusia Bugis. Op.Cit., 180
45
dihadikan satu perhitungan. Namun karena inflasi dan turunnya harga rupaih pada awal 1960maka jelas sompa ini tidak berlaku lagi. Namun Sompa ini masih sangat penting artinya, khususnya bagi keluarga yangberstatus tinggi karena hadiahhadiah tambahannya, termasuk di dalamnya hadiah simbolis (batang tebu, labu, buah,nangka, anyaman-anyaman, dan bermacam-macam kue tradisonal). 2. Dui ménré / Dui balanca Dui ménré adalah sejumlah uang yang akan diserahkan oleh pihak laki-laki pasa saat mappettu ada (mappasierekeng). Hal ini biasa dilakukan oleh pihak perempuan untuk mengetahui kerelaan atau kesanggupan berkorban dari pihak laki-laki sebagai perwujudan keinginannya untuk menjadi anggota keluarga. Dui ménré ini akan digunakan oleh pihak perempuan dalam rangka membiayai pesta perkawinannya. Pada tahun 1975 Susan Millar dalam bukunya Wedding Bugis menunjukkan bahwa besarnya dui ménré berkisar antara Rp. 2.000 sampai dengan Rp. 5000,-.32 Di kondisi kekinian dimana kekuasaan politik tradisional semakin memudar dui ménré semakin lama semakin mengalami kenaikan, hal ini disebabkan karena tidak ada lagi aturan dan pihak pihak yang berwenang menegakkanaturan adat. 2. Tanra esso akkalabinéngeng Kalau semua persayaratan ini telah disepakati, kemudian telah dikuatkan (mappasierekeng)
maka pinangan telah resmi diterima. Kemudian akan
disepakati lagi hari H perkawinan. Penentuan hari H perkawinan (tanra esso
32
Ibid., 187
46
akkalabinéneng) atau penentuan saat akad nikah biasanya disesuaikan dengan penanggalan berdasarkan tanggal dan bulan Islam. Setelah mengetahui hari pelaksanaan akad nikah (ménré botting) dengan sendirinya prosesi adat lainnya sepertimappacci, (tudampenni, wenni mappacci) serta marola sudah diketahui pula. Upacara mappacci, pada malam tudampenni, atau malam pacar baiasanya dilakukan sehari atau beberapa hari sebelum hari perkawinan. Sedangkan maparola dilakukan sehari atau beberapa hari setelah hari perkawinan dilangsungkan. 3. Mappaisseng atau memberi kabar Setelah kegiatan madduta atau peminangan telah selesai dean menghasilkan kesepakatan, maka kedua pihak keluarga calon mempelai akan menyampaikan kabar mengenai perkawinan ini biasanya yang diberi tahu adalah keluarga yang sangat dekat, tokoh masyarakat yang dituakan, serta tetangga-tetangga dekat berhubung mereka inilah yang akan mengambil peran terhadap kesuksesan semua rangkaian upacara perkawinan ini.33 4. Mattampa / Mappalettu selling Kegiatan ini merupakan kelanjutan dari proses sebelumnya yaitu mappaisseng, dan biasanya pihak keluarga calon mempelai akan mengundang seluruh sanak saudara dan handai taulan. Undangan tertulis ini dilaksanakan kira-kira 10 atau 1 minggu sebelum resepsi perkawinan dilangsungkan. Kegiatan ini disebut juga mappalettu selleng karena diharapkan pihak yang diundang akan merasa dihargai bila para pembawa undangan ini menyampaikan salam dan
33
Lembaga Seni Budaya Teluk Bone. (2011) Tata Cara Perkawinan Adat Bone. Op.Cit.,29
47
harapan dari pihak yang mengundang kiranya bersedia datang untuk memberi restu. 5. Mappatettong sarapo/ Baruga Sarapo atau baruga adalah bangunan tambahan yang didirikan di samping kiri/kanan rumah yang akan ditempati melaksanakan akad nikah. Sedangkan baruga adalah bangunan terpisah dari rumah yang ditempati bakal pengantin dan dindingnya terbuat dari jalinan bambu yang dianyam yang disebut wlsuji. Di dalam sarapo atau baruga dibuatkan pula tempat yang khusus bagi pengantin dan kedua orang tua mempelai yang disebut lmi. Tetapi akhir-akhir ini di Kabupaten Bone sudah jarang lagi mendirikan sarapo oleh karena sudah ada beberapa gedung atau tenda yang dipersewakan lengkap dengan peralatannya, namun kadang pula masih ada yang melaksanakan terutama bagi kalangan bangsawan dan orang berada.34 6. Mappacci / Tudampenni Upacara adat mappacci dilaksanakan pada waktu tudampenni, menjelang acara akad nikah/ijab kabul keesokan harinya. Upacara mappacci adalah salah satu upacara adat Bugis yang dalam pelaksanaannya menggunakan daun pacar (Lawsania alba), atau Pacci. Sebelum kegiatan ini dilaksanakan biasanya dilakukan dulu dengan mappanré temme (khatam Al-Quran) dan barazanji. Daun pacci ini dikaitkan dengan kata paccing yang makananya adalah
34
Ibid.
