BAB II KAJIAN TEORI A. Deskripsi Teori 1. Pengertian Pragmatik Menurut Levinson (dalam Tarigan 1987:33), pragmatik merupakan telaah mengenai relasi antara bahasa dengan konteks yang merupakan dasar bagi suatu catatan atau laporan pemahaman bahasa. Pengertian pragmatik di atas dengan kata lain,
pragmatik
adalah
telaah
mengenai
kemampuan
pemakai
bahasa
menghubungkan serta menyerasikan kalimat-kalimat dan konteks-konteks secara tepat. Mey dalam (Rahardi 2005:49) menyatakan bahwa pragmatik adalah ilmu bahasa manusia yang pada dasarnya sangat ditentukan oleh konteks yang mewadahi dan melatarbelakangi bahasa itu. Konteks yang dimaksud adalah segala latar belakang pengetahuan yang dimiliki bersama oleh penutur dan mitra tutur serta yang menyertai dan mewadahi sebuah pertuturan. Sebagai contoh kalimat (1) dan (2) dibawah ini: (1) “Kapure entek.” “Kapurnya habis.” (2) “Jam piro saiki?” “Jam berapa sekarang?” Secara struktural kalimat (1) dan (2) secara berturut-turut adalah kalimat pernyataan dan kalimat pertanyaan. Satuan lingual (1) dan (2) bila dianalisis secara pragmatis dengan mencermati konteks pemakaiannya akan didapatkan hasil yang berbeda. Misalnya saja bila kalimat (1) diucapkan oleh guru kepada
8
9
murid-muridnya sewaktu akan memulai pelajaran, kalimat ini diucapkan bukan semata-mata untuk menginformasikan sesuatu, tetapi berimplikasi perintah, yakni menyuruh (salah satu) lawan bicaranya untuk mengambil kapur. Kalimat (2) bila diucapkan oleh seorang ibu asrama mahasiswa putri kepada tamu laki-laki yang bertandang ke asramanya, kalimat ini bukanlah kalimat tanya karena kemungkinan besar penutur sudah tahu pukul berapa pada saat itu. Dalam konteks seperti ini kalimat (2) adalah kalimat perintah yang diutarakan secara tidak langsung. Adapun maksud yang terkandung dibaliknya adalah sang tamu segera meninggalkan asrama karena hari sudah malam atau batas waktu berkunjung ke asrama sudah habis. Berdasarkan ilustrasi (1) dan (2) kalimat yang menjadi telaah pragmatik jelas konteks pengujarannya. Lebih lanjut, Leech (dalam Wijana 2004:47) menyatakan bahwa segala latar belakang pengetahuan yang dimiliki bersama oleh penutur dan mitra tutur serta yang menyertai dan mewadahi sebuah pertuturan, dapat disebut dengan konteks situasi tutur (speech situatuional contexts). Konteks situasi tutur, menurutnya, mencakup aspek-aspek berikut: (1) penutur dan lawan tutur (2) konteks tuturan (3) tujuan tuturan (4) tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas (5) tuturan sebagai produk tindak verbal. Penutur dan lawan tutur yang dimaksud dapat secara lisan maupun tertulis. Penutur dan lawan tutur secara lisan dapat terjadi dalam percakapan secara langsung, sedangkan tertulis dapat terjadi dalam percakapan yang disampaikan dalam bentuk tulisan. Bentuk percakapan tertulis misalnya terdapat dalam novel, naskah dan drama. Aspek-aspek yang berkaitan dengan penutur dan lawan tutur antara lain usia, latar belakang sosial
10
ekonomi, jenis kelamin dan kekerabatan. Konteks tuturan penelitian linguistik adalah konteks dalam semua aspek lingkungan fisik dan setting sosial yang relevan dengan tuturan bersangkutan. Konteks dalam pragmatik berarti semua latar belakang pengetahuan yang dimiliki bersama oleh penutur dan lawan tutur untuk menafsirkan makna. Berbicara dalam pragmatik merupakan aktivitas yang berorientasi pada tujuan (goal ariented activities) (Wijana, 2004:48). Bentuk-bentuk tuturan yang bermacam-macam dapat digunakan untuk menyatakan maksud yang sama atau sebaliknya. Setiap pembicaraaan yang disampaikan penutur pasti dilatarbelakangi oleh maksud dan tujuan tertentu. Sebagai contoh, bentuk-bentuk tuturan pagi, selamat pagi, mat pagi dapat digunakan untuk menyatakan maksud yang sama yakni menyapa lawan bicara (teman, guru, saudara, dsb) yang dijumpai penutur pagi hari. Selain itu, selamat pagi dengan berbagai variasinya bila diucapakan dengan nada tertentu dan situasi tertentu dapat pula digunakan penuturnya untuk mengejek guru yang terlambat masuk kelas, saudara yang terlambat datang ke pertemuan, dsb. Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan, pragmatik adalah ilmu yang menelaah bagaimana keberadaan konteks mempengaruhi dalam menafsirkan kalimat. Tutur, konteks, tujuan, tindak ucap, dan tuturan sebagai produk tindak verbal secara bersama-sama membentuk situasi tutur (speech situation). Bila diamati seksama, kelima kriteria yang digariskan Leech di atas mengisyaratkan bahwa bentuk tuturan yang diutarakan oleh seorang penutur kepada lawan tuturnya selalu dilandasi oleh maksud tertentu. Setiap pihak dalam
11
bertindak tutur memiliki alasan-alasan yang jelas di dalam mengartikulasikan bentuk-bentuk tuturannya.
2. Fungsi Bahasa Hidayat (2006:26) menyatakan fungsi umum bahasa adalah sebagai alat komunikasi. Seseorang yang mengeluh atau menyatakan rasa syukur, maka dia sedang menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi. Selain fungsinya yang bersifat khusus, klasifikasinya sangat beragam. Keanekaragaman pendapat para ahli tampak pada uraian berikut. a) Fungsi bahasa menurut Finnochiarro Salah satu ahli bahasa yang membagi fungsi bahasa adalah Finnochiaro (dalam Hidayat, 2006:27-28). Finnochiaro menyatakan pembagian fungsi bahasa menjadi 5 kelompok. Kelima kelompok itu adalah (a) fungsi personal (b) fungsi interpesonal (c) fungsi direktif (d) fungsi referensial (e) fungsi imaginatif. (1) Fungsi Personal Fungsi personal merupakan fungsi bahasa untuk menyatakan diri. Ukurannya adalah apakah yang disampaikan itu berasal dari dirinya atau bukan. Apa yang terdapat pada diri manusia itu secara garis besar dibedakan menjadi 2 macam, yakni perasaan dan pikiran. Berbagai macam perasaan senang, marah dan sebagainya. Jadi, jika seseorang menyatakan isi perasaan dan pikirannya, maka dia sedang menggunakan bahasa menyatakan diri. Misalnya, Konteks : Seorang pembantu yang telah bekerja puluhan tahun mendatangi juragannya (Herman) untuk meminta agar gajinya yang sebesar seratus lima puluh ribu dapat naik. Si pembantu (Bendul) kecewa, gajinya tidak jadi dinaikan.
12
Herman
: “Mulai sesuk gajimu, saya naikan satu juta setengah.” “Mulai besuk gajimu, saya naikan satu juta setengah.”
Bendul
: “Alhamdulilah.”
Herman
: “Umum ora?” “Umum tidak?”
Bendul
: “Boten umum.” “Tidak umum.”
