BAB II KAJIAN PUSTAKA
MODEL PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN Menurut Nelson dan Stolterman (2000) sebuah desain pembelajaran tidak hanya berupa ide abstrak tetapi harus diaktualisasikan ke dalam praktik pengajaran secara nyata yang termasuk di dalamnya melakukan aksi, menyusun, mengoleksi, inovasi sampai menghasilkan produk yang siap pakai. Oleh karena itu mendesain sebuah pengajaran hendaknya bersifat kontinyu dan selalu ditinjau kembali, karena satu desain pengajaran harus selalu disesuaikan dengan situasi dan kondisi serta perubahan-perubahan yang terjadi. Model atau desain pembelajaran menurut Gustafson (1996:27) merupakan proses yang lengkap mencakup (a) analisis tentang apa yang dipelajari, (b) menjelaskan bagaimana cara memepelajarinya, (c) melakukan ujicoba dan revisi, dan (d) melakukan penilaian kepada pebelajar tentang hal yang telah dipelajari. Kemp, Morrison, dan Ross (1998) mengusulkan dalam pengembangan model pembelajaran paling tidak harus berisi 9 elemen yakni: 1) identifikasi problemproblem instruksional termasuk mendesain tujuan pengajarannya; 2) mengecek karakteristik pembelajaran yang akan direncanakan; 3) mengidentifikasi isi materi dan analisis tugas yang berkaitan dengan tujuan yang diusulkan; 4) menyatakan tujuan pembelajaran untuk pebelajar; 5) mengurutkan isi materi pembelajaran setiap bagian dari pembelarajan secara logis; 6) mendesain
strategi pengajaran; 7)
13
merancang rencana pengajaran yang akan disampaikan; 8) mengembangkan alat evaluasi; 9) menyeleksi sumber bahan untuk menunjang aktivitas pembelajaran. Model pengembangan pembelajaran lain yang juga berkembang adalah model Dick and Carey (1990). Langkah-langkah dari model Dick and Carey adalah: (1) mengidentifikasi tujuan pembelajaran (2) melakukan analisis pembelajaran, (3) mengidentifikasi perilaku, (4) merumuskan tujuan khusus pembelajaran, (5) mengembangkan butir tes, (6) mengembangkan strategi pembelajaran, (7) mengembangkan isi program pembelajaran, (8) merancang dan melaksanakan evaluasi, dan (9) revisi paket pembelajaran. Secara ringkas model Dick and Carey ini seperti Gambar 2.1.
Revise Instructions Conduct Instructional Analysis
Identify Instructi. Goals
Write Performance Objectives
Develop Criterian Referenced Test Items
Develop Instructi. Strategy
Identify Entry Behaviors
Gambar 2.1. Model Pengembangan Pembelajaran Dick and Carey (1990)
Develop & Select Instruct . Materials
Develop & Conduct Formative Evaluation
Develop& Conduct Summative Evaluation
14
Model Dick dan Carey yang berpijak pada teori sistem dapat digunakan untuk mendesain bahan pembelajaran, baik untuk pembelajaran klasikal maupun pembelajaran individual (Gustafson, 1996:28-30). Oleh karena itu untuk selanjutnya model Dick dan Carey ini akan diadopsi untuk dijadikan pijakan dalam pengembangan modul PBM dalam kaitannya dengan penelitian ini.
TEORI-TEORI PEMBELAJARAN YANG MENDUKUNG PENDEKATAN PEMBELAJARAN BERDASARKAN MASALAH DAN PENDEKATAN LINGKUNGAN Teori Konstruktivis Thorpe dalam Luzt (1996) mendefinisikan pembelajaran sebagai "proses yang muncul dengan sendirinya melalui adanya perubahan-perubahan adaptif pada perilaku individu sebagai akibat pengalaman". Ada 2 hal berkaitan definisi di atas, 1) pembelajaran sebagai suatu proses yang menyiratkan bahwa pembelajaran itu aktif, sehingga pebelajar harus aktif secara mental. 2) pembelajaran itu akibat dari pengalaman. Hal ini menyiratkan bahwa pebelajar harus memiliki pengalaman agar bisa belajar. Jadi peristiwa pembelajaran apapun harus memberikan peluang kepada pebelajar untuk aktif secara mental dan memiliki pengalaman-pengalaman kongkrit. Essensi dari teori konstruktivis adalah suatu ide bahwa setiap siswa harus secara individu dapat menemukan dan mentransfer informasi-informasi kompleks apabila mereka harus menjadikan informasi tersebut untuk dimilikinya (Leinhart, 1992). Oleh karena dalam pengajaran konstruktivis penekanan diarahkan pada siswa sebagai siswa yang aktif, sehingga dinamakan pembelajaran yang terpusat pada siswa atau student-centered instruction (Nur, 1998). Selanjutnya ditekankan pula bahwa dalam pembelajaran yang berpusat pada siswa, peran guru adalah membantu siswa menemukan fakta, konsep, atau prinsip bagi diri mereka sendiri.
15
Teori Piaget dan Vygotsky berkaitan dengan kognitif, menekankan bahwa: 1) agar siswa benar-benar memahami dan dapat menerapkan pengetahuan yang diperolehnya maka siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya dan bergelut dengan ide-ide; 2) guru tidak mampu memberikan pengetahuan pada siswa, maka siswa harus mengkonstruksikan pengetahuan dalam benak mereka sendiri; 3) siswa perlu terus menerus mengecek kesesuaian informasi baru terhadap informasi lama dan merevisinya jika tidak sesuai lagi (Wasito, 2001). Pembelajaran konstruktivis mempunyai ciri-ciri diantaranya: 1) menetapkan dan menyusun pembelajaran atas dasar pengetahuan awal siswa; 2) siswa lebih aktif dalam proses belajar, karena fokus pembelajaran ada pada siswa; 3) memberikan pengalaman belajar yang tidak terlepas dengan apa yang dialami langsung oleh siswa; 4) siswa didorong untuk menemukan berbagai kemungkinan dan mensintesiskan secara terintegrasi; (mencari tahu dan menghargai pendapat siswa yang beragam; 5) harus mendorong adanya kerjasama dan bukan untuk bersaing; memunculkan masalah dan memabangkitkan hubungan dengan siswa serta memperoleh relevansi (Sutiyono, 2001).