48
kebersihan
dan
kesucian.
Dengan
demikian
pelaksanaan
mappacci
mengandung makna akan kebersihan raga dan kesucian jiwa.35 Dalam pelaksanaan mappacci disiapkan perlengkapan yang kesemuanya mengandung arti makna simbolis seperti : a) Sebuah bantal atau pengalas kepala yang diletakkan di depan calon pengantin, yang memiliki maknapenghormatan atau martabat, kemuliaan dalam bahasa Bugis berarti mappakalebbi. b) Sarung sutera 7 lembar yang tersusun di atas bantal yang mengandung arti harga diri. c) Di atas bantal diletakkan pucuk daun pisang yang melambangkan kehidupan yang berkesinambungan dan lestari. d) Di atas pucuk daun pisang diletakkan pula daun nangka sebanyak 7 atau 9 lembar sebagai permakna ménasaatau harapan. e) Sebuah piring yang berisi wenno yaitu beras yang disangrai hingga mengembang sebagai simbol berkembang dengan baik sesuai dengan arti bahasa Bugisnya (mpenno rialéi). f) Tai bani, patti atau lilin yang bermakna sebagai suluh penerang, juga diartikan sebagai simbol kehidupan lebah yang senantiasa rukun dan tidak saling mengganggu. g) Daun pacar atau pacci sebagai simbol dari kebersihan dan kesucian. Penggunaan pacci ini menandakan bahwa calon mempelai telah bersih dan suci hatinya untuk menempuh akad nikah keesokan harinya dan kehidupan
35
Ibid.
49
selanjutnya sebagai sepasang suami istri hingga ajal menjemput. Daun pacar atau pacci yang telah dihaluskan ini disimpan dalam wadah bekkeng sebagai permaknaan dari kesatuan jiwa atau kerukunan dalam kehidupan keluarga dan kehidupan masayarakat. 7. Pelaksanaan Orang-orang yang diminta untuk meletakkan pacci pada calon mempelai biasanya adalah orang-orang yang mempunyai kedudukan sosial yang baik dan punya kehidupan kehidupan rumah tangga yang bahagia. Semua ini mengandung makna agar calon mempelai kelak di kemudian hari dapat hidup bahagia seperti mereka yang meletakkan pacci di atas tangannya.Jumlah orang yang meletakkan pacci ke tangan calon mempelai adalah biasanya disesuaikan dengan stratifikasi social calon mempelai itu sendiri. Untuk golongan bangsawan tertinggi jumlahnya 2 x 9 orang atau dalam istilah Bugis duakkaséra. Untuk golongan bangsawan menengah sebanyak 2 x 7 orang atau duappitu. Sedangkan untuk golongan di bawahnya bisa 1 x 9 atau 1 x 7 orang.36 Cara memberi pacci kepada calon mempelai adalah sebagai berikut : Diambil sedikit daun pacci yang telah dihaluskan (telah dibentuk bulat supaya praktis), lalu diletakkan daun dan diusap ke tangan calon mempelai. Pertama ke telapak tangan kanan, kemudian telapak tangan kiri, lalu disertai dengan doa semoga calon mempelai kelak dapat hidup dengan bahagia. Kemudian kepada orang yang telah memberikan pacci diserahkan rokok sebagai
36
Ibid. 7
50