Herman
: “Pancet satus seket.” “Tetap seratus lima puluh.”
Bendul
: “Oalah aku muni ora umum malah ora sida mundhak.” “Oalah saya bilang tidak umum malah tidak jadi naik.” Tuturan tersebut mengekspresikan fungsi personal, yaitu menunjukan
keadaan penutur yang sedang marah atau kesal. Bendul merasa kecewa dengan Herman yang tidak jadi menaikan gajinya. Tuturan yang menunjukan fungsi personal ditunjukan dengan satuan lingual berupa: “Oalah aku muni ora umum malah ora sida mundhak “Oalah saya bilang tidak umum malah tidak jadi naik. Tuturan tersebut menunjukan bahwa bendul merasa kesal karena hanya gara-gara mengatakan gaji satu juta lima ratus ribu tidak umum tidak jadi dinaikan gajinya. (2) Fungsi Interpersonal Fungsi interpersonal sesuai dengan namanya, merupakan fungsi yang menyangkut hubungan antar penutur atau antarpersonal. Fungsi bahasa tersebut diarahkan untuk membina atau menjalin hubungan sosial. Contoh fungsi itu dapat ditemukan percakapan berikut. Konteks
: Dua orang pemuda desa yang sudah saling bersahabat lama membicarakan cara melamar kerja di sebuah perusahaan. Salah satu memperagakan menjadi direktur (Wagiman) dan yang satu menjadi pelamar (Slamet).
13
Slamet
: “Nyuwun sewu pak.” “Permisi pak”
Wagiman : “Arep maling? Arep maling?” “Mau maling? Mau maling?” Slamet
: “Kurang ajar kowe! Golek kerja goblok!” “Kurang ajar kamu! Cari kerja goblok!”
Wagiman : “Kowe pernah sekolah ora ta?” “Kamu pernah sekolah tidak sih?” Slamet
: “Ya tau” “Pernah.”
Wagiman : “Lha nek tau ya kudune ngerti nek uwong meh golek gawean ki nganggo dasi, nganggo stapmap, prooooposal.” “Kalau pernah ya seharusnya tahu kalau orang yang namanya cari pekerjaan itu pakai dasi pakai stapmap, proooposal.” Pemanfaatan fungsi interpersonal ditunjukan pada tuturan Slamet yaitu berupa: Nyuwun sewu pak “Permisi pak” kalimat tersebut memiliki fungsi interpersonal yaitu berupa ungkapan dari Slamet yang memperlihatkan rasa hormat dengan Wagiman saat akan melamar kerja. Tuturan yang dilakukan Slamet menunjukan fungsi untuk menjalin hubungan sosial atau hanya sekedar ingin mengadakan kontak dengan orang lain. (3) Fungsi Direktif Fungsi direktif merupakan fungsi bahasa untuk mengatur orang lain, yang diharapkan oleh penutur dengan fungsi direktif adalah dampak tindakan orang lain yang diharapkannya. Bentuk bahasanya juga memiliki ciri yang khas sebagai bentuk-bentuk direktif. Fungsi direktif itu, penutur bermaksud menyuruh orang lain, memberi saran untuk melakukan tindakan atau meminta sesuatu. Pemakaian bahasa dengan fungsi direktif itu dapat diamati, misalnya:
14
Konteks : Seorang pembantu (Tejo) sedang berbicara dengan juragannya (Susi). Juragan tersebut masih muda dan selalu berpenampilan seksi. Sang juragan ingin curhat dengan si pembantu. Si pembantu sudah lama bekerja di rumah tersebut. Si pembantu sudah dianggap seperti keluarga sendiri. Susi
: “Ngene lho Jo.” “Bagini lho Jo.”
Tejo
: “Pripun?” “Bagaimana?”
Susi
: “Winginane kae, (Tejo sedikit menjauh) ngapa ta ah? “Kemarin itu, (Tejo sedikit menjauh) mengapa ta ah?”
Tejo
: “Pun nyedhek-nyedhek ta, wong kene ki ora rangkepan e!” “Jangan dekat-dekat ta, saya ini tidak memakai celana dalam!” Tuturan yang menujukan fungsi direktif terdapat pada satuan lingual: Pun
nyedhek-nyedhek ta, wong kene ki ora rangkepan e! “Jangan dekat-dekat ta, saya ini tidak memakai celana dalam!”. Tuturan tersebut menunjukan bahwa Tejo menyuruh Susi untuk menjauh dan tidak mendekati dirinya. (4) Fungsi Referensial Fungsi referensial merupakan fungsi bahasa untuk membicarakan obyek atau peristiwa dalam lingkungan sekeliling atau di dalam kebudayaan pada umumnya. Sudaryanto (1990:15) menyatakan, bahwa fungsi ketiga ini mengingatkan pada apa yang umum dikenal dengan berita. Seperti ungkapan, mereka berwajah tampan semua, Laptop ini murah harganya. Contoh lain fungsi itu dapat ditemukan percakapan berikut. Konteks
: Percakapan antara dua orang pembantu (Paijo dan Bejo) yang sudah saling bersahabat lama. Mereka membicarakan pembagian tugas kerja mereka.
Paijo
: “Kowe bagianmu ning ngendhi?kowe rak ning buri. Kok ning ngarep. Ki dina apa?”
15
“Kamu bagianmu di mana? Kamu kan di belakang. Kenapa di depan? Ini hari apa?” Bejo
: “Jare tok kon bantu?” (sambil mengusap muka Paijo dengan kemoceng)” “Katanya minta dibantu?” (sambil mengusap muka Paijo dengan kemoceng)”
Paijo
: “Ndelok reneo! Rene! Rene!” “Coba kesini! Sini!sini!
Bejo
: “Ngapa?” “Kenapa?”
Paijo
: “Kowe dadi buruh karo aku wes pirang tahun?” “Kamu menjadi buruh dengan aku sudah berapa tahun?”
Bejo
: “Yowes enek sepuluh tahun ta ning kene ki.” “ Ya udah ada sepuluh tahun ta di sini tu.”
Paijo
: “Lha sepuluh tahun kok isoh ra ngerti tugase. Senin kowe ning ngarep, Selasa aku ning buri, Rebo aku ning ngarep, Kemis kowe ning buri, Jumat aku ning ngarep, Setu kowe ning buri.” “Lha sepuluh tahun tidak tahu tugasnya. Senin kamu di depan, Selasa aku di belakang, Rabu kamu di depan, Kamis aku di belakang, Jumat aku di depan, Sabtu kamu di belakang.” Tuturan di atas menunjukan fungsi bahasa yaitu fungsi referensial. Tuturan
di atas membicarakan mengenai obyek atau peristiwa yang ada disekelilingnya penutur. Tuturan yang menunjukan fungsi referensial berupa:..Senin kowe ning ngarep, Selasa aku ning buri, Rebo aku ning ngarep, Kemis kowe ning buri, Jumat aku ning ngarep, Setu kowe ning buri “Senin kamu di depan, Selasa aku di belakang, Rabu kamu di depan, Kamis aku di belakang, Jumat aku di depan, Sabtu kamu di belakang”. Tuturan tersebut membicarakan obyek yaitu pembagian tugas kerja di antara kedua pembantu itu. (5) Fungsi Imaginatif
16
Fungsi bahasa untuk menciptakan sesuatu dengan berimajinasi. Karyakarya sastra, seperti prosa, puisi, cerpen, novel, dan roman merupakan karyakarya yang lahir berkat fungsi bahasa, sebagai alat untuk berimaginasi. Menurut Finnocchiaro (dalam Hidayat, 2006:28) fungsi imaginasi sukar dipelajari atau diajarkan. Bahasa yang ada pada diri bersangkutan ikut menentukan berkembangnya kemampuan manusia berimajinasi dengan bahasa. Pemakaian bahasa dengan fungsi imaginatif itu dapat diamati, misalnya: Konteks
: Percakapan antara dua orang pemuda desa yang sudah akrab. Salah satu pemuda baru saja pulang dari kerja di Jakarta. Pemuda yang datang itu berpenampilan nyentrik. Pemuda yang satunya heran melihatnya.