Teori Jean Piaget Piaget dalam Ryder (2001) membagi tahap perkembangan anak menjadi 4 tahapan, yaitu: 1) tahap sensori motoris (0-2 tahun); 2) tahap preoperasional (2-6 tahun); 3) tahap operasional kongkrit (6-11 tahun); dan berpikir formal (11 tahun ke atas). Setiap tahap perkembangan selalu ditandai dengan munculnya pula kemampuan-kemampuan intelektual baru yang memungkinkan orang memahami dunia dengan cara yang kompleks. Pandangan teorinya hanya memusatkan pada
16
tahap-tahap perkembangan intelektual yang dilalui oleh semua individu tanpa memandang latar belakang sosial dan budaya. Berdasarkan teori tersebut, maka siswa SD dapat dikelompokkan pada taraf perkembangan operasional kongkrit, artinya mencerminkan pendekatan pada dunia nyata. Implikasi dari teori ini di dalam kelas adalah bahwa anak dapat membentuk konsep, melihat hubungan, dan dapat memecahkan masalah, akan tetapi hanya sebatas mereka melibatkan obyek-obyek dan situasi yang dikenalnya. Jadi pada tahapan ini anak hanya akan mampu merespon terhadap benda-benda nyata (realitas) yang kemudian menyimpulkannya. Menurut Arends (1997: 163), pedagogi yang baik harus melibatkan pemberian anak pada situasi-situasi di mana anak dapat mandiri melakukan eksperimen, dalam artian mampu mencoba sesuatu untuk mengamati apa yang terjadi, memanipulasi simbul-simbul, mengajukan pertanyaan serta menemukan sendiri jawabannya, dan membandingkan temuannya dengan temuan orang lain. Berdasarkan pandangan konstruktivis-kognitif (Arends, 1997: 163) bahwa siswa dalam segala usia secara aktif dapat terlibat dalam proses perolehan informasi serta membangun pengetahuan mereka sendiri. Berdasarkan pandangan tersebut, implikasinya dalam kegiatan pembelajaran menggunakan pembelajaran berdasarkan masalah tercermin pada tahap pengajaran ke-3, yaitu membimbing penyelidikan individual maupun kelompok. Berkaitan hal tersebut guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi sesuai yang diperlukan, melaksanakan eksperimen dan penyelidikan untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah.
Teori Jerome Bruner Bruner dalam Ryder (2001) menyebutkan bahwa belajar adalah beraktivitas, proses sosial di mana siswa konstruktivis menyusun ide-ide atau konsep baru
17
berdasarkan pada pengetahuan sebelumnya. Para siswa menseleksi informasi, melakukan
hipotesis
awal,
dan
merumuskannya
melalui
proses
integrasi
pengalamannya ke dalam konstruksi mentalnya. Oleh karena itu diperlukan adanya keterlibatan secara aktif dalam proses pembelajaran melalui penemuan sendiri oleh siswa. Dalam hal ini siswa perlu diberikan dorongan untuk belajar secara mandiri dan terlibat langsung secara aktif menemukan konsep-konsep dan prinsip-prinsip. Menurut Dahar (1989: 126) belajar melalui penemuan memiliki beberapa keuntungan, diantaranya: (1) pengetahuan tersebut akan bertahan lama atau lama dapat diingat, lebih mudah diingat, jika dibandingkan dengan pengetahuan yang dipelajari dengan metode lainnya, (2) hasil belajar penemuan memiliki efek transfer yang lebih baik dari pada hasil belajar lainnya, (3) secara menyeluruh belajar penemuan meningkatkan penalaran siswa dan kemampuan untuk berpikir secara bebas. Jadi belajar melalui penemuan dapat melatih siswa menjadi lebih mandiri dan mampu memecahkan permasalahan tanpa bantuan orang lain. Melalui penemuan dapat membangkitkan siswa untuk ingin tahu, memberi motivasi untuk selalu berusaha secara terus menerus sampai menemukan jawabanjawaban yang diinginkan. Melalui penemuan siswa juga dapat belajar memecahkan masalah secara mandiri dan memupuk keterampilan-keterampilan berpikirnya, karena mereka harus menganalisis dan memanipulasi informasi (Slavin, 1994). Belajar melalui penemuan menekankan pada pentingnya membantu siswa memahami struktur suatu disiplin ilmu, pentingnya siswa terlibat aktif dalam proses pembelajaran, dan adanya keyakinan bahwa pembelajaran yang sebenarnya baru terjadi melalui penemuan sendiri. Bruner dalam Ryder (2001) juga mengemukakan pentingnya scaffolding sebagai suatu proses di mana seseorang yang lebih banyak
18
pengetahuannya (guru, teman sejawat) membantu seseorang yang lebih sedikit pengetahuannya untuk menuntaskan suatu masalah melebihi tingkat pengetahuannya yang telah dimiliki. Implikasi dari teori Bruner dalam kegiatan pembelajaran dalam pembelajaran berdasarkan masalah tercermin pada tahap-4, yaitu mengembangkan dan menyajikan hasil karya dan pameran. Berkaitan dengan hal ini guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, menyajikan pada transparan, membacakan hasil dan membantu mereka untuk berbagi tugas dengan temannya.
Teori Lev Vygotsky Vygotsky dalam Ryder (2001) menyatakan bahwa peranan interaksi sosial merupakan dasar dalam pengembangan pengetahuan anak. Ia percaya bahwa setiap pembelajaran diperoleh melalui dua tahapan, yaitu mula-mula melalui interaksi dengan orang lain dan kemudian mengintegrasikannya ke dalam struktur mental setiap individu. Jadi dalam pandangan ini penekanan pada pentingnya interaksi sosial dalam pembelajaran. Ia percaya bahwa melalui interaksi sosial dengan orang lain akan
dapat
memacu
penyusunan
ide-ide
baru
serta
meningkatkan
dan
mengembangkan intelektual siswa. Vygotsky dalam Ryder (2001) menyatakan bahwa siswa memiliki dua tahap tingkat perkembangan, yaitu aktual dan potensial. Tingkat perkembangan aktual, yaitu tingkat fungsi dan kemampuan intelektual individu untuk mempelajari hal tertentu. Sedangkan tingkat perkembngan potensial, yaitu tingkat yang dimiliki oleh seseorang yang dapat berfungsi melalui bantuan orang lain, misalnya bantuan orang tua, teman sejawat, guru. Sementara menurut Arends (1997:165) menyebutkan antara
19
tingkat perkembangan aktual dan tingkat perkembangan potensial disebut sebagai zona perkemngan terdekat. Implikasi dari teori Vygotsky dalam pelaksanaan pendidikan adalah terjadinya pembelajaran melalui interaksi sosial, misalnya bantuan guru atau teman sejawat lainnya yang lebih mampu serta dapat memberikan scaffolding, dorongan, dukungan untuk belajar dan memecahkan masalah. Bentuk dukungan ini dapat berupa petunjuk, peringatan, perincian masalah ke dalam langkah-langkah pemberian contoh atau tindakan lainnya, sehingga memungkinkan mereka mampu tumbuh mandiri sebagai pebelajar (Slavin, 1997:48). Teori Vygotsky dalam kegiatan pembelajaran menggunakan pembelajaran berdasarkan masalah dapat tercermin pada tahap ke3, 4, dan 5. Pada tahap ke3 (membimbing penyelidikan maupun kelompok), di mana guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi sesuai yang diperlukan, melaksanakan eksperimen dan penyelidikan untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah. Pada tahap ke4 (mengembangkan dan menjikan hasil karya dan pameran), di mana guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, menyajikan pada transparan, membacakan hasil dan membantu mereka untuk berbagi tugas dengan temannya. Pada tahap ke5 (menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah), di mana guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelesaian mereka dan proses-proses yang mereka gunakan.
