6
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Sistem Mukosilia Hidung Mekanisme pertahanan mukosa hidung yang terpenting adalah sistem mukosilia. Sistem mukosilia terdiri dari silia epitel respiratorius, sel goblet dan palut lendir (Passali dkk, 2005; Probst dkk, 2006). Gangguan pada sistem mukosilia dapat menyebabkan perubahan pada mukosa dan terjadi penyakit (Krouse dan Stachler, 2006). 2.1.1 Mukosa Sinonasal Sebagian besar permukaan kavum nasi dilapisi oleh mukosa respiratorius. Mukosa sinonasal secara histologis terdiri dari palut lendir (mucous blanket), epitel kolumnal berlapis semu bersilia, membrana basalis, lamina propia yang terdiri dari lapisan subepitelial, lapisan media, dan lapisan kelenjar profunda. Kulit pada vestibulum hidung sama seperti hidung bagian luar merupakan sel epitel skuamosa berkeratinisasi terdiri dari vibrise, kelenjar sebasea dan kelenjar keringat. Pada bagian anterior konka inferior epitel berkeratinisasi tadi bercampur dengan epitel skuamosa tidak berkeratinisasi, epitel kolumnar tidak bersilia dan epitel respiratorius bersilia (Probst dkk, 2006). Saat mencapai nasofaring sel kolumner bercampur menjadi epitel skuamosa tidak berkeratinisasi yang mirip dengan epitel rongga mulut (Ballenger, 2003). Mukosa kavum nasi dilapisi oleh mukosa respiratorius dan mukosa olfaktorius. Sebagian besar mukosa kavum nasi dilapisi oleh mukosa
6
7
respiratorius. Mukosa respiratorius dilapisi oleh epitel kolumnar pseudostratified bersilia yang merupakan kelanjutan dari sinus paranasal. Epitel bersilia berperan dalam transportasi mukus dari kavum nasi ke nasofaring. Sedangkan atap septum nasi dilapisi oleh mukosa olfaktorius (Probst dkk, 2006; Krouse dan Stachler, 2006). 2.1.1.1 Epitel Epitel mukosa respiratorius tersusun atas sel bersilia, sel intermediate, sel basal dan sel goblet yang berada pada membran basal. Epitel merupakan barier mekanik yang utama untuk melawan infeksi. Sel kolumner bersilia merupakan sel yang terbanyak dan membentang dari membran basal ke permukaan sel (Ballenger, 2003). Setiap sel bersilia memiliki 150-200 silia yang tersusun atas mikrotubulus (Probst dkk, 2006). Tugas dari silia adalah untuk membersihkan palut ledir yang dihasilkan oleh sel goblet dan sekresi serus dari kelenjar hidung ke nasofaring. Mikrovili berukuran lebih pendek daripada silia dan beberapa memiliki cabang. Fungsi mikrovili ini masih belum jelas namun diduga dapat memperluas permukaan sel. Sel basal terletak pada membran basal dan berfungsi sebagai progenitor sel kolumner tidak bersilia menjadi sel kolumner bersilia (Probst dkk, 2006). 2.1.2 Silia Silia merupakan struktur yang menonjol dari permukaan sel, bentuknya panjang, dibungkus oleh membran sel dan bersifat mobile. Silia dapat ditemukan di seluruh traktur respiratorius, kecuali vestibulum hidung, dinding posterior orofaring, sebagian laring dan cabang terminal bronkus. Silia terdapat juga pada
8
tuba Eustachius, sebagian besar telinga tengah dan di dalam sinus paranasal (Ballenger, 2003). Silia manusia memiliki ukuran panjang 2-6 µm dengan diameter 0,3 µm. Setiap silia terdiri dari dua mikrotubulus sentral tunggal yang tersusun longitudinal atau fibril yang disebut aksonema. Mikrotubulus ini dikelilingi sembilan pasang di bagian luar (gambar 2.1) (Ballenger, 2003).
Gambar 2.1 Struktur ultrasilia tubulus (Ballenger, 2003) Pola pergerakan silia dikenal dengan ciliary beat (Gambar 2.2). Gerakannya cepat dan tiba-tiba ke salah satu arah (active stroke) dengan ujungnya menyentuh lapisan mukoid kemudian silia bergerak kembali lebih lambat dengan ujung tidak mencapai lapisan tadi (recovery stroke). Pukulan terjadi secara metachronus dan berlangsung 3-25 mm/menit dengan frekuensi 12 Hz (Stierna, 2001) atau 1000 getaran per menit (Ballenger, 2003). Gerakan silia terdiri dari dua fase dengan sumber energinya adenosine triphosphate (ATP), mengakibatkan pergerakan filamen pada silia dikenal dengan teori meluncurnya filamen. Silia pada epitel respiratorius bergerak secara terkoordinasi dengan pola metachronous pada cairan perisilia yaitu lapisan yang lebih dalam dari lapisan sol, yang mengalirkan lapisan gel superfisial ke arah
9
nasofaring (Probst dkk, 2006). Gerakan silia dipengaruhi oleh faktor eksternal (Probst dkk, 2006).