Tugimin : “Apa ngene ki?” “Apa ini?” Narwan
: “Haha…ketinggalan jaman”
Tugimin : “Ketinggalan adoh aku” “Ketinggalan jauh aku” Narwan
: “Handphone”
Tugimin : “Apa?” “Apa?” Narwan
: “O sing diomongke ning Tv-Tv kae ki ta?” “O yang dibicarakan orang di Tv-Tv itu ya?”
Tugimin : “Hand tangan, phone ngene (menggenggam tangan dan menempelkan tangan ke telinga) dadi telepon genggam.” “Hand tangan, phone seperti ini (menggenggam tangan dan menempelkan tangan ke telinga) jadi telepon genggam.” Narwan
: “Handphone, hand ki tangan phone ketonyo, sampun ketonyo ngono ki lho.” “Handphone, hand itu tangan phone kepukul, sudah kepukul begitu.”
17
Ungkapan tersebut merupakan imajinasi Narwan karena melihat tangan Tugimin yang menggenggam dan ditujukan ke telinga Tugimin. Satuan lingual yang menujukkan fungsi imajinatif berupa: Handphone, hand ki tangan phone ketonyo, sampun ketonyo ngono ki lho “Handphone, hand
itu tangan phone
kepukul, sudah kepukul begitu”. Fungsi imajinasi tuturan di atas berfungsi untuk menjelaskan tentang peragaan yang dilakukan oleh Tugimin. b) Fungsi Bahasa Menurut Chaer Salah satu ahli bahasa yang membagi fungsi bahasa adalah Abdul Chaer (1995:20-22). Chaer menyatakan pembagian fungsi bahasa menjadi 5 kelompok. Kelima kelompok itu dapat dilihat dari sudut penutur, pendengar, topik, kode, dan amanat pembicaraan. (1) Sudut Penutur Segi sudut penutur, maka bahasa itu berfungsi personal atau pribadi. Maksudnya, si penutur menyatakan sikap terhadap apa yang dituturkanya. Si penutur bukan hanya mengungkapkan emosi lewat bahasa, tetapi juga memperlihatkan emosi itu sewaktu menyampaikan tuturannya. Pihak si pendengar juga dapat menduga apakah si penutur sedih, marah, atau gembira. (2) Pendengar Segi pendengar atau lawan bicara, maka bahasa itu berfungsi direktif, yaitu mengatur tingkah laku pendengar. Bahasa tidak hanya membuat si pendengar melakukan sesuatu, tetapi melakukan kegiatan yang sesuai dengan yang diinginkan si pembicara. Hal ini dapat dilakukan si penutur dengan menggunakan kalimat-kalimat yang menyatakan perintah, himbauan, permintaan, maupun
18
rayuan. Seperti contoh berikut. “Biasanya orang-orang (tidak) melakukan itu”, “Anda jangan melakukan itu”, (Chaer, 1985:27). (3) Kontak Antara Penutur dan Pendengar Segi kontak antara penutur dan pendengar maka bahasa di sini berfungsi fatik. Fungsi bahasa ini yaitu untuk menjalin hubungan, memelihara, memperlihatkan perasaan bersahabat, atau solidaritas sosial. Ungkapan-ungkapan yang digunakan biasanya sudah berpola tetap seperti pada waktu berjumpa, pamit, membicarakan cuaca, atau menanyakan keadaan keluarga. Oleh karena itu, ungkapan-ungkapannya tidak dapat diartikan atau diterjemahkan secara harafiah. Misalnya, dalam bahasa Inggris ungkapan How do you do, How are you, Here you are, dan Nice day; dalam bahasa Indonesia ada ungkapan seperti Apa kabar, Bagaimana anak-anak, Mau kemana nih, dan sebagainya. Ungkapan-ungkapan fatik ini biasanya juga disertai dengan unsur, seperti senyuman, gelengan kepala, gerak-gerik tangan, air muka, dan kedipan mata. Ungkapan-ungkapan tersebut yang disertai unsur tidak mempunyai arti, dalam arti memberikan informasi, tetapi membangun kontak sosial antara para partisipan di dalam pertuturan tersebut. (4)Topik Segi topik ujaran, maka bahasa itu berfungsi referensial. Bahasa itu berfungsi sebagai alat untuk membicarakan objek atau peristiwa yang ada sekeliling penutur atau yang ada dalam budaya pada umumnya. Fungsi referensial ini melahirkan pikiran tradisional bahwa bahasa itu adalah alat untuk menyatakan pikiran untuk menyatakan bagaimana pendapat si penutur tentang dunia di
19
sekelilingnya. Misalnya, “ Ibu dosen itu, cantik sekali”, atau “ Gedung perpustakaan itu baru dibangun” (Chaer, 1995:21). (5)Kode Segi kode yang digunakan, maka bahasa itu yang berfungsi metalingual atau metalinguistik. Bahasa itu untuk membicarakan bahasa itu sendiri. Lebih lanjut, bahasa itu digunakan untuk membicarakan atau menjelaskan bahasa. Hal ini dapat dilihat dalam proses pembelajaran bahasa di mana kaidah-kaidah atau aturan-aturan bahasa dijelaskan dengan bahasa. Selain itu, dapat dilihat juga di dalam kamus monolingual, bahasa itu digunakan untuk menjelaskan arti bahasa (dalam hal ini kata) itu sendiri. Konteks
: Seorang juragan (Lukimin) memberi nasehat kepada dua pembantunya (Benjo dan Sarno) agar selektif dalam menerima tamu. Sang juragan hanya menerima tamu yang kaya. Kedua pembantu tersebut telah lama bekerja dirumah itu.
Lukimin
: “Nek ana tamu, sing biasa-biasa ae ora nganggo kendaraan, kon bali! Tapi nek nggawa rodha papat, Kon mlebu.” “Kalau ada tamu, yang biasa-biasa saja tidak memiliki kendaraan, suruh pulang! Tapi kalau membawa roda empat, suuruh masuk.”
Benjo
: “Nek tamune sugih?” “Kalau tamunya kaya?”
Lukimin
: “Kon mlebu.” “Suruh masuk.”
Benjo
: “Ditampa?” “Diterima?”
Lukimin
: “Ditampa.” “Diterima.”
Benjo
: “Nek mlarat?” “Kalau melarat?”
20
Lukimin
: “Kon nyingkir.” “Suruh menyingkir.”
Sarno
: “Nek nggawa rodha papat?” “Kalau membawa roda empat?”
Lukiman
: “Ditampa.” “Diterima.”
Sarno
: “Rodha thok?” “Hanya roda?”
Benjo
: “Mobil goblok.”
Lukiman
: “Tegese rodha papat mobil ngana.” “Artinya roda empat mobil begitu.”