penghormatan. Dahulu disuguhi sirih yang telah dilipat-lipat lengkap dengan segala isinya.Tetapi karena sekarang ini sudah jarang orang yang memakan sirih maka diganti dengan rokok. Sekali-kali indo botting menghamburkan wenno kepada calon mempelai atau mereka yang meletakkan daun pacar tadi dapat pula menghamburkan wenno yang disertai dengan doa. Biasanya upacara mappacci didahului dengan pembacaan Barzanji sebagai pernyataan syukur kepada Allah SWT dan sanjungan kepada Nabiyullah Muhammad SAW atas nikmat Islam. Setelah semua selesai meletakkan pacci ke telapak tangan calon mempelai maka tamu-tamu disuguhi dengan kue-kue tradisional yang diletakkan dalam bosara. Biasanya acara mappacci ini didahului dengan ritual sebagai berikut: a. Ripasau Sementara dalam kesibukan mempersiapkan pesta pernikahan maka diadakan pula
persiapan-persiapan yang tak kalah pentingnya yaitu perawatan
pengantin (ripasau/mappasau). Biasanya perawatan ini dilakukan sebelum hari pernikahan(3 hari berturut-turut atau karena keterbatasan waktu hanya dilakukan 1 kali saja pada saat sebelum kegiatan mappacci). Ripasau atau mappsau ini dilakukan pada satu ruangan tertentu yang terlebih dahulu dipersiapkan dengan memasak berbagai macam ramuan yang terdiri dari daun sukun, daun coppéng, daun pandan, rampa para pulo dan akar-akaran yang harum dalam belanga yang besar. Mulut belanga ditutup dengan batang pisang yang diberi terowongan bambu sepanjang tangga rumah yang disumbat dengan tutup periuk. Uap yang keluar kemudian akan menghangatkan tubuh
51
sampai membuka pori-pori kulit sehingga mengeluarkan keringat dari seluruh tubuh sehingga tubuh menjadi bersih dan segar. Namun sebelum kegiatan ini, terlebih dahulu pengantin dipakaikan bedak basah atau lulur yang terdir atas beras yang telah direndam dan telah ditumbuk halus bersama kunyit dan akarakaran yang harum ditambah dengan rempah-rempah. Ramuan ini kemudian dilulurkan ke seluruh permukaan badan. Dahulu kala ritual ini dilaksanakan selama 40 hari, dewasa ini hanya 3 hari atau 7 hari atau malah hanya 1 kali sebelum acara tudampenni atau mappacci.37 b. Cemmé passili, Mappassili Disebut juga cemmé tula bala yaitu permohonan kepada Allah SWT agar kiranya dijauhkan dari segala macambahaya atau bala, yang dapat menimpa khususnya bagi calon mempelai. Prosesi ini dilaksanakan di depan pintu rumah dengan maksud agar kiranya bala atau bencana dari luar tidak masuk ke dalam rumah dan bala yang berasal dari dalamrumah bisa keluar. Tata caranya : Upacara ini biasanya dilaksanakan pasa jam 10.00 (sedang naiknya matahri) dan dilakukan di depan pintu rumah. Calon mempelai perempuan atau laki-laki memakai baju biasa dan sarung yang tidak terlalu lusuh (tua), karena baju ininantinya akan diserahkan kepada indo botting yang melaksanakan cemmé passili ini. Calon mempelai duduk di atas kelapa yang masih utuh yang diletakkan di atas sebuah loyang besar, disamping itudiletakkan sebuah ja jakang yaitu sebuah bakul yang berisi: a) Satu gantang beras
37
Ibid.