Gambar 2.2 Siklus silia normal (Ballenger, 2003) 2.1.3
Palut Lendir Palut lendir adalah lembaran yang tipis, lengket, dan liat yang dihasilkan
oleh kelenjar serus dan sel-sel goblet pada mukosa hidung. Palut lendir melapisi permukaan epitel hidung berukuran 12-15 µm. Palut lendir terdiri dari dua lapisan yaitu a) lapisan sol disebut juga cairan perisilia, terletak di lapisan dalam, menyelimuti batang silia dan bersifat kurang viskus dan b) lapisan gel yang terletak di superfisial, ditembus oleh batang silia bila sedang tegak sepenuhnya dan bersifat lebih viskus (Ballenger, 2003; Probst dkk, 2006; Krouse dan Stachler, 2006). Lapisan superfisial merupakan lapisan yang terdiri dari gumpalan mukus yang tidak berkesinambungan yang menumpang pada cairan perisilia dibawahnya. Cairan perisiliar kaya akan protein plasma seperti albumin, Ig G, Ig M dan faktor komplemen (Stierna, 2001). Partikel yang larut maupun tidak larut akan ditangkap dalam gumpalan mukus ini dan kemudian dibuang oleh gerak silia di bawahnya menuju esofagus. Palut lendir mempunyai pH = 7 atau sedikit asam dan
10
mengandung air 95%, 2,5-3% glikoprotein, garam 1-2%. Komposisi ini tergantung pada aktivitas sel goblet, kelenjar seromukus korion, kelenjar lakrimalis dan penguapan udara inspirasi (Passali dkk, 2005). Fungsi palut lendir ini adalah sebagai pelicin, melindungi dari keadaan kering dan menangkap partikel dan gas yang larut (Ballenger, 2003). Palut lendir dibersihkan ke arah nasofaring setiap 10 sampai 15 menit oleh gerakan silia dan digantikan oleh mukus segar yang disekresikan kavum nasi dan mukosa sinus (Walsh dan Kern, 2006). Palut lendir selalu bergerak dan gerakan ini karena adanya silia. Silia bergerak untuk menghalau mukus dan debris yang terperangkap melalui ostium dan ke hidung. Silia juga dapat tertarik ke bawah searah gravitasi. Ostium sinus maksila berada di superior dinding medial sinus sehingga tanpa gerakan silia yang menyapu mukus ke atas maka sinus maksila tidak akan pernah mengalami drainase (Metson, 2005). 2.1.4 Sel Goblet Sel-sel goblet epitel dan kelenjar seromukus pada mukosa hidung menghasilkan palut lendir (Ballenger, 2003; Probst dkk, 2006; Krouse dan Stachler, 2006). Laktoferin, lisosim, secretory leukoprotease inhibitor dan secretory Ig A dihasilkan oleh sel serus, sedangkan glikoprotein dihasilkan oleh sel mukus. Fungsi utama Ig A adalah untuk mengeksklusi mikroorganisme di jaringan dengan berikatan dengan antigen di lumen jalan napas sedangkan Ig G bekerja pada mukosa dengan menginisiasi perubahan reaksi berupa inflamasi ketika terpapar antigen bakteri (Stierna, 2001).
11
Sel goblet lebih banyak ditemui pada sinus maksila dibandingkan sinus lainnya, sedangkan kelenjar lebih banyak ditemui pada hidung dibandingkan pada sinus paranasal. Hal ini fisiologis karena pada ruang tertutup seperti pada sinus paranasal sel goblet cukup efektif dalam menghasilkan mukus untuk mencegah terjadinya kekeringan mukosa dan untuk menunjang transpor mukosilia (Passali dkk, 2005). Suatu penelitian eksperimental menggunakan kelinci ditemukan penurunan jumlah sel goblet disertai involusi dan berkurangnya jumlah kelenjar secara signifikan pada sinusitis dengan derajat inflamasi yang berat (Stierna, 2001).
2.2
Transpor Mukosilia Transpor mukosilia adalah mekanisme pergerakan silia untuk mengalirkan
sekret dari kavum nasi ke nasofaring. Durasi di mana bahan partikel berjalan sepanjang permukaan kavum nasi melalui transpor mukosilia disebut dengan waktu transpor mukosilia (Probst dkk, 2006). Bentuk sitoskeleton sel silia dan aktivitas dynein memungkinkan terjadinya gerakan silia pada epitel respiratorius secara metachronous. Silia bekerja menggerakkan sekresi mukus dari sel goblet dan sekresi serus dari kelenjar hidung menuju nasofaring secara mekanik untuk membersihkan udara inspirasi. Ujung silia dalam keadaan tegak akan masuk sepenuhnya menembus gumpalan mukus dan menggerakkannya ke arah posterior bersama-sama dengan materi asing yang terperangkap di dalamnya ke arah esofagus. Lapisan cairan perisilia di bawahnya yaitu cairan yang kurang viskus beserta partikel yang
12
terlarut didalamnya juga dialirkan ke arah posterior oleh aktivitas silia, tetapi mekanismenya belum diketahui dengan jelas (Ballenger, 2003). Kecepatan transpor mukosilia sangat bervariasi. Pada orang sehat partikel yang ada pada palut lendir dipindahkan oleh silia yang aktif dengan kecepatan 325 mm/menit dan rata-rata 6 mm/menit. Adanya infeksi dapat menghambat sistem transpor mukosilia yang efisien. Beberapa virus misalnya virus influenza, rhinovirus, adenovirus, virus herpes simpleks dan RSV juga menghambat transpor mukosilia dengan mengubah ultrastruktur aksonemal atau bahan viskoelastik pada palut lendir (Ballenger, 2003). 2.2.1 Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Waktu Transpor Mukosilia Transpor mukosilia dipengaruhi oleh a) faktor eksternal yaitu struktur kimia partikel yang diangkut, b) faktor lingkungan yaitu suhu, humiditas, kontak dengan larutan hipertonik atau hipotonik, bahan asam atau basa, bahan polusi dan c) faktor internal yaitu aktivitas silia dan bahan rheologik mukus (Passali dkk, 2005; Ballenger, 2003). Karakteristik silia meliputi struktur, jumlah dan koordinasi pergerakan silia sedangkan karakteristik mukus yaitu jumlah yang disekresikan dan sifat viskoelastiknya merupakan komponen penting agar silia dapat berfungsi secara efektif (Ramon, 1999; Ballenger, 2003; Probst dkk, 2006). 1.2.2.1 Kelainan kongenital Kelainan kongenital seperti diskinesia silia primer dapat berupa kekurangan lengan dynein, translokasi pasangan mikrotubulus, panjang silia abnormal. Uji sakarin pada penderita ini adalah lebih dari 60 menit Al-rawi dkk (1998). Sindrom kartagener merupakan penyakit yang diturunkan secara genetik,
13
dimana terjadi gangguan koordinasi gerakan siia sehingga terjadi gangguan transpor mukosilia. Jang dkk (2002) menyebutkan bahwa terdapat pemanjangan waktu transpor mukosilia hidung pada pasien dengan deviasi septum nasi yang diduga akibat hilangnya silia, proses inflamasi dan berkurangnya jumlah kelenjar. 2.2.2.2 Suhu dan kelembaban udara Aktivitas silia dapat terganggu pada penurunan kelembaban, penurunan suhu atau kohesi pada permukaan mukosa yang saling berhadapan (Walsh dan Kern, 2006). Adrenergik β2 agonis dapat meningkatkan frekuensi gerakan silia, sedangkan adrenergik 2 menghambat frekuensi gerakan silia (Ballenger, 2003). Penelitian Salah dkk (1988) menyatakan bahwa subjek penelitian yang bernapas dalam udara kering mengalami pemanjangan transpor mukosilia Hal ini disebabkan oleh perubahan sifat reologis mukus pada udara kering. 2.2.2.3 Paparan debu Soemadi dkk (2009) menyatakan bahwa waktu transpor mukosilia hidung pada pekerja yang terpapar debu kayu lebih panjang. Paparan kronis dari debu kayu dapat menyebabkan gangguan pada transpor mukosilia hidung. Black dkk. pada tahun 1974 melaporkan adanya gangguan fungsi mukosilia hidung pada pekerja pabrik kayu di Inggris yang terpapar debu kayu selama lebih dari 10 tahun.