Tuturan yang menunjukan fungsi metalinguistik terdapat pada kalimat: “Tegese rodha papat mobil ngana “Artinya roda empat mobil begitu.” Tuturan tersebut mempunyai fungsi menjelaskan arti bahasa itu sendiri, yaitu menjelasakan arti kata roda empat. (6)Amanat pembicaraan Segi amanat (message) yang akan disampaikan maka bahasa itu berfungsi imaginatif. Fungsi bahasa ini dapat digunakan untuk menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan; baik yang sebenarnya, maupun yang cuma imajinasi (khayalan, rekaaan) saja. Fungsi imaginatif ini biasanya berupa karya seni (puisi, cerita, dongeng, lelucon) yang digunakan untuk kesenangan penutur, maupun para pendengarnya.
3. Prinsip Kerja Sama dalam Ilmu Pragmatik Seorang penutur dalam sebuah komunikasi akan mengartikulasikan sesuatu pada lawan tutur dan berharap pada lawannya dapat memahami apa yang
21
hendak dikomunikasikan itu. Penutur akan berusaha agar tuturannya selalu relevan dengan konteks, jelas sehingga mudah dipahami, ringkas dan tetap pada permasalahan sehingga tidak menghabiskan waktu lawan tutur. Penggunaan bahasa dalam percakapan dapat berhasil secara efektif dan efisien, diperlukan prinsip-prinsip pragmatik, salah satunya yaitu prinsip kerja sama. Grice (dalam Herawati 2007:13) menyatakan bahwa prinsip kerja sama pada penutur harus memenuhi empat maksim, yaitu maksim kuantitas (maxim of quantity), maksim kualitas (maxim of quality), maksim relevansi (maxim of relevance), maksim pelaksanaan (maxim of manner). a) Maksim Kuantitas Herawati (2007:8) menyatakan maksim kuantitas berkaitan dengan kuantitas kontribusi yang diberikan oleh peserta tutur. Maksim ini mengharapkan setiap peserta tutur dapat memberikan kontribusi yang sesuai dengan kebutuhan lawan tutur. Jadi, kontribusi yang diberikan tidak kurang atau lebih dari yang dibutuhkan peserta tutur yang lain. Wijana, (1996:46) menyatakan bahwa maksim kuantitas menghendaki setiap peserta pertuturan memberikan informasi yang tepat, yaitu : 1) Sumbangan informasi harus sesuai dengan yang dibutuhkan. 2) Sumbangan informasi tidak boleh melebihi yang dibutuhkan. Pendapat tentang maksim kuantitas dimaksudkan bahwa maksim ini merupakan maksim yang mengharapkan penutur memberikan informasi yang cukup. Maksim kuantitas menghendaki informasi yang memadai dan tidak
22
berlebihan. Maksim tersebut mengharapkan penutur untuk memberikan informasi yang tidak kurang ataupun lebih. Berikut contoh maksim kuantitas. + “Jenengmu sapa?” “Namamu siapa?” ‒ “Ani” “Ani”
(Wijana 1996:47)
Cuplikan tuturan di atas bersifat kooperatif. Karena (-) memberikan kontribusi yang secara kuantitas memadahi, atau mencukupi pada setiap tahapan komunikasi. Terkadang, dalam sebuah percakapan sering terjadi pembicaraan yang nglatur, misalnya: peserta tutur menyampaikan informasi atau hal-hal yang sesungguhnya tidak dibutuhkan oleh lawan tuturnya. Hal tersebut wajar terjadi karena penutur biasanya tidak memperhatikan apa yang sedang dikatakannya. Penyimpangan terhadap maksim kuantitas dilakukan karena mempunyai tujuantujuan tertentu. Konteks :
Percakapan antara suami dan istri, bahwa suami mengeluh ketika menyantap makanan daging ayam yang dimasak istrinya itu kurang pas.
Kaki
:
“Nyi, anggonmu olah iwak pithik iki mau piye ta?” “Nyi, kamu masak daging ayam tadi bagaimana?”
Nyai
:
“Bumbune wis tak punjuli. Isih kurang enak ta Ki?” “Bumbunya sudah saya lebihi. Masih kurang enak Ki?”
Kaki
:
“Dudu rasane. Ning iwake setengah mateng. A lot! Untuku wis ra tedhas. Apa ming kon ngemut thok. Rasah dimamah, njur dilepeh meneh. Ngono pa?” “Bukan rasanya. Tapi dagingnya masih setengah matang. Alot! Gigi saya sudah tidak kuat. Apa hanya dihisap saja. Tidak usah dikunyah, kemudian dikeluarkan lagi. Begitu?”
23
Nyai
:
“Sabar Ki! Saiki lagi dimasak setengah mateng. Mengko sore ya dienget rak luwih mateng. Yen nganti pitung dina iwak isih, bola-bali dienget suwe-suwe rak nyunyut, mateng banget. Iwake ben awet.” “Sabar Ki! Sekarang sedang dimasak setengah matang. Nanti sore kalau dipanaskan akan lebih matang. Kalau nanti tujuh hari dagingnya masih, berulang kali lama-kelamaan menjadi remuk (matang sekali). Dagingnya biar awet.” (Herawati 2007:79)
Contoh wacana di atas, tuturan suami (Kaki) itu menyimpang dari maksim kuantitas, secara kuantitas tuturan suami (Kaki) tidak sesuai yang dibutuhkan oleh isteri (Nyai). Satuan lingual yang merupakan kontribusi yang berlebih berbentuk: Untuku wis ra tedhas. Apa mung kon ngemut thok. Rasah dimamah njur dilepeh. Ngono pa? “Gigi saya sudah tidak kuat. Apa hanya dihisap saja. Apa tidak usah dikunyah kemudian dikeluarkan. Apa begitu?”. Seandainya tuturan suami (Kaki) itu dalam wacana hanya mengucapkan: Dudu rasane “Bukan rasanya” atau cukup mengucapkan Ning iwake isih setengah mateng “Tapi dagingnya belum masak” atau dengan ucapan Alot iwake “Alot dagingnya”, maka tuturan itu sudah sesuai dengan maksim kuantitas. Penyimpangan terhadap maksim kuantitas di atas dapat dimanfaatkan untuk menimbulkan humor. b) Maksim Kualitas Wijana, (1996:48) menyatakan maksim percakapan ini mewajibkan setiap peserta percakapan mengatakan hal yang sebenarnya. Kontribusi peserta percakapan hendaknya didasarkan pada bukti-bukti yang memadai. Rahardi (2005:55) mengemukakan pula bahwa maksim kualitas, seorang peserta tutur
24
diharapkan dapat menyampaikan sesuatu yang nyata dan sesuai
fakta yang
sebenarnya di dalam bertutur. Wujud ketaatasaan maksim kualitas tersebut terdapat dalam contoh petikan berikut. Konteks :
Percakapan antara kakak (Sukimin) dan adik (Ningsih). Ningsih bertanya jumlah isi rokok Djarum Super kecil kepada kakaknya (Sukimin).
Ningsih :
“Mas, rokok Djarum Super bungkus cilik ki isine pira?” “Mas, rokok Djarum Super bungkus kecil berapa isinya?”
Sukimin :
“Rolas Dhik.” “Dua belas Dik.”