Teori John Dewey Dewey dalam Ryder (2001) menyatakan siswa belajar melalui “directed living” dan belajar itu sendiri adalah merupakan kombinasi aktivitas kongkrit dengan relevansi praktis. Selain itu juga bahwa sekolah seharusnya menggambarkan sebuah
20
tempat untuk memecahkan masalah dalam kehidupan nyata serta manfaat yang dapat diterapkan langsung dalam kehidupan sehari-hari. Jadi siswa harus merasa mendapat tantangan untuk memecahkan permasalahan yang ditemukan. Dengan demikian siswa akan terangsang untuk berpikir guna mengatasi permasalahan tersebut. Menurut Dewey dalam Arends (1997:162), pentingnya menekankan berpikir reflektif, yaitu siswa harus selalu memikirkan mengenai apa dan mengapa dampak pengajaran terjadi di kelas, sehingga melalui pemikiran demikian mereka akan lebih tertantang untuk memecahkan masalah yang ditemukannya serta proses yang semestinya digunakan guru untuk membantu siswa menerapkan keterampilan berpikir produktif dan keterampilan proses. Berdasarkan konsep Dewey bahwa sekolah sudah seharusnya merupakan cerminan masyarakat luas, sementara kelas adalah merupakan laboratorium untuk pemecahan masalah dalam kehidupan nyata. Selain itu dalam pemecahan masalah di sekolah
dapat
dilakukan
dengan
melalui
kelompok-kelompok
kecil
guna
menuntaskan sebuah proyek/masalah menarik, di mana masalah tersebut telah ditentukan sendiri oleh siswa. Implikasi dari teori Dewey dalam kegiatan pembelajaran yang menggunakan pembelajaran berdsarkan masalah tercermin pada tahap ke 2 dan tahap ke 3. Pada tahap ke 2 (mengorganisai siswa dalam belajar), di mana guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas-tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut. Pada tahap ke 3 (membimbing penyelidikan individual maupun kelompok), di mana guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi sesuai yang diperlukan, melaksanakan eksperimen dan penyelidikan untukmendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah.
21
PENDEKATAN PEMBELAJARAN BERDASARKAN MASALAH Pendekatan PBM dikembangkan dari model pembelajaran berdasarkan masalah yang merupakan salah satu bentuk pengajaran yang memberikan penekanan untuk membantu siswa menjadi pebelajar yang mandiri dan otonom. Melalui pembelajaran ini peran guru adalah menyajikan masalah, mengajukan pertanyaan, dan memfasilitasi penyelidikan dan dialog, selain itu guru melakukan scaffolding, yaitu suatu kerangka dukungan yang memperkaya inkuiri dan pertumbuhan intelektual (Ibrahim dan Nur, 2000). Menurut Lawson (2000) dalam menata kelas inkuiri untuk penyelesaian sebuah masalah yang harus dilakukan oleh guru adalah mengidentifikasi permasalahan, dan mencari jalan pemecahan-masalah tersebut. Oleh karena itu banyak hal yang harus diperhatikan oleh guru misalnya memotivasi agar semua siswa dapat berpartisipasi secara aktif, mencarikan solusi bila siswa mengalami kebuntuan, mengupayakan agar siswa tertarik terhadap permasalahan yang dibahas, membuat suasana kelas lebih demokratis, dan mengaplikasikan konsep-konsep yang lebih. Menurut
Arends
(1997:156)
model
PBM
sangat
berguna
untuk
mengembangkan berpikir ke tingkat berpikir yang lebih tinggi dalam situasi yang berorientasi pada masalah, termasuk belajar bagaimana belajar. Istilah lain yang digunakan sebagai pengganti pengajaran berdasarkan masalah adalah pengajaran autentik, pengajaran berdasarkan proyek, berdasarkan pengalaman, bermakna. Agar supaya sebuah pengajaran dapat bermakna, guru dapat membantu siswa untuk belajar memecahkan masalah dengan memberi tugas-tugas yang berkaitan dengan kehidupan nyata. Model pengajaran ini cocok untuk materi pelajaran yang terkait erat dengan masalah nyata, meningkatkan keterampilan proses untuk memecahkan masalah,
22
mempelajarai peran orang dewasa melalui pengalamannya dalam situasi yang nyata, serta melatih siswa untuk berdiri sendiri sebagai pebelajar yang otonom. Peranan guru dalam pengajaran berdasarkan masalah adalah untuk mengajukan permasalahan, pertanyaan, dan menyediakan fasilitas yang diperlukan siswa. Arends (1997: 156) menekankan pentingnya guru memberi scaffolding berupa dukungan dalam upaya meningkatkan inkuiri dan perkembangan intelektual siswa. Oleh karena itu dalam pengajaran berdasarkan masalah diperlukan untuk menyajikan kepada siswa pada situasi masalah yang autentik dan bermakna yang dapat memberikan bantuan kepada mereka untuk melakukan penyelidikan dan inkuiri. Barrow dalam Greenwald (2000) menyebutkan terdapat 10 tahapan dalam PBM. Kesepuluh tahapan tersebut adalah: 1) encounter an ill-defined problem (hadapkan pada permasalahan yang belum jelas); 2) have students ask questions about what is interesting, or important to find out (berikan dorongan agar siswa bertanya tentang apa yang menarik atau penting untuk dipecahkan) ; 3) pursue problem finding (penetapan masalah); 4) map problem finding and prioritize a problem (pemetaan masalah dan utamakan pada satu permasalahan); 5) investigate the problem (lakukan penyelidikan terhadap masalah tersebut); 6) analysis results (analisalah hasil-hasilnya); 7) reiterate learning (ulangi lagi pembelajaran); 8) generate solution and recommendation (hasilkan penyelesaian dan rekomendasikan); 9) communicate the results (menkomunikasikan hasil); 10) conduct self assessment (lakukan asesmen diri). Pendekatan PBM menurut Arends (1997:161) terdiri dari 5 tahapan yang dimulai oleh guru dengan orientasi dengan masalah pada siswa dan diakhiri dengan suatu penyajian dan analisis hasil dari kerja siswa, seperti Tabel 2 1.
23
Tabel 2.1. Sintaks Pembelajaran Berdasarkan Masalah Tahap Tahap- 1 Orientasi siswa kepada masalah
Tingkah laku Guru Menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik yang dibutuhkan, memotivasi siswa terlibat dalam aktivitas pemecahan masalah yang dipilihnya.
Tahap-2 Mengorganisasi siswa dalam belajar Tahap-3 Membimbing penyelidikan individual maupun kelompok
Membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugastugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut.
Tahap-4 Mengembangkan dan menyajikan hasil karya dan pameran
Membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, menyajikan pada transparan, membacakan hasil dan membantu mereka untuk berbagi tugas dengan temannya Membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evalusi terhadap penyelesaian mereka dan proses-proses yang mereka gunakan.
Tahap-5 Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah
Mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi sesuai yang diperlukan, melaksanakan eksperimen dan penyelidikan untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah.
(Sumber: Arends, 1997)
Pendekatan PBM menurut Arends (1997:157) memiliki ciri-ciri khusus sebagai berikut. 1. Mengajukan pertanyaan atau masalah Pengajaran berdasarkan masalah mengorganisasikan pengajaran di sekitar pertanyaan dan masalah yang keduanya secara sosial penting dan bermakna untuk siswa. Mengajukan situasi kehidupan nyata autentik, menghindari jawaban sederhana, dan memungkinkan adanya berbagai macam solusi untuk situasi itu. 2. Keterkaitan antar disiplin Walaupun pengajaran berdasarkan masalah mungkin hanya terpusat pada satu mata pelajaran tertentu misalnya matematika, IPA, atau ilmu-ilmu sosial, namun masalah yang diselidiki benar-benar nyata agar dalam pemecahannya siswa meninjau masalah tersebut dari banyak mata pelajaran lainnya. Dengan demikian siswa akan lebih terbuka dan tertantang pikirannya untuk mencari jawaban atau solusi terhadap masalah yang yang ada.