52
b) Pesse pelleng (lilin) 2 buah c) Kelapa yang masih utuh d) Gula merah e) Pala (sepasang)• Kayu manis f) Sirih segar g) Pinang beberapa buah Dalam upacara mappassili dilakukan kedua lilin atau pesse pelleng harus dinyalakan. Kemudian disiapkan berbagai macam bahan yang akan digunakan sebagai ramuan dan dicampurkan ke dalam air dalam gentong yang terbuat dari tanah liat. Dari beberapa sumber disebutkan bahwa sumber air yang akan digunakan biasanya berasal dari beberapa sumur bersejarah dan masih dianggap punya kelebihan (keramat) dibanding sumber air biasa. Sumur yang dianggap suci di masyarakat Bone ini ada beberapa diantaranya yaitu: a) Bubung Manurungé disebut juga bubung Cemma yang terletak di jalan Manurungé (tidak ada lagi). Bubung Lassonrongdisebut juga bubung suwabeng terletak di sekitar jalan Lassonrong sekarang jalan Irian. (tidak adalagi). b) Bubung Laccokkong yang treletak di sekitar jalan Serigala di lingkungan Laccokkong Kel. Watampone. Bubung Lagaroang yang terletak di Kelurahan Bukaka. Adapun bahan-bahan yang akan digunakan adalah: a) Daun sirih simbol harga diri b) Daun serikaja simbol kekayaan
53
c) Daun waru simbol kesuburan d) Daun tebu simbol kenikmatan e) Daun ta baliang simbol penangkis bala f) Bunga cabbéru simbol keceriaan g) Daun cangadori simbol penonjolan h) Maja alosi atau mayang pinang Kedelapan bahan tersebut dimasukkan ke dalam gentong atau loyang terbuat dari tanah liat sebagai simbol lekat atausaling melengket yang telah dialasi dengan semacam tikar yang disebut okkong/appereng sebagai simbol jalinan kebersamaan. Setelah semuanya siap maka dilakukanlah penyiraman pertama yang dilakukan oleh indo botting dengan membaca Basmalah kemudian dilanjutkan dengan membaca beberapa doa kiranya Allah SWT senantiasa memberikan berkahNya kepada calon mempelai. Penyiraman dimulai dengan : Kepala 3x kemudian selangkah/bahu kanan 3x.Bahu kiri 3x, punggung dan seluruh badan sebanyak 3x.Sesudah Indo botting mempersilahkan kepada pinisepuh/ keluarga lainnya untuk melakukan hal yang sama. Setelah selesai maka air itu pun dipercikkan ke arah luar pintu rumah dengan maksud agar semua yang tidak baik keluar pula melalui pintu. Sesudah cemme passili atau mappassili selesai maka calon mempelai baik itu laki-laki maupun perempuan disilakan mandi seperti biasa. Calon mempelai perempuan kemudian memakai : Waju tokko warna merah jambu, Lipa, sabbé warna hijau dan perhiasan sekedarnya.
54
Calon mempelai pria bisa memakai : Waju belladada (warna tidak ditentukan), Lipa, sabbé yang serasi, Songko pamiring. Sesudah acara mappassili atau cemme passili selesai maka calon mempelai perempuan maupun calon mempelai laki-laki didudukkan di lamming untuk mengikuti upacara lainnya.38 c. Macceko Macceko berarti mencukur rambur-rambut halus yang ada pada dahi dan di belakang telinga, agar supaya dadasa yaitu riasan hitam pada dahi yang akan dipakai pada calon mempelai perempuan pada waktu dirias dapat melekat dengan baik. 8. Akad Nikah /akkalabinengeng Upacara akad nikah juga memiliki beberapa rangkaian acara yang secara beruntun. Kegiatan yang dimaksud adalahsebagai berikut: a. Mappénré Botting Merupakan kegiatan mengantar pengantin laki-laki ke rumah pengantin perempuan untuk melaksanakan akad nikah. Didepan pengantin laki-laki ada beberapa laki-laki tua berpakaian adat dan membawa keris. Kemudian diikuti oleh sepasang remaja yang masing-masing berpakaian pengantin. Lalu diikuti sekelompok bissu yang berpakaian adat pula berjalan sambil menari mengikuti irama gendang. Lalu di belakangnya terdiri dari dua orang laki-laki berpakaian tapong yang membawa gendang dan gong. Kemudian pengantin laki-laki pada
38
Ibid.