Percakapan di atas menaati maksim kualitas karena memberikan informasi yang diyakini benar. Satuan lingual: Rolas Dhik “Dua belas Dik” memiliki bukti yang memadahi. Berbeda halnya apabila penutur mengatakan Telulas Dhik “Tiga belas Dik”, maka tuturan tersebut tidak sesuai dengan maksim kualitas. Sering kita temukan dalam kehidupan sehari-hari tuturan yang sengaja disimpangkan dengan tujuan-tujuan tertentu. + “Jarene lunga menyang Bonbin, mobile kok remuk kabeh, bar ngebut ya?” “Katanya pergi ke kebun binatang, mobilnya kok penyok semua, habis ngebut ya?” ‒ “Boten Pak, bar kepenyak gajah Pak.” “Tidak Pak, habis keinjak gajah Pak.” (Wijana 2004:83) Percakapan di atas tampak penutur (-) memberikan kontribusi yang melanggar maksim kualitas. Penutur (-) mengatakan tanpa bukti-bukti yang memadahi. Tempat parkir mobil layaknya jauh dari kandang gajah, dan kandang gajah dibatasi dengan pagar yang kokoh. Jadi, pernyataan penutur (-) sulit
25
dibuktikan kebenaranya. Tuturan penutur (-) yang menyimpang dari maksim kualitas tersebut berperan menciptakan humor. c) Maksim Relevansi Rahardi (2005:56) menyatakan di dalam maksim relevansi, dinyatakan bahwa agar terjalin kerja sama yang baik antara penutur dan mitra tutur, masingmasing hendaknya dapat memberikan kontribusi yang relevan tentang sesuatu yang sedang dipertuturkan. Bertutur dengan tidak memberikan kontribusi yang demikian dianggap tidak mematuhi dan melanggar prinsip kerja sama. Herawati (2007:83) menyatakan bahwa maksim relevansi dari prinsip kerja sama mengharapkan peserta tutur untuk memberikan kontribusi yang relevan dengan masalah pembicaraan. Maksim ini menekankan pada keterkaitan isi ujaran antarpeserta tutur agar proses berbahasa dapat berjalan secara efektif. Sebagai ilustrasi dari pernyataan di atas sebagai berikut. Sang Hyang Tunggal :
“Nanging sadurunge sira lunga, selehna tetembunganku iki nang jero batinmu.” “Namun sebelum kau pergi, letakkanlah kata-kataku ini dalam hatimu.”
Semar
“Sendhika dhawuh, ya Dewa.” “Hamba bersedia, ya Dewa.”
:
(Rahardi 2005:56) Cuplikan tuturan di atas dapat dikatakan mematuhi dan menepati maksim relevansi. Secara relevansi, tuturan yang disampaikan tokoh Semar, yakni Sendhika dhawuh, ya Dewa “Hamba bersedia, ya Dewa” benar-benar merupakan tanggapan atas perintah Sang Hyang Tunggal yang dituturkan sebelumnya, yakni Nanging sadurunge sira lunga, selehna tetembunganku iki nang jero batinmu “Namun sebelum kau pergi, letakkanlah kata-kataku ini dalam hatimu”. Tuturan
26
itu dengan kata lain dapat dikatakan patuh dengan maksim relevansi dalam prinsip kerja sama Grice. Ketentuan yang ada pada maksim relevansi, untuk maksudmaksud tertentu, misalnya untuk melucu, sering kali tidak dipenuhi oleh penutur. Andi : “Pak, ana tabrakan montor karo trek nang pertelon ngarep.” “Pak, ada tabrakan montor lawan truk di pertigaan depan.” Ayah : “Sing menang apa hadiahe?“ “Yang menang apa hadiahnya?”
(Wijana 2004:58)
Kemunculan kelucuan pada wacana di atas adalah ujaran yang diungkapkan oleh Ayah. Kontribusi yang diberikan oleh Ayah tersebut menyimpang dari maksim relevansi. Hal itu tampak sekali dari isi tuturan Ayah tadi yang tidak relevan dengan konteksnya. Satuan lingual yang diungkapkan Ayah itu tidak ada kaitannya dengan pertanyaan yang diajukan oleh Andi. Apabila tuturan Ayah itu akan menjadi kontribusi yang relevan dengan konteksnya, tuturan Ayah seharusnya berbunyi: Ayo cepet ditulungi “Mari cepat kita tolong”. Seandainya tuturan Ayah tersebut sesuai dengan maksim relevansi, maka kelucuan pada wacana humor itu tidak akan terbentuk. Penyimpangan maksim relevansi itu, digunakan sebagai sarana untuk memunculkan humor. d) Maksim Pelaksanaan Rahardi (2005:57) menyatakan maksim pelaksanaan mengharuskan peserta pertuturan bertutur secara langsung, jelas, tidak kabur. Orang bertutur dengan tidak mempertimbangkan hal-hal itu dapat dikatakan melanggar Prinsip Kerja Sama Grice karena tidak mematuhi maksim pelaksanaan. Lebih lanjut, Wijana (1996:50) maksim pelaksanaan mengharuskan setiap peserta percakapan
27
berbicara secara langsung, tidak kabur, tidak taksa dan tidak berlebih-lebihan. Berkaitan dengan prinsip ini dapat diilustrasikan seperti contoh berikut. + “Sewengi awak dhewe mangan kakap karo mujair nang restoran.” “Semalam kami makan kakap dan mujair di restoran.” − “Nek aku nang omah mung karo pepes teri wae.” “Kalau saya di rumah hanya pepes teri saja.”
(Wijana, 2004:90)
Cuplikan pertuturan pada contoh di atas dapat dikatakan tidak menyimpang dari maksim pelaksanaan. Karena bila dicermati dengan maksim pelaksanaan penutur (+) berbicara secara literal, maka penutur (-) juga memberikan respon yang literal. Apabila seorang mengatakan koruptor kelas kakap atau penjahat kelas teri maka kakap dan teri dalam konteks ini bersifat metaforis, bukan bersifat literal. Apabila lawan tutur menafsirkannya secara literal, maka ia tidak bersifat kooperatif atau melanggar maksim pelaksanaan. Saat-saat tertentu ada kalanya orang dengan sengaja menyimpangkan maksim pelaksanaan. Seperti contoh berikut. Bejo
: “Olehmu ajar ukur tanah wis rampung?” “Kamu belajar mengukur tanah sudah selesai?”
Harno
: “Wis.” “Sudah.”
Bejo
: “Aku njaluk tulung takkon ngukuri, apa gelem?” “Saya minta tolong untuk mengukurkan, apa mau?”
Harno
: “Gelem pisan ta, wong kancane. Ngukuri apa?’ “Mau sekali ta, karena temannya. Mengukur apa?”
Bejo
: “Iki lho, gegerku kok gatel temen.” “Ini lho, punggung saya gatal sekali.”
28
Harno
: “Hus, aja sembrana! “ “Hus, jangan sembarangan!”