14
2.2.2.4 Umur Penelitian Ho dkk, 2001 tentang transpor mukosilia hidung, Ciliary Beat Frequency (CBF) serta ultrastruktur silia pada relawan sehat umur 11 - 90 tahun, menemukan ada hubungan antara waktu transpor mukosilia dengan pertambahan umur. Melalui hasil pemeriksaan mikroskop elektron terlihat peningkatan kekacauan miokrotubulus silia sejalan dengan bertambahnya umur. Subjek yang berumur diatas 40 tahun mengalami penurunan CBF yang bermakna dengan waktu transpor mukosilia memanjang dibanding dengan mereka yang berumur lebih muda. 2.2.2.5 Indeks massa tubuh Penelitian oleh Valdez dan Cruz, 2009 untuk mengetahui apakah transpor mukosilia dipengaruhi oleh indeks massa tubuh yang abnormal pada orang dewasa umur 18 - 33 tahun, menyimpulkan bahwa orang dengan indeks massa tubuh abnormal cenderung mengalami pemanjangan waktu transpor mukosilia hidung. 2.2.2.6 Paparan asap rokok Özler dkk. (2014) dalam penelitiannya terhadap efek perokok pasif dan aktif yang sedikitnya terkena paparan asap rokok selama tiga tahun terhadap waktu bersihan mukosilia hidung menyatakan bahwa terdapat pemanjangan waktu bersihan mukosilia hidung secara signifikan pada perokok pasif dan aktif bila dibandingkan dengan kontrol. Penelitian mengenai transpor mukosilia memakai metode sakarin dan pemeriksaan CBF in vitro pada perokok dan bukan perokok memperlihatkan adanya perbedaan CBF rata - rata atau waktu transpor mukosilia
15
rata - rata yang bermakna. Pada perokok kronis kelainan transpor mukosilia bukan disebabkan oleh CBF yang melambat tapi mungkin karena berkurangnya jumlah silia atau perubahan viskoelastisitas mukus. 2.2.2.7 Diabetes mellitus Penelitian Selimoglu dkk, 1999 tentang adakah perubahan waktu transpor mukosila terkait dengan diabetes mellitus, menyatakan bahwa pemanjangan waktu transpor pada penderita diabetes mungkin disebabkan oleh menurunnya aktifitas ATP-ase, neuropati, berkurangya air dan elektrolit, serta akibat perubahan metabolisme karbohidrat. 2.2.2.8 Infeksi dan rinitis alergi Yadav dkk, 2003 menyatakan bahwa kecepatan transpor mukosilia hidung pada penderita rinitis alergi menurun akibat sekresi hidung yang bersifat alkali, yang mana merupakan kondisi ideal bagi fungsi silia. Walaupun demikian hal sebaliknya terjadi pada kasus rinitis alergi yang sangat lama, berkaitan dengan perubahan sifat reologi mukus hidung. Pengaruh infeksi hidung sinus paranasal kronik terhadap waktu transpor mukosilia telah diselidiki oleh Majima dkk. Penelitian tersebut meneliti viskoelastisitas mukus penderita sinusitis kronis dan menyimpulkan bahwa viskoelastisitas mukus yang mukopurulen lebih tinggi dibanding dengan yang mukoid, selanjutnya menyebabkan gangguan transpor mukosilia (Majima dkk, 1993).
16
2.2.2 Pemeriksaan Fungsi Mukosilia Efektivitas fungsi mukosilia didasarkan pada hubungan fungsional antara tiga komponen yaitu mukus, gerakan silia dan cairan perisilia (Probst dkk, 2006). Ada dua metode yang telah digunakan untuk mengevaluasi aktivitas silia pada mukosa nasal yaitu: metode langsung dan tidak langsung. Metode langsung menggunakan stroboscopy, roentgenography, maupun teknik photoelectron yang membutuhkan tehnologi canggih sehingga tidak selalu tersedia pada masingmasing pelayanan kesehatan. Sedangkan metode tidak langsung misalnya uji sakarin atau penggunaan
99m
Tc-MAA, merupakan pemeriksaan yang aman,
mudah, cepat dan dapat dipercaya untuk menilai transpor mukosilia. Uji sakarin lebih mudah dikerjakan dan tidak membutuhkan bahan dan alat yang mahal (Naxakis dkk, 2009). Oleh karena ketersediaannya dan mudah dikerjakan uji sakarin telah dikenal sebagai alat skrining yang paling bermanfaat terhadap dismotilitas silia dan untuk mengevaluasi transpor mukosilia (Ramon dkk, 1999). 2.2.2.1 Uji Sakarin Prinsip uji sakarin dan pemeriksan dengan zat pewarna adalah menghitung waktu yang diperlukan untuk sakarin atau zat pewarna yang diletakkan di belakang ujung anterior konka inferior untuk mencapai rongga faring (Ballenger, 2003). Pada uji sakarin, 1 mm tablet sakarin diletakkan sekitar 1 cm di belakang ujung anterior konka inferior untuk menghindari daerah metaplasia skuamosa dengan menggunakan forsep kecil. Pasien diminta tetap bernapas biasa melalui hidung, tanpa bersin, mengendus, makan maupun minum. Kemudian pasien
17
diminta untuk menelan satu kali setiap satu menit dan melaporkan jika merasakan suatu rasa di tenggoroknya. Rasa alamiah tersebut tidak diberitahukan kepada pasien sehingga pasien dapat ditanyakan mengenai kualitas sensasi tersebut. Variasi lain adalah dengan memberikan pewarna pada sakarin dengan menggunakan Evans blue, sehingga pewarna dapat terlihat di nasofaring (Ballenger, 2003; Scadding dan Lund, 2004).