55
barisan beikutnya dengan diapit oleh dua orangpasseppi dan satu bali botting. Pakaian passeppi tidak sama warnanya dengan pakaian pengantin. b. Madduppa botting Diartikan menjemput kedatangan pengantin laki-laki. Sebelum penganting laki-laki berangkat ke rumah perempuan, terlebih dahulu rombongan tersebut menunggu penjemput dari pihak perempuan (biasanya dibicarakan lebih dahulu sebagai suatu perjanjian). Bila tempat mempelai perempuan jauh dari lokasi rumah laki-laki maka yang disepakati adalah jam tiba di rumah perempuan. Rombongan penjemput tersebut menyampaikan kepada pihak laki-laki bahwa pihak perempuan telah siap menerima kedatangan pihak lakilaki. Untuk menyambut kedatangan rombongan mempelai laki-laki maka di depan rumah mempelai perempuan telah menunggu beberapa penjemput yaitu : 2 orang padduppa : 1 orang puteri dan 1 orang remaja dengan pakaian lengkap2 orang pakkusu-usui: perempuan yang sudah menikah 2 orang pallipa sabbé: sepasang orang tua setengah baya sebagai wakil orang tua1 orang prempuan pangampo wenno1 atau 2 orang padduppa botting yang biasanya dilakukan oleh saudara dari orang tua mempelai perempuan, mereka ditugaskan menjemput dan menuntun pengantin turun dari kendaraan menuju ke dalam rumah untuk melaksanakan akad nikah. c. Akad Nikah Orang bersiap melakukan akad nikah adallah bapak atau wali calon mempelai perempuan atau imam kampung atau salah seorang yang ditunjuk oleh Departemen Agama. Dua orang saksi dari kedua belah pihak. Pengantin laki-
56
laki duduk bersila siap melaksanakan akad nikah. Acara akad nikah dimulai dengan pembacaan ayat suci Al-Quran yang dilanjutkan dengan pemeriksaan berkas pernikahan, penandatanganan berkas dan juga sompa. Pihakyang bertandatangan adalah pengantin laki-laki, pengantin perempuan, wali dan 2 orang saksi. Kemudian dilanjutkan dengan penyerahan perwalian dari orang tua atau wali pengantin perempuan kepada imam kampung/penghulu yang akan menikahkan. Orang tua atau wali perempuan mengucapkan, dengan mengucapkan Bismillahi Rahmani Rahim saya orang tua/wali pengantin perempuan menyerahkan perwalian kepada imam kampung/penghulu untuk menikahkan anak saya dengan lak-laki (disebutkan nama pengantin laki-laki). Ijab kabul dilakukan dengan didahului oleh khutbah nikah oleh imam kampung atau orang yang ditunjuk oleh undang-undang. Ijab kabul dilakukan dengan pengantin laki-laki berhadapan dengan imam lalu saling berpegangan ibu jarikanan sebelumnya. Pengantin laki-laki dibimbing oleh imam untuk menjawab pertanyaan imam, setelah merasa lancarmaka ijab kabulpun dilaksanakan. Beberapa bacaan yang diucapkan oleh imam harus diikuti oleh pengantin laki-laki seperti : istigfar, syahadatain, shalawat, lalu ijab kabul. Ucapan ijab kabul diucapkan oleh imam dengan mengatakan saudara A bin B saya menikahkan engkau atas perwalian orang tua/wali kepada saya dengan..............dengan mahar 88 real karena Allah dan dijawab oleh pengantin laki-laki saya terima nikahnya.....................dengan mahar 88 real karena Allah.
57
Proses ijab kabul ini biasanya diulang 2-3 kali untuk memperjelas ketepatan jawaban laki-laki. Setelah itu pengantin laki-laki membaca sighat taklik talak.Selama proses ini mempelai perempuan tetap berada di dalam kamar pengantin yang telah dihiasi. d. Mappasiluka Setelah akad nikah selesai maka dilanjutkan dengan acara mappasiluka atau mappasikarawa. Acara ini merupakan kegiatan mempertemukan mempelai laki-laki dengan pasangannya. Pengantin laki-laki diantar oleh seseorang yang dituakan oleh keluarganya menuju kamar pengantin. Kegiatan ini biasa disebut juga dengan mappalettu nikka. Sering terjadi pintu kamar pemgantin perempuan, sehingga untuk masuk dilakukan dulu dialog yang disertai dengan pemberian kenang-kenangan berupa uang dari oarng yang mengantar pengantin laki-laki sebagai pembuka pintu. Setibadi kamar, oleh orang yang mengantar menuntun pengantin laki-laki untuk menyentuh bagian tertentu tubuh pengantin perempuan. Ada beberapa variasi bagian tubuh yang disentuh, antara lain : Ubun-ubun, bahkan menciumnya agar laki-laki tidak diperintah oleh istrinya. Bagian atas dada, agar kehidupan keluarga dapat mendatangkan rezeki yang banyak seperti gunung. Jabat tangan atau ibu jari, diharapkan nantinya kedua pasangan ini saling mengerti dan saling memaafkan. Ada yang memegang telinganya dengan maksud agar istrinya dapat senantiasa mendengar ajakan suaminya. Adapula yang langsung mencium aroma harum istrinya seperti tradisi yang dilakukan di Arab Saudi.