(Herawati 2007:86)
Wacana di atas mengungkapkan salah satu pelaku mengikuti pendidikan yang berkaitan dengan pengukur tanah. Munculnya kehumoran dalam wacana itu terlihat pada ujaran yang disampaikan si Bejo, khususnya pernyataan tentang sudah selesaikah belajar mengukur tanah? dan permintaaan tolong untuk menggaruk punggung yang gatal, yaitu dari ukur tanah “mengukur tanah” menjadi ngukuri geger “menggaruk punggung”. Unsur-unsur yang digunakan sebagai sarana pengungkap humor dalam wacana di atas jika diamati dari prinsip kerja sama menyimpang dari maksim pelaksanaan. Penyimpangan itu terjadi dalam tuturan si pelaku Bejo. Tuturan Bejo dalam penggalan wacana terdiri atas tiga kalimat, yaitu: (1) Olehmu ajar ukur tanah wis rampung? “Kamu belajar mengukur tanah sudah selesai?”, (2) Aku njaluk tulung takkon ngkuri, apa gelem? “Saya minta tolong untuk mengukurkan, apa mau?”, dan (3) Iki lho, gegerku kok gatel temen. “Ini lho, punggung saya gatal sekali”. Kalimat-kalimat yang dituturkan si pelaku Bejo mengandung unsur yang taksa. Ketaksaan itu terlihat pada satuan lingual ngukuri yang terdapat dalam kalimat: Aku njaluk tulung takkon ngukuri, apa gelem? “Saya minta tolong untuk mengukurkan, apa mau?”. Ketaksaan itu terbukti pada kesalahan si pelaku Harno menangkap maksud tuturan si Bejo. Anggapan Harno satuan lingual yang berbentuk ngukuri tersebut masih ada kaitannya dengan tuturan Bejo pada kalimat (1) Anggapan Harno satuan lingual ngukuri berasal dari bentuk dasar ukur “ukur”
29
yang berkaitan dengan pengukuran tanah. Namun, oleh si Bejo satuan lingual ngukuri tersebut dikaitkan dengan tuturannya pada kalimat (3), satuan lingual ngukuri berasal dari bentuk dasar kukur “garuk” yang memilki makna berbeda dengan ukur “mengukur”. Ketaksaan yang terkandung dalam tuturan Bejo itu merupakan pelanggaran maksim pelaksanaan dari prinsip kerja sama. Penyimpangan itu berfungsi sebagai penunjang munculnya kelucuan dalam wacana humor tersebut. Seandainya Bejo bertutur Iki lemah pekaranganku sing takkon ngukur “Ini tanah pekarangan saya yang akan diukur” maka tuturan yang diungkapkan Bejo itu tidak menyimpang dari maksim pelaksanaan. Wijana (2004:60) menguraikan bahwa dengan maksim pelaksanaan, seorang penutur diharuskan menafsirkan kata-kata yang digunakan oleh lawan bicaranya secara tidak taksa berdasarkan konteks-konteks pemakaiannya. Selanjutnya, Ia juga menjelaskan jika pada ketiga maksim sebelumnya memiliki kecenderungan terhadap apa yang dikatakan sedangkan pada maksim pelaksanaan adalah bagaimana sesuatu itu seharusnya dikatakan. Bertutur dengan kata lain hendaklah disampaikan dengan cara-cara yang wajar. 4. Wacana dalam Humor Wacana dalam penelitian ini satuan lingual yang bila dilihat dari strukturnya terdiri dari kalimat-kalimat yang membentuk satu kesatuan yang serasi dan padu. Batasan itu terkait dengan pendapat Stubs dan Mchoul (dalam Baryadi 2002:2) yang menyatakan bahwa wacana merupakan satuan bahasa di atas kalimat, baik lisan maupun tulis yang tersusun secara berkesinambungan
30
sehingga membentuk suatu kepaduan. Berdasarkan pengertian di atas, dapat diketahui bahwa sebuah wacana yang baik mengandung suatu kepaduan yang terbangun dari kesinambungan pengertian. Berbagai jenis wacana dapat diklasifikasikan dengan dasar tertentu. Berdasarkan cara menghasilkannya dapat dikelompokkan dua kategori, yaitu wacana lisan (spoken discourse) dan wacana tulis (written discourse) Tarigan dalam Baryadi (2002:9). Wacana lisan adalah wacana yang diwujudkan secara lisan. Si penerima harus menyimak atau mendengarkan untuk menerima dan memahami jenis wacana ini. Wacana lisan sering juga dikaitkan dengan wacana interaktif, karena wacana lisan dihasilkan dari proses interksi atau hubungan komunikatif secara verbal antarpartisipan komunikasi. Contoh jenis wacana ini adalah dialog, tanya jawab dalam wawancara, percakapan jual beli, khotbah, diskusi, rapat musyawarah, obrolan, dsb). Wacana tertulis adalah wacana yang diwujudkan secara tertulis. Si penerima harus membaca untuk bisa menerima dan memahami wacana ini. Wacana ini sering dikaitkan dengan wacana noninteraktif karena proses pemproduksian wacana ini tidak dapat langsung ditanggapi oleh komunikan (Baryadi 2002:11). Contoh jenis wacana ini adalah surat, telegram, pengumuman tertulis, deskripsi, cerita pendek, novel, puisi, iklan tertulis, dsb). Wacana pada umumnya dipahami sebagai satu unit bahasa yang lebih besar dari pada kalimat, suatu wacana dapat berbentuk lisan atau tulis, serta wacana dapat direalisasikan dalam bentuk percakapan, paragraf, dan sebagainya. Selain itu, wacana tidak dapat terlepas dari konteks pemakai.
31
Alasan humor sebagai wacana, dapat dilihat batasan ciri-ciri hakiki humor, yaitu: 1) berbentuk lisan atau lisan yang sudah ditranskripkan dalam bentuk tulisan, 2) merupakan milik bersama, 3) bersifat anonim, 4) bersifat aktual dengan kejadian dalam masyarakatnya pada masa tertentu, 5) bersifat spontan dan polos serta, 6) mempunyai fungsi dalam kehidupan masyarakatnya. Berdasarkan hal tersebut diketahui bahwa humor berbentuk lisan (atau lisan yang sudah ditranskripsikan dalam bentuk tulisan) dapat dianggap wacana. Wacana humor Depot Seni Kirun merupakan salah satu bentuk wacana humor, karena di dalamnya terdapat tuturan-tuturan yang berkesinambungan yang ada dalam ragam bahasa humor. Istilah humor berasal dari istilah Inggris humour yang pada mulanya mempunyai beberapa arti. Namun semua berasal dari istilah yang berarti cairan. Arti ini berasal dari doktrin Ilmu Faal kuno mengenai empat macam cairan, seperti darah, lendir, cairan empedu kuning, dan cairan empedu hitam. Keempat cairan tersebut untuk beberapa abad dianggap menentukan temperamen seseorang (Flugel dalam Danandjaja 1997:14). Perimbangan jumlah cairan tersebut menentukan suasana hati. Kelebihan salah satu di antaranya membawa pada suasana tertentu. Darah menentukan suasana gembira, lendir menentukan suasana tenang atau dingin, empedu kuning menentukan suasana marah, dan empedu hitam untuk suasana sedih. Masing-masing cairan tersebut mempunyai karakteristik dalam mempengaruhi setiap orang. Kekurangan darah, misalnya menyebabkan orang tidak pemarah. Kelebihan empedu kuning menyebabkan orang jadi angkuh, ambisius, pendiam, dan licik.