Gambar 2.3 Pemeriksaan dengan uji sakarin (Scadding dan Lund, 2004) a. Forsep aligator dan tablet sakarin b. Sakarin diletakkan kira-kira 1 cm di belakang ujung anterior konka inferior
Valia dkk. (2008) menyatakan bahwa uji sakarin merupakan suatu pengukuran yang reprodusibel karena pengulangan uji sakarin pada subjek yang sama pada suatu interval waktu tertentu tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna pada Wilcoxon T test dengan p = 0,28. Penelitian Corbo dkk. (1989) menunjukkan bahwa reprodusibilitas uji sakarin adalah baik yang ditunjukkan dengan konsistensinya yang baik antara pengulangan pengukuran dengan nilai interclass correlation coefficient atau Ri=0,80 dan tidak terdapatnya perbedaan yang signifikan antara dua pengukuran tersebut.
18
Penelitian Leung dkk. (2014) menyatakan bahwa lama waktu bersihan mukosilia hidung pada sebagian besar subjek normal adalah 10 menit. Hasil ini tidak berbeda jauh dengan penelitian Munir (2010) yang menyatakan bahwa waktu transpor mukosilia hidung subjek normal adalah 9,49 ± 0,75 menit.
2.3 Mekanisme Pertahanan Tubuh 2.3.1 Daya pertahanan sinonasal melawan polusi udara Sekitar 9000 liter udara melintasi rongga hidung setiap harinya. Hidung melindungi sistem respirasi dengan cara menyaring udara, membersihkan berjuta juta partikel, bahan kimia dan mikroorganisme dari udara pernapasan. Polusi udara bisa berbentuk gas ataupun partikel. Pengendapan polutan yang berbentuk gas dalam rongga hidung tergantung pada daya larut gas, lamanya terpapar dan faktor anatomi traktus sinonasal yang bisa diketahui melalui pola aliran udara pernapasan. Untuk gas yang mudah larut seperti sulfur dioksida maka rongga hidung
merupakan
filter
yang sangat
efektif.
Rongga
hidung
efektif
menyingkirkan partikel yang berdiameter lebih dari 10 mikron. Apakah sistem mukosilia bisa melindungi mukosa hidung terhadap gas inhalasi atau uap bahan kimia seperti perlindungannya terhadap partikel belum banyak diketahui (Clerico, 2001). Mekanisme pertahanan sinonasal terdiri dari transpor mukosilia, daya reflek, daya imun dan daya pertahanan antimikroba. Reflek nasopulmoner, reflek nasokardiak, reflek bersin melibatkan rongga hidung melalui mediasi saraf trigeminal dengan koneksi sentralnya. Respon imun melibatkan sel imun dalam
19
sirkulasi maupun jaringan serta melibatkan daya pertahanan antimikroba dari respon inflamasi nonseluler (Clerico, 2001). Sitokrom P-450 banyak ditemukan pada mukosa hidung dan bertanggung jawab terhadap biotransformasi bahan kimia endogen dan eksogen termasuk polutan udara. Beberapa polutan mungkin memicu atau menekan ekspresi gen yang mengkode ensim sitokrom P-450. Bahan kimia yang membahayakan akan dinonaktifkan atau didetoksifikasi oleh sitokrom P-450 sementara bahan kimia lain seperti trialkilfosforotiolat malah memerlukan aktifasi oleh sistem sitokrom P-450 sebelum manjadi racun bagi jaringan. Oleh karena itu sistem sitokrom P450 berpotensi menyebabkan senyawa kimia yang tidak merusak kemudian berefek merusak (Clerico, 2001). 2.3.2 Respon sinonasal akibat polutan dan mekanisme toksik polutan Respon sinonasal terhadap bahan kimia inhalasi meliputi respon iritasi, respon inflamasi, perubahan epitel, gangguan daya pertahanan hidung dan resistensi aliran udara hidung. Respon sistemik terhadap polutan inhalasi seperti respon imun telah terbukti mempunyai hubungan dengan terjadinya gangguan sinus (Clerico, 2001). 2.3.2.1 Respon iritasi Respon iritasi juga disebut dengan common chemical sense merupakan bagian dari respon fisiologis awal terhadap inhalasi bahan kimia. Efek iritatif antara lain berupa rasa terbakar di hidung dan mata, mata berair, sakit kepala, batuk dan reflek apnea. Iritasi hidung dimediasi oleh saraf trigeminus yang ujung sarafnya mengandung substan P (SP), calcitonin gene-related peptide (CGRP),
20
vasoactive intestinal polypeptide (VIP) dan neuropeptida lainnya. Penelitian imunokimia
mikroskop
cahaya
memperlihatkan
serat
imunoreaktif
(unmyelinatedneuro peptide-containing sensory nerves) meluas hampir ke seluruh permukaan epitel rongga hidung. Pengamatan dengan mikroskop elektron memperlihatkan lokasi ujung saraf tersebut berada dalam epitel hidung tepat di bawah pertemuan antar sel yang tidak terpapar secara langsung kearah lumen hidung (Clerico, 2001). Lemak terlarut merupakan stimulus yang paling efektif bagi saraf trigeminus intranasal untuk menyebabkan common chemical sense. Selain itu beberapa polutan seperti ozon akan melemahkan hubungan antar epitel serta meningkatkan permeabilitas mukosa. Zat yang sangat larut dalam air menembus lapisan mukus dengan tekanan yang lebih besar. Percobaan pada binatang pengerat menunjukkan bahwa serabut saraf yang mengandung CGRP-SP sering ditemukan pada rongga hidung yang paling sempit seperti pada konka nasi yang menyentuh septum atau pada pemukaan yang melengkung tajam. Tidak ada penelitian pada manumur yang sebanding namun jika temuan ini konsisten maka kemungkinan inflamasi neurogenik yang dipicu oleh polusi udara akan mengakibatkan obstruksi pada saluran yang sempit seperti pada komplek ostiomeatal sehingga sinusitis yang diakibatkannya nampak masuk akal. Substan P bisa menyebabkan perubahan komposisi mukus hidung sehingga menggangu daya pertahanan. Substan P juga mengubah aktifitas sekresi kelenjar rongga hidung sehingga memperburuk kondisi patologi yang ada. Efek menyerupai growth factor juga dikeluarkan oleh SP yang sebagian besar terjadi pada sel basal