24
3. Penyelidikan autentik Pengajaran berdasarkan masalah mengharuskan siswa untuk menyelidiki masalah autentik, untuk mencari solusi nyata dari suatu masalah nyata. Peserta didik harus menganalisis dan merumuskan masalah , mengembangkan hipotesis, menganalisis dan mengumpulkan informasi, melakukan eksperimen (jika diperlukan), membuat inferensi, dan membuat kesimpulan.
Pelaksanaan Pembelajaran Berdasarkan Masalah Pelaksanaan pendekatan PBM yang efektif memerlukan banyak latihan dan membuat keputusan-keputusan tertentu dalam tugas-tugas perencanaan, interaksi, maupun tahap-tahap setelah dilakukan pembelajaran. Beberapa prinsip unik pada pada pendekatan PBM menurut Arends (1997:169-177) sebagai berikut.
1. Tugas Perencanaan Perencanaan yang lebih rinci dari guru melalui pendekatan terpusat pada siswa akan memudahkan dalam pelaksanaan berbagai tahapan dalam pendekatan PBM serta pencapaian tujuan pembelajaran yang diinginkan. Bagaimana membuat perencanaan dalam pendekatan PBM, dan apa saja langkah-langkah perencanaannya?
a. Menetapkan tujuan pembelajaran Penetapan sebuah tujuan pembelajaran dalam pendekatan PBM adalah merupakan hal yang pokok. Pada awalnya kita berikan bagaimana pendekatan PBM direncanakan untuk membantu mencapai tujuan-tujuan seperti keterampilan intelektual dan keterampilan menyelidiki, memahami peran orang dewasa, dan membantu siswa menjadi pebelajar yang otonom. Walaupun tujuan pelajaran akan diarahkan pada satu tujuan atau memiliki banyak tujuan, namun dalam sebuah
25
pembelajaran perlu mengarahkan pada satu tujuan utama yang ingin dicapai, sehingga tujuan tersebut dapat dikomunikasikan dengan jelas pada siswa.
b. Merancang situasi permasalahan yang tepat Pendekatan PBM berpedoman pada anggapan bahwa teka-teki dan masalah yang tidak terdefinisi akan dapat merangsang rasa ingin tahu siswa, sehingga muncul inkuiri. Salah satu tugas penting bagi guru adalah merancang situasi masalah yang sesuai atau merencanakan cara-cara untuk memberi kemudahan proses perencanaan. Situasi permasalahan yang baik paling tidak memenuhi 5 kriteria yakni 1) Masalah harus otentik, artinya bahwa masalah tersebut harus berakar pada pengalaman nyata siswa di masyarakat, bukan berasal dari prinsip-prinsip disiplin ilmu tertentu. 2) Permasalahan tak terdefinisi dengan jelas, mengandung misteri/tekateki. Masalah yang tak terdefinisi dengan jelas akan menghindari jawaban yang sederhana dan menghendaki alternatif pemecahan lain, sehingga untuk memberi jawaban yang tepat siswa perlu untuk debat dan dialog.3) Masalah bermakna bagi siswa serta sesuai dengan perkembangan intelektual mereka. 4) Masalah seharusnya cukup luas untuk memungkinkan guru menggarap tujuan instruksional mereka dan masih cukup terbatas untuk membuat suatu pembelajaran layak dalam waktu, tempat, dan sumber daya yang terbatas. 5) Masalah yang baik harus memperoleh keuntungan dari usaha kelompok dan tidak dihambat oleh masalah tersebut.
2. Tugas Interaktif Pendekatan PBM memiliki
5 tahap, berkaitan dengan tahapan tersebut,
tingkah laku guru dan siswa setiap tahap yang diinginkan dapat dijelaskan di bawah ini.
26
a. Orientasi siswa pada masalah Dalam pendekatan PBM guru harus mengkomunikasikan tujuan pembelajaran secara jelas, menumbuhkan sikap-sikap positif terhadap pelajaran, dan menjelaskan apa yang diharapkan untuk dilakukan oleh siswa. Kepada siswa yang belum pernah terlibat dalam pendekatan PBM, guru perlu memberikan penjelasan tentang prosesproses dan prosedur-prosedur model tersebut secara rinci. Selain itu perlu ditegaskan bahwa yang membutuhkan elaborasi meliputi hal-hal sebagai berikut. 1) Tujuan utama dari pelajaran adalah tidak untuk mempelajari sejumlah besar informasi baru, tetapi lebih pada belajar bagaimana menyelidiki masalah-masalah penting dan bagaimana menjadi pebelajar yang mandiri. 2) Pertanyaan atau masalah yang diselidiki tidak memiliki satu jawaban mutlak “benar,”sebuah masalah yang kompleks memiliki banyak penyelesaian dan seringkali saling bertentangan. 3) Selama tahap penyelidikan dari pelajaran ini, siswa akan didorong untuk mengajukan pertanyaan dan mencari informasi. Peran guru bertindak sebagai pembimbing yang menyediakan bantuan, namun demikian siswa harus berusaha untuk bekerja sendiri atau bersama temannya. 4) Selama tahap analisis dan penjelasan dari pelajaran ini, siswa harus didorong untuk menyatakan ide-idenya secara terbuka dan bebas. Tidak ada satu ide yang ditertawakan oleh guru atau oleh teman sekelas. Semua siswa akan diberi kesempatan untuk melaksanakan penyelidikan serta mengemukakan ide mereka. Dalam menyajikan masalah guru harus berhati-hati atau menggunakan prosedur yang jelas untuk melibatkan siswa dalam identifikasi masalah. Situasi masalah harus disampaikan kepada siswa semenarik dan setepat mungkin. Hal yang
27
terpenting adalah orientasi kepada situasi masalah menentukan tahap untuk penyelidikan selanjutnya, oleh karenanya presentasinya harus manarik minat siswa serta menghasilkan rasa ingin tahu.
b. Mengorganisasikan siswa untuk studi PBM memerlukan pengembangan keterampilan kolaborasi sesama siswa dan membantu mereka untuk menyelidiki masalah secara bersama. Untuk keperluan ini mereka memerlukan bantuan guru untuk merencanakan penyelidikan mereka dan tugas-tugas pelaporan. Untuk keperluan pengorganisasian siswa dapat dilakukan dengan membentuk kelompok studi. Pembentukan kelompok studi ini biasanya bergantung pada tujuan yang ditetapkan guru untuk proyek tetentu. Selain itu pembentukan kelompok studi ini penting memperhatikan berbagai hal yang dapat mewakili berbagai perbedaan seperti tingkat kemampuan, keragaman ras, etnis, dan jenis kelamin sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Pada kesempatan lainnya guru dapat mengorganisasikan siswa berdasarkan kesesuaian dengan minat dan persahabatan yang telah terjalin.