32
Perkembangan selanjutnya, banyak pengertian humor yang telah disampaikan oleh para ahli bahasa. Yunus (1997:1) mengartikan bahwa humor sesuatu yang lucu, yang menggelikan hati atau yang dapat menimbulkan kejenakaan atau kelucuan. Orang yang memiliki rasa humor tinggi, yakni orang yang mudah tersenyum atau tertawa bila mendengar sesuatu yang humoris. Berkaitan dengan hal tersebut, tersenyum dan tertawa merupakan indikator yang paling jelas bagi terjadinya penikmat humor. Herawati (2007:7) mengatakan humor adalah suatu rangsangan yang dapat menyentuh perasa penikmat. Humor dapat digunakan sebagai alat untuk mengekspresian gagasan, pikiran, atau perasaan seseorang sehingga sasaran humor akan tersentuh perasaannya. Akibatnya, yang bersangkutan dapat tersenyum, tertawa atau geli. Humor tidaklah sekedar berupa penyebab munculnya reaksi tersenyum atau tertawa, tetapi dapat juga berupa kemampuan menghibur dan menggelikan melalui ujaran atau tulisan. Ujaran atau tulisan yang dapat berperan sebagai rangsangan munculnya tawa atau berfungsi sebagai humor, harus dikreasi dengan kriteria-kriteria tertentu. Lebih lanjut, Koestler dalam (Suhadi, 1989:29) membagi humor dalam dua hal. Salah satunya menurut penampilannya, yaitu humor lisan, humor tulisan, dan humor gerakan tubuh. Perbedaan bentuk ini didasarkan kepada jenis media yang dipergunakan untuk mengekspresikan humor itu sendiri. Humor tulisan, misalnya, mempergunakan tulisan sebagai medianya, demikian pula seterusnya untuk humor lisan mempergunakan lisan (ucapan verbal melalui kata-kata yang
33
“keluar” dari mulut), sedangkan humor gerakan tubuh memanfaatkan gerakan tubuh untuk menyimbolkan makna humor. Setiawan (dalam Suhadi, 1989:32) humor juga dibedakan menurut kriterium “bentuk ekspresi”nya. Bentuk ekspresi humor dapat dibagi menjadi tiga jenis: 1) humor personal, yaitu kecenderungan tertawa pada diri sendiri, misalnya, melihat sebatang pohon yang bentuknya mirip orang yang sedang buang air besar. 2) humor dalam pergaulan, misalnya senda gurau dengan teman, kelucuan yang diselipkan dalam pidato atau ceramah di muka umum. 3) humor dalam kesenian, atau seni humor. Humor dalam kesenian dibagi menjadi tiga, yaitu (a) humor lakuan (performing comedy), misalnya lawak, tari humor, pantomim lucu, dan lain-lain, (b) humor grafis seperti kartun, foto jenaka, patung lucu, dan sebagainya; (c) humor literer seperti cerpen lucu, esei satiris, sajak jenaka, atau limericks, dan semacamnya. Lebih lanjut, jika yang digunakan kriterium maksud (intention) dalam komunikasi, maka humor ada dalam tiga jenis komunikasi, yaitu 1) si penyampai berniat melucu dan si penerima pun menganggapnya lucu; 2) si penyampai tidak berniat melucu tapi si penerima menganggapnya lucu; dan 3) si penyampai bermaksud melucu tapi tidak demikian halnya bagi si penerima. Kemudian, Ia menambahkan bahwa dalam konteks komunikasi, keberhasilan seorang pelaku humor ditentukan manakala stimulus humornya diterima oleh penerima humor sebagaimana dimaksud oleh pelaku humor tersebut, yaitu kelucuan yang mengharapkan senyum atau tawa sebagai efek dari penerima humor.
34
Stimulus tersebut hendaknya mengandung satu atau lebih dari empat unsur, yaitu kejutan, yang mengakibatkan rasa malu, ketidakmasukakalan, dan yang membesar-besarkan masalah Claire (dalam Yuniawan, 2007:288). Keempat unsur tersebut dapat terlaksana melalui rangsangan verbal berupa kata-kata atau satuan-satuan bahasa yang sengaja dikreasikan sedemikan rupa oleh para pelakunya. Selain itu, humor dapat pula berupa kemampuan untuk merasakan, menilai, menyadari, mengerti, dan mengungkapkan sesuatu yang lucu, ganjil, jenaka, atau menggelikan. Dikaitan dengan teori yang ada, maka wacana humor Depot Seni Kirun ini termasuk wacana humor dalam kesenian yang media pengekspresiannya secara lisan berupa ungkapan verbal melalui kata-kata dan nonverbal melalui gerak gerik yang dikreasikan sedemikian rupa oleh pelaku ujaran. Bagian ujaran yang digunakan para tokoh komedian pada wacana humor Depot Seni Kirun ini tidak sedikit yang menyimpangkan prinsip kerja sama sehingga memunculkan tawa bagi pendengarnya.
5. Fungsi Humor Kehadiran humor di masyarakat memberikan fungsi dan manfaat bagi kelangsungan pembangunan bangsa. Humor yang hadir dalam siaran televisi, radio, majalah surat kabar turut mewarnai gerak laju pembangunan, dan bahkan sekarang sudah ada yang dikemas dalam bentuk VCD (Video Compact Disc). Grup-grup lawak menyajikan segala informasi, peristiwa-peristiwa penting serta kepincangan-kepincangan di masyarakat yang dikemas dalam bentuk humor
35
sehingga lebih leluasa menyajikannya. Cerita humor hadir di beberapa majalah dan surat kabar disamping artikel lain. Humor memberikan selingan dan hiburan agar para pembaca tidak berada dalam situasi ketegangan oleh beberapa berita. Wacana humor yang menjadi bahan kajian tulisan ini cenderung merupakan wacana hiburan karena penciptaannya ditujukan untuk rekreasi (hiburan) bagi penonton di samping sebagai wahana kritik sosial terhadap segala bentuk ketimpangan yang terjadi di tengah masyarakat sebab humor merupakan salah satu saranan yang efektif di saat saluran kritik lainnya tidak dapat menjalankan fungsinya. Danandjaja dalam Suhadi (1989:37) mengatakan bahwa fungsi humor yang paling menonjol adalah sebagai sarana penyalur perasaan yang menekan diri seseorang. Perasaan itu bisa disebabkan oleh macam-macam hal seperti ketidakadilan sosial, persaingan politik, ekonomi, suku bangsa, atau golongan, dan kekangan dalam kebebasan gerak, seks, atau kebebasan mengeluarkan pendapat. Melihat kenyataan di atas dapat dikatakan bahwa humor memiliki peranan yang sentral dalam kehidupan manusia, yakni sebagai hiburan dan dan kritik sosial terhadap ketimpangan sosial yang terjadi di masyarakat. Hal ini tidak jauh berbeda dengan pendapat Danandjaja (1997:29) mengatakan bahwa di dalam masyarakat, humor, baik yang bersifat erotis dan protes sosial, berfungsi sebagai penglipur lara. Hal ini disebabkan humor dapat menyalurkan ketegangan batin yang menyangkut ketimpangan norma masyarakat yang dapat dikendurkan melalui tawa. Lebih lanjut, dikemukakan bahwa tawa akibat mendengar humor
36
dapat memelihara keseimbangan jiwa dan kesatuan sosial dalam menghadapi keadaan yang tidak tersangka-sangka atau perpecahan masyarakat. Humor juga menampakan peranannya yang sangat besar di dalam situasi masyarakat yang telah memburuk. Wilson dalam Danandjaja (1989:29) menegaskan bahwa: Humor mempunyai kemampuan (potensi) besar untuk kebaikan, apabila ia dapat dibangkitkan dalam hubungannya dengan situasi-situasi masyarakat yang keburukannya timbul sebagai akibat kita terlalu memandang serius pada situasi-situasi masyarakat tersebut, seperti takhayul, tabu-tabu ketingggalan zaman, dan terlebih lagi kebencian dan kecurigaan yang telah terjadi di antara kelompok-kelompok, yang ada di dalamnya. Humor dapat membebaskan diri manusia dari beban kecemasan, kebingungan, kekejaman dan kesengsaraan. Sebagai contoh, di Jakarta ada suatu teka-teki lucu, apa kepanjangan dari akronim yang berbunyi demikian. “Kasnawi Karna Dipanegara”. Jawabnya adalah “Bekas Cina Betawi Tukar Nama, dipaksa Negara (Danandjaja 1989:30). Teka-teki yang menarik ini timbul pada enam puluhan pada waktu orang-orang Indonesia keturunan Cina dianjurkan oleh Pemerintah Orde Baru untuk bersama-sama tukar nama leluhurnya dengan nama berasal dari Indonesia. Sudah tentu anjuran ini dapat menimbulkan kerisauan, bukan saja dari pihak orang Indonesia yang menganggap dirinya “pribumi”. Akibatnya untuk menghilangkan tekanan batin tersebut terciptalah humor semacam itu, yang motifnya sudah tentu tidak sama, yakni bagi orang Indonesia keturunan Cina berfungsi sebagai netralisasi tekanan batin karena dapat menertawakan kekesalan dirinya; sedangkan bagi yang “pribumi” untuk memperolok-olok golongan yang dikhawatirkan dengan tukar nama dapat memperoleh fasilitas lebih banyak setelah memakai nama “pribumi”. Maka
37
dengan sikap menanggapi masalah serius ini dengan “ganda tawa”, ketegangan sosial dapat dihilangkan, dan kesejahterahaan masyarakat dapat dipelihara. Manusia dengan demikian dapat mengambil tindakan penting untuk memperoleh kejernihan pandangan sehingga dapat membedakan apa yang benar-benar baik dan benar-benar buruk. Humor untuk manusia dapat menghadapi ketimpangan masyarakat dengan canda dan tawa. Humor sebenarnya dapat dijadikan alat psikoterapi.