21
dan kelenjar mukosa hidung. Pelepasan SP melalui stimulasi antidromik saraf trigeminal menyebabkan pemanjangan periode vasodilatasi. Vasodilatasi tersebut mengakibatkan kongesti mukosa dan berpotensi menyebabkan obstruksi ostium. Pelepasan SP juga menyebabkan ekstravasasi plasma dan edema jaringan sehingga memperbesar sumbatan ostium (Clerico, 2001). 2.3.2.2 Respon inflamasi Inflamasi hidung akibat polusi udara mungkin berhubungan atau tergantung pada mekanisme iritasi melalui inflamasi neurogenik. Inflamasi neurogenik tersebut antara lain vasodilatasi, edema dan infiltrasi lekosit yang dipicu oleh aktifasi ujung saraf sensoris. Neuropeptida seperti substan P, neurokinin A dan CGRP berada di ujung saraf sensoris dan memiliki kemampuan vasodilatasi yang kuat. Neutral endopeptidase (NEP) bertugas melakukan down regulation inflamasi neurogenik melalui degradasi SP (Clerico, 2001). Bukti eksperimental mendukung dugaan bahwa saraf sensoris bertindak sebagai jaras aferen juga eferen bagi inflamasi neurogenik oleh karena iritasi polutan. Berbagai bahan kimia seperti asap rokok, nikotin, kapsaisin, eter dan formaldehid menyebabkan pelepasan SP dari mukosa hidung. Mekanisme lain dari proses inflamasi yang diakibatkan oleh polusi udara terjadi melalui kerusakan jaringan secara langsung oleh polutan itu sendiri. Beberapa polutan udara diketahui bersifat sitotoksik dan merusak sel sehingga mengakibatkan pengerahan sel - sel inflamasi (Clerico, 2001).
22
2.3.2.3 Respon imunitas hidung Ada dua kemungkinan yang menerangkan bagaimana polusi bahan kimia menyebabkan terjadinya infeksi sinus paranasal. Sistem transpor mukosilia yang terganggu oleh berbagai bahan kimia akan menyebabkan retensi sekret sehingga mengakibatkan infeksi. Mekanisme kedua melalui efek imunotoksik dari bahan kimia tersebut. Gangguan kemampuan fagositosis menyebabkan penurunan daya tahan tubuh dan terjadinya infeksi. Nampaknya polusi bahan kimia akan merusak epitel sinonasal melalui mekanisme langsung maupun tidak langsung secara bersamaan. Oleh karena itu paparan polutan tidak hanya mengurangi aliran mukosilia sehingga kontak mukosa dengan mikroorganisme menjadi lebih lama namun penyakit virus sendiri juga bisa menurunkan transpor mukosilia sehingga memperpanjang kontak antara polutan dengan mukosa hidung (Clerico, 2001). 2.4.2.4 Perubahan epitel Kerusakan epitel jalan napas disebabkan oleh karena adanya respon yang berlebih terhadap stimulasi inhalasi bahan kimia. Polusi udara tersebut melemahkan kekuatan intraepitel sehingga permeabilitas epitel meningkat (Clerico, 2001). 2.3.2.5 Gangguan daya pertahanan tubuh Polusi udara dapat menimbulkan efek buruk terhadap daya pertahanan tubuh melalui berbagai cara. Aliran mukosilia adalah daya pertahanan tubuh yang paling banyak dibicarakan. Iritasi oleh gas inhalasi dapat merangsang dan menghambat fungsi mukosilia hidung. Polutan yang berkadar rendah dalam jangka waktu pendek dalam beberapa penelitian terbukti merangsang aliran
23
mukosilia menandakan adanya mekanisme pertahanan. Tetapi polutan berkadar tinggi dalam jangka panjang terbukti mengurangi aliran mukosilia. Penurunan aliran mukus hidung yang berkepanjangan atau berulang - ulang oleh karena paparan polutan dianggap sebagai faktor penyebab penyakit sinus kronis. Mekanisme iritan inhalasi mengganggu fungsi mukosilia antara lain melalui perubahan viskoelastisitas mukus, menyebabkan mukus sel goblet menjadi lengket, mengganggu fungsi silia atau melalui perubahan ketebalan hypophase. Gangguan mekanisme pertahanan hidung tersebut selanjutnya menyebabkan waktu paparan mukosa sinonasal dengan zat inhalasi termasuk virus, bakteri, partikel atau zat kimia semakin lama. Pada gilirannya terjadi lingkaran setan antara kerusakan jaringan dan disfungsi daya pertahanan tubuh (Clerico, 2001). 2.3.2.6 Resistensi aliran udara hidung Pemeriksaan rinometri yang dilakukan pada mereka yang terpapar sulfur oksida berkadar 5 ppm menunjukkan adanya peningkatan resistensi aliran udara hidung. Penderita sindroma sensitif bahan kimia multipel lebih peka terhadap bahan kimia inhalasi sehingga resistensi aliran udara hidung pada penderita tersebut akan lebih besar saat terpapar bahan kimia atau bau tertentu (Clerico, 2001).