58
Setelah uapacara ini pengantin laki-laki duduk di sisi istrinya untuk mengikuti kegiatan malloangeng. Orang tua atauorang yang telah ahli dalam hal ini ditunjuk melilitkan kain/sarung sehingga kedua pengantin berada dalam satu sarung,kemudian kedua pinggirnya dikaitkan dan dijahit tiga kali dengan benang emas atau benang biasa yang tidak ada pinggirnya. Kegiatan ini memiliki makna agar nantinya pasangan ini senantiasa bersatu padu dalam menempuh kehidupan rumah tangganya di kemudian hari. e. Maréllau Dampeng Setelah prosesi mappasiluka maka dilanjutkan dengan acara memohon maaf kepada kedua orang tua pengantin perempuan dan seluruh keluarga dekat yang sempat hadir pada akad nikah tersebut. Selesai memohon maaf lalu kedua pengantin diantar menuju pelaiminan untuk bersanding guna menerima ucapan selamat dan doa restu dari segenap tamu dan keluarga yang hadir, biasanya acara ini dilanjutkan dengan resepsi di malam hari. f. Upacara Sesudah Akad Nikah 1. Mapparola Acara ini merupakan juga prosesi penting dalam rangkaian perkawinan adat Bone, yaitu kunjungan balasan dari pihak perempuan kepada pihak lak-laki. Jadi merupakan sebuah kekurangan, apabila seorang mempelai perempuan tidak diantar ke rumah orang tua mempelai laki-laki. Kegiatan ini biasanya dilaksanakan
sehari
atau
beberapa
hari
setelahupacara
akad
nikah
dilaksanakan. Kegiatan biasanya tidak dilakukan jika pernikahan tidak mendapat restu dari orangtua pihak laki-laki.Pada hari yang disepakati untuk
59
proses mapparola/marola (mammatoa) kedua belah pihak kemudian mengundang kembali keluarga dan kaum kerabat untuk hadir dan meramaikan upacara mapparola. Keluarga pihak perempuan mengundang beberapa keluarga untuk turut mengantar kedua mempelai ke rumah orang tuapihak laki-laki. Sedangkan pihak laki-laki mengundang beberapa keluarga dan kerabat untuk menyambut kedatangan pihak perempuan. Kedua mempelai kembali dirias seperti pada waktu akad nikah, lengkap pula dengan semua pengringnya, seperti balibotting, passeppi, pembawa cerek, pembawa tombak, pembawa payung, pembawalellu ,indo pasusu.Apabila kedua mempelai beserta rombongan tiba di hadapan rumah orang tua laki-laki maka disambut dengan wanitaberpakaian waju tokko hitam dengan menghamburkan wenno, sebagai pakkuru sumange (ucapan selamatdatang). Dalam acara mapparola ini biasanya
dilakukan
juga
makkasiwiang
yaitu
mempelai
perempuan
membawakan sarung untuk mertua/orang tua laki-laki beserta saudarsaudaranya. Hal ini dilakukan di kamar pengantin laki-laki. Pengantin perempuan diantar oleh indo botting untuk memberikan sarung sutera kepada orang tua dan saudara pengantin laki-laki. Di daerah Bugis biasanya pemberian ini akan dikembalikan lagi dengan ditambahkan pemberian dari mempelailaki-laki sesuai dengan kemampuan. 2. Marola wekka dua Pada marola wekka dua ini, mempelai perempuan biasanya hanya bermalam satu malam saja dan sebelum matahari terbit kedua mempelai kembali ke rumah mempelai perempuan.
60
3. Ziarah kubur Meskipun banyak pihak mengatakan bahwa ziarah kubur bukanlah merupakan rangaian dalam upacara perkawinan adat Bone namun sampai saat ini kegiatan tersebut masih sangat sering dilakukan karena merupakan tradisi atau adat kebiasaan bagi masyarakat Bone, yaitu lima harai atau seminggu setelah kedua belah pihak melaksanakan upacaraperkawinan. 4. Cemmé-cemmé atau mandi-mandi Sudah menjadi tradisi bagi masyarakat Bone bahwa setelah upacara perkawinan yang banyak menguras tenaga dan pemikiran maka rombongan dari kedua belah pihak pergi mandi-mandi di suatu tempat.39 F. Nilai Luhur Perkawinan Adat Bone Banyak sekali nilai-nilai spiritual yang dapat kita petik di dalam prosesi perkawinan ini, baik itu yang tersirat dari setiap tahap yang dilakukan maupun dari setiap perlengkapan yang digunakan dalam prosesi pernikahan adat Bugis. Namun sebelum kita membahas nilai-nilai spiritual tersebut ada baiknya kita membahas lebih dahulu makna dan fungsi dari perkawinan baik dari segi agama Islam sebagai agama yang dianut oleh masyarakat Bugis maupun dari sudut social kebudayaan Bugis. Allah SWT telah melimpahkan karunia-Nya yang teramat agung
kepada
hamba-Nya
melalui
perkawinan.