B. Penelitian Yang Relevan Penelitian yang berkaitan dengan bahasan humor telah dilakukan oleh beberapa orang antara lain, oleh Lusia Handayani dengan judul Penyimpangan Implikatur menganalisis
Percakapan
Humor
dalam
Majalah
Humor.
tentang
jenis-jenis
dan
faktor-faktor
yang
Penelitian
ini
mempengaruhi
penyimpangan implikatur percakapan. Hasil penelitian menunjukan bahwa jenisjenis penyimpangan prinsip kerja sama percakapan humor dalam majalah humor adalah (1) penyimpangan maksim kuantitas, (2) maksim kualitas, (3) maksim relevansi, dan (4) maksim pelaksanaan. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyimpangan implikatur percakapan yaitu (1) tujuan sekedar berhumor, (2) tujuan menghadirkan humor porno atau erotis, dan (3) tujuan protes dan kritik sosial. Persamaan penelitian Lusia Handayani dengan penelitian ini adalah samasama membahas tentang wacana humor yang dikaji dengan ilmu pragmatik dengan membahas tentang penyimpangan prinsip kerja sama. Prinsip kerja sama
38
yang dimaksud adalah (1) maksim kuantitas, (2) maksim kualitas, (3) maksim relevansi, dan (4) maksim pelaksanaan. Kajian ini juga mendasarkan diri pada persepsi peneliti. Perbedaan penelitian terletak pada subyek penelitian. Lusia Handayani mengambil subyek penelitian pada majalah humor, sedangkan subyek penelitian ini pada wacana humor Depot Seni Kirun. Hasil penelitian yang berupa jenis-jenis penyimpangan prinsip kerja sama dan faktor yang mempengaruhi terjadinya penyimpangan implikatur percakapan dalam majalah tersebut dapat digunakan untuk menambah pengetahuan tentang jenis penyimpangan prinsip kerja sama dan fungsi humor dalam penyimpangan prinsip kerja sama pada wacana humor Depot Seni Kirun. Kedua adalah oleh Siti Nurrohma dengan judul Penyimpangan Prinsip Kerja Sama dalam Wacana Humor Obrolan Angkring. Persamaan penelitian Siti Nurrohma dengan penelitian ini adalah sama-sama membahas tentang wacana humor yang dikaji dengan ilmu pragmatik dengan membahas tentang penyimpangan prinsip kerja sama. Prinsip kerja sama yang dimaksud adalah (1) maksim kuantitas, (2) maksim kualitas, (3) maksim relevansi, dan (4) maksim pelaksanaan. Kajian ini juga mendasarkan diri pada persepsi peneliti. Perbedaan penelitian terletak pada subyek penelitian yaitu Obralan Angkring oleh Siti Nurrohma dan Depot Seni Kirun oleh penelitian ini.
C. Kerangka Berpikir Merujuk dari kajian teori yang dipaparkan sebelumnya, maka dapat dibentuk kerangka pikir. Kerangka pikir dari penelitian ini adalah penyimpangan
39
maksim-maksim prinsip kerja sama yang dimanfaatkan untuk menghasilkan suatu banyolan atau gurauan yang sering dikenal dengan sebutan humor. Prinsip kerja sama itu meliputi empat maksim, yaitu (1) maksim kuantitas, (2) maksim kualitas, (3) maksim relevansi, dan (4) maksim pelaksanaan. Penyimpangan maksim kuantitas dalam wacana humor Depot Seni Kirun disimpangkan dengan cara memberikan informasi yang melebihi dari yang dibutuhkan oleh lawan tutur. Maksim kualitas disimpangkan dengan cara memberikan info yang tidak benar atau yang tidak dapat dipastikan kebenarannya. Maksim relevansi disimpangkan dengan cara mengganti topik pembicaraan secara mendadak karena penutur tibatiba membuat pernyataan yang tidak relevan dengan pernyataan sebelumnya. Penyimpangan terhadap maksim pelaksanaan dilakukan dengan cara membuat pernyataan yang sama, taksa (tidak jelas), dan tidak wajar untuk menciptakan humor. Fungsi-fungsi penyimpangan yang terkait adalah fungsi bahasa sebagai fungsi personal, fungsi fatik, fungsi direktif, fungsi referensial, fungsi metalinguistik dan fungsi imaginatif. Fungsi bahasa sebagai fungsi personal yaitu si penutur menyatakan sikap terhadap apa yang diutarakannya. Si penutur tidak hanya mengungkapkan emosi lewat bahasa, tetapi juga memperlihatkan emosi itu sewaktu menyampaikan tuturannya. Fungsi bahasa sebagai fungsi fatik yaitu fungsi menjalin hubungan, memelihara, mempertahankan perasaan bersahabat, atau solidaritas. Fungsi bahasa sebagai fungsi direktif yaitu
fungsi untuk
mengatur tingkah laku orang lain, seperti mengajukan permintaan, saran, membujuk, menyakinkan orang lain, memerintah, himbauan dan rayuan. Fungsi bahasa sebagai fungsi referesial yaitu fungsi untuk membicarakan obyek atau
40
peristiwa yang ada disekeliling penutur atau yang ada pada budaya pada umumnya. Fungsi bahasa sebagai fungsi metalinguistik yaitu fungsi untuk membicarakan atau menjelaskan bahasa. Fungsi bahasa sebagai fungsi imaginatif yaitu fungsi bahasa untuk menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan; baik yang sebenarnya, maupun yang cuma imaginasi (khayalan, rekaaan). Kerangka pikir ini disusun sebagai dasar dalam membuat instrumen penelitian atau alat pengumpul data yang berupa kartu data.