2.4 Industri Konveksi Industri konveksi adalah suatu perusahaan yang menghasilkan pakaian jadi, baik pakaian wanita, pria, anak, olah raga dan lain-lain. Umumnya perusahaan konveksi memiliki bahan baku berupa tekstil dari bermacam-macam jenis, seperti
24
katun, linen, polyester, rayon dan bahan-bahan sintesis lain ataupun bahan campuran dari jenis bahan-bahan tersebut. Proses dalam perusahaan konveksi ini merupakan kegiatan memproses kain atau barang setengah jadi diubah menjadi pakaian siap jadi. Proses mengubah material tersebut dibagi menjadi 4 bagian besar, yaitu proses memotong sesuai dengan pola pakaian, proses menjahit, proses merapikan, dan proses pengepakan. Bahan-bahan dan alat-alat yang dipergunakan dalam mengelola industri konveksi ini dapat terjadinya faktor penyebab gangguan kesehatan dan keselamatan kerja yang mempengaruhi tingkat produktivitas. Debu merupakan salah satu produk sampingan atau limbah yang terbentuk akibat proses pengolahan dari proses industri konveksi.
2.5 Debu Debu merupakan salah satu bahan yang sering disebut sebagai partikel yang melayang di udara (Suspended Particulate Matter/SPM) dengan ukuran 1 mikron sampai 500 mikron. Debu adalah partikel-partikel zat padat yang dihasilkan oleh kekuatan-kekuatan alami atau mekanisme seperti pengolahan, penghancuran, pelembutan, pengepakan dengan cepat, peledakan dan lain-lain, baik dari bahan organik maupun non-organik. (Cayanto dkk, 2007;UU K3, 1970). Debu merupakan salah satu bahan pajanan yang menimbulkan risiko pekerjaan. Debu dapat mengakibatkan gangguan pernapasan bagi pekerja pada industri yang berhubungan dengan debu pada proses produksinya. Sifat debu yang disebarkan pada lingkungan kerja sangat berhubungan dengan sifat bahan dasar
25
penghasil debu tersebut. Hasil akhir efek samping debu industri tergantung pada tipe debu yang dihirup dan tempat debu melekat pada saluran napas, hal tersebut bergantung pada ukuran partikel debu tersebut, struktur saluran napas dan proses bernapas itu sendiri. Debu memiliki beberapa sifat yaitu (Mengkidi, 2006): a) Sifat pengendapan, yaitu debu yang cenderung selalu mengendap karena gaya grafitasi bumi. Namun karena kecilnya kadang-kadang debu ini relatif tetap berada di udara. Debu yang mengendap dapat mengandung proporsi partikel lebih dari pada yang ada di udara. b) Sifat permukaan basah, sifat permukaan debu akan cenderung selalu basah dilapisi oleh air yang sangat tipis. Sifat ini penting dalam pengendalian debu dalam tempat kerja. c) Sifat penggumpalan, oleh karena permukaan debu selalu basah, sehingga dapat menempel satu sama lain dan menggumpal. Kelembapan di bawah saturasi kecil pengaruhnya terhadap penggumpalan debu. Akan tetapi bila tingkat kelembapan di atas titik saturasi maka akan mempermudah penggumpalan. d) Sifat listrik statis, debu mempunyai sifat listrik statis yang dapat menarik partikel lain yang berlawan dengan demikian partikel dalam larutan debu mempercepat terjadinya penggumpalan. e) Sifat Opsis, partikel yang basah/lembap lainnya dapat memancarkan sinar yang dapat terlihat pada kamar gelap. Pengaruh debu pada penyakit saluran napas ditentukan oleh sifat-sifat debu itu sendiri, yaitu: ukuran debu, kadar debu, fibrogenitas debu dan tingkat
26
pajanan debu. Dahulu beberapa debu dianggap tidak berbahaya atau debu inert karena debu yang berukuran 5-10 μm yang masuk ke dalam saluran napas akan dikeluarkan seluruhnya. Hal ini terjadi jika jumlah debu yang masuk kurang dari 10 partikel. Jika jumlah debu yang masuk lebih dari 1000 partikel maka sekitar 10% akan tertimbun dalam saluran napas. Jika jumlahnya mencapai lebih dari 100.000 partikel maka persentase penimbunannya akan bertambah besar lagi (Cayanto dkk, 2007; Wahab, 2001). Debu industri yang terdapat dalam udara dibagi menjadi 2 yaitu:1). Deposit particulate matter yaitu partikel debu yang hanya berada sementara di udara dan partikel ini segera mengendap karena daya tarik bumi, 2) Suspended particulate matter yaitu partikel debu yang tetap berada di udara dan tidak mudah mengendap dengan ukuran 1 mikron sampai 100 mikron (Cayanto dkk, 2007; Wahab, 2001). Berdasarkan fibrogenitasnya terhadap jaringan dibedakan debu fibrogenik dan nonfibrogenik. Debu fibrogenik yaitu debu yang menimbulkan fibrosis jaringan, misalnya debu batubara, debu silica dan debu asbes. Sedangkan debu nonfibrogenik yaitu debu yang tidak menimbulkan reaksi jaringan. Pada awalnya debu golongan ini dianggap tidak berbahaya bagi kesehatan, tetapi kemudian diketahui kadar debu yang tinggi akan menyebabkan reaksi saluran napas seperti hipertrofi dan hipersekresi saluran napas. Tingkat pajanan ditentukan oleh lamanya waktu pajanan dan kadar debu rata-rata di udara lingkungan kerja (Cayanto dkk, 2007; Wahab, 2001).
27
2.5.1 Debu dalam industri konveksi Debu merupakan salah satu produk sampingan atau limbah yang terbentuk akibat proses pengolahan dari proses pemotongan, menjahit dan merapikan bahan tekstil. Bahan dasar tekstil terbanyak adalah kapas karena mempunyai keunggulan ongkos tanam dan biaya pengolahan rendah (Mulyani, 2007). Kapas termasuk noksa yang dapat merusak struktur anatomis organ dan perubahan fungsi. Noksa adalah bahan yang dapat merusak struktur anatomis organ atau tubuh dan sekaligus menimbulkan perubahan fungsi. Dalam lingkungan kerja, para pekerja terpapar dan menghirup noksa yang berasal dari bahan baku hasil produksi, produk sampingan, atau dari limbah. Secara umum noksa lingkungan dapat digolongkan sebagai berikut: 1. Debu organik
: nabati, hewani
2. Debu inorganik : pertambangan, industri logam, keramik 3. Gas iritan
:industri petrokimia, farmasi
Debu pada industri konveksi dibedakan atas debu yang alami dan debu dari bahan sintetis. Debu yang alami berasal dari bahan wool, sutera, linen, dan katun sementara sebagian besar debu dari bahan sintetis adalah paparan debu tersering yaitu berasal dari serat sintetis seperti polyamide dan acrylic. Sebagian besar pakaian mengandung bahan sintetis seperti polyester, elastan dan lycra, hal ini disebabkan karena harganya yang murah dan mudah perawatannya menjadi pilihan utama industri konveksi. Namun proses pengolahan bahan ini pada industri konveksi menimbulkan polusi dan sulit untuk didaur ulang (Mulyani, 2007).