c. Membantu penyelidikan mandiri dan kelompok Penyelidikan, baik dilakukan secara mandiri, berpasangan, atau dalam tim studi kecil adalah merupakan inti dari pendekatan PBM. Meskipun setiap situasi masalah diperlukan sedikit perbedaan teknik penyelidikan, kebanyakan melibatkan proses pengumpulan data dan eksperimentasi, berhipotesis dan menjelaskan, dan memberikan pemecahan. Langkah yang ditempuh ada 2 tahap yakni: 1) Tahap Proses pengumpulan data dan eksperimentasi. Pada tahapan ini guru mendorong siswa mengumpulkan data dan melakukan eksperimen yang aktual
28
sampai mereka benar-benar memahami dimensi, arah dari permasalahan. Tujuannya adalah agar supaya siswa mengumpulkan cukup informasi
guna
menciptakan dan membangun ide mereka sendiri. guru seharusnya membantu siswa dalam mengumpulkan informasi dari berbagai sumber, dan mereka seharusnya mengajukan pertanyaan untuk membuat mereka memikirkan tentang masalah dan tentang jenis-jenis informasi yang diperlukan sampai pada pemecahan yang dapat dipertahankan. Siswa akan membutuhkan untuk diajarkan bagaimana menjadi penyelidik yang aktif dan bagaimana menggunakan metode yang sesuai untuk masalah yang mereka pelajari seperti: mewawancara, mengamati, mengukur, mengikuti aturan, atau membuat catatan. Oleh karena itu mereka perlu diajarkan etika untuk penyelidikan yang benar. 2) Tahap Berhipotesis, menjelaskan, dan memberikan pemecahan. Langkah selanjutnya setelah siswa mengumpulkan cukup data dan melaksanakan eksperimen tentang fenomena yang mereka selidiki adalah mereka harus merumuskan hipotesis, penjelasan, dan pemecahan. Selama tahap pembelajaran ini, guru mendoromg dan menerima semua ide sepenuhnya. Selanjutnya guru mengajukan pertanyaan yang berkaitan dengan hipotesis dan kualitas informasi yang mereka kumpulkan tentang kelayakannya. Guru secara terus menerus mendorong menggali lebih dalam masalah tersebut jika dibutuhkan.
d. Mengembangkan dan menyajikan artifak dan pameran Setelah tahap penyelidikan diikuti oleh penciptaan artifak dan pameran. Artifak lebih dari sekedar laporan tertulis. Artifak dapat meliputi berbagai karya seperti videotape yang menunjukkan situasi masalah dan pemecahan yang diusulkan, model yang terdiri dari suatu perwujudan secara fisik dari situasi masalah atau
29
pemecahannya, dan program komputer dan sajian multimedia. Hal ini dengan sendirinya, kecanggihan suatu artifak tergantung pada umur dan kemampuan siswa.misalnya peragaan poster anak usia 10 tahun tentang hujan asam akan jauh berbeda dengan rancangan siswa sekolah menengah umum tentang suatu intrumen untuk mengukur hujan asam. Diorama siswa kelas dua tentang pembentukan awan akan berbeda dengan program komputer cuaca yang dibuat siswa sekolah menengah. Setelah artifak dikembangkan, biasanya guru mengorganisasikan pameran untuk memamerkan dan mempublikasikan hasil karya siswa tersebut. Dalam pameran seharusnya melibatkan siswa, guru, orang tua, dan lain-lain. Pameran ini dimaksudkan agar siswa mendapatkan umpan balik terhadap hasil karya yang dihasilkannya. Pameran juga memiliki arti lain selain untuk memamerkan hasil-hasil karya siswa, yaitu merupakan penutup dari proyek kegiatan berdasarkan masalah.
e. Analisis dan evaluasi proses pemecahan masalah Tahap akhir dari pendekatan PBM meliputi aktivitas yang dimaksudkan untuk membantu siswa menganalisis dan mengevaluasi proses berpikir mereka sendiri di samping keterampilan penyelidikan dan keterampilan intelektual yang mereka gunakan. Pada tahapan ini, guru meminta siswa untuk melakukan rekonstruksi pemikiran dan aktivitas selama tahap-tahap pembelajaran yang telah dilaluinya. Kapan mereka pertama kali memperoleh pemahaman tentang situasi masalah? Kapan mereka yakin dalam pemecahannya? Apa alasan menerima penjelasan terdahulu dari pada yang lainnya? Apa alasan menolak beberapa penjelasan? Mengapa mereka mengadopsi pemecahan final mereka? Apakah pemikiran mereka berubah terhadap situasi masalah ketika penyelidikan berlangsung? Apa yang menyebabkan perubahan tersebut? Apakah mereka akan melakukan dengan cara berbeda di masa depan?
30
Kelebihan dan Kekurangan Pendekatan Pembelajaran Berdasarkan Masalah Kelebihan pendekatan PBM menurut Sudjana (1989:93-94) sebagai berikut: 1) Para siswa memperoleh pengalaman praktis, terutama kegiatan laboratorium. 2) Pembelajaran lebih menarik, sebab dapat dilakukan di dalam maupun di luar ruangan, sehingga tidak membosankan. 3) Bahan pembelajaran lebih dapat dipahami oleh para siswa, sebab selain mendapatkan teori, juga praktikum. 4) Dapat belajar dari berbagai sumber, baik tertulis maupun tidak tertulis, sehingga memperoleh pengalaman luas. 5) Interaksi sosial antar siswa lebih banyak dikembangkan, sebab hampir setiap langkah dalam pembelajaran selalu dalam situasi kelompok. 6) Siswa belajar melakukan analisis dan sintesis secara simultan. 7) Membiasakan siswa berpikir logis dan sistematik dalam memecahkan masalah. Setiap pendekatan tentu ada kekurangannya, begitu juga dengan pendekatan PBM, pendekatan ini memiliki kelemahan sebagai berikut: 1) Menuntut sumber, sarana, dan waktu yang cukup untuk kegiatan belajar siswa. 2) Bila kurang kontrol dapat berisiko merugikan, misalnya: keselamatan di laboratorium, keselamatan waktu di lapangan. 3) Jika masalah tidak berbobot, usaha siswa akan asal-asalan saja.
PENDEKATAN LINGKUNGAN Kerusakan lingkungan pada dasarnya disebabkan oleh adanya ulah manusia yang kurang bijaksana di dalam memanfaatkan sumberdaya alam dan/atau diakibatkan oleh bencana alam yang sering kali sulit diduga. Ulah manusia yang kurang bijaksana ini disebabkan oleh 1) rasa tidak tahu (unawareness) akan akibat
31
dari tindakan-tindakan yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari, 2) tidak memahami fungsi dari komponen-komponen ekosistem di alam, 3) tingkat pendapatan yang rendah sehingga cenderung mendorong masyarakat untuk memanfaatkan sumberdaya alam tanpa terkendali dan 4) rasa tidak peduli terhadap kerusakan lingkungan karena akibatnya tidak langsung dapat dilihat dan dirasakan oleh si pelaku pencemar (Suryadiputra 1997). Dengan kata lain manusia memiliki peran yang sangat besar dalam menimbulkan kerusakan lingkungan dan oleh karena itu adalah sangat tepat dijadikan sasaran pendidikan agar mereka memiliki tingkat pemahaman yang luas akan arti dan fungsi lingkungan. Pada saat ini, para pakar pendidikan memperlihatkan kurang perhatian terhadap pendidikan lingkungan, seperti tercermin dalam kurikulum yang berlaku hingga saat ini. Sebaliknya perhatian yang besar justru diperlihatkan oleh pemerhati lingkungan dan perlindungan alam. Karena kualitas lingkungan mendapat prioritas utama, maka jalur pendidikan dipandang sebagai mekanisme yang tepat untuk mempromosikan kualitas lingkungan (Disinger dan Roth, 1992). Pendidikan lingkungan merupakan bidang kajian yang bersifat multidisiplin dan interdisiplin, jadi sulit untuk didefinisikan. Pendidikan lingkungan dapat bermakna konsep dalam ekologi, pendidikan di luar rumah, ilmu pengetahuan lingkungan, atau pengajaran tentang isu-isu (Volk, 1992) dalam (Trisler, 1993). Unit Komunikasi/Pendidikan Lingkungan WWF Indonesia Programme (1997) mengemukakan bahwa pendidikan lingkungan adalah proses yang berlangsung sepanjang hayat yang mendorong masyarakat untuk mencari, mengajukan pertanyaan, meneliti masalah, dan mencari cara-cara pemecahan masalah-masalah lingkungan serta masalah-masalah sosial yang saling berkaitan.