Allah
SWTmenjadikan
perkawinan untuk menunjukkan kepada kita semua sebagian dari pada tandatanda kekuasaan-Nya. Sesungguhnya perkawinan dalam pandangan agama Islam adalah suatu ibadah dan usaha untuk mendekatkan dirikepada Allah dengan
39
Ibid., 12
61
perkawinan seorang manusia akan medapatkan balasan baik dan pahala. Tentu saja dengan melakukan perkawinan dengan niat ikhlas dan tujuan yang benar. Perkawinan yang mereka lakukan semata-mata untuk menghindarkan diri dari halhal yang haram, bukan karena nafsu hewani. Allah SWT melimpahkan kepada manusia melakui perkawinan dengan menjadikan hubungan seks seperti yang dilakukan oleh binatang sebagai suatu ibadah yang dipergunakan seorang mukmin untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Hal ini bermakna bahwa Allah memerintahkan perkawinan sebagai alasan pembenaran bagi hubungan seks. Islam telah mengangkat posisi kenikmatan fisik kepada tingkatan yang lebih mulia dan suci. Perkawinan juga merupakan proses pengemblengan dan penyucian jiwa. Pengemblengan ini dilakukan dengan cara menunaikan semua hak istri, sabar tehadap sikaonya, memaafkan kesalahannya, berusaha memperbaikinya, memberikan petunjuk ke jalan yang benar. Melalui perkawinan Allah melimpahkan beberapa anugerah dan karunia-Nya yaitu: a. Anugerah Pertama Sesungguhnya istri adalah perempuan yang berjiwa mulia. Allah SWT menciptakan jiwa perempuan dari unsur yang juga dipergunakan untuk menciptakan laki-laki. Oleh karena itulah laki-laki dan perempuan sama dan sejajar dalam tingkat kemuliaan dan penciptanya.Oleh karena itu diantara hikmah penciptaan makhluk manusia dari jenis yang sama tiada lain agar mereka dapat bersatu dengan sempurna serta dapat saling mengenal seperti ungkapan yang berbunyi sekelompok jenis makhluk itu akan senang (cinta) kepada jenis makhluk yang sama dengan dirinya..
62
b. Anugerah kedua Anugerah yangt kedua adalah bahwa Allah SWT memberikan kepada kita semua pemahaman bahwa istri itu bagaikan tempat tinggal dan ketenangan jiwa yang dapat dirasakan oleh laki-laki. Namun hal itu baru dapat dirasakan oleh setiaplaki-laki jika hidup dengan istri yang mulia. Laki-laki akan merasa tentram dan tenang serta suka cita. Semua itu dapat ditemukan dalam naungan kehidupan rumah tangga yang bahagia. perempuan adalah tempat menaruh kepercayaan bagi laki-laki, demikian juga sebaliknya laki-laki adalah tempat menyandarkan kepercayaan bagi perempuan. Hal itu termaktub dalam Al-Quran surah AlBaqarah ayat 187 yang artinya : Mereka itu adalahpakaian bagimu, dan engkaupun adalah pakaian bagi mereka. Dan diantara mereka Allah juga menanamkanrasa simpati (cinta) diantara mereka. Seandainya bukan karena nikmat ini maka tidak akan ada rasa senang seorang laki-laki kepada perempuan dan tidak dan tidak akan langgeng persahabatan diantara manusia. Demikianlah tujuan Allah menciptakan perempuan dan laki-laki, yakni menjadikan adanya sara suka diantara keduanya seperti juga lainnya, Allah menciptakan nafsu dan syhwat diamtara mereka dengan tujuan terciptanya perkawinan diantara mereka. Sehingga sempurnalah bangunan kehidupan masyarakat manusia. Roda kehidupan akan terus berputar dengan saling memberi dan tolong menolong sebagai manifestasi dari rasa simpati.40
40
Ibid., 14