28
2.5.2 Debu kapas Debu kapas adalah debu organik yang terlepas ke udara selama tindakan pengolahan serat kapas yang mengandung banyak bahan seperti komponen tumbuhan, serat, bakteri, jamur, pestisida, dan kontaminan lainnya yang dapat berakumulasi dengan kapas selama proses menanam, panen, pengangkutan dan pemintalan. Debu kapas juga dapat didefinisikan sebagai semua debu yang timbul akibat proses pengolahan kapas hingga proses penjahitan kain, pemotongan kain, proses setrika dan pengepakan (Mulyani, 2007). Pembagian debu kapas berdasarkan tipenya dibagi menjadi 3, yaitu: 1.) Inhalable dust yaitu partikel debu yang dapat terhirup dan terdeposit di saluran napas seperti mulut dan hidung, 2.) Thoracic dust yaitu material berbahaya yang dapat masuk ke dalam paru-paru dan ikut dalam pertukaran udara, 3.) Respirable dust yaitu fraksi dari debu yang dapat masuk mencapai alveoli paru (Mulyani, 2007). Ukuran debu sangat bervariasi, berikut klasifikasi debu kapas berdasarkan ukuran partikel debu seperti tertera dalam Tabel 2.1. Tabel 2.1 Klasifikasi debu berdasarkan ukuran partikel Tipe
Ukuran partikel (µm)
Sampah debu
Di atas 500
Debu
50-500
Debu mikro
15-50
Debu yang dapat terhirup
Kurang dari 15
29
Pada perusahaan tekstil dampak negatif terhadap polusi udara sangat bervariasi. Proses spinning dan weaving akan mempengaruhi kualitas udara sementara proses dyening dan printing yang menggunakan zat kimia akan melepaskan zat-zat yang mudah menguap dan berbahaya bagi kesehatan. Debu kapas menimbulkan reaksi alergi dan iritasi terhadap saluran napas manusia, mulai dari saluran napas bagian atas berupa hipersekresi kelenjar mukosa hidung maupun peradangan pada sinus paranasalis. Debu kapas termasuk debu organik yang bersifat alergen terhadap saluran napas yang dapat menyebabkan rinitis alergi pada penderita alergi (Wahab, 2001).
2.5.3 Kadar debu total Dalam Enviromental Protection Departement (WHO, 2005) disebutkan kadar debu total atau juga dikenal sebagai partikulat tersuspensi total (TSP) mengacu pada semua partikel di atmosfer. Kadar debu total merupakan pertikel di udara yang memiliki diameter kurang dari 100 µm (mikrometer). Di antara kadar debu total, termasuk partikel yang dapat terhisap oleh sistem pernapasan. Partikel ini merupakan partikel di atmosfer yang memiliki ukuran sama dengan atau bahkan kurang dari 10 µm (WHO, 2005). 2.5.4 Nilai Ambang Batas (NAB) Debu Nilai Ambang Batas adalah parameter yang banyak digunakan untuk mengukur keadaan udara di dalam lingkungan kerja. Nilai Ambang batas adalah konsentrasi dari zat, uap dan gas dalam udara yang dapat dihirup dalam 8 jam sehari atau 40 jam seminggu yang hampir semua tenaga kerja dapat terpajan
30
berulang kali sehari-hari dalam melakukan pekerjaan tanpa gangguan kesehatan yang berarti. Nilai Ambang Batas hanya merupakan alat atau pedoman yang mengikat untuk diperhatikan dari segi kesehatan dan keselamatan kerja. Namun bila NAB sudah diterapkan, bukan berarti para pekerja tersebut terbebas dari semua resiko yang mungkin timbul di lingkungan kerja. (Depkes RI, 2008). Nilai Ambang Batas debu mengikuti ambang batas udara ambien yaitu berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 atau PP RI No. 41 tahun 1999 menyebutkan NAB dalam 1 jam adalah 90 µg/Nm 3 sedangkan dalam 24 jam adalah 230 µg/Nm3. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes) No.1405/MENKES/SK/XI/2002 NAB maksimal di industri sebesar 10mg/m3. Penelitian pendahuluan dan pengukuran kadar debu di perusahaan tekstil X pada tahun 2001 diperoleh NAB debu kapas yaitu 0,1140,148mg/m3 pada unit spinning dan 0,223-0,614 mg/m3 pada unit carding (Wahab, 2001). 2.5.5 Pengukuran debu Kuantitas pajanan terhadap debu didefinisikan menjadi beberapa istilah yaitu kadar debu total (total dust), kadar debu terhirup (respirable dust) dan kadar debu dosis kumulatif. Debu total dihitung dengan menggunakan pengumpul debu pasif. Debu total ini kurang berpengaruh terhadap kesehatan karena ukuran debu tidak spesifik. Kadar debu terhirup adalah partikel debu dengan diameter aerodinamik rata-rata 4 mikron (0-100 mikron), partikulat yang terhirup adalah partikel yang ditangkap oleh filter nylon cyclone diameter 10 mm dengan
31
kecepatan 1,7 liter/menit. Sedangkan kadar debu kumulatif adalah perkalian antar kadar debu terhirup dan lama pajanan (Wahab, 2001).
2.5.5.1 Konsentrasi partikel debu Semakin tinggi konsentrasi partikel debu dalam udara dan semakin lama pajanan berlangsung, jumlah partikel yang mengendap di paru juga semakin banyak (Yunus, 2003). 2.5.5.2 Lama Pekerjaan Jenis pekerjaan dalam industri mempengaruhi risiko terjadinya pajanan debu. Pekerja yang memiliki resiko tinggi terpapar debu adalah pekerja yang berhubungan dengan proses produksi (Suherman, 2013).