32
Tujuan utama pendidikan lingkungan adalah pengembangan tingkah laku lingkungan yang bertanggung jawab bagi setiap warga negara, baik secara individu maupun sebagai kelompok masyarakat (Ramsey, Hungerford, 1989) dalam (Trisler, 1993). Untuk mencapai tujuan ini, setiap warga negara hendaknya dibekali dengan pengetahuan, sikap, nilai, keterampilan, yang akan memungkinkan mereka hidup dalam interaksi yang harmonis dengan lingkungan, baik lingkungan alam, maupun buatan manusia (Kastama, 1988:16). Untuk mencapai tujuan ini merupakan tugas berat yang harus dipikul oleh para pendidik formal sehingga mereka perlu dicarikan strategi yang tepat. Perubahan mental ini akan membutuhkan waktu yang lama untuk mengubah dan membentuk nilai masyarakat yang berwawasan lingkungan. Pendidikan lingkungan akan mampu memberikan informasi yang akurat sehingga program kepedulian lingkungan akan lebih efektif. Dengan pendidikan lingkungan juga diharapkan agar manusia atau masyarakat dapat mengembangkan pengetahuan, pemahaman, keterampilan dan motivasi yang mengarah kepada pemerolehan sikap, nilai-nilai, dan mentalitas yang sangat diperlukan secara efektif dalam memecahkan berbagai isu dan masalah lingkungan. Perubahan pemahaman tugas guru yang menyangkut sikap, memerlukan waktu yang berkelanjutan untuk mengubahnya dan harus muncul dari diri para guru sendiri, yang dapat berkembang melalui pertemuan-pertemuan dan kelompok diskusi guru. Perubahan pandangan dan sikap hendaknya terasa oleh guru bukan sebagai pandangan atau sikap yang dipaksakan dari luar, tetapi tumbuh dari dalam dirinya sendiri, atau setidak-tidaknya tumbuh dari kalangan sendiri.
33
Salah satu usaha yang perlu dikembangkan adalah memberikan pengetahuan tentang lingkungan yang berdasar pengalaman hidup sehari-hari sedini mungkin. Pengalaman-pengalaman seperti itu memiliki peranan yang sangat kritis dalam membentuk sikap hidup, nilai dan pola perilaku terhadap lingkungan alami (Tilbury, 1994; Wilson, 1994) dalam (Disinger, 1985). Cara yang dianggap cukup ampuh adalah memberikan pendidikan lingkungan melalui pendidikan formal, tetapi karena pendidikan lingkungan merupakan suatu dimensi dan tidak terkait dengan satu mata pelajaran saja, maka sifat-sifat pendidikan lingkungan yang multidisiplin dan interdisiplin perlu mendapat perhatian oleh para guru dalam menyajikan kepada siswa. Lebih jauh Winarno (2000) menjelaskan untuk mengembangkan kesadaran dalam
memperhatikan
lingkungan
dengan
masalah-masalah
yang
terkait,
meningkatkan kepedulian, keterampilan dan sikap untuk memecahkan masalah dan mencegah agar tidak terjadi masalah lingkungan baru, maka berbagai konsep dasar perlu diberikan kepada murid untuk mendukung keberhasilan pendidikan lingkungan di sekolah. Konsep dasar ini meliputi ekosistem, daya dukung, pola hidup tidak konsumtif yang dilandasi oleh moral dan etika lingkungan. Pendidikan lingkungan diberikan kepada semua sasaran, baik melalui pendidikan formal maupun nonformal pada gilirannya mengharapkan suatu penduduk dunia yang sadar dan peduli terhadap berbagai persoalan lingkungan yang memiliki pengetahuan, sikap, motivasi, komitmen, serta keterampilan untuk bekerja secara individual atau kolektif dalam rangka memecahkan masalah-masalah lingkungan dan mencegah timbulnya masalah baru (Zulkifli, 1997). Hal ini dipertegas oleh Howe dan Disinger (1988) yang menyatakan siswa yang dilibatkan dalam pengembangan pengetahuan, keterampilan, sikap positif dan motivasi dapat melakukan tindakan,
34
mencegah, dan memecahkan masalah lingkungan, hal ini merupakan manifestasi dari bertingkah laku lingkungan. Dengan kata lain murid yang memperoleh pendidikan lingkungan sejak usia dini, di dalam dirinya akan tertanam dimensi laten pendidikan lingkungan yang berguna dalam menghadapi kehidupan nyata sehari-hari. Pendidikan lingkungan (dalam arti sebenarnya) yang diberikan di sekolah, akan menghasilkan manfaat yang besar. Siswa yang masih dalam situasi belajar dan dalam masa pembentukan sikap, akan lebih mendukung keberhasilan pendidikan lingkungan, dibanding dengan manusia dewasa. Siswa yang telah sadar lingkungan bukan saja akan menerapkan pengetahuan pada dirinya sendiri namun juga akan mengimbaskannya pada orang tua dan masyarakat luas. Meski pendidikan lingkungan di sekolah seringkali merupakan pendedahan formal terakhir tentang isu-isu lingkungan para siswa yang tidak melanjutkan sekolah, namun pelajaran ini dapat digunakan sebagai kesempatan yang sangat berharga untuk mengajarkan pengetahuan lingkungan mengenai isu-isu global dan pendesiminasian berbagai material. Pelajaran seperti itu dapat meningkatkan pengalaman-pengalaman lingkungan dan mampu melakukan klarifikasi, membangun pengetahuan, menambah keterampilan dari pengalaman-pengalaman baru (Singletary, 1992) dalam (Trisler, 1993). Murid akan termotivasi untuk menjalani kehidupan yang lebih baik, sebagai anggota masyarakat atau sebagai murid yang akan menapaki jenjang-jenjang pendidikan. Salah satu cara yang dapat dilakukan di sekolah adalah dengan menuangkan (infussion) materi pendidikan lingkungan ke dalam berbagai mata pelajaran, sehingga pendidikan di sekolah bernuansa lingkungan, yang diharapkan implikasinya berpengaruh positif bagi siswa dalam mengadopsi dimensi laten pendidikan
35
lingkungan. Materi pendidikan lingkungan di sekolah seringkali merupakan pendedahan formal terakhir tentang isu-isu lingkungan bagi para siswa yang tidak melanjutkan ke perguruan tinggi. Terkait dengan dimensi laten pendidikan lingkungan, maka pendedahannya menuntut dilakukan sejak usia dini. Pendidikan lingkungan sebagai suatu dimensi, di dalam pembelajarannya menggunakan pendekatan lingkungan. Di dalam model pengajaran, pendekatan ini diklasifikasikan berdasarkan lingkungan belajarnya. Jadi pendekatan lingkungan tidak memiliki sintaks. Pendekatan PBM yang disejajarkan dengan pendekatan lingkungan akan menghasilkan model pembelajaran yang berorientasi tujuan, sintaks, dan lingkungan belajar. Penggunaan kedua pendekatan ini dalam pembelajaran IPA diharapkan akan meningkatkan kualitas belajar para siswa dalam mata pelajaran IPA.