2.6
Paparan Debu pada Perusahaan Konveksi dan Waktu Transpor Mukosilia Bekerja dalam lingkungan yang dipenuhi oleh debu menyebabkan
terhirupnya debu ke saluran napas yang dapat menyebabkan masalah kesehatan apabila partikel debu tersebut mengendap dan kontak langsung dengan saluran napas. Pada saat bernapas partikel mengendap di saluran napas. Rute utama pernapasan adalah melalui hidung. Kemampuan mengendap dari debu tergantung dari ukuran, bentuk, kelarutan dan surface chemistry (Wahab, 2001). Paparan debu yang akan mempengaruhi waktu transpor mukosilia, mulai dari gangguan yang ringan (terganggunya fungsi silia) hingga yang lebih berat berupa kerusakan atau perubahan struktur (hiperplasia kelenjar mukus dan
32
peningkatan sel piala) maupun gangguan yang benar-benar patologi (metaplasia sel skuamosa sampai karsinoma) (Watelet dkk., 2002; Irawan, 2004). Debu pada perusahaan konveksi berasal dari bahan yang terbanyak digunakan pada pabrik konveksi yaitu bahan tekstil kain yang berasal dari kapas. Beberapa penelitian menunjukkan pengaruh debu kapas terhadap penurunan fungsi paru dan bisinosis (Syahputra dkk., 2015; Fadli dkk., 2012) namun penelitian mengenai pengaruh debu kapas terhadap waktu transpor mukosilia masih jarang. Paparan debu organik dari perusahaan tekstil dapat menimbulkan penyakit paru-paru obstruktif seperti asma dan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Paparan debu organik ini dapat menyebabkan terjadinya inflamasi persisten yang tampak dari inversi makrofag paru, perubahan rasio dendrit. Sejumlah mikroba telah tebukti terdapat pada kapas seperti kuman gram negatif, kuman gram positif, actinomyces dan berbagai jamur. Endotoksin yang dihasilkan oleh kuman gram negatif inilah yang dapat mempengaruhi pergerakan silia dan fungsi paru (Akunsari dkk., 2010). Ahmed, 2012 menemukan bahwa pada perusahaan tekstil selain faktor lokasi bekerja (spinning dan carding) memiliki paparan debu kapas yang lebih tinggi, hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa deposit jamur Aspergilus niger dan Penicillium juga dijumpai dapa paru lobus kanan dan kiri pekerja bagian tersebut. Sebuah literatur mengemukakan bahwa proses flocking pada perusahaan konveksi di Ontario pada tahun 1990, yaitu proses memotong bahan yang mengandung serat sintetis (nylon, rayon dan polyester) menjadi potongan kecil
33
untuk membuat pakaian menimbulkan pneumositis dengan gejala batuk progresif dan sesak. Akunsari dkk., 2010 juga menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan terhadap paparan debu kapas dan penurunan fungsi paru fungsi paru tenaga kerja wanita di Sukoharjo. Penelitian Sangeetha dkk., 2013 menunjukkan bahwa lokasi (bagian knitting) tempat bekerja pada perusahaan tekstil dan konveksi memiliki paparan debu kapas yang paling tinggi dan dapat mempengaruhi fungsi paru. 2.7
Lama Bekerja dan Waktu Transpor Mukosilia Paparan debu yang akan mempengaruhi waktu transpor mukosilia bukan
hanya dipengaruhi oleh ukuran partikel debu namun juga lamanya pajanan terhadap partikel tersebut. Apabila endapan debu atau partikel ini berlebihan atau berlangsung terus-menerus dapat mengakibatkan gangguan pada mukosa hidung (Suherman, 2013). Penelitian Soemadi dkk., 2009 menyimpulkan bahwa waktu transpor mukosilia dipengaruhi oleh lama masa bekerja, semakin lama kerja karyawan tersebut maka semakin tinggi waktu transpor mukosilia ( Spearman rho’s=0,774 dan p = 0,000). Waktu transpor mukosilia pada karyawan perusahaan mebel mengalami perubahan yang bermakna setelah mereka bekerja selama minimal 3 tahun, dan perubahan tersebut semakin bermakna seiring dengan bertambahnya lama kerja. Peningkatan waktu transpor mukosilia ini berawal dari mekanisme pengendapan partikel debu kayu yang kemudian menyebabkan gangguan transpor mukosilia. Terganggunya transpor mukosilia menyebabkan terganggunya bersihan partikel, sehingga kontak partikel dengan mukosa hidung menjadi lebih
34
lama . Kondisi ini dapat menimbulkan peradangan maupun ulserasi pada mukosa hidung secara langsung. Epitel cenderung kehilangan silia dan jumlah sel goblet meningkat. Syahputra dkk., 2015 menyatakan bahwa masa kerja > 5 tahun, kebiasaan merokok, dan laki-laki usia yang lebih tua dan pendidikan menengah ke bawah memiliki kecenderungan menderita bisinosis akibat paparan debu kapas (p = 0,005). Suherman (2013) di Yogyakarta menyatakan bahwa lama bekerja pada pekerja kerajinan perak memiliki korelasi yang sangat kuat (r = 0,856 p <0,05) dan mempengaruhi transpor musilia hidung sebesar 79,3%. Black dkk (1974) juga melaporkan adanya gangguan fungsi mukosilia hidung akibat paparan debu kayu selama lebih dari 10 tahun. Penelitian Legrans (2015) mendapatkan kejadian rinitis akibat kerja pada pekerja konveksi lebih tinggi pada masa kerja ≥60 bulan yaitu sebesar 81,8% dibandingkan masa kerja <60 bulan (45,8%) dengan odd ratio 5,3 dan p<0,01. Walusiak (2006) mendapatkan insiden rinitis akibat kerja cukup tinggi yaitu 8,4% setelah 1 tahun bekerja dan 12,5% setelah 2 tahun bekerja. Sedangkan Gautrin dkk (2006) insiden gejala rinitis meningkat pada pekerja dengan masa kerja 12-20 bulan dan terus meningkat pada masa kerja lebih dari 24 bulan.