HASIL-HASIL PENELITIAN YANG RELEVAN Timurrini (2000) menyimpulkan bahwa model pembelajaran berdasarkan masalah mampu meningkatkan tingkat penguasaan siswa pada materi kimia di SMUN 2 Surabaya. Temuan-temuannya antara lain adalah a) Perangkat yang dikembangkan mempunyai efektivitas cukup tinggi. Hal ini karena dengan adanya contoh perangkat pembelajaran yang disediakan oleh peneliti ternyata memberikan kemudahan, baik bagi guru maupun bagi siswa dalam kegiatan pembelajaran. Selain itu belajar melalui perilaku orang lain, efektif untuk melatihkan model pembelajaran kepada guru. b) Berdasarkan analisis data tentang kemampuan rata-raata guru dalam mengelola proses pembelajaran menggunakan model pembelajaran berdasarkan masalah secara keseluruhan dapat dikatakan cukup baik. Skor rata-rata yang diperoleh dari kegiatan ini sebesar 2,95 dengan rentang penilaian 1 sampai 4. c) Keterampilan siswa dalam melakukan pengamatan diperoleh skor rata-rata 2,53 (agak
36
cukup baik). Sedangkan keterampilan melakukan eksperimen diperoleh skor rata-rata 2,18 (agak kurang baik). Berdasarkan hal tersebut diduga karena pengetahuan siswa tentang hipotesis, variabel, dan definisi operasional variabel masih sangat rendah. Oleh karena itu untuk kegiatan serupa disarankan memperhatikan tentang komponenkomponen tersebut. d) Hasil tes belajar siswa yang meliputi tes produk dan tes proses setelah melaksanakan kegiatan belajar dengan model pembelajaran berdasarkan masalah secara keseluruhan dikatakan dapat meningkat. Proporsi jawaban benar siswa pada tes produk sebesar 0,85, sementara proporsi hasil tes belajar proses sebesar0,94. Hal ini dapat dikatakan bahwa dengan model kegiatan belajar menggunakan pembelajaran berdasarkan masalah, siswa mampu mengikutinya dengan baik yang diikuti dengan ketuntasan belajar dengan baik. Silaban (1999), menyimpulkan bahwa model pengajaran berdasarkan masalah cukup efektif digunakan pada pelajaran fisika di SMU yang materinya memerlukan penyelidikan. Temuan-temuan dalam penelitiannya adalah sebagai berikut a) Guru mitra ternyata mampu dan dapat merencanakan kegiatan pembelajaran cukup baik dengan mengacu pada APRP dan komponen perangkat pembelajaran berdasarkan masalah lainnya yang telah dikembangkan. Dalam RP terlihat adanya komponenkomponen yang meliputi: TPU, TPK, persiapan, pendahuluan, motivasi, kegiatan inti, penelitian, latihan bebas, pengayaan dan perluasan, penutup dan evaluasi. Selain itu RP yang disusun oleh guru mitra secara optimal menggunakan komponen perangkat yang telah disediakan walaupun masih ada yang belum digunakan. b) Keterampilan guru dalam membimbing dan membantu siswa secara keseluruhan cukup baik. Membantu siswa mempersiapkan LKS 100%, membimbing identifikasi variabel 50%, memotivasi siswa 80%, membantu membuat definisi operasional 60%,
37
membantu pelaksanaan eksperimen 100%, membantu menulis laporan 80%, membantu menyajikan 80%, membantu menyimpulkan 40%, membantu menyajikan hasil 40%. c) Peran aktivitas siswa dalam kegiatan penyelidikan cukup baik, walupun belum sepenuhnya. Rata-rata peran aktivitas siswa dalam penyelidikan sebesar 60%. d) Keterampilan siswa dalam kegiatan eksperimen secara keseluruhan dapat dikatakan cukup baik. Motivasi siswa 100%, mengidentifikasi variabel 20%, membuat definisi operasional variabel 40%, menyusun hipotesis 60%, membuat laporan, 60%, melaksanakan eksperimen 80%. Sutini (2000) telah menghasilkan perangkat pembelajaran IPA berorientasi model pembelajaran berdasarkan masalah bahan kajian air di SD. Adapun temuantemuan yang didapatkan dalam penelitian tersebut antara lain adalah a) Guru mitra mampu menyusun RP cukup baik dengan mengacu pada APRP yang dikembangkan peneliti. Beberapa ide pokok yang tergambar dalam RP guru mitra meliputi: TPU, TPK, pemotivsian, pembelajaran, penilaian, penutup. Selanjutnya RP yang telah tersusun diimplementasikan di kelas. b) Aktivitas guru dan siswa meningkat selama kegiatan pembelajaran. Sebagian besar waktu digunakan oleh guru mitra untuk membimbing penyelidikan dan diskusi, membimbing analisis dan evaluasi pemecahan masalah, dan memotivasi siswa. Sementara aktivitas yang tampak adalah berdiskusi antar teman atau kelompok dan guru, mendengarkan penjelasan guru, dan bekerja memecahkan masalah. c) Guru mampu mengelola dan mengoperasikan perangkat pembelajaran dengan baik, sementara siswa sangat antusias dan kegiatan belajar cenderung terpusat pada siswa. Dalam pengelolaan kelas ini, guru mengawali pelajaran dengan pendahuluan seperti pengetahuan tentang prasarat, tujuan pembelajaran, motivasi. Selanjutnya guru melaksanakan kegiatan inti pembelajaran
38
sesuai dengan tahap-tahap pengajaran berdasarkan masalah. Kegiatan ini diakhiri dengan melaksanakan menutup pelajaran seperti merangkum, memberikan tugas rumah, serta evaluasi. d) Keterampilan siswa melaksanakan kegiatan penyelidikan yang paling menonjol adalah keterampilan mereka dalam hal menggunakan alat ukur yang sesuai untuk melakukan kegiatan pengamatan kuantitatif. e) Terdapat peningkatan terhadap THB produk, THB proses, dan THB psikomotor. TPK yang tercapai setelah KBM dengan menggunakan perangkat pembelajaran berdasarkan masalah adalah 9 dari 11 TPK produk. Sedangkan untuk TPK proses dan TPK psikomotor dalam kegiatan ini semuanya tuntas. Ini berarti bahwa dapat disimpulkan secara umum siswa telah memahami konsep konsep yang diajarkan dengan baik. Supramono (2005) telah melaksanakan penelitian pengembangan model pembelajaran berdasarkan masalah. Hasil penelitian menunjukkan a) Aktivitas guru lebih banyak mengarah kepada aktivitas yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk aktif belajar. Aktivitas tersebut meliputi membimbing siswa melakukan penyelidikan sebesar 36,3%, membimbing diskusi 15,5%, melakukan refleksi 11,6%, membimbing dalam merangkum pelajaran 7,4%, membimbing siswa dalam menyajikan hasil 6,6%, dan sisanya digunakan untuk mengorganisasi siswa belajar serta menjelaskan fungsi alat dan keselamatannya. b) Aktivitas siswa yang dominan adalah melakukan penyelidikan yaitu 30,35%, diskusi 9,03%, memperhatikan penjelasan guru atau siswa lain waktu diskusi 29,32% bertanya pada siswa lain atau guru 8,24%, sedangkan sisanya digunakan untuk melakukan refleksi, menulis yang relevan dengan KBM, menyajikan hasil penyelidikan, dan merangkum pelajaran. c) Berdasarkan hasil uji hipotesis terhadap penerapan model perangkat yang dikembangkan dengan model pembelajaran berdasarkan masalah dapat meningkatkan
39
tes hasil belajar produk siswa, tes hasil belajar proses berpikir siswa, dan tes hasil belajar kinerja keterampilan berpikir siswa. Penelitian-penelitian dengan menggunakan pendekatan lingkungan dalam pembelajaran telah dilaporkan, meskipun sebatas konteks lokal. Naparin dkk. (2004) melaporkan hasil penelitiannya bahwa pendekatan lingkungan dapat meningkatkan produk, proses, keterampilan dan meningkatkan kinerja para siswa SD dalam pembelajaran IPA. Nayatilah (2005) pembelajaran dengan menggunakan pendekatan lingkungan dapat meningkatkan pemahaman dan respon siswa kelas X MAN Kelua tentang konsep kerja ilmiah namun belum optimal. Intensitas bertanya meningkat dari siklus 1 50,0 % menjadi 54,5 % pada siklus 2, dan menurunnya pembicaraan yang tidak relevan tugas dari 16,7 % pada siklus 1 menjadi 11, 4 % pada siklus 2. Nissa (2003) melaporkan belajar konsep makhluk hidup pada siswa kelas 1 SLTP Negeri 6 Tanjung Tabalong dengan menggunakan pendekatan lingkungan dapat ditingkatkan. Afriani (2005) melaporkan hasil penelitian bahwa pembelajaran menggunakan pendekatan lingkungan dapat mengoptimalkan pemahaman dan respon siswa tentang konsep ekosistem. Wulandari (2005) juga melaporkan adanya peningkatan pemahaman dan respon siswa tentang konsep pencemaran lingkungan dengan menggunakan pendekatan STM dan pendekatan lingkungan. Berdasarkan kajian hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan di atas menunjukkan bahwa masih perlu adanya upaya-upaya pengenalan lebih mendalam lagi melalui penelitian, khususnya untuk pembelajaran IPA di SD. Melalui pengenalan lebih awal pendekatan PBM dan pendekatan lingkungan akan banyak bermanfaat terutama bagi siswa. Hal ini karena mereka akan menjadi terbiasa mengenal dan memecahkan permasalahan yang dijumpainya dalam kehidupan
40
sehari-hari, sehingga dapat mendidik mereka menjadi individu yang mandiri dan mampu mengatasi segala permasalahan yang dihadapinya di kemudian hari.
KERANGKA BERPIKIR DAN JAWABAN SEMENTARA PENELITIAN Dalam KTSP menekankan pengajaran melalui pendekatan keterampilan proses. Hal ini berarti bahwa pembelajaran IPA SD mengarah pada prinsip teori pembelajaran konstruktivis. Esensi dari teori konstruktivis adalah suatu ide bahwa setiap siswa harus secara individu dapat menemukan dan mentransfer informasiinformasi kompleks jika mereka harus menjadikan informasi tersebut untuk dimilikinya. Oleh karena dalam pengajaran siswa diarahkan sebagai siswa yang aktif untuk melakukan penyelidikan lingkungan serta membangun secara mandiri pengetahuannya sehingga lebih bermakna. Teori Piaget dan Vygotsky berkaitan dengan kognitif, menekankan bahwa: 1) agar siswa benar-benar memahami dan dapat menerapkan pengetahuan yang diperolehnya maka siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya dan bergelut dengan ide-ide; 2) guru tidak mampu memberikan pengetahuan pada siswa, maka siswa harus mengkonstruksikan pengetahuan dalam benak mereka sendiri; 3) siswa perlu terus menerus mengecek kesesuaian informasi baru terhadap informasi lama dan merevisinya jika perlu. Pendekatan PBM dan pendekatan lingkungan merupakan pendekatan yang mengacu pada model pembelajaran .konstruktivisme. Kedua pendekatan ini memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan self-directed dan sangat efektif bagi siswa yang beragam karena mereka akan memilih sendiri permasalahan dan metode pemecahannya berdasarkan tingkatan masalah yang diminatinya serta memiliki tujuan pendidikan yang sangat luas. Pembelajaran berdasarkan masalah juga
41
akan memberikan motivasi kepada siswa untuk melakukan investigasi dan pemecahan masalah nyata dalam kehidupan mereka sehari-hari Implementasi
pendekatan
PBM
dan
pendekatan
lingkungan
dapat
dilaksanakan pada siswa SD sederajat dengan tingkat kesulitan disesuaikan dengan taraf kemampuan berpikir siswa. Untuk siswa SD mengacu pada teori Piaget dapat digolongkan pada taraf operasional kongkrit yang memerlukan benda-benda nyata yang dapat dimanipulasi, diamati, yang menghasilkan pengetahuan yang diinginkan. Kelancaran proses pembelajaran di sekolah memerlukan perangkat penunjang. Salah satu penunjang pembelajaran adalah buku paket. Namun dalam kenyataannya tidak semua sekolah dapat terpenuhi. Selain itu keberadaan buku paket umumnya tidak dapat memenuhi kebutuhan di sekolah sesuai lingkungan di mana proses belajar mengajar berlangsung. Oleh karena itu perlu cara lain untuk mengatasi hal ini. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan mengembangkan bahan ajar dan perangkat pembelajaran berorientasi pendekatan PBM dan pendekatan lingkungan. Cara mengaplikasikan keterampilan berpikir kepada siswa di kelas dapat dilakukan dengan menggunakan isi/muatan yang sudah termasuk dalam kurikulum maupun konteks di mana mereka tinggal, karena hal ini merupakan aplikasi yang paling efektif dari keterampilan berpikir. Jadi keterampilan berpikir tidak menjadi sebuah ‘tambahan’ terhadap kurikulum, namun semata-mata merupakan strategi untuk membantu para siswa untuk memproses material yang siap untuk dipelajari. Berdasarkan kerangka berpikir di atas, maka diajukan jawaban sementara dalam penelitian ini sebagai berikut: Kegiatan pembelajaran dengan penerapan pendekatan PBM dan pendekatan lingkungan dapat berpengaruh terhadap proses dan hasil belajar siswa tentang materi IPA